makalah kapita selekta ekonomi

39
DAFTAR ISI DAFTAR ISI................................................... i KATA PENGANTAR.............................................. ii I. PENDAHULUAN...............................................1 A. Latar Belakang......................................... 1 B. Pengertian Kebijakan Moneter...........................1 C. Tujuan Kebijakan Moneter...............................2 II. PEMBAHASAN................................................3 A. Kerangka Kebijakan Moneter Prakrisis 1997/98...........3 B. Tafsir Kerangka Kebijakan Moneter Dalam Uu No. 23 Tahun 99 6 C. Kerangka Kebijakan Moneter Pasca-Uu No. 23/1999: Inflation Tergeting Lite..................................10 D. INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER...........................15 1) Rediscount Rate Policy..............................15 2) Open Market Policy..................................15 3) Reserves Requirement Policy.........................18 4) Himbauan Moral (Moral Persuasion)...................21 E. ALASAN MEMILIKI UANG..................................21 KESIMPULAN.................................................. 22 DAFTAR PUSTAKA............................................. iii i

Upload: andi-pajolloi-bate

Post on 03-Aug-2015

649 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

makalah kebijakan moneter

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

I. PENDAHULUAN..............................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Pengertian Kebijakan Moneter....................................................................................1

C. Tujuan Kebijakan Moneter..........................................................................................2

II. PEMBAHASAN................................................................................................................3

A. Kerangka Kebijakan Moneter Prakrisis 1997/98........................................................3

B. Tafsir Kerangka Kebijakan Moneter Dalam Uu No. 23 Tahun 99.............................6

C. Kerangka Kebijakan Moneter Pasca-Uu No. 23/1999: Inflation Tergeting Lite......10

D. INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER................................................................15

1) Rediscount Rate Policy..........................................................................................15

2) Open Market Policy...............................................................................................15

3) Reserves Requirement Policy................................................................................18

4) Himbauan Moral (Moral Persuasion)....................................................................21

E. ALASAN MEMILIKI UANG..................................................................................21

KESIMPULAN........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iii

i

Page 2: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah merahmati

setiap derap langkah kita untuk tetap berjalan dalam kebaikan. Shalawat dan salam tak lupa

kami haturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW , nabi pembawa obor,

pembentang sajadah pendobrak jahiliyah hingga mengantarkan kita semua kealam yang

terang benderang seperti saat ini.

Terima kasih yang mendalam kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah

berkontribusi positif dalam terselesaikannya makalah yang berjudul “Implementasi Kebijakan

Moneter di Indonesia” ini. Pihak-pihak tersebut antara lain:

Bapak Drs. Nono Sungkono, M.M. selaku dosen pembimbing ekonomi yang

tak hentinya memberikan arahan dan ajaran kepada kami.

Seluruh staf perpustakaan Mercubuana yang membantu kami dalam

menemukan materi makalah ini.

Teman-teman yang mendukung kelancaran penyelesaian makalah ini.

Provider layanan internet yang memudahkan kami menemukan bahan

makalah.

Selanjutnya, apabila terdapat berbagai kesalahan maupun kekurangan yang luput dari

perhatian kami dalam makalah ini mohon saudara pembaca memberikan saran maupun kritik

yang bersifat membangun agar makalah kami selanjutnya dapat mencapai kesempurnaan.

Terima kasih.

Penulis

ii

Page 3: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jumlah uang beredar, baik dalam standar barang (comodity standard) maupun standar

kepercayaan (fiat standard) tidak boleh terlalu berlebihan atau kurang. Kontrol jumlah uang

beredar perlu dilakukan untuk menciptakan iklim yang baik bagi stabilitas harga dan

pertumbuhan ekonomi, serta kontrol terhadap kegiatan kredit. Kontribusi kebijakan moneter

terhadap stabilitas harga sangat penting artinya untuk mengurangi atau menekan tingkat

infalsi. Pertumbuhan jumlah uang yang beredar sebaiknya mengikuti pertumbuhan ekonomi,

sehingga secara tidak langsung dapat menekan tingkat pengangguran. Bank Sentral selaku

pelaksana kebijakan moneter, menjalankan kebijakan nya yang bersifat kuantitatif

(quantitative control policy) dan kualitatif (qualitative control policy). Instrument-instrument

yang biasa digunakan dalam menjalankan kebijakan kuantitatif adalah Pengaturan Tingkat

Bunga dan Tingkat Diskonto (rediscount rate policy), Pengaturan Oprasi Pasar Terbuka

(open market operation), dan pengaturan Tingkat Cadangan Minimal dan Tingkat Kelebihan

Cadangan (reserves requirement policy). Dalam melaksanakan kebijakan kualitatif

pemerintah mengadakan pendekatan langsung (direct approach) kepada bank-bank umum,

dengan turut mengawasi kebijakan bank-bank umum dalam memberikan pinjaman kepada

para nasabahnya agar lebih selektif.

B. Pengertian Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi

makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang

yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga

dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah

atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi

dua, yaitu :

Page 4: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

2

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy

Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy

Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar.

Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

C. Tujuan Kebijakan Moneter

1. Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange)

dalam perekonomian.

2. Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas perekonomian

dan stabilitas tingkat harga.

3. Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai pertumbuhan

ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.

4. Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak dapat

terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.

5. Menjaga kestabilan Ekonomi

Artinya pertumbuhan arus barang dan jasa seimbang dengan pertumbuhan

arus barang dan jasa yang tersedia.

6. Menjaga kestabilan Harga

Harga suatu barang merupakan hasil interaksi antara jumlah uang yang

beredar dengan jumlah uang yang tersedia di pasar.

Page 5: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

3

II. PEMBAHASAN

A. Kerangka Kebijakan Moneter Prakrisis 1997/98

Berbagai pendekatan kerangka kebijakan moneter sebagaimana dijelaskan pada bab-

bab terdahulu menitikberatkan pada penggunaan pilihan monetary aggregate sebagai

indicator dalam intermediate target. Pendekatan dengan pilihan jumlah uang beredar sebagai

indicator telah digunakan oleh otoritas moneter Indonesia sejak kebijakan moneter Indonesia

beralih dari sistem pengendalian moneter langsung ke sistem pengendalian moneter tidak

langsung (indirect monetary control) pada tahun 1983. System pengendalian tidak langsung

ini mengandalkan peran pasar keuangan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke

sector riil. Walaupun disadari bahwa mekanisme pasar belum akan berjalan efisien mengingat

pasar keuangan belum berkembang pada waktu itu, ada keyakinan bahwa secara bertahap

mekanisme pasar akan semakin efisien berjalan sejalan dengan berkembangnya pasar

keuangan.

Tahun 1983 dapat dipandang sebagai suatu langkah awal modernisasi bidang moneter

Indonesia sejalan dengan dilepasnya system pengendalian monetr secara langsung, seperti

penetapan pagu aktiva neto perbankan atau credit ceiling, penetapan suku bungan simpanan

dan kredit perbankan, dan lain-lain. Sebagai otoritas monetr, Bank Indonesia kemudian

menerapkan system pengendalian tidak langsung dengan memperkenalkan instrument

moneter tidak langsung, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar

Uang (SBPU). Kedua instrument tersebut menjadi instrument utama bagi Bank Indonesia

untuk melakukan ekspansi atau kontraksi moneter dan sekaligus menjadi instrumen pasar

uang bagi bagi dunia perbankan.

Pelaksanaan kebijakan moneter mengandalkan pada uang primer sebagai target

operasional, dengan target nilai tukar nominal sebagai jangkar (anchor) kebijakan. Dalam hal

Page 6: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

4

ini, nilai tukar dikendalikan secara ketat dalam kisaran yang sempit dan diapresiasikan

dengan laju yang relative konstan, yang dikenal sebagai system kurs mengambang terkendali

(managed-floating exchange rate regime).

Sementara itu, target akhir kebijakan moneter Bank Indonesia sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 mengenai bank sentral, masih beragam (multiple

targets). Selain tingkat inflasi yang rendah, Bank Indonesia diharuskan juga mencapai

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah dan keseimbangan

neraca pembayaran.

Dengan sasaran akhir yang beragam, kebijakan moneter sulit untuk dilakukan secara

terfokus karena adanya benturan kebijakan moneter dalam rangka menekan laju inflasi

dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, secara operasional,

kebijakan moneter yang mengandalkan pada uang primer juga punya masalah. Meski

pendekatan kuantitas (agregat moneter) dapat dianggap efektif selama kurun waktu yang

cukup lama. Khususnya sejak awal tahun 1990-an pendekatan tersebut mendapat tantangan

yang cukup berat. Perkembangan yang sangat cepat di pasar keuangan akibat serangkaian

deregulasi dan semakin terintergrasinya perekonomian domestic dengan luar negeri

menyebabkan hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak

stabil.

Akibatnya, kebijakan moneter berdasarkan pendekatan kuantitas menjadi berkurang

efektivitasnya. Meghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia kemudian mengadopsi

kerangka kebijakan yang bersifat pragmatis (electric approach). Tanpa meninggalkan

pendekatan kuantitas, sementara kisaran intervensi dalam kerangka managed exchange rate

refime semakin diperlebar untuk mengurangi beban kebijakan moneter.

Page 7: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

5

Tekanan yang luar biasa terhadap nilai tukar dan cadangan devisa di awal krisis 1997

memaksa Bank Indonesia dan pemerintah melepas band intervensi dan menganut system nilai

tukar mengambang bebas. Akibatnya, nilai tukar tak lagi menjadi jangkar nominal kebijakan

moneter. Depresiasi nilai rupiah yang teramat tajam dan suku bunga yang tinggi membuat

sektor riil dan sektor perbankan, yang ternyata sangat rapuh, semakin terpuruk. Perbankan

kehilangan kepercayaan public. Kegiatan usaha tidak bergerak, produksi merosot, dan jumlah

pengangguran melonjak.

Untuk mencegah kehancuran system perbankan secara keseluruhan karena nasabah

menarik sebagian besar atau seluruh simpanannya secara bersamaan, Bank Indonesia

terpaksa memainkan fungsinya sebagai penjaga gawang terakhir : the lender of last resort.

Pinjaman kepada bank-bank dalam kesulitan, lebih dikenal sebagai : “ Bantuan Likuiditas

Bank Indonesia ( BLBI)”, terpaksa di berikan dalam jumlah yang sangat besar sejak akhir

1997. Akibatnya, dari sisi moneter uang beredar meningkat tajam. Denga sangat rendahnya

kepercayaan kepada system moneter dan perbankan, tingginya peningkatan uang beredar

tersebutpula memberikan andil pada menguatnya tekanan terhadap nilai mata uang rupiah.

Nilai rupiah melemah tajam dan harga-harga meroket.

Pada tahun 1998, kebijakan moneter memasuki satu periode pengetatan terutama

untuk mencegah terjadinya hiperinflasi, yaitu dengan berupaya menghentikan semua bentuk

ekspansi moneter agar tidak terjadi kelebiahan likuiditas dalam perekonomian. Bank

Indonesia menerapkan kembali kebijakan moneter ketat yang sempat kehilangan kendalinya

ketika terpaksa harus menyalurkan pinjaman likuiditas besar-besaran kepada perbankan

untuk menghentikan rush.

Page 8: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

6

B. Tafsir Kerangka Kebijakan Moneter Dalam Uu No. 23 Tahun 99

Krisis moneter 1997/98 telah menuntut perubahan tatanan kelembagaan Bank

Indonesia menjadi bank sentral yang independen. Perubahan ini didasari pada munculnya

pendapat kuat yang mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah ketidak mampuan

Bank Indonesia bertindak objektif karena selama periode prakrisis kebijakan Bank Indonesia

selalu dianggap terkait dengan kepentingan politik pemerintah. Perubahan tatanan ini

diwujudkan pada penggantian Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 dengan Undang-Undang

No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, kebijakan moneter

memasuki suatu era baru dalam sejarah moneter di Indonesia. Bank Indonesia selain menjadi

lembaga independen juga mempunyai peran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Dengan system nilai tukar mengambang, secara implisit tujuan

kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga kestabilan harga, dalam perkataan lain Bank

Indonesia mempunyai sasaran tunggal, yaitu inflasi. Sebagai implementasi dari Undang-

Undang baru tersebut. Pada awal tahun 2000 Bank Indonesia mulai mengumumkan target

inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Sejak saat itu, target inflasi merupakan

elemen penting dalam kebijakan moneter, terutama karena target tersebut diumumkan secara

eksplisit kepada public. Dengan demikian, penetapan sasaran inflasi menjadi sesuatu yang

mengikat dalam setiap perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia.

Namun, apakah dengan demikian kerangka kerja kebijakan moneter Bank Indonesia

pasca UU No. 23 Tahun 1999 dapat dikategorikan sebagai inflation targeting framework

(ITF)? Apakah dengan penetapan target inflasi sebagai sasaran akhir dapat diartikan sebagai

suatu kerangka kebijakan dalam ITF? Untuk dapat menjawab ini, perlu kita pahami lebih

Page 9: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

7

dahulu apan yang dimaksud dengan ITF, dan apa bedanya dengan penetapan dan

pengumuman sasaran inflasi.

Dalam praktiknya, target inflasi tidak menjadi satu-satunya anchor kebijakan moneter

dan komitmen untuk mencapai kestabilan harga. Karena masih tercampur dengan komitmen

untuk mencapai tujuan kebijakan yang lain. Dalam terminology yang menjadi popular akhir-

akhir ini, dikenal istilah inflation targeting lite (ITL) , yaitu penerapan ITF secara secara

parsial atau dikatakan ringan, dan istilah full-fledged inflation targettin (FFIT, yaitu

penerapan ITF dengan komitmen penuh. Kerangka kebijakan moneter seperti yang

dipraktikkan Bank Indonesia tersebut dapat dikategorikan sebagai ITL.

Penerapan ITF di berbagai negara , khususnya Negara berkembang seperti Indonesia,

mengundang pro dan kontra. Pihak yang pro mengatakan bahwa penerapan ITF menuntut

komitmen yang tinggi dari otoritas moneter untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan.

Tugas otoritas moneter menjadi focus. Sementara itu, pihak yang kontra mengatakan bahwa

penerapan ITF di Indonesia belum waktunya mengingat belum terpenuhinya beberapa

prakondisi yang diperlukan, yaitu posisi fiscal yang kuat, kestabilan makroekonomi, dan

pasar keuangan yang mapan.

Namun, pihak yang pro berpendapat bahwa pada hakikatnya prakondisi untuk ITF

berlaku juga bagi hamper semua kerangka kerja kebijakan moneter. Selain itu, pengalaman di

beberapa Negara menunjukkan bahwa keberadaan prakondisi tersebut tidak bersifat mutlak

pada saat awal penerapan ITF, dan penerapan ITF dapat dilakukan secara bertahap dari yang

lite ke full-fledged. Belum terpenuhinya beberapa prakondisi ITF dapat disikapi dengan

desain ITF yang fleksibel, namun dengan tetap mengedepankan kejelasan baik dalam hal

inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter maupun dalam hal komit bank otoritas

moneter dalam merumuskan respons kebijakan yang diarahkan untuk mencapai inflasi yang

Page 10: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

8

ditetapkan. Argumen penting disini adalah bahwa pilihan ITF yang fleksibel akan lebih

optimal daripada melaksanakan kebijakan moneter tanpa kejelasan kerangka kerja.

Dari sisi pengeloalaan moneter, krisi ekonomi dan moneter sesungguhnya melahirkan

suatu pemikiran ulang mengenai peran bank sentral yang seharusnya dalam perekonomian

pengalaman tersebut menunjukkan bahwa institusi bank sentral dengan segala keterbatasan

yang dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang bertanggung

jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkan.

Terminologi kestabilan nilai rupiah paling tidak menimbulkan dua interpretasi.

Kestabilan secara internal, yaitu kestabilan harga atau kestabilan eksternal, yaitu kestabilan

nilai tukar. Pilihan atas kedua interpretasi yang berbeda tersebut mempunyai kerangka

implementasi yang berbeda dalam hal kerangka kebijakan moneter yang harus dilakukan

untuk mencapai sasaran kestabilan. Dalam mencapai sasarn kebijakan moneter sesuai dengan

interpretasi tersebut, Bank Indonesia dapat memilih baik target-target kuantitas (quantity

targettin) seperti jumlah uang beredar (M0, M1, atau M2), maupun target-target harga (price

targeting) seperti suku bunga (SBI, PUAB, deposito atau pinjaman).

Pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal dalam UU No. 23 Tahun 1999, khususnya

yang menyangkut keharusan mengumumkan tingkat inflasi, lebih sesuai dengan interpretasi

pertama. Terminologi kestabilan rupiah dalam interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan

harga yang diukur dengan tingkat inflasi, juga sejalan dengan alasan teoritis bahwa kestabilan

harga merupakan sasaran yang paling relevan bagi kebijakan moneter. Argumen lain adalah

bahwa dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga dapat mengarahkan kestabilan

nialai tukar.

Dengan penekanan pada tujuan kestabilan harga, pertanyaan penting yang kemudian muncul

adalah kerangka kerja kebijakan moneter apa yang paling sesuai dengan UU No. 23 Tahun

Page 11: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

9

1999? Keberadaan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan penetapan sasaran

moneter yang diarahkan kepada pencapaian target inflasi tersebut sangat sesuai dengan

kerangka ITF. Dalam terminologi kebijakan moneter, sasaran inflasi dapat dianggap sebagai

overriding objective atau juga sebagai sasaran antara, sedangkan sasaran moneter (agregat

moneter atau suku bunga) sebagai operating target.

Fitur lain yang sangat penting dalam kerangka ITF seperti independensi, transparansi,

dan akuntabilitas juga mendapat porsi penting dalam UU No. 23 Tahun 1999. Berbeda

dengan UU No. 13 Tahun 1968 yang menempatkan Bank Indonesia sebagai pembantu

pemerintah dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang ditetapkan Dewan Moneter,

dalam UU No. 23 Tahun 1999 ini Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga negara yang

independen yang bebeas dari campur tangan pihak lain termasuk pemerintah (Pasal 4).

Independensi ini ditegaskan pula dengan ketentuan bahwa pemerintah dan pihak lain di luar

Bank Indonesia dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas

Bank Indonesia. Bank Indonesia wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur

tangan tersebut apabila ada (Pasal 9). Pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban ini

diancam hukuman yang cukup berat, yaitu penjara minimal dua tahun maksimal lima tahun

dan denda minimal Rp2 miliar maksimal Rp5 miliar. Selain itu, juga dinyatakan bahwa Bank

Indonesia berada di luar pemerintahan (penjelasan Pasal 4 ayat 2).

Namun demikian, masih terdapat hal teknis yang perlu kejelasan dalam penerapan

kerangka ITF, yaitu keharusan untuk mengumumkan target besaran moneter sebagaimana

diatur dalam Pasal 58: “Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat

secara terbuka... setiap tahun anggaran yang memuat: (a)...; (b) rencana kebijakan moneter

dan penetapan sarana-sarana moneter untuk tahun yang akan datang dengan

mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta perkembangan kondisi ekonomi dan

keuangan.” Pada umumnya bank sentral yang mengadopsi kerangka ITF, besaran moneter

Page 12: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

10

yang digunakan sebagai target operasi tidak ditetapkan secara eksplisit di awal tahun,

melainkan diumumkan setiap selesai monetary policy meeting. Dengan begitu, target operasi

akan disesuaikan dengan tekanan inflasi yang dapat diidentifikasi pada saat itu karena target

operasi berfungsi sebagai representasi dari monetary policy reaction function.

C. Kerangka Kebijakan Moneter Pasca-Uu No. 23/1999: Inflation Tergeting

Lite

Berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 memberi landasan hukum yang kuat bagi

penerapan suatu kerangka kebijakan moneter berdasarkan pendekatan ITF. Walaupun

demikian, undang-undang tidak mengamanatkan Bank Indonesia untuk mengadopsi suatu

kerangka kebijakan moneter berdasarkan ITF. Hal ini adalah pilihan Bank Indonesia sebagai

otoritas moneter. Apa yang diamanatkan oleh undang-undang adalah bahwa Bank Indonesia

mengumumkan sasaran inflasi setahun ke depan. Sasaran inflasi oleh Undang-Undang No. 23

Tahun 1999 ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang kemudian diubah melalui amandemen

Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 di mana penetapan sasaran inflasi dilakukan oleh

pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

Inflation Targeting atau Base Money Targeting

Segera setelah UU No. 23 Tahun 1999 diberlakukan, Bank Indonesia mengumumkan

target inflasi dengan kurun waktu setahun ke depan. Dalam implementasi kebijakan moneter

yang diambil, Bank Indonesia masih terus menggunakan uang primer atau base money

sebagai target operasional, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya. Pengecualian terjadi

pada tahun 2002, di mana uang primer tidak ditargetkan secara eksplisit, dan sebagai

gantinya digunakan target suku bunga riil. Namun, kerangka kebijakan moneter dengan

Page 13: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

11

mengumumkan dua target secara eksplisit mempunyai masalah mendasar. Dalam hal ini,

menjadi tidak lazim apa yang dilakukan Bank Indonesia dengan mengumumkan kedua target

tersebut pada saat yang sama di awal tahun. Pada umumnya di negara yang mengadopsi

kerangka ITF, hanya target inflasi sja yang diumumkan secara eksplisit, sedangkan target

operasional diumukan setiap selesai rapat monetary board dengan memperhatikan berbagai

faktor yang memengaruhi tekanan pada inflasi.

Dengan mengumumkan target operasi di awal tahun, sesungguhnya kebijakan

moneter Bank Indonesia pada tahun berjalan akan terkendala sejak awal. Bank Indonesia

menjadi tidak bebas untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk merespons

perubahan berbagai faktor yang menyebabkan inflasi termasuk perkembangan di sektor

keuangan yang pada umumnya sangat dinamis. Sebaliknya, kerangka base money targeting

hanya mengumumkan target base money secara eksplisit, sedangkan inflasi digunakan

“hanya” sebagai asumsi yang mendasari perhitungan target base money, tidak perlu

diumumkan secara eksplisit sebagai sebuah target, apalagi dengan memasukkan kurun waktu

pencapaiannya.

Dengan demikian, penggunaan pendekatan ITF dan kerangka base money targeting

sebaiknya dilihat sebagai sebuah hubungan substitusi, ketimbang sebagai sebuah hubungan

komplementer. Dalam kaitan ini, debat tentang efektivitas penggunaan target operasi base

money versus suku bunga yang menjadi hanya akhir-akhir ini juga menjadi sulit diputuskan

sepanjang kerangka besar kebijakan moneter Bank Indonesia belum ditentukan secara jelas.

Peran base money sebagai sebuah kerangka moneter tentu akan sangat berbeda dengan

perannya sebagai target operasi dalam kerangka ITF.

Kelemahan fundamental lain dengan mengumumkan target inflasi dan base money

pada saat yang sama adalah bahwa secara implisit Bank Indonesia mengakui hubungan antara

Page 14: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

12

base money dan inflasi adalah jenis hubungan yang one-to-one dan juga cenderung tidak

mempunyai tenggat waktu atau time lag kebijakan. Asumsi semacam itu jelas bertolak

belakang dengan kesimpulan umum dalam wacana kebijakan moneter mutakhir, di mana

hubungan besaran moneter dengan variabel riil menjadi semakin tidak stabil, dengan tenggat

waktu kebijakan adalah hal penting yang harus diantisipasi oleh setiap perumus kebujakan

moneter. Apabila asumsi implisit di atas pada kenyataannya tidak berlaku, kerangka formal

kebijakan moneter sesungguhnya menggunakan dua kerangka berbeda pada saat yang sama,

yaitu kerangka inflation targeting dan kerangka base money targeting.

Permasalahan lain yang lebih teknis muncul apabila kita mengevaluasi efektivitas

kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjaga target base money.

Kerangka Kebijakan Moneter dengan Banyak Anchor: Inflation Targeting Lite?

Selain kerancuan antara kerangka inflation targeting dengan base money targeting,

kerangka kebijakan moneter dalam praktiknya memiliki kompleksitas tambahan, di mana

dalam beberapa pernyataannya Bank Indonesia sering kali mengaitkan respons kebijakannya

dengan tujuan lain selain inflasi, misalnya untuk mengarahkan pada pencapaian nilai tukar

atau untuk mendukung proses pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, kerangka kebijakan

moneter Bank Indonesia dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang memiliki banyak anchor.

Contoh dari banyak anchor kebijakan tersebut dapat dilihat dalam petikan Laporan

Tahunan Bank Indonesia 2002 sebagai berikut: “Kebijakan moneter selama 2002 diarahkan

pada upaya penyerapan ekses likuiditas perbankan dengan tetap memerhatikan

perkembangan suku bunga yang terjadi agar tetap dapat memberikan sinyal yang kondusif

bagi perbaikan sisi penawaran di sektor riil....” (halaman 9); “dalam pelaksanaannya, strategi

ini dilakukan dengan terus melihat perkembangan inflasi, nilai tukar, uang primer, dan suku

bunga riil dari triwulan ke triwulan.” (halaman 10).

Page 15: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

13

Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa respons kebijakan moneter Bank Indonesia

memang tidakhanya dimaksudkan untuk pencapaian target inflasi. Memang bahwa bagi

negara berkembang perhatian atas variabel lain selain inflasi menjadi sangat relevan, namun

bagi negara berkembang yang menerapkan ITF, tujuan lain selain inflasi seharusnya menjadi

subordinat (lihat Mishkin 2003, dan Stone 2003). Urutan prioritas ituyang tampaknya belum

jelas benar dalam formulasi kebijakan moneter Bank Indonesia.

Permasalahan penting lain dalam kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia pasca

UU No. 23 Tahun 1999 adalah konsistensi dalam desain target inflasi. Contoh pertama adalah

penggunaan target inflasi yang kerangka waktu pencapaiannya berada dalam tahun yang

sama. Desain tersebut secara implisit tidak mengakui keberadaan tenggat waktu dalam

kebijakan moneter. Dalam kerangka ITF, pilihan kerangka waktu yang sangat singkat

tersebut juga sesungguhnya menggambarkan pilihan kerangka kebijakan yang strict, di mana

hampir setiap shock harus direspons karena terbatasnya waktu yang tersedia. Secara implisit,

penggunaan kurun waktu yang sangat singkat tersebut menunjukkan bahwa elemen target

inflasi dalam perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia memang tidak sepenuhnya

dimaksudkan sebagaimana seharusnya kerangka ITF karena penggunaan kerangka yang strict

menjadi tidak logis bagi perekonomian di negara berkembang yang memiliki variabilitas

inflasi yang tinggi.

Jika dilihatlevel dan jenis target inflasi yang diumumkan Bank Indonesia sejak tahun

2000, tampak juga bahwa desain target inflasi belum menggambarkan secara jelas proses

disinflasi yang seharusnya ada dalam tahap awal penerapan ITF. Pada tahun 2000 Bank

Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2000 berdasarkan kondisi fundamental

ekonomi dan yang secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan moneter sebesar 3%-5%.

Sasaran laju inflasi tersebut belummemperhitungkan kenaikan-kenaikan harga sebagai

dampak dari rencana kebijakan pemerintah. Tahun 2001, targetnya adalah “sasaran laju

Page 16: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

14

inflasi tahun 2001 yang secara langsung dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter adalah

sebesar 4%-6%.” Tahun 2002, targetnya “ sasaran laju inflasi IHK sebesar 9%-10% dengan

memerhatikan masih tingginya ekspektasi inflasi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah

di bidang harga dan pendapatan.” Terakhir, di tahun 2003: “Bank Indonesia menetapkan

sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi sebesar 1%.”

Dengan memerhatikan formulasi dari target inflasi di atas dapat dikatakan bahwa

target inflasi Bank Indonesia memang tidak sejak awal disusun dalam suatu proses yang

berkesinambungan, namun lebih terkesan ditetapkan dengan pertimbanganjangka pendek,

yaitu dengan melihat proyeksi inflasi 1 tahun ke depan. Desain seperti itu jelas menjadikan

target inflasi Bank Indonesia tidak terlalu kredibel di masyarakat. Bagi masyarakat pada

umumnya, keberadaan target inflasi Bank Indonesia tampak juga belum dapat dirasakan.

Bahkan, bagi praktisi ekonomi di pasar uang pun target inflasi Bank Indonesia tampaknya

belum diakui keberadaannya. Contoh kutipan berikut dari analisis ekonomi Standard

Chartered Bank (Country Report, Friday 28th February 2003) yang mengonfirmasi hal itu:

“BI does not have inflation targets, but it gemerally aims to achieve the inflation rate

assumed by the government fpr its budgetarypolicy.”

Dalam terminologi yang menjadi populer akhir-akhir ini, ketidakjelasan kerangka

kebijakan moneter seperti yang dipraktikkan Bank Indonesia dikategorikan sebagai inflation

targeting lite, untuk membedakannya dengan kerangka full-fledged inflation targeting

(Carare and Stone: 2003). Dalam makalah tersebut, Bank Indonesia dikelompokkan ke dalam

bank sentral without clear commitment, di mana kebijakan moneter Bank Indonesia dianggap

memiliki tiga anchor, yaitu inflasi, suku bunga riil, dan pertumbuhan base money.

Page 17: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

15

D. INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER

1) Rediscount Rate Policy

Rediscount Rate adalah kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk

mengontrol jumlah uang yang beredar (JUB) dengan cara menaikan atau menurunkan tingkat

bunga dan atau tingkat diskonto. Yang dimaksud dengan tingkat diskonto di sini adalah

tingkat bunga yang di tetap kan oleh Bank Sentral kepada bank-bank umum terhadap

penjualan surat-surat berharga yang likuiditasnya tinggi. Akibat langsung dari naik-turun nya

tingkat diskonto akan mempengaruhi tingkat bunga pinjaman bank-bank umum kepada

masyarakat. Jika di suatu masa JUB di masyarakat terlalu banyak, maka Bank Sentral akan

menaikan discount rate-nya terhadap bank-bank umum untuk membatasi niat masyarakat

melakukan pinjaman, sehingga diharapkan JBU tidak bertambah lagi dan bahkan bisa di

tekan dengan masuknya dana yang dipinjam masyarakat ke bank. Sebaliknya jika suatu masa

dirasakan JBU terlalu sedikit, maka pemerintah melalui Bank Sentral akan melakukan

kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat bunga bank dan atau tingkat diskonto, dengan

harapan daya beli (purchase power) masyarakat bertambah dengan ada nya tingkat bunga

pinjaman yang rendah. Naik turun nya tingkat diskonto dan bunga, mempunyai implikasi

langsung terhadap kebijakan operasi pasar terbuka (open market policy)

2) Open Market Policy

Kebijakan ini di jalan kan oleh pemerintah dengan cara menjual atau membeli surat-

surat berharga seperti obligasi ke/ dari masyarakat melalui bank bank umum (commercial

bank). Penjualan surat-surat berharga seperti obligasi di lakukan oleh pemerintah jika di

masyarakat terjadi kelebihan jumlah uang beredar―terutama dalam bentuk uang

giral―yaitu, pada masa inflasi. Sebaliknya jika di masyarakat terjadi kekurangan jumlah

uang beredar atau pada masa resesi, pemerintah akan membeli kembali obligasi-obligasi yang

pernah di tawarkan ke masyarakat melalui bank-bank umum.

Mekanisme Oprasi Pasar Terbuka terhadap Bank-bank Umum

Proses oprasi pasar terbuka terhadap bank-bank umum di lakukan oleh pemerintah untuk

mengurangi atau menambah jumlah uang beredar, khusus nya pada jenis uang giral. Proses

Page 18: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

16

ini sangat di pengaruhi oleh tingkat reserves requirement (RR)―cadanga minimal―yang di

tetapkan oleh pemerintah. Misalnya pada suatu kondisi, neraca gabungan bak-bank umum

berukut ini:

Neraca Gabungan Bank-bank Umum

(dalam milyaran rupiah)

RR 20

ER 80

100

DD 100

100

Catatan : RR = Reserves Requitmen

ER = Excess Reserves

DD = Demand Deposit

Jika misalnya pada masa itu pemerintah menetapkan tingkat RR =20%, maka

neraca gabungan diatas menunjukan bahwa cadangan minimal dari bank umum adalah

sebesar 20 milyar yang di dapat dari 20% x 100 milyar―artinya cadangan minimal dari

gabungan bank-bank umum telah sesuai dengan tingkat RR yang di tetapkan. Seandainya

pada masa itu terjadi kelebihan JUB, maka pemerintah akan mengurangi JUB dengan cara

menawarkan surat-surat berharga ke bank-bank umum. Misalnya surat-surat berharga yang di

tawarkan oleh pemerintah senilai Rp 2 milyar seuanya akan dibeli oleh bank-bank umum.

Karena bank umum sama sekali tidak mempunyai kelebihan cadangan dana, maka satu-

satunya cara adalah membeli surat-surat berharga tersebut dengan mengambil dana dari

cadangan minimal nya.

Posisi cadangan bank setelah membeli surat-surat berharga sekarang menjadi Rp 18

milyar―yaitu 20 milyar – 2 milyar = 18 milyar, yang mengakibatkan rasio cadangan minimal

bank menjadi 18% (18/100x100%)―artinya lebih kecil dari standar cadangan minimal yang

di tetapkan oleh pemerintah. Untuk meningkatkan besarnya rasio cadangan minimalnya, bank

harus menguragi pemberian pinjaman dan keperluan investasi lainnya. Untuk mencapai

Page 19: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

17

tingkat RR = 20%, bank harus mengurangi tabungan giral nya sebesar Rp 10 milyar, yaitu

menjadi Rp 90 milyar. Sehingga posisi neraca gabungan bank-bank umum sekarang menjadi

Neraca Gabungan Bank-Bank Umum

(dalam milyar rupiah)

RR 18

ER 72

DD 90

90 90

Akibat langsung dari operasi pasar terbuka adalah berkurangnya jumlah uang

beredar―khususnya uang giral―dengan perbandingan yang cukup menarik. Dalam kasus

diatas dapat kita lihat, dengan menjual surat-surat berharga senilai 2 milyar rupiah,

pemerintah dapat mengurangi jumlah uang beredar sebesar 10 milyar rupiah.

Seputar Kelemahan Operasi Pasar Terbuka

Jika kita simak penjelasan diatas, dapat ditemui beberapa kelemahan dari mekanisme operasi

pasar terbuka ini, yaitu:

1. Pada saat terjadi kelebihan cadangan minimaln bank-bank umum, dan

2. Karena terbatasnya pasar surat-surat berharga

Dampak dari kelebihan cadangan minimal bank-bank umum dapat mengakibatkan

tawaran pemerintah mengenai surat-surat berharga tidak lagi berarti terhadap

pengurangan/penambahan jumlah uang beredar. Sebagai contoh, dengan melihat kembali

neraca gabungan bank-bank umum seperti dibawah ini:

Page 20: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

18

Neraca Gabungan Bank-Bank Umum

(dalam milyar rupiah)

RR 20

ER 80

100

DD 100

100

Jika tingkat RR pada waktu itu adalah 18%, maka dalam neraca itu menunjukan sudah

terjadi kelebihan dana cadangan minimal sebesar 2 milyar―besarnya cadangan dana minimal

(RR) seharusnya adalah 18% x 100 milyar = 18 milyar dan ER-nya adalah 82milyar. Jika

pemerintah dalam hal ini ingin mengurangi jumlah uang beredar dengan enjual surat-surat

berharga senilai 2 milyar rupiah, maka oleh bank-bank umum akan dibayarkan dari kelebihan

cadangan minimalnya, sehingga tujuan pemerintah untuk mengurangi jumlah uang beredar

tidak tercapai karena jumlah uang beredar tetap sebesar 100 milyar rupiah.

Demikia juga halnya, terbatasnya pasar surat-surat berharga di kebanyakan negara

berkembang dapat mengakibatkan operasi pasar terbuka tidak leluasa untuk mengontrol

jumlah uang beredar.

3) Reserves Requirement Policy

Kebijakan ini ditujukan bagi perbankan atau lembaga-lembaga keuangan bank yang

ada dibawah pengawasan Bank Sentral. Reserves Requirement Policy adalah kebijakan yang

mengatur besarnya tingkat cadangan minimak bank (legal reserves ratio), yang secara tidak

langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk

kredit ke masyarakat (excess reserves/ER). Pemerintah dapat mengontrol kelebihan JUB

dengan menaikan atau menurunkan tingkat RR-nya, karena semakin besar tingkat RR, akan

mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER)

semakin kecil, sebaliknya semakin kecil tingkat RR akan mengakibatkan semakin besarnya

cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER). Kebijakan ini

Page 21: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

19

mempunyai pengaruh langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan

kebijakan pengaturan tingkat bunga dan diskonto.

Cadangan minimal (RR) dan Ekspansi Kredit (ER)

Besarnya ekspansi kredit bank-bank umum sangat tergantung pada besar―kecilnya

tingkat cadangan minimal(RR) yang ditetapkan Bank Sentral.Semakin besar tingkat RR akan

mengakibatkan semakin kecilnya ekspansi kredit. Demikian sebaliknya,semakin kecilnya

tingkat RR akan mengakibatkan semakin besarnya ekspansi kreditnya. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa antara tingkat RR dan ekpansi kredit ada hubungan terbalik satu dengan

lainnya.Formula yang digunakan untuk menerangkan hubungan ini adalah:

EK = 1/1-ER) x PD

Di mana :

EK = Ekspansi Kredit

ER = Excess Reserves

PD = Primary Deposit

Contoh:

Misalnya, diketahui dana yang masuk dibank sebagai PD adalah sebesar 1 milyar rupiah, dan

RR sebesar 20%, berapakah ekspansi kredit akibat tambahan dana yang masuk tersebut?

EK = 1/(1-ER) x PD

= 1/RR x PD

= 1/0,2 x RP 1 milyar

= 5 milyar

Jadi dengan ada nya primary deposit sebesar 1 milyar rupiah, dapat mengakibatkan

penambahan jumlah uang beredar sebesar 5 milyar rupiah.

Page 22: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

20

Seputar Proses Ekspansi Kredit

Bank “A” menerima setoran uang tunai dari nasabah “X” sebesar Rp 1 juta―setoran

ini disebut sebagai primary deposit. Jika pada masa itu ketentuan tentang tingkat cadangan

minimum (RR) sebesar 20%, maka neraca bank “A” akan terlihat

Neraca Bank “A”

Kas Rp. 1.000.000

RR 20% = Rp. 200.000

ER = Rp. 800.000

DD Rp. 1.000.000

Kelebihan cadangan (excess reserves) sebesar Rp 800.000 oleh Bank A dapat

disalurkan dalam bentu kredit ke masyarakat. Misalnya kredit dari Bank A di manfaatkan

oleh Dodo untuk membeli kulkas di Toko ABC, kemudian oelh toko ABC uang tersebut

dimasukan ke bank nya, yaitu bank “B”, sehingga neraca bank “B” adalah sebagai berikut:

Neraca Bank “B”

Kas Rp. 800.000

RR 20% = Rp. 160.000

ER = Rp. 640.000

DD Rp. 800.000

Demikian seterusnya, kelebihan cadangan dana bank (bank ascess reserves) akan

terus berputar sampai pada akhirnya jumlah uang yang beredar di masyarakat bertambah

menjadi:

Pertambahan JUB = Rp 1.000.000 = (ER x Rp 1.000.000) + (ER2 x Rp 1.000.000) + (ER3

x Rp 1.000.000) + dst., yanga hasilnya jika dilanjutakan perhitungannya adalah sama dengan

Rp 5.000.000.

Page 23: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

21

4) Himbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan Moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang

beredardengan jalan member imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti

mengimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit

untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar

dan mengimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk

memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

E. ALASAN MEMILIKI UANG

Untuk melengkapi apa yang sudah dibahas dimuka, maka berikut ini akan diuaraikan

beberapa alasan memiliki uang dilihat dari fungsi uang, sebagai berikut;

1. Fungsi uang yang paling pertama (basic function) adalah sebagai alat tukar

(means of exchange) dan sebagai satuan hitung (unit of account).

2. Fungsi tambahan (derivative function) uang adalah sebagai penimbun kekayaan

(store of value) dan sebagai alat pembayaran yang di tangguhkan pada masa depan

(standard for deferred payments).

3. Fungsi tambahan lainnya adalah sebagai komoditas.

Page 24: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

22

KESIMPULAN

Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui

penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan

tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Instrumennya antara lain : 1) Rediscount Rate Policy, 2) Open Market Policy, 3)

Reserves Requirement Policy.

Page 25: Makalah Kapita Selekta Ekonomi

DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Aulia (2008). KERANGKA KEBIJAKAN MONETER & IMPLEMENTASINYA DI

INDONESIA. Jakarta: Penerbit PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Judiseno, Rimsky K (2005). Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. Jakarta: Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama.

Kinantiarin (2012). Kebijakan Moneter. From http://kinantiarin.wordpress.com/kebijakan-

moneter/, 9 Oktober 2012

Yanescihuy (2012). Kebijakan Moneter Bank Indonesia. From

http://yanesscihuy.wordpress.com/2012/03/19/kebijakan-moneter-bank-indonesia/, 9

Oktober 2012

Wikipedia (2012). Kebijakan Moneter. From id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter

iii