kapita selekta alergika

67
ALIF EBOOKS Kapita Selekta Alergika Copy By Dr. H. Abdul Rochman Tuban 2006

Upload: ellandhae

Post on 28-Jun-2015

415 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kapita Selekta Alergika

ALIF EBOOKS

Kapita Selekta

Alergika

Copy By Dr. H. Abdul Rochman Tuban 2006

Page 2: Kapita Selekta Alergika

DAFTAR ISI

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma - Heru Sundaru

Strategi Pencegahan dan Pengobatan Asma, Heru Sundaru

Penatalaksanaan Asma Akut Berat, Nanang Sukarman

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik - Samsuridjal Djauzi

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik - Samsuridjal Djauzi

Alergi I : Inflamasi dan Terapi Kulit Atopik

Alergi 2 : Apa yang terjadi pada bidang alergi

Alergi 3 : One Airway, One Disease

Alergi 4 : Index Terapi Anti Histamin

Alergi 5 : Alergi di Masa Datang

Page 3: Kapita Selekta Alergika

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik 1

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik

Samsuridjal Djauzi

Page 4: Kapita Selekta Alergika

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik 2

1. Manfaat Pengobatan Rinitis Alergik Rinitis alergik merupakan penyakit alergi yang sering dijumpai di masyarakat. Rinitis alergik mengganggu kualitas hidup pasien sehingga pada orang dewasa menurunkan produktivitas. Sedangkan pada siswa penyakit ini menurunkan keberhasilan belajar. Gangguan pada kualitas hidup dapat disebabkan oleh gejala penyakit maupun pemberian pengobatan antihistamin non-sedatif. Gangguan pada kualitas hidup pada pasien rinitis alergik serta perbaikan akibat pengobatan antihistamin dapat dilihat pada gambar 1.(1,2) Penyakit rinitis alergik berkaitan dengan penyakit lain seperti asma, sinusitis, otitis media, dan infeksi saluran napas lain, seperti terlihat pada tabel 1.3 Dengan demikian pengobatan rinitis alergik yang baik akan dapat mencegah atau mengurangi penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rinitis alergik.

2. Pengobatan Rinitis Alergik Berbagai pedoman telah disusun untuk pengobatan rinitis alergik yang pada dasarnya pedoman tersebut berisi : 1. Klasifikasi rinitis alergik 2. Pedoman terapi farmakologis 3. Upaya-upaya untuk menghindari faktor pencetus rinitis alergik WHO membagi rinitis alergik menjadi rinitis alergik intemiten dan persisten. Pembagian ini menggantikan klasifikasi lama yaitu rinitis alergik musiman (seasonal) dan sepanjang tahun (perenial). Rinitis alergik intermiten dan persisten berdasarkan derajatnya dibagi lagi dalam ringan dan sedang-berat. Pengobatan rinitis alergik menurut pembagian ini adalah sebagai berikut :

Page 5: Kapita Selekta Alergika

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik 3

Rinitis alergik intermiten ringan : antihistamin Rinitis alergik intermiten sedang-berat : antihistamin ditambah steroid inhalasi. Pengobatan pada rinitis alergik intermiten dapat dihentikan bila gejala hilang. Rinitis alergik persisten : pengobatan utama adalah steroid inhalasi bila perlu diberikan antihistamin atau steroid oral. (4) Pada pedoman tersebut pengobatan utama rinitis alergik adalah antihistamin dan steroid inhalasi. Antihistamin menghilangkan gejala gatal hidung, bersin dan rinorea tetapi kurang memberikan hasil pada gejala hidung tersumbat. Steroid inhalasi dapat menghilangkan gejala hidung tersumbat. Selain itu perlu dipahami antihistamin bekerja sebagai penghambat histamin sedangkan steroid inhalasi sebagai antiinflamasi.

3. Steroid Inhalasi Dewasa ini tersedia berbagai preparat steroid inhalasi untuk pengobatan rinitis alergik, seperti terlihat pada tabel 2. 5 Pada umumnya steroid inhalasi memerlukan waktu agar dapat bekerja secara efektif. Pada keadaan rinitis alergik akut lebih banyak digunakan antihistamin sedangkan steroid inhalasi digunakan sebagai obat jangka panjang. Pertimbangan pemilihan steroid inhalasi didasarkan pada : 1. Efektivitas 2. Efek samping 3. Harga 4. Kenyamanan Dengan demikian dapat dimengerti berbagai steroid inhalasi dikembangkan untuk memenuhi kriteria di atas.

Page 6: Kapita Selekta Alergika

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik 4

4. Keamanan Terapi Salah satu efek samping yang banyak dibahas adalah pengaruh steroid inhalasi pada terapi rinitis alergik terhadap pertumbuhan anak. Kepedulian mengenai masalah ini dapat dimengerti karena sebagian pasien rinitis alergik berada pada usia anak-anak. Efek samping steroid intranasal di antaranya adalah rasa kering/panas di hidung, epistaksis, mual, sakit kepala 6. 5. Penilaian Hasil Pengobatan Penilaian hasil pengobatan dapat dinilai secara klinis dan laboratorium. Namun demikian persepsi yang kurang tepat dalam pemberian steroid intranasal mengakibatkan hasil yang dicapai kurang sesuai dengan harapan, seperti terlihat pada tabel 3. 7 6. Posisi Intranasal Steroid pada Rinitis Alergik Pengobatan intranasal steroid telah digunakan lebih dari 25 tahun. Obat ini merupakan obat yang penting dalam terapi rinitis alergik. Pengembangan obat intranasal steroid diarahkan untuk meningkatkan kemampuan efek antiinflamasi dan mengurangi efek sistemik. Di samping kenyamanan, bau obat juga perlu dipertimbangkan.6 Selain itu juga dipermasalahkan penggunaan steroid inhalasi pada anak-anak dan wanita hamil. Penelitian mengenai steroid intranasal pada wanita hamil sangat terbatas sehingga belum dapat diambil kesimpulan yang meyakinkan.

Daftar Pustaka 1. Hindmarch, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative properties, assessment of sedation, safety and other side-effects. Clin Experimental Allergy 1999;29(Suppl.3):133-42. 2. Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK. Once-daily fexofenadine HCL improves quality of life and

Page 7: Kapita Selekta Alergika

Peran Kortikosteroid Topikal pada Rinitis Alergik 5

reduces work and activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 1999;83:311-7. 3. Kalliner M. Lemanske R . Rhinitis and asthma. JAMA 1992;268(20): 2807-29. 4. WHO Initiative. Allergy Rhinitis and its Impact on Asthma (draft) 5. Herbert JR, Nolop K, Lutsky BN. Once-daily mometasone furoate aqueous nasal spray (Nasonex) in seasonal allergic rhinitis: an-active and placebo controlled study. Allergy 1996;51:569-76 6. Drugs. Adis International 1992;43(5):760-75 7. Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Pedersen KT. Essensial Rhinitis. Blackwell Science 1995.

Naskah ini merupakan makalah Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001 di Hotel Borobudur 27-28 Desember 2001 yang telah dibukukan. Versi html ini tidak dilengkapi dengan tabel, grafik, atau gambar. Buku dapat anda peroleh di toko-toko buku kedokteran atau langsung di penerbit (Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Naskah ini dilindungi undang-undang. Dilarang mengcopy/menyalin sebagian atau seluruh naskah tanpa seijin penerbit atau penulis. Jakarta, 2001

Page 8: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 1

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999 (dalam bahasa Indonesia)

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi?

Aspek Genetik Penyakit Alergi dan Asma

Protein G dan Faktor Transduksi Sinyal dalam Penyakit Alergi

Pengobatan Simtomatik Inflamasi Alergi

Implikasi Mekanisme Terapi

Dapatkah Kita Mendesain Antihistamin H1 Generasi Ketiga?

Aspek Genetik Penyakit Alergi dan Asma S. Holgate, UK Telah lama diketahui bahwa asma dan penyakit alergi lainnya merupakan penyakit turunan. Studi-studi epidemiologi membuktikan bahwa pada asma dan penyakit alergi lainnya terdapat kelainan genetik yang kompleks, di mana sejumlah gen berinteraksi, baik secara positif maupun negatif dengan lingkungan. Selain sejumlah gen yang menentukan respons imunologik terhadap alergen, seperti MHD tipe II dan gen-gen reseptor sel T, terdapat pula sejumlah gen yang menentukan besarnya manifestasi respons imunologik tersebut, misalnya melalui IgE. Studi-studi yang dilakukan pada sampel dengan hubungan keluarga yang vertikal dan horizontal telah megindikasikan lokasi spesifik pada genom yang mengendalikan reaksi-reaksi di atas, walaupun masih terdapat perdebatan yang seru mengenai kemungkinan hasil yang sama apabila penelitian tersebut dilakukan pada populasi yang lain. Lokasi pada genom yang diduga berperan dalam reaksi inflamasi terletak pada kromosom 1p, 2q, 3q,5q,

Page 9: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 2

6p,11q,12q, 13q,14q, 16p dan 17q. Kesulitan yang harus dihadapi kemudian adalah menentukan lokasi yang spesifik dari gen-gen alergi dan asma, serta menentukan fungsi dan kerja gen–gen tersebut. Cara pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan meneliti mutasi gen spesifik dan peran gen tersebut pada jalur reaksi alergi yang telah diketahui. Melalui cara ini telah ditemukan faktor genetik yang berhubungan dengan timbul dan beratnya serangan asma, di antaranya reseptor [misalnya b 2-adrenergik, CD-28, IL-4r, FCÎ RIb , sitokin (seperti TNF-a ), enzim (seperti 5-LO, NOS, ACE, Chiymase) dan kanal ion (seperti CFTR)]. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan satu molekul yang memiliki peran yang lebih besar dalam menetukan fenotip penyakit. Cara pendekatan yang saat ini cukup menjanjikan adalah kombinasi dari positional cloning dan forward genetics. Walapun setiap kelompok populasi dapat memiliki konstruksi gen yang sama, ternyata ekspresi masing-masing dapat berbeda-beda. Karena itu, dalam melakukan studi genetik sangatlah penting untuk menggunakan beberapa kelompok populasi dari etnik yang berbeda dan dengan jumlah yang adekuat. Ekspresi gen dalam proses penyakit yang kompleks juga tergantung dari interaksinya dengan lingkungan. Karena itu, perlu dikembangkan metode penelitian baru yang dapat menilai bagaimana lingkungan mempengaruhi ekspresi gen sebab asma dan penyakit alergi lainnya merupakan contoh interaksi gen dengan lingkungan yang paling baik . Protein G dan Faktor Transduksi Sinyal dalam Penyakit Alergi W. König, Germany Cetirizine, metabolit hidroksizin yang memiliki gugus hidroksil, merupakan obat golongan antagonis reseptor H1 yang nonsedatif. Telah dibuktikan bahwa cetirizine (CTZ) memiliki efek antiinflamasi yang tidak berhubungan

Page 10: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 3

dengan efek antihistaminnya. Untuk menyelidikinya kami melakukan analisis terhadap pelepasan mediator-mediator inflamasi leukotrien-B4 (LB-4), interleukin-8 (IL-8) dan radikal oksigen dari sel-sel neutrofil dan epitel. Selain itu, aktivitas agregasi trombosit juga diamati. Semua sel yang diteliti dipreinkubasi dengan CTZ (0,01-10m g/ml) dan diaktivasi dengan stimulator-stimulator sel yang sudah dikenal, seperti phorbol myrystate acetate (PMA), sodium fluoride (NaF), trombin, faktor nekrotik tumor-a (TNF-a ) dan interleukin 1b (IL-1b ). Data yang terkumpul menunjukkan bahwa CTZ mempengaruhi pembentukan LB-4 dan aktivitas neutrofil yang teraktivasi. Selain itu, CTZ juga menghambat pelepasan IL-8 dari sel epitel manusia (dari galur A549) dan proses agregasi trombosit. Karena telah diketahui bahwa fungsi-fungsi ini dipengaruhi oleh low molecular weight GTP-binding proteins (LMWGPs), kami mengajukan hipotesis bahwa efek antiinflamasi yang diberikan oleh CTZ terjadi melalui pengaruhnya terhadap LMWGPs. Dengan menggunakan teknik (a -P)-GTP binding blot dan teknik imunoblot kami dapat menunjukkan bahwa CTZ membengaruhi LMWGPs pada GTP binding site-nya. Selain itu, CTZ juga mempengaruhi distribusi intraseluler dari LMWGPs. Studi ini membuktikan bahwa CTZ menghambat proses inflamasi dengan menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi. Interaksi CTZ dengan beberapa jenis LMWGPs menunjukkan adanya efek CTZ pada beberapa jalur transduksi sinyal (signal transduction pathway). Efek CTZ pada sintesis dan pelepasan sitokin jelas diakibatkan oleh perubahan aktivitas transkripsi NF-KB yang dapat terlihat pada sel-sel epitel yang diaktivasi oleh TNF-a . Selain itu, ekspresi VCAM yang terhadap sel-sel endotel diinduksi oleh IL-4 dihambat oleh CTZ. Hal ini menunjukkan efek ekstravasasi eosinofil dan sel T aktif

Page 11: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 4

yang kuat. Efek ini tampaknya tidak tergantung pada NF-KB. Kesimpulannya, cetirizine memiliki efek antiinflamasi yang poten pada berbagai penyakit alergi disebabkan oleh efeknya terhadap beberapa jalur transduksi sinyal sel-sel efektor inflamasi. Pengobatan Simtomatik Inflamasi Alergi A. Campbell, France Inflamasi alergi merupakan proses kompleks yang melibatkan banyak jenis sel dan mediator. Perubahan fenotip dari beberapa sel tertentu dan perubahan dalam reseptor yang diekspresikan, serta mediator yang dilepaskan dapat diamati. Sangatlah sulit mengamati seluruh jalur reaksi sel, tetapi satu aspek yang sangat menarik adalah bagaimana sel-sel mediator inflamasi dapat direkrut dari sirkulasi ke tempat terjadinya inflamasi dan bagaimana sel-sel itu dipertahankan di tempat tersebut. Sel-sel adhesif merupakan komponen yang berpengaruh pada proses ini. Selektin mengendalikan proses inflamasi pada sel endotel. Integrin mempengaruhi adhesi dan diapedesis sel-sel inflamasi melalui sel endotel. Tertahannya sel-sel inflamasi pada sel epitel dipengaruhi oleh kelompok sel imunoglobulin, seperti ICAM-1. Karena itu, terdapat beberapa jalur yang dapat digunakan untuk strategi terapi. Beberapa jenis obat telah dapat mengurangi rekruitmen sel-sel radang. Kortikosteroid telah terbukti dapat mengurangi jumlah sel eosinofil pada saluran napas. Obat ini terikat pada reseptor glukokortikoid yang mengendalikan beberapa protein, termasuk kompleks AP 1 dan NFkB. Tampaknya aktivitas obat ini terjadi melalui penghambatan produksi sitokin yang mengendalikan ekspresi molekul-molekul adhesif. Beberapa antagonis H1 telah terbukti dapat menghambat ekspresi ICAM-1 pada sel-sel epitel melalui mekanisme yang belum jelas, tetapi sangat mungkin melalui hambatan

Page 12: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 5

pada jalur transduksi sinyal. Sampai saat ini satu-satunya antihistamin yang terbukti dapat menghambat ekspresi ICAM-1 pada sel endotel in vivo sehingga berpotensi untuk menghambat rantai-reaksi molekul-molekul adhesif adalah cetirizine. Obat ini tidak saja terbukti menghambat rekrutmen sel-sel inflamasi, tetapi juga dapat mengurangi aktivitas eosinofil, limfosit dan monosit/ Cetirizine, selain memiliki efek antagonis H1, juga memberikan efek antiinflamasi yang poten. Implikasi Mekanisme Terapi J.P. Rihoux, Belgium Penyakit alergi disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan. Kombinasi keduanya menyebabkan reaksi imunologik yang abnormal pada individu yang atopi melalui ketidakseimbangan limfosit Th1 dan Th2, serta sitokinnya. Bebarapa penelitian melaporkan ditemukannya ketidakseimbangan fisiologis Th1 dan Th2 pada masa intrauterin dan kemungkinan terjadinya sensitasi alergi pada masa neonatus. Pada konteks ini IL-4 dan IL-3 mungkin terlibat dalam sensitasi tahap awal. Proses biokimia perubahan IgG menjadi IgE, yang saat ini sedang diteliti secara intensif, merupakan target pengobatan farmakologik yang baik sebagai profilaksis terhadap bayi/anak yang berisiko tinggi terserang asma di kemudian hari. Saat ini terdapat hipotesis yang dikenal sebagai Hygiene Hypothesis yang mengungkapkan bahwa menurunnya toleransi terhadap antigen berhubungan dengan berkurangnya pembentukan koloni enterobakter pada saluran cerna. Mikroflora saluran cerna pada neonatus di negara-negara maju ditandai dengan pembentukan koloni enterobakter yang telambat dan terbentuknya koloni Staphyllococcus aureus dan epidermidis yang abnormal, artinya paparan terhadap LPS yang rendah. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa paparan yang rendah

Page 13: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 6

terhadap LPS berhubungan dengan menurunnya toleransi terhadap antigen dari makanan. Jika teori ini benar, profilaksis terhadap kondisi demikian sangat sulit dilakukan. Apapun mekanisme sensitasi yang terjadi, diperlukan terapi profilaksis baru berdasarkan konsep deviasi imunulogik dan bukan berdasarkan konsep desensitasi. Fenomena penting lain yang berhubungan dengan penyakit alergi pada bayi/anak adalah : 40% bayi/anak yang menderita dermatitis atopik akan terserang asma sebelum berusia 5 tahun. Sangat sulit menghubungkan reaksi alergi yang terjadi di kulit dengan yang terjadi di bronkus. Hipotesis yang dikemukakan adalah terlibatnya dua jenis sel, sel endotel pada kulit dan sel epitel pada bronkus. Pengobatan dengan obat yang menghambat aktivasi kedua jenis sel tersebut merupakan pendekatan terapi yang dapat mencegah manifestasi penyakit alergi. Dapatkah Kita Mendesain Antihistamin H1 Generasi Ketiga? H. Timmerman, Netherlands Antagonis H1 pertama dikenal sebagai antihistamin. Obat golongan ini ditemukan (bukan didesain) pada tahun 1940-1950an. Karena obat ini bukan obat yang didesain, tidak mengejutkan bahwa obat ini tidak selektif sama sekali. Selain memiliki efek antihistamin, obat ini ternyata juga memiliki efek antimuskarinik, antiadrenergik, antiserotoninergik dan anestetik lokal. Namun efek samping yang paling mengganggu adalah konsekuensi antagonisme reseptor H1 pada otak, yaitu efek sedasi. Hal yang cukup mengagumkan adalah obat ini tidak memiliki efek antagonis terhadap reseptor H2. Sejak tahun 1970, reseptor histamin dibagi menjadi reseptor H1 dan H2. Antagonis reseptor H2 (lambung, jantung, susunan saraf pusat) diproduksi berdasarkan struktur histamin. Reseptor histamin H3 ditemukan pada pertengahan 1980-an.

Page 14: Kapita Selekta Alergika

Apa yang Terjadi pada Bidang Alergi 7

Antihistamin H1 juga tidak menunjukkan efek antagonisme H3. Satu-satunya cara cara untuk menghindari efek sedasi yang ditimbulkan oleh antihistamin H1 adalah membuat obat baru yang tidak dapat mencapai susunan saraf pusat (otak). Beberapa usaha yang telah dilakukan, misalnya dengan meningkatkan hidrofilisitas obat yang ada, ternyata tidak berhasil. Ditemukannya obat seperti terfenadine, cetirizine, loratadine, juga terjadi secara kebetulan. Kemudian diketahui kadar obat-obat tersebut pada SSP ternyata lebih rendah. Beberapa obat golongan kedua, khususnya terfenadine, menyebabkan efek samping yang serius pada jantung. Hal ini dapat terlihat pada perubahan gambaran EKG akibat blokade kanal K+. Tapi tidak semua obat generasi kedua ini menyebabkan efek samping tersebut, seperti cetirizine. Dapatkah kita menentukan profil obat antihistamin yang sempurna? Ya. Antihistamin yang sempurna harus bersifat antialergi yang poten, selektif dan tidak mempunyai efek samping pada SSP. Efek antialergi yang ada saat ini masih dapat ditingkatkan. Antagonisme terhadap mediator alergi lain dapat ditambahkan, misalnya terhadap LD4. Selain itu, perlu pula ditambahkan efek antiinflamasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu dipikirkan. Misalnya bagaimanakah komposisi yang diharapkan? Apakah efek antialergi dibuat sama dengan efek antiinflamasinya? Berapakah waktu paruh masing-masing? Dapatkah kita menetukan profil obat antihistamin H1 generasi ketiga yang sempurna? Ya, obat ini harus memiliki efek antagonisme H1 yang sesuai, tidak mencapai SSP, tidak menyebabkan efek samping pada jantung, dan memiliki efek antiinflamasi yang baik.

Page 15: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 1

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999

(dalam bahasa Indonesia)

Indeks Terapi Antihistamin

• Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak

• Perbedaan Profil Metabolik Beberapa Antihistamin

• Pentingnya Pertimbangan Interaksi Obat dalam Terapi

• Beberapa Profil Klinik Obat Antihistamin

Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak G. Kay, USA Associate Professor of Neurology and Psychology Georgetown University School of Medicine Washington USAApakah dampak penyakit alergi pada fungsi otak tanpa memandang jenis antihistamin yang digunakan untuk mengobatinya? Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja

Page 16: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 2

mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang (hobi/liburan). Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik). Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Penyakit alergi dapat mengganggu fungsi otak melalui beberapa mekanisme :

1. Melalui pelepasan mediator imunulogik selama reaksi alergi yang menembus otak dan langsung menghambat fungsi normal.

2. Melalui gangguan tidur ( pada malam hari). 3. Melalui gangguan akibat gejala-gejala yang

ditimbulkan penyakit alergi.

Page 17: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 3

Untunglah dampak yang ditimbulkan oleh penyakit alergi tidak bersifat fatal dan dampaknya pada fungsi otak dapat dihambat dengan penggunaan antihistamin non sedatif yang adekuat.

Perbedaan Profil Metabolik Beberapa Antihistamin J.M. Nicolas, Belgium Product Safety & Metabolism Dept UCB S.A. Pharma Sector BelgiumSebagian besar antihistamin generasi kedua (misalnya terfenadine, ebastine, astemizole dan loratadine) mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensif oleh sitokrom P-450, yang termasuk subfamili CYP3A4. Pada keadaan normal metabolisme lintas pertama yang ekstensif ini mengakibatkan sangat rendahnya bahkan tidak terdeteksinya bentuk primer obat dalam plasma. Beberapa anitihistamin lain seperti cetirizine, fexofenadine dan epinastine mengalami metabolisme yang minimal. Sejak 1989, terfenadine telah dibuktikan dapat menyebabkan aritmia ventrikuler yang fatal jika diberikan bersama-sama dengan ketokonazol. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa anti jamur golongan azol, antibiotik golongan makrolid dan jus anggur dapat menghambat metabolisme terfenadine oleh CYP3A4. Kadar terfenadine yang tinggi memperpanjang potensial aksi kardiomiosit, yang mungkin terjadi melalui penghambatan kanal K, dan mencetuskan irama jantung yang abnormal. Inhibitor CYP3A4 juga menghambat disposisi loratadine, ebastine, mizolastine dan astemizole, tetapi tidak menghambat disposisi cetirizine. Walaupun fexofenadine tidak

Page 18: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 4

mengalami metabolisme oleh CYP3A4, pemberiannya bersama dengan ketokonazol atau eritromisin dapat mempengaruhi bioavalabilitas obat tersebut, hal ini mungkin terjadi pada saat penyerapan obat dalam saluran cerna. Seperti contoh yang terlihat dalam penggunaan terfenadine, golongan antihistamin yang mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensif oleh CYP3A4 dapat menunjukkan efek terapi dan efek samping yang tidak terduga, sebagai akibat dari sangat bervariasinya aktivitas isoenzim CYP3A4. Walupun masih jarang ditemukan, beberapa antihistamin dapat menyebabkan interaksi melalui inhibisi dan induksi enzim-enzim yang memetabolisme obat dan melalui penghambatan aktivitas glikoprotein P. Namun demikian hal ini masih dalam penelitian. Pengalaman dengan terfenadine ini menunjukkan bahwa interaksi obat dengan enzim-enzim metabolisme dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Faktor ini harus menjadi perhatian dalam memilih antihistamin generasi kedua

Pentingnya Pertimbangan Interaksi Obat dalam Terapi C. Barchert, Belgium UZ (University Hospital) Gent BelgiumAntihistamin merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi gejala-gejala alergi. Seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit alergi dan dengan diperkenalkannya antihistamin generasi kedua yang non sedatif, obat ini menjadi salah satu golongan obat yang paling sering diresepkan di negara-negara maju.

Page 19: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 5

Walaupun antihistamin generasi kedua menunjukkan beberapa keuntungan (melebihi antihistamin generasi pertama), obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan aritmia ventrikuler yang fatal dan gangguan irama jantung lainnya. Efek letal ini terjadi akibat penggunaan terfenadine dan astemizole yang melebihi dosis, pada pasien yang memiliki faktor predisposisi dan penggunaannya bersama antibiotik golongan makrolid atau ketokonazol. Hal ini mengakibatkan penarikan terfenadine dan astemizole dari peredaran pada beberapa negara. Hal yang perlu diingat adalah : potensi masing-masing obat untuk menimbulkan efek kardiotoksik yang berbeda satu sama lain. Risiko terjadinya aritmia ventrikuler tidak boleh danggap remeh karena penggunaan obat ini bersama antibiotik golongan makrolid, anti jamur golongan azol, antagonis serotonin, antiaritmia, inhibitor protease HIV sering terjadi. Pengobatan ini dapat diberikan oleh dokter lain dengan indikasi yang berbeda. Selain itu faktor predisposisi seperti pemanjangan interval QT dan hipokalemia mungkin ada tanpa disadari dokter. Pada tahun 1997 majalah Lancet melaporkan terjadinya 10.000 adverse drug reaction dari 17 negara selama 10 tahun (1986-1996). Penelitian yang terfokus pada keamanan reseptor antagonis H1 merekomendasikan antihistamin yang tidak dimetabolisme oleh sitokrom P 450 dan tidak memiliki cara kerja seperti quinidine sebagai obat pilihan pertama untuk mengibati rinitis alergi, konjungtivitis, urtikaria, dan dermatitis atopik. Untuk pengobatan jangka panjang, faktor keamanan harus dipertimbangkan dengan baik.

Kembali ke atas

Page 20: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 6

Beberapa Profil Klinik Obat Antihistamin A. Grant, USA Department of Medicine, Microbiology & Immunology University of Texas Medical Branch, Galveston, Texas, USAHistamin pertama kali diidentifikasi pada tahun 1911. Mediator ini berasal dari sel mast jaringan pada fase awal reaksi alergi dan dari basofil pada fase akhir (lambat) reaksi alergi. Sangatlah penting memberikan terapi yang dapat menghilangkan gejala, baik pada fase awal maupun pada fase lambat reaksi alergi seperti pada rinitis alergi dan urtikaria. Antagonis histamin pertama kali dibuat pada tahun 1937, tetapi pembuatan agen yang berfungsi sebagai obat baru dilakukan pada tahun 1946 dengan diproduksinya difenhidramin dan obat-obat lain yang masih populer sampai sekarang, Namun demikian, obat antihistamin ini dapat berikatan dengan berbagai reseptor H1dan dapat menembus sawar darah-otak, sehingga dapat menyebabkan efek samping yang tidak menguntungkan. Pemilihan obat yang optimal memang sulit dilakukan dan perlu mempertimbangkan banyak faktor. Antihistamin merupakan obat pilihan untuk penyakit alergi seperti rinokonjungtivitis musiman (SAR) dan menahun (PAR), serta urtikaria kronik idiopatik (CIU). Antihistamin dapat meredakan gejala alergi, tetapi menyebabkan efek samping pada susunan saraf pusat berupa efek sedasi dan terganggunya aktivitas psikomotor pada 20% pasien. Pada dua dekade terakhir telah ditemukan antagonis reseptor H1 generasi kedua yang lebih poten dan mempunyai efek samping yang lebih rendah. Di antara obat generasi kedua ini, cetirizine merupakan contoh yang ideal karena memiliki kelebihan dalam kecepatan absorbsi, potensi, spesifisitas terhadap reseptor H1,

Page 21: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 7

lama kerja, metabolisme yang minimal, kemampuan antiinflamasi, dan terbatasnya efek samping. Selain memberikan banyak keuntungan untuk terapi SAR, PAR dan CIU, cetirizine juga terbukti bermanfaat mengurangi gejala-gejala asma. Hal ini telah dibuktikan pada serangan asma yang alami maupun yang diprovokasi. Pada beberapa percobaan eksperimental, dibandingkan efek beberapa antihistamin generasi kedua terhadap bengkak dan kemerahan pada kulit individu dewasa. Obat ini berbeda secara bermakna dalam hal mula kerja, efek supresif pada lesi kulit dan masa kerja. Urutannya adalah sebagai berikut (dari yang paling aktif): cetirizine 10 mg, epinastine 20 mg, terfenadine 60 mg, ebastine 10 mg, fexofenadine 10mg, loratadine 10 mg dan plasebo. Cetirizine menghambat bengkak dan kemerahan pada kulit dalam 1 jam dan memberikan hasil yang paling baik pada 24 jam pertama dibandingkan terapi lainnya. Sebagian besar pasien mengalami reduksi ukuran bengkak dan kemerahan yang diinduksi histamin sebesar 95% atau lebih. Selain efek antagonis H1 nya, cetirizine memiliki efek anti alergi lainnya. Seperti antihistamin generasi kedua lainnya, cetirizine menghambat ekspresi molekul adhesif selama masa inflamasi alergi. Namun yang paling penting adalah cetirizine menghambat pelepasan leukotrien dari leukosit pada tes provokasi dengan alergen. Yang terakhir, cetirizine pada dosis yang tepat mampu menghambat infiltrasi eosinofil ke kulit, hidung, mata dan paru-paru pada reaksi alergi fase lambat pada manusia. Kesimpulannya, cetirizine memiliki efek terapi yang poten dan aman, merupakan obat pilihan untuk CIU, SAR dan PAR pada anak-anak dan dewasa. Efek

Page 22: Kapita Selekta Alergika

Indeks Terapi Antihistamin 8

terapinya pada penderita asma masih dalam penelitian.

Page 23: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 1

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999 (dalam bahasa Indonesia)

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik

Pengalaman Mikrodialisis pada Kulit

Patogenesis Penyakit Inflamasi Kulit

Pengaruh Urtikaria Fisik

Pentingnya Pertimbangan 6 'C' pada Penggunaan Antihistamin

Page 24: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 2

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999 (dalam bahasa Indonesia) Inflamasi dan Terapi pada Kulit AtopikPengalaman Mikrodialisis pada Kulit Patogenesis Penyakit Inflamasi Kulit Pengaruh Urtikaria Fisik Pentingnya Pertimbangan 6 'C' pada Penggunaan Antihistamin Pengalaman Mikrodialisis pada Kulit M Church, UK Kulit adalah organ yang paling mudah tampak dari tubuh kita yang dapat memperlihatkan proses inflamasi dan pengaturan farmakologiknya. Walaupun demikian, secara relatif baru terdapat beberapa penelitian yang mempelajari respons secara kuantitatif dari pembuluh darah kulit terhadap rangsangan inflamasi atau mediator kimiawi yang dapat diukur secara langsung. Pengambilan contoh jaringan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan potongan kulit, tusuk jarum atau dari dasar hisapan luka, tetapi teknik ini sering traumatik untuk digunakan secara berulang-ulang pada kulit manusia. Mikrodialisis menawarkan cara yang relatif atraumatik yang dapat berulang-ulang mengambil contoh cairan jaringan untuk pengukuran langsung terhadap kadar mediator yang sulit dicapai pada kulit. Mikrodialisis mula-mula dikembangkan untuk mengukur neurotrasmiter di otak. Teknik pengambilan ini berdasarkan prinsip bahwa molekul air yang terlarut akan melewati membran dialisis

Page 25: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 3

semipermeabel melalui gradien konsentrasi. Teknik ini telah dilakukan pada kulit, in vivo, untuk melakukan pengukuran zat endogen seperti glukosa dan laktat, histamin, nitrit oksida, nukleotida purin dan neuropeptida seperti substansi P dan peptida yang terangkai gen kalsitonin. Teknik tersebut juga telah sukses digunakan untuk menilai ekstravasasi plasma yang dicetuskan histamin pada kulit yang sehat dan untuk memeriksa distribusi histamin dan mediator lain yang terlibat dalam respons inflamasi yang dicetuskan alergen. Baru-baru ini, sekelompok peneliti telah pula menggunakan mikrodialisis kulit untuk menentukan konsentrasi obat pada kulit setelah pemberian oral atau topikal dan untuk memeriksa pengaturan farmakologik dari respons inflamasi. Penelitian mutakhir pada laboratorium kami misalnya, telah menggunakan alat mikrodialisis kecil dengan batas maksimum yang dapat dilewati 2 kDa berat molekul untuk meneliti pelepasan mediator yang mengikuti suntikan intradermal dari agonis seperti histamin atau bradikinin yang dikombinasikan dengan scanning laser Doppler imaging (scanning LDI) untuk mengukur perubahan pada aliran darah kulit. Pengukuran ini telah digunakan dengan atau tanpa adanya antagonis reseptor H1 yaitu cetirizine. Scanning LDI terhadap respons inflamasi mengungkapkan adanya perbedaan yang bermakna dalam respons permulaan dan yang menetap dari suntikan intradermal histamin (1-3 m M) dan bradikinin (1m M) yang secara bermakna berkurang karena penggunaan cetirizine. Daerah eritema yang dicetuskan histamin berkurang 57 ± 4 % (mean ± sem, n _ , P<0,001) sesudah pemberian cetirizine dan daerah yang mengalami pembengkakan berkurang 73 ± 11% (P<0,009). Respons inflamasi

Page 26: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 4

yang dicetuskan bradikinin juga berkurang dengan pemberian cetirizine, pembengkakannya berkurang 60 ± 16% (P<0,02) dan eritema 61 ± 4% (P<0,005). Pengukuran konsentrasi histamin pada kulit dengan menggunakan mikrodialisis, menegaskan bahwa kadar histamin meningkat dari hasil dialisat yang dikumpulkan dari pembengkakan yang mengikuti penyuntikan histamin. Kadar histamin juga meningkat pada pembengkakan yang dicetuskan bradikinin tetapi tidak pada semua subjek. Konsentrasi histamin tampak sedikit meningkat pada dialisat yang diperiksa dari eritema sesudah penyuntikan histamin atau bradikinin. Pada saat ini, mikrodialisis kulit adalah teknik yang bila dikombinasikan dengan pendekatan percobaan lain dapat digunakan untuk memperoleh banyak keuntungan dalam penelitian penyakit kulit dan pengobatannya. Pada masa yang akan datang, pengembangan alat yang dapat digunakan untuk mengambil contoh dengan berat molekul yang lebih besar akan mampu menjadi alat yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan terhadap mediator inflamasi kulit. Patogenesis Penyakit Inflamasi Kulit W. Aberer, Austria DA adalah penyakit kompleks yang prevalensinya terus meningkat di dunia. Penyakit ini ditandai dengan rasa gatal disertai bercak kemerahan ( bukan bercak kemerahan yang disertai gatal) karena itu penatalaksanaan yang dilakukan haruslah berorientasi pada pencegahan faktor-faktor yang mencetuskan rasa gatal tersebut, seperti panas, kelembaban , keringat, alergen makanan dan paparan terhadap tungau debu, serbuk tanaman dan bulu binatang. Penelitian menunjukkan bahwa patgenesis DA

Page 27: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 5

sangat kompleks: perubahan ekspresi reseptor antigen sel langerhans epidermal dapat menyebabkan terpaparnya antigen lingkungan pada kulit, Ketidakseimbangan aktivitas Th1 dan Th2 Helper Limfosit T menyebabkan dilepaskannya mediator inflamasi dan penarikan eosinofil sehingga terjadi likenifikasi dan fibrosis. Berbeda dengan DA dimana terjadi eksim yang gatal, pada urtikaria terjadi eritema dan urtika/angioedema. Pruritus merupakan gejala umum yang dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme dan beberapa sel mediator. Histamin merupakan mediator yang paling penting, karena itu histamin merupakan target utama pengobatan.Pemberian antihistamin pada pasien DA, selain menyebabkan inhibisi pada reseptor H1 juga menghambat migrasi eosinofil ke kulit, kemungkinan dengan cara menghambat ekspresi VCAM-1. Manfaat ini tidak dapat diberikan oleh antihistamin untuk pengobatan maupun pencegahan urtikaria Pengaruh Urtikaria Fisik B. Henz, Germany Urtikaria fisik didefinisikan sebagai reaksi pembengkakan yang lokal atau menyeluruh yang timbul akibat kontak kulit dengan rangsangan mekanik (urtikaria dermografisme, urtikaria tekanan, angioedema getaran), yang berubah dengan temperatur (urtikaria dingin, urtikaria panas, urtikaria kolinergik), atau pada pajanan dengan gelombang elektromagnetik (urtikaria solaris). Hampir 50 % dari semua tipe urtikaria kronik, mungkin dapat dihubungkan dengan atopi, jarang dihubungkan dengan faktor genetik atau penyakit tertentu, dan mungkin timbul berhubungan dengan urtikaria kronik atau tipe yang berbeda dari urtikaria fisik. Penyakit ini berkembang dari penyebab yang sebagian besar

Page 28: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 6

tidak diketahui terutama pada kehidupan dewasa muda awal, terus-menerus untuk lama waktu yang bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun, dan hilang secara spontan lagi. Lesinya sebagian besar cepat hilang, timbul segera dan hilang dalam waktu satu jam. Bentuk lesi berhubungan dengan daerah kontak atau menggambarkan bengkak berukuran kecil (pinpoint) yang tergantung refleks dari tipe lesi. Mediator tipe cepat yang dilepaskan dari sel mast berpengaruh dalam patogenesis dan sesuai dengan antihistamin H1 yang merupakan pilihan terapi. Pengecualian pada urtikaria tekanan tipe lambat dan sekitar setengah dari kasus urtikaria panas yang hanya agen antiinflamasi poten seperti kortikosteroid yang dapat efektif. Penggandaan dosis antihistamin mungkin diperlukan pada kasus berat urtikaria kolinergik. Pemberian secara bertahap dosis pajanan tertentu hingga tercapai toleransi dapat membantu pada urtikaria solaris (pengobatan PUVA) atau pada urtikaria karena dingin. Lebih dari separuh pasien dengan urtikaria dingin memberikan respons pengobatan dengan antibiotik, menunjukkan adanya kemungkinan penyakit infeksi yang mendasarinya. Pentingnya Pertimbangan 6 'C' pada Penggunaan Antihistamin M. Tharp, USA Antihistamin sangat sering digunakan untuk mengobati pasien dengan urtikaria, angioedema dan penyakit alergi pada saluran napas. Dalam menggunakan antihistamin diperlukan pertimbangan terhdap 6’c’ (Compliance/jepatuhan, cure/efektivitas, complications/komplikasi, caution/kemungkinan interaksi obat, cost/biaya dan Comprehensiveness/pemahaman) Compliance: Antihistamin generasi pertama terbukti

Page 29: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 7

bermanfaat dalam penanganan urtikaria/angioedema, sayangnya terdapat kekurangan berupa pendeknya masa kerja dan terdapatnya efek samping sedasi. Antihistamin generasi kedua seperti memberikan efek terapi yang lebih baik, yaitu half-life nya lebih panjang dan tidak menunjukkan efek sedasi. Cure : Antihistamin tidak menyembuhkan penyakit alergi tetapi menghilangkan gejala urtikaria. Hal ini mengindikasikan pentingnya peran histamin dalam patofisiologi urtikaria. Pada studi tersamar ganda (dibandingkan dengan plasebo). Ceterazine terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan Hydroxyzine dan terfenadine, lebih efektif daripada asetamizole dalam pengobatan urtikaria. Complication : Antihistamin generasi kedua menyebabkan lebih sedikit rasa lelah, sakit kepala dan dan mulut kering dibandingkan genersi pertama. Namun demikian Terfenadine dan asetamizole (generasi kedua) dapat menyebabkan pemanjangan interval QT yang dapat berakhir pada aritmia jantung bila digunakan dalam dosis yang tinggi atau digunakan bersama-sama dengan antibiotik makrolid, antijamur imidazol dan quinine. Namun efek ini tidak terlihat pada cetirizine, loratadine dan fexofenadine. Caution : Cetirizine dan fexofenadine merupakan metabolit dari Hydroxizyne dan terfenadine sehingga sedikit atau tidak mengalami metabolisme metabolisme. Karena itu kenungkinan terjadinya interaksi obat sangatlah kecil. Cetirizine dan fexofenadine kini diakui sebagai antihistamin generasi kedua yang paling aman. Cost : Karena efektivitas, keamanan dan compliance/kepatuhan pasien merupakan hal yang paling penting, biaya yang dikeluarkan menjadi pertimbangan kedua

Page 30: Kapita Selekta Alergika

Inflamasi dan Terapi pada Kulit Atopik 8

Comprehensiveness : Antihistamin dapat digunakan untuk mengobati penyakit lain. Dalam dermatologi antihistamin sring digunakan untuk mengurangi rasa gatal pada DA, dermatitis kontak, dermatitis numularis dan psoriasis. Penelitian menunjukkan bahwa cetirizine dapat menghambat migrasi netrofil dan eosinofil ke kulit dan hidung ( menunjukkan efek anti histamin dan anti inflamasi). Jika efek antiinflamasi ini terbukti secara bermakna maka cetirizine dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit dimana terjadi infiltersi sel-sel polimorfonukleus seperti psoriasis, DA, Auto-imun blistering disease dan gangren. Jika kita memperhatikan 6 c diatas maka akan terlihat bahwa antihistamin generasi kedua lebih unggul daripada generasi pertama dan diantara antihistamin generasi kedua cetirizine merupakan pilihan yang paling efektif dan aman untuk mengobati penyakit-penyakit kulit.

Page 31: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 1

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik

Samsuridjal Djauzi

Page 32: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 2

Penyakit alergi saluran napas baik rinitis alergik maupun asma merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Rinitis alergik lebih sering dijumpai dengan kekerapan berkisar antara 20 sampai 30 % sedangkan Asma sekitar 3,8 sampai 6,9 %.(1) Baik rinitis alergik maupun asma menimbulkan dampak pada kualitas hidup pasien. Dampak terhadap kualitas hidup ini dapat disebabkan oleh penyakit secara langsung, akibat penyulit yang timbul dan penggunaan obat. Masalah kualitas hidup pasien dewasa ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena penatalaksanaan penyakit diharapkan tidak hanya menghilangkan gejala tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup. Untuk menilai kualitas hidup pasien pada penyakit alergi saluran napas telah dikembangkan berbagai tolok ukur di antaranya kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjungtivitis menyeluruh (overall rhinoconjunctivitis quality of life questionaire system score), kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas kerja spesifik alergi. Kuesioner pertama menilai pengaruh penyakit rinitis alergik terhadap 7 bidang sedangkan tolok ukur kedua menilai pengaruh penyakit terhadap kemampuan kerja dan kegiatan sehari-hari. Penilaian gangguan kerja meliputi persentase waktu kerja yang hilang serta persentase gangguan kerja (produktivitas). Untuk mengukur gangguan kualitas hidup di sekolah biasanya digunakan modifikasi kuesioner gangguan di tempat kerja.(2) Pengaruh Alergi Saluran Napas Terhadap Kualitas Hidup Rinitis alergik menimbulkan gejala hidung gatal, bersin, pilek, hidung tersumbat, dan gangguan penciuman. Sedangkan asma dapat menimbulkan gejala sesak dan batuk. Pada keadaan serangan asma berat gejala dapat disertai dengan debar-debar, gelisah dan gangguan bicara bahkan mungkin juga terjadi gangguan kesadaran. Menurut Sundaru sekitar 73,4% pasien yang berobat ke

Page 33: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 3

dokter umum tergolong asma ringan, 17,3% asma sedang, dan hanya 9,3% asma berat.(3) Rinitis alergik yang tidak diobati dengan baik dapat mempengaruhi gejala asma. Selain itu rinitis alergik dapat disertai oleh sinusitis, polip hidung, otitis media dan gangguan kraniofasial. Pada rinitis alergik terjadi penebalan mukosa sinus. Kekerapan sinusitis pada pasien atopi (25-30 %) lebih tinggi daripada non-atopi (14-17 %). Pada anak sekitar tiga perempat sinusitis disertai rinitis alergik.(4) Sinusitis lebih sering pada rinitis alergik mungkin disebabkan oleh penebalan mukosa sinus dan ostia, gangguan bersihan mukosilier dan sumbatan sekret yang dapat merupakan medium untuk pertumbuhan bakteri. Dengan timbulnya sinusitis maka gejala yang dirasakan pasien menjadi lebih banyak dan lebih berat. Di Amerika Serikat kehilangan hari kerja akibat rinitis alergik sekitar 3,4 juta sedangkan angka kehilangan hari sekolah sekitar 1-2 juta. Kerugian akibat kehilangan hari kerja diperhitungkan mencapai 150 juta dolar Amerika setiap tahun.(2) Menyadari dampak yang cukup besar alergi saluran napas terhadap kualitas hidup serta tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan maka perlu dirancang penatalaksanaan penyakit alergi saluran napas yang dapat mencapai keberhasilan pengobatan tinggi, cost efective, serta memperhatikan kualitas hidup pasien.

Prinsip Terapi Alergi Saluran Napas Terapi farmakologis alergi saluran napas bertujuan untuk menghilangkan gejala penyakit dan menghentikan inflamasi alergi. Peran inflamasi alergi dalam patogenesis penyakit alergi saluran napas semakin disadari sehingga obat anti-inflamasi merupakan dasar terapi farmakologis. Sedangkan obat penghilang gejala digunakan pada saat

Page 34: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 4

diperlukan. Pemberian obat antihistamin dapat mengurangi gejala rinitis alergik. Antihistamin bermanfaat untuk menghilangkan gejala alergi tipe cepat pada rinitis alergik seperti rasa gatal dihidung, pilek, bersin tetapi rasa hidung tersumbat lebih efektif dihilangkan dengan obat steroid lokal. Namun antihistamin generasi pertama reseptor H1 antagonis dapat menembus sawar otak sehingga menimbulkan rasa mengantuk. Penggunaan obat antihistamin generasi pertama dengan demikian juga dapat mengakibatkan hilangnya hari kerja dan hari sekolah akibat pasien perlu istirahat di rumah. Melalui uji kinerja psikomotor, kecepatan koordinasi sensori motor, pemprosesan informasi dan keterampilan sensorik. Skema pemprosesan informasi dapat dilihat pada gambar 1. (5) Pengukuran kinerja selama penggunaan antihistamin dapat dilihat pada tabel 1. Melalui seperangkat alat ukur didapatkan hanya beberapa antihistamin yang mempunyai rasio risiko/manfaat yang 0 yaitu astemizol (10-60 mg), ebastin (10-30 mg), feksofenadin (80-240 mg), levokabastin (0,5-2,0 mg) dan telemastin (200 mg). Astemizol meski efek sedatifnya amat ringan karena mempunyai risiko kardiotoksik di beberapa negara telah dicabut izin beredarnya. Penggunaan antihistamin generasi kedua dapat mencegah efek samping sedatif. Dengan demikian penggunaan obat ini dapat meningkatkan kualitas hidup pasien karena gejala dapat dihilangkan tetapi pasien tetap produktif. Meltzer melaporkan terdapat perbedaan yang bermakna dalam RQLQ menyeluruh dan individu akibat penggunaan obat feksofenadin seperti terlihat pada gambar 2.(6) Penggunaan feksofenadin ternyata juga dapat memperbaiki gangguan kerja, aktivitas sehari-hari dan sekolah seperti terlihat pada gambar 3.(6) Tanner dkk dengan menggunakan penelitian multisenter yang meliputi 1948 subyek penelitian mendapatkan

Page 35: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 5

perbaikan hasil RQLQ, WPAI AS, dan WPAI Classroom Impairment menemukan perbaikan pada minggu I dan minggu II pengobatan.(2) Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Rinitis Alergik dan Asma Meski penyakit asma dianggap lebih berat daripada penyakit rinitis alergik tetapi ditinjau dari kualitas hidup pasien, rinitis alergik menimbulkan gangguan kualitas hidup yang bermakna seperti dilaporkan oleh Bousquet, tabel 2. (7) Pada pengobatan asma selain obat bronkodilator perlu digunakan steroid topikal untuk menghentikan inflamasi alergik. Pemberian bronkodilator saja dapat mengurangi gejala asma namun dalam jangka panjang tidak menghentikan proses inflamasi kronik yang dapat mengakibatkan remodeling saluran napas. Karena itu pengunaan obat steroid topikal (inhalasi) merupakan obat dasar dalam pengobatan asma.

Kesimpulan Penyakit alergi saluran napas baik rinitis alergik maupun asma mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dampak terhadap kualitas hidup ini dapat disebabkan oleh penyakit, komplikasi, maupun akibat pengobatan. Antihistamin generasi pertama umumnya menunjukkan efek samping sedatif sedangkan antihistamin generasi kedua meski dianggap non-sedatif sebenarnya mempunyai indeks yang berbeda-beda. Dampak kualitas hidup rinitis alergik dalam beberapa hal lebih besar daripada asma. Pengobatan asma perlu mempertimbangkan proses inflamasi kronik dan proses itu dapat dihambat dengan steroid inhalasi.

Page 36: Kapita Selekta Alergika

Kualitas Hidup pada Pasien Rinitis Alergik 6

Daftar Pustaka 1. Heru S, Nanang S, Iwan BI, Karnen GB. Penelitian asma dewasa di Kelurahan Utan Kayu Selatan. Seminar Kualitas Hidup di Perkotaan. Aspek Penyakit Alergi. Pokja Imunologi FKUI, Jakarta 1990. 2. Tanner LA, Reilly M, Meltzer EO, Bradford JE, Mason J. Effect of fexofenadine HCL on quality of life and work, classroom, and daily activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. The American Journal of Managed Care 1999;5(4):S235-47. 3. Heru S. Gambaran penatalaksanaan asma di praktek umum. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 1995;1:65-8. 4. Mahakit P, Pumhirun P. A preliminary study of nasal mucociliary clearance in smokers, sinusitis, and allergic rhinitis patients. Asian Pac J Allergy Immunol 1995;13(2):119-21. 5. Hindmarch, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative properties, assessment of sedation, safety and other side-effects. Clinical and experimental allergy 1999;29(Suppl.3):133-42. 6. Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK. Once-daily fexofenadine HCL improves quality of life and reduces work and activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 1999;83:311-7. 7. Passalacqua G, Bousquet J, Bachert C, et al. The clinical safety of H1 receptor antagonists. An EAACI position paper. Allergy 1996;51:666-75.

Naskah ini merupakan makalah Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001 di Hotel Borobudur 27-28 Desember 2001 yang telah dibukukan. Versi html ini tidak dilengkapi dengan tabel, grafik, atau gambar. Buku dapat anda peroleh di toko-toko buku kedokteran atau langsung di penerbit (Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Naskah ini dilindungi undang-undang. Dilarang mengcopy/menyalin sebagian atau seluruh naskah tanpa seijin penerbit atau penulis. Jakarta, 2001

Page 37: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 1

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999 (dalam bahasa Indonesia)

One Airway, One Disease Apa yang terjadi pada hidung yang alergi

Peranan Inflamasi pada Saluran Napas

Inflamasi Minimal Persisten (MPI) dan Relevansi Kliniknya

Perspektif Baru dalam Penatalaksanaan Asma

Page 38: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 2

Apa yang terjadi pada hidung yang alergi ? D.Y. Wang, Singapore Department of Otolaryngology, The National University of Singapore, Singapore Gejala khas rinitis alergik adalah rasa gatal, bersin-bersin, timbulnya ingus yang encer dan sumbatan hidung. Kadang-kadang terdapat pula rasa gatal pada palatum mole, tenggorokan, mata, dan terjadi pula konjungtivitis dan pembengkakan di sekitar mata. Serangan ini dapat terjadi secara musiman atau menahun, walaupun pada tipe yang menahun dapat terjadi eksaserbasi akut. Sekarang telah dibuktikan bahwa pada rinitis alergik terjadi peradangan pada mukosa hidung. Patofisiologi terjadinya rinitis alergik merupakan proses yang kompleks yang melibatkan berbagai jenis sel, mediator inflamasi, sitokine dan molekul adhesif. Pada tingkat seluler, mekanisme reaksi alergik terjadi melalui beberapa tahap : (a) alergen udara terdeposit pada hidung dan berinteraksi dengan IgE yang terikat kuat pada sel mast dan terikat lemah pada limfosit T, sel Langerhans dan eosinofil. (b) Terikatnya alergen pada IgE menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan terjadinya pelepasan sel-sel mediator inflamasi seperti histamin, heparin, triptase, dan beberapa faktor kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Histamin, mediator pertama yang ditemukan, merupakan mediator inflamasi paling penting dalam rinitis alergik. Mediator ini bekerja dengan menstimulasi reseptor H1 dan H2 pada saraf sensorik, kelenjar dan pembuluh darah sehingga menyebabkan bersin-bersin, rasa gatal, timbulnya ingus dan hidung tersumbat. Selain itu histamin juga menimbulkan peradangan melalui stimulasi ekspresi molekul adhesif endotel dan melalui pelepasan sitokin. Mediator yang berasal dari lipid membran seperti asam arakidonat dan metabolitnya (prostaglandin dan leukotrien)

Page 39: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 3

dan Platelet Activating factor (PAF) juga berperan dalam proses peradangan akibat reaksi alergi. Terjadinya rasa gatal dan bersin-bersin dapat terjadi dalam 30 detik setelah hidung terpapar alergen. Konsentrasi maksimal histamin terjadi dalam waktu 1 menit, triptase dan LTC4 masing-masing terjadi dalam waktu 5 menit setelah paparan alergen pada hidung. © Pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, dan konstituen granular dari sel mast dan sel radang lain (limfosit dan makrofag) dapat secara langsung menyebabkan inflamasi atau dengan mengaktifkan endotel vaskular lokal yang dapat meningkatkan penarikan leukosit melalui ekspresi molekul adhesif. Terakumulasinya leukosit, aktivasi leukosit, terjadinya edema dan vasodilatasi ini disebut reaksi fase lambat yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah terjadinya paparan terhadap alergen. Dua obat yang paling sering digunakan dan terbukti efektif untuk rinitis alergik adalah antihistamin dan kortikosteroid topikal. Penggunaan antihistamin generasi kedua seperti cetirizine yang bersifat lebih spesifik terhadap reseptor histamin, menghasilkan efektivitas terapi yang lebih baik dan pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup pasien. Selain itu cetirizine juga terbukti aman karena mengalami metabolisme yang minimal, distribusinya ke dalam sel lebih rendah, kemungkinan terjadinya interaksi obat lebih rendah sehingga memperkecil efek kardiotoksik. Karena itu obat ini merupakan pilihan obat yang baik untuk mengobati pasien dengan rinitis alergik.

Peranan Inflamasi pada Saluran Napas R. Leung, Hong Kong Associate Professor, Department of Medicine, Prince of Wales Hospital, The Chinese Unversity, Hong Kong

Page 40: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 4

Inflamasi saluran napas kronik merupakan dasar patologis terjadinya rinitis alergik dan asma bronkial. Kedua kondisi ini sering terjadi pada 1 individu. Penelitian yang dilakukan pada 125 orang dewasa muda dan 348 orang dewasa menunjukkan bahwa 99 % individu dengan asma alergik dan 78 % individu dengan asma non-alergik juga menderita rinitis alergik. Pada lebih 70% asma, gejala-gejala kelainan saluran napas atas terjadi sebelum atau bersama-sama dengan terjadinya serangan asma. Frekuensi terjadinya serangan asma lebih tinggi pada anak anak yang menderita asma dan rinitis alergik dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menderita asma. Karena itu alergi pada saluran napas harus dianggap sebagai penyakit inflamasi kronik yang melibatkan seluruh saluran napas. Proses inflamasi yang terjadi pada hidung sangat menyerupai proses yang terjadi pada saluran napas bawah penderita asma. Proses ini ditandai dengan infiltrasi sel-sel limfosit T, sel mast dan eosinofil. Sel-sel inflamasi ini mensintesis dan melepaskan sejumlah sitokin yang juga berperan dalam proses inflamasi. Di antara beberapa sel efektor, eosinofil berperan penting pada reaksi fase lambat. Pada serangan akut asma, terjadi peningkatan IL 3, IL 5 dan GM-CSF yang kemudian berperan dalam penarikan dan infiltrasi eosinofil.Sel-sel epitel mukosa mengekspresikan sejumlah molekul adhesif termasuk ICAM-1, yang merupakan ligan dari LFA-1 yang terdapat pada permukaan sel eosinofil. Setelah paparan terhadap alergen, reaksi fase cepat dan lambat dapat dilihat pada hidung dan saluran napas bawah pasien penderita rinitis alergik dan asma. Provokasi alergen pada hidung terbukti dapat menyebabkan hipereaktivitas bronkus. Obat yang dapat menghambat proses inflamasi merupakan terapi yang efektif untuk mengobati rinitis alergik dan asma. Kortikosteroid topikal telah terbukti dapat mengurangi infiltrasi sel-sel radang, menghambat kerja sitokin sehingga pada akhirnya dapat mengurangi gejala

Page 41: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 5

yang mengganggu.Terapi rinitis alergik dengan kortikosteroid topikal ternyata juga mengurangi gejala-gejala asma. Antihistamin sangat efektif mengurangi gejala-gejala pada hidung dan dapat menghambat bronkokonstriksi yang disebabkan histamin. Antagonis H1 generasi kedua ternyata dapat mengurangi pelepasan mediator inflamasi dan menghambat ekspresi ICAM-1 pada sel epitel sehingga bermanfaat unutk mengatasi gejala inflamasi saluran napas. Terapi cetirizine memberikan keuntungan berupa penurunan hipereaktivitas bronkus terhadap metakolin secara bermakna, penghambatan ICAM-1 pada sel epitel hidung selama terjadinya inflamasi persisten minimal dan penghambatan penarikan eosinofil pada saluran napas penderita asma.

Inflamasi Minimal Persisten (IMP) dan Relevansi Kliniknya W. Canonica, Italy University of Genova, Italy Penelitian terbaru menunjukkan bahwa peran penting dari molekul adhesiff selama reaksi alergi asalah penarikan dan aktivasi sel-sel radang. Ekspresi ICAM-1 (InterCellular Adhesion Molecule) pada sel epitel hidung berperan melalui dua mekanisme patologis. Pertama dengan memfasilitasi infiltrasi leukosit pada mukosa saluran napas. Hal ini penting karena pada pasien yang alergi terhadap tungau, akan terjadi inflamasi minimal yang persisten (IMP) pada hidung dan konjungtiva akibat pemaparan alergen yang terus menerus. Hal ini ditandai dengan adanya infiltrasi leukosit dan ekspresi ICAM-1 pada sel epitel dan dengan adanya hubungan antara hipereaktivitas spesifik dan non-spesifik tanpa adanya gejala klinis.

Page 42: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 6

Kedua, ICAM-1 merupakan reseptor human rhinovirus. Kenyataan ini dapat menerangkan hubungan antara alergi, infeksi virus, dan serangan asma. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek terapi anti alergi terhadap beberapa aspek klinik dari IMP. Telah dibuktikan bahwa cetirizine dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada sel epitel hidung dan hipereaktivitas konjungtiva nonspesifik pada anak asma asimtomatik dengan IMP. Pengobatan secara kontinyu lebih bermanfaat dalam mengurangi gejala-gejala peradangan dibandingkan pengobatan secara simtomatik. Walaupun pengobatan simtomatik dapat menghilangkan gejala peradangan tetapi cara ini tidak dapat menghambat proses peradangan yang menyebabkan timbulnya gejala tersebut. Kesimpulannya, pengobatan yang ideal untuk mengobati alergi terhadap tungau seharusnya juga ditujukan untuk mengatasi IMP. Walupun hal ini belum sepenuhnya dapat dihasilkan oleh pengobatan yang kontinyu, pemberian cetirizine secara kontinyu dapat mencegah terjadinya infiltrasi sel-sel radang, sehingga dapat mengurangi gejala yang timbul. Karena keuntungan ini cetirizine direkomendasikan sebagai obat terpilih untuk mengobati alergi secara kontinyu.

Perspektif Baru dalam Penatalaksanaan Asma M. Aubier, France Hospital Bichat, Faculte Xavier Bichat, Paris, France Pada asma, hubungan antara inflamasi saluran napas dan hipereaktivitas telah lama diketahui. Namun demikian hubungan patologis antara rinitis alergik dengan reaktivitas bronkus masih belum dapat dijelaskan dengan sempurna. Peradangan pada hidung dapat memperburuk serangan asma melalui beberapa mekanisme. Walupun tidak

Page 43: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 7

menyebabkan penyempitan saluran napas bagian bawah, inflamasi pada hidung dapat meningkatkan hipereaktivitas bronkus. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi yang tidak terkontrol dengan tercetusnya atau memburuknya serangan asma. Paparan alergen pada hidung dapat menyebabkan terjadinya pelepasan mediator-mediator yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Post nasal drip juga dapat merangsang kontraksi otot polos bronkus dan dapat menyebabkan inflamasi pada saluran napas bawah. Pernapasan melalui mulut sebagai sumbatan hidung juga dapat memperberat serangan asma. Terdapatnya fenomena bahwa pengobatan rinitis alergik dapat pula menghilangkan gejala asma telah menimbulkan inspirasi untuk meneliti hubungan kedua penyakit ini. Terapi kortikosteroid topikal pada rinitis alergik ternyata mengurangi gejala asma : gejala berkurang, hasil tes fungsi paru membaik, hipereaktivitas bronkus menurun. Terapi jenis ini lebih menguntungkan, karena dibandingkan dengan terapi kortikosteroid inhalasi, terapi jenis ini memberikan efek samping yang lebih sedikit. Grant dkk membuktikan bahwa pemberian cetirizine 10 mg/hari dapat mengurangi gejala-gejala pada saluran napas atas dan bawah. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa pemberian cetirizine 10 mg dapat menurunkan hipereaktivitas bronkus terhadap metakolin 6 jam setelah provokasi dengan alergen. Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian antagonis H1 dapat mengurangi frekuensi penggunaan kortikosteroid topikal pada penderita asma bronkial kronik. Berdasarkan uraian di atas saluran napas atas dan bawah haruslah dianggap sebagai satu kesatuan. Rinitis alergik sangat berhubungan dan merupakan faktor resiko bagi timbulnya serangan asma. Pengobatan rinitis alergik dapat menggunakan obat yang sama (misalnya kortikosteroid),

Page 44: Kapita Selekta Alergika

One Airway, One Disease 8

dapat pula berbeda ( misalnya agonis a dan b adrenergik). Pengobatan rinitis alergik yang optimal dapat mengurangi sebagian gejala-gejala asma.

Page 45: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 1

Penatalaksanaan Asma Akut Berat

dr. Nanang Sukmana Sp.PD Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit

Dalam FKUI/RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta

Asma akut adalah memburuknya gejala asma yang berupa sesak, batuk, mengi, atau perasaan tertekan di dada. Gejala ini ditandai dengan menurunnya aliran udara ekspirasi yang dapat diukur dengan spirometri atau PFM. Pengukuran tersebut lebih dapat dipercaya dibanding gejala asmanya sendiri. Seringnya serangan asma menggambarkan tidak baiknya penatalaksanaan jangka panjang atau pasien sering terpajan faktor pencetus. Derajat beratnya bervariasi. Perburukan dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari, tetapi dapat pula berlangsung dalam beberapa menit. Angka kematian yang tinggi berhubungan dengan tidak tepat dan cepatnya penatalaksanaan asma akut. Klasifikasi beratnya asma akut.

Ringan Sedang

Sesak berjalan dapat berbaring lebih suka duduk

Cara bicara beberapa kalimat satu kalimat

Kesadaran mungkin gelisah umumnya gelisa

Frekuensi napas Meningkat meningkat

Retraksi otot bantu napas biasanya tidak ada biasanya ada

Page 46: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 2

Mengi ringan-sedang keras

APE% terhadap standar (sesudah terapi)

> 70 – 80% 50 – 70%

PO2 normal (tes biasanya tidak diperlukan)

> 60 mmHg

PCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg

SO2 > 95% 91 – 95%

Penilaian serangan menentukan rencana pengobatan. Gejala yang ada pada berbagai tingkat tidak selalu lengkap. Jika terapi awal tidak memberikan respons atau serangan memburuk dengan cepat atau mempunyai risiko tinggi seperti infeksi atau usia lanjut, pasien dimasukkan pada derajat asma yang lebih berat. Tujuan terapi asma akut adalah: Membebaskan obstruksi jalan napas secepat mungkin Membebaskan hipoksemia Mengembalikan fungsi paru senormal mungkin dengan cepat Menghindari kekambuhan di masa datang Merencanakan tindakan secara tertulis bila terjadi serangan berikutnya.

Penatalaksanaan Asma Akut di Instalasi Gawat Darurat Semua pasien asma yang berobat ke instalasi gawat darurat harus dinilai derajat beratnya asma sesuai dengan klasifikasi. Umumnya pasien asma yang datang ke ruang gawat darurat telah mencoba obat yang rutin dipakai atau telah diberikan pengobatan oleh sejawat sebelumnya,

Page 47: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 3

sehingga setiap pasien asma yang datang ke gawat darurat harus dianggap berat karena keadaan ini dapat mengancam nyawa. Tatalaksana di instalasi gawat darurat: Pemberian oksigen (saturasi > 90%) Inhalasi agonis b -2 dengan nebulizer, tiap dosis dapat diulang 20 menit untuk satu jam pertama. Dapat diberikan bersama-sama dengan antikolinergik (ipatropium bromida) pada asma derajat berat. Steroid sistemik diberikan bila tidak ada respons terhadap pengobatan dengan nebulasi agonis b -2, atau bila pasien telah mendapat steroid oral sebelumnya, atau pasien termasuk asma akut derajat berat. Bolus aminofilin intravena yang dilanjutkan dengan drip dapat diberikan pada pasien dengan serangan asma akut derajat berat. Penilaian di IGD: A. Bila dalam waktu 1 - 2 jam ada perbaikan sesuai dengan kriteria, pasien dapat meninggalkan instalasi gawat darurat. Kriteria pemulangan tersebut yaitu: Pemeriksaan jasmani terdapat perbaikan Respons pengobatan baik (APE > 70%) Respons menetap paling tidak 60 menit setelah pemberian bronkodilator terakhir. Dalam upaya penilaian tersebut pasien dapat diobservasi 1 - 3 jam kemudian dengan pemberian agonis b -2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan sebagai berikut (untuk 3 - 5 hari): Inhalasi agonis b -2 diteruskan Steroid oral diteruskan Penyuluhan dan pengobatan lanjutan Antibiotika diberikan bila ada indikasi Perjanjian kontrol berobat.

Page 48: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 4

B. Bila setelah observasi 1 - 2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan risiko tinggi, pemeriksaan jasmani tambah berat, APE > 50% dan < 70% atau tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisis gas darah), pasien harus dirawat. Semua penderita yang masuk instalasi gawat darurat perlu diidentifikasi tanda-tanda risiko tinggi, yaitu: Sedang atau baru saja lepas dari pemakaian steroid sistemik Mempunyai riwayat rawat inap dalam waktu 12 bulan terakhir Riwayat intubasi karena asma Mempunyai masalah psikososial atau psikiatri Ketidaktaatan pengobatan asma.

Penatalaksanaan di Ruang Rawat Inap Ada istilah yang sering dijumpai pada penanggulangan asma akut di rumah sakit, yaitu: Hospital Care: waktu yang diperlukan untuk penatalaksanaan asma akut di rumah sakit > 24 jam observasi. Observational stays (Hospital Emergency Care): waktu yang diperlukan untuk penatalaksanaan asma akut < 24 jam. Konsensus memberikan beberapa kriteria untuk pasien masuk rawat inap, yaitu: Respons yang tidak adekuat dalam 1 - 2 jam terapi Obstruksi berat yang menetap (APE < 40% standar) Riwayat asma berat yang memerlukan perawatan Kelompok risiko tinggi Gejala yang berlangsung lama sebelum ke unit gawat darurat Kesulitan transportasi dari rumah ke unit gawat darurat Kesulitan bila perawatan di rumah.

Page 49: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 5

Pengobatan di ruang rawat inap: Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan yang dapat dipandu dengan hasil analisis gas darah. (Analisis gas darah dilakukan bila APE 30 - 50% dari nilai prediksi. Inhalasi agonis b -2 dan ipatropium bromida dapat diberikan tiap 60 menit atau lebih sesuai kebutuhan. Steroid sistemik (Solumedrol 1 mg/kgBB) tidap 6 jam. Pemberian secara oral cukup efektif sepanjang absorbsinya masih baik. Diperlukan paling sedikit 4 jam untuk menilai efeknya. Kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada: a. Serangan asma berat b. Inhalasi agonis b -2 gagal memberikan perbaikan c. Serangan masih terjadi meskipun pasien dalam terapi kortikosteroid d. Serangan asma sebelumnya memerlukan kortikosteroid oral. Aminofilin intravena. Antibiotika diberikan bila ada infeksi (pneumonia). Hidrasi diberikan sesuai dengan kebutuhan. Bila dengan perawatan pasien mengalami perbaikan, dapat direncanakan berobat jalan. Kriteria pemulangan rawat inap: Bila pemakaian bronkodilator aerosol frekuensinya lebih dari tiap 4 jam

Pasien mampu berjalan secara leluasa Pasien tidak terbangun tengah malam atau pagi hari dan memerlukan inhalasi Pemeriksaan jasmani normal atau mendekati normal

Page 50: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 6

Nilai APE atau KVP1 (Kapasitas Vital Paksa dalam detik pertama) > 70% dari nilai standar setelah terapi agonis b -2 aerosol Pasien memahami cara pemaikaian obat inhaler dengan benar Pasien membuat perjanjian untuk kontrol.

Penatalaksanaan di Ruang Intensif Semua pasien yang datang ke instalasi gawat darurat maupun dalam perawatan inap bila dilakukan keadaan seperti di bawah ini harus segera dilakukan perawatan di ruang intensif. Adapun indikasi perawatan di ruang intensif adalah: Tidak berespons terhadap upaya pengobatan awal di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan /buruknya keadaan setelah perawatan 6 - 12 jam. Adanya penurunan kesadaran dan tanda-tanda henti napas (respiratory arrest) Hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar PO2 < 60 mmHg, dan atau PCO2 > 45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat. Pada kondisi tersebut di atas walaupun telah diberikan pengobatan optimal, pasien memerlukan intubasi bila ada kecenderungan kelelahan bernapas dan atau kenaikan PCO2. Pengobatan lainnya sesuai dengan penatalaksanaan di ruang perawatan dengan tambahan bila diperlukan tambahan agonis b -2 dapat diberikan intramuskular atau drip, selain pemberian drip aminofilin. Dari keadaan tersebut di atas terlihat jelas bahwa hubungan antara dokter-pasien sangat diperlukan dalam upaya penyuluhan selanjutnya dan penatalaksanaan jangka

Page 51: Kapita Selekta Alergika

Penatalaksanaan Asma Akut Berat 7

panjang agar serangan asma akut dapat dihindari dan ditanggulangi dengan baik.

Page 52: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 1

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma

Heru Sundaru

Page 53: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 2

Pendahuluan Semenjak panduan pengobatan asma diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1995,(1) yang kemudian diperbaiki pada tahun 1998,(2) belum ada lagi panduan yang secara internasional dipublikasikan. Memang ada obat-obat baru ditemukan, namun pemakaiannya masih dalam kalangan terbatas,(3) sehingga tempatnya dalam panduan pengobatan asma belum diketahui. Sampai sejauh ini upaya pencegahan masih menjadi strategi utama pengobatan. Oleh karena itu sasaran pengobatan adalah menekan inflamasi, khususnya dengan kortikosteroid inhalasi. Telah diketahui pula bahwa kortikosteroid inhalasi saat ini masih merupakan obat utama untuk pencegahan asma. Kortikosteroid inhalasi selain menekan inflamasi, juga mengurangi gejala asma, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki fungsi paru.(4) Tetapi di samping keunggulan yang disebutkan di atas kortikosteroid mempunyai beberapa kelemahan. Kortikosteroid tidak menyembuhkan penyakit, artinya bila obat tadi dihentikan pemakaiannya, gejala akan muncul kembali.(5) Pemakaian secara hirup juga menurunkan ketaatan pemakaian obat, sehingga bila dipakai jangka lama, banyak pasien yang putus obat. Selain itu sebagian dokter masih ketakutan akan efek samping steroid dan yang terakhir ada sebagian pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Antilekotrin baik berupa inhibitor 5 lipoksigenase maupun antagonis reseptor leukotrien merupakan obat yang relatif baru dalam pengobatan asma. Obat tersebut diindikasikan terutama pada asma karena kegiatan jasmani atau asma karena aspirin. Meskipun pada awalnya diindikasikan untuk asma intermiten ringan saat ini sudah mulai dipakai pada asma persisten berat.6 Keuntungan lain antileukotrien dapat diberikan secara oral, sehingga akan meningkatkan ketaatan pemakaian obat jangka panjang.

Page 54: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 3

Yang menjadi masalah kapan sebaiknya obat tersebut dipakai. Tujuan pengobatan asma adalah meminimalkan gejala, menormalkan fungsi paru dan aktivitas sehari-hari, mencegah eksaserbasi dan obstruksi saluran napas yang irreversible serta mengoptimalkan pengobatan farmakologis dengan efek samping sesedikit mungkin.1 Hal tersebut dapat dicapai melalui 4 komponen utama, penatalaksanaan asma kronik yaitu penilaian beratnya asma, menghindari dan mengendalikan faktor pencetus, mengoptimalkan pengobatan farmakologis dan edukasi pasien.

Menilai Beratnya Asma Penilaian beratnya asma diperlukan untuk memulai pengobatan, karena derajat beratnya asma akan menentukan jenis dan dosis obat yang akan dipakai. Berdasarkan panduan, derajat beratnya asma ditentukan oleh frekuensi gejala asma, frekuensi bangun malam serta beratnya gangguan fungsi paru. Beratnya gangguan fungsi paru dinilai berdasarkan persentase (%) nilai prediksi APE (arus puncak ekspirasi), atau nilai terbaik APE pasien tersebut. Adakalanya derajat beratnya asma dinilai berdasarkan variabilitas nilai tertinggi dan terendah APE yang dihitung dalam persentase seperti berikut. Variabilitas APE harian = Nilai APE sore - APE pagi x 100 ½ ( APE sore + APE pagi ) Nilai tersebut dikumpulkan selama 7 hari, kemudian dibagi 7 untuk mendapatkan nilai rata-rata variabilitas. Sementara itu frekuensi bangun malam yang dimaksud adalah terbangun malam karena gejala asma baik batuk atau sesak dan bukan karena kencing malam atau hal yang lain. Berdasarkan frekuensi gejala asma, bangun malam dan gangguan fungsi paru, asma kronik diklasifikasikan dari yang ringan sampai yang berat sebagai asma

Page 55: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 4

intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat seperti terlihat pada tabel 1.

Menghindari dan Mengendalikan Faktor Pencetus Penghindaran dan pengendalian faktor pencetus yang dapat meningkatkan inflamasi saluran napas, reaktivitas bronkus, gejala asma serta pemakaian obat anti-asma harus diperhatikan. Faktor pencetus yang penting yaitu, alergen, infeksi saluran napas, iritan, aktivitas fisis dan ketegangan jiwa. Jangan dilupakan asap rokok, rinitis, sinusitis dan refluks gastroesofagus selain dapat mencetuskan asma juga dapat memperberat asma yang sudah ada. Oleh karena itu anamnesis riwayat penyakit serta pemeriksaan fisis yang teliti sangat diperlukan untuk mencari faktor pencetus serta pengendaliannya. Pada tabel 2 dapat dilihat berbagai jenis faktor pencetus dan cara menghindarinya.

Pengobatan Farmakologis Pada dasarnya obat anti-asma dibagi dua golongan yaitu obat pencegah (preventer) dan pelega (reliever) seperti terlihat pada tabel 3. Obat pencegah dipakai terus menerus, meskipun tidak ada gejala. Karena asma adalah penyakit yang didasari oleh proses inflamasi, maka obat pencegah yang utama adalah kortikosteroid inhalasi. Sementara obat pelega diwakili oleh obat-obat bronkodilator terutama golongan agonis b2 hirup yang selain sangat efektif, juga efek sampingnya kecil. Peran kortikosteroid sistemik terutama untuk serangan asma akut dan cepat dihentikan bila hasil terapi sudah adekuat. Tetapi adakalanya kortikosteroid sistemik dipakai untuk pencegahan jangka panjang bilamana obat-obat lain

Page 56: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 5

tidak menolong. Pada posisi ini barangkali antileukotrien dapat dipakai baik untuk menghindari pemakaian kortikosteroid sistemik atau mengurangi dosis kortikosteroid sistemik yang memang diperlukan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya kortikosteroid inhalasi pada pasien dewasa merupakan obat lini pertama dalam mengendalikan asma. Pengobatan dini dengan kortikosteroid inhalasi dapat memperbaiki fungsi paru, mengurangi pemakaian agonis beta dan perawatan inap di rumah sakit.(8) Juga kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala asma, menekan reaktivitas bronkus dan mungkin dapat mencegah remodeling saluran napas, karena inflamasi kronis. Dosis kortikosteroid inhalasi bervariasi tergantung derajat beratnya asma. Dosis steroid dapat diturunkan sampai dosis minimal yang dapat mengendalikan gejala asma. Penghentian kortikosteroid inhalasi dapat dicoba pada pasien yang mengunakan dosis steroid inhalasi kurang dari 200 - 400 mg setara budesonid, setelah pasien memakai obat pada dosis tersebut beberapa bulan dan gejala penyakit minimal serta fungsi paru normal. Tetapi harus diingatkan pasien harus memakai obat kembali bila gejala maupun fungsi paru memburuk lagi. Efek samping kortikosteroid inhalasi pada orang dewasa umumnya adalah lokal sepeti disfonia, kandidiasis oral. Penggunaan spacer, dapat mengurangi efek samping lokal. Pada dosis tinggi, kortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan efek samping sistemik seperti penipisan kulit, purpura,(9) gangguan pembentukan tulang,(10) dan osteoporosis prematur.(11) Pernah dilaporkan kortikosteroid inhalasi dapat menyebabkan katarak subkapsular.(12) Obat-obat kostikosteroid inhalasi yang baru seperti flutikason dilaporkan lebih sedikit menimbulkan efek samping dibandingkan beklometason dipropionat (13), selain dosis pemberian hanya dua kali sehari akan menyebabkan ketaatan berobat.

Page 57: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 6

Anjuran untuk melakukan step up bila regimen pengobatan tidak memadai agaknya mudah dikatakan tetapi sulit pada kenyataan, sehingga umumnya para dokter ahli lebih menyukai step down artinya memakai dosis atau tingkat pengobatan yang lebih tinggi sampai gejala terkendali dan baru kemudian tingkat pengobatan diturunkan, seperti terlihat pada tabel 4. Berbeda dengan panduan GINA 1 tahun 1995, pada revisi tahun 1998, peningkatan pengobatan asma persisten ringan menjadi asma persisten sedang (derajat 2 menjadi derajat 3) panduan lebih dulu memakai sediaan agonis b2 kerja panjang, atau teofilin lepas lambat, atau antileukotrien sebelum menaikkan dosis kortikosteroid inhalasi. Hal ini karena penelitian menunjukkan bahwa penambahan agonis b2 kerja panjang, lebih baik dari pada penaikkan dosis kortikosteroid inhalasi. (14,15) Golongan obat antiinflamasi yang baru adalah antileukotrien baik berupa penghambat 5 lipooksigonase atau antagonis reseptor leukotrien. Penghambat 5 lipooksigenase diwakili oleh zileuton, sementara antagonis reseptor leukotrien diwakili oleh zafirlukast, montelukas, dan pranlukas, tetapi sejauh ini baru zafirlukast yang beredar di Indonesia. Zafirlukast selain mengurangi gejala asma, juga dapat memperbaiki fungsi paru, mengurangi eksaserbasi asma,(16-19) serta menurunkan hipereaktivitas bronkus pada asma sedang.(18) Diduga efek terapeutik obat tersebut karena efek antiinflamasinya atau paling tidak mencegah terjadinya inflamasi obat tadi dengan uji alergen lokal dan asma malam. Zafirlukast juga telah dipakai pada asma berat,(6) sehingga tempat zafirlukast pada pengobatan asma dapat dipakai pada asma intermiten ringan sampai asma intermiten berat seperti diusulkan oleh Barnes PJ.(20) pada gambar 1. Berbagai obat antiasma baru diperkenalkan atau sedang diuji coba, yang sudah beredar di masyarakat yaitu flusikason, imunoglobulin intravena, juga anti-IgE, anti-

Page 58: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 7

IL4, anti-IL5 yang baru dalam fase pemakaian terbatas dan hasilnya masih ditunggu.

Edukasi Secanggih apapun obat antiasma yang diberikan kepada pasien atau sebaik apapun panduan yang diperkenalkan tidak akan berhasil guna bila tidak ada kerjasama dengan pasien. Pasien mungkin berobat tidak teratur atau tidak menggunakan obat sesuai dengan yang kita kehendaki karena pasien tidak mengetahui baik tujuan pengobatan maupun cara menggunakan obat. Oleh karena itu penyuluhan kepada pasien harus dilakukan setiap kali kunjungan ke dokter. Beberapa topik yang sebaiknya diketahui pasien antara lain :

Mengenal asma dan dampaknya Mengenal pencetus asma dan cara menghindari Mengetahui perbedaan antara obat pelega dan pencegah Mengetahui cara pemakaian obat dengan benar Mengetahui cara memantau penyakitnya dan tahu kapan harus menghubungi dokter atau rumah sakit kalau penyakitnya memburuk Asma adalah penyakit kronik yang sewaktu-waktu mengalami eksaserbasi, sehingga partisipasi pasien dalam mengelola penyakitnya sangat besar. Memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan mengobati penyakitnya tidak saja kita dapat meringankan penyakitnya tetapi sering kita dapat mencegah kematian yang tidak seharusnya terjadi.

Kesimpulan Pendekatan baru penatalaksanaan asma tidak saja memperkenalkan obat-obat baru, tetapi juga bagaimana

Page 59: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 8

tempat obat tersebut dalam pengobatan asma. Peran penilaian derajat beratnya asma, penghindaran pencetus, serta edukasi kepada pasien tidak kalah pentingnya.

Daftar Pustaka 1. National Institute of Health. Global strategy for asthma management and prevention. NHLBI/WHO workshop report No.95-3659; 1995. 2. National Institute of Health. Global initiative for asthma. Pocket guide for asthma management and prevention. Revised 1998. p1-30. 3. Wenzel SE. New approach to anti-inflammatory therapy for asthma. Am J Med 1998;104:287-300. 4. Juniper EF, Kline PA, Vanzieleghem MA, Ramsdale EH, O’Byrne PM, Hargreave FE. Effect of long-term treatment with inhaled corticosteroids on airway hyperresponsiveness and clinical asthma in non-steroid dependent asthmatics. Am Rev Respir Dis 1990;142:832-6. 5. Haahtela T, Jarvinen M, Kava T, et al. Effects of reducing or discontinuing inhaled budesonide in patients with mild asthma. N Engl J Med 1994;331:700-5. 6. Kemp JP, Minkwitz MC, Bonuccelli, Warren MS. Therapeutic effect of zafirlukast as monotherapy in steroid-naïve patients with severe persistent asthma. Chest 1999;115:336-42 7. Khoo KL, Tan YK. Management of chronic asthma: a holistic approach. Medical progress 1999;28:19-26. 8. Donahue JG, Weiss ST, Livingston JM, Goetsch M, Greineder K, Platt R. Inhaled corticosteroids and the risk of hospitalization for asthma. JAMA 1997;277:887-91 9. Capewell S, Reynolds S, Shuttleworth D, Edwars C, Finlay AY. Purpura and dermal thinning associated with high dose inhaled corticosteroids. BMJ 1990;300:1548-1551. 10. Meeran K, Hattersley A, Burrin J, Shnier R, Ibberson K. Oral and inhaled corticosteroids reduce bone formation as shown by plasma osteocalcin levels. Am J Respir Crit Care Med 1995;151:333-6. 11. Hanania NA, Chapman KR, Sturtridge WC, Szalai JP, Kesten S. Dose related decrease in bone density among asthmatic patients treated with inhaled corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 1995;96:571-9. 12. Cumming RG, Mitchell P, Leeder SR. Use of inhaled corticosteroids and the risk of cataracts. N Eng J Med 1997;337:8-14. 13. Bootsma GP, Dekhuijzen PN, Festen J, Mulder PG, Swinkel LM, Van Herwaarden CL. Fluticasone propionate does not influence bone metabolism in contrast to beclomethasone dipropionate. Am J Respir Crit Care Med 1996;153:924-30. 14. Greening AP, Ind PW, Northfield M, Shaw G. Added salmoterol versus higher dose corticosteroid in asthma patients with symptoms on existing inhaled costicosteroid. Lancet 1994;344:219-4. 15. Woolcock A, Luncdback BO, Ringdal N, Jacques L. Comparison of addition of salmoterol to inhaled steroids with doubling of dose of inhaled steroids. Am J Respir Crit Care Med 1998;155:1481-8. 16. Hui KP, Barnes NC. Lung function improvement in asthma with a cysteinyl-leukotriene receptor antagonist. Lancet 1991;337:1062-3. 17. Spector SL, Smith LJ, Glass M. Accolate asthma Trialists Group. Effects of 6 weeks of therapy with oral doses of ICI 204, 219, a leucotriene D4 receptor antagonist in subject with bronchial asthma. Am J Respir Crit Care Med 1994;150:618-23. 18. Lockey RF, Lavins BJ, Snader L. Effect of 13 weeks of treatment with ICI-204, 219 (Accolate) in patients with mild to moderate asthma. J Allergy Clin Immunol 1995;95(1) part 2;A839. 19. Barnes NC, Black B, Syrett N, Cohn J. Reduction of exacerbation of asthma in multinational clinical trial with zafirlukast (accolate). M J Respir Crit Care Med 1996;153 (4) part 2:A802. 20. Barnes PJ. Antileukotrienes a new treatment for asthma. Medical Progress 1998;25:53-7

Page 60: Kapita Selekta Alergika

Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma 9

Naskah ini merupakan makalah Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001 di Hotel Borobudur 27-28 Desember 2001 yang telah dibukukan. Versi html ini tidak dilengkapi dengan tabel, grafik, atau gambar. Buku dapat anda peroleh di toko-toko buku kedokteran atau langsung di penerbit (Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Naskah ini dilindungi undang-undang. Dilarang mengcopy/menyalin sebagian atau seluruh naskah tanpa seijin penerbit atau penulis. Jakarta, 2001

Page 61: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 1

Abstrak World of Allergy 99, Bali, 2-4 February, 1999 (dalam bahasa Indonesia)

Alergi di Masa Mendatang

Pengalaman dengan ETAC

Jalan Menuju ETAC (Early Treatment of The Atopic Child)

Keamanan Terapi Farmakologik pada Anak dengan Alergi : Primum Non Nocere

Manfaat Cetirizine pada Pasien Dermatitis Atopik

Pencegahan Asma pada Anak Berisiko Tinggi

Jalan Menuju ETAC (Early Treatment of The Atopic Child) C. Naspitz, Brazil University of Sao Paulo BrazilPada tahun 1992 asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan banyak faktor yang merupakan interaksi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat perbedaan prevalensi asma anak-anak yang nyata di seluruh dunia. Pencegahan timbulnya asma pada anak-anak dengan dermatitis atopik (DA) merupakan tugas yang sangat menantang bagi dokter ahli alergi dan dokter anak. Walaupun mekanisme yang menghubungkan dermatitis atopik dengan asma belum dapat dijelaskan dengan memuaskan, dermatitis atopik pada orangtua dan anak-anak diakui merupakan faktor prediksi bagi timbulnya asma. DA adalah penyakit peradangan kulit yang terjadi pada individu yang memiliki riwayat atopi dalam keluarga. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, namun yang paling mencolok adalah rasa gatal. Prevalensinya pada 5 tahun pertama kehidupan adalah 2,7-10,8

Page 62: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 2

%. Enam puluh lima sampai delapan puluh persen timbul pada tahun pertama dan 95% pada 5 tahun pertama kehidupan. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan hipereaktivitas saluran napas (HSN), hambatan jalan napas, dan timbulnya gejala-gejala gangguan pernapasan. Atopi, yang mana terjadi peningkatan kadar IgE sebagai respons terhadap alergen lingkungan, merupakan faktor predisposisi utama terjadinya asma. Terdapat bukti-bukti yang mendukung bahwa pada DA, paparan terhadap alergen menyebabkan pelepasan IgE secara kontinu dan menyebabkan inflamasi kulit. Hal ini serupa dengan yang terjadi pada asma. Adanya hubungan etiologis pada asma dan DA dapat terlihat dari adanya riwayat keluarga, prevalensinya yang tinggi pada pria, dan adanya HSN. Hubungan etiologis yang dekat ini, keduanya merupakan penyakit radang (inflamasi), merupakan alasan yang kuat untuk mengobati anak anak DA dengan obat-obat antialergi. Sebagian besar anak dengan DA (30-80%) akan menderita asma. Anak-anak DA tanpa bukti klinis menderita asma merupakan target pencegahan yang ideal. Penghindaran terhadap alergen, asap rokok, sensitasi intrauterin, prematuritas dan infeksi merupakan strategi pencegahan asma yang sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, penggunaan obat antialergi yang efektif dan aman pada anak-anak yang baru pertama kali terserang DA diharapkan dapat menghentikan atau paling tidak menghambat progresivitas gejala-gejala asma. Kami mengobati 121 bayi DA dengan ketotifen (K) atau plasebo (P) selama 12 bulan. Dalam masa penelitian gejala asma timbul pada 13,1 % pada kelompok K dan 41,6 % pada kelompok P. Perlu diperhatikan bahwa perbedaan ini hanya terjadi pada kelompok anak-anak dengan kadar IgE > 50kU/l. Sentitisasi terhadap alergen spesifik dan faktor-faktor risiko lain tidak dinilai. Kami menyimpulkan bahwa walaupun keuntungan yang diperoleh hanyalah berupa penundaan terjadinya serangan asma, penundaan ini sangatlah bermanfaat bagi perkembangan fungsi paru-paru.

Page 63: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 3

Tujuan utama ETAC adalah untuk mengetahui apakah pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak-anak dengan DA dapat mencegah timbulnya asma (dibandingkan dengan plasebo). Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 oral yang poten dan memiliki efek antialergi dan antiinflamasi. Faktor yang penting dalam penilaian hasil studi ETAC ini adalah bahwa studi ini dikoordinasikan oleh Scientific Advisory Board (SAB) yang terdiri dari klinisi dan ilmuwan yang independen. SAB terlibat langsung dalam desain protokol, pengawasan keamanan obat, pelaksanaan, analisis dan pelaporan hasil penelitian. Penelitian ini melibatkan 817 pasien, melebihi jumlah yang direncanakan (700). Sedikitmya jumlah pasien yang drop out merupakan hasil kerja keras peneliti dan komitmen orang tua pasien yang besar. Meningkatnya kadar IgE total dan IgE spesifik terhadap sebuk rumput, debu rumah dan bulu kucing merupakan tanda-tanda akan terjadinya serangan asma. Cetirizine mengurangi (sampai setengahnya) jumlah pasien tersensitasi dengan debu rumah atau rumput yang mengalami serangan asma. Hasil penelitian jangka panjang (18) bulan sangat dinantikan untuk membantu meningkatkan pengertian kita mengenai evolusi terjadinya atopi Keamanan Terapi Farmakologik pada Anak dengan Alergi : Primum Non Nocere E. Simons, Canada Children’s Hospital Winnipeg CanadaPada anak-anak, penyakit alergi sangat potensial menyebabkan morbiditas yang terus-menerus atau intermiten selama bertahun-tahun. Penyakit-penyakit ini biasanya diobati dengan obat golongan glukokortikoid, antialergi, agonis a 2-adrenergik, antikolinergik dan antagonis reseptor H1. Walaupun semua obat ini telah dinyatakan aman, sesungguhnya sebagian besar obat ini belum pernah melewati uji klinik yang prospektif, acak, dibandingkan dengan plasebo dan tersamar ganda pada populasi yang adekuat.

Page 64: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 4

Adanya efek yang tidak diinginkan akibat pemberian obat tidak boleh terjadi mengingat kelainan/penyakitnya sendiri tidaklah bersifat fatal. Pada anak, efek jangka panjang pada pertumbuhan, kepribadian dan perkembangan fungsi kognitif merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Pengobatan dini pada anak dengan atopi (ETAC) merupakan contoh yang ideal bagi penelitian terapi jangka panjang yang prospektif, acak, tersamar ganda, dibandingkan dengan plasebo pada anak-anak yang memiliki alergi. Selama 18 bulan, 817 anak berusia 12-24 bulan dengan DA dirandomisasi untuk menerima pengobatan cetirizine 0,25 mg/kg atau plasebo 2x sehari. Keamanan obat dinilai berdasarkan hasil kartu harian (diary card), pemeriksaan fisik, penilaian perilaku dan pertumbuhan, pemeriksaan darah rutin, urinalisis dan EKG. Populasi yang diteliti berjumlah 399 dari golongan cetirizine dan 396 dari plasebo. Drop out, perawatan di RS, dan terjadinya kondisi yang serius sangat jarang terjadi dan lebih jarang terjadi pada kelompok cetirizine dibandingkan pada kelompok plasebo. Kelainan yang dilaporkan pada kartu harian umumnya ringan dan lebih banyak disebabkan oleh infeksi atau gejala-gejala alergi daripada oleh efek samping obat. Selain lebih jarangnya terjadi urtikaria pada kelompok cetirizine, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok mengenai gejala-gejala yang timbul, penilaian tingkah laku dan pertumbuhan, hasil tes laboratorium,dan hasil EKG. Tidak ada responden yang menunjukkan pemanjangan interval QTc ETAC merupakan model yang sempurna bagi penelitian keamanan dan kegunaan obat lain untuk mengobati anak-anak dengan penyakit alergi. Manfaat Cetirizine pada Pasien Dermatitis Atopik T. Diepgen, Germany Department of Occupational and Social Medicine University of Heidelberg GermanyLatar Belakang dan Tujuan

Page 65: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 5

Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang sring terjadi pada anak atau orang dewasa muda dengan riwayat atopi (asma, rinitis alergi, DA). Patogenesis DA masih belum jelas, dan penanganan penyakit kronik ini sulit. Antihistamin merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi rasa gatal akibat DA, walaupun bukti-bukti yang mendukung manfaatnya masih sedikit. Penelitian ini bertujuan menilai efek terapi dan efek pengobatan cetirizine jangka panjang pada beratnya gejala dan perjalanan penyakit DA. Cara Kerja Pada penelitian prospektif, acak, tersamar ganda, dibandingkan dengan plasebo ini dilakukan terapi dini 817 anak DA dengan 0,25 mg cetirizine atau plasebo dua kali sehari. Pengobatan lain diperbolehkan, tetapi harus dilaporkan kepada peneliti. Penilaian akhir (end point) efektivitas obat pada penelitian ini adalah serangan asma, bukan DA. Penilaian efektivitas lain dilakukan dengan menilai jumlah pengobatan dengan obat lain (topikal atau sistemik) dan beratnya gejala DA yang dinilai dengan skor skala DA. Selain itu, faktor-faktor risiko lain seperti alergen makanan, serbuk sari, debu rumah, asap rokok, asap kompor dan pemakaian karpet dicatat, dan pemeriksaan darah dan urin dilakukan di awal penelitian dan setelah 3, 6, 18 bulan terapi. Pada saat ini dilakukan penilaian IgE total dan spesifik (terhadap serbuk tanaman, susu sapi, telur, debu rumah dan kacang) serta penghitungan jumlah eosinofil. Hasil Beratnya gejala DA, seperti dikur dengan skala Scorad, berkurang secara bermakna pada kedua kelompok (p<0,001). Antihistamin lain lebih sering digunakan pada kelompok plasebo daripada kelompok terapi (p=0,03). Jumlah pasien yang mengalami urtikaria menurun secara bermakana pada kelompok cetirizine (5,8%, p<0,001). Untuk mengobati DA, kortikosteroid topikal digunakan pada 41,6 % pasien, kortikosteroid topikal tipe B, C dan D digunakan pada 55% pasien. Lamanya penggunaan kortikosteroid topikal tipe B,C dan D berkurang secara bermakna pada kelompok cetirizine dibandingkan kelompok plasebo.

Page 66: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 6

Beratnya gejala DA berhubungan dengan adanya sensitasi yang spesifik akibat paparan terhadap faktor-faktor risiko. Kesimpulan Manfaat cetirizine pada penanganan DA telah terbukti pada penelitian ini. Pada anak yang telah tersensitasi secara spesifik, cetirizine dapat digunakan sebagai terapi primer untuk mencegah timbulnya asma. Selain itu, cetirizine juga terbukti berguna mengurangi lamanya penggunaan kortikosteroid topikal untuk mengobati gejala DA. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai kegunaan antihistamin H1 dalam penanganan pasien dengan DA. Pencegahan Asma pada Anak Berisiko Tinggi J. Warner, UK University of Southampton/Southampton General Hospital Southampton Hampshire UKSaat ini belum terdapat bukti yang memadai bahwa pengobatan asma dapat memberikan manfaat jangka panjang. Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa pasien-pasien yang menderita asma yang berat sampai usia dewasa adalah pasien-pasien yang pada masa kanak kanaknya telah ditemukan penurunan fungsi paru yang bermakna dan memiliki hiperreaktivitas bronkus. Studi biopsi pada anak-anak yang pertama kali menunjukkan gejala mengi menunjukkan bahwa kelainan /patologi saluran napas telah terjadi jauh sebelum timbulnya gejala. Untuk itu diperlukan intervensi dini untuk memperoleh dampak jangka panjang yang memuaskan. Target yang jelas untuk tindakan profilaksis adalah anak-anak dengan DA, yang mana 40% di antaranya akan menderita asma pada usia 3-4 tahun. ETAC bertujuan untuk mengetahui apakah pengobatan cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan DA dapat mencegah serangan asma. Pada saat dimulai terapi anak yang diobati tidak menunjukkan gejala asma (mengi yang ditemukan sebelum usia 6 bulan, episode batuk malam hari melebihi 1x selama 3 hari berturut-turut dan gangguan tidur).

Page 67: Kapita Selekta Alergika

Alergi di Masa Mendatang 7

Usia anak berkisar 1-2 tahun, kelompok terapi mendapat cetirizine 0,25 mg/kg per hari selama 18 bulan. Pada kelompok plasebo, faktor-faktor risiko yang merupakan faktor prediktif yang kuat adalah peningkatan kadar IgE, dimana 44% akan mengalami asma dibandingkan hanya 33% pada kelompok tanpa peningkatan IgE (p=0,027). Sensitivitas terhadap serbuk tanaman (grass pollen) berhubungan dengan terjadinya serangan asma pada 59% responden (v.s. 35%), p = 0,001. Untuk sensitivitas terhadap debu rumah persentasenya adalah 51,5% v.s. 35% (p=0,005) dan untuk bulu kucing persentasenya adalah 47% v.s. 33% (p=0,032). Sensitivitas terhadap susu dan telur tidak memiliki nilai prediktif. Walupun kedua kelompok (terapi dan plasebo) tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada jumlah pasien yang mengalami serangan asma, tetapi terdapat perbedaan yang bermakna pada sub kelompok tertentu. Pada anak-anak yang memulai terapi dengan kadar IgE spesifik terhadap serbuk tanaman, hanya 28 % dari kelompok cetirizine yang mengalami serangan asma dibandingkan 59% pada kelompok plasebo (p=0,002). Jika anak tersebut sensitif terhadap debu rumah, 29% pada kelompok cetirizine yang akan mengalami serangan asma dibandingkan 51,5 % pada kelompok plasebo (p=0,0005) Studi ini menunjukkan bahwa selain memberikan manfaat dalam pengendalian gejala-gejala alergi seperti urtikaria, cetirizine dapat direkomendasikan sebagai pengobatan primer untuk pencegahan serangan asma pada anak-anak DA yang telah tersensitasi secara spesifik.