tugas makalah kapita selekta

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Peran pendidikan, sungguh penting untuk kemajuan suatu bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib belajar. Untuk mencapai hal ini mantan Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994. mantan Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik. Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih tertinggal . Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan. Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan. Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung mem¬perhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari

Upload: asep-rijwan-suhendi

Post on 05-Aug-2015

545 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Makalah Kapita Selekta

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Peran pendidikan, sungguh penting untuk kemajuan suatu bangsa. Salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib

belajar.

Untuk mencapai hal ini mantan Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar

enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan

mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994.

mantan Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib

belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam

bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik.

Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan

nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak

dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih

tertinggal .

Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan

dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan.

Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang

membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan

dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan

prasarana bidang pendidikan.

Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita

dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung

mem¬perhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca

media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah

dan meningkatnya angka kenakalan pelajar.

Data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human

Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan

penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia

makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-

99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di

Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah

Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki

daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di

Page 2: Tugas Makalah Kapita Selekta

dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai

follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun

teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi

berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga

orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik

pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya

dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber

daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat

meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya

manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu

pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,

baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu

pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan

keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)

bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat

pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di

Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori

The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang

mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,

efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di

Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

(1). Rendahnya sarana fisik,

(2). Rendahnya kualitas guru,

(3). Rendahnya kesejahteraan guru,

(4). Rendahnya prestasi siswa,

(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

(7). Mahalnya biaya pendidikan.

B. Batasan Permasalahan

Begitu Banyak dan komplek masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Negara kita. Telah

banyak perbincangan, pengkajian dan pembahasan tentang permasalahan pendidikan ini. Dan

Page 3: Tugas Makalah Kapita Selekta

hal itu menjadi sebuah perjalanan yang panjang seiring panjangnya sejarah pendidikan di

Indonesia. Dalam kesempatan ini berkenaan dengan adanya tugas mandiri yang di berikan oleh

dosen mata kuliah kapita selekta pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah

(STAIMAS) Sukabumi, kami mencoba untuk sedikit membahas salah satu permasalahan

tersebut, yang kami susun dalam bentuk makalah yang bertemakan “Problematika Guru di

Indonesia”.

Sebagai batasan, maka pembahasan akan diskonsentrasikan pada :

1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia ?

2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia ?

3. Bagaimana peran dan problematika Guru bagi pendidikan di Indonesia ?

4. Solusi yang bisa di berikan bagi permasalahan Guru di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.

2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.

3. Mendeskripsikan peran guru dalam pendidikan dan hal-hal yang menjadi penyebab

rendahnya mutu pendidik di Indonesia.

4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan guru di

Indonesia.

Page 4: Tugas Makalah Kapita Selekta

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia

Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan

pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan

yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-

pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di

masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan

ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap

melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.

Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-

perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para

siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,

menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

Seperti yang telah di uraikan pada bagian pendahuluan di atas, dapat terlihat bahwa

kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat tertinggal jauh di banding dengan Negara maju

yang lain, bahkan dari Negara Malaysia sekalipun kita masih kalah dalam hal pendidikan.. Hal ini

terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya

harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Guru-guru saat ini

masing dianggap kurang kompeten. Realitanya bahwa masih banyak orang yang menjadi guru

karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana (Pertimbangan financial). Kecuali

guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman

mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka

ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi

pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang

pensiun.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di

Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah

terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup

dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti

kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

Page 5: Tugas Makalah Kapita Selekta

“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,

Jakarta, Senin (12/3/2007).

Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam

rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:

1. Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap

masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka

partisipasi.

2. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti

ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.

3. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan

dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.

4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang

kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang

dibutuhkan.

5. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah

jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.

6. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan.

7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.

8. Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas

penddikan.

Memang semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor

pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang

tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan

pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik. Didukung dengan

hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat

dilaksanakan pada tingkat yang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket

dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya

secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan.

Namun, dibalik itu semua, dunia pendidikan di Indonesia ternyata menghadapi problema

yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency,

dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency dalam sektor pendidikan

berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama).

Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar

tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan

pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan

memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan

Page 6: Tugas Makalah Kapita Selekta

penduduk desa dan antara kaya dan miskin

External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang

lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan

teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat.

Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan

cepat, karena adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang

sangat luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan

dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan

masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat

dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat.

Akibat dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa

mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan

oleh sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot

karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan

berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi.

Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan.

Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut jenis kelamin, tempat tinggal, dan terutama menurut

status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang

antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan kritikan

dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga,

menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri

pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977).

Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai

dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian

dengan ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan

pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal

ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan

menentukan status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh

sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin

akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan,

karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar

adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai

Para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan terus menerus mengadakan

pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan

ketiga problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan

pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya,

Page 7: Tugas Makalah Kapita Selekta

perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery

system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih.

Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung

kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno

Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal

sulam dan kurang mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi

baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang

ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk sangat tepat

untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa

pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan

pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung

bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi

dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di

samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah

berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan

sentris". Karena bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan

akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini

bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang

dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di

Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai

contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan.

Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan

pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan

secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil

tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat

diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan

pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus

cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh

pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok

bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus

digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahun-

tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan

lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation dan

memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu

diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan.

Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu

formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid

Page 8: Tugas Makalah Kapita Selekta

sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai

pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi.

Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-

siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang

diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas,

oleh karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena

membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung

untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang

diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu

dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir dapat

dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum

terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas secara riil.

Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara

sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek

lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum

dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah

merupakan "a mini society".

Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana

sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga

dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak

didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi

antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik

nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar

tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.

C. Peran dan Problematika Guru

Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab

merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di

Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan

pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak

bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk

berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat

bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa

keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap

usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan

memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan

tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru

Page 9: Tugas Makalah Kapita Selekta

sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan

pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima

pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu

untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan

tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru.

Permasalahan pendidikan dapat diamati dengan pendekatan macrocosmics dan

microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya

dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas

guru dewasa ini di samping muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-

faktor luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan

guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan

guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen

sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.

Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan

sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan

mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu, dengan materi

bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong

kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan

nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan

kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu dicatat bahwa,

kemampuan metode dalam pengajaran kalau diwujudkan dalam simbol bagaikan angka "0".

Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki

nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang

merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan

materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa

penguasaan bidang studi para guru kalau diwujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10,

terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi.

Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru

dan rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulum yang

mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama

ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP

1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan

kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan

guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa

mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum

pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus

lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan materi bidang

Page 10: Tugas Makalah Kapita Selekta

studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di lingkungan pendidikan guru

didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya, mata kuliah bidang studi jauh berkurang.

lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR

Hasilnya, lulusan pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana

seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di lingkungan

pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi antara penekanan

pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu hasil pendidikan guru masih juga

diragukan, khususnya di bidang penguasaan bidang studi.

Sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan

begitu saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan sebagai

hard profession atau soft profession. Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi yang

berbeda terhadap lembaga dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan

sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan

langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah

menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas

dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah

mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa

pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard

profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam

melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail

dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh

kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan dapat

menghasilkan lulusan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan

kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat

melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu,

lembaga in-service training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan, advokat,

dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini.

Berdasarkan pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession, maka diperlukan

perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu diperluas menjadi

universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas. Apakah ke dalam universitas yang

sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip. Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua

fakultas atau bidang studi di universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang

sudah menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan

mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan demikian, sistem

pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini. Pertama, pendidikan guru adalah

S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan guru tidak inferior dibandingkan dengan

pendidikan ilmu murni. Ketiga, pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas

Page 11: Tugas Makalah Kapita Selekta

dengan mengundang mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan

sangat sedikit mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya

bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing guru.

Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di

masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu

negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau tidak ditimbang

dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan

gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji

tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena

itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah

bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangat mulia dan

terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut diperdengarkan, dan hadirin

terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu

diubah menjadi "Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”. Dengan demikian, kelak tidak hanya

muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo,

simbol kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu kemustahilan,

paling tidak untuk jangka pendek, untuk merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya

bersandarkan kepada anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan

mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau

untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak

bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak

diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru.

Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen

pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan pengambilan

keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan

kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA, menempatkan guru

pada posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas

sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh

karena itu keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang

ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu

apa yang harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru lebih

ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh

instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan keadaan di lapangan. Oleh karena

itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar

mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab

ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.

Dengan pendekatan microcosmics dapat dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat

Page 12: Tugas Makalah Kapita Selekta

tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari

siswa di fihak lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga

harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas tersebut

tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru. Karakteristik pertama

adalah pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative. Kedua, pekerjaan

guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam jangka waktu yang lama. Ketiga, ini

merupakan akibat pertama dan kedua, waktu guru untuk berdialog akademik dengan sesama

guru sangat terbatas. Karakteristik kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang

tidak pernah mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat

meningkatkan kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru.

Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan self-reflection, untuk

mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya.

Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics, menunjukkan

bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model

analisis yang dikembangkan Boediono mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8

kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru

dapat dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang,

kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat

penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok guru: 1)

ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki

dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup,

tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5) ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh

dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang,

tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak

memiliki dedikasi.

Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam

melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan pada

kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu untuk direnungkan

dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru

dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain

yang perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.

Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam melaksanakan proses belajar

mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana dikemukakan di atas: aspek kemampuan,

aspek semangat dan dedikasi, dan aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang

tidak mencakup ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan.

Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan

kemauan yang datang dari fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya

Page 13: Tugas Makalah Kapita Selekta

objek. Untuk pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting.

Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena

masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk

dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme

atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang

mungkin dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self

reflection, lewat action research.

Kemampuan untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan tumbuh subur manakala guru

memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis

yang berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan sama

sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan untuk mengembangkan

sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan. Sekolah, termasuk guru harus

menyusun program dan target kegiatan yang jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa

dan masyarakat. Hasil kerja sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas

oleh orang tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai

konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu,

sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus

dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based

management merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah.

Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab

memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan

meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya.

Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai

dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site based management menuntut

partisipasi dari fihak orang tua siswa dan masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama

berkaitan dengan upaya mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas

mereka dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua

dan sekolah perlu dikembang-suburkan.

Dalam mobilisasi dana pendidikan akan terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan

sekolah lain, sebagai akibat adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa

semakin berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk

memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah barang

tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi anggaran pendidikan

pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Anggaran pemerintah

seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu memobilisasi dana disebabkan

kemampuan orang tua siswa yang rendah.

Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk

Page 14: Tugas Makalah Kapita Selekta

meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang

dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun, seperti

Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai

tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang,

nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran

masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk

Indonesia, adalah bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang

sudah terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam upaya meningkatkan

kemakmuran bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut menyimak

peringatan Task Force on Teaching as a Profession on the Carnegie Forum on Education and the

Economy bahwa "Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua

kebenaran yang fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung

pada keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya, dan

b). kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan tergantung pada keberhasilan

mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan

tanggung jawab yang baru untuk merencanakan sekolah masa depan.

D. Solusi yang bisa di berikan

Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya

manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu

dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru

tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil

keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor,

motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja.

Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni

guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat

bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator

bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam

pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan

agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai

kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar

mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula

jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura.

Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus

senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk

selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk

menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan

Page 15: Tugas Makalah Kapita Selekta

harapan kita semua dapat menjadi guru yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid

menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas

Page 16: Tugas Makalah Kapita Selekta

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kualitas mutu pendidikan di Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan Negara lain.

Hal ini terlihat dari aspek-aspek pendidikan itu sendiri yang realitanya masih belum baik. Hal

tersebut dipengaruhi dengan berbagai factor yang berkaitan dengan situasi dan kondisi bangsa

Indonesia yang memang belum se maju Negara-negara maju yang lain.

Permasalahan pendidikan di Indonesia bisa di generalisasikan menjadi tiga kategori yaitu :

1. Internal in-efficiency,

2. External in-efficiency, dan

3. Ketidakmerataan kesempatan pendidikan.

Permasalahan Guru dapat diamati melalui dua pendekatan. Yaitu :

1. Pendekatan macrocosmics, yaitu permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan

faktor-faktor lain di luar guru. Antara lain: a) penguasaan guru atas bidang studi, b)

penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen

guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h)

dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.

2. Pendekatan microcosmics. Yaitu pengkajian kualitas dan keberhasilan guru dilihat dari

pengaruh kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras

dari siswa di fihak lain

Kemajuan sebuah bangsa tergantung dari kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Dan

kualitas sumber daya manusia akan sangat tergantung dari kualitas pendidikan bangsa tersebut.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi

upaya memajukan bangsa dan Negara Indonesia.

B. Saran

Trend perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial

yang cepat menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Pandangan yang menafsirkan

bahwa pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global.

Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan, a). Bahwa

pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir secara global dan bertindak bersifat

lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis,

tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk

semuanya.

Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan kualifikasi hasil pendidikan juga

akan berubah. Pendidikan dituntut untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu

Page 17: Tugas Makalah Kapita Selekta

pada diri anak didik. Antara lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global

dengan pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang

sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, c)

kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain secara kreatif, d)

meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga

semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih pada learning how to learn, dari pada learning

something.

Sebagai konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan

pendidikannya maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan

kemampuan baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut

pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada dasarnya di

arahkan agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan

kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA :

http://pakguruonline.pendidikan.net/pradigma_pdd_ms_depan_33.html

http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/

Page 18: Tugas Makalah Kapita Selekta

MAKALAH

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

PROBLEMATIKA GURU DI INDONESIA

Disusun Oleh :

Asep Rijwan Suhendi

PAI / VII

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen

Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan di

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah (STAIMAS)

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’Udiyah (STAIMAS)

SUKABUMI

2011 / 2012