tipikorisasi kontrak kerja konstruksi

76

Click here to load reader

Upload: melda-oktavia-amel

Post on 02-Jul-2015

502 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi: Tinjauan Normatif Atas Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi Dengan Menggunakan Hukum Pidana I. Pendahuluan Jasa konstruksi merupakan salah satu problematika dalam perkembangan hukum di Indonesia yang menuntut keteraturan hukum dikarenakan kompleksitas persoalannya. Persoalan-persoalan yang kompleks tersebut menyangkut peranan berbagai subjek hukum dalam proses pelaksanaan jasa konstruksi. Kecenderungan untuk melakukan penyimpangan di dalam persoalan jasa konstruksi atau pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di Indonesia menjadi sesuatu yang patut dicermati. Selain itu, pengenaan hukum yang tepat dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi menjadi titik tolak utama bagaimana penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim di Indonesia menerapkan ketentuan- ketentuan hukum yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi. Di dalam konsep jasa konstruksi dikenal adanya kontrak kerja konstruksi yang merupakan landasan bagi penyelenggaraan jasa konstruksi di Indonesia. Kontrak kerja ini menjadi fokus dalam mengadakan suatu kegiatan jasa konstruksi, dikarenakan substansi kontrak yang memuat kepentingan hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Namun, pelaksanaan kontrak tersebut seringkali memunculkan persoalan, ketika diperhadapkan pada suatu intervensi negara dalam konteks tindak pidana korupsi. Masalah utama yang kemudian perlu dijawab adalah apakah penyimpangan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi yang tidak sesuai, bisa dituntut sebagai suatu tindak pidana korupsi? Dapatkan tindak pidana korupsi dikenakan pada proses pelaksanaan kontrak kerja konstruksi? Permasalahan-permasalah ini layak diangkat sebagai topik yang menarik dan secara normatif dapat ditemukan jawabannya. II. Tentang Kontrak Kerja Konstruksi Masalah jasa konstruksi di Indonesia diatur dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dimana jasa konstruksi diberikan arti adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 1). Kemudian yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya. untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain (Pasal 1 angka 2). Sementara secara khusus, terdapat Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003

Page 2: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah, dan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Di dalam undang-undang tersebut pula, diatur mengenai kontrak kerja konstruksi, sebagai landasan adanya hubungan antar subyek hukum pelaku jasa konstruksi atau pengadaan barang/jasa. Letak keterhubungan tersebut ada pada konsep perjanjian antar subyek hukum dalam proyek jasa konstruksi, pelaksanaan, dan pengawasan. Kontrak kerja konstruksi diartikan sebagai keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 5). Sementara di dalam Pasal 1 angka 15, Keppres 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Di dalam kontrak kerja konstruksi terdapat beberapa substansi kontrak menurut Pasal 22 ayat (2), UU No. 18 Tahun 1999, yakni1 : a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa 1 Terkait dengan Keppres No. 80 Tahun 2003, terdapat pengaturan mengenai perjanjian pengadaan barang/jasa yang harus dibuat secara tertulis (kontrak) dengan isi perjanjian antara lain : a. para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan, dan alamat; b. pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan; c. hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian; d. nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran; e. persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci; f. tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadual waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya;

Page 3: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

g. jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelaikan; h. ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya; i. ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak; j. ketentuan mengenai keadaan memaksa; k. ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan; l. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja; m. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan. (Lihat Pasal 29 ayat (1), Keppres No. 80 Tahun 2003

untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; j. keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; k. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan. III. Tinjauan Normatif Tindak Pidana Korupsi di dalam Kontrak Kerja Konstruksi Pertanyaan awal yang diajukan adalah apakah kontrak kerja konstruksi dapat dimasuki oleh hukum pidana, terutama pada saat terjadinya pelanggaran dan/atau penyimpangan pelaksanaan kontrak

Page 4: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

tersebut. Pertanyaan ini menjadi titik tolak utama apakah sebenarnya negara dapat mengintervensi (secara pidana) atau masuk dalam ranah kontrak kerja konstruksi, dimana kontrak merupakan bagian dalam hukum perdata di Indonesia. Sekaligus juga dapatkah subyek/pihak dalam kontrak kerja konstruksi dapat dituntut dengan ancaman tindak pidana korupsi bilamana subyek/pihak tersebut tidak memenuhi isi dari kontrak kerja konstruksi? Hal-hal semacam inilah yang kemudian menyebabkan ada beragam persoalan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi di bidang jasa konstruksi. Yurisprudensi yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi jasa konstruksi layak dilihat kembali berkaitan dengan pengenaan hukum pidana dalam kontrak kerja konstruksi. Layak dicermati bahwa pada Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999, dinyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini secara otentik dapat diartikan bahwa UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, harus memuat

secara tegas tentang tuntutan tindak pidana korupsi, bilamana terjadi pelanggaran terhadap UU Jasa Konstruksi tersebut. Fakta yuridisnya adalah di dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, tidak terdapat satu Pasalpun mengenai tuntutan pidana korupsi, sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999. Akan tetapi perlu dilihat alasan lain mengapa UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat dikenakan pada pengaturan tindak pidana dalam jasa konstruksi: (1) Bahwa UU No. 31 Tahun 1999 telah disahkan dan berlaku efektif pada tanggal 16 Agustus 1999, sementara UU No. 18 Tahun 1999 telah sah dan berlaku efektif pada tanggal 7 Mei 1999. Hal ini berarti bahwa undang-undang jasa konstruksi telah terlebih dahulu berlaku dan tidak ada ketentuan peralihan yang menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuk sebelum UU No. 31 Tahun 1999 dapat dikenakan tuntutan tindak pidana korupsi. (2) Bahwa dalam UU No. 18 Tahun 1999, terhadap perbuatan hukum yang melanggar ketentuan di dalam peraturan perundangan tersebut hanya dinyatakan dapat diajukan gugatan dan tuntutan pidana umum, bukan tindak pidana khusus tertentu yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Pada Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tersebut dapat dijelaskan empat hal yang dapat dikemukakan, sebagai landasan bahwa Pasal ini tidak dapat diberlakukan pada UU No. 18 Tahun 1999, yakni2 : - Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal tersebut, apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi, kecuali yang sudah terdapat pada Pasal 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan 13, juga termasuk ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang lain, tetapi dengan syarat bahwa di dalam undang-undang lain tersebut terdapat ketentuan

Page 5: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

yang menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran yang terdapat di dalam undang-undang lain tersebut merupakan tindak pidana korupsi; - Maksud dari Pasal 14 tersebut tidak hanya dapat dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk ‘undang-undang’, tetapi juga dapat dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, yang berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, karena undang-undang dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hirearki setingkat; - Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘ketentuan yang berlaku dalam undang-undang ini’ dalam Pasal 14 adalah baik yang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Dengan demikian Pasal 14 hendak menentukan jika di dalam suatu undang-undang terdapat ketentuan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan

sebagai tindak pidana korupsi, maka berlaku ketentuan-ketentuan baik yang merupakan hukum pidana materiil maupun yang merupakan hukum pidana formil yang terdapat di dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 30 Tahun 2002; - Sampai sekarang undang-undang yang dimaksud oleh Pasal 14 tersebut belum ada. Apabila dicermati ketentuan di dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, ada terdapat Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 yang dapat dikaitkan dengan Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 untuk melihat apakah ada peluang pengenaan tuntutan pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU No. 18 Tahun 1999 meyatakan bahwa: Pasal 18: (1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup: a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. (2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi. (4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 19 : Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah

Page 6: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum. Di dalam Pasal tersebut, khususnya pada Pasal 19, dinyatakan bahwa “…..wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum” yang dapat dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b, yakni menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. Artinya, dalam pelaksanaan lelang, dan kemudian ada putusan penetapan lelang.3 Pasal ini

berpotensi dapat ditafsirkan sebagai Pasal yang dapat dikenakan ancaman pidana. Namun yang perlu dipahami bahwa konteks pada “…hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak..” tidak menunjuk pada arti kata “.. bisa dituntut secara hukum” yakni melalui pidana. Oleh karena frasa tersebut, adalah tidak bisa dipisahkan dengan makna kalimat sebelumnya yang menunjuk Pasal 18 ayat (1) huruf b, yang merupakan ganti rugi secara perdata terhadap pihak yang dirugikan oleh karena pengubahan atau pembatalan penetapan, atau pengunduran diri. Yang mana memang terdapat berbagai macam/jenis ganti rugi dalam hukum perdata. Maka frasa “bisa dituntut secara hukum” bukanlah upaya hukum pidana. Hal ini bisa diargumentasikan pula berdasarkan konstruksi Pasal- Pasal mengenai upaya hukum di dalam undang-undang ini yang menyebutkan secara tegas dengan kata “gugatan perdata” atau “pidana” bilamana yang dimaksudkan memang merupakan perbuatan perdata atau pidana. Pasal ini belum memenuhi syarat sebagaimana pada Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999, karena alasan yang dapat dikemukakan, yakni bahwa Pasal 19 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, tidak memenuhi persyaratan ketegasan pernyataan dalam Pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Jadi di dalam konteks Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi merupakan ukuran pasti dalam mengadakan pekerjaan konstruksi. Akibatnya adalah bahwa pihak-pihak di dalam kontrak kerja konstruksi harus memenuhi hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya di dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Hak dan kewajiban di dalam kontrak kerja konstruksi merupakan suatu prestasi yang dilaksanakan masing- masing pihak, sehingga konteks ini merupakan bagian dari ranah hukum perdata. a.Tentang Kontrak dan Kontrak kerja konstruksi Kontrak merupakan istilah yang menunjuk pada konsep perjanjian pada umumnya. Kontrak sendiri berasal dari bahasa Inggris yaknicon tra ct, atauoverennkomst dalam bahasa Belanda, yang berarti perjanjian. Di Indonesia, perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni berbunyi: “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Perjanjian dalam pengertian lain adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai

Page 7: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dengan yang telah disepakatinya.4 Dalam pengertian-pengertian tersebut terdapat beberapa unsur, yakni : adanya hubungan hukum, mengenai kekayaan, antara 2 Orang/lebih, memberikan hak, meletakkan kewajiban pada pihak lain, adanya prestasi. Kemudian untuk sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.” Dalam pasal tersebut, terdapat dua syarat subyektif (kesepakatan dan kecakapan) yang disebut juga kausa individualis, yaitu syarat yang menyangkut mengenai subyeknya dan tidak terpenuhinya syarat ini dapat menyebabkan perjanjian batal demi hukum (secara hukum dianggap tidak pernah ada). Selain itu juga terdapat dua syarat obyektif, yakni syarat tentang obyeknya, disebut juga kausa finalis, yang bilamana tidak terpenuhinya syarat ini, perjanjian dapat dibatalkan. Adapun secara sederhana, masing-masing syaratnya sahnya perjanjian dapat diterangkan sebagai berikut. - Tentang sepakat atau konsesus yakni keseuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Di mana unsur kesepakatan ada dua, yaitu :of f e rte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan, danacceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal perjanjian.5 kesepakatan ini juga dapat dilihat dari Pasal 1321 yang mana menyatakan bahwa kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. - Tentang kecakapan ini menyangkut dengan keberadaan subyek hukum pelaku perjanjian, yakni pendukung hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan cakap dalam Pasal 1320 ini adalah bahwa pihak yang melakukan perbuatan hukum memenuhi kualifikasi sebagaimana pada Pasal 1330 KUHPerdata, atau setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, apabila orang tersebut telah berusia 18 tahun atau sebelumnya telah melangsungkan perkawinan atau mereka yang tidak berada di bawah pengampuan. - Tentang obyek/suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian, dapat dilihat pada Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata, yakni terdiri atas

Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi dua hal: (1) obyek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung; dan (2) obyek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi obyek perjanjian). - Tentang suatu sebab yang halal, adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (1337 KUHPerdata), dan konsepsi halal menjadi bagian dalam pasal ini yang dapat diartikan sebagai tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.6

Page 8: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Sementara itu di dalam hukum jasa konstruksi dikenal adanya kontrak kerja konstruksi, yang diartikan sebagai keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 5 UU No. 18 Tahun 1999). Sementara di dalam Pasal 1 angka 15, Keppres 80 Tahun 2003, kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pengertian kontrak kerja konstruksi adalah suatu perbuatan hukum antara pihak pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa konstruksi dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dimana dalam hubungan hukum tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari: pengguna jasa dan penyedia jasa (perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi).7 Penjelasan ini berarti bahwa dimensi hukum dalam kontrak kerja konstruksi adalah dimensi hukum perdata, bukan hukum pidana karena dalam hukum pidana tidak dikenal adanya kontrak. Dalam konteks ini, kontrak kerja konstruksi tunduk pada Pasal 1313 KUHPerdata jo Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena tunduk pada hukum perdata, hubungan hukum antar para pihak dalam jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, adalah hubungan kontraktual (berdasarkan kontrak) yang harus memenuhi persyaratan sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1338 KUHPdt, para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian, namun kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian sekiranya telah hilang karena di dalam Pasal 22 UU No. 18 Tahun 1999, telah ditentukan isi dari suatu kontrak kerja jasa konstruksi. Bentuk perjanjian jasa konstruksi yang ada adalah bentuk kontrak standar, dengan tujuan untuk menjaga agar kontrak dan pelaksanaan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan. Para pihak terutama pihak penyedia jasa tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan kontrak kerja konstruksi. Karena semua proses dari tahapan awal dari pendaftaran sampai dengan penetapan pemenang lelang semuanya telah diatur oleh undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya termasuk dalam perjanjian kontrak kerja konstruksi telah diatur dalam bentuk standar kontrak. Pihak pengguna jasa dalam hal ini terutama pemerintah dan atau lembaga negara lebih dominan untuk menentukan isi perjanjian.8 Meskipun demikian kedudukan hukum pihak-pihak tersebut adalah kedudukan sebagai pihak-pihak dalam hukum privat. Hal ini diperjelas dengan ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 18 Tahun 1999 yang tidak mencantumkan tuntutan pidana terhadap pelanggaran isi kontrak kerja konstruksi. Bilamana terjadi pelanggaran terhadap kontrak, yakni tidak terpenuhinya prestasi (hak dan kewajiban), maka persoalan tersebut dapat diajukan penyelesaiannya melalui mekanisme yang diatur dalam isi kontrak yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak pembuatnya, atau mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Gugatan ini berupa gugatan ganti kerugian atau gugatan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata di Indonesia. b.Sengketa Kontrak Kerja Konstruksi dan Kegagalan Bangunan Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian

Page 9: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).9 Sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian : (1) sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar; (2) sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi; dan (3) sengketapasca con tr actu al yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun. Sengketacontractu al terjadi pada saat pekerjaan pelaksanaan sedang berlangsung. Artinya tahapan kontraktual

sudah selesai, disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bertek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap).10 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 mengatur mengenai sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi, khususnya Pasal 41 dan Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat yang menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa. Pada pinsipnya barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan beroperasi), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Selain sanksi pidana, para profesional (tenaga ahli) teknik juga akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 Pasal 31, 32, dan 33ju n cto PP Nomor 30 Tahun 2000 Pasal 6 ayat (4). Sanksi pidana dirasakan perlu mengingat bahwa sanksi lain seperti sanksi administrasi bagi pelanggaran norma-norma hukum Tata Negara dan Tata Usaha Negara, dan sanksi perdata bagi pelanggaran norma-norma hukum perdata belum mencukupi untuk mencapai Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi tujuan hukum, yaitu rasa keadilan.11 Pasal mengenai sanksi pidana tersebut berkaitan erat dengan keberadaan Pasal-Pasal yang mengatur mengenai kegagalan bangunan, yakni Pasal 25, 26, 27, 28, dan 29 UU No. 18 Tahun 1999. Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan bangunan. Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, kegagalan pekerjaan konstruksi, dan/atau cidera janji seringkali dihubungkan dengan kerugian negara. Kerugian negara sendiri terkait

Page 10: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Kerugian ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 undang-undang tersebut, yakni : Pasal 2 ayat (1)12 :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 313 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, merupakan tindak pidana umum, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan bukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara. Artinya dapat dilakukan oleh siapa saja dari masyarakat umum.14 Bahwa yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan, bukan pada akibat dari perbuatan tersebut dilakukan (delik materiil). Agar seseorang kemudian dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, tidak diperlukan alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Tujuannya yang lain adalah untuk tidak menghapus tuntutan pidana meskipun bilamana tindak korupsi telah dilakukan seseorang, kerugian atas tindakan tersebut telah diganti atau dikembalikan.15 Tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, merupakan tindak pidana umum, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan bukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara. Artinya dapat dilakukan oleh siapa saja dar

masyarakat umum.16 Bahwa yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan, bukan pada akibat dari perbuatan tersebut dilakukan (delik materiil). Agar seseorang kemudian dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, tidak diperlukan alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Tujuannya yang lain adalah untuk tidak menghapus tuntutan pidana meskipun bilamana tindak korupsi telah dilakukan seseorang, kerugian atas tindakan tersebut telah diganti atau

Page 11: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dikembalikan.17 Salah satu unsur dalam Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, adalah perbuatan melawan hukum. Persoalannya kemudian apakah perbuatan-perbuatan hukum di dalam kontrak kerja konstruksi yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 1999 dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001? Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan penjelasan yang demikian, maka konsep ‘melawan hukum’ tersebut terkait dengan ajaran tentang sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,18 bahwa suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang- undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, secara tegas dapat dinyatakan bahwa perbuatan-perbuatan hukum di dalam kontrak kerja konstruksi atau perbuatan-perbuatan hukum yang termuat di dalam kontrak kerja konstruksi, bukanlah perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, karena : • Segala perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, adalah perbuatan-perbuatan hukum yang dinyatakan secara tegas sebagai suatu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan kerja kontruksi yang disepakati secara bersama dan diatur di dalam UU No. 18 Tahun 1999. Dengan demikian perbuatan-perbuatan hukum yang diperjanjikan tersebut, tidak

bertentangan dengan undang-undang dan/atau norma-norma kehidupan masyarakat; • Segala perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela sebagaimana diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dikarenakan di dalam kontrak kerja konstruksi tersebut tidak diatur mengenai perbuatan tercela yang dapat dituntut dengan tindak pidana korupsi. Dengan berlandaskan pada dua alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kontrak kerja konstruksi secara materiil bukan merupakan perbuatan yang tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, sehingga perbuatan-perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, baik secara materiil dan formil, bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Artinya bahwa untuk dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi, perbuatan-perbuatan hukum

Page 12: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

di dalam kontrak kerja konstruksi tidak memenuhi syarat formil dan materiil tentang perbuatan melawan hukum, jadi kontrak kerja konstruksi tidak dapat di-tipikorisasi-kan. Perumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 di atas berkenaan dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara, sangat tegas. Perumusannya yang menggunakan frasa ‘dapat’, artinya kerugian keuangan negara bisa sudah terjadi, atau mempunyai potensi (‘dapat’) terjadi. Tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU no. 20 Tahun 2001 menganut kerugian keuangan negara secara formil, tidak perlu ada kerugian yang nyata. Pasal ini juga terkait dengan Pasal 32, Undang- undang tersebut, dimana istilah kerugian yang dijabarkan dalam penjelasan undang-undangnya, yakni : Pasal 32 : (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasannya: Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Penjelasannya: Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam menentukan kerugian negara perlu dicermati muatan dalam Pasal 32 tersebut. Pasal 32 ayat (1) memberi jalan keluar dalam hal ‘secara nyata telah ada kerugian keuangan negara’ tetapi ‘penyidik menemukan dan berpendapat satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti’. Jalan keluarnya adalah ‘penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan’. Dan Pasal 32 ayat (2) hanya menegaskan tentang putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Masalahnya adalah apakah Pasal ini juga dapat untuk mengenakan

Page 13: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

kerugian negara dalam sengketa kontrak kerja konstruksi? Dalam Pasal 32 ayat (1) tersebut justru dapat dianalisis bahwa bila penyidik dalam melakukan penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih dari unsur tindak pidana korupsi tidak cukup bukti , maka perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi, tetapi merupakan perbuatan perdata. Jadi di dalam tindak pidana korupsi pun dimungkinkan bahwa seseorang yang disangka korupsi, namun tidak terbukti unsur-unsurnya, maka dia dituntut dengan gugatan perdata berdasar kategori 1365 KUHPerdata. Sehingga sebagai perbuatan perdata, perbuatan yang dilakukan oleh tersangka dapat saja merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam 1365 KUHPerdata, yang dapat dijadikan dasar hukum bagi Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata.19 Frasa ‘secara nyata telah ada kerugian negara’ juga harus dipahami bahwa pada penjelasan Pasal itu, dinyatakan bahwa frasa itu menunjuk pada kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan yang ditunjuk oleh

penyidik. Dengan adanya penjelasan tersebut, maka untuk menentukan berapa jumlah kerugian negara perlu diajukan alat bukti berupa keterangan ahli (Pasal 184 aat (1) huruf b KUHAP). Diantara perumusan tindak pidana korupsi di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, unsur kerugian negara hanya ditemukan di dalam perumusan tindak pidana korupsi yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3. Maka dengan demikian dapat diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dalam Pasal 32 ayat (1) adalah hanya tindak pidana korupsi seperti pada Pasal 2 dan Pasal 3 saja. Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya adalah ketentuan yang membatasi diskresi penyidik (jaksa pengacara negara) untuk memaksa adanya pemenuhan syarat unsur-unsur tindak pidana korupsi di dalam kontrak kerja konstruksi. Pasal ini justru memberikan peluang adanya gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan/atau berpotensi menimbulkan kerugian negara. Namun demikian tentang temuan adanya kerugian negara, karena penyedia jasa konstruksi tidak menyelesaikan tugas; tidak memenuhi mutu; tidak memenuhi kuantitas (volume); dan tidak menyerahkan hasil pekerjaan, merupakan perbuatan cidera janji20 maka penyelesaian ganti kerugian pengguna jasa berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantina biaya, dan atau perpanjangan waktu, perbaikan, pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi.21 Dengan demikian maka jika terjadi cidera janji kontrak kerja konstruksi, penyelesaiannya harus secara kontraktual dan tidak dapat diselesaikan dengan tindak pidana korupsi. Untuk pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah metode yang menurut Keppres No. 80 Tahun 2003, boleh dipergunakan, yakni: metode lelang, metode pemilihan langsung, metode penunjukan langsung, metode swakelola dan metodeseleksi dengan persaingan. Dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, juga dikenal beberapa tahapan yang harus dilalui berkaitan

Page 14: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dengan pengadaan barang dan jasa. Ironisnya, dari ke-15 (Lima Belas) tahapan ini, semua tahapannya sering terjadi penyimpangan- penyimpangan yang menyebabkan marak terjadinya korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa selama ini hanya diatur dalam Keppres. Di dalam Keppres kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa belum atau tidak digolongkan sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara. Karenanya dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan barang dan

jasa diatur dengan Undang-Undang.22 Jika diatur dengan Undang-Undang, pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana sebagi melangggar ketentuan Undang- Undang Pengadaan barang dan jasa serta dapat dituduh melanggar UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. IV.Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan 1. Bahwa di dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, tidak terdapat satu Pasal pun yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang tersebut merupakan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 14, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Bahwa berdasarkan Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka undang-undang tersebut tidak dapat diberlakukan di dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sebab Pasal 14, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan ketentuan yang membatasi keberlakuan seluruh Pasal-Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cidera janji yang dimuat di dalam kontrak kerja konstruksi merupakan masalah perdata,

Page 15: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

sehingga penyelesaiannya harus melalui upaya hukum perdata, bukan dengan dipaksakan pidana, terlebih tindak pidana korupsi.

4. Bahwa 32 ayat (1), UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membatasi pemberlakuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni di dalam hal cidera janji kontrak kerja kontruksi. 5. Bahwa dengan demikian, bilaman terjadi adanya kerugian negara, maka tindak pidana korupsi bukanlah merupakan satu-satunya cara penyelesaian masalah, dikarenakan ada cara penyelesaian yang lain, yakni cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata. b. Rekomendasi Dalam penegakan tindak pidana korupsi, yang terkait kontrak kerja konstruksi supaya penyidik dapat menegakkan ketentuan yang benar, sesuai yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (1), UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, oleh karena bilamana dalam penyelidikan tidak ditemukan unsur tindak pidana korupsi, maka terdapat ketentuan yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu jaksa penuntut umum menjalankan upaya hukum gugatan perdata. Atau instansi yang dirugikan mengajukan gugatan perdata. Sehingga tidak semestinya ditempuh upaya penuntutan tindak pidana korupsi dengan mengesampingkan perintah undang-undang untuk menempuh gugatan perdata.

Page 16: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

1.        PENDAHULUANEra reformasi adalah era perubahan. Perubahan disegala bidang kehidupan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Salah satunya adalah dibidang hukum. Dalam bidang hukum, diarahkan pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam, seperti politik & ekonomi dan menegakkan hukum tersebut. Seperti kita ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan kita yang masih berasal dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa reformasi ini telah banyak dihasilkan produk perundang-undangan seperti UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, UU No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi Dll dimana semua itu rata-rata adalah bentukan hukum dibidang sektoral dan bukan paada pembaharuan hukum yang bersifat dasar (Basic Law). Hukum kontrak kita masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek Bab III tentang Perikatan (selanjutnya disebut buku III) yang masuk dan diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda melalui asas Konkordansi yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di negeri Belanda berlaku pula pada pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), hal tersebut untuk memudahkan para pelaku bisnis eropa/ Belanda agar lebih mudah dalam mengerti hukum.Dan seiring berjalannya waktu  maka pelaku bisnis lokal pun harus pula mengerti isi peraturan dari KUHPerdata terutama Buku III yang masih merupakan acuan umum bagi pembuatan kontrak di Indonesia.  

2.        KONTRAK       2.1   Pengertian

Para pakar banyak yang memberikan definisi tentang kontrak. Menurut penulis bahwa kontrak adalah

 ” Kaidah/aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antar para pihak  berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum untuk melaksanakan suatu prestasi/obyek perjanjian” 

Pengaturan umum tentang kontrak diatur dalam KUHPerdata buku III. 

       2.2  Asas hukum kontrak1.        Asas kebebasan berkontrak yaitu asas yang membebaskan para pihak untuk: mengadakan

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan, menentukan bentuknya mau tertulis atau cukup lisan.

2.        Asas konsensualisme3.        Asas Pacta Sunt Servanda4.        Asas Itikad baik5.        Asas Kepribadian yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan membuat

kontrak hanya untuk kepentingn persoon itu sendiri.

Sumber hukum kontrak dalam Civil Law (Indonesia dan sebagian besar Negara Eropa) adalah Undang-undang, Perjanjian antar Negara, Yurisprudensi dan Kebiasaan

Sementara Amerika, Inggris (juga Negeri Persemakmuran) yang menganut system Common Law adalah Judicial Opinion/Keputusan Hakim, Statutory Law/perundang-undangan, the Restatement (rumusan ulang tentang hukum dikeluarkan oleh Institut Hukum Amerika/ALI), dan Legal commentary.

Page 17: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

 

        2.3   Syarat sahnya kontrak menurut KUHPerdata adalah

1.        Sepakat : Tanpa paksaan, kekhilafan maupun penipuan

2.        Cakap dalam melakukan perbuatan hukum

3.        Mengenai hal tertentu

4.        Suatu sebab yang halal

Momentum  terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata sepakat yang ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk kesepakatan oleh para pihak.

Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Agar mereka tenang dan mengetahui dengan jelas akan hak dan kewajiban mereka.

Kontrak menurut penulis ada 2 macam yaitu Kontrak Nominaat atau bernama dan Innominaat atau tidak bernama. Maksud dari kontrak Nominaat adalah bahwa kontrak tersebut telah dikenal dan diatur oleh KUHPerdata sedang Innominaat maksudnya adalah bahwa jenis kontrak tersebut belum dikenal dalam KUHPerdata dan pengaturannya diluar KUHPerdata. Sifat pengaturan buku III ini adalah terbuka (open) artinya dimungkinkan dilakukan suatu bentuk perjanjian lain selain yang telah diatur dalam KUHPerdata. Hal ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sehingga seiring kebutuhan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhannya ada saja suatu bentuk kontrak/perjanjian yang  belum dikenal oleh KUHPerdata. Kontrak Nominaat contohnya adalah tentang jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah dll. Sementara itu Innominaat adalah franchise, joint venture, kontrak rahim, leasing, belisewa, production sharing dll yang akan muncul sesuai perkembangan zaman dan sesuai kebutuhan manusia.

       2.4 Ketentuan-ketentuan Umum dalam Hukum Kontrak.

2.4.1    Somasi

Diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Somasi timbul karena debitur tidak melaksanakan prestasi sesuai yang diperjanjikan.

                  2.4.2   Wanprestasi

Adalah tidak terpenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak. Dapat dikatakan wanprestasi jika sebelumnya pihak berhutang telah diberi surat teguran atau somasi sebanyak minimal tiga kali.

Tuntutan atas dasar wanprestasi dapat berupa: meminta pemenuhan prestasi dilakukan, menuntut prestasi dilakukan disertai ganti kerugian, meminta ganti kerugian saja, menuntut pembatalan perjanjian, menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.

2.4.3      Ganti rugi

Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam pasal  1243 hingga 1252 KUHPerdata. Ganti rugi ini timbul karena salah satu pihak telah wanprestasi atau tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Ganti kerugian yang dapat dituntut berupa: kerugian yang telah nyata-nyata

Page 18: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

diterima, kerugian berupa keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh (ditujukan kepada bunga-bunga).

2.4.4     Keadaan memaksa/force majeur

Diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata. Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, ganti kerugian ataupun bunga kepada kreditur oleh karena suatu keadaan yang berada diluar kekuasaanya dalam upayanya melakukan prestasi.

 

 

2.4.5   Risiko

Adalah suatu ketentuan  yang mengatur  mengenai pihak mana yang memikul kerugian/menanggung akibat, jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa obyek perjanjian. Misal ketika telah terjadi suatu kesepakatan pembangunan gedung, maka segala sesuatu akibat sebelum penyerahan terjadi menjadi tanggung jawab pihak ketiga selaku risk insurance. Jika terjadi kebakaran sebelum diserahkan maka itu risiko pihak asuransi yang harus dipertanggungjawabkan.

2.5 Penyusunan Kontrak [2]

Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Prakontraka. Negosiasi;b. Memorandum of Understanding (MoU);c. Studi kelayakan;d. Negosiasi (lanjutan).2. Kontrak a. Penulisan naskah awal;b. Perbaikan naskah;c. Penulisan naskah akhir;d. Penandatanganan.3. Pascakontrak a. Pelaksanaan;b. Penafsiran;c. Penyelesaian sengketa.

Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru

Page 19: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.

Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.

Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam  perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :

(1) Judul;(2) Pembukaan;(3) Pihak-pihak;(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);(5) Isi; (6) Penutupan.

Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :

“Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.”

Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :

1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;

2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.

Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :

“dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan

Page 20: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.”

Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.

Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirumuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya:

“Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.”

Menurut UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi pasal 22 ayat (2) kontrak minimal harus terdiri atas:

1.      Para pihak2.      Rumusan pekerjaan3.      Nilai pekerjaan4.      Masa pertanggungan/pemeliharaan5.      Tenaga ahli6.      Hak dan kewajiban7.      Cara pembayaran8.      Cedera janji9.      Penyelesaian perselisihan10.  Pemutusan kontrak kerja 11.  Keadaan memaksa12.  Perlindungan pekerja13.  Aspek lingkungan

      

       2.6   Pola Penyelesaian Sengketa dalam kontrak

Pada umumnya dibagi dua yaitu melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR). ADR yang biasa digunakan adalah Arbitrase dan Mediasi.

Arbitrase menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury adalah  suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan  mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat

Mediasi menurut penulis adalah metode penyelesaian yang dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan dengan dibantu mediator yang ditunjuk oleh para pihak namun mediator tersebut tidak memiliki kekuatan apapun untuk memutus ia hanya berfungsi untuk mencari jalan tengah, jadi keputusan akhir dan eksekusi tetap ada di para pihak.

 

Page 21: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

3.        PENUTUPBanyak permasalahan yang terjadi pada suatu kontrak bila tidak tersusun dengan baik, rapi dan jelas. Permasalahan tersebut akan semakin merugikan pihak yang lemah kedudukannya dalam kontrak tersebut bila terjadi perselisihan dan terpaksa memasuki jalur pengadilan. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan dengan seksama efek atau akibat kontrak tersebut sebelum menandatanganinya. Apakah kita telah memiliki kedudukan yang seimbang atau tidak.Mengingat pengaturan hukum  kontrak kita yang memang tidak berubah sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, tidak ada salahnya bagi kita para praktisi, bisnis, masyarakat maupun akademis untuk mempelajari dan mengerti.Tak kalah penting pula untuk memperhatikan peratuan  perundang-undangan lain yang terkait dengan kontrak yang hendak dilakukan.

 

Prinsip-prinsip Hukum KontrakHukum kontrak merupakan bagian hukum privat. Hukum  ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Dipandang sebagai hukum privat karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak. Kontrak dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi  kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Menurut Ridwan Khairandi, paradigma baru hukum kontrak timbul dari dua dalil di bawah ini:

1.    setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah  (geoorloofd); dan2.    setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan

sanksi undang-undang.[1] Moral dan hukum harus secara tegas dipisahkan. Muncul adagium summun jus summa injuria (hukum tertinggi dapat berarti ketidakadilan yang terbesar). Konsep seperti justum pretum laesio enomis (harga yang adil dapat berarti kerugian terbesar) atau penyalahgunaan hak, tidak memiliki tempat dalam  doktrin ini. Apabila seseorang dirugikan oleh suatu perjanjian disebabkan kesalahannya sendiri, harus memikulnya sendiri karena ia menerima kewajiban itu secara sukarela (volenti non fit injuria), harus

Page 22: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

dipenuhi meskipun orang itu mengalami kerugian, perjanjian tetap berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.[2]Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi. “Contract: An agreement between two or more persons which creates an  obligation to do or not to do a peculiar thing”.[3] Kontrak mengandung unsur-unsur: pihak-pihak yang berkompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, persetujuan timbal balik, dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang utama adalah dia merupakan satu tulisan yang memuat persetujuan dari para pihak, lengkap dengan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya kewajiban.  Unsur-unsur kontrak seperti dirinci di atas, secara tegas memberikan gambaran yang membedakan antara kontrak dengan pernyataan sepihak. Kontrak adalah persetujuan yang dibuat secara tertulis yang melahirkan hak dan kewajiban para pihak yang membuat kontrak. Kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai “perjanjian” Meskipun demikian, apa yang dalam bahasa Indonesia disebut perjanjian, dalam bahasa Inggris tidak selalu sepadan dengan contract. Istilah contract digunakan dalam kerangka hukum nasional atau internasional yang bersifat perdata. Dalam kerangka  hukum internasional publik, yang kita sebut “perjanjian”, dalam bahasa Inggris seringkali disebut treaty atau kadang-kadang juga covenant. Sejauh yang dapat kita ketahui, tidak pernah ada dua pihak swasta atau lebih membuat treaty atau covenant, sebaliknya, tidak pernah terekam dua negara yang diwakili oleh pemerintah masing-masing membuat suatu contract.[4] Asas hukum kontrak pada dasarnya ada tiga yaitu asas kebebasan berkontrak, asas daya mengikatnya kontrak dan asas perjanjian hanya menciptakan perikatan diantara para pihak yang berkontrak.[5] Terdapat tiga pilar utama penyanggah bangunan hukum perjanian yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya perjanjijan. Asas itikad baik sebagai landasan bangunan hukum secara menyeluruh.[6] Selanjutnya menurut Moch Isnaeni ketiga asas itu berkembang menjadi asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas konsensualisme, prinsip private of contract, asas persamaan kontrak dan asas itikad baik. Keseluruhan asas itu harus secara bersama- sama diwujudkan dalam setiap perjanjian. Masing-masing harus mempunyai kedudukan yang besar, tidak boleh ada salah satu asas yang diunggulkan. Ketidak sederajatan perwjudan asas- asas akan mengakibatkan perjanjian yang tidak fair atau tidak sehat. Diunggulkannya salah satu asas akan mengakibatkan asas yang lainnya tenggelam sehingga akan merugikan salah satu pihak. Penerapan Prinsip Hukum Kontrak pada Perjanjian Kerja BersamaAsas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas konsensualisme, prinsip private of contract, asas persamaan kontrak harus  berjalan seiringan, sama porsinya. Tidak ada salah satu yang ditonjolkan atau ditenggelamkan. Asas itikad baik harus menjadi dasar yang dipegang teguh masing- masing pihak selama proses pembuatan kontrak, selama pelaksanaan kontrak dan pada saat akhir kontrak.  PKB adalah salah satu jenis perjanjian. Proses pembuatan PKB, pelaksanaan dan berakhirnya harus tetap memenuhi asas-asas hukum kontrak. Keenam asa hukum kontrakitu harus mendapat porsi yang sama, atau dengan kata lain harus tercipta harmonisasi dalam PKB.  Wujud adanya harmonisasi hukum kontrak pada PKB dapat dilihat dalam klausula – klausula atau isi PKB. Masing – masing pihak baik pengusaha maupun serikat pekerja / buruh harus memasukkan seluruh bidang hukum perburuhan dalam PKB. Upaya mewujudkan bidang hukum perburuhan yang meliputi

Page 23: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

bidang pengerahan / penempatan tenaga kerja, hubungan kerja, kesehatan kerja, keamanan kerja dan bidang jaminan sosial buruh ke dalam PKB harus memperhatikan harmonisasi prinsip hukum kontrak yang enam itu. Keenam bidang itu harus mencerminkan hak dan kewajiban pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh dan pekerja.  Penerapan asas- asas hukum kontrak dapat diperjuangkan oleh masing-masing  pihak- pihak yang terikat dalam PKB yaitu pengusaha dan  serikat pekerja/ serikat buruh. Pekerja melalui keterwakilannya dalam serikat pekerja/ serikat buruh mempunyai kedudukan yang sama dalam memperjuangkan keinginannya. Keinginan pengusaha prinsipnya untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dijalankannya. Keinginan pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatn upah yang diterimanya. Fungsi serikat pekerja/ serikat buruh dalam proses pembuatan PKB harus lebih optimal dan berkualitas. Tidak hanya merumuskan sesuatu yang normatif dalam ketentuan Undang- Undang saja, tetapi meliputi pula hal hal lain yang sesuai dengan tuntutan globalisasai, misalnya berusaha mewujudkan fungsi serikat pekerja/ serikat buruh lainnya dalam rangka pemilikan saham oleh pekerja 

Page 24: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 25: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 26: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 27: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 28: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 29: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 30: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 31: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 32: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 33: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 34: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 35: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 36: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 37: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 38: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 39: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 40: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 41: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 42: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 43: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 44: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 45: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 46: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Page 47: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

   13Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07    Bentuk EPC. (Engineering, Procurement & Construction)   Bentuk ini mirip dengan Design-Build, bedanya bentuk inibiasanya dipakai untuk industri (minyak, gas, petro kimia). 

Page 48: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

 Tahapan pekerjaan terdiri dari:• Perencanaan ( Engineering – E)• Pengadaan Bahan & Peralatan (Procurement – P)• Konstruksi/Pembangunan (Construction – C)  Pembayaran dilaksanakan sesuai tahapan pekerjaan yang telahdiselesaikan  Yang dinilai bukan saja pekerjaan selesai, tapi unjuk kerja yangharus sesuai TOR (Term Of Reference) yang diminta olehPengguna Jasa.  Penjelasan UU. No.18/1999 Pasal 16 ayat 3 berbuyi :  Penggabungan ketiga fungsi tersebut dikenal antara lain dalammodel penggabungan, perencanaan, pengadaan dan pembangunan(engineering, procurement and construction)serta model ……………….dst   Bentuk kontrak ini banyak dipakai di Indonesia dalam duniaperminyakan dan gas bumi (PERTAMINA)   Bentuk Kontrak BOT/BLT.   Pola kerjasama antara Pemilik lahan dan Investor yang punyamodal/dana  Setelah fasilitas dibangun (Build), Investor mendapatkan konsesiuntuk mengoperasikan dan memungut hasil (Operate) dalam kurunwaktu tertentu.    14Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07   Setelah konsesi selesai, fasilitas dikembalikan ke Pemilik (Transfer).  

Page 49: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Mirip dengan Rancang Bangun. Bedanya terletak pada masakonsesi yang di perlukan untuk pengembalian investasi.  Jadi perlu kontrak untuk membangun, mengoperasikan danmengembalikan fasilitas yang biasa disebut kontrak BOT ataukontrak Konsesi.  Dalam kontrak Konsesi biasanya lebih disukai termasuk masamembangun agar ada rangsangan mempercepat pembangunan masa konsesi lebih lamamenambah keuntungan.  Selain itu perlu kontrak operasi & pemeliharaan untuk menjaminfasilitas dikembalikan kepada pemilik dalam kondisi yang masihmemiliki nilai.  Build, Lease & Transfer (BLT) beda sedikit dengan BOT dimanaPemilik seolah-olah menyewa kepada Investor (Lease) untuk mengembalikan dana Investor secara bertahap   Bentuk Swakelola.  Sesungguhnya bukan kontrak   Pekerjaan dilakukan sendiri – dibayar sendiri  “Gilbreath : “Force Account”. • Melaksanakan sendiri, menggunakan tenaga sendiri. • Variasinya menyewa pemborong upah • Pemborong upah tidak memikul resiko • Pembayaran atas dasar prosentase    

Page 50: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

 15Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07  • Banyak kendala :  Reaksi pihak luar  Keterbatasan SDM  Biaya pelatihan pegawai  Kesulitan pekerjaan konstruksi  Resiko kenaikan biaya, transport, logistik, dsb           Bagan Organisasi Swakelola(Gilbreath 1992  Keterangan Pemilik P r o e k  

Page 51: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

BAB I

PENDAHULUAN

Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.

Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Kontrak (perjanjian) adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “. (Subekti, 1983:1).

Page 52: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).

Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.

Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.

Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :

1. Mengenai terjadinya perjanjian

Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).

1. Tentang akibat perjanjian

Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

1. Tentang isi perjanjian

Page 53: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.

Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.

Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa :

“setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak

BAB II

1. A. Syarat Sahnya Kontrak

Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.

1. 1. Kesepakatan Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.

2. 2. Kecakapan Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. 3. Hal tertentu

Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah

Page 54: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.

1. 4. Sebab yang dibolehkan

Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.

KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis

1. B. Penyusunan Kontrak

Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.

Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Prakontrak

1. Negosiasi;2. Memorandum of Undersatnding (MoU);3. Studi kelayakan;4. Negosiasi (lanjutan).

2. Kontrak

1. Penulisan naskah awal;2. Perbaikan naskah;3. Penulisan naskah akhir;4. Penandatanganan.

3. Pascakontrak

1. Pelaksanaan;2. Penafsiran;3. Penyelesaian sengketa.

Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.

Page 55: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.

Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.

Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :

(1) Judul;

(2) Pembukaan;

(3) Pihak-pihak;

(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);

(5) Isi;

(6) Penutupan.

Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :

Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.

Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :

Page 56: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

1. Nama ….; Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama …. berkedudukan di …. selanjutnya disebut penjual;

2. Nama ….; Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama …. berkedudukan di …. selanjutnya disebut pembeli.

Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :

dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek …. tipe …. dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. …. Chasis …., Tahun Pembuatan …. dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama …. alamat …. dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.

Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.

Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya, Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan. Misalnya :

Dibuat dan ditandatangani di …. pada hari ini …. tanggal …. Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.

Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal pelaksanaannya di lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran.

C. Asas Asas Hukum Perjanjian

Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).

a) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

Page 57: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

1. membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

4. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.

Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.

b) Asas Konsensualisme (Concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

c) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim

Page 58: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

d) Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini.

e) Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Page 59: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

PENUTUP

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, di mana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, perjanjian digolongkan ke dalam hukum tentang diri seseorang dan hukum kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak dalam bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrech. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan “Perikatan” adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.

Perjanjian atau kontrak adalah sumber perikatan dan hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, di mana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Pada dasarnya, perjanjian menurut namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan inominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat (bernama) merupakan kontrak yang dikenal di dalam KUHPerdata. Kontrak inominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan.

Perjanjian batasannya diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas yang mengandung banyak kelemahan-kelemahan.

Page 60: Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci: Pertama, Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya di mana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak .yang membuat perjanjian. Kedua, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat lugas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.

Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu, rumusan Rutten adalah perjanjian merupakan perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik. Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan.

Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan. Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, di samping harus dapat menunjukkan sanksi-sanksi, juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.

Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu. Yang penting dalam persesuaian kehendak itu adalah bahwa kehendak dari kedua pihak bertujuan untuk terjadinya akibat hukum tertentu yang sesuai dengan peraturan hukum. Jadi kehendak itu harus diketahui oleh pihak lain, kalau tidak maka perjanjian tidak akan terjadi.