tinjauan formalisasi syariat islam di banten dalam...
TRANSCRIPT
TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM KONTEKS NEGARA-BANGSA DI INDONESIA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh :
NAMA : AHMAD MUHIBI
NIM : 2113032100017
MAGISTER STUDI AGAMA-AGAMA
KONSENTRASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H
i
KATA PENGANTAR
Segala puji milik Allah SWT, pemilik seluruh alam semesta yang
memberikan kesempurnaan kepada kita untuk merasakan kenikmatan ciptaan-
Nya. Betapa indah ciptaan-Nya, sehingga apa yang ada di sekeliling kita menjadi
tanda bagi keberadaan-Nya, kebesaran-Nya, serta menjadi sarana berfikir dan
berkontemplasi bagi kita -yang akhirnya- baik sadar ataupun tidak, semua ini
menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran manusia.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarga, sahabat, tabiin, dan tabiin at-tabiin, serta kepada kita semua
selaku umatnya. Amin.
Penelitian dengan judul “Tinjauan proses formalisasi Syariat Islam di
Banten dalam konteks Negara-Bangsa di Indonesia” merupakan syarat
untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) pada Program Studi Magister
Studi Agama-Agama konsentrasi Kerukunan Umat Beragama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
sekaligus sebagai persembahan penulis terhadap berbagai pihak yang turut
membantu dalam setiap proses penyelesaiannya.
Penulis menyadari banyak pihak yang secara sukarela membantu dan
mendukung penyelesaian penelitian ini. Oleh karenanya, dari lubuk hati
terdalam, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuludin sekaligus
pembimbing tesis penulis.
3. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku wakil Dekan bidang Akademik
sekaligus pembimbing tesis penulis.
4. Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, M.A selaku Guru Besar Perbandingan Agama
sekaligus pembimbing proposal tesis penulis.
5. Ketua Program Magister, Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag., Sekretaris, Maulana, M.Ag,
Ketua Jurusan Studi Agama-Agama, Dr. Media Zainul Bahri, M.A, dan Staf
ii
Program Magister, Toto Tohari, S.Th.I, dan seluruh civitas akademika
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman satu angkatan Magister Studi Agama-Agama konsentrasi
Kerukunan Umat Beragama, Wasil, Eddy Najmudin, Juli Ahsani,
Habiburrahman. Teman-teman Khong Hu Cu, Pak Uung Sendana L. S, Epih.
Serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
dalam lembaran ini telah saling support dan berproses bersama dalam
menyelesaikan perkuliahan ini.
Semoga jasa dan budi baik mereka menjadi amal saleh dan senantiasa
mendapat curahan rahmat dari-Nya. Amin.
Serang, Maret 2018
Ahmad Muhibi
iii
Abstrak
Penelitian ini menunjukan bahwa formalisasi syariat Islam dalam beberapa regulasi di Banten terjadi karena faktor keislaman yang melekat dalam kultur melalui proses sejarah dan karakter keagamaan yang kuat pada kelompok masyarakat memperoleh saluran dan gencar ditampilkan dalam ruang publik politik pasca kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, fenomena ini dilematis karena bertendensi pada pembentukan negara agama dalam bangunan dasar negara yang telah mengambil bentuk bukan sebagai negara agama melainkan Negara-Bangsa (Nation-State), serta cenderung mereduksi makna identitas Indonesia sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika. Identitas dalam konteks kebangsaan nasional bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis, sehingga perlu dimaknai dalam kerangka kebhinekaan bangsa, tidak hanya pada aspek pengunggulan identitas yang bersifat sektarian. Oleh karenanya pada kasus Banten, pendekatan agama sebagai etika sosial hendaknya lebih dikedepankan dibanding menggunakan pendekatan formal agama pada dimensi politik, karena upaya formalisasi agama pada ranah politik justru cenderung mereduksi makna identitas kebhinekaan bahkan bisa menjadi ancaman kerukunan kebangsaan nasional jika tidak disertai dengan menjunjung tinggi nilai toleransi, kesadaran hak sipil, dan penguatan wawasan kebangsaan. Dalam penelitian ini juga ditemukan beberapa poin berikut: 1.Tokoh-tokoh non muslim di Banten tidak sepakat dengan penerbitan regulasi (perda) bernuansa syariat Islam namun tidak dilibatkan pada proses pembuatan, karena selain tidak ada keterwakilan dari mereka yang menyuarakan di legislatif, dari kalangan muslim berpandangan bahwa regulasi (perda) bernuansa syariat Islam hanya diperuntukan untuk masyarakat muslim sehingga tidak perlu melibatkan non muslim. 2.Formalisasi syariat Islam pada beberapa regulasi di Banten kebanyakan berbentuk reproduksi fiqih atau seruan moral bersifat golongan, sehingga pemberlakuannya tidak menyasar pada semua warga sipil di Banten.
Sumber primer penelitian ini adalah data-data terkait kebangsaan, keindonesiaan dan regulasi-regulasi bernuansa syariat Islam di Banten yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan sumber-sumber yang berasal dari wawancara, dokumentasi, dan data-data lain yang berasal baik dari buku, majalah maupun artikel yang ditulis oleh para peneliti yang mengkaji tentang fenomena sejenis di Banten dan tentang formalisasi syariat Islam pada perda di beberapa daerah lain di Indonesia menjadi sumber sekunder dan tersier dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kualitatif deskriptif dengan metode induktif. Dalam menganalisa dan menginterpretasi data, tesis ini menggunakan pendekatan sosiologis-historis.
Key Words: Formalisasi Syariat Islam, Regulasi, Banten, Kebangsaan, Indonesia
iv
DAFTAR TABEL
NO NAMA TABEL HAL 1 Beberapa kasus konflik antar umat beragama di Banten 100 2 Klasifikasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten 107
v
DAFTAR ISI Kata Pengantar Abstrak Daftar Tabel Daftar Isi
i iii iv v
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pembatasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Pembatasan Istilah F. Kajian Pustaka G. Kerangka Pemikiran H. Metodologi Penelitian I. Sistematika Pembahasan
1 12 13 14 14 15 18 26 27
BAB II. IDENTITAS KEBANGSAAN DAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA : TINJAUAN TEORITIS
A. Makna Kebangsaan dan Nation-State B. Konsensus Dasar Kebangsaan Indonesia 1. Pancasila 2. Bhineka Tunggal Ika 3. Negara Kesatuan Republik Indonesia 4. UUD 1945
C. Syariat Islam di Indonesia
29 32 32 37 40 42 54
BAB III. BANTEN DAN KARAKTER BUDAYA MASYARAKAT : TELAAH SEJARAH
A. Gambaran Wilayah B. Masyarakat Banten dalam catatan sejarah 1. Fase Pra Sejarah 2. Fase Kesultanan 3. Fase Kolonial 4. Fase Kemerdekaan Indonesia 5. Fase Pembentukan Provinsi
C. Beberapa kasus konflik keagamaan di Banten
67 70 71 72 80 87 93 96
BAB IV. FORMALISASI AGAMA DALAM NATION-STATE : PERSPEKTIF LOKAL BANTEN
A. Klasifikasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten B. Peran Tokoh Agama dalam pembuatan regulasi bernuansa
syariat Islam di Banten C. Respon non muslim terhadap penerapan regulasi benuansa
syariat Islam di Banten D. Mencari Format Ideal Agama dan Pemerintah di Banten
105 114 122 127
vi
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
138 140
DAFTAR PUSTAKA 142 PROFIL PENULIS 147 LAMPIRAN 148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membincang Banten keterkaitannya dengan keislaman dan kebangsaan
di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Islamisasi lokal dan konteks dimana
daerah ini pernah mencapai fase kejayaan di era kesultanan.1 Pada fase ini,
Azyumardi Azra menuturkan bahwa Banten tidak hanya pernah menjadi pusat
perdagangan internasional melainkan juga sebagai pusat kajian Islam.2
Kemunculan Banten sebagai kerajaan besar di abad ke 16 dan 17 tidak terlepas
dari kondisi politik disintegrasi kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa dan
perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah pesisir dengan iklim
perdagangan yang semakin terbuka.3 Dalam persepktif sosiologis, ada dua tipe
struktur kerajaan yang menurut Wertheim bisa ditemukan dalam masyarakat
Indonesia.4 Pertama, negara pedalaman yang bersifat birokratik, terutama
ditemukan di Jawa, yang kerajaan-kerajaannya tergantung kepada jasa dan
suplai makanan yang dipungut dari petani oleh para pemimpin lokal atau
gubernur. Kedua, kerajaan pelabuhan yang mengandalkan perdagangan luar
negeri. Banten tergolong kedalam tipe kedua. Hal ini dikarenakan seiring
dengan naiknya gelombang perdagangan dari mancanegara ke nusantara,
Banten saat itu telah tumbuh sebagai negara perdagangan yang cukup menarik
1Manurut Yaya Mulyana, kendati sejarah Banten tidak selalu diidentikan bermula saat
berdirinya kesultanan Banten yang diawali oleh Sunan Gunung Jati dan kemudian dipimpin oleh Maulana Hasanudin pada 1525. Namun adalah jelas bahwa sejak era Islamisasi dan kejayaan zaman kesultanan itulah rakyat Banten menemukan jati diri dan kebanggaan sejarah yang mempengaruhi seluruh struktur kehidupan, kepercayaan dan bahkan kebudayaannya sampai kini. Lihat tesis Yaya Mulyana, Elite, Masyarakat Sipil dan Politik Lokal: Studi gerakan sosial pembentukan provinsi Banten, (Yogyakarta: pascasarjana UGM, 2001), h. 76-77
2Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventen and Eighteen Centuries, (Leiden: ASSA and KITLV, 2004), p.88-89, dalam Ade jaya Suryani, Authorship in Banten: Mass Media, Publishers, Literary Communities, and Authors, (Serang: Bantenologi, 2015), h. 1
3Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma Baru Pembangunan Daerah, (Tangerang: YASFI, 2000), h. 28
4W.F.Wertheim, Indonesian Society in Transition, a Study of Social Change, (Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial), (Yogyakarta: Tiarawacana,1999), h.36
2
bagi para saudagar dari berbagai negara, baik India, Cina, Arab, maupun
negara-negara Eropa. Dari situasi inilah Banten kemudian diuntungkan karena
memiliki pelabuhan yang saat itu dibangun sebagai pusat perdagangan yang
cukup besar. Pasca dibukanya jalur lalu lintas perniagaan di kawasan laut Selat
Sunda, kemajuan Banten semakin berpengaruh sebagai pusat perniagaan dan
keislaman pada masanya.5
Masa awal kesultanan, khususnya masa kepemimpinan Sultan Abu Al-
Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al-‘Arifin atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) merupakan puncak
keemasan kesultanan Banten. Pada masa ini, kemajuan Banten terlihat baik
dalam bidang ekonomi maupun politik. Pada bidang ekonomi, perdagangan
tidak saja berlangsung dengan bangsa-bangsa Asia, tetapi juga dengan Inggris,
Perancis, Denmark, Portugis, Persia, Mekkah, Koromandel, India, Cina, Jepang,
Filipina, Melayu, Pegu, Benggala, dan Siam, Toukin. Sementara dalam politik,
hubungan yang dijalankan bersifat terbuka. Sultan memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada pihak manapun, membina hubungan baik dengan
Makasar, Bangka, Cirebon bahkan Inggris. Sultan Ageng Tirtayasa bahkan
pernah mengirimkan duta besarnya, Jaya Sedana dan Tumenggung Naya
Wipraya ke kerajaan Inggris dalam rangka mempererat jalinan hubungan
persahabatan dan perdagangan antar wilayah.6
Pada fase ini, terlihat kondisi penyatuan agama dan politik dalam
sistem pemerintahan tradisional Banten yang mencerminkan suatu pandangan
bahwa negara merupakan perwujudan nilai-nilai ajaran agama untuk mengatur
kehidupan masyarakat. Karena itu agama Islam sebagai agama resmi negara,
memainkan peranan penting dalam pembentukan kelembagaan politik dan
identitas masyarakat. Islam telah menampakan wujudnya sebagai suatu unitas
religio-politik yang utuh, dan hukum Islam mencakup totalitas kehidupan
5Prajudi Atmosudirjo, menyebutkan bahwa setelah Malaka jatuh, Banyak saudagar-
saudagar dari Malaka yang berdatangan ke Banten. Pada fase ini Banten kemudian semakin tumbuh menjadi pusat perniagaan dan pusat pemerintahan bagi sultan yang beragama Islam. Lihat Atmosudirjo, Sejarah Ekonomi Indonesia dari segi sosiologi sampai akhir abad 19, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1983), h.55
6Helmi Faizi Bahrul Ulumi, Filosofi Magi, (Serang: FUD Press, 2009), h. 99-100
3
individu dan masyarakat. Sejak terbentuknya kesultanan Banten, Islam
dijadikan pusat orientasi dan sumber motivasi bagi pelaksanaan dakwah dalam
rangka membentuk masyarakat dan kelembagaan politik yang bercorak
religius. Karena Sultan merupakan pemimpin Islam, maka negara mengambil
bagian dalam pelaksanaan syariat agama ini dan menginternalisasikannya ke
dalam pranata sosial masyarakat.7 Pengaruh Islam dalam tataran religio-politik
di Banten pada awal perkembangannya mencerminkan kekuasaan atas
berbagai pertimbangan keagamaan. Pertama, jelas bahwa kedudukan sultan
amat penting dalam hirarki sosial yang terintegrasikan ke dalam tradisi
kepemimpinan ortodoksi Islam. Kedua, sultan senantiasa mengartikulasikan
kedudukannya dengan semua tradisi dalam teori politik Islam, karena ia sendiri
berkewajiban melaksanakan syariah (hukum Islam). Bahkan dalam konteks
masyarakat Banten tradisional, hukum Islam merupakan prinsip yang harus
lebih diutamakan, dan berisi petunjuk Tuhan untuk membimbing umat kepada
keadilan dan kebenaran.8
Di sisi lain, Jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah
(Haramayn) dengan Melayu-Nusantara yang berlangsung dalam kurun waktu
abad ke 16-19 juga menandakan bahwa sejumlah ulama telah memiliki peran
dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan sebuah tradisi
intelektual keilmuan Islam di wilayah Nusantara, terkhusus Banten. Para ulama
tersebut, dalam beberapa sumber disebut sebagai Ashab al-Jawiyin (sahabat-
sahabat Jawi).9 Tokoh-tokoh yang mengemuka dalam proses transmisi “tradisi
besar Islam” tersebut, antara lain : Nur al-Din al-Raniri (w.1658), ‘Abd al-Rauf
al-Sinkili (1615-1693), Muhammad Yusuf Al-Maqasari (1629-1699), ‘Abd al-
Samad al-Palimbani, Syaikh Arshad al-Banjari (1710-1812), ‘Abd Allah bin ‘Abd
7Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma
Baru Pembangunan Daerah, h. 38-39 8Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma Baru
Pembangunan Daerah, h.39 9Istilah “Jawi” atau “Jawah” yang tercakup dalam istilah ini biasanya digunakan untuk
merujuk pada penyebutan Muslim yang datang dari Melayu-Nusantara tanpa memandang tempat asal mereka di kawasan ini. Ulama yang berasal dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka, Patani (Thailand Selatan), dan Filipina Selatan, di Haramayn semuanya disebut “Orang Jawi”. Wilayah Banten (sekarang) masuk ke penyebutan wilayah Jawa.
4
al-Qahar al-Bantani (abad ke-18), Syaikh Dawud al-Pattani (w.1847), Syaikh
Nawawi al-Bantani (1813-1879), Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870), Syaikh
Ahmad Khatib Sambas Samarani (w.1903 M), Syaikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi (1860-1916), dan Muhamad Yasin al-Padani (1917-1990), serta
sejumlah ulama lainnya. Beberapa penulisan dari karya-karya mereka (yang
sampai sekarang masih bisa dijumpai) mengindikasikan adanya kedekatan
hubungan antara murid Jawi dan ulama-ulama yang terkait dalam tradisi
intelektual di Haramayn. Kedekatan itu, sebagaimana diungkapkan oleh Ade
Fakih, membuat mereka tidak segan-segan untuk menyatakan atau melaporkan
perkembangan kehidupan keagamaan di tanah Jawi sendiri. Selain itu, para
murid Jawi ini juga diyakini sering meminta fatwa kepada para ulama tersebut
atas berbagai peristiwa di dunia Melayu-Nusantara.10
Dari konteks diatas, dapat dipahami bahwa Islam memberikan
kepercayaan dan pengertian tentang dimensi supranatural yang bersifat
transenden. Sebagai ajaran moral, Islam memberikan rumusan tentang nilai-
nilai kehidupan. Pemahaman akan niai-nilai ini pada gilirannya membentuk
wacana kultural baru yang sekaligus memberikan penguatan identitas diri
masyarakat dan kelembagaan politiknya. Dan nilai-nilai kultural ini berperan
pula sebagai tiang penyangga tata kehidupan masyarakat dan negara sebagai
pedoman yang mengarahkan tingkah laku warganya. Nilai-nilai luhur seperti
kebenaran dan keadilan merupakan konsep ideal tentang bagaimana manusia
menampilkan perilakunya yang baik, baik dalam pandangan masyarakat
maupun lingkungan fisiknya. Dan keyakinan seperti ini dapat mengarahkan
jalannya kehidupan. Oleh karena sistem sosial atau masyarakat adalah salah
satu di antara sistem tindakan manusia, maka berarti rumusan nilai-nilai yang
digali dari pemahaman keagamaan itu mempengaruhi perkembangan struktur
politik dan dinamika masyarakat. Demikianlah Islam sebagai kekuatan idiologi,
politik dan sosial memberikan artikulasinya dalam wacana kehidupan negara
Banten tradisional. Dan atas dasar itu pula negara Banten mengidentifikasi
10Ade Fakih Kurniawan, Laporan Penelitian: Ajaran wahdatul wujud ‘Abd Allah bin ‘Abd al-
Qahar al-Bantani, (Serang: Lemlit IAIN SMH Banten, 2012), h. 1-3
5
dirinya sebagai negara Islam di Jawa, meski tidak seluruhnya nilai-nilai Islam
itu diadopsi ke dalam keseluruhan aspek-aspek kehidupan politik, karena -
tentu saja sedikit banyak pemahaman masyarakat pada zaman itu tentang
Islam- lebih disesuaikan dengan tuntutan situasi setempat.11
Kondisi kejayaan Banten kemudian mulai meredup di era kolonial. Dari
beberapa sumber sejarah disebutkan bahwa kondisi ini dimulai sejak masa
kepemimpinan Sultan Haji (1683-1687). Masa pemerintahan Sultan Haji
dipenuhi dengan bermacam pemberontakan serta kekacauan di berbagai
bidang. Walaupun sultan Haji adalah anak Sultan Ageng Tirtayasa, namun
hubungan serta tindakannya terhadap Belanda sangat berbeda jauh dengan
yang dilakukan oleh ayahnya. Sultan Haji menyandarkan bantuan serta kerja
sama sepenuhnya dengan pihak Belanda, sehingga dengan melalui berbagai
siasat dan aneka persyaratan yang diajukan Belanda, ia dikukuhkan menjadi
sultan Banten. Bila sebelumnya kekuasaan penguasa Banten berdaulat
sepenuhnya tanpa campur tangan Belanda di pemerintahan, ternyata hal ini
tidak sama tatkala pemerintahan Sultan Haji. Semenjak itu kekuasaan
kesultanan Banten dalam berbagai sumber sejarah dinyatakan runtuh, apalagi
sejak ditandatanganinya perjanjian tanggal 17 April 1687.12 Dampak yang
sangat merugikan banyak dialami oleh pihak Banten, terutama diusirnya
pedagang-pedagang asing seperti dari Inggris, Denmark, dan Perancis dari
wilayah Banten yang berakibat pada menurunnya arus perdagangan di
Banten.13
Fase Banten di bawah pemerintahan kolonial Belanda memunculkan
sejumlah catatan sejarah pemberontakan. Dalam historiografi Banten
disebutkan bahwa antara 1810-1840 telah terjadi 13 kali perlawanan terhadap
Belanda. Secara umum pemimpin pemberontakan tersebut berasal dari
11Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang
Paradigma Baru Pembangunan Daerah, h.41 12Perjanjian antara kesultanan Banten dengan Belanda ini dilakukan di keraton
surosowan, dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu. Dan sejak Perjanjian tersebut secara langsung kompeni berperan aktif menentukan monopoli perdagangan di Banten.
13Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten 1522-1684, (Depok: FIB UI, 2007), h. 41
6
kalangan keturunan Sultan yang masih memiliki pengaruh keagamaan dan
kultural yang sangat kuat sehingga mereka mampu memobilisasi kekuatan
yang dianggap oleh Belanda dapat mengancam stabilitas sosial politik. Hal ini
menandakan semangat otonomi dan kemandirian masyarakat begitu melekat
dan diwujudkan dalam catatan perjuangan melawan kolonial Belanda. Apalagi
masyarakat Banten dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tipologi
kekerasan hati dalam memegang teguh prinsip, memahami fenomena secara
komprehensif, bermental tegar dan konsisten.
Pada era reformasi ketika saluran politik terbuka, para pengusung
ideologi formal agama tampil secara berani menyuarakan aspirasi mereka ke
ruang publik. Sejak awal 2000-an, isu formalisasi syariat Islam kembali
mencuat. Dalam konteks nasional, desakan untuk mengembalikan Piagam
Jakarta ke dalam konstitusi yang diamandemen tahun 2002 dengan
mencantumkan kembali tujuh kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam pasal 29 UUD 1945 pernah dilakukan.
Banyak lobby dan aksi demonstrasi digelar untuk menyuarakan tuntutan ini,
terutama di Jakarta pada awal-awal reformasi. Meski akhirnya gagal, tuntutan
penerapan syariat Islam tampaknya tidak kunjung berhenti. Melalui gerbang
otonomi daerah, syariat Islam akhirnya didorong masuk meski dalam
jangkauan dan skala yang terbatas.14 Perdebatan tentang sejumlah perda
bernuansa syariat Islam kemudian muncul di mana-mana, meskipun dari
berbagai diskusi dan perdebatan, jarang ditemukan sebuah titik temu yang
produktif, masing-masing kelompok tetap kukuh dengan pendiriannya. Satu
pihak ingin terus mendesakan aspek-aspek ajaran agama, sementara pihak lain
menolak adanya anasir-anasir agama dalam ruang kekuasaan politik.
Munculnya upaya formalisasi (penerapan) syariat Islam ini pada
umumnya bermula dari pandangan kelompok yang meyakini bahwa Islam
adalah agama yang sempurna (kaffah) dan mencakup cara hidup yang total.
Pandangan yang khas Islamis ini diajukan untuk menjadikan solusi
14Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, (Jakarta: CSRC, 2007), h.xxi-xxii
7
mengandaikan Islam sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan
ibadah tetapi juga sistem ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan. Krisis
ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak 1997 (1998), dalam
pandangan ini, telah menjadi bukti kerapuhan sistem kapitalis dan sekuler yang
dianut Indonesia sejak masa kemerdekaan. Dalam konteks ini mereka yakin
bahwa sistem Islam akan menawarkan sejumlah jalan keluar dari krisis
multidimensional tersebut.15
Di sisi lain, formalisasi syariat Islam di era modern bukan persoalan
sederhana, mengingat sifatnya yang plural dan multikultural, dimana berbagai
sistem nilai, identitas, ideologi bersaing. Ruang publik Indonesia yang terbuka
terhadap berbagai identitas membuat penerapan syariat Islam secara paksa
ataupun persuasif oleh pihak tertentu tak urung menimbulkan persoalan
mendasar. Hal yang paling utama dan seringkali terjadi adalah pelanggaran
hak-hak sipil (civil rights), termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan
pendapat (berekspresi), hak-hak kaum perempuan, dan hak-hak minoritas non
muslim.16 Dalam catatan Robin L.Bush (2007), terdapat sekitar 52 Kabupaten/
Kota di Indonesia yang mempunyai perda bernuansa syariat Islam.17 Banten
termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki dan juga gencar
menerbitkan berbagai perda keagamaan yang bernuansa syariat Islam.
Sejak memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi sendiri
pada tahun 2000, dinamika formalisasi syariat Islam semakin terlihat di
Banten. Baik perda, surat edaran, maupun instruksi keagamaan bernuansa
syariat Islam bermunculan hampir di setiap Kabupaten dan Kota di provinsi
Banten. Di Kabupaten Pandeglang misalnya, Bupati pernah mengeluarkan SK
Nomor 421/Kep.198-Huk/2006 tentang satuan terpisah, kelas siswa putra-
putri SMP, MTs, SMA dan MA, SK Bupati tentang wajib membaca Al Qur’an
untuk siswa yang akan melanjutkan ke SLTP serta Peraturan Daerah Wajib
15Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, h.xxiv 16Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, h.xxv 17Lihat Rumadi, dkk., Agama dan Kontestasi Ruang Publik : Islamisme, Konflik, dan
Demokrasi, (Jakarta: Wahid Institut, 2011), h.13
8
Diniyah.18 Menurut Saiful Mujani, peraturan-peraturan seperti ini jelas
bertentangan dengan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu,
peraturan-peraturan ini juga mengancam keberagaman. Jika tidak segera di
revisi, itu bisa merongrong NKRI dan berbahaya bagi Negara. Hal senada juga
dikatakan oleh Direktur Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp), Suhada.
Menurutnya, “Meski di Pandeglang mayoritas muslim, tapi tidak boleh ada
peraturan yang mendiskriminasi pemeluk agama lain.” Bahkan, Suhada
bersama beberapa OKP, organisasi mahasiswa dan LSM berencana melakukan
audiensi dengan pimpinan DPRD dan Bupati Pandeglang untuk mendesak
lembaga legislatif dan eksekutif merevisi aturan-aturan tersebut.19
Di Kota Serang, terdapat perda nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit
Masyarakat (Pekat). Salah satu poin dalam perda tersebut berisi tentang
larangan menjual makanan di siang hari pada bulan Ramadhan. Perda ini sering
menjadi landasan hukum untuk melakukan razia warung dan tempat-tempat
makan yang buka saat siang hari di bulan Ramadhan. Jam operasional warung
dibatasi dan boleh buka dari pukul 15.00 WIB hingga sahur. Aturan ini memiliki
sanksi hukum bagi yang melanggar dengan pidana 3 bulan atau denda sebesar
Rp.50.000.000,-. Aturan ini mendapat dukungan penuh dari MUI Kota Serang.
Menurut Mahmudi selaku ketua MUI Kota Serang, “Perda ini dibuat bukan
untuk memiskinkan masyarakat, akan tetapi jikalau masyarakat beriman dan
yakin bahwa rezeki itu sudah di atur oleh Allah SWT, apalagi memang sehabis
waktu ashar itulah orang banyak membeli sehingga justru memberikan banyak
rezeki kepada para pedagang”.20
Selain perda Pekat, Kota serang juga memiliki perda Nomor 1 tahun 2010
dan peraturan Walikota Serang Nomor 17 tahun 2013 tentang wajib belajar
pendidikan Diniyah Takmiliyah. Peraturan tersebut sudah mulai diberlakukan
18Banten Ekspres, selasa 27 November 2007, dalam buku Ihsan Ali Fauzi dan Saiful
Mujani, Gerakan Kebebasa Sipil: Studi dan Advokasi kritis atas perda syariah, (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), h. 161
19Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasa Sipil: Studi dan Advokasi kritis atas perda syariah, (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), h.161
20https://www.kiblat.net/2016/06/15/mui-Kota-serang-perda-larangan-jualan-di-siang-hari-bulan-ramadhan-usulan-para-ulama-Kota-serang/, diakses tanggal 20 Maret 2016
9
pada tahun pelajaran 2015/2016. Bagi siswa Muslim yang telah lulus sekolah
dasar (SD) dan akan melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP) atau
sederajat, diwajibkan untuk melampirkan ijazah atah syahadah madrasah
Taklimiyah Diniyah Awaliyah (MDTA) atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
Pemberlakuan perda ini diyakini sebagai salah satu cara yang dapat
membendung berbagai dampak negatif yang menggerus generasi muda di Kota
Serang. Selain itu, perda ini juga diharapkan dapat berdampak besar bagi
perkembangan pendidikan keagamaan di Kota Serang sebagai Kota madani.21
Di Tangerang Selatan, Pemda pernah mengeluarkan surat edaran dengan
nomor 556/686-BUDPAR/2014 dan nomor 18/SSM/MUI-TANGSEL/VI/2014
tentang Pengaturan Usaha Kepariwisataan dan Himbauan Amaliyah umat
menjelang dan selama bulan Ramadhan serta Idul Fitri. Peraturan ini melarang
masyarakat membuka usaha hiburan dan membatasi pemilik rumah makan
dalam hal jam buka, yaitu hanya boleh buka mulai pukul 12.00-04.00. Selain itu
peraturan itu juga mengharuskan warung-warung makan untuk menutup
warungnya dengan gordyn agar tidak terlalu tampak. Sedangkan tempat
hiburan ditutup total selama bulan Ramadhan. Pemkot Tangsel melibatkan
berbagai pihak untuk merealisasikan aturan tersebut, seperti satpol PP, Kantor
Budaya dan Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas
Kesehatan, Kepolisian serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika ada pelaku
usaha melanggar peraturan tersebut dia ditegur secara tertulis dan diberi
sanksi administratif. Jika pelanggaran itu dianggap besar, pemkot Tangsel
mencabut surat izin usahanya, bahkan mengancam pelakunya dengan sanksi
pidana.22
Tidak hanya di Kabupaten Pandeglang, Serang dan Kota Tangsel, di
Kabupaten Lebak Pemerintah Kabupaten juga menerbitkan Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 14 Tahun 2013 tentang Wajib Mengaji dan Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah
21http://gpaismpserang.blogspot.co.id/2015/03/syahadah-diniyah-wajib-
dilampirkan.html, diakses tanggal 20 Maret 2016 22http://tangerangnews.com/tangsel/read/12484/Menjelang-Bulan-Ramadan-Pemkot-
Tangsel-Bentuk-Tim-Khusus, diakses tanggal 20 Maret 2016
10
Awaliyah (MDA). Perda ini diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan
minat anak-anak muslim usia sekolah dasar (SD) belajar agama Islam di
Madrasah Diniyah. Selain perda wajib mengaji dan perda diniyah, pemda Lebak
juga membuat perda zakat no. 11 tahun 2005 yang pada pelaksanaannya
dilakukan oleh Bazda Lebak. Lembaga ini mengelola zakat fitrah, zakat mal,
zakat profesi, infak dan sedekah. Pendapatan dana Bazda Lebak tercatat
signifikan mengingat pemerintah langsung memotong 2,5 % dari pendapatan
PNS Kabupaten Lebak. Tidak itu saja, pemerintah juga mewajibkan pengusaha
yang mendapatkan proyek dari pemerintah untuk menyumbangkan 1,5 % dari
nilai proyek ke Bazda lebak. Persentasi itu adalah hasil kesepakatan (MoU)
antara Ketua Bazda Lebak dengan para pengusaha pada 14 Juni 2007.
Di Cilegon, Perda Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan WaliKota Cilegon
Nomor 44 tahun 2011 Tentang Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah dan
Peraturan WaliKota (Perwal) Cilegon Nomor 25 Tahun 2014 sebagai Revisi dari
Perwal 44 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah
Diniyah (MDTA) mulai diberlakukan pada ajaran baru tahun 2014/2015. Bagi
siswa muslim yang telah lulus Sekolah Dasar (SD) dan melanjutkan Sekolah
Menengah Pertama (SMP)/Sederajat diwajibkan untuk melampirkan Ijazah
atau Syahadah Madrasah Takmiliyah Diniyah Awaliyah (MDTA) atau Taman
Pendidikan Al Qur'an (TPA).
Senada dengan Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang juga memiliki perda
Diniyah Nomor 12 tahun 2011. Perda ini diterbitkan untuk memberikan bekal
pengetahuan dan kemampuan agama Islam kepada anak usia sekolah untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai warga Muslim/Muslimah yang
beriman kepada Allah SWT, beramal sholeh, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, terampil, demokratis, mandiri dan bertanggung jawab.
Di Kota Tangerang, pemda juga menerbitkan perda No. 8 tahun 2005
tentang larangan perempuan keluar diatas pukul 10 malam. Perda ini
ditetapkan untuk meminimalisir praktek pelacuran di Kota Tangerang. Dalam
implementasinya, perda ini mendapatkan tantangan dari banyak pihak karena
11
dianggap bermasalah, bahkan pernah terjadi salah tangkap kepada salah satu
warga oleh pihak trantib dalam pelaksanaannya. Disamping itu, Kota
Tangerang juga memiliki perda No.7 tahun 2005 tentang pelarangan
pengedaran minuman keras dan penjualan minuman beralkohol. Perda ini
seringkali menjadi landasan untuk melaksanakan razia-razia di tempat hiburan,
terutama pada Ramadhan. Selain itu, terdapat juga perda No. 8 tahun 2005
tentang larangan Prostitusi. Dengan adanya perda ini, setiap jenis usaha panti
pijat yang tertutup dan menggunakan jasa pemijat wanita muda, dilarang di
Kota Tangerang. Dalam perda ini dijelaskan bahwa hal-hal yang akan
menimbulkan tindak kemaksiatan dan prostitusi tidak dibenarkan di Kota
Tangerang.
Selain masing-masing Kabupaten dan Kota, tingkat provinsi juga
memiliki perda zakat Nomor 4 tahun 2004. Dalam perda dijelaskan bahwa
pengelolaan zakat dilakukan oleh BAZDA dan LAZ yang memiliki tugas pokok
mengumpulkan, mencatat, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat
sesuai ketentuan agama. Pengurus BAZDA terdiri dari unsur ulama,
cendikiawan, tokoh masyarakat, tenaga profesional, pejabat yang membidangi
zakat pada kantor wilayah Departemen Agama, dan wakil Pemerintah Daerah
yang memenuhi persyaratan tertentu dan setelah melalui proses seleksi.
Dari beberapa paparan di atas tampak bahwa di masing-masing
Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten memiliki semangat untuk mendominasi
perda-perda keagamaan bernuansa syariat Islam. Upaya ini berlangsung intens
semenjak Banten menjadi provinsi dan memisahkan diri dari Jawa Barat pada
tahun 2000. Pemisahan ini nampaknya juga menjadi momentum bagi
mayoritas muslim di Banten untuk mengekspresikan identitasnya. Penelitian
ini kemudian dilatarbelakangi oleh realitas bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa majemuk dan telah mengikrarkan diri pada Ideologi
Pancasila yang terbuka serta semangat Bhineka Tunggal Ika. Bertolak dari
sejarah heroisme kemerdekaan Indonesia yang dilalui dengan perjuangan
bangsa dari berbagai golongan, suku, adat, agama, ideologi dan budaya, maka
bangsa Indonesia perlu senantiasa melanjutkan misi tersebut dan menjaga
12
semangat keberagaman serta merawat segala potensi yang dimiliki dalam
koridor konstitusi. Kebijakan otonomi daerah yang diyakini sebagai perubahan
paradigma di dalam sistem pemerintahan Indonesia juga tidak lantas dijadikan
sebagai salah satu upaya untuk melegitimasi kepentingan mayoritas semata
tanpa pertimbangan minoritas, melainkan perlu ditempatkan sesuai dengan
tujuannya, yakni menciptakan iklim demokratis terkait dengan pola hubungan
pemerintah pusat dan daerah. Oleh karenanya ketika terjadi fenomena
formalisasi agama dalam bentuk perda-perda bernuansa agama di daerah di
Indonesia pasca kebijakan otonomi daerah, menarik untuk dikaji dan ditelaah
lebih lanjut dalam konteks bangunan kenegaraan yang disertai semangat
kebangsaan dan prinsip keberagaman di Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini mencoba untuk menelusuri dan menganalisis isu pokok
bagaimana Formalisasi Syariat Islam di Banten jika dilihat dalam konteks
Negara Bangsa (Nation-State) di Indonesia. Pembatasan masalah yang
ditinjau khusus tentang regulasi bernuansa Syariat Islam yang dibuat oleh
pemerintah di Banten, baik berupa Perda maupun Surat Edaran pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota yang dikeluarkan sejak Banten berpisah dari Jawa
Barat dan menjadi provinsi tersendiri pada tahun 2000.
Sementara rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakter kedaerahan masyarakat Banten?
2. Bagaimana hubungan keislaman dan kebangsaan dalam sejarah di Banten?
3. Apa muatan regulasi formalisasi syariat Islam di Banten?
4. Apa tujuan dari formalisasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten?
5. Apa dampak formalisasi regulasi bernuansa syariat Islam tersebut terhadap
hubungan antar umat beragama di Banten?
13
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui karakter kedaerahan masyarakat Banten
2. Untuk mengetahui hubungan antara keislaman dan kebangsaan dalam
sejarah di Banten
3. Untuk mengetahui muatan dari regulasi bernuansa formalisasi syariat
Islam di Banten
4. Untuk mengetahui tujuan formalisasi regulasi bermuatan syariat Islam di
Banten
5. Untuk mengetahui dampak dari formalisasi regulasi bernuansa syariat
Islam tersebut terhadap hubungan antar umat beragama di Banten.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini akan memperkaya kajian tentang
formalisasi syariat Islam dan kebangsaan di Indonesia, khususnya studi yang
terkait di Banten. Dan pada tataran praktis, penelitian ini juga dapat
memberikan manfaat dalam beberapa hal berikut: Pertama, sebagai referensi
bahan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam bidang
pembangunan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kedua, sebagai panduan dan
masukan bagi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dalam rangka
merawat dan mewujudkan pentingnya kesadaran kebangsaan dan hak-hak
sipil, kaitannya terhadap kerukunan dan kehidupan umat beragama di
Indonesia. Ketiga, sebagai sumbangsih pemikiran pemahaman keislaman yang
pluralis, toleran, humanis, serta bernuansa keindonesiaan yang dapat
menghargai dan merayakan perbedaan dalam konteks berbangsa dan
bernegara di Indonesia.
14
E. Pembatasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian, penulis mengemukakan
penjelasan beberapa istilah yang digunakan terkait dengan pembahasan dalam
penelitian, antara lain :
1. Formalisasi yang dimaksud dalam tesis ini merupakan sebuah upaya atau
tindakan meresmikan sesuatu. Istilah formalisasi seringkali digunakan
dalam organisasi untuk menunjukan sejauh mana organisasi
menyandarkan dirinya pada peraturan dan prosedur untuk mengatur
perilaku dari para anggotanya.
2. Syariat Islam adalah hukum Ilahi atau peraturan Islam yang mengatur
seluruh sendi kehidupan umat Islam.
3. Bangsa merupakan sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan
batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah, serta cita-cita
yang sama.
4. Negara-Bangsa (Nation-State) merupakan suatu istilah politik yang
berarti warga negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsa
yang sama. Negara kebangsaan modern adalah negara yang
pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau
nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa
depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga
masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
5. Regulasi adalah suatu peraturan yang dibuat untuk membantu
mengendalikan suatu kelompok, lembaga, atau organisasi demi mencapai
tujuan tertentu dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat.
6. Perda (Peraturan Daerah) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota). Peraturan
Daerah terdiri atas: Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
15
F. Kajian Pustaka
Kajian tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia pernah ditulis oleh
beberapa peneliti, baik secara individu maupun lembaga. Pembahasan mereka
biasanya mengambil fokus tertentu sesuai dengan concern dan kepentingannya.
Fokus daerah yang diteliti juga berpencar-pencar sesuai dengan kebutuhan
penelitannya. Secara individu, Penelitian tentang syariat Islam pernah
dilakukan oleh Haedar Nasir (2007) dengan judul Islam Syariat : Reproduksi
Salafiyah Ideologis di Indonesia. Karya tebal yang awalnya merupakan disertasi
di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengulas penerapan Syariat
Islam di sejumlah wilayah di Indonesia, diantaranya di Sulawesi Selatan, Aceh,
dan Jawa Barat. Penelitian ini lebih difokuskan pada penelusuran ideologi
Salafiyah di Indonesia. Karena itu, gerakan fomalisasi Syariat Islam melalui
perda sekedar dijadikan sebagai indikator bangkitnya ideologi salafisme dan
neo-fundamentalisme yang mengambil bentuk Islamisasi dari bawah. Karya ini
tidak membahas dan menganalisis lebih jauh mengenai keterkaitan perda
syariat Islam dalam kehidupan masyarakat sekitar dan konteks berbangsa dan
bernegara di Indonesia.23
Studi tentang formalisasi syariat Islam juga pernah dilakukan oleh
Tasman yang menyoroti proses implementasi syariat Islam di Cianjur dalam
konteks sosial-politik lokal. Cianjur memang cukup menarik untuk dikaji,
karena daerah ini merupakan wilayah yang berusaha menerapkan syariat Islam
pertama dengan retorika Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul
Karimah (Gerbang Marhamah). Dalam studinya, diperoleh kesimpulan bahwa
motif politik sangat kental mewarnai latar belakang penerapan syariat Islam di
daerah tersebut. Jabatan Bupati di Cianjur diraih dari dukungan masyarakat
yang ditarik dari isu penerapan syariat Islam. Studi ini juga mengungkap bahwa
penerapan syariat Islam di Cianjur barulah pada tataran simbolik dan parsial
belaka. Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa terdapat
23Lihat Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta :
Mizan, 2013)
16
resistensi dari masyarakat untuk menerapkan hukum Islam pada beberapa
aspek legal seperti adanya hukuman potong tangan dan hukuman rajam.24
Masih di wilayah Cianjur, Pramono U. Thantowi juga melakukan studi
yang sama. Yang membuat berbeda dengan penelitan sebelumnya adalah
Thantowi memfokuskan kajiannya pada sejauhmana kalagan non-Muslim
diposisikan dalam rangka penerapan syariat Islam di wilayah tersebut. Studi ini
mengungkap fakta bahwa kalangan non-Muslim ternyata tidak dilibatkan sama
sekali dalam proses pengambilan keputusan penerapan syariat Islam di
Cianjur. Ironisnya, pada beberapa kasus ternyata konsep syariat Islam yang
sedianya hanya berlaku bagi kalangan Muslim ternyata diberlakukan juga bagi
kalangan non-Muslim. Ada catatan menarik bahwa banyak masyarakat non-
Muslim menolak dijadikan sample penelitiannya, karena menganggap bahwa
isu syariat Islam tersebut sangatlah sensitif, dan mereka cenderung
menghindar demi alasan keamanan. Tanthowi juga mengungkap bahwa ada
pula praktik-praktik diskriminasi di Kantor Departemen Agama Cianjur. Di
kantor ini, tidak ada bagian khusus yang menangani urusan non-Muslim,
sehingga kalangan non-Muslim harus mengurus hal-hal yang berkaitan dengan
agama mereka ke Kantor Wilayah (Kanwil) Depag Jawa Barat di Bandung.
Lebih dari itu, alokasi anggaran untuk urusan umat beragama non-Muslim juga
ternyata tidak disediakan karena seluruhnya dialokasikan untuk kalangan
Islam.25
Di Banten, Pembahasan tentang formalisasi syariat Islam pernah ditulis
oleh Syafuri dalam disertasi berjudul “Pemberlakuan Syariat Islam di Banten:
Studi terhadap peluang dan tantangan serta formalisasinya”, namun disertasi ini
lebih banyak membahas tentang peluang diberlakukannya hukum Islam di
Banten.26 Tulisan ini sedikit sekali membahas tentang aspek respon non-
24Tasman, “Implementasi Syariat Islam di Cianjur”, dalam Sukron Kamil, dkk., Syariah
Islam dan HAM, h.xxxi 25Pramono U.Tanthowi, “Muslim and The Limits of Tolerance...”, dalam Sukron Kamil, dkk.,
Op.cit., h.xxxii 26Syafuri, Pemberlakuan Syariat Islam di Banten : Studi tentang peluang dan tantangan
serta formalisasinya, (Bandung : UIN Sunan Gunung Djati, 2010)
17
Muslim, kasus konflik dan diskriminasi, dan belum secara luas mengaitkannya
dengan konteks kebangsaan di Indonesia. Suparman Usman pernah juga
menulis tentang Pemberlakuan Syariat Islam di Banten. Hanya saja tulisan ini
merupakan kumpulan dari ceramah-ceramahnya dan lebih banyak membahas
tentang teori hukum Islam, langkah dakwah dan rencana strategis
pemberlakuan hukum Islam di Banten.27 Studi tentang formalisasi syariat Islam
yang secara khusus membahas tentang dinamika perda-perda di Banten yang
dibaca dalam konteks kebangsaan di Indonesia, sejauh sumber yang ditemui,
masih belum dilakukan.
G. Kerangka Pemikiran
Indonesia terbentuk setelah melalui dialog panjang para pendiri bangsa
mengenai bentuk negara Indonesia. Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945 disepakati
bahwa Indonesia mengambil bentuk sebagai negara bangsa (nation-state)
dengan Ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan titik temu antara kubu
nasionalis-sekuler dan nasionalis-islami. Pancasila yang dijadikan sebagai
ideologi negara merupakan rumusan Soekarno yang disebut juga sebagai
ideologi nasionalisme-netral-agama. Dalam ideologi ini, agama tidak dijadikan
sebagai dasar Negara secara formal, namun nilai-nilai universal agama menjadi
landasan etik, moral dan spiritual. Pertumbuhan Indonesia dalam ikatan
sebuah kebangsaan yang terdiri dari ribuan pulau, bahasa daerah dan tradisi
yang banyak tentulah memerlukan perekat yang kuat sementara semangat
kesadaran sebagai sebuah bangsa datang kemudian. Dan oleh karena setiap
agama memiliki ajaran tentang ketuhanan maka dengan sendirinya setiap
agama hendaklah memiliki semangat kebinnekaan dalam ikatan nilai
keadaban.28
Dari konsensus founding fathers diatas menunjukan bahwa upaya
menjalin kerukunan, rasa kebangsaan dan persatuan berbangsa hanya bisa
27Suparman Usman., Pemberlakuan Syariat Islam di Banten, (Serang: MUI Provinsi Banten,
2007) 28Ridwan Lubis, Sukarno dan Modernisme Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h.43.
18
tumbuh dan terbina apabila setiap entitas partikular agama bersukarela untuk
mendahulukan konsep bangsa dan rasa kemanusiaan. Sikap mendahulukan
bangsa dan kemanusiaan merupakan refleksi dari sikap religius yang terdalam,
sehingga dengan mendahulukan kebangsaan dan kemanusiaan, agama bukan
dilemahkan atau dinomorduakan melainkan justru diperkokoh dan
dimanifestasikan dalam etika sosial yang konkret. Sikap, pandangan dan
kesadaran menerima keragaman ini menjadi bagian penting dari semangat
kebangsaan yang telah dimunculkan oleh para pendiri Republik Indonesia.29
Dalam hal ini, penting bagi setiap warga negara dan para pemangku
kebijakan untuk memahami landasan ideal, landasan konstitusional, dan
landasan konseptual kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai
acuan dasar pembuatan kebijakan kaitanya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Berikut paparannya :30
1. Landasan Ideal
Pancasila merupakan landasan ideal dalam menjalankan kehidupan
nasional dan menjadi landasan dasar bagi seluruh komponen bangsa untuk
mencapai cita-citanya. Di dalamnya termaktub tujuan dasar Indonesia, yaitu
melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia.
Pancasila merupakan puncak keberhasilan umat beragama dalam
menjalankan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan dikuatkannya Sila
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia bukan negara sekuler, namun
juga tidak menetapkan salah satu agama sebagai agama resmi negara. Pancasila
menjamin setiap komponen bangsa untuk beribadah, beragama dan
berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan tersebut.
29Ismail Hasani, ed., Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan,
(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), h.12-13 30Agoes Djazoeli, dkk., Pemerintah daerah dalam perlindungan hak beragama atau
berkeyakinan, (Jakarta: Dirjen HAM), h. 34-38
19
Pancasila tidak mengatur hal yang terdalam kehidupan pribadi umat
beragama, namun ia memberikan ruang dan menjamin pengalaman agama
dengan sebaik-baiknya. Pancasila berfungsi sebagai landasan bersama bagi
umat beragama untuk mewujudkan dan mengembangkan keharmonisan
kehidupan beragama dalam rangka usaha bersama membangun bangsa
Indonesia.
2. Landasan Konstitusional
UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bangsa dan negara
Indonesia Seluruh produk hukum dan perundang-undangan yang mengatur
pelbagai permasalahan nasional dan penyelenggaraan negara di tingkat pusat
dan daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum
formal tertinggi di Negara Republik Indonesia.
Pasal 28E UUD menjamin hak setiap orang bebas memeluk dan
beribadat menurut agamanya. Agama merupakan hak asasi setiap orang,
karena UUD menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, secara konstitusional, setiap orang diberikan
kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya dengan
tetap menjunjung tinggi penghormatan dan pengakuan terhadap kebebasan
orang lain yang menganut agama yang berbeda dan menjalankan agamanya.
3. Landasan Konseptual
Wawasan nusantara adalah landasan visional atau konseptual bangsa
Indonesia dalam menciptakan dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,
termasuk dalam kaitannya hak beragama atau berkeyakinan. Hal ini
mengandung cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba majemuk, seperti pluralitas agama, dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
20
Wawasan nusantara mengamanatkan persatuan dan kesatuan wilayah
sebagai wadah dan ruang hidup seluruh bangsa. Wawasan nusantara
merupakan pedoman dan pemberi motivasi bagi setiap penyelenggara negara,
warga negara dan segenap komponen bangsa Indonesia untuk berfikir,
bersikap dan bertindak dalam rangka membangun kesatuan dan persatuan
bangsa.
Mengacu pada wawasan nusantara di atas, pembangunan kehidupan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia hendaknya dilandasi kesadaran
adanya keragaman agama dan kepercayaan dengan adat istiadat dan
budayanya. Pengelolaan dan pembangunan kehidupan beragama harus
dilakukan dengan memberikan ruang yang sama dan penghargaan untuk hidup
berdampingan kepada semua agama dan keyakinan di atas landasan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Selain ketiga landasan tersebut, penulis juga menggunakan beberapa
teori dalam memahami dan untuk menganalisis proses formalisasi syariat
Islam di Banten dalam konteks kebangsaan di Indonesia. Beberapa teori
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tori Integralisme
Kehadiran kelompok Islam yang dengan demikian gigih dan cenderung
militan atau fanatik dapat ditelusuri ke dalam konstruksi atau alam pikiran
yang tertanam kuat mengenai Islam dan kehidupan, yang dikenal dengan
paham integralisme Islam. Menurut perspektif Integralisme, bahwa Islam
sebagai wahyu Allah yang dibawa oleh para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad merupakan agama atau ajaran yang lengkap dan sempurna, yang
mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Tidak ada satu aspek kehidupan
pun yang lepas dari pengaturan Islam. Karena itu, Islam wajib diyakini,
dipahami, dan diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan secara totalitas atau
kaffah, tidak boleh setengah-setengah atau parsial. Pandangan atau perspektif
tentang Islam “kaffah” kini telah menjadi semacam ikon suci dan kental dari
21
gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan sistem Islam dalam kehidupan
kontemporer di hampir seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia.31
Dengan isi dan cakupan ajaran yang menyeluruh itu, maka Islam menjadi
agama satu-satunya yang tidak memisahkan bahkan hingga batas tertentu
mempertautkan secara integratif antara agama (din) dan dunia (dunya).
Integralisme Islam dengan kehidupan dunia itu termasuk dengan kehidupan
politik (siyasat, daulat) dan hukum (syariat), sehingga dikenal kesatuan tiga
dimensi, yaitu “al-din wa daulat wa syariat”.
Paham Integralisme Islam baik yang menyangkut syariat Islam maupun
hubungan Islam dan politik atau negara maupun kehidupan dunia pada
umumnya dapat dilacak antara lain pada pemikiran Muhamad Rasyid Ridha
(1865-1935) salah satu seorang reformis salafiyah dari Mesir, Hasan Al-Bana
(1906-1949) dan Sayyid Quthb (1906-1966) pendiri dan tokoh utama
Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Abul A’la Al-Maududi (1903-1979) pemimpin
Jemaat-i-Islami dari Pakistan.
2. Teori Dekonstruksionalisme
Teori dekonstruksionalisme hadir sebagai bagian dari kritik dan
pembaruan terhadap pandangan integralisme Islam yang bercorak totalistik
atau serba-absolut dalam memahami Islam. Perspektif dekontstruksionalisme,
sesuai dengan namanya, berusaha melakukan dekonstruksi atau
pembongkaran terhadap pemikiran-pemikiran yang selama ini mapan atau
status-quo dan berpengaruh kuat dalam kesadaran kolektif umat Islam. Dalam
ilmu sosial, teori dekonstruksionalisme ata dekonstruksi dikenal dalam cultural
studies sebagaimana dilakukan oleh Derrida, yakni analisis dengan cara
“mengambil bagian, melucuti, untuk menemukan dan menampilkan asumsi
suatu teks” atau melakukan “oposisi konseptual hierarkis” atas suatu teks
untuk “mengungkap bagian terdalam dari apa yang diinginkan dengan yang
tidak diinginkan oleh suatu teks verbal”.
31Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2013), h. 68
22
Kalangan intelektual Muslim yang cukup menonjol dalam melakukan
dekonstruksi atas pemikian mengenai Syariat Islam dilakukan oleh Abdullah
Ahmed An-Na’im, pemikir dari Sudan yang melakukan berbagai kritik dan
penafsiran ulang mengenai syariat Islam. Perspektif An-Naim dapat disebut
sebagai dekonstruksionalisme, karena sifatnya yang bercorak pembongkaran
atau pelucuran atas makna dan isi atau substansi maupun metodologi. Bagi An-
Na’im, “syariat bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah
interpretasi terhadap teks (nash) dasarnya sebagaimana dipahami dalam
konteks historis tertentu”. Pandangan ini menolak prinsip penyatuan total dan
tuntas ajaran Islam khususnya syariat Islam dan realitas kehidupan
pemeluknya sebagaimana dianut kalangan fundamentalisme Islam dalam
gerakan Islam kontemporer. Syariat Islam selain dipandang bukan sebagai
keseluruhan dari ajaran Islam, pada saat yang sama aktualisasinya dalam
kehidupan kontemporer seringkali menimbulkan kesulitan-kesulitan jika tanpa
revisi, reformasi, dan rekonstruksi.
Pemikiran tentang penerapan hukum Islam alternatif pada dasarnya
merupakan dekonstruksi terhadap penerapan hukum Islam historis dalam
tuntutan kehidupan kontemporer. Dalam hal ini jika disimpulkan Na’im
berangkat dari beberapa asumsi pokok, pertama antara Islam sebagai ajaran
dan syariat Islam yang disebutnya sebagai syariat historis merupakan dua hal
yang dapat dibedakan kendati tidak dapat dipisahkan, yang formulasi dan
penerapannya dalam kehidupan kontemporer tidak dapat demikian tuntas dan
ketat sebagaimana dianut oleh para pengikut hukum Islam historis. Kedua,
penerapan hukum Islam historis yang ketat dan serba-ingin tuntas atau total
dalam kehidupan kontemporer selalu mengalami kesulitan-kesulitan, karena
itu diperlukan reformulasi atau revisi menjadi hukum atau syariat Islam
modern yang bersifat alternatif. Ketiga, bagi umat darurat dan penerapan yang
tidak memadai, maka lebih baik mencoba untuk menyesuaikan syariat tersebut
degnan berbagai problem dan kebutuhan kehidupan kontemporer. Keempat,
penyesuaian syariat Islam ke dalam kehidupan kontemporer merupakan faktor
23
penting dengan adanya realitas negara-bangsa (nation-state) di mana
berkembang hak kolektif hidup komunitas muslim dan non muslim.
Selain An-Naim, pemikiran dekonstruksi juga diperkenalkan oleh
Muhammad Abid Al-Jabiri, yang memperkenalkan konsep “kesempurnaan
relatif” tentang syariat Islam. Menurut Al-Jabiri, bahwa “kesempurnaan” syariat
Islam dan penerapannya dalam kehidupan sebagaimana berlaku dalam bidang-
bidang kehidupan lainnya, adalah kesempuranaan yang relatif baik yang
berkaitan dengan praktik pada masa para nabi dan para sahabat maupun pada
masa-masa sesudahnya. Di Indonesia, Munawir Syadzali termasuk tokoh yang
menawarkan dekonstruksi dengan gagasan “reaktualisasi ajaran Islam”-nya
yang menjadi bahan perdebatan cukup terbuka. Pandangan Munawir berangkat
dari pengamatan dan pengalaman bahwa umat Islam khususnya dalam hukum
waris tidak mempraktikan sebagaimana perintah syariat dalam nash atau teks
Al-Qur’an, sehingga daripada terjebak pada ambivalensi, maka apakah tidak
mungkin diperbolehkan melakukan reaktualisasai dalam bentuk modifikasi
atau penyesuaian terhadap ketentutan-ketentuan yang telah dengan jelas
digariskan oleh Al-Qur’an itu.32
3. Teori Kue Lapis (The Three-Tiers Theory) Nation- and State-Building
Menurut Saafroedin Bahar33, teori kue lapis atau The Three Tiers Theory
of Nation- and State-Building adalah teori tentang tumbuhnya bangsa dan
negara-kebangsaan di Indonesia. Pada lapisan pertama dan paling bawah,
adalah etnik atau suku bangsa, yang merupakan komunitas antropologis dan
menjadi tumpuan dasar bangsa dan negara. Sistem nilai kultural etnik atau
suku bangsa ini mempunyai arti psikologis dan sosiologis yang penting
karenaikut membentuk pribadi warganya, di manapun mereka berada, baik
sebagai warganegara biasa maupun sebagai penyelenggara negara. Pada
lapisan ke dua, adalah bangsa sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara
sengaja secara artifisial melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu
32Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, h.78-82 33Saafroedin Bahar, Membangun Indonesia: Negara-Kebangsaan dan Masyarakat-Hukum
Adat, (Jakarta: Verbum Publishing, 2009), h. 18-20
24
merupakan produk sejarah, dan karena itu harus dipelihra setiap hari, baik
oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara. Pada
lapisan ketiga adalah negara, sebagai suatu subyek utama hukum internasional,
yang bersamaan dengan mempunyai kewenangan untuk membangun dan
menegakan hukum nasionalnya ke dalam negeri, juga harus patuh pada hukum
internasional, baik hukum internasional tertulis maupun hukum internasional
tidak tertulis. Dalam pergaulan internasional, negara diwakili oleh pemerintah
yang sah menurut undang-undang dasar negara itu.
Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat sangat majemuk
seperti Indonesia, suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu
harus ditangani secara amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah
pusat dengan berbagai etnik yang merupakan komponen utama dari rakyat.
Suatu anak masalah yang melekat erat dengan masalah ini adalah kenyataan
bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan yang akan menentukan nasib
orang banyak akan selalu berada dalam tangan tokoh-tokoh etnik, agama, atau
kelompok mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka terhadap
aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak kelompok bangsa
yang bersangkutan.
4. Teori Hegemoni dan Dominasi
Teori hegemoni dan dominasi Antonio Gramsci sebagai pisau analisis
dalam memahami fenomena formalisasi agama dalam bentuk perda dan
beberapa kasus konflik atas nama agama di Banten kaitanya dengan dominasi
kaum mayoritas atas minoritas. Teori ini dapat digunakan untuk memahami
aktor penyebab pada relasi kuasa sosial-politik ketika ada konflik atas nama
agama yang terjadi antara negara, agama mayoritas dan agama minoritas.
Selain itu, pemikiran Gramsci digunakan untuk menganalisis berbagai relasi
kekuasaan dan tindak kekerasan di dalam masyarakat. Gramsci membedakan
pembeda kontradiktif antara “hegemoni” dan “dominasi” yang memiliki relasi
25
kuat dengan unsur negara, masyarakat sipil, kebudayaan, ideologi, kepercayaan
populer, dan kaum intelektual.34
Menurut perspektif Gramsci, dalam sebuah bangsa multikultural ketika
membiarkan konflik agama seringkali disebabkan adanya dominasi kaum
mayoritas terhadap kaum minoritas. Beberapa kasus konflik antar agama yang
pernah terjadi di negara-negara, seperti adanya penyerangan, perusakan,
pembakaran, dan pembunuhan, seringkali terjadi karena “bentuk penguasaan
yang didukung dengan kekuatan fisik” atas dominasi kaum mayoritas. Misal,
kelompok dominasi menguasai dan cenderung “mengorbankan” musuh-
musuhnya dengan berbagai cara, termasuk dengan kekuatan bersenjata;
kemudian kelompok dominasi itu menjadi pemimpin dari kelompok-kelompok
yang bersekutu dan memiliki hubungan dengannya. Kelompok yang dikuasai
secara dominatif dan dipimpin secara hegemonik dalam istilah Gramsci dikenal
dengan kelompok “subordinat” atau “subaltern”. Hegemoni dipahami oleh
Gramsci sebagai “bentuk penguasaan terhadap seseorang atau kelompok
tertentu dengan menggunakan kekuatan kepemimpinan intelektual dan moral
secara konsensus”. Dengan kekuatan tersebut menyebabkan seseorang atau
kelompok yang terhegemoni dapat menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.
Prakteknya, hegemoni dapat tampak di dalam regulasi, penulisan, kajian
tentang masyarakat, dan media massa sebagai alat kontrol kesadaran yang
dipakai oleh penguasa. Akibatnya, alat kontrol itu mampu menjadi peran
penting untuk mengkonstruksi institusi dan sistem sebagai ruang melestarikan
ideologi kelas dominan.35
H. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis-historis dengan
paradigma penelitian kualitatif bersifat analisis-deskriptif. Menurut Denzin dan
Licoln (2009) dalam Juliansyah Noor, penelitian kualitatif menyiratkan
penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum
diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya. Pendekatan
34Roger Simon, Gagasan-gasan politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.20 35Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci, h.20
26
kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan
pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Pada pendekatan ini, peneliti menekankan sifat realitas yang
terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dan subjek yang diteliti.
Penelitian ini bersifat penemuan dan lebih menekankan pada makna dan
terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan pada masalah yang belum jelas,
mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial,
mengembangkan teori, memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah
perkembangan. Dalam penelitan kualitatif, peneliti merupakan instrumen
kunci. 36
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara,
yakni studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan melalui buku-
buku, internet, maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan tema
penelitian. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key
informan) yang ditentukan berdasarkan tingkat pengetahuan dan pengalaman
yang memadai tentang persoalan yang berhubungan dengan tema penelitian.
I. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 Bab, dengan rincian sebagai berikut. Bab 1
Pendahuluan. Dalam bab ini akan disajikan latar belakang masalah penelitian,
studi penelitian sebelumnya (kajian pustaka), rumusan masalah, tujuan
penelitian signifikansi dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, dan
sistematika penulisan.
Bab 2 meninjau secara teoritis tentang identitas kebangsaan dan
pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Disini akan dikaji secara teoritis
tentang tiga hal. Pertama tentang arti kebangsaan dan Negara Bangsa. Kedua
tentang identitas kebangsaan di Indonesia; Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Ketiga tentang tinjauan
penerapan syariat Islam di Indonesia.
36Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2015), h.33-34
27
Bab 3 mengkaji tentang Banten dan karakter kedaerahan melaui
pendekatan sejarah. Hal ini dilakukan untuk memahami karakeristik
keagamaan dan budaya masyarakat di Banten. Disini akan dibahas tentang
Gambaran Wilayah, Masyarakat Banten dalam catatan sejarah (Fase Pra
sejarah, Fase Kesultanan, Fase Kolonial, Fase Kemerdekaan Indonesia, dan
Fase Pembentukan Provinsi), akan dibahas juga beberapa konflik keagamaan
yang pernah terjadi di Banten.
Bab 4 membahas tentang formalisasi agama dalam nation-state:
perspektif lokal Banten. Pembahasanya meliputi, klasifikasi Perda bernuansa
syariat Islam di Banten, Peran Tokoh Agama atas pembuatan perda bernuansa
syariah, Perda bernuansa syariah dan respon non muslim di Banten, dan
selanjutnya akan disajikan juga berdasarkan data dari kajian sebelumnya untuk
menampilkan sebuah persepsi Ideal Agama dan Negara di Banten.
Bab 5 adalah Penutup. Berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran-
saran.