tugas bedah
DESCRIPTION
Tugas Koas BedahTRANSCRIPT
Nama : Ayu Sriningsih
Nim : 112014026
1. Region-regio tubuh manusia
Regio Capitis
1. Frontalis (dahi, ubun-ubun)
2. Orbitalis
3. Nasalis
4. Infraorbital
5. Oralis
6. Mentalis
7. Buccalis
8. Zygomatical
9. Temporalis
10. Parietalis
11. Occipitalis
Region Colli
1. Sternocleidomastoideus
2. Trigonum Submentale
3. Trigonum Submandibulare
4. Trigonum Caroticum
5. Cervicalis Lateralis
Region Thorax 1. Pectoralis
2. Parasternalis
3. Clavipectorale
4. Axillaris
Region Abdominal1. Epigastrica
2. Hipochondriaca
3. Umbilica
4. Lumbal
5. Hipogastric
6. Inguinalis
Regio Ekstremitas Superior
1. Deltoidea
2. Brachialis
3. Cubitalis
4. Antebrachialis
5. Carpalis
6. Dorsum manus
7. Digiti
Regio Ekstremitas inferior (Anterior)
1. Femoralis Anterior
2. Trigonum femorale
3. Patella (genus anterior)
4. Cruralis anterior
5. Dorsum pedis
6. Digiti
Regio Ekstremitas inferior (Posterior)
1. Glutealis
2. Femoralis posterior
3. Patella/genus posterior
4. Cruralis posterior
5. Calcamea
6. Pedis
2. Tumor marker
Tumor marker atau penanda tumor dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara:
berdasarkan strukturkimianya, jaringan asalnya, tipe malignansinya. Klasifikasi yang paling
umum digunakan adalah mengombinasikan unsur biokimiawi, jaringan asal, dan
fungsionalnya.
a. Protein Onkofetal
Protein onkofetal adalah antigen yang umumnya diproduksi pada perkembangan
embrional. Pada dewasa, produksi akan dibatasi atau akan hilang sama sekali.
Peningkatan konsentrasi pada dewasa disebabkan oleh reaktivasi dari gen tertentu yang
mengontrol pertumbuhan selular dan secara langsung dihubungkan dengan proses
malignansi.
Carcinoembyonic antigen
(CEA) adalah salah satu contohnya. Pada perkembangan embrional, CEA diproduksi
di sel epitelial dari traktus gastrointestinal, hati, dan pankreas. CEA penting pada
pasien dengan kanker kolorektal karena 65% dari seluruh pasien dan 100% dari
pasien dengan metastasis memiliki peningkatan CEA. Selain itu, marker ini juga
digunakan untuk pasien dengan malignansi lainnya seperti kanker payudara, ovarium,
pankreas, paru-paru, hati, dan endometrium. Konsentrasi serum antara 4-10 ng/ml
dapat ditemukan pada pasien dengan malignansi atau pasien dengan penyakit jinak,
bahkan pada perokok berat. Sementara itu, kosentrasi di atas 10 ng/ml sudah
mengarah pada malignansi. Peningatan konsentrasi serum juga ditemukan pada
pasien dengan bronkitis, gastrtis, ulkus duodenal, penyakit hati, pankreatitis, dan
poliposis kolorektal.
Alfa-fetoprotein
(AFP) adalah glikoprotein yang diproduksi di yolk sac, sel epithelial dari traktus
gastrointestinal, dan hati selama perkembangan embrional. Pada kehamilan, AFP
memasuki cairan amnion melalui darah fetus, melalui plasenta, dan menuju darah
maternal. Pada dewasa, AFP dapat ditemukan pada darah dalam konsetrasi yang
sangat rendah. Konsentrasi serum normal dicapai pada usia 9 bulan setelah kelahiran.
Peningkatan kadar AFP serum (di atas 10 ng/ml) pada dewasa dapat ditemukan pada
pasien dengan hepatitis viral akut, sirosis hati, ikterus obstruktif, dan pada penyakit
malignansi, seperti halnya pada kanker pankreas, kanker paru-paru, dan kanker
gastrik. Fungsi utama AFP adalah follow up pasien dengan karsinoma hepato selular
(95-100% sepsifisitas dan sensitivitas). Konsentrasi yang mencapai 1200 ng/ml
memastikan diagnosis dari kanker primer hari dan pasien dengan tumor germinal
non-seminoma (spesifisitas 60%).
b. Hormon
Proses malignansi dapat mengubah sintesis dan sekresi dari berbagai hormon.
Perubahan kuantitatif dan kualitatif dari sintesis dan sekresi hormon dapat menjadi
indikator proses malignansi. Perubahan kuantitatif dapat muncul jika tumor berkembang
pada jaringan kelenjar endokrin, sehingga mempengaruhi produksi normal dari hormon.
Kelompok ini terdiri dari penanda tumor malignan endokrin, seperti hormon paratiroid,
insulin, prolaktin, katekolamin, dan lain-lain. Perubahan kualitatif muncul jika sel yang
bertransformasi dari berbagai organ (paru-paru, payudara, lambung, sistem saraf pusat,
dan ovarium) mulai memproduksi hormon (disebut pula produksi ektopik. Sebagai
contoh, kalsitonin dan paratiroid pada kanker payudara, lipotropin pada tumor karsinoid,
serta kalsinoid, insulin, dan paratiroid [ada malignomatimus. Di antara hormon lainnya,
βHC
Merupakan tumor marker yang sering digunakan. Protein ini tergabung dalam
kelompok antigen karsino plasental, yaitu protein yang disintesis di plasenta selama
kehamilan dan dapat ditemukan pada dewasa untuk beberapa kondisi. Peningkatan
konsentrasinya dapat ditemukan pada seluruh wanita dengan tumor germinal dengan
komponen tropoblastik (koriokarsinoma), molahidatidosa, dan beberapa pasien pria
dengan tumor germinal.βHCG memiliki waktu paruh yang sangat cepat (36-48 jam)
sehingga dapat digunakan untuk follow up respons tatalaksana, sebagaimana kita
dapat memprediksiprognosis. Dikombinasikan dengan AFP, βHCG merupakan
penanda yang baik untuk pasien dengan tumor germinal.
c. Enzim
Beberapa enzim khusus diproduksi lebih banyak jika proses malignansi muncul pada
organisme, sehingga dapat digunakan sebagai tumor marker. Prostatic acid phosphatase
(PAP) adalah enzim yang diproduksi olhe jaringan prostat normal. Peningkatan
konsnetrasi (lebih dari 3 ng/ml) dapat ditemukan pada pasien dengan kanker prostat dan
umumnya dihubungkan dengan fase lanjut dari penyakit ketikatumor mempenestasi
kapsul prostat. Penentuan PAP dapat digunakan untuk membedakan proses jinak dengan
malignan.
Alkaline phosphatase
(AP) muncul pada bentuk iso-enzim yang disintesis di hati, tulang, atau plasenta.
Peningkatan konsentrasi serum pada pasien dengan penyakit malignan umumnya
mengindikasikan metastasis menuju hati dan/atau tulang, dan/atau adanya tumor
primer tulang (osteosarkoma). Neuron specific enolase (NSE) adalah enzim glikolitik
sitoplasma yang pertama kali dideteksi pada sel dengan asal neuroektodermal dan
neuronal. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, NSE ditemukan pada jaringan
tumor dengan diferensiasi neuroektodermal dan neuroendokrin.
d. Tumor-Associated Antigens
Kelompok ini terdiri dari penanda struktur membran dari sel tumor. Perkembangan
teknologi menunjukkan kemungkinan memproduksi antibody monoklonal sepsifik untuk
antigen yang menjadi karakteristik sel tumor. Karena itu, penanda grup ini lebih spesifik
untuk tipe malignansi dibandingkan penanda lainnyadan cukup sering konsentrasi
serumnya merefleksikan lebih akurat mengenai pertumbuhan atau regresi dari massa
tumor.
Antigen carninomic 15-3
(CA 15-3) diproduksi pada epitel sekretorik dan dapat ditemukan pada ekskresi dari
dewasa sehat. Peningkatan konsentrasi serum hingga 30U/ml dideteksi pada pasien
dengan kanker payudara. Akan tetapi, peningkatan CA 15-3 dapat pula ditemukan
pada malignansi lainnnya seperti kanker paru-paru, prostat, ovarium, dan lain
sebagainya. Meski tidak spesifik, CA 15-3 merupakan indikator yang baik untuk
respons tatalaksana dan manifestasi penyakit pada kanker payudara. Penggunaan CA
1503 dan CEA pada kanker payudara meningkatkan sensitivitas pemeriksaan. CA
125 merupakan karakteristik dari kanker ovarium. Pada perkembangan embrional,
CA 125 diproduksi pada epitelium selomik, duktus Muellerian, sel epithelial pleura,
perikardium, dan peritoneum. Pada dewasa, CA 125 dapat ditemukan padamukosa
serviks uteri dan parenkim paru, namun tidak diproduksi oleh jaringan ovarianyang
sehat. Peningkatan konsentrasi hingga 35 U/ml dapat ditemukan pada kanker
ovarium, penyakit ginekologis dan malignansi non-ginekologikal.
CA 19-9
Adalah glikolipid yang menunjukkan adanya hapten Lewis termodifikasi dari sistem
golongan darah. CA 19-9 umumnya meningkat pada serum pasien dengan tumor
gastrointestinal. Penanda ini sedikit lebih spesifik untuk kanker hati dan pankreas,
tetapi umum juga meningkat pada pasine dengan kolorektal, gastrik, dan kanker
ovarium. Pada konsentrasi yang cukup tinggi, CA 19-9 dapat ditemukan pada cairan
prostat, cairan gastrik, cairan amnion, dan ekskresi pankreas dan duodenum.
Prostate spesific antigen
(PSA) adalah protease serin yang diekstraksi dari prostat dan sperma. PSA diproduksi
pada jaringan prostat dan diekskresikan melalui cairan prostat. Peran protease serin
ini untuk mencegah koagulasi sperma. Pada orang yang sehat, PSA dalam jumlah
yang sangat kecil memasuki aliran darah. Pada pasien dengan gangguan prostat,
jumlah PSA akan meningkat pada darah. Penanda ini spesifik untuk kanker prostat
dan kadarnya menggambarkan tingkat bahaya dari kanker. Dengan interpretasi dalam
bentuk PSA yang berbeda (total, terikat, bebas) dan evaluasi yang baik dari rasionya,
pasien dapat diprediksikan dengan cukup baik, apakah mengalami kondisi penyakit
prostat yang jinak ataupun malignan.
e. Protein Serum Khusus
Kelompok ini terdiri dari berbagai protein, salah satunya adalah feritin. Feritin berikatan
dengan besi intraselular dan bertanggung jawab untuk detoksikasi. Pada kondisi normal,
konsentrasi tinggi dari feritin dapat ditemukan pada hati, limfa, dan sumsum tulang.
Kadar normalnya berkisar dari 8-440 nng/ml. Konsentrasi yang meningkat dapat
ditemukan pada pasien dengan leukimia akut, limfoma Hodgkin,kanker paru, hati, dan
prostat.
Tiroglobulin
Adalah glikoprotein intraselular yang bertanggung jawab untuk produksi dan
penyimpanan tirosin. Dalam konsentrasi yang rendah, glikoprotein ini dapat
ditemukan pada orang sehat (0-75 ng/ml), dimana konsentrasi yang tinggi ditemukan
pada pasien dengan karsinoma tiroid berdiferensiasi folikular.
Beta-2-mikroglobulin adalah protein yang identik dengan rantai pendek HLA
danmuncul pada membran sel pada seluruh sel yang berdiferensiasi. Peningkatan
konsentrasinya ditemukan pada pasien dengan kanker paru, hati, pankreas, dan
kolorektal, serta limfoma dan leukemia limfoid kronik.
Protein S-100 memiliki kisaran normal di bawah 0,3 ng/ml. Protein ini menajdi
indikator yang baik untuk trauma sistem saraf pusat dan berbagai kanker pada saraf,
seperti neurinoma, glioblastoma, astrositoma, dan meningeoma. Protein ini juga
memoliki peran spesial sebagai faktor prognostik pada pasien dengan melanoma
malignan.
3. Tes undulasi : Meminta pasien menekan kedua tangan pada midline abdomennya (kanan kiri)
ketuklah satu sisi abdomen dengan jari dan rasakan pada sisi yang lain dengan tangan yang
lain, adanya getaran yang diteruskan cairan asites.
4. Pemeriksaan Lab
Hb Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas untuk
mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah ditentukan oleh kadar
Hemoglobin.
Bayi baru lahir : 12-24gr/dL
Anak : 10-16 gr/dL
Wanita : 12-16 gr/dL
Pria : 14-18 gr/dL
Penurunan Hb terjadi pada penderita: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-
vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan
tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik, indometasin.
Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun (COPD),
gagal jantung kongestif, dan luka bakar. Obat yang dapat meningkatkan Hb yaitu
metildopa (salah satu jenis obat darah tinggi) dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada
kulit
Trombosit (Platelet)
Trombosit adalah komponen sel darah yang berfungsi dalam proses menghentikan
perdarahan dengan membentuk gumpalan. Penurunan sampai di bawah 100.000
permikroliter (Mel) berpotensi terjadi perdarahan dan hambatan perm- bekuan darah.
Jumlah normal pada tubuh manusia adalah 200.000-400.ooo/Mel darah. Biasanya
dikaitkan dengan penyakit demam berdarah.
Hematocrit
Hematokrit menunjukkan persentase zat padat (kadar sel darah merah, dan Iain-Iain)
dengan jumlah cairan darah. Semakin tinggi persentase HMT berarti konsentrasi darah
makin kental. Hal ini terjadi karena adanya perembesan (kebocoran) cairan ke luar dari
pembuluh darah sementara jumlah zat padat tetap, maka darah menjadi lebih
kental.Diagnosa DBD (Demam Berdarah Dengue) diperkuat dengan nilai HMT > 20 %.
Nilai normal HMT :
Anak 33 -38%
Pria dewasa 40 – 48 %
Wanita dewasa 37 – 43 %
Penurunan HMT terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut (kehilangan
darah secara mendadak, misal pada kecelakaan), anemia, leukemia, gagalginjal kronik,
mainutrisi, kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkuspeptikum (penyakit tukak
lambung).
Peningkatan HMT terjadi pada dehidrasi, diare berat,eklampsia (komplikasi pada
kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar, dan Iain-Iain.
LDH (Laktat Dehidrogenase)
Merupakan salah satu enzim yang melepas hidrogen, dan tersebar luas pada jaringan
terutama ginjal, rangka, hati, dan otot jantung. Peningkatan LDH menandakan adanya
kerusakan jaringan. LDH akan meningkat sampai puncaknya 24-48 jam setelah infark
miokard (serangan jantung) dan tetap normal 1-3 minggu kemudian. Nilai normal: 80 –
240 U/L
Laju Endap Darah (LED)
LED untuk mengukur kecepatan endap eritrosit (sel darah merah) dan menggambarkan
komposisi plasma serta perbandingannya antara eritrosit (sel darah merah) dan plasma.
LED dapat digunakan sebagai sarana pemantauan keberhasilan terapi, perjalanan
penyakit, terutama pada penyakit kronis seperti Arthritis Rheumatoid (rematik), dan
TBC. Peningkatan LED terjadi pada infeksi akut lokal atau sistemik (menyeluruh),
trauma, kehamilan trimester II dan III, infeksi kronis, kanker, operasi, luka
bakar.Penurunan LED terjadi pada gagal jantung kongestif, anemia sel sabit, kekurangan
faktor pembekuan, dan angina pektoris (serangan jantung).Selain itu penurunan LED juga
dapat disebabkan oleh penggunaan obat seperti aspirin, kortison, quinine, etambutol.
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan oleh hati,
yakni protein yang konsentrasinya akan meningkat bila terjadi cedera akut,
peradangan/inflamasi atau infeksi. CRP merupakan penanda inflamasi yang sudah
dikenal secara luas dan memiliki peran penting dalam proses Aterosklerosis. Hasil
penelitian menunjukan bahwa peningkatan CRP (walaupun masih dalam batas normal)
merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya penyakit kardiovaskular. High
Sensitivity CRP (hS-CRP) adalah pemeriksaan untuk mengukur konsentrasi CRP yang
sangat kecil hingga bersifat lebih sensitif. Manfaat pemeriksaan untuk memprediksi
faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner; memantau kondisi
post-operasi, PID (Pelvic Inflammantory Disease), sepsis pada pasien kritis; dan
mendiagnosis apendistis akut.
Anti-nuklir antibodi (juga dikenal sebagai anti-nuclear factor atau ANF) adalah
autoantibodi yang mempunyai kemampuan mengikat pada struktur-struktur tertentu
didalam inti (nukleus) dari sel-sel lekosit. ANA yang merupakan imunoglobulin (IgM,
IgG, dan IgA) bereaksi dengan inti lekosit menyebabkan terbentuknya antibodi, yaitu
anti-DNA dan anti-D-nukleoprotein (anti-DNP). Anti-DNA dan anti-DNP hampir selalu
dijumpai pada penderita SLE. Temuan anti-DNA akan berfluktuasi bergantung pada
proses penyakit ini, yang disertai dengan remisi dan eksaserbasi. Anti-DNA 95% dapat
ditemukan pada penderita nefritis lupus.
Uji ANA merupakan skrining untuk lupus eritematosus sistemik (SLE) dan
penyakit kolagen lainnya. Kadar total ANA juga dapat meningkat pada penyakit
skleroderma, rheumatoid arthritis, sirosis, leukemia, mononukleosis infeksiosa, dan
malignansi. Untuk mendiagnosis lupus, temuan uji ANA harus dibandingkan dengan
hasil uji lupus lainnya.
HASIL NORMAL : Negatif ( kurang dari 20 Units)
HASIL ABNORMAL : Equivocal : 20 – 60 Units,
Positif : lebih dari 60 Units atau titer 1/160 atau lebih.
Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi dengan
molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF termasuk
autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi
komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting
pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF
positif. Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA.
RF positif ditemukan pada 80% penderita rematik artritis. Kadar RF yang sangat
tinggi menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan sendi yang berat dan
kemungkinan komplikasi sistemik.
RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma,
dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF pada rematik
arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit non-imunologis dan orang
tua (di atas 65 tahun).
Uji RF tidak digunakan untuk pemantauan pengobatan karena hasil tes sering
dijumpai tetap positif, walaupun telah terjadi pemulihan klinis. Selain itu, diperlukan
waktu sekitar 6 bulan untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk diagnosis dan evaluasi RA
sering digunakan tes CRP dan ANA.
Nilai Rujukan
DEWASA : penyakit inflamasi kronis; 1/20-1/80 positif untuk keadaan rheumatoid
arthritis dan penyakit lain; > 1/80 positif untuk rheumatoid arthritis.
ANAK : biasanya tidak dilakukan
LANSIA : sedikit meningkat
*Nilai rujukan mungkin bisa berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode yang
digunakan.
Fosfatase alkali (alkaline phosphatase, ALP) merupakan enzim yang diproduksi terutama
oleh epitel hati dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang baru); enzim ini juga berasal dari
usus, tubulus proksimalis ginjal, plasenta dan kelenjar susu yang sedang membuat air
susu. Fosfatase alkali disekresi melalui saluran empedu. Meningkat dalam serum apabila
ada hambatan pada saluran empedu (kolestasis). Tes ALP terutama digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat penyakit hati (hepatobiliar) atau tulang.
Pada orang dewasa sebagian besar dari kadar ALP berasal dari hati, sedangkan
pada anak-anak sebagian besar berasal dari tulang. Jika terjadi kerusakan ringan pada sel
hati, mungkin kadar ALP agak naik, tetapi peningkatan yang jelas terlihat pada penyakit
hati akut. Begitu fase akut terlampaui, kadar serum akan segera menurun, sementara
kadar bilirubin tetap meningkat. Peningkatan kadar ALP juga ditemukan pada beberapa
kasus keganasan (tulang, prostat, payudara) dengan metastase dan kadang-kadang
keganasan pada hati atau tulang tanpa matastase (isoenzim Regan).
Kadar ALP dapat mencapai nilai sangat tinggi (hingga 20 x lipat nilai normal)
pada sirosis biliar primer, pada kondisi yang disertai struktur hati yang kacau dan pada
penyakit-penyakit radang, regenerasi, dan obstruksi saluran empedu intrahepatik.
Peningkatan kadar sampai 10 x lipat dapat dijumpai pada obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik (misalnya oleh batu) meskipun obstruksi hanya sebagian. Sedangkan
peningkatan sampai 3 x lipat dapat dijumpai pada penyakit hati oleh alcohol, hepatitis
kronik aktif, dan hepatitis oleh virus.
Pada kelainan tulang, kadar ALP meningkat karena peningkatan aktifitas
osteoblastik (pembentukan sel tulang) yang abnormal, misalnya pada penyakit Paget. Jika
ditemukan kadar ALP yang tinggi pada anak, baik sebelum maupun sesudah pubertas, hal
ini adalah normal karena pertumbuhan tulang (fisiologis). Elektroforesis bisa digunakan
untuk membedakan ALP hepar atau tulang. Isoenzim ALP digunakan untuk membedakan
penyakit hati dan tulang; ALP1 menandakan penyakit hati dan ALP2 menandakan
penyakit tulang.
Jika gambaran klinis tisak cukup jelas untuk membedakan ALP hati dari
isoenzim-isoenzim lain, maka dipakai pengukuran enzim-enzim yang tidak dipengaruhi
oleh kehamilan dan pertumbuhan tulang. Enzim-enzim itu adalah : 5’nukleotidase
(5’NT), leusine aminopeptidase (LAP) dan gamma-GT. Kadar GGT dipengaruhi oleh
pemakaian alcohol, karena itu GGT sering digunakan untuk menilai perubahan dalam
hati oleh alcohol daripada untuk pengamatan penyakit obstruksi saluran empedu.
Metode pengukuran kadar ALP umumnya adalah kolorimetri dengan
menggunakan alat (mis. fotometer/spektrofotometer) manual atau dengan analizer kimia
otomatis. Elektroforesis isoenzim ALP dilakukan untuk membedakan ALP hati dan
tulang. Bahan pemeriksaan yang digunakan berupa serum atau plasma heparin.
Nilai Rujukan
DEWASA : 42 – 136 U/L, ALP1 : 20 – 130 U/L, ALP2 : 20 – 120 U/L,Lansia : agak
lebih tinggi dari dewasa
ANAK-ANAK : Bayi dan anak (usia 0 – 20 th) : 40 – 115 U/L), Anak berusia lebih tua
(13 – 18 th) : 50 – 230 U/L.
Masalah Klinis
PENINGKATAN KADAR : obstruksi empedu (ikterik), kanker hati, sirosis sel hati,
hepatitis, hiperparatiroidisme, kanker (tulang, payudara, prostat), leukemia, penyakit
Paget, osteitis deforman, penyembuhan fraktur, myeloma multiple, osteomalasia,
kehamilan trimester akhir, arthritis rheumatoid (aktif), ulkus. Pengaruh obat :
albumin IV, antibiotic (eritromisin, linkomisin, oksasilin, penisilin), kolkisin,
metildopa (Aldomet), alopurinol, fenotiazin, obat penenang, indometasin (Indocin),
prokainamid, beberapa kontrasepsi oral, tolbutamid, isoniazid, asam para-
aminosalisilat.
PENURUNAN KADAR : hipotiroidisme, malnutrisi, sariawan/skorbut (kekurangan
vit C), hipofosfatasia, anemia pernisiosa, isufisiensi plasenta. Pengaruh obat :
oksalat, fluoride, propanolol (Inderal)
5. Magnetic Resosultion imaging
Secara garis besar instrumen MRI terdiri dari: a. Sistem magnet yang berfungsi membentuk
medan magnet. Agar dapat mengoperasikan MRI dengan baik, kita perlu mengetahui
tentang : tipe magnet, efek medan magnet, magnet shielding ; shimming coil dari pesawat
MRI tersebut ; b. Sistem pencitraan berfungsi membentuk citra yang terdiri dari tiga buah
kumparan koil, yaitu : 1.Gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagittal. 2 Gardien
koil Y, untuk membuat citra potongan koronal. 3.Gradien koil Z untuk membuat citra
potongan aksial . Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara bersamaan maka akan
terbentuk potongan oblik; c. Sistem frequensi radio berfungsi mem-bangkitkan dan
memberikan radio frequensi serta mendeteksi sinyal ; d. Sistem komputer berfungsi untuk
membangkitkan sekuens pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan
memori beberapa citra; e. Sistem pencetakan citra, berfungsinya untuk mencetak gambar
pada film rongent atau untuk menyimpan citra.
Aplikasi
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morpologik yaitu lokasi,
ukuran, bentuk, perluasan dan lain lain dari keadaan patologis. Tujuan tersebut dapat
diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi gambar penampang tubuh akial, sagittal,
koronal atau oblik tergantung pada letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis
pemeriksaan MRI sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya : 1. Pemeriksaan kepala
untuk melihat kelainan pada : kelenjar hipofisis, lobang telinga dalam , rongga mata , sinus ;
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi otak, perdarahan,
infeksi; tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh darah seperti aneurisma, angioma,
proses degenerasi, atrofi; 3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi
(HNP), tumor, infeksi, trauma, kelainan bawaan. 4. Pemeriksaan Muskuloskeletal untuk
organ : lutut, bahu, siku, pergelangan tangan, pergelangan kaki, kaki, untuk mendeteksi
robekan tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain lain ;5. Pemeriksaan
Abdomen untuk melihat hati , ginjal, kantong dan saluran empedu, pakreas, limpa, organ
ginekologis, prostat, buli-buli 6. Pemeriksaan Thorax untuk melihat paru dan jantung.
MRI sebagai salah satu modalitas diagnostik
MRI adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan diagnostik radiologi, yang
menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh/organ manusia dengan
menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan
resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya,
terutama kemampuannya membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak
memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostic jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan
tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar
MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras,
sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk
menghasilkan gambaran MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostik, maka
harus memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran MRI, antara
lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang baik, b. Kontras yang sesuai
dengan tujuan pemeriksaanya. Saat ini tersedia beberapa perangkat diagnostik, seperti
Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Perangkat ini
merupakan modalitas yang dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit. MRI lebih
unggul dibandingkan dengan alat pencitra radiologi yang lain, seperti pesawat sinar-X
konvensional, ultrasonografi, dan CT scan karena dapat menampilkan secara detail anatomi
suatu organ berdasarkan kemampuannya yang lebih baik dalam mendeteksi jaringan lunak.
Selain itu, MRI tidak menggunakan sinar-X sehingga tidak ada kekhawatiran timbulnya efek
biologis, mutasi gen, dan terjadinya keganasan akibat radiasi pengion, di kemudian hari dapat
dihindarkan.
Secara spesifik kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan adalah: 1.
MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak seperti otak,
sumsum tulang, serta muskuloskeletal. MRI memberikan resolusi yang tinggi dan
kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan CT scan dalam untuk mendeteksi lesi-lesi
patologis di daerah white matter. 2. MRI mampu memberi gambaran detail anatomi dengan
lebih jelas. 3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi
dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan. 4. Mampu membuat gambaran
potongan melintang, tegak, dan miring tanpa merubah posisi pasien. 5. MRI tidak
menggunakan radiasi pengion. MRI bersasaran (targeted MRI) sebagai salah satu imejing
molekuler Molekuler imejing adalah karakterisasi dan pengukuran invivo proses biologis
pada tingkat molekuler dan seluler dimana teknik imejing ini mengajukan untuk “memprobe”
abnormalitas molekuler yang merupakan dasar penyakit dan bukan menggambarkan efek
akhir dari perubahan molekuler. Untuk membuat image molekul spesifik in vivo beberapa
kriteria kunci secara umum harus dipenuhi yaitu (a) ketersediaan probe afinitas tinggi dengan
farmakodinamika yang reasonable (b) kemampuan probe ini untuk mengatasi hambatan
pengiriman biologis (vaskuler, interstitiel, dan membran sel) (c) pemakaian strategi
amflipikasi (kimiawi dan biologis) dan (d) ketersediaan teknik imejing yang sensitif, cepat
dan beresolusi tinggi. MRI merupakan salah satu modalitas dalam imejing yang paling
mungkin “masuk” dalam skenario tersebut melalui penggunaan senyawa pengontras
bertarget disertai amplifikasi biologis. Prinsip kerja MRI adalah interaksi antara gelombang
frekuensi radio dan spin inti hidrogen jaringan tubuh ketika dimasukkan ke dalam medan
magnit yang kuat. Apabila radio frekuensi dihidupkan (on), dengan frekuensi yang sama
dengan atom hidrogen, energi yang dipancarkan akan diserap oleh inti atom hidrogen
sehingga terjadi magnetisasi longitudinal dan transversal, dengan perkataan lain terjadi
resonanasi.
Apabila radio frekuensi dimatikan maka energi yang diserap akan dilepaskan kembali
dan inti atam hidrogen yang mengalami resonansi tadi akan kembali kepada keadaan semula
atau mengalami relaksasi. Waktu yang diperlukan untuk kembali kepada keadaan semula
disebut waktu relaksasi. Waktu untuk kembali kepada keadaan semula longitudinal
magnitisasi disebut waktu relaksasi T1. Waktu untuk kembali kepada keadaan semula
trasversal magnetisasi disebut waktu relaksasi T2. Kualitas citra MRI ditentukan oleh
intensitas sinyal yang dipancarkan oleh jaringan tubuh setelah masuk ke dalam medan
magnit. Intensitas sinyal ditentukan oleh berbagai hal yaitu besarnya medan magnit, jumlah
atom hidrogen yang ada pada jaringan, apabila jaringan mempunyai atom hidrogen yang
banyak maka intensitas sinyal yang dikeluarkan juga kuat. Selain itu intensitas sinyal juga
dipengaruhi oleh waktu relaksasi longitudinal T1, dan waktu relaksasi tranversal T2.
Kekuatan medan magnet MRI yang biasa dipakai di klinik antara 0,3 sampai 1,5 Tesla.
Besarnya medan magnit tersebut sangat memengaruhi hasil pencitraan. Bila medan magnit
MRI yang dipakai rendah akan memberikan citra yang kurang baik dan waktu pemeriksaan
akan lebih lama serta cakupan pemeriksaan sangat terbatas bila dibandingkan medan magnet
yang tinggi. Senyawa pengontras (contrast agent) yang biasa dipakai untuk MRI adalah
kompleks dari Gadoliniun (Gd) yaitu kompleks senyawa gadolinium dengan asam dietilen
triamin pentaasetik (DTPA) dan 1,4,7,10 tetraazasiklododekan (DOTA).
Senyawa pengontras GdDTPA mempunyai keterbatasan yaitu Gd-DTPA mempunyai
berat molekul yang kecil sehingga cepat keluar dari tubuh melalui ginjal/urin dan melalui
feses. Lebih jauh senyawa pengontras Gd-DTPA tidak dapat masuk ke dalam sel sasaran
sehingga citra yang dihasilkan tidak spesifik, yaitu tidak dapat membedakan dengan jelas
suatu kelainan apakah suatu tumor ganas, tumor jinak, atau inflamasi.
Agar mendapatkan pencitraan yang spesifik senyawa pengontras yang biasa
dipakai yaitu Gd-DTPA dikonyugasikan dengan antibodi supaya terjadi pengikatan
antara antigen reseptor dengan antibodi yang ada pada senyawa pengontras. Untuk
memperkuat ikatan senyawa pengontras Gd-DTPA dan antibodi ditambahkan senyawa
kimia lain, yaitu dendrimer merupakan senyawa kimia yang secara fisik berbentuk seperti
pohon mempunyai banyak cabang-cabang kelompok amino sehingga dapat mengikat
kompleks Gd-DTPA yang banyak dan juga dapat mengikat antibodi. Dengan adanya
dendrimer ini ikatan senyawa pengontras menjadi suatu senyawa makromolekul sehingga
senyawa pengontras tidak cepat ke luar dari tubuh dan mempunyai relaksivitas yang
tinggi. Karena mempunyai relaksivitas yang tinggi maka penyangatan citra yang
dihasilkan lebih kuat dibandingkan dengan Gd DTPA. Untuk memperkuat ikatan
senyawa pengontras Gd-DTPA dan antibodi ditambahkan dendrimer yang merupakan
senyawa kimia yang secara fisik berbentuk seperti pohon mempunyai banyak cabang-
cabang kelompok amino sehingga dapat mengikat kompleks Gd-DTPA yang banyak dan
juga dapat mengikat antibodi. Dengan adanya dendrimer ini ikatan senyawa pengontras
menjadi suatu senyawa makromolekul sehingga senyawa pengontras tidak cepat ke luar
dari tubuh dan mempunyai relaksivitas yang tinggi dibandingkan dengan Gd-DTPA.
Karena mempunyai relaksivitas yang tinggi maka penyangatan citra yang dihasilkan lebih
kuat. Secara populer senyawa pengontras yang bersasaran atau bertarget dengan memakai
MRI disebut targeted MRI. Penyangatan citra yang diartikan sebagai peningkatan
kualitas citra dari suatu senyawa pengontras harus mempunyai sifat-sifat tertentu supaya
dapat dipergunakan dalam klinik. Sifat-sifat yang harus dipunyai senyawa pengontras
bersasaran adalah tidak cepat ke luar dari tubuh, afinitas pengikatan (binding affinity)
yang selektif dan kuat pada sasaran yang diinginkan, sinyal latar belakang yang rendah
(target-to-background ratio yang tinggi), sehingga diperoleh penyangatan citra yang kuat,
sifat farmakologi yang dapat diterima dan kemudahan untuk produksi dalam jumlah yang
banyak. Senyawa pengontras yang dipertimbangkan untuk mencapai target sel tumor
adalah GdDTPA yang dihimpun oleh dendrimer sebagai scaffold multivalent dan
sekaligus dapat mengikat antibodi. Dendrimer selain berperan menghimpun kompleks
Gd-DTPA dalam jumlah yang banyak, juga membatasi rotasi molekul Gd-DTPA karena
konyugasi antara GdDTPA dengan jumlah yang banyak dan dendrimer merupakan
senyawa makromolekul dan dapat meningkatkan relaksivitas senyawa pengontras
sehingga penyangatan citra akan lebih kuat. Antibodi yang terkonyugasi memberikan
afinitas pengikatan yang tinggi dengan reseptor yang ada pada sel glioma, dan akhirnya
juga memberikan senyawa pengontras yang spesifik terhadap sasaran. Senyawa
pengontras berbasis gadolinium seluruhnya nonspesifik bahkan distribusi dalam tubuh
tidak dapat dikatakan homogen karena tidak terakumulasi dalam sel. Begitu juga
efektivitasnya dalam meningkatkan kontras hanya berasal dari distribusi dalam aliran
darah karena seluruh senyawa pengontras tersebut bersifat hidrofilik, dan masuk ke
dalam jaringan intertisial. Senyawa pengontras baru dengan performa yang meningkatkan
efektivitas, distribusi dalam darah yang agak lama, dan mencapai target merupakan
beberapa properti menggembirakan dari molekul molekul baru yang dikembangkan
beberapa tahun terakir. Kompleks Gd (III) saat ini merupakan objek penelitian intensif
sebagai senyawa pengontras untuk MRI. Senyawa pengontras diarahkan kepada
pencitraan molukuler yang memungkinkan pencapaian diagnosis dini berdasarkan
pengenalan reseptor spesifik pada keadaan patologis. Oleh karena itu kompleks Gd (III)
harus memiliki kemampuan mencapai sasaran dengan mengkonyugasikan senyawa
pengenalan pada permukaan target. Lebih jauh lagi teknik MRI untuk mengimplikasikan
kebutuhan tersebut dengan mengirimkan sejumlah besar senyawa pengontras ke target
agar memperoleh visualisasi yang lebih baik dalam citra yang dihasilkan. Kesimpulan
MRI dapat menghasilkan gambar tiga dimensi dengan resolusi tinggi yang
menggambarkan ciri-ciri morfologi suatu spesimen. Perbedaan kontras pada jaringan
lunak bergantung pada perbedaan kandungan air endogenous, waktu relaksasi dan atau
karakter difusi dari jaringan yang diamati. Kespesifikan MRI dapat lebih ditingkatkan
dengan menambahkan senyawa pengontras (SP) seperti kelat gadolinium yang dapat
mencitrakan parameter-parameter hemodinamik yang meliputi blood perfusion dan
permeabilitas pembuluh darah (vascular permeability). Penggunaan senyawa pengontras
memungkinkan MRI menjadi salah satu modalitas imejing molekuler. Pengembangan
senyawa pengontras terarah untuk MRI (targeted MRI) yang diarahkan pada entitas
molekul tertentu dapat secara dramatis memperluas rentang penggunaan MRI dengan
menggabungkan teknik MRI resolusi tinggi non-invasif dengan lokalisasi target molekul
yang spesifik.