tinjauan formalisasi syariat islam di banten dalam...

34
TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM KONTEKS NEGARA-BANGSA DI INDONESIA TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag) Oleh : NAMA : AHMAD MUHIBI NIM : 2113032100017 MAGISTER STUDI AGAMA-AGAMA KONSENTRASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/ 1439 H

Upload: dotu

Post on 09-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM KONTEKS NEGARA-BANGSA DI INDONESIA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh :

NAMA : AHMAD MUHIBI

NIM : 2113032100017

MAGISTER STUDI AGAMA-AGAMA

KONSENTRASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M/ 1439 H

Page 2: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

i

KATA PENGANTAR

Segala puji milik Allah SWT, pemilik seluruh alam semesta yang

memberikan kesempurnaan kepada kita untuk merasakan kenikmatan ciptaan-

Nya. Betapa indah ciptaan-Nya, sehingga apa yang ada di sekeliling kita menjadi

tanda bagi keberadaan-Nya, kebesaran-Nya, serta menjadi sarana berfikir dan

berkontemplasi bagi kita -yang akhirnya- baik sadar ataupun tidak, semua ini

menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran manusia.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,

kepada keluarga, sahabat, tabiin, dan tabiin at-tabiin, serta kepada kita semua

selaku umatnya. Amin.

Penelitian dengan judul “Tinjauan proses formalisasi Syariat Islam di

Banten dalam konteks Negara-Bangsa di Indonesia” merupakan syarat

untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) pada Program Studi Magister

Studi Agama-Agama konsentrasi Kerukunan Umat Beragama Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

sekaligus sebagai persembahan penulis terhadap berbagai pihak yang turut

membantu dalam setiap proses penyelesaiannya.

Penulis menyadari banyak pihak yang secara sukarela membantu dan

mendukung penyelesaian penelitian ini. Oleh karenanya, dari lubuk hati

terdalam, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuludin sekaligus

pembimbing tesis penulis.

3. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku wakil Dekan bidang Akademik

sekaligus pembimbing tesis penulis.

4. Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, M.A selaku Guru Besar Perbandingan Agama

sekaligus pembimbing proposal tesis penulis.

5. Ketua Program Magister, Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag., Sekretaris, Maulana, M.Ag,

Ketua Jurusan Studi Agama-Agama, Dr. Media Zainul Bahri, M.A, dan Staf

Page 3: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

ii

Program Magister, Toto Tohari, S.Th.I, dan seluruh civitas akademika

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Teman-teman satu angkatan Magister Studi Agama-Agama konsentrasi

Kerukunan Umat Beragama, Wasil, Eddy Najmudin, Juli Ahsani,

Habiburrahman. Teman-teman Khong Hu Cu, Pak Uung Sendana L. S, Epih.

Serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

dalam lembaran ini telah saling support dan berproses bersama dalam

menyelesaikan perkuliahan ini.

Semoga jasa dan budi baik mereka menjadi amal saleh dan senantiasa

mendapat curahan rahmat dari-Nya. Amin.

Serang, Maret 2018

Ahmad Muhibi

Page 4: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

iii

Abstrak

Penelitian ini menunjukan bahwa formalisasi syariat Islam dalam beberapa regulasi di Banten terjadi karena faktor keislaman yang melekat dalam kultur melalui proses sejarah dan karakter keagamaan yang kuat pada kelompok masyarakat memperoleh saluran dan gencar ditampilkan dalam ruang publik politik pasca kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, fenomena ini dilematis karena bertendensi pada pembentukan negara agama dalam bangunan dasar negara yang telah mengambil bentuk bukan sebagai negara agama melainkan Negara-Bangsa (Nation-State), serta cenderung mereduksi makna identitas Indonesia sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika. Identitas dalam konteks kebangsaan nasional bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis, sehingga perlu dimaknai dalam kerangka kebhinekaan bangsa, tidak hanya pada aspek pengunggulan identitas yang bersifat sektarian. Oleh karenanya pada kasus Banten, pendekatan agama sebagai etika sosial hendaknya lebih dikedepankan dibanding menggunakan pendekatan formal agama pada dimensi politik, karena upaya formalisasi agama pada ranah politik justru cenderung mereduksi makna identitas kebhinekaan bahkan bisa menjadi ancaman kerukunan kebangsaan nasional jika tidak disertai dengan menjunjung tinggi nilai toleransi, kesadaran hak sipil, dan penguatan wawasan kebangsaan. Dalam penelitian ini juga ditemukan beberapa poin berikut: 1.Tokoh-tokoh non muslim di Banten tidak sepakat dengan penerbitan regulasi (perda) bernuansa syariat Islam namun tidak dilibatkan pada proses pembuatan, karena selain tidak ada keterwakilan dari mereka yang menyuarakan di legislatif, dari kalangan muslim berpandangan bahwa regulasi (perda) bernuansa syariat Islam hanya diperuntukan untuk masyarakat muslim sehingga tidak perlu melibatkan non muslim. 2.Formalisasi syariat Islam pada beberapa regulasi di Banten kebanyakan berbentuk reproduksi fiqih atau seruan moral bersifat golongan, sehingga pemberlakuannya tidak menyasar pada semua warga sipil di Banten.

Sumber primer penelitian ini adalah data-data terkait kebangsaan, keindonesiaan dan regulasi-regulasi bernuansa syariat Islam di Banten yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan sumber-sumber yang berasal dari wawancara, dokumentasi, dan data-data lain yang berasal baik dari buku, majalah maupun artikel yang ditulis oleh para peneliti yang mengkaji tentang fenomena sejenis di Banten dan tentang formalisasi syariat Islam pada perda di beberapa daerah lain di Indonesia menjadi sumber sekunder dan tersier dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kualitatif deskriptif dengan metode induktif. Dalam menganalisa dan menginterpretasi data, tesis ini menggunakan pendekatan sosiologis-historis.

Key Words: Formalisasi Syariat Islam, Regulasi, Banten, Kebangsaan, Indonesia

Page 5: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

iv

DAFTAR TABEL

NO NAMA TABEL HAL 1 Beberapa kasus konflik antar umat beragama di Banten 100 2 Klasifikasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten 107

Page 6: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

v

DAFTAR ISI Kata Pengantar Abstrak Daftar Tabel Daftar Isi

i iii iv v

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pembatasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Pembatasan Istilah F. Kajian Pustaka G. Kerangka Pemikiran H. Metodologi Penelitian I. Sistematika Pembahasan

1 12 13 14 14 15 18 26 27

BAB II. IDENTITAS KEBANGSAAN DAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA : TINJAUAN TEORITIS

A. Makna Kebangsaan dan Nation-State B. Konsensus Dasar Kebangsaan Indonesia 1. Pancasila 2. Bhineka Tunggal Ika 3. Negara Kesatuan Republik Indonesia 4. UUD 1945

C. Syariat Islam di Indonesia

29 32 32 37 40 42 54

BAB III. BANTEN DAN KARAKTER BUDAYA MASYARAKAT : TELAAH SEJARAH

A. Gambaran Wilayah B. Masyarakat Banten dalam catatan sejarah 1. Fase Pra Sejarah 2. Fase Kesultanan 3. Fase Kolonial 4. Fase Kemerdekaan Indonesia 5. Fase Pembentukan Provinsi

C. Beberapa kasus konflik keagamaan di Banten

67 70 71 72 80 87 93 96

BAB IV. FORMALISASI AGAMA DALAM NATION-STATE : PERSPEKTIF LOKAL BANTEN

A. Klasifikasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten B. Peran Tokoh Agama dalam pembuatan regulasi bernuansa

syariat Islam di Banten C. Respon non muslim terhadap penerapan regulasi benuansa

syariat Islam di Banten D. Mencari Format Ideal Agama dan Pemerintah di Banten

105 114 122 127

Page 7: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

vi

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

138 140

DAFTAR PUSTAKA 142 PROFIL PENULIS 147 LAMPIRAN 148

Page 8: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membincang Banten keterkaitannya dengan keislaman dan kebangsaan

di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Islamisasi lokal dan konteks dimana

daerah ini pernah mencapai fase kejayaan di era kesultanan.1 Pada fase ini,

Azyumardi Azra menuturkan bahwa Banten tidak hanya pernah menjadi pusat

perdagangan internasional melainkan juga sebagai pusat kajian Islam.2

Kemunculan Banten sebagai kerajaan besar di abad ke 16 dan 17 tidak terlepas

dari kondisi politik disintegrasi kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa dan

perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah pesisir dengan iklim

perdagangan yang semakin terbuka.3 Dalam persepktif sosiologis, ada dua tipe

struktur kerajaan yang menurut Wertheim bisa ditemukan dalam masyarakat

Indonesia.4 Pertama, negara pedalaman yang bersifat birokratik, terutama

ditemukan di Jawa, yang kerajaan-kerajaannya tergantung kepada jasa dan

suplai makanan yang dipungut dari petani oleh para pemimpin lokal atau

gubernur. Kedua, kerajaan pelabuhan yang mengandalkan perdagangan luar

negeri. Banten tergolong kedalam tipe kedua. Hal ini dikarenakan seiring

dengan naiknya gelombang perdagangan dari mancanegara ke nusantara,

Banten saat itu telah tumbuh sebagai negara perdagangan yang cukup menarik

1Manurut Yaya Mulyana, kendati sejarah Banten tidak selalu diidentikan bermula saat

berdirinya kesultanan Banten yang diawali oleh Sunan Gunung Jati dan kemudian dipimpin oleh Maulana Hasanudin pada 1525. Namun adalah jelas bahwa sejak era Islamisasi dan kejayaan zaman kesultanan itulah rakyat Banten menemukan jati diri dan kebanggaan sejarah yang mempengaruhi seluruh struktur kehidupan, kepercayaan dan bahkan kebudayaannya sampai kini. Lihat tesis Yaya Mulyana, Elite, Masyarakat Sipil dan Politik Lokal: Studi gerakan sosial pembentukan provinsi Banten, (Yogyakarta: pascasarjana UGM, 2001), h. 76-77

2Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventen and Eighteen Centuries, (Leiden: ASSA and KITLV, 2004), p.88-89, dalam Ade jaya Suryani, Authorship in Banten: Mass Media, Publishers, Literary Communities, and Authors, (Serang: Bantenologi, 2015), h. 1

3Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma Baru Pembangunan Daerah, (Tangerang: YASFI, 2000), h. 28

4W.F.Wertheim, Indonesian Society in Transition, a Study of Social Change, (Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial), (Yogyakarta: Tiarawacana,1999), h.36

Page 9: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

2

bagi para saudagar dari berbagai negara, baik India, Cina, Arab, maupun

negara-negara Eropa. Dari situasi inilah Banten kemudian diuntungkan karena

memiliki pelabuhan yang saat itu dibangun sebagai pusat perdagangan yang

cukup besar. Pasca dibukanya jalur lalu lintas perniagaan di kawasan laut Selat

Sunda, kemajuan Banten semakin berpengaruh sebagai pusat perniagaan dan

keislaman pada masanya.5

Masa awal kesultanan, khususnya masa kepemimpinan Sultan Abu Al-

Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al-‘Arifin atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) merupakan puncak

keemasan kesultanan Banten. Pada masa ini, kemajuan Banten terlihat baik

dalam bidang ekonomi maupun politik. Pada bidang ekonomi, perdagangan

tidak saja berlangsung dengan bangsa-bangsa Asia, tetapi juga dengan Inggris,

Perancis, Denmark, Portugis, Persia, Mekkah, Koromandel, India, Cina, Jepang,

Filipina, Melayu, Pegu, Benggala, dan Siam, Toukin. Sementara dalam politik,

hubungan yang dijalankan bersifat terbuka. Sultan memberikan kesempatan

seluas-luasnya kepada pihak manapun, membina hubungan baik dengan

Makasar, Bangka, Cirebon bahkan Inggris. Sultan Ageng Tirtayasa bahkan

pernah mengirimkan duta besarnya, Jaya Sedana dan Tumenggung Naya

Wipraya ke kerajaan Inggris dalam rangka mempererat jalinan hubungan

persahabatan dan perdagangan antar wilayah.6

Pada fase ini, terlihat kondisi penyatuan agama dan politik dalam

sistem pemerintahan tradisional Banten yang mencerminkan suatu pandangan

bahwa negara merupakan perwujudan nilai-nilai ajaran agama untuk mengatur

kehidupan masyarakat. Karena itu agama Islam sebagai agama resmi negara,

memainkan peranan penting dalam pembentukan kelembagaan politik dan

identitas masyarakat. Islam telah menampakan wujudnya sebagai suatu unitas

religio-politik yang utuh, dan hukum Islam mencakup totalitas kehidupan

5Prajudi Atmosudirjo, menyebutkan bahwa setelah Malaka jatuh, Banyak saudagar-

saudagar dari Malaka yang berdatangan ke Banten. Pada fase ini Banten kemudian semakin tumbuh menjadi pusat perniagaan dan pusat pemerintahan bagi sultan yang beragama Islam. Lihat Atmosudirjo, Sejarah Ekonomi Indonesia dari segi sosiologi sampai akhir abad 19, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1983), h.55

6Helmi Faizi Bahrul Ulumi, Filosofi Magi, (Serang: FUD Press, 2009), h. 99-100

Page 10: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

3

individu dan masyarakat. Sejak terbentuknya kesultanan Banten, Islam

dijadikan pusat orientasi dan sumber motivasi bagi pelaksanaan dakwah dalam

rangka membentuk masyarakat dan kelembagaan politik yang bercorak

religius. Karena Sultan merupakan pemimpin Islam, maka negara mengambil

bagian dalam pelaksanaan syariat agama ini dan menginternalisasikannya ke

dalam pranata sosial masyarakat.7 Pengaruh Islam dalam tataran religio-politik

di Banten pada awal perkembangannya mencerminkan kekuasaan atas

berbagai pertimbangan keagamaan. Pertama, jelas bahwa kedudukan sultan

amat penting dalam hirarki sosial yang terintegrasikan ke dalam tradisi

kepemimpinan ortodoksi Islam. Kedua, sultan senantiasa mengartikulasikan

kedudukannya dengan semua tradisi dalam teori politik Islam, karena ia sendiri

berkewajiban melaksanakan syariah (hukum Islam). Bahkan dalam konteks

masyarakat Banten tradisional, hukum Islam merupakan prinsip yang harus

lebih diutamakan, dan berisi petunjuk Tuhan untuk membimbing umat kepada

keadilan dan kebenaran.8

Di sisi lain, Jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah

(Haramayn) dengan Melayu-Nusantara yang berlangsung dalam kurun waktu

abad ke 16-19 juga menandakan bahwa sejumlah ulama telah memiliki peran

dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan sebuah tradisi

intelektual keilmuan Islam di wilayah Nusantara, terkhusus Banten. Para ulama

tersebut, dalam beberapa sumber disebut sebagai Ashab al-Jawiyin (sahabat-

sahabat Jawi).9 Tokoh-tokoh yang mengemuka dalam proses transmisi “tradisi

besar Islam” tersebut, antara lain : Nur al-Din al-Raniri (w.1658), ‘Abd al-Rauf

al-Sinkili (1615-1693), Muhammad Yusuf Al-Maqasari (1629-1699), ‘Abd al-

Samad al-Palimbani, Syaikh Arshad al-Banjari (1710-1812), ‘Abd Allah bin ‘Abd

7Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma

Baru Pembangunan Daerah, h. 38-39 8Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang Paradigma Baru

Pembangunan Daerah, h.39 9Istilah “Jawi” atau “Jawah” yang tercakup dalam istilah ini biasanya digunakan untuk

merujuk pada penyebutan Muslim yang datang dari Melayu-Nusantara tanpa memandang tempat asal mereka di kawasan ini. Ulama yang berasal dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka, Patani (Thailand Selatan), dan Filipina Selatan, di Haramayn semuanya disebut “Orang Jawi”. Wilayah Banten (sekarang) masuk ke penyebutan wilayah Jawa.

Page 11: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

4

al-Qahar al-Bantani (abad ke-18), Syaikh Dawud al-Pattani (w.1847), Syaikh

Nawawi al-Bantani (1813-1879), Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870), Syaikh

Ahmad Khatib Sambas Samarani (w.1903 M), Syaikh Ahmad Khatib al-

Minangkabawi (1860-1916), dan Muhamad Yasin al-Padani (1917-1990), serta

sejumlah ulama lainnya. Beberapa penulisan dari karya-karya mereka (yang

sampai sekarang masih bisa dijumpai) mengindikasikan adanya kedekatan

hubungan antara murid Jawi dan ulama-ulama yang terkait dalam tradisi

intelektual di Haramayn. Kedekatan itu, sebagaimana diungkapkan oleh Ade

Fakih, membuat mereka tidak segan-segan untuk menyatakan atau melaporkan

perkembangan kehidupan keagamaan di tanah Jawi sendiri. Selain itu, para

murid Jawi ini juga diyakini sering meminta fatwa kepada para ulama tersebut

atas berbagai peristiwa di dunia Melayu-Nusantara.10

Dari konteks diatas, dapat dipahami bahwa Islam memberikan

kepercayaan dan pengertian tentang dimensi supranatural yang bersifat

transenden. Sebagai ajaran moral, Islam memberikan rumusan tentang nilai-

nilai kehidupan. Pemahaman akan niai-nilai ini pada gilirannya membentuk

wacana kultural baru yang sekaligus memberikan penguatan identitas diri

masyarakat dan kelembagaan politiknya. Dan nilai-nilai kultural ini berperan

pula sebagai tiang penyangga tata kehidupan masyarakat dan negara sebagai

pedoman yang mengarahkan tingkah laku warganya. Nilai-nilai luhur seperti

kebenaran dan keadilan merupakan konsep ideal tentang bagaimana manusia

menampilkan perilakunya yang baik, baik dalam pandangan masyarakat

maupun lingkungan fisiknya. Dan keyakinan seperti ini dapat mengarahkan

jalannya kehidupan. Oleh karena sistem sosial atau masyarakat adalah salah

satu di antara sistem tindakan manusia, maka berarti rumusan nilai-nilai yang

digali dari pemahaman keagamaan itu mempengaruhi perkembangan struktur

politik dan dinamika masyarakat. Demikianlah Islam sebagai kekuatan idiologi,

politik dan sosial memberikan artikulasinya dalam wacana kehidupan negara

Banten tradisional. Dan atas dasar itu pula negara Banten mengidentifikasi

10Ade Fakih Kurniawan, Laporan Penelitian: Ajaran wahdatul wujud ‘Abd Allah bin ‘Abd al-

Qahar al-Bantani, (Serang: Lemlit IAIN SMH Banten, 2012), h. 1-3

Page 12: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

5

dirinya sebagai negara Islam di Jawa, meski tidak seluruhnya nilai-nilai Islam

itu diadopsi ke dalam keseluruhan aspek-aspek kehidupan politik, karena -

tentu saja sedikit banyak pemahaman masyarakat pada zaman itu tentang

Islam- lebih disesuaikan dengan tuntutan situasi setempat.11

Kondisi kejayaan Banten kemudian mulai meredup di era kolonial. Dari

beberapa sumber sejarah disebutkan bahwa kondisi ini dimulai sejak masa

kepemimpinan Sultan Haji (1683-1687). Masa pemerintahan Sultan Haji

dipenuhi dengan bermacam pemberontakan serta kekacauan di berbagai

bidang. Walaupun sultan Haji adalah anak Sultan Ageng Tirtayasa, namun

hubungan serta tindakannya terhadap Belanda sangat berbeda jauh dengan

yang dilakukan oleh ayahnya. Sultan Haji menyandarkan bantuan serta kerja

sama sepenuhnya dengan pihak Belanda, sehingga dengan melalui berbagai

siasat dan aneka persyaratan yang diajukan Belanda, ia dikukuhkan menjadi

sultan Banten. Bila sebelumnya kekuasaan penguasa Banten berdaulat

sepenuhnya tanpa campur tangan Belanda di pemerintahan, ternyata hal ini

tidak sama tatkala pemerintahan Sultan Haji. Semenjak itu kekuasaan

kesultanan Banten dalam berbagai sumber sejarah dinyatakan runtuh, apalagi

sejak ditandatanganinya perjanjian tanggal 17 April 1687.12 Dampak yang

sangat merugikan banyak dialami oleh pihak Banten, terutama diusirnya

pedagang-pedagang asing seperti dari Inggris, Denmark, dan Perancis dari

wilayah Banten yang berakibat pada menurunnya arus perdagangan di

Banten.13

Fase Banten di bawah pemerintahan kolonial Belanda memunculkan

sejumlah catatan sejarah pemberontakan. Dalam historiografi Banten

disebutkan bahwa antara 1810-1840 telah terjadi 13 kali perlawanan terhadap

Belanda. Secara umum pemimpin pemberontakan tersebut berasal dari

11Herman Fauzi, Banten dalam peralihan: Sebuah konstruksi Pemikiran Tentang

Paradigma Baru Pembangunan Daerah, h.41 12Perjanjian antara kesultanan Banten dengan Belanda ini dilakukan di keraton

surosowan, dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu. Dan sejak Perjanjian tersebut secara langsung kompeni berperan aktif menentukan monopoli perdagangan di Banten.

13Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten 1522-1684, (Depok: FIB UI, 2007), h. 41

Page 13: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

6

kalangan keturunan Sultan yang masih memiliki pengaruh keagamaan dan

kultural yang sangat kuat sehingga mereka mampu memobilisasi kekuatan

yang dianggap oleh Belanda dapat mengancam stabilitas sosial politik. Hal ini

menandakan semangat otonomi dan kemandirian masyarakat begitu melekat

dan diwujudkan dalam catatan perjuangan melawan kolonial Belanda. Apalagi

masyarakat Banten dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tipologi

kekerasan hati dalam memegang teguh prinsip, memahami fenomena secara

komprehensif, bermental tegar dan konsisten.

Pada era reformasi ketika saluran politik terbuka, para pengusung

ideologi formal agama tampil secara berani menyuarakan aspirasi mereka ke

ruang publik. Sejak awal 2000-an, isu formalisasi syariat Islam kembali

mencuat. Dalam konteks nasional, desakan untuk mengembalikan Piagam

Jakarta ke dalam konstitusi yang diamandemen tahun 2002 dengan

mencantumkan kembali tujuh kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan

syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam pasal 29 UUD 1945 pernah dilakukan.

Banyak lobby dan aksi demonstrasi digelar untuk menyuarakan tuntutan ini,

terutama di Jakarta pada awal-awal reformasi. Meski akhirnya gagal, tuntutan

penerapan syariat Islam tampaknya tidak kunjung berhenti. Melalui gerbang

otonomi daerah, syariat Islam akhirnya didorong masuk meski dalam

jangkauan dan skala yang terbatas.14 Perdebatan tentang sejumlah perda

bernuansa syariat Islam kemudian muncul di mana-mana, meskipun dari

berbagai diskusi dan perdebatan, jarang ditemukan sebuah titik temu yang

produktif, masing-masing kelompok tetap kukuh dengan pendiriannya. Satu

pihak ingin terus mendesakan aspek-aspek ajaran agama, sementara pihak lain

menolak adanya anasir-anasir agama dalam ruang kekuasaan politik.

Munculnya upaya formalisasi (penerapan) syariat Islam ini pada

umumnya bermula dari pandangan kelompok yang meyakini bahwa Islam

adalah agama yang sempurna (kaffah) dan mencakup cara hidup yang total.

Pandangan yang khas Islamis ini diajukan untuk menjadikan solusi

14Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, (Jakarta: CSRC, 2007), h.xxi-xxii

Page 14: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

7

mengandaikan Islam sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan

ibadah tetapi juga sistem ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan. Krisis

ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak 1997 (1998), dalam

pandangan ini, telah menjadi bukti kerapuhan sistem kapitalis dan sekuler yang

dianut Indonesia sejak masa kemerdekaan. Dalam konteks ini mereka yakin

bahwa sistem Islam akan menawarkan sejumlah jalan keluar dari krisis

multidimensional tersebut.15

Di sisi lain, formalisasi syariat Islam di era modern bukan persoalan

sederhana, mengingat sifatnya yang plural dan multikultural, dimana berbagai

sistem nilai, identitas, ideologi bersaing. Ruang publik Indonesia yang terbuka

terhadap berbagai identitas membuat penerapan syariat Islam secara paksa

ataupun persuasif oleh pihak tertentu tak urung menimbulkan persoalan

mendasar. Hal yang paling utama dan seringkali terjadi adalah pelanggaran

hak-hak sipil (civil rights), termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan

pendapat (berekspresi), hak-hak kaum perempuan, dan hak-hak minoritas non

muslim.16 Dalam catatan Robin L.Bush (2007), terdapat sekitar 52 Kabupaten/

Kota di Indonesia yang mempunyai perda bernuansa syariat Islam.17 Banten

termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki dan juga gencar

menerbitkan berbagai perda keagamaan yang bernuansa syariat Islam.

Sejak memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi sendiri

pada tahun 2000, dinamika formalisasi syariat Islam semakin terlihat di

Banten. Baik perda, surat edaran, maupun instruksi keagamaan bernuansa

syariat Islam bermunculan hampir di setiap Kabupaten dan Kota di provinsi

Banten. Di Kabupaten Pandeglang misalnya, Bupati pernah mengeluarkan SK

Nomor 421/Kep.198-Huk/2006 tentang satuan terpisah, kelas siswa putra-

putri SMP, MTs, SMA dan MA, SK Bupati tentang wajib membaca Al Qur’an

untuk siswa yang akan melanjutkan ke SLTP serta Peraturan Daerah Wajib

15Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, h.xxiv 16Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM, h.xxv 17Lihat Rumadi, dkk., Agama dan Kontestasi Ruang Publik : Islamisme, Konflik, dan

Demokrasi, (Jakarta: Wahid Institut, 2011), h.13

Page 15: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

8

Diniyah.18 Menurut Saiful Mujani, peraturan-peraturan seperti ini jelas

bertentangan dengan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu,

peraturan-peraturan ini juga mengancam keberagaman. Jika tidak segera di

revisi, itu bisa merongrong NKRI dan berbahaya bagi Negara. Hal senada juga

dikatakan oleh Direktur Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp), Suhada.

Menurutnya, “Meski di Pandeglang mayoritas muslim, tapi tidak boleh ada

peraturan yang mendiskriminasi pemeluk agama lain.” Bahkan, Suhada

bersama beberapa OKP, organisasi mahasiswa dan LSM berencana melakukan

audiensi dengan pimpinan DPRD dan Bupati Pandeglang untuk mendesak

lembaga legislatif dan eksekutif merevisi aturan-aturan tersebut.19

Di Kota Serang, terdapat perda nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit

Masyarakat (Pekat). Salah satu poin dalam perda tersebut berisi tentang

larangan menjual makanan di siang hari pada bulan Ramadhan. Perda ini sering

menjadi landasan hukum untuk melakukan razia warung dan tempat-tempat

makan yang buka saat siang hari di bulan Ramadhan. Jam operasional warung

dibatasi dan boleh buka dari pukul 15.00 WIB hingga sahur. Aturan ini memiliki

sanksi hukum bagi yang melanggar dengan pidana 3 bulan atau denda sebesar

Rp.50.000.000,-. Aturan ini mendapat dukungan penuh dari MUI Kota Serang.

Menurut Mahmudi selaku ketua MUI Kota Serang, “Perda ini dibuat bukan

untuk memiskinkan masyarakat, akan tetapi jikalau masyarakat beriman dan

yakin bahwa rezeki itu sudah di atur oleh Allah SWT, apalagi memang sehabis

waktu ashar itulah orang banyak membeli sehingga justru memberikan banyak

rezeki kepada para pedagang”.20

Selain perda Pekat, Kota serang juga memiliki perda Nomor 1 tahun 2010

dan peraturan Walikota Serang Nomor 17 tahun 2013 tentang wajib belajar

pendidikan Diniyah Takmiliyah. Peraturan tersebut sudah mulai diberlakukan

18Banten Ekspres, selasa 27 November 2007, dalam buku Ihsan Ali Fauzi dan Saiful

Mujani, Gerakan Kebebasa Sipil: Studi dan Advokasi kritis atas perda syariah, (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), h. 161

19Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasa Sipil: Studi dan Advokasi kritis atas perda syariah, (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), h.161

20https://www.kiblat.net/2016/06/15/mui-Kota-serang-perda-larangan-jualan-di-siang-hari-bulan-ramadhan-usulan-para-ulama-Kota-serang/, diakses tanggal 20 Maret 2016

Page 16: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

9

pada tahun pelajaran 2015/2016. Bagi siswa Muslim yang telah lulus sekolah

dasar (SD) dan akan melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP) atau

sederajat, diwajibkan untuk melampirkan ijazah atah syahadah madrasah

Taklimiyah Diniyah Awaliyah (MDTA) atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).

Pemberlakuan perda ini diyakini sebagai salah satu cara yang dapat

membendung berbagai dampak negatif yang menggerus generasi muda di Kota

Serang. Selain itu, perda ini juga diharapkan dapat berdampak besar bagi

perkembangan pendidikan keagamaan di Kota Serang sebagai Kota madani.21

Di Tangerang Selatan, Pemda pernah mengeluarkan surat edaran dengan

nomor 556/686-BUDPAR/2014 dan nomor 18/SSM/MUI-TANGSEL/VI/2014

tentang Pengaturan Usaha Kepariwisataan dan Himbauan Amaliyah umat

menjelang dan selama bulan Ramadhan serta Idul Fitri. Peraturan ini melarang

masyarakat membuka usaha hiburan dan membatasi pemilik rumah makan

dalam hal jam buka, yaitu hanya boleh buka mulai pukul 12.00-04.00. Selain itu

peraturan itu juga mengharuskan warung-warung makan untuk menutup

warungnya dengan gordyn agar tidak terlalu tampak. Sedangkan tempat

hiburan ditutup total selama bulan Ramadhan. Pemkot Tangsel melibatkan

berbagai pihak untuk merealisasikan aturan tersebut, seperti satpol PP, Kantor

Budaya dan Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas

Kesehatan, Kepolisian serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika ada pelaku

usaha melanggar peraturan tersebut dia ditegur secara tertulis dan diberi

sanksi administratif. Jika pelanggaran itu dianggap besar, pemkot Tangsel

mencabut surat izin usahanya, bahkan mengancam pelakunya dengan sanksi

pidana.22

Tidak hanya di Kabupaten Pandeglang, Serang dan Kota Tangsel, di

Kabupaten Lebak Pemerintah Kabupaten juga menerbitkan Peraturan Daerah

(Perda) Nomor 14 Tahun 2013 tentang Wajib Mengaji dan Peraturan Daerah

(Perda) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah

21http://gpaismpserang.blogspot.co.id/2015/03/syahadah-diniyah-wajib-

dilampirkan.html, diakses tanggal 20 Maret 2016 22http://tangerangnews.com/tangsel/read/12484/Menjelang-Bulan-Ramadan-Pemkot-

Tangsel-Bentuk-Tim-Khusus, diakses tanggal 20 Maret 2016

Page 17: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

10

Awaliyah (MDA). Perda ini diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan

minat anak-anak muslim usia sekolah dasar (SD) belajar agama Islam di

Madrasah Diniyah. Selain perda wajib mengaji dan perda diniyah, pemda Lebak

juga membuat perda zakat no. 11 tahun 2005 yang pada pelaksanaannya

dilakukan oleh Bazda Lebak. Lembaga ini mengelola zakat fitrah, zakat mal,

zakat profesi, infak dan sedekah. Pendapatan dana Bazda Lebak tercatat

signifikan mengingat pemerintah langsung memotong 2,5 % dari pendapatan

PNS Kabupaten Lebak. Tidak itu saja, pemerintah juga mewajibkan pengusaha

yang mendapatkan proyek dari pemerintah untuk menyumbangkan 1,5 % dari

nilai proyek ke Bazda lebak. Persentasi itu adalah hasil kesepakatan (MoU)

antara Ketua Bazda Lebak dengan para pengusaha pada 14 Juni 2007.

Di Cilegon, Perda Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan WaliKota Cilegon

Nomor 44 tahun 2011 Tentang Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah dan

Peraturan WaliKota (Perwal) Cilegon Nomor 25 Tahun 2014 sebagai Revisi dari

Perwal 44 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah

Diniyah (MDTA) mulai diberlakukan pada ajaran baru tahun 2014/2015. Bagi

siswa muslim yang telah lulus Sekolah Dasar (SD) dan melanjutkan Sekolah

Menengah Pertama (SMP)/Sederajat diwajibkan untuk melampirkan Ijazah

atau Syahadah Madrasah Takmiliyah Diniyah Awaliyah (MDTA) atau Taman

Pendidikan Al Qur'an (TPA).

Senada dengan Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang juga memiliki perda

Diniyah Nomor 12 tahun 2011. Perda ini diterbitkan untuk memberikan bekal

pengetahuan dan kemampuan agama Islam kepada anak usia sekolah untuk

mengembangkan kehidupannya sebagai warga Muslim/Muslimah yang

beriman kepada Allah SWT, beramal sholeh, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, terampil, demokratis, mandiri dan bertanggung jawab.

Di Kota Tangerang, pemda juga menerbitkan perda No. 8 tahun 2005

tentang larangan perempuan keluar diatas pukul 10 malam. Perda ini

ditetapkan untuk meminimalisir praktek pelacuran di Kota Tangerang. Dalam

implementasinya, perda ini mendapatkan tantangan dari banyak pihak karena

Page 18: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

11

dianggap bermasalah, bahkan pernah terjadi salah tangkap kepada salah satu

warga oleh pihak trantib dalam pelaksanaannya. Disamping itu, Kota

Tangerang juga memiliki perda No.7 tahun 2005 tentang pelarangan

pengedaran minuman keras dan penjualan minuman beralkohol. Perda ini

seringkali menjadi landasan untuk melaksanakan razia-razia di tempat hiburan,

terutama pada Ramadhan. Selain itu, terdapat juga perda No. 8 tahun 2005

tentang larangan Prostitusi. Dengan adanya perda ini, setiap jenis usaha panti

pijat yang tertutup dan menggunakan jasa pemijat wanita muda, dilarang di

Kota Tangerang. Dalam perda ini dijelaskan bahwa hal-hal yang akan

menimbulkan tindak kemaksiatan dan prostitusi tidak dibenarkan di Kota

Tangerang.

Selain masing-masing Kabupaten dan Kota, tingkat provinsi juga

memiliki perda zakat Nomor 4 tahun 2004. Dalam perda dijelaskan bahwa

pengelolaan zakat dilakukan oleh BAZDA dan LAZ yang memiliki tugas pokok

mengumpulkan, mencatat, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat

sesuai ketentuan agama. Pengurus BAZDA terdiri dari unsur ulama,

cendikiawan, tokoh masyarakat, tenaga profesional, pejabat yang membidangi

zakat pada kantor wilayah Departemen Agama, dan wakil Pemerintah Daerah

yang memenuhi persyaratan tertentu dan setelah melalui proses seleksi.

Dari beberapa paparan di atas tampak bahwa di masing-masing

Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten memiliki semangat untuk mendominasi

perda-perda keagamaan bernuansa syariat Islam. Upaya ini berlangsung intens

semenjak Banten menjadi provinsi dan memisahkan diri dari Jawa Barat pada

tahun 2000. Pemisahan ini nampaknya juga menjadi momentum bagi

mayoritas muslim di Banten untuk mengekspresikan identitasnya. Penelitian

ini kemudian dilatarbelakangi oleh realitas bahwa bangsa Indonesia

merupakan bangsa majemuk dan telah mengikrarkan diri pada Ideologi

Pancasila yang terbuka serta semangat Bhineka Tunggal Ika. Bertolak dari

sejarah heroisme kemerdekaan Indonesia yang dilalui dengan perjuangan

bangsa dari berbagai golongan, suku, adat, agama, ideologi dan budaya, maka

bangsa Indonesia perlu senantiasa melanjutkan misi tersebut dan menjaga

Page 19: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

12

semangat keberagaman serta merawat segala potensi yang dimiliki dalam

koridor konstitusi. Kebijakan otonomi daerah yang diyakini sebagai perubahan

paradigma di dalam sistem pemerintahan Indonesia juga tidak lantas dijadikan

sebagai salah satu upaya untuk melegitimasi kepentingan mayoritas semata

tanpa pertimbangan minoritas, melainkan perlu ditempatkan sesuai dengan

tujuannya, yakni menciptakan iklim demokratis terkait dengan pola hubungan

pemerintah pusat dan daerah. Oleh karenanya ketika terjadi fenomena

formalisasi agama dalam bentuk perda-perda bernuansa agama di daerah di

Indonesia pasca kebijakan otonomi daerah, menarik untuk dikaji dan ditelaah

lebih lanjut dalam konteks bangunan kenegaraan yang disertai semangat

kebangsaan dan prinsip keberagaman di Indonesia.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini mencoba untuk menelusuri dan menganalisis isu pokok

bagaimana Formalisasi Syariat Islam di Banten jika dilihat dalam konteks

Negara Bangsa (Nation-State) di Indonesia. Pembatasan masalah yang

ditinjau khusus tentang regulasi bernuansa Syariat Islam yang dibuat oleh

pemerintah di Banten, baik berupa Perda maupun Surat Edaran pada tingkat

provinsi dan kabupaten/kota yang dikeluarkan sejak Banten berpisah dari Jawa

Barat dan menjadi provinsi tersendiri pada tahun 2000.

Sementara rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakter kedaerahan masyarakat Banten?

2. Bagaimana hubungan keislaman dan kebangsaan dalam sejarah di Banten?

3. Apa muatan regulasi formalisasi syariat Islam di Banten?

4. Apa tujuan dari formalisasi regulasi bernuansa syariat Islam di Banten?

5. Apa dampak formalisasi regulasi bernuansa syariat Islam tersebut terhadap

hubungan antar umat beragama di Banten?

Page 20: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

13

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan, maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui karakter kedaerahan masyarakat Banten

2. Untuk mengetahui hubungan antara keislaman dan kebangsaan dalam

sejarah di Banten

3. Untuk mengetahui muatan dari regulasi bernuansa formalisasi syariat

Islam di Banten

4. Untuk mengetahui tujuan formalisasi regulasi bermuatan syariat Islam di

Banten

5. Untuk mengetahui dampak dari formalisasi regulasi bernuansa syariat

Islam tersebut terhadap hubungan antar umat beragama di Banten.

D. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini akan memperkaya kajian tentang

formalisasi syariat Islam dan kebangsaan di Indonesia, khususnya studi yang

terkait di Banten. Dan pada tataran praktis, penelitian ini juga dapat

memberikan manfaat dalam beberapa hal berikut: Pertama, sebagai referensi

bahan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam bidang

pembangunan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama dalam konteks

kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kedua, sebagai panduan dan

masukan bagi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dalam rangka

merawat dan mewujudkan pentingnya kesadaran kebangsaan dan hak-hak

sipil, kaitannya terhadap kerukunan dan kehidupan umat beragama di

Indonesia. Ketiga, sebagai sumbangsih pemikiran pemahaman keislaman yang

pluralis, toleran, humanis, serta bernuansa keindonesiaan yang dapat

menghargai dan merayakan perbedaan dalam konteks berbangsa dan

bernegara di Indonesia.

Page 21: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

14

E. Pembatasan Istilah

Untuk menghindari salah pengertian, penulis mengemukakan

penjelasan beberapa istilah yang digunakan terkait dengan pembahasan dalam

penelitian, antara lain :

1. Formalisasi yang dimaksud dalam tesis ini merupakan sebuah upaya atau

tindakan meresmikan sesuatu. Istilah formalisasi seringkali digunakan

dalam organisasi untuk menunjukan sejauh mana organisasi

menyandarkan dirinya pada peraturan dan prosedur untuk mengatur

perilaku dari para anggotanya.

2. Syariat Islam adalah hukum Ilahi atau peraturan Islam yang mengatur

seluruh sendi kehidupan umat Islam.

3. Bangsa merupakan sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan

batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah, serta cita-cita

yang sama.

4. Negara-Bangsa (Nation-State) merupakan suatu istilah politik yang

berarti warga negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsa

yang sama. Negara kebangsaan modern adalah negara yang

pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau

nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa

depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga

masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.

5. Regulasi adalah suatu peraturan yang dibuat untuk membantu

mengendalikan suatu kelompok, lembaga, atau organisasi demi mencapai

tujuan tertentu dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat.

6. Perda (Peraturan Daerah) adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan

bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota). Peraturan

Daerah terdiri atas: Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.

Page 22: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

15

F. Kajian Pustaka

Kajian tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia pernah ditulis oleh

beberapa peneliti, baik secara individu maupun lembaga. Pembahasan mereka

biasanya mengambil fokus tertentu sesuai dengan concern dan kepentingannya.

Fokus daerah yang diteliti juga berpencar-pencar sesuai dengan kebutuhan

penelitannya. Secara individu, Penelitian tentang syariat Islam pernah

dilakukan oleh Haedar Nasir (2007) dengan judul Islam Syariat : Reproduksi

Salafiyah Ideologis di Indonesia. Karya tebal yang awalnya merupakan disertasi

di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengulas penerapan Syariat

Islam di sejumlah wilayah di Indonesia, diantaranya di Sulawesi Selatan, Aceh,

dan Jawa Barat. Penelitian ini lebih difokuskan pada penelusuran ideologi

Salafiyah di Indonesia. Karena itu, gerakan fomalisasi Syariat Islam melalui

perda sekedar dijadikan sebagai indikator bangkitnya ideologi salafisme dan

neo-fundamentalisme yang mengambil bentuk Islamisasi dari bawah. Karya ini

tidak membahas dan menganalisis lebih jauh mengenai keterkaitan perda

syariat Islam dalam kehidupan masyarakat sekitar dan konteks berbangsa dan

bernegara di Indonesia.23

Studi tentang formalisasi syariat Islam juga pernah dilakukan oleh

Tasman yang menyoroti proses implementasi syariat Islam di Cianjur dalam

konteks sosial-politik lokal. Cianjur memang cukup menarik untuk dikaji,

karena daerah ini merupakan wilayah yang berusaha menerapkan syariat Islam

pertama dengan retorika Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul

Karimah (Gerbang Marhamah). Dalam studinya, diperoleh kesimpulan bahwa

motif politik sangat kental mewarnai latar belakang penerapan syariat Islam di

daerah tersebut. Jabatan Bupati di Cianjur diraih dari dukungan masyarakat

yang ditarik dari isu penerapan syariat Islam. Studi ini juga mengungkap bahwa

penerapan syariat Islam di Cianjur barulah pada tataran simbolik dan parsial

belaka. Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa terdapat

23Lihat Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta :

Mizan, 2013)

Page 23: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

16

resistensi dari masyarakat untuk menerapkan hukum Islam pada beberapa

aspek legal seperti adanya hukuman potong tangan dan hukuman rajam.24

Masih di wilayah Cianjur, Pramono U. Thantowi juga melakukan studi

yang sama. Yang membuat berbeda dengan penelitan sebelumnya adalah

Thantowi memfokuskan kajiannya pada sejauhmana kalagan non-Muslim

diposisikan dalam rangka penerapan syariat Islam di wilayah tersebut. Studi ini

mengungkap fakta bahwa kalangan non-Muslim ternyata tidak dilibatkan sama

sekali dalam proses pengambilan keputusan penerapan syariat Islam di

Cianjur. Ironisnya, pada beberapa kasus ternyata konsep syariat Islam yang

sedianya hanya berlaku bagi kalangan Muslim ternyata diberlakukan juga bagi

kalangan non-Muslim. Ada catatan menarik bahwa banyak masyarakat non-

Muslim menolak dijadikan sample penelitiannya, karena menganggap bahwa

isu syariat Islam tersebut sangatlah sensitif, dan mereka cenderung

menghindar demi alasan keamanan. Tanthowi juga mengungkap bahwa ada

pula praktik-praktik diskriminasi di Kantor Departemen Agama Cianjur. Di

kantor ini, tidak ada bagian khusus yang menangani urusan non-Muslim,

sehingga kalangan non-Muslim harus mengurus hal-hal yang berkaitan dengan

agama mereka ke Kantor Wilayah (Kanwil) Depag Jawa Barat di Bandung.

Lebih dari itu, alokasi anggaran untuk urusan umat beragama non-Muslim juga

ternyata tidak disediakan karena seluruhnya dialokasikan untuk kalangan

Islam.25

Di Banten, Pembahasan tentang formalisasi syariat Islam pernah ditulis

oleh Syafuri dalam disertasi berjudul “Pemberlakuan Syariat Islam di Banten:

Studi terhadap peluang dan tantangan serta formalisasinya”, namun disertasi ini

lebih banyak membahas tentang peluang diberlakukannya hukum Islam di

Banten.26 Tulisan ini sedikit sekali membahas tentang aspek respon non-

24Tasman, “Implementasi Syariat Islam di Cianjur”, dalam Sukron Kamil, dkk., Syariah

Islam dan HAM, h.xxxi 25Pramono U.Tanthowi, “Muslim and The Limits of Tolerance...”, dalam Sukron Kamil, dkk.,

Op.cit., h.xxxii 26Syafuri, Pemberlakuan Syariat Islam di Banten : Studi tentang peluang dan tantangan

serta formalisasinya, (Bandung : UIN Sunan Gunung Djati, 2010)

Page 24: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

17

Muslim, kasus konflik dan diskriminasi, dan belum secara luas mengaitkannya

dengan konteks kebangsaan di Indonesia. Suparman Usman pernah juga

menulis tentang Pemberlakuan Syariat Islam di Banten. Hanya saja tulisan ini

merupakan kumpulan dari ceramah-ceramahnya dan lebih banyak membahas

tentang teori hukum Islam, langkah dakwah dan rencana strategis

pemberlakuan hukum Islam di Banten.27 Studi tentang formalisasi syariat Islam

yang secara khusus membahas tentang dinamika perda-perda di Banten yang

dibaca dalam konteks kebangsaan di Indonesia, sejauh sumber yang ditemui,

masih belum dilakukan.

G. Kerangka Pemikiran

Indonesia terbentuk setelah melalui dialog panjang para pendiri bangsa

mengenai bentuk negara Indonesia. Negara Republik Indonesia yang

diproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945 disepakati

bahwa Indonesia mengambil bentuk sebagai negara bangsa (nation-state)

dengan Ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan titik temu antara kubu

nasionalis-sekuler dan nasionalis-islami. Pancasila yang dijadikan sebagai

ideologi negara merupakan rumusan Soekarno yang disebut juga sebagai

ideologi nasionalisme-netral-agama. Dalam ideologi ini, agama tidak dijadikan

sebagai dasar Negara secara formal, namun nilai-nilai universal agama menjadi

landasan etik, moral dan spiritual. Pertumbuhan Indonesia dalam ikatan

sebuah kebangsaan yang terdiri dari ribuan pulau, bahasa daerah dan tradisi

yang banyak tentulah memerlukan perekat yang kuat sementara semangat

kesadaran sebagai sebuah bangsa datang kemudian. Dan oleh karena setiap

agama memiliki ajaran tentang ketuhanan maka dengan sendirinya setiap

agama hendaklah memiliki semangat kebinnekaan dalam ikatan nilai

keadaban.28

Dari konsensus founding fathers diatas menunjukan bahwa upaya

menjalin kerukunan, rasa kebangsaan dan persatuan berbangsa hanya bisa

27Suparman Usman., Pemberlakuan Syariat Islam di Banten, (Serang: MUI Provinsi Banten,

2007) 28Ridwan Lubis, Sukarno dan Modernisme Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h.43.

Page 25: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

18

tumbuh dan terbina apabila setiap entitas partikular agama bersukarela untuk

mendahulukan konsep bangsa dan rasa kemanusiaan. Sikap mendahulukan

bangsa dan kemanusiaan merupakan refleksi dari sikap religius yang terdalam,

sehingga dengan mendahulukan kebangsaan dan kemanusiaan, agama bukan

dilemahkan atau dinomorduakan melainkan justru diperkokoh dan

dimanifestasikan dalam etika sosial yang konkret. Sikap, pandangan dan

kesadaran menerima keragaman ini menjadi bagian penting dari semangat

kebangsaan yang telah dimunculkan oleh para pendiri Republik Indonesia.29

Dalam hal ini, penting bagi setiap warga negara dan para pemangku

kebijakan untuk memahami landasan ideal, landasan konstitusional, dan

landasan konseptual kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai

acuan dasar pembuatan kebijakan kaitanya dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia. Berikut paparannya :30

1. Landasan Ideal

Pancasila merupakan landasan ideal dalam menjalankan kehidupan

nasional dan menjadi landasan dasar bagi seluruh komponen bangsa untuk

mencapai cita-citanya. Di dalamnya termaktub tujuan dasar Indonesia, yaitu

melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia.

Pancasila merupakan puncak keberhasilan umat beragama dalam

menjalankan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan dikuatkannya Sila

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia bukan negara sekuler, namun

juga tidak menetapkan salah satu agama sebagai agama resmi negara. Pancasila

menjamin setiap komponen bangsa untuk beribadah, beragama dan

berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan tersebut.

29Ismail Hasani, ed., Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan,

(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), h.12-13 30Agoes Djazoeli, dkk., Pemerintah daerah dalam perlindungan hak beragama atau

berkeyakinan, (Jakarta: Dirjen HAM), h. 34-38

Page 26: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

19

Pancasila tidak mengatur hal yang terdalam kehidupan pribadi umat

beragama, namun ia memberikan ruang dan menjamin pengalaman agama

dengan sebaik-baiknya. Pancasila berfungsi sebagai landasan bersama bagi

umat beragama untuk mewujudkan dan mengembangkan keharmonisan

kehidupan beragama dalam rangka usaha bersama membangun bangsa

Indonesia.

2. Landasan Konstitusional

UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bangsa dan negara

Indonesia Seluruh produk hukum dan perundang-undangan yang mengatur

pelbagai permasalahan nasional dan penyelenggaraan negara di tingkat pusat

dan daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum

formal tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Pasal 28E UUD menjamin hak setiap orang bebas memeluk dan

beribadat menurut agamanya. Agama merupakan hak asasi setiap orang,

karena UUD menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Dengan demikian, secara konstitusional, setiap orang diberikan

kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya dengan

tetap menjunjung tinggi penghormatan dan pengakuan terhadap kebebasan

orang lain yang menganut agama yang berbeda dan menjalankan agamanya.

3. Landasan Konseptual

Wawasan nusantara adalah landasan visional atau konseptual bangsa

Indonesia dalam menciptakan dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,

termasuk dalam kaitannya hak beragama atau berkeyakinan. Hal ini

mengandung cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan

lingkungannya yang serba majemuk, seperti pluralitas agama, dengan

mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyelenggarakan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Page 27: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

20

Wawasan nusantara mengamanatkan persatuan dan kesatuan wilayah

sebagai wadah dan ruang hidup seluruh bangsa. Wawasan nusantara

merupakan pedoman dan pemberi motivasi bagi setiap penyelenggara negara,

warga negara dan segenap komponen bangsa Indonesia untuk berfikir,

bersikap dan bertindak dalam rangka membangun kesatuan dan persatuan

bangsa.

Mengacu pada wawasan nusantara di atas, pembangunan kehidupan

beragama dan berkeyakinan di Indonesia hendaknya dilandasi kesadaran

adanya keragaman agama dan kepercayaan dengan adat istiadat dan

budayanya. Pengelolaan dan pembangunan kehidupan beragama harus

dilakukan dengan memberikan ruang yang sama dan penghargaan untuk hidup

berdampingan kepada semua agama dan keyakinan di atas landasan persatuan

dan kesatuan bangsa.

Selain ketiga landasan tersebut, penulis juga menggunakan beberapa

teori dalam memahami dan untuk menganalisis proses formalisasi syariat

Islam di Banten dalam konteks kebangsaan di Indonesia. Beberapa teori

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tori Integralisme

Kehadiran kelompok Islam yang dengan demikian gigih dan cenderung

militan atau fanatik dapat ditelusuri ke dalam konstruksi atau alam pikiran

yang tertanam kuat mengenai Islam dan kehidupan, yang dikenal dengan

paham integralisme Islam. Menurut perspektif Integralisme, bahwa Islam

sebagai wahyu Allah yang dibawa oleh para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi

Muhammad merupakan agama atau ajaran yang lengkap dan sempurna, yang

mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Tidak ada satu aspek kehidupan

pun yang lepas dari pengaturan Islam. Karena itu, Islam wajib diyakini,

dipahami, dan diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan secara totalitas atau

kaffah, tidak boleh setengah-setengah atau parsial. Pandangan atau perspektif

tentang Islam “kaffah” kini telah menjadi semacam ikon suci dan kental dari

Page 28: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

21

gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan sistem Islam dalam kehidupan

kontemporer di hampir seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia.31

Dengan isi dan cakupan ajaran yang menyeluruh itu, maka Islam menjadi

agama satu-satunya yang tidak memisahkan bahkan hingga batas tertentu

mempertautkan secara integratif antara agama (din) dan dunia (dunya).

Integralisme Islam dengan kehidupan dunia itu termasuk dengan kehidupan

politik (siyasat, daulat) dan hukum (syariat), sehingga dikenal kesatuan tiga

dimensi, yaitu “al-din wa daulat wa syariat”.

Paham Integralisme Islam baik yang menyangkut syariat Islam maupun

hubungan Islam dan politik atau negara maupun kehidupan dunia pada

umumnya dapat dilacak antara lain pada pemikiran Muhamad Rasyid Ridha

(1865-1935) salah satu seorang reformis salafiyah dari Mesir, Hasan Al-Bana

(1906-1949) dan Sayyid Quthb (1906-1966) pendiri dan tokoh utama

Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Abul A’la Al-Maududi (1903-1979) pemimpin

Jemaat-i-Islami dari Pakistan.

2. Teori Dekonstruksionalisme

Teori dekonstruksionalisme hadir sebagai bagian dari kritik dan

pembaruan terhadap pandangan integralisme Islam yang bercorak totalistik

atau serba-absolut dalam memahami Islam. Perspektif dekontstruksionalisme,

sesuai dengan namanya, berusaha melakukan dekonstruksi atau

pembongkaran terhadap pemikiran-pemikiran yang selama ini mapan atau

status-quo dan berpengaruh kuat dalam kesadaran kolektif umat Islam. Dalam

ilmu sosial, teori dekonstruksionalisme ata dekonstruksi dikenal dalam cultural

studies sebagaimana dilakukan oleh Derrida, yakni analisis dengan cara

“mengambil bagian, melucuti, untuk menemukan dan menampilkan asumsi

suatu teks” atau melakukan “oposisi konseptual hierarkis” atas suatu teks

untuk “mengungkap bagian terdalam dari apa yang diinginkan dengan yang

tidak diinginkan oleh suatu teks verbal”.

31Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, (Bandung:

Mizan, 2013), h. 68

Page 29: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

22

Kalangan intelektual Muslim yang cukup menonjol dalam melakukan

dekonstruksi atas pemikian mengenai Syariat Islam dilakukan oleh Abdullah

Ahmed An-Na’im, pemikir dari Sudan yang melakukan berbagai kritik dan

penafsiran ulang mengenai syariat Islam. Perspektif An-Naim dapat disebut

sebagai dekonstruksionalisme, karena sifatnya yang bercorak pembongkaran

atau pelucuran atas makna dan isi atau substansi maupun metodologi. Bagi An-

Na’im, “syariat bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah

interpretasi terhadap teks (nash) dasarnya sebagaimana dipahami dalam

konteks historis tertentu”. Pandangan ini menolak prinsip penyatuan total dan

tuntas ajaran Islam khususnya syariat Islam dan realitas kehidupan

pemeluknya sebagaimana dianut kalangan fundamentalisme Islam dalam

gerakan Islam kontemporer. Syariat Islam selain dipandang bukan sebagai

keseluruhan dari ajaran Islam, pada saat yang sama aktualisasinya dalam

kehidupan kontemporer seringkali menimbulkan kesulitan-kesulitan jika tanpa

revisi, reformasi, dan rekonstruksi.

Pemikiran tentang penerapan hukum Islam alternatif pada dasarnya

merupakan dekonstruksi terhadap penerapan hukum Islam historis dalam

tuntutan kehidupan kontemporer. Dalam hal ini jika disimpulkan Na’im

berangkat dari beberapa asumsi pokok, pertama antara Islam sebagai ajaran

dan syariat Islam yang disebutnya sebagai syariat historis merupakan dua hal

yang dapat dibedakan kendati tidak dapat dipisahkan, yang formulasi dan

penerapannya dalam kehidupan kontemporer tidak dapat demikian tuntas dan

ketat sebagaimana dianut oleh para pengikut hukum Islam historis. Kedua,

penerapan hukum Islam historis yang ketat dan serba-ingin tuntas atau total

dalam kehidupan kontemporer selalu mengalami kesulitan-kesulitan, karena

itu diperlukan reformulasi atau revisi menjadi hukum atau syariat Islam

modern yang bersifat alternatif. Ketiga, bagi umat darurat dan penerapan yang

tidak memadai, maka lebih baik mencoba untuk menyesuaikan syariat tersebut

degnan berbagai problem dan kebutuhan kehidupan kontemporer. Keempat,

penyesuaian syariat Islam ke dalam kehidupan kontemporer merupakan faktor

Page 30: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

23

penting dengan adanya realitas negara-bangsa (nation-state) di mana

berkembang hak kolektif hidup komunitas muslim dan non muslim.

Selain An-Naim, pemikiran dekonstruksi juga diperkenalkan oleh

Muhammad Abid Al-Jabiri, yang memperkenalkan konsep “kesempurnaan

relatif” tentang syariat Islam. Menurut Al-Jabiri, bahwa “kesempurnaan” syariat

Islam dan penerapannya dalam kehidupan sebagaimana berlaku dalam bidang-

bidang kehidupan lainnya, adalah kesempuranaan yang relatif baik yang

berkaitan dengan praktik pada masa para nabi dan para sahabat maupun pada

masa-masa sesudahnya. Di Indonesia, Munawir Syadzali termasuk tokoh yang

menawarkan dekonstruksi dengan gagasan “reaktualisasi ajaran Islam”-nya

yang menjadi bahan perdebatan cukup terbuka. Pandangan Munawir berangkat

dari pengamatan dan pengalaman bahwa umat Islam khususnya dalam hukum

waris tidak mempraktikan sebagaimana perintah syariat dalam nash atau teks

Al-Qur’an, sehingga daripada terjebak pada ambivalensi, maka apakah tidak

mungkin diperbolehkan melakukan reaktualisasai dalam bentuk modifikasi

atau penyesuaian terhadap ketentutan-ketentuan yang telah dengan jelas

digariskan oleh Al-Qur’an itu.32

3. Teori Kue Lapis (The Three-Tiers Theory) Nation- and State-Building

Menurut Saafroedin Bahar33, teori kue lapis atau The Three Tiers Theory

of Nation- and State-Building adalah teori tentang tumbuhnya bangsa dan

negara-kebangsaan di Indonesia. Pada lapisan pertama dan paling bawah,

adalah etnik atau suku bangsa, yang merupakan komunitas antropologis dan

menjadi tumpuan dasar bangsa dan negara. Sistem nilai kultural etnik atau

suku bangsa ini mempunyai arti psikologis dan sosiologis yang penting

karenaikut membentuk pribadi warganya, di manapun mereka berada, baik

sebagai warganegara biasa maupun sebagai penyelenggara negara. Pada

lapisan ke dua, adalah bangsa sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara

sengaja secara artifisial melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu

32Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, h.78-82 33Saafroedin Bahar, Membangun Indonesia: Negara-Kebangsaan dan Masyarakat-Hukum

Adat, (Jakarta: Verbum Publishing, 2009), h. 18-20

Page 31: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

24

merupakan produk sejarah, dan karena itu harus dipelihra setiap hari, baik

oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara. Pada

lapisan ketiga adalah negara, sebagai suatu subyek utama hukum internasional,

yang bersamaan dengan mempunyai kewenangan untuk membangun dan

menegakan hukum nasionalnya ke dalam negeri, juga harus patuh pada hukum

internasional, baik hukum internasional tertulis maupun hukum internasional

tidak tertulis. Dalam pergaulan internasional, negara diwakili oleh pemerintah

yang sah menurut undang-undang dasar negara itu.

Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat sangat majemuk

seperti Indonesia, suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu

harus ditangani secara amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah

pusat dengan berbagai etnik yang merupakan komponen utama dari rakyat.

Suatu anak masalah yang melekat erat dengan masalah ini adalah kenyataan

bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan yang akan menentukan nasib

orang banyak akan selalu berada dalam tangan tokoh-tokoh etnik, agama, atau

kelompok mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka terhadap

aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak kelompok bangsa

yang bersangkutan.

4. Teori Hegemoni dan Dominasi

Teori hegemoni dan dominasi Antonio Gramsci sebagai pisau analisis

dalam memahami fenomena formalisasi agama dalam bentuk perda dan

beberapa kasus konflik atas nama agama di Banten kaitanya dengan dominasi

kaum mayoritas atas minoritas. Teori ini dapat digunakan untuk memahami

aktor penyebab pada relasi kuasa sosial-politik ketika ada konflik atas nama

agama yang terjadi antara negara, agama mayoritas dan agama minoritas.

Selain itu, pemikiran Gramsci digunakan untuk menganalisis berbagai relasi

kekuasaan dan tindak kekerasan di dalam masyarakat. Gramsci membedakan

pembeda kontradiktif antara “hegemoni” dan “dominasi” yang memiliki relasi

Page 32: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

25

kuat dengan unsur negara, masyarakat sipil, kebudayaan, ideologi, kepercayaan

populer, dan kaum intelektual.34

Menurut perspektif Gramsci, dalam sebuah bangsa multikultural ketika

membiarkan konflik agama seringkali disebabkan adanya dominasi kaum

mayoritas terhadap kaum minoritas. Beberapa kasus konflik antar agama yang

pernah terjadi di negara-negara, seperti adanya penyerangan, perusakan,

pembakaran, dan pembunuhan, seringkali terjadi karena “bentuk penguasaan

yang didukung dengan kekuatan fisik” atas dominasi kaum mayoritas. Misal,

kelompok dominasi menguasai dan cenderung “mengorbankan” musuh-

musuhnya dengan berbagai cara, termasuk dengan kekuatan bersenjata;

kemudian kelompok dominasi itu menjadi pemimpin dari kelompok-kelompok

yang bersekutu dan memiliki hubungan dengannya. Kelompok yang dikuasai

secara dominatif dan dipimpin secara hegemonik dalam istilah Gramsci dikenal

dengan kelompok “subordinat” atau “subaltern”. Hegemoni dipahami oleh

Gramsci sebagai “bentuk penguasaan terhadap seseorang atau kelompok

tertentu dengan menggunakan kekuatan kepemimpinan intelektual dan moral

secara konsensus”. Dengan kekuatan tersebut menyebabkan seseorang atau

kelompok yang terhegemoni dapat menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.

Prakteknya, hegemoni dapat tampak di dalam regulasi, penulisan, kajian

tentang masyarakat, dan media massa sebagai alat kontrol kesadaran yang

dipakai oleh penguasa. Akibatnya, alat kontrol itu mampu menjadi peran

penting untuk mengkonstruksi institusi dan sistem sebagai ruang melestarikan

ideologi kelas dominan.35

H. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis-historis dengan

paradigma penelitian kualitatif bersifat analisis-deskriptif. Menurut Denzin dan

Licoln (2009) dalam Juliansyah Noor, penelitian kualitatif menyiratkan

penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum

diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya. Pendekatan

34Roger Simon, Gagasan-gasan politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.20 35Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci, h.20

Page 33: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

26

kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan

pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah

manusia. Pada pendekatan ini, peneliti menekankan sifat realitas yang

terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dan subjek yang diteliti.

Penelitian ini bersifat penemuan dan lebih menekankan pada makna dan

terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan pada masalah yang belum jelas,

mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial,

mengembangkan teori, memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah

perkembangan. Dalam penelitan kualitatif, peneliti merupakan instrumen

kunci. 36

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara,

yakni studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan melalui buku-

buku, internet, maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan tema

penelitian. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key

informan) yang ditentukan berdasarkan tingkat pengetahuan dan pengalaman

yang memadai tentang persoalan yang berhubungan dengan tema penelitian.

I. Sistematika Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 5 Bab, dengan rincian sebagai berikut. Bab 1

Pendahuluan. Dalam bab ini akan disajikan latar belakang masalah penelitian,

studi penelitian sebelumnya (kajian pustaka), rumusan masalah, tujuan

penelitian signifikansi dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, dan

sistematika penulisan.

Bab 2 meninjau secara teoritis tentang identitas kebangsaan dan

pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Disini akan dikaji secara teoritis

tentang tiga hal. Pertama tentang arti kebangsaan dan Negara Bangsa. Kedua

tentang identitas kebangsaan di Indonesia; Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,

Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Ketiga tentang tinjauan

penerapan syariat Islam di Indonesia.

36Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2015), h.33-34

Page 34: TINJAUAN FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI BANTEN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40641/1/AHMAD... · menjadi titik tolak peradaban dunia lewat dinamika pemikiran

27

Bab 3 mengkaji tentang Banten dan karakter kedaerahan melaui

pendekatan sejarah. Hal ini dilakukan untuk memahami karakeristik

keagamaan dan budaya masyarakat di Banten. Disini akan dibahas tentang

Gambaran Wilayah, Masyarakat Banten dalam catatan sejarah (Fase Pra

sejarah, Fase Kesultanan, Fase Kolonial, Fase Kemerdekaan Indonesia, dan

Fase Pembentukan Provinsi), akan dibahas juga beberapa konflik keagamaan

yang pernah terjadi di Banten.

Bab 4 membahas tentang formalisasi agama dalam nation-state:

perspektif lokal Banten. Pembahasanya meliputi, klasifikasi Perda bernuansa

syariat Islam di Banten, Peran Tokoh Agama atas pembuatan perda bernuansa

syariah, Perda bernuansa syariah dan respon non muslim di Banten, dan

selanjutnya akan disajikan juga berdasarkan data dari kajian sebelumnya untuk

menampilkan sebuah persepsi Ideal Agama dan Negara di Banten.

Bab 5 adalah Penutup. Berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran-

saran.