wajah syariat islam di media

156

Upload: khairul-umami

Post on 01-Dec-2015

343 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Penerapan Syariat Islam di Aceh seharusnya menjadi berkah warga di Serambi Mekkah sebagai daerah khusus. Sayangnya, Syariat Islam tak selamanya disikapi positif dan cenderung dijadikan dalih bagi "menghukum" seseorang atau lembaga. Maka, dibutuhkan keseriusan dan keikhlasan semua pihak terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Maka, pemikiran dan kritik membangun menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk mengawasi. Buku ini menjadi satu dari sejumlah kumpulan pemikiran berbagai elemen di Aceh dan nasional. Puluhan karya yang tergambar dalam buku ini adalah bukti nyata persepsi masyarakat dalam menyikapi penerapan Syariat Islam di Aceh. Plus dan minus penerapan Syariat Islam hendaknya menjadi bahan introspeksi menuju kehidupan yang bermartabat. Media yang mengemban misi kontrol sosial adalah sebuah lembaga yang berperan penting dalam mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Maka, buku ini diharapkan menjadi referensi bagi siapa saja yang menilai pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Iskandarmuda.

TRANSCRIPT

Page 1: Wajah Syariat Islam di Media
Page 2: Wajah Syariat Islam di Media
Page 3: Wajah Syariat Islam di Media

WajahSyariat

Islamdi Media

Page 4: Wajah Syariat Islam di Media
Page 5: Wajah Syariat Islam di Media

WajahSyariat

Islamdi Media

Ansari Hasyim, Irman I. Pangeran, dkk.

Aliansi Jurnalis IndependenBanda Aceh, 2013

Page 6: Wajah Syariat Islam di Media

Penerbitan ini terlaksana berkat kerjasama Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh

dan dukungan dari Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama.

Diterbitkan pertama kali pada April 2013, dari tulisan peserta Lomba Penulisan Syariat Islam:

Ade Haryandi; Ansari Hasyim; Chairul Fahmi; Fitri Juliana; Imran MA; Irman I. Pangeran;

M Arief Rahman; Muhammad Hamzah Hasballah; Rach Alida Bahaweres; Rizki Alfi Syahril;

Saifullah Nurdin; Satrio Arismunandar; Siti Luluk Raihan; Teuku Zulkhairi

Hak cipta pada penerbit dan masing-masing penulis.

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Penanggung Jawab: Mukhtaruddin Yacob

Penyunting: Nurdin Hasan.

© 2013, AJI Banda Aceh.

Jl. Angsa No. 23 Batoh

Banda Aceh, Indonesia

Telp./Faks. 62-651-637708

Website: www.ajibanda.org

Email: [email protected]

x + 142 h. 14 x 20 cm.

Dirancang dengan oleh Khairul Umami huruf Georgia.

Buku ini tidak diperjualbelikan.Dilarang mengedarkan dan atau meminjamkannya dalam bentuk jilid atau sampul laindan atau dalam keadaan rusak.

Page 7: Wajah Syariat Islam di Media

Daftar Isi

Pengantar

Bagian #01Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat CemetiAnsari Hasyim

Karena Dewan tak DicambukIrman I. Pangeran

Menegakkan Syariat Setengah Hati?Fitri Juliana

Surat Terakhir dari PutriJajang Jamaludin dan Imran MA

Syariat Tersandung RupiahSaifullah Nurdin

Bisnis Salon dan Esek-Esek di Kota Bandar Wisata IslamiFitri Juliana

’Tiga Hari Jelang Ajal Menjemput Puteri’Imran MA

Syariat Islam setengah hatiSiti Luluk Raihan

3

15

29

35

43

47

51

55

vii

Page 8: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Mediavi

Bagian #02Syariat Islam, Antara Ketegasan Pemerintahdan Kesadaran MasyarakatM Arief Rahman

Syariat Islam Untuk Siapa?Muhammad Hamzah Hasballah

Syari’at Islam di Aceh dalam Opini JurnalisTeuku Zulkhairi

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di AcehRizki Alfi Syahril

Ketika Putri “Dirajam”Chairul Fahmi

Derita Korban BeritaRach Alida Bahaweres

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di AcehSatrio Arismunandar

’15 Jam Bersama Puteri’Imran MA

Proses Hukumnya Masih Sebatas PembinaanFitri Juliana

‘Tatapan Terakhir Puteri’Imran MA

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat IslamRizki Alfi Syahril

Paradoks MuslimRizki Alfi Syahril

63

69

73

79

91

95

99

111

117

121

125

137

Page 9: Wajah Syariat Islam di Media

Pengantar

TAHUN 2002 menjadi tonggak baru Provinsi Aceh. Pada tahun ini,

Gubernur Aceh Abdullah Puteh mendeklarasikan pemberlakuan syariat

Islam secara menyeluruh di provinsi yang berstatus Otonomi Khusus

itu. Pemberlakuan syariat Islam merupakan salah satu opsi yang

diharapkan bisa meredakan konflik politik antara Aceh dan Jakarta.

Namun, kebebasan menjalankan syariat Islam ternyata tak mampu

meredakan konflik tersebut.

Sejak syariat Islam dideklarasikan, Aceh menyiapkan pelbagai aturan

yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Ada empat qanun (peraturan

daerah) yang diatur dengan semangat mengimplementasikan hukum

Allah, yaitu Qanun No 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun No 12/2002 tentang

Maisir (Judi), Qanun No 13/2002 tentang Khamar (Minuman Keras),

dan Qanun No 14/2003 tentang Khalwat (Mesum). Perlu diingat,

qanun-qanun ini hanya berlaku bagi masyarakat Aceh yang beragama

Islam. Sedangkan non-muslim tidak dikenakan aturan ini.

Implementasi syariat Islam di Aceh hanya terbatas pada empat

sektor kehidupan bermasyarakat itu. Sementara sektor lain, semisal

pemerkosaan, pembunuhan, korupsi, pencurian, penipuan dan lainnya

masih tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan

peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia.

Pemerintah Aceh membentuk Dinas Syariat Islam sebagai lembaga

resmi yang mengurusi pelbagai hal mengenai pemberlakuan hukum

Allah di Bumi Iskandar Muda itu. Sebagai pengawas pelaksanaan syariat,

Page 10: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Mediaviii

Pemerintah Aceh juga membentuk satuan Wilayatul Hisbah atau yang

dikenal dengan Polisi Syariat. Pada awalnya, WH bernaung di bawah

Dinas Syariat Islam. Namun belakangan, karena terikat peraturan,

Wilayatul Hisbah dileburkan ke dalam Satuan Polisi Pamong Praja –

satuan yang bertugas mengawasi pelaksanaan peraturan daerah.

Kini, sepuluh tahun sudah syariat Islam diberlakukan di Aceh.

Sepuluh tahun merupakan masa yang cukup bagi sosialisasi syariat bagi

pemeluk Islam di Aceh. Namun, waktu sepuluh tahun pula, penerapan

syariat Islam belum maksimal. Dari pertama pemberlakuan Syariat

Islam, seperti disebutkan di muka, baru empat sektor kehidupan

bermasyarakat yang diatur. Pada 2009, DPRA pernah mengesahkan

Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat, yang memasukkan

klausul rajam dan potong tangan bagi pelanggar. Namun, qanun ini

mati sebelum lahir karena Gubernur Irwandi Yusuf tidak menyetujui

kedua qanun tersebut.

Pemberlakuan syariat Islam mendorong peningkatan kasus di dalam

masyarakat. Petugas WH dan masyarakat aktif melakukan penindakan

terhadap para pelanggar syariat. Makanya, di media lazim kita temukan

berita orang berbuat mesum, meminum tuak, berjudi, dan tidak

berbusana islami. Ada yang dicambuk, dihakimi massa atau ditangkap

karena tidak berbusana islami.

Di media, wajah syariat Islam tak ramah. Ia seakan menjadi momok

yang menakutkan, terutama bagi orang yang ingin berkunjung ke Aceh.

Betapa tidak, syariat Islam sering diberitakan secara vulgar. Hal ini bisa

dilihat pada pemantauan pemberitaan syariat Islam yang dilakukan

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh sepanjang Februari

2012 – Januari 2013 ada 833 isu Syariat Islam yang diberitakan

oleh oleh 19 media baik cetak, maupun online. . Dari pemantuan itu

diketahui bahwa pemberitaan syariat Islam miskin cover both-sides,

Page 11: Wajah Syariat Islam di Media

Pengantar | ix

tanpa konfirmasi dan cek-ricek, sering mencampurkan fakta dan opini,

menonjolkan sensualitas, dan mengabaikan etika. Diksi yang digunakan

dalam pemberitaan syariat Islam terbilang vulgar, tidak bijaksana.

Secara isu juga tampak bahwa pernyataan dan penangkapan masih

lebih tinggi dibandingkan sosialisasi dan projustisi ataupun ekseskusi.

Penangkapan mencapai 214 berita, demikian juga pernyataan pejabat

terkait masih tinggi, yakni mencapai 204 berita disusul isu razia 127

berita. Bandingkan isu projustisi yang hanya 12 dan eksekusi hanya 4

berita. Artinya, media cenderung menulis berita karena pernyataan dan

lebih mengedepankan peristiwa.

Program “Mendorong Media Sehat dalam Memberitakan

Syariat Islam” merupakan bagian dari upaya AJI Banda Aceh untuk

meningkatkan kapasitas jurnalis di Aceh. Diharapkan, jurnalis Aceh

mengedepankan rambu-rambu Kode Etik Jurnalistik dalam setiap

pemberitaan mengenai syariat. Sehingga, ke depan tidak ada lagi berita

yang menghakimi, bahasa yang vulgar dan melabrak etika.

Selain memantau pemberitaan syariat –bukan memantau

pelaksanaan syariat, AJI juga melaksanakan seminar, diskusi kelompok

terbatas, pelatihan, roadshow ke daerah, penulisan buku panduan

meliput syariat, dan penghargaan bagi jurnalis yang menulis isu syariat.

Buku ini adalah kumpulan karya jurnalis yang mengikuti

penghargaan karya jurnalistik pemberitaan syariat Islam. Dari puluhan

naskah feature yang masuk, kami memilih delapan karya yang kami

nilai memiliki standard jurnalistik yang baik dan mengamalkan etika.

Tentu saja, karya jurnalis yang sudah diterima menjadi modal bagi

pengembangan penulisan syariat Islam yang lebih komperehensif dan

mendorong kelahiran media yang sehat. Kompilasi artikel dari beragam

jurnalis dan media ini hendaknya menjadi pemicu kepedulian jurnalis

terhadap kondisi pemberitaan Syariat Islam di Aceh. Tanggungjawab

Page 12: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Mediax

jurnalis diikuti kepedulian redaksi akan sangat membantu masyarakat

dalam menikmati sajian pemberitaan yang sehat, proporsional dan

profesional, sehingga media sehat bukan lagi mimpi, tapi sebuah aksi.

Banda Aceh, April 2013

Maimun SalehKetua AJI Banda Aceh

Page 13: Wajah Syariat Islam di Media

Bagian #01

Page 14: Wajah Syariat Islam di Media
Page 15: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam:Antara Kepastian Hukum

dan Jerat Cemeti

Ansari Hasyim

LELAKI itu bergegas bangkit dari sofa menuju ke sebuah meja di

ruangan tempat beberapa dokumen penting tersimpan. Tak berapa lama

ia kembali dengan satu foto kopi kliping berita di tangannya. Siang itu,

Selasa (4/12/ 2012), jarum jam menunjukkan pukul 12.15 WIB. Dari

sini lantunan ayat suci Alquran begitu jelas terdengar lewat corong mik

menara Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

“Saya sengaja menyimpannya. Coba Anda baca ini, ini tidak benar.

Tidak pernah Saya menerima uang seperti dirincikan dalam berita ini.

Hakim itu menjalankan tugas negara. Saya membantah kalau disebut

ada menerima,” ujarnya.

Nada suaranya agak tinggi, namun masih mengesankan sosok yang

ramah.

Sesekali lelaki bertubuh tinggi 160 Cm itu tersenyum memperlihatkan

gigi depannya yang berbaris rapi. Ia memperhatikan serius isi berita itu

lagi seolah berusaha menjelaskan kalau berita di kliping koran berjudul

“Sekali Proses Cambuk Butuh Uang Rp 8,7 Juta” itu keliru ditulis

wartawan.

“Saya tidak tahu dari mana sumber data ini,” ujarnya.

Lelaki itu adalah Osin Moh Muhsin SH M Hum, hakim di Pengadilan

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Selama menjadi hakim, Osin sempat

menangani beberapa perkara pelanggaran qanun jinayat. Terakhir ia

Page 16: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media4

mengadili dua sejoli yang berstatus mahasiswa. Keduanya didakwa

pasal khalwat (mesum) karena melanggar Qanun Nomor 14/2003. Oleh

Majelis Hakim keduanya divonis masing-masing lima kali cambuk.

”Tapi sampai sekarang, eksekusi belum juga dilakukan jaksa. Padahal

perkaranya sudah masuk sekitar Februari lalu. Waktu ditanya, kenapa

tidak dilakukan, katanya ‘tidak ada anggaran’. Jadi sampai sekarang

terdakwa bebas begitu saja,” ujar Osin saat ditemui di ruang kerjanya

Kantor Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh di kawasan Jl Moh Jam.

Selaku hakim yang mengadili perkara tersebut, ia merasa kecewa

karena terdakwa tidak segera dieksekusi, padahal sudah ada keputusan

inkrah dari pengadilan karena tidak mengajukan banding.

Namun Osin tidak terlalu mempersoalkan bebasnya terdakwa setelah

divonis pengadilan karena tugas Mahkamah Syar’iyah hanya berwenang

mengadili perkara yang masuk sampai menjatuhkan putusan apakah

terdakwa bersalah atau tidak.

“Tapi Saya agak terganggu soal dana itu. Di rinciannya kan ada

disebut untuk hakim sekian, jaksa sekian, padahal Saya tidak menerima

itu. Mengadili terdakwa itu kan sudah menjadi tugas negara,” ujar Osin

yang kini menjabat Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

Kasus bebasnya terdakwa setelah dijatuhi vonis pengadilan

menjadi potret lain dari penegakan hukum syariat Islam di Aceh.

Kasus yang ditangani Osin bisa jadi bukan satu-satunya. Tapi masih

banyak kasus serupa di kabupaten/kota yang tidak terungkap ke

publik. Setelah divonis, terdakwa bebas berkeliaran dan bahkan ada

yang melarikan diri dari jeratan cemeti saat akan dieksekusi cambuk.

* * *

SYARIAT Islam di Aceh mulai berlaku pada 2001 berdasarkan UU Nomor

18/2001 tentang Otonomi Khusus dan UU nomor 40/1999 tentang

Page 17: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti | 5

Keistimewaan Aceh meliputi agama, adat istiadat dan pendidikan. Sejalan

dengan itu Pemerintah juga menerbitkan UU Kekuasaan Kehakiman

Nomor 4/ 2004 yang memberi peluang dibentuknya Mahkamah Syar’iyah.

Sejak awal penerapannya hingga kini Pemerintah Aceh telah

melahirkan empat peraturan daerah (Perda) yang terkodifikasi dalam

empat qanun. Yaitu Qanun Nomor 11/ 2002 tentang Pelaksanaan Syariat

Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12/2003

tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13/ 2003

tentang Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14/ 2003 tentang Khalwat

(mesum).

Keempat qanun ini menjadi landasan aparat penegak hukum

melakukan pengawasan, penindakan, pemeriksaan hingga melimpahkan

perkara ke Mahkamah Syar’iyah. Menurut sanksi, para pelaku bisa

dijatuhi hukuman cambuk untuk kategori pelanggaran berat yang

dikuatkan dengan bukti dan putusan pengadilan. Misalkan kedapatan

berkhalwat, berjudi atau minum minuman keras.

Namun tidak jarang kasus pelanggaran qanun bisa selesai di atas

meja petugas setelah pelaku menandatangani surat pernyataan tidak

mengulangi lagi kesalahan. Biasanya penyelesaian kasus di tempat ini,

sering terjadi saat pelaku terjaring dalam razia penegakan Qanun Nomor

11/ 2002 oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH).

Pemberlakuan empat qanun ini di satu sisi memberi efek positif

terhadap tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Namun di sisi lain, masih

ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Terutama dalam Qanun

Nomor 12, 13 dan 14, tidak mengatur soal tersangka yang melanggar

qanun dapat ditahan. Ini pula yang dikatakan Osin sebagai kelemahan

mendasar dari penegakan syariat Islam di Aceh. Ketiga qanun ini hanya

berupa hukum materil dan belum dapat dijalankan maksimal tanpa ada

hukum formil (hukum acara), yang jelas mengatur agar hukum materil

itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Page 18: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media6

”Contohnya saja, sampai saat ini tidak ada aturan untuk menahan

pelaku. Karenanya tersangka bisa bebas. Bukan tidak bisa, tapi tidak ada

aturannya untuk menahan,” kata Osin.

Mahkamah Syar’iyah sesuai kewenangannya hanya mengadili dan

memutuskan perkara yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU)

terhadap perkara pelanggaran qanun jinayat. Setelah terhukum dijatuhi

vonis, maka tahap selanjutnya adalah menjadi kewenangan jaksa

berkoordinasi dengan pihak Dinas Syariat Islam, Satpol PP dan WH,

polisi dan tim medis menindaklanjuti putusan hakim.

Tapi dalam praktiknya, tidak semudah yang dibayangkan

melaksanakan eksekusi cambuk bagi terdakwa yang sudah ada putusan

inkrah. Seperti halnya perkara yang ditangani Osin saat menjadi hakim

anggota terhadap sepasang terdakwa dalam perkara pelanggaran Qanun

14/ 2003 tentang Khalwat. Kedua mahasiswa ini dijatuhi hukuman

masing-masing lima kali cambuk. Tapi sampai saat ini, jaksa tidak

melakukan eksekusi karena alasan tidak ada biaya.

”Padahal terdakwa sudah sangat siap untuk dicambuk waktu itu,”

ujar pria asal Bandung ini.

Kasus gagalnya eksekusi terhadap terdakwa bukan kali ini

saja. Pada 2011 lalu, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh gagal

menjatuhkan vonis kepada para terdakwa dalam dua perkara

lainnya. Saat jaksa penuntut umum hendak menghadirkan terdakwa

ke persidangan, belakangan diketahui sudah melarikan diri.

“Perkaranya otomatis dihentikan karena tidak ada orang yang mau

diadili,” kata Osin.

Pada Pasal 25 Qanun Nomor 12/ 2003 pada poin c.

disebutkan penuntut umum sebetulnya mempunyai kewenangan

memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan penyidik.

Namun perintah penahanan ini tidak dapat dilakukan jaksa atau hakim

Page 19: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti | 7

Mahkamah Syar’iyah, karena menurut ketentuan KUHP Pasal 20 ayat 4

huruf a dan b disebutkan;

“Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau

terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun

pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal; a. Tindak

pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan

seterusnya.”

“Sedangkan dalam ketentuan uqubat pada Pasal 26 Qanun 12/2003

disebutkan setiap orang yang melanggar Pasal 5 (minum minuman keras

atau khamar) dihukum dengan ancaman uqubad hudud 40 kali cambuk.

Jadi ketentuan penahanan tidak bisa dilakukan kepada tersangka, karena

bertentangan dengan KUHP,” kata Kasie Intel Kejaksaan Negeri Banda

Aceh A Kahar Muzakkir SH.

Dalam Pasal 19 Qanun Nomor 12/ 2003 mempertegas bahwa

penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran dan sejenisnya

dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sepanjang tidak diatur dalam qanun.

“Karena itu kalau ada tersangka yang melarikan diri, jaksa tidak

dapat melakukan apa-apa meskipun sudah dijatuhi vonis pengadilan.

Jadi tindakan melarikan diri itulah hukumannya bagi pelaku sendiri. Dia

menghukum dirinya sendiri,” ujar Kahar yang juga pernah menjadi jaksa

penuntut umum dalam perkara pelanggaran qanun jinayat saat bertugas

di Kejari Tapaktuan.

Menurut Kahar prinsip-prinsip keadilan bagi pelaku juga perlu menjadi

pertimbangan dalam pengambilan keputusan menahan atau tidak menahan

tersangka atas perintah jaksa.

Misalkan jika dalam proses hukum berjalan tersangka ditahan,

maka akan ada rasa kemerdekaan, keadilan dan haknya yang terenggut.

Sementara hukuman penahanan yang dijalani tidak sebanding dengan

ancaman uqubat cambuk.

Page 20: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media8

“Keadilan bagi pelaku dan hak-haknya sebagai manusia juga harus

menjadi pertimbangan. Tidak boleh dirampas. KUHP menjunjung tinggi

HAM seseorang,” ujarnya.

* * *

DARI sudut pandang penerapannya, Kahar menilai ketiga qanun

ini masih lemah dan abstrak. Bahkan dari sisi pelaksanaan eksekusi

cambuk, jaksa juga kerap menemukan kendala tidak dapat melakukan

segera. Padahal pada Pasal 27 Qanun Nomor 14 / 2003 tentang Khalwat

(mesum) pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun tampaknya instansi terkait seperti Dinas Syariat Islam dan

Satpol PP dan WH tidak siap dengan perintah qanun sehingga eksekusi

ada yang tidak segera dilakukan setelah terdakwa divonis.

“Dinas Syariat Islam tidak siap dengan perintah qanun ini. Memang ada

biaya yang harus dikeluarkan untuk proses hukuman dilakukan. Karena

prosedurnya sudah diatur dalam Pergub,” ujar Kahar.

Ketidaksiapan Dinas Syariat Islam dan Satpol PP dan WH dalam

mendukung anggaran bagi pelaksanaan cambuk kepada terdakwa,

membuat jaksa pesimis.

”Akhirnya berkas putusan hakim hanya disimpan dalam lemari, tanpa

ada tindak lanjut eksekusi terhadap terdakwa,” ujarnya.

Pengalaman itu diakui Kahar terjadi saat ia menjadi JPU di pesidangan

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh untuk perkara sepasang pelaku mesum.

Namun terhukum tidak bisa dicambuk karena tidak ada biaya.

Dalam Qanun Nomor 14/ 2003 pada ketentuan peralihan Pasal

33 dijelaskan hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan

eksekusi cambuk memang diatur lebih jauh dengan Peraturan Gubernur

(Pergub).

Page 21: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti | 9

Keberadaan Pergub tentang teknis eksekusi cambuk ini menurut

Kahar juga menjadi hambatan bagi jaksa karena banyak hal yang lebih

detil diatur di dalamnya. Seperti penunjukan algojo sampai pengadaan

panggung eksekusi. Di samping ada biaya lain yang harus dikeluarkan

seperti untuk konsumsi, biaya keamanan untuk polisi, pembimbing

rohani bagi terdakwa dan dokter.

Sementara dalam Pergub pada Pasal 16 disebutkan segala biaya akibat

dikeluarkannya peraturan ini dibebankan kepada APBD Provinsi, APBK

kabupaten/kota dan masing-masing instansi. (Lihat: Rincian Biaya Eksekusi Cambuk)

“Dokter yang dipakai jasanya saat eksekusi juga dibayar. Terpidana

setelah dicambuk juga diberi uang saku, diberi makan dan sebagainya.

Jadi memang dibutuhkan biaya untuk ini,” ujarnya.

Rincian Biaya Eksekusi Hukuman Cambuk

NO. KEGIATAN JUMLAH

1.2.3.4.5.6.7.8.9.

10.11.12.

Biaya penyelesaian perkara oleh penyidik Biaya pendamping penyidikan Insentif untuk tiga jaksa Insentif empat hakim Mahkamah Syariah Biaya dua tenaga medis/dokter Biaya dua eksekutor/algojo Biaya penasehat sebelum dicambuk Biaya empat polisi Biaya pemulangan tersangka

Sewa teratak satu unit Sewa sound sistem satu unit Biaya konsumsi

Rp 900.000Rp 600.000Rp 1.200.000Rp 1.600.000Rp 400.000Rp 600.000Rp 300.000Rp 1.200.000Rp 300.000/ orangRp 800.000Rp 250.000Rp 300.000

Sumber: Satpol PP dan WH Aceh

Page 22: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media10

Sepanjang anggaran tersebut tidak tersedia, maka otomatis proses

eksekusi terdakwa tidak dapat dilakukan.

“Sebenarnya jaksa mau yang simpel saja. Tidak perlu ada seremonial

segala. Kita hadirkan terdakwa di lapangan terbuka dengan jaksa sebagai

pembaca salinan putusan hakim, langsung dieksekusi. Maunya jaksa

seperti itu. Tapi semua proses ini diatur dalam Pergub. Ya, kita harus

mengikuti prosedur itu,” ujarnya.

Kahar menyesalkan bila ada terdakwa yang sudah memiliki putusan

inkrah dari pengadilan tidak dilakukan eksekusi hanya karena tidak ada

biaya.

“Hal itu sama saja membebaskan kembali terdakwa dari hukuman

karena memang jaksa tidak berhak untuk menahan. Jadi dibutuhkan

sebuah komitmen pemerintah yang sinergi dalam proses ini. Terutama

untuk menyediakan anggaran eksekusi. Tidak hanya bisa diserahkan

kepada jaksa saja,” paparnya.

Eksekusi kilatKepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Satpol PP dan WH

Provinsi Aceh Marzuki mengakui untuk tahun 2012 pihaknya hanya

mengajukan anggaran Rp 2 juta per kasus dengan estimasi 12 kasus per

tahun. Biaya tersebut hanya untuk mengawal proses kasus sampai jaksa

menetapkannya menjadi P21 (lengkap).

Ironisnya, untuk proses selanjutnya saat kasus dilimpahkan ke

Mahkamah Syar’iyah hingga terdakwa divonis dan perintah eksekusi

oleh hakim, Satpol PP dan WH Aceh tidak menyediakan anggaran.

Karena itu Marzuki tidak heran bila banyak kasus di kabupaten/

kota yang sudah ada putusan inkrah tidak dilakukan eksekusi.

Selain karena tidak ada dana, juga ada para terdakwa atau tersangka

yang melarikan diri, karena jaksa tidak menahan.

Berdasarkan rekap data 2012 di seluruh Aceh, Satpol PP dan WH

Page 23: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti | 11

Aceh mencatat ada 10 perkara jinayat yang putus di tingkat pengadilan

pertama. Namun tidak semuanya berakhir dengan eksekusi hukuman

cambuk. Jumlah perkara yang diputus pengadilan ini jauh lebih kecil

dibandingkan dengan tingkat pelanggaran. Misalkan untuk kasus

pelanggaran Qanun Nomor 12/2003 mencapai 45 kasus, pelanggaran

Qanun Nomor 13/2003 (29 kasus), pelanggaran Qanun Nomor 14/2003

(490 kasus). Hanya sebagian kecil yang diproses di tingkat Mahkamah Syar’iyah.

”Karena memang ada kasus-kasus yang tidak harus diselesaikan

sampai ke pengadilan. Ada juga yang diselesaikan secara adat dan

pembinaan,” ujar Marzuki berkilah.

Bagai terjaga dari mimpi, baru pada tahun anggaran 2013 ini, Satpol

PP dan WH Aceh mengusulkan biaya khusus untuk proses eksekusi

hukuman kepada terdakwa. Biaya ini dialokasikan untuk membantu

kabupaten/kota yang tidak ada anggaran untuk menjalankan hukuman

cambuk, atau kehabisan dana karena banyak kasus yang harus

dieksekusi.

“Estimasi yang kita ajukan ke DPRA satu bulan dua kasus. Jadi setahun

ada 24 kasus dengan biaya satu kasus delapan juta rupiah. Penanganan

kasus dengan anggaran delapan juta ini mulai dari pemeriksaan tersangka

sampai terdakwa dieksekusi hukuman,” tegasnya.

Marzuki berpendapat sebetulnya tidak ada perkara yang sudah inkrah

tidak dilanjutkan dengan eksekusi. Ketentuan Pergub tentang teknis

pencambukan dinilainya tidak menjadi hambatan sejauh memenuhi

unsur; adanya terdakwa, jaksa, algojo dan dokter.

”Ibarat kita mau buat kenduri pesta. Kalau mau yang mewah ya

tentu harus dengan biaya besar. Tapi kalau ingin dilakukan sederhana

tentu bisa lebih efisien. Jadi tidak mesti harus ada panggung,” katanya

seolah menampik dalih jaksa yang tidak bisa melakukan eksekusi karena

terhambat Pergub dan biaya.

Page 24: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media12

Untuk mensiasati efisiensi anggaran, ada juga kabupaten/kota

yang melakukan hukuman cambuk bersamaan. Jaksa tidak melakukan

eksekusi segera setelah vonis dijatuhkan. Tapi menunggu ada vonis

terhadap terdakwa lain. Sehingga proses eksekusi dilakukan sekaligus

dengan beberapa terdakwa lainnya. Cara ini dianggap bisa menghemat

anggaran.

Tapi risikonya, tidak ada jaminan para terdakwa tidak

melarikan diri karena memang jaksa tidak berhak menahan.

Ada juga cara lain, yakni sistem pengadilan kilat. Biasanya sidang

terhadap terdakwa dilakukan dua hari, Kamis dan Jumat. Pada hari

terakhir sidang saat hakim telah membacakan vonis, terdakwa tidak

dibolehkan pulang. Terdakwa diberikan makan, dan ditempatkan dalam

kamar untuk menunggu eksekusi dilakukan setelah shalat Jumat.

“Secara aturan bisa dikatakan tidak melanggar, karena memang kita

tidak menahan terdakwa. Hanya saja, strategis ini kita terapkan agar

proses eksekusi bisa dilakukan secepatnya dan terdakwa tidak lari,”ujar

Marzuki.

Akan tetapi, katanya, tidak semua kasus pelaku pelanggaran qanun

harus dilimpahkan ke pengadilan atau dikeluarkan surat perintah

dimulainya penyidikan (SPDP). Banyak di antara pelaku hanya mendapat

pembinaan oleh petugas.

* * *

PAKAR Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail SH M Hum

berpendapat penanganan perkara jinayat yang sudah divonis lalu

terdakwanya tidak dieksekusi menggambarkan satu kondisi tidak adanya

kepastian hukum dalam penegakan syariat Islam di Aceh.

“Kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena akan menjatuhkan wibawa

penegak hukum. Sebuah aturan dibuat untuk menjamin adanya kepastian

Page 25: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti | 13

hukum, bukan sebaliknya,” tegas Mawardi.

Hal yang lebih ironis, aparat penegak hukum juga dinilai telah

merugikan dan merampas hak terdakwa dengan penundaan hukuman.

Terdakwa merasa perkaranya digantung, dan menghambat proses

rehabilitasi dirinya untuk kembali ke masyarakat.

”Setiap orang memerlukan kepastian hukum. Bila mereka sudah

menjalani hukuman atas kesalahan yang diperbuat, maka rasanya akan

lebih lega dan tidak dibayangi rasa bersalah lagi,” katanya.

Mawardi mengakui empat qanun syariat Islam yang saat ini berlaku

di Aceh masih perlu disempurnakan. Dalam pelaksanaannya dinilai ada

celah dan kekosongan aturan yang berujung pada tidak adanya kepastian

hukum. Termasuk soal ketentuan pelaku tidak bisa ditahan dan persoalan

tidak ada alokasi anggaran untuk eksekusi putusan hakim.

Dia menyebutkan, setidaknya upaya penegakan hukum harus

didukung prasarana dan sarana yang memadai, sumberdaya manusia,

termasuk biaya.

Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh mengakui tidak menyediakan

alokasi anggaran untuk proses eksekusi hukuman bagi terdakwa.

”Tugas kami hanya pencegahan dan melakukan pembinaan. Soal

itu (anggaran untuk biaya eksekusi perkara) boleh ditanya langsung ke

Satpol PP dan WH,” kata Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh

Mairul Hazami.

Menurutnya, sampai tahun 2012 pihaknya masih berkonsentrasi

pada penegakan Qanun Nomor 11/ 2002. Sedangkan tiga qanun lainnya,

masih belum menjadi prioritas. Karena dalam pelaksanaannya lebih

dititik beratkan kepada instansi Satpol PP dan WH yang bertugas

melakukan pengawasan.

“Suatu saat nanti Saya berharap status WH bisa ditingkatkan menjadi

polisi syariat. Kalau polisi syariat wewenangnya lebih besar. Bisa

menangkap, menahan, memeriksa, dan membuat BAP terhadap pelaku.

Page 26: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media14

Kalau sekarang WH hanya sebagai pengawas. Jadi kewenangannya

sangat terbatas,” ujarnya.

Setali dua uang dengan Dinas Syariat Islam Provinsi. Plt Kepala Dinas

Syariat Islam Provinsi Muhammad Nass hanya bisa ’pasrah’ melihat

nasib keempat qanun yang kini diterapkan di Aceh.

Satu-satunya jalan yang saat ini ditempuh Pemerintah Aceh

adalah dengan merevisi keempat qanun tersebut agar keberadaannya

mempunyai kekuatan hukum yang lebih tegas, luas dan berwibawa.

Upaya revisi ini telah dilakukan Pemerintah Aceh dengan mengajukan

Rancangan Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, dan telah

disahkan menjadi qanun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 14

September 2009. Namun sayangnya Qanun Hukum Jinayah dan Hukum

Acara Jinayah yang diharapkan menjadi hukum positif ini kembali mental

karena Gubernur Irwandi Yusuf ketika itu menolak menandatangani.

”Sekarang harapan kita DPRA kembali dapat membahas Qanun ini

untuk kesempurnaan empat qanun sebelumnya yang sudah diterapkan

di Aceh,” ujar Muhammad Nas. Sampai kapankah kepastian hukum

syariat Islam tegak di Aceh? []

Page 27: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk

Irman I. Pangeran

Di Lhokseumawe hanya sekali dilaksanakan uqubat cambuk pada tahun 2006. Setelah itu tak ada lagi lantaran anggota dewan yang menjadi terpidana

khalwat mangkir dari panggilan jaksa.

MULANYA gagah perkasa, belakangan terkesan loyo. Begitulah nafas

pelaksanaan syariat Islam di Kota Lhokseumawe. Diawal-awal usia Kota

Lhokseumawe yang lahir hasil pemekaran Kabupaten Aceh Utara tahun

2001 silam, semangat penegakan syariat Islam di “kota gas” ini sangat

kencang.

Sosialisasi syariat Islam dan razia menjaring para pelanggar hampir

saban hari dilakukan Wilayatul Hisbah atau WH dari Dinas Syariat Islam.

Terutama razia busana, minimal sekali dalam sepekan. “Sekarang, razia

seperti itu jadi pemandangan langka di Lhokseumawe,” kata Anwar,

mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh

kepada saya, Jumat, 7 Desember 2012.

Razia ke lokasi-lokasi yang dicurigai terjadi pelanggaran syariat

Islam juga mulai kendur. “Jarang tampak anggota WH berpatroli seperti

dulu,” kata Roslina, warga Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua,

Lhokseumawe. “Mungkin biaya operasional untuk kegiatan itu minim.”

Tidak hanya kalangan masyarakat, ulama juga menilai pengawasan

syariat Islam di Lhokseumawe mulai lemah. Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) memperkirakan hal itu tidak terlepas dari alokasi anggaran

operasional untuk WH.

Page 28: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media16

“Mesti diberikan anggaran operasional yang sesuai dengan kebutuhan,

termasuk biaya operasi terpadu yang melibatkan satuan-satuan di luar

WH. Kalau tidak didukung dengan biaya tentu agak susah bergerak di

lapangan,” kata Ketua MPU Lhokseumawe Teungku Asnawi Abdullah

kepada saya, Minggu, 9 November 2012.

Selain dana, Teungku Asnawi mengusulkan agar pemerintah

daerah menambah jumlah anggota WH. Sebab kekuatan personil WH

belum sebanding dengan luas wilayah Kota Lhokseumawe. “WH perlu

diperbanyak,” katanya.

Kepala Seksi Penegakan Kebijakan Daerah dan Syariat Islam

pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota

Lhokseumawe, Karimuddin mengatakan saat ini WH Lhokseumawe 42

personil. Yang bertugas di lapangan 27 orang terbagi tiga regu. Dari 42

WH, sebagian besar berstatus honorer.

“Kita kekurangan personil WH, selama ini tugas kita ibarat kumit tulo lam blang raya, taparoh sagoe nyoe, dipo sagoe jeh (mengawasi burung

pipit dalam sawah yang luas),” kata Karimuddin.

Terbatasnya anggaran operasional, Karimuddin melanjutkan, juga

berdampak terhadap kegiatan razia dan patroli pengawasan syariat

Islam yang akhir-akhir ini lebih minim dibandingkan pada awal-awal

terbentuknya WH.

“Tahun 2012, dana operasional WH Rp60 juta, memang sedikit

meningkatkan dari 2010 dan 2011 yang hanya Rp40 juta setahun.

Tapi tetap tidak sebanding dengan masa-masa awal keberadaan WH

di bawah Dinas Syariat Islam, yang anggaran operasional WH sangat

memadai karena mendapat perhatian semua pihak. Tidak heran waktu

itu pelaksanaan syariat Islam gaungnya cukup besar,” ujar Karimuddin.

Dana Rp60 juta untuk operasional WH di lapangan, menurut

Karimuddin, telah habis pada November 2012. Minimnya dana membuat

anggota WH yang bertugas piket jaga malam hari tidak memperoleh

Page 29: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 17

uang minum. “Dulu ada,” tuturnya.

“Kita sudah sampaikan persoalan tersebut kepada Asisten Dua

Sekretariat Daerah agar ke depan WH memperoleh anggaran operasional

yang memadai sehingga bisa bertugas maksimal, termasuk mobil patroli

yang sudah tua dan hanya satu unit,” kata Karimuddin.

Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengatakan akan memberi

perhatian lebih maksimal untuk pelaksanaan syariat Islam. Tidak

hanya meningkatkan biaya operasional WH, namun juga menggerakan

kembali pengajian rutin di meunasah semua desa. “Program ini

sudah kita awali dengan pembukaan pengajian di Masjid Kemukiman

Kandang, Muara Dua, dua hari lalu dan akan terus berlanjut ke desa-

desa lainnya. Ini untuk menyadarkan masyarakat tentang syariat

Islam,” kata Suaidi.

***

BERDASARKAN catatan WH, sejak Januari sampai November 2012,

tercatat 103 kasus pelanggaran Qanun No. 11/2002 tentang Aqidah,

Ibadah dan Syiar Islam; 18 kasus pelanggaran Qanun No. 13/2003

tentang Maisir/Perjudian dan sejenisnya; 114 kasus pelanggaran Qanun

No. 14/2003 tentang Khalwat/Mesum.

“Seratus tiga kasus pelanggaran Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan

Syiar Islam rata-rata terkait pakaian yang digunakan tidak sesuai dengan

syariat Islam. Semuanya kita selesaikan dengan memberi pembinaan

kepada si pelanggar,” ujar Karimuddin.

Delapan belas kasus pelanggaran Qanun tentang Maisir atau

Perjudian, kata Karimuddin, ditangani Kepolisian Sektor Banda Sakti,

Lhokseumawe. “Seratus empat belas kasus pelanggaran Qanun tentang

Khalwat, semuanya juga kita selesaikan dengan pembinaan,” ujar

Karimuddin.

Page 30: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media18

Tahun 2011, jumlah kasus pelanggaran syariat Islam di Lhokseumawe

hampir sama dengan tahun ini. Menurut Karimuddin, tahun lalu

sebanyak 244 kasus. Rinciannya, 54 kasus pelanggaran Qanun tentang

Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam; 189 kasus pelanggaran Qanun tentang

khalwat dan satu kasus pelanggaran Qanun No. 12/2003 tentang khamar

dan sejenisnya. Semua kasus tersebut diselesaikan melalui pembinaan

terhadap para pelanggar.

Mengapa pembinaan? “Karena sesuai Peraturan Gubernur Aceh

Nomor 1 tahun 2004, tugas WH mengawasi pelaksanaan dan pelanggaran

perundang-undangan di bidang syariat Islam. Juga memberi pembinaan

dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti

permulaan patut diduga telah melanggar peratutan perundang-undangan

di bidang syariat Islam,” Karimuddin menjelaskan.

***

WH tidak bisa menyidik kasus pelanggaran syariat Islam lantaran belum

ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Itu sebabnya, penyidikan

kasus khalwat, khamar dan maisir masih ditangani kepolisian. Kejaksaan

melanjutkan ke tahap penuntutan. Setelah melewati persidangan,

Mahkamah Syariah mengeluarkan putusan.

Data dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, tahun 2012 hanya dua

kasus pelanggaran syariat Islam yang dilimpahkan ke Mahkamah

Syariah. Yaitu, dua kasus maisir. Terdakwanya dua orang. Yang satu

berinisial Arm (37 tahun), warga Desa Banda Masen, Kecamatan Banda

Sakti, Lhokseumawe.

Mulanya, Arm ditangkap petugas Kepolisian Resor Lhokseumawe

di Simpang Surabaya Desa Teumpok Teungoh, Lhokseumawe, 6 Juni

2012 sekitar pukul 15.00 WIB. Diduga, dia sebagai pengutip repas atau

penyelenggara judi toto gelap atau togel. Barang bukti yang disita, sebuah

Page 31: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 19

handphone (HP), repas bertuliskan nomor atau angka pesanan togel dan

uang Rp134 ribu.

Satu terdakwa lagi, Agm (37 tahun), warga Desa Hagu Barat Laut,

Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Dia ditangkap polisi di warung

kopi Keude Aceh, 6 Juni 2012 sekitar pukul 16.30 WIB, bersama barang

bukti sebuah HP dan uang Rp627 ribu. Sangkaan dialamatkan kepada

Agm sama seperti Arm.

Penyidik menjerat Arm dan Agm dengan pasal 5 dan pasal 6 Qanun

No.13/2003 tentang Maisir. Penuntutan terhadap Agm dilakukan Jaksa

Penuntut Umum (JPU) Fakrillah. Sedangkan Arm oleh JPU Saifuddin.

Mahkamah Syariah Lhokseumawe telah menjatuhkan vonis untuk Agm,

6 Agustus 2012. “Majelis hakim memutuskan Agm terbukti melanggar

pasal 6 ayat (1), juncto pasal 23 ayat (2) Qanun Provinsi Aceh No.13/2003

tentang Maisir,” kata Fakhrillah kepada saya, Jumat, 7 Desember 2012.

Itu sebabnya, kata Fakhrillah, majelis hakim menghukum Agm mem-

bayar denda Rp15 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka

diganti uqubat cambuk enam kali. Kata Fakhrillah, barang bukti uang

disetor ke Baitul Mal Lhokseumawe, HP dikembalikan pada terdakwa.

“Sampai sekarang Agm belum membayar denda, geu peugah hana peng (pengakuanya tidak ada uang),” kata Fakhrillah. “Dia memang

miskin, setiap kali sidang mengaku tidak ada ongkos becak, tidak ada

uang jajan anaknya sekolah, untuk beli rokok pun tidak ada, harus kita

kasih, kita lakukan pendekatan agar mau menghadiri sidang”.

Beda dengan Agm, kata Saifuddin, Arm sangat kooperatif menjalani

persidangan. Dalam sidang pada 11 Oktober 2012, majelis hakim

memutuskan Arm terbukti melanggar pasal 6 ayat (1), juncto pasal 23

ayat (2) Qanun No.13/2003 tentang Maisir.

“Dia dihukum membayar Denda Rp15 juta dengan ketentuan apabila

denda tidak dibayar maka diganti hukuman cambuk delapan kali,” tutur

Saifuddin. “Arm mengaku tidak sanggup bayar denda”.

Page 32: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media20

Putusan terhadap Arm dan Agm sudah berkekuata hukum tetap

lantaran JPU dan terdakwa sama-sama menerima vonis hakim. Tetapi

eksekusi cambuk di muka umum belum dilaksanakan. “Kami akan

menyurati Agm untuk menjalani eksekusi. Kalau tidak datang, dipanggil

lagi sampai tiga kali,” ujar Fakhrilah.

Arm, kata Saifuddin, belum disurati sudah lebih dahulu menyatakan

tidak akan memenuhi panggilan eksekusi uqubat cambut. Saifuddin

menceritakan, tatkala kasus tersebut masih dalam persidangan, Arm

beberapa kali mengatakan, “kujak sidang nyak bagah glah but. Eunteuk watee cambuk, hana ku jak. Kon han jeut neu paksa, karna awai na anggota dewan han ditem jak, sampee jinoe hana dicambuk (menghadiri

persidangan biar cepat tuntas. Nanti saat eksekusi cambuk, tidak datang.

Kan tidak bisa dijemput paksa, karena sebelumnya ada anggota dewan

tidak mau datang, sampai sekarang tidak dicambuk)”. Meski begitu, Saifuddin menegaskan tetap akan memanggil Arm

sesuai prosedur hukum. Tetapi, kata Saifuddin, jaksa tidak bisa

menjemput paksa terpidana maisir tersebut, sebab tidak diatur dalam

qanun.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Lhokseumawe Ferdiansyah

mengatakan tahun 2011, enam kasus pelanggaran syariat Islam

dilimpahkan ke Mahkamah Syariah dan telah diputuskan.

“Semuanya sudah kita panggil melalui surat untuk menjalani eksekusi

cambuk, tapi tidak datang. Kita lakukan pendekatan persuasif, termasuk

lewat keluarganya, belum ada yang datang. Tidak bisa kita jemput secara

paksa karena tidak diatur dalam qanun,” kata Ferdiansyah.

***

SEJAK syariat Islam diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang

No. 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Qanun No.5/2000 tentang

Page 33: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 21

pelaksanaan Syariat Islam, hukuman cambuk pertama dilaksanakan di

Kabupaten Bireuen. Kala itu, Jum’at, 24 Juni 2005, disaksikan ribuan

warga yang menyemut di halaman Masjid Agung, Bireuen, 15 dari 27

terpidana maisir dicambuk.

Sebelumnya, pelaksanaan hukuman cambuk sempat molor beberapa

kali lantaran masih banyak kendala teknis. Setelah keluar Peraturan

Gubernur Aceh No. 10/2005 tentang petunjuk teknis uqubat cambuk,

baru dapat dilaksanakan.

Setelah Bireuen, kabupaten dan kota lainnya di Aceh langsung

menyusul. Di Lhokseumawe, hukuman cambuk pertama dilaksanakan,

13 Februari 2006 di halaman Masjid Baiturrahman Lhokseumawe. Enam

terpidana maisir, tiga perempuan dan tiga laki-laki dieksekusi uqubat cambuk.

Seorang terpidana lainnya hanya diberi pembinaan dan dikembalikan

kepada orangtuanya karena dia masih di bawah umur. Kasi Pidum Kejari

Lhokseumawe, Ferdiansyah, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Kota

Lhokseumawe A. Murad AB dan bekas Komandan WH Lhokseumawe

Said Zulkarnain membenarkan data tersebut.

Tahun 2007, Dinas Syariat Islam dan jaksa berencana

menyelenggarankan hukuman cambuk ke dua. Ketika itu, Dinas Syariat

Islam Kota Lhokseumawe yang dikepalai Murad AB sudah menyiapkan

panggung di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, 13 Desember 2007, untuk

eksekusi cambuk terhadap sebelas terpidana khalwat dan maisir.

Dari sebelas terpidana, salah seorang di antaranya mantan anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe berinisial TZA yang

berkhalwat dengan perempuan berinisial CMR. Mulanya, TZA dan CMR

digerebek oleh 12 personil WH dipimpin Said Zulkarnain dalam kantor

salah satu partai politik di Jalan Malikussaleh, Lhokseumawe, Minggu 11

September 2005 sekitar pukul 15.40 WIB. Penggerebekan itu disaksikan

ramai warga, tokoh masyarakat dan aparat desa. Juga ada polisi.

Page 34: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media22

Kepada saya, Sabtu, 8 Desember 2012, Said Zulkarnain menyebutkan,

saat kasus khalwat itu terjadi, TZA berstatus anggota DPRD Lhokseumawe

dan ketua dewan pimpinan cabang salah parpol. “Di dewan, dia (TZA)

duduk dalam komisi yang membidangi pendidikan dan syariat Islam,”

kata Said. Sedangkan CMR kader dari parpol yang dipimpin TZA. CMR

juga berstatus sebagai guru.

Setelah melalui persidangan 14 kali, akhirnya Makamah Syariah

Lhoksemawe, Selasa, 9 Mei 2006 memutuskan terdakwa satu, TZA dan

terdakwa dua, CMR terbukti melakukan khalwat. Sehingga, keduanya

masing-masing dihukum lima kali cambuk di muka umum. Putusan

hakim tersebut sesuai dengan tuntutan JPU.

Hakim Ketua Zulkifli Yus menyatakan perbuatan ke dua terdakwa

bertentangan dengan syariat Islam yang tengah diterapkan di Aceh.

“Menimbang bahwa terdakwa satu merupakan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dan

terdakwa dua seorang pendidik maka kami merngambil kesimpulan

untuk menjatuhkan hukuman cambuk masing- masing lima kali dan

membayar denda Rp 1000,” kata Zulkifli Yus, kala itu.

Tak terima dengan putusan tersebut, TZA dan CMR melalui penasehat

hukumnya mengajukan permohonan banding sampai kasasi. Juga

permohonan peninjauan kembali atau PK. Namun mahkamah menolak

permohonan itu. Sehingga putusan untuk ke dua terdakwa berkekuatan

hukum tetap.

Tetapi, kata Murad AB, TZA dan CMR sampai sekarang belum

dieksekusi cambuk oleh eksekutor lantaran dua terpidana khalwat itu

mangkir dari panggilan jaksa. “Selain dua terpidana khalwat itu, sembilan

terpidana maisir juga gagal dicambuk. Kita tunggu sampai sore, mereka

tidak hadir ke Lapangan Hiraq,” ujar Murad AB kepada saya, Sabtu, 8

Desember 2012.

Tri Atnuari, penasehat hukum CMR mengatakan, kliennya dan TZA

Page 35: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 23

tidak ada di Lhokseumawe pada saat akan dilaksanakan hukuman cambuk.

Waktu itu, kata Tri, CMR sedang berobat ke luar Aceh. “Sejak dia tidak

menghadiri eksekusi cambuk, sampai hari ini tidak ada lagi hubungan

komunikasi dengan kami. Saya tidak tahu di mana keberadaannya

sekarang,” kata Tri kepada saya, Minggu, 9 Desember 2012.

Saya sudah berusaha mencari keberadaan TZA di Lhokseumawe. Tapi

sampai Senin pagi, 10 Desember 2012, belum berhasil menjumpainya.

Nomor telpon genggam milik TZA yang saya peroleh dari Kepala Desa

Blang Pulo, Lhokseumawe, Darkasyi, tidak aktif. Menurut Darkasyi, TZA

berdomisili di Blang Pulo.

Tahun 2006 lalu, seusai mengikuti sidang putusan Mahkamah

Syariah Lhokseumawe, kepada saya yang waktu itu bekerja pada salah

satu koran lokal terbitan mingguan, TZA menyatakan vonis hakim tidak

adil. TZA merasa dirinya dan CMR tidak berkhalwat, sebab hanya duduk

dalam kantornya, kantor partai politik.

Anggota MPU Lhokseumawe, Teungku Ahmad Musa yang menjadi

saksi ahli dalam persidangan kasus TZA dan CMR, mengatakan, definisi

khalwat dalam hukum Islam adalah dua insan lain jenis bukan muhrim

bersunyi-sunyi dalam sebuah gedung yang kapan saja mereka bisa

bertemu.

Makna gedung, kata Teungku Ahmad Musa, bisa kantor, perusahaan,

warung atau apa saja yang tertutup. “Dua insan berada dalam gedung

itu, meski di ruangan yang berbeda, namun mereka bisa bertemu kapan

aja, itu sudah disebut khalwat,” kata Sarjana Peradilan Islam ini dalam

persidangan kasus tersebut.

Ahmad Musa menyatakan khalwat dilarang dalam Islam karena

perbuatan itu dapat mengarah kepada zina. Mengutip salah satu ayat al-

qur’an, ulama ini menyebutkan, “Jangan dekati zina”.

***

Page 36: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media24

GAGALNYA pelaksanaan hukuman cambuk terhadap TZA yang mantan

anggota dewan, mengundang kekecewan kalangan masyarakat setempat.

Warga tidak mau tahu bahwa jaksa tak berwenang menjemput paksa

terpidana khalwat tersebut. Sejumlah warga menuding penegakan

syariat Islam di Lhokseumawe masih lemah.

“Tidak adil, dulu orang kecil (warga kelas bawah) dicambuk. Giliran

orang besar, pejabat pemerintah atau anggota dewan, tidak tersentuh

cambuk,” kata M Yusuf, warga Desa Pusong, Lhokseumawe.

Said Zulkarnain yang mantan Komandan WH Lhokseumawe juga

tidak sepakat apabila hanya warga biasa yang dihukum cambuk. “Gara-

gara anggota dewan itu tidak taat hukum, tidak bisa lagi dilaksanakan

uqubat cambuk di Lhokseumawe,” kata Said. “Mana mungkin rakyat

lemah dicambuk, sedangkan orang besar tak dicambuk”.

Solusinya? Qanun dan aturan pelaksana uqubat cambuk harus

direvisi. “Penegakan hukum lemah karena payung hukum masih lemah.

Payung hukum penegakan syariat Islam harus disempurnakan,” kata

Teungku Asnawi Abdullah, Ketua MPU Lhokseumawe.

Selain aturan tentang hukuman cambuk, menurut Teungku Asnawi,

Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat sampai sekarang juga belum

ada kepastian hukum.

Teungku Asnawi juga mengusulkan keberadaan WH dikembalikan

ke Dinas Syariat Islam agar pengawasan terhadap pelaksanaan dan

pelanggaran perundang-undangan bidang syariat Islam lebih maksimal.

Kasi Penegakan Kebijakan Daerah dan Syariat Islam pada Kantor

Satpol PP dan WH Lhokseumawe Karimuddin menyebutkan WH mulai

dipisahkan dari Dinas Syariat Islam sejak tahun 2008. Pemisahan ini

mengacu pada pasal 244 Undang-Undang Pemerintah Aceh.

Pasal 244 tersebut menjelaskan, “Gubernur, bupati/walikota dalam

menegakkan qanun syariah dalam pelaksanaan syariat Islam dapat

membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan

Page 37: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 25

Polisi Pamong Praja”.

Karimuddin mengatakan apabila WH dikembalikan ke Dinas Syariat

Islam, statusnya jangan lagi sebagai polisi syariat, tetapi menjadi

pengawas syariat. “Tidak boleh menggunakan uniform berupa pangkat

seperti WH saat ini. Pengawas syariat tidak boleh kejar-kejar orang main

judi, grebek dan sejenisnya. Tapi hanya memberi pengarahan untuk

penyadaran,” katanya.

“Akan sangat baik sekiranhya Satpol PP, WH dan PPNS (Penyidik

Pegawai Negeri Sipil) diletakkan dalam satu kantor,” kata Karimuddin

mengutip isi makalah Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar MA, Guru Besar Fiqih

IAIN Ar-Raniry berjudul Urgensi Qanun Jinayat dan Qanun Hukum

Acara Jinayat dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh. Prof Alyasa’

menyampaikan makalah itu pada Musyawarah Besar Penegakan Syariat

Islam yanga diadakan Dinas Syariat Islam Aceh tahun 2012.

Mantan Kadis Syariat Islam Kota Lhokseumawe Murad AB menilai

WH lebih cocok di bawah Dinas Sysriat Islam. “Biar sejalan, karena

fungsi pengawasan ada pada WH. Dinas Syariat Islam tanpa WH seperti

Kodam tanpa tentara,” ujarnya.

Azhari, Sekretaris Dinas Syariat Islam Kota Lhokseumawe sepakat

dengan Murad Ab. “Kami ingin WH kembali di bawah Dinas Syariat

Islam biar punya kuku”.

Tgk Asnawi Abdullah menambahkan, apabila bukan di bawah Dinas

Syariat Islam, sebaiknya WH berada di bawah Kepolisian. “Misalnya,

di Polres ada satu unit WH yang memang tugasnya menyelidiki dan

mengusut kasus pelanggaran syariat Islam,” kata dia.

“Kalau di bawah Satpol PP, itu jauh sekali hubungannya. Sebab Satpol

PP tugasnya menertibkan pasar semraut, pedagang berjualan di lokasi

yang dilarang. Bongkar bangunan ilegal, itu tugas berat. WH tugasnya

harus santun, beda menertibkan pasar dengan mengawasi syariat Islam,”

ujar Asnawi Abdullah.

Page 38: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media26

Direktur LBH APIK Aceh, Roslina Rasyid berharap WH menjalankan

tugasnya lebih humanis sesuai qanun. Tidak over acting seperti yang

dikeluhkan sebagian masyarakat selama ini. “Ada beberapa laporan,

terutama dari kaum perempuan menyangkut perlakukan oknum WH.

Misalnya mengintrogasi anak di bawah umur secara berlebihan,” kata

Roslina Rasyid kepada saya, Minggu, 9 Desember 2012.

Roslina Rasyid meminta WH memberikan contoh baik kepada

masyarakat. Para pejabat pemerintah juga harus menunjukkan

keteladanan. “Jangan hanya teriak-teriak pelaksanaan syariat Islam, tapi

dia dan keluarganya melanggar syariat seperti memakai pakaian ketat,”

tuturnya.

Ketua Umum HMI Lhokseumawe Muhammad Nasrullah

menyarankan Ibu-Ibu Pengurus PKK juga harus berperan dalam

pelaksanaan syariat Islam. Sebab sosialisasi yang disampaikan kaum

perempuan dinilai lebih menyentuh. Nasrullah berharap Ibu PKK

menyampaikan pesan-pesan moral dengan cara turun langsung ke

sekolah, kampus atau dalam bentuk kegiatan di tengah masyarakat.

“Ibu-Ibu PKK juga bisa turun ke kafe-kafe memberi penyadaran

kepada pengunjung. Kafe-kafe diarahkan agar menghidupkan suasana

Islami, mementaskan seni budaya Aceh seperti Seudati. Di situ bisa

disisipkan pesan budaya Aceh, pesan moral yang selama ini telah luntur

supaya bangkit kembali,” kata Nasrullah.

***

SYARIAT Islam dalam bahasa sederhana dan dipahami banyak orang

adalah “sejumlah aturan Allah yang diturunkan melalui nabi-Nya

Muhammad untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia”. Aturan

tersebut mencakup semua lini kehidupan manusia, termasuk di dalamnya

hukuman.

Page 39: Wajah Syariat Islam di Media

Karena Dewan tak Dicambuk | 27

“Syariat Islam selalu memberi kemaslahatan, meskipun berwujud

hukuman, baik kepada individu maupun kelompok, secara langsung

atau tidak. Untuk mengukur terlaksananya syariat Islam bisa dilihat dari

sejauh mana kemaslahatan yang dicapai oleh seseorang atau kelompok

masyarakat,” kata Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Dosen Tafsir

pada Jurusan Syariah STAIN Malkussaleh Lhokseumawe kepada saya,

Minggu 9 Desember 2012.

Kesilapan fatal selama ini adalah pemahaman keliru dan parsial

tentang syariat Islam. Banyak orang memahami bahwa syariat Islam

sebatas urusan salat, puasa, haji dan beberapa ritual lainnya, seperti

perayaan hari-hari besar. “Dan, dalam banyak benak orang, syariat

Islam identik dengan hukuman, dan hukuman itupun tidak lain adalah

cambuk,” kata Syahrial Razali Ibrahim yang tengah menyelesaikan S3

(doktor) di International Islamic University Malaysia (IIUM).

Pemahaman ini, menurut Syahrial Razali, telah mencoreng arang pada

Islam dan syariatnya yang mulia. Lebih fatal lagi, karena pemahaman

yang salah, akhirnya melaksanakan syariat Islam dengan cara yang salah

pula. “Setidaknya kita tidak mengawalinya dengan benar. Inilah yang

saya lihat selama ini di Aceh,” kata Syahrial akrab disap Teungku Balee

di Lhokseumawe.

Seharusnya, Syahrial mengatakan, yang pertama dilakukan di Aceh

mendidik masyarakat tentang Islam, asah hati mereka dengan aqidah

dan akhlak. Di samping memperkuat iman dan memperbaiki akhlak,

kata Syahrial, benahi berbagai hal berkaitan dengan kemaslahatan hidup

mereka. Benahi pendidikan, perkuat ekonomi, bangun kekuatan sosial,

galang persatuan, tingkatkan kesehatan masyarakat dan kemudahan-

kemudahan lainnya yang semua itu harus berbasis Islam.

“Godok Qanun Pendidikan Islam, ekonomi Islam, kesehatan berbasis

layanan Islami, media yang Islami, Politik Islam dan lainnya. Setelah

semua usaha itu dijalankan dengan baik dan maksimal, ternyata masih

Page 40: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media28

ada masyarakat yang coba menggagalkan upaya tersebut dengan

tindakan-tindakan tidak terpuji, barulah dipikirkan hukuman. Beri

mereka saksi agar kemaslahatan bersama bisa dicapai,” ujar Syahrial.

Kata Syahrial, seorang anak tidak langsung dipukuli, tetapi mereka

harus diajarkan, dinasehati. Jika sudah buntu dengan berbagai upaya,

baru “tacutiet sigo (cubit sekali)”. Jadi hukuman adalah opsi terakhir.[]

Page 41: Wajah Syariat Islam di Media

Pemko Banda AcehMenegakkan Syariat

Setengah Hati?

Fitri Juliana

Hingga akhir 2012, ada 439 kasus pelanggaran Syariat Islam yang ditangani Satpol PP dan WH Banda Aceh. Tapi, hanya satu kasus yang masuk

dan di adili Mahkamah Syariah Banda Aceh. Sisanya raib begitu saja.

Fakta ini tak sejalan dengan tekad Banda Aceh sebagai Kota Wisata Bandar Islami. Itu

sebabnya, berbagai elemen masyarakat mulai mempertanyakan keseriusan Pemko Banda Aceh

dalam penegakkan Syariat Islam. Termasuk, mengadili setiap pelanggar Syariat Islam tanpa

pandang bulu dan pilih kasih. Salah satunya, kasus yang menimpa BU, salah seorang PNS yang

juga pendakwa serta pemilik sejumlah lembaga pendidikan swasta di Banda Aceh.

Seperti apa potret penegakkan Syariat Islam di Ibukota Aceh ini? Berikut laporan Fitri Juliana yang dirangkum dalam rubik Fokus pekan ini.

Page 42: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media30

TEUNGKU Faisal Ali atau akrab disapa Lem Faisal hanya bisa mengeleng

kepala. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Ulama Dayah Aceh

(HUDA) ini terdiam saat ditanya tentang berbagai praktek maksiat yang

kini merambah Kota Banda Aceh.

Sorot matanya menerawang. Lalu, dia tarik nafasnya dalam-dalam,

saat media ini mempertanyakan proses hukum terhadap BU, seorang

PNS yang tertangkap basah saat diduga melakukan mesum di salah satu

salon di Banda Aceh.

Bisa jadi, bukan peristiwa itu yang disesali Tgk Faisal. Sebaliknya,

sosok si pelaku (BU---red) yang menurutnya sudah keterlaluan.

Bayangkan, selain berpendidikan tinggi, BU juga sebagai salah seorang

juru dakwah di daerah ini.

Namun apa lacur, nasi sudah jadi bubur. Itu sebabnya, Wakil Ketua

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh ini tak sepakat dengan

langkah dan kebijakan yang diambil Pemko Banda Aceh melalui Dinas

Satpol PP dan WH, dengan tidak menghukum cambuk terhadap BU dan

pasangan mesumnya LS (23). Sebaliknya, hanya berdalih pembinaan.

“Dalam Islam tidak ada beda, apakah seorang hamba sahaya atau

pejabat maupun tokoh agama, yang tertangkap berkhalwat wajib

dihukum sesuai Syariat Islam yang mengatur tentang khalwat,” tegas

Tgk Faisal Ali kepada media ini, pekan lalu.

Penegasan Tgk Faisal memang sangat beralasan. Sebab, dugaan

praktek maksiat di Kota Banda Aceh, bak cendawan di musim hujan alias

tumbuh subur hampir di setiap sudut Kota Banda Aceh. Termasuk sudah

merambah ke kampus-kampus serta rumah kos (kontrakan---red). Ada

yang terang-terangan, sebaliknya ada juga yang sembunyi-sembunyi.

Ironisnya, Pemerintah Kota Banda Aceh terkesan diam. Jika pun

ada, hanya dalam bentuk razia pada tempat-tempat tertentu. Jika

tertangkap, proses hukum sesuai Syariat Islam, hampir tidak pernah

dilakukan. Dalihnya, masih dibutuhkan pembinaan. Akibatnya, praktik

Page 43: Wajah Syariat Islam di Media

Menegakkan Syariat Setengah Hati? | 31

maksiat terasa ada, tapi terkata tidak di kota bertajuk Bandar Wisata

Islami ini.

Memang, untuk menghalau aksi para pebisnis gelab tersebut, Wakil

Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal telah membentuk tim

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Sasarannya, selain memperkuat aqidah

juga untuk menindak pelaku pelanggaran Syariat Islam di Kota Banda

Aceh.

Upaya yang dilakukan bersama tim Muspida Kota Banda Aceh,

Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh serta jajaran Kepolisian ini memang

tidak sia-sia. Lihat saja, terhitung Januari hinga November 2012, ada

sekitar 439 kasus pelanggaran Syariat Islam yang berhasil dijaring dan di

tangkap di Kota Banda Aceh.

Rinciannya, ada 106 kasus pelanggaran Qanun No: 11 tahun 2002

tentang pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syariah

Islam. Tiga kasus pelanggaran Qanun No: 12 Tahun 2003 tentang

minuman khamar dan sejenisnya, dan 8 kasus untuk pelanggaran Qanun

No: 13 Tahun 2003 tentang maisir serta ada 223 kasus pelanggaran

Qanun No: 14 tentang khalwat/mesum. Sampai saat ini kasus khalwat/

mesum masih mendominasi.

Tapi sayang, usaha keras Pemko Banda Aceh tersebut, tidak dibarengi

dengan ketegasan dalam penegakan hukum terhadap pelaku dan

pelanggar Syariat Islam. Upaya hukum yang diberlakukan terhadap

pelanggar Qanun 12, 13, dan 14 tentang Syariat Islam tadi, berbeda

dengan beberapa daerah lainnya di Aceh.

Sebut saja Kota Langsa, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Pidie, Pidie

Jaya, Aceh Besar dan Aceh Barat. Di kabupaten dan kota ini, pemerintah

setempat memberlakukan hukum rajam dan cambuk terhadap pelaku

pelanggar Syariat Islam. Namun, tidak untuk kota yang dipimpin duet

Mawardi Nurdin-Illiza Sa’aduddin Djamal Pemko Banda Aceh lebih

memilih menerapkan pembinaan bagi para pelanggar Syariat Islam.

Page 44: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media32

Saat MODUS ACEH melakukan pengecekan ke Mahkamah

Syariah Banda Aceh, Jum’at pagi pekan lalu. Ditemui data yang relatif

menyesakkan dada. Menurut salah seorang pegawai Mahkamah Syariah

Banda Aceh yang menangani masalah hukum. Terhitung Januari hingga

7 Desember 2012 lalu, hanya ada satu pelanggaran syariat yang masuk

dan di adili di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh. Itupun sudah ada

putusannya.

“Untuk 2012 hanya ada satu kasus yang masuk, yaitu kasus khalwat

dan sudah diputuskan oleh hakim dengan hukuman cambuk lima kali.

Namun, Mahkamah Syariah belum bisa melakukan eksekusi karena

pelakunya tidak tahu dimana. Selain itu Mahkamah Syariah Banda Aceh

tidak punya biaya untuk melakukan eksekusi cambuk,” jelas pegawai

dibidang hukum tersebut.

Selain itu, dia juga mengatakan, selama ini Hakim Mahkamah Syariah

susah melakukan eksekusi cambuk karena si pelaku tidak ditahan. Dan,

dalam aturan qanun tidak ada kewenangan penahanan terhadap kasus

pelanggaran Syariat Islam, tambahnya lagi.

Namun, saat media ini mengatakan data Satpol PP dan WH Banda

Aceh, ada 439 kasus pelanggaran Syariat Islam di Banda Aceh. Ia

mengaku pihaknya tidak pernah menerima data tersebut dari Satpol PP

dan WH maupun pemerintah Kota Banda Aceh tidak pernah mengirim

data tersebut ke Mahkamah Syariah, Banda Aceh.

“Kami tidak menerima data tersebut, mungkin ada dikirim ke

penyidik Kejaksaan dan kasus tersebut selesai atau mentok ditingkat

penyidikan kami tidak tau. Mulai dari Januari 2012 hingga hari ini (7

Desember 2012—red) cuma satu kasus yang masuk,” ungkap perempuan

paruhbaya itu lagi.

Ironis memang, dari sekian ratus kasus pelanggaran Syariat Islam

2012 di Kota Banda Aceh, tapi hanya satu yang masuk ke Mahkamah

Syariah Kota Banda Aceh. Sisanya, raib entah kemana.

Page 45: Wajah Syariat Islam di Media

Menegakkan Syariat Setengah Hati? | 33

Penegakan Syariat Islam di Kota Banda Aceh memang belum sesuai

harapan, terutama dalam proses penjatuhan sanksi (penegakan hukum-

--red). Jika tak disebut tebang pilih ya pilih kasih. Kondisi ini diamini

Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H. Faisal Ali yang akrab di kenal Lem Faisal.

“Penegakan Syariat Islam di Kota Banda Aceh khususnya, belum

seperti yang diharapkan, meski razia di lakukan setiap sudut, namun

masih saja banyak tempat-tempat pelanggaran Syariat Islam. Begitu juga

dengan proses hukumnya masih jalan ditempat, bahkan saya melihat ada

kemunduran. Semestinya ada peningkatan bukan kemunduran,” kritik

Wakil Ketua MPU Aceh ini.

Tgk Faisal Ali menduga, bisa jadi, hilang sejumlah kasus tadi, karena

dipicu kurangnya tingkat kejujuran dan keadilan pemerintah dan

pelaksana Syariat Islam dalam memberlakukan aturan hukum Syariat.

Faktanya, penegakan Syariat Islam di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh,

masih belum sejalan dengan pemerintah. Ini berarti, banyak pelaku

pelanggaran Syariat yang tidak dijerat dengan hukum yang berlaku,

hanya diberi pembinaan saja. Padahal, pembinaan jelas tidak bisa

memberi efek jera bagi si pelaku.

“Contohnya, banyak tempat-tempat maksiat yang telah ditutup,

besoknya dibuka lagi dengan nama yang berbeda dan lokasinya sama.

Bahkan, anehnya lagi ada yang sudah ada putusan dari Mahkamah

Syariah namun tidak bisa dilakukan eksekusi karena si pelaku sudah

tidak ada ditempat, karena tidak ditahan serta alasan tidak ada biaya

untuk melakukan eksekusi cambuk (rajam),” kata tokoh agama dari Aceh

Besar ini.

Begitu juga denngan kasus khalwat yang dilakukan BU, salah satu

tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Kuta

Alam, Banda Aceh beberapa waktu lalu. Tak ada proses hukum yang

wajib dijalani pelaku tersebut. Sebaliknya, hanya pembinaan dan wajib

lapor terhadap BU, yang ditangkap sedang berduaan dengan pasangan

Page 46: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media34

bukan muhrim di Salon eks Tamara Jalan Pembangunan Peunayong,

Banda Aceh.

Inikah yang disebut penegakkan Syariat Islam setengah hati?

Entahlah, biar Pak Wali dan Ibu Wakil Walikota Banda Aceh yang

menjawabnya. Termasuk tindaklanjut kasus yang menimpa BU bersama

pasangan khalwatnya.***

Page 47: Wajah Syariat Islam di Media

Surat Terakhir dari Putri

Jajang Jamaludin dan Imran MA

SEORANG remaja perempuan ditemukan mati tergantung setelah

ditangkap polisi syariah di Langsa, Aceh. Sempat membela diri lewat

surat.

Teriakan bocah lelaki mengagetkan sejumlah pria yang tengah asyik

bercengkerama di warung kopi. Malam itu, Kamis dua pekan lalu, jarum

jam baru menunjuk pukul 21.30 lewat sedikit. “Gantung..., gantung...,”

teriak anak sebelas tahun itu sambil menghambur ke arah warung kopi.

Dengan napas memburu, si bocah menunjuk-nunjuk ke arah rumah

bambu, tak jauh dari warung kopi di Desa Aramiah, sekitar 13 kilometer

dari Kota Langsa, Aceh.

Yusri, ayah anak itu, bergegas menuju rumah beratap rumbia seluas 21

meter persegi tersebut. Beberapa tetangga mengikuti dengan penasaran.

Betapa kagetnya Yusri tatkala membuka pintu kamar anaknya. Di

dalam kamar terlihat tubuh anak perempuannya, Putri Erlina, tergantung

di kayu palang kamar. Leher gadis 16 tahun itu terjerat tali plastic berlapis

dua. Ujung kakinya menyentuh lantai, dengan lutut agak bengkok. “Saya

langsung melapor ke polisi,” kata Keuchik (semacam lurah) Jailani,

menuturkan kejadian itu kepada Tempo, Kamis pecan lalu.

Kepala Kepolisian Sektor Birem Bayeun Inspektur Satu Zulkarnaen

mengatakan kematian Putri mengandung beberapa kejanggalan. Antara

lain, palang kayu tempat jasad korban tergantung hanya terpaut sejengkal

di atas kepalanya.

Tanda-tanda orang gantung diri juga tak terlalu tampak. Kecuali ada

bekas luka jeratan tali di leher, polisi tak menemukan bekas kekerasan

Page 48: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media36

pada jenazah korban. Untuk memastikan penyebab kematian, malam

itu juga polisi membawa jenazah ke Rumah Sakit Umum Langsa. Dokter

forensik memastikan Putri meninggal karena bunuh diri.

Malam itu kabar kematian Putri memang hanya menyebar di Desa

Aramiah. Tapi, beberapa hari kemudian, cerita beredar ke mana-mana,

bahkan sampai luar Aceh. Di Jakarta, misalnya, dalam sepekan terakhir,

kasus Putri terus menjadi pembicaraan para aktivis perlindungan hak

anak.

Kasus Putri kembali memperingatkan kita, orang dewasa, tentang

bagaimana seharusnya memperlakukan anak,” kata Seto Mulyadi,

mantan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, dalam jumpa pers

bersama di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak

Kekerasan (Kontras) Jakarta, Kamis pekan lalu.

***

KEMATIAN Putri menjadi kian tak biasa karena berkaitan dengan

penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah. Senin dinihari dua

pekan lalu, polisi syariah (wilayatul hisbah) Aceh merazia kawa san

Lapangan Merdeka, Kota Langsa. Menurut qanun (peraturan daerah) di

Aceh, polisi syariah Aceh berwenang mengawasi penegakan syariat Islam

di wilayah itu.

Salah satu perbuatan terlarang menurut qanun adalah khalwat atau

“aksi bersunyi-sunyi dengan pasangan beda jenis yang tak punya ikatan

keluarga”. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 menyebutkan, orang yang

terbukti khalwat dihukum cambuk di depan umum minimal tiga kali dan

maksimal sembilan kali. Hukuman lainnya, membayar denda Rp 2-10

juta.

Dalam razia dinihari itu, sejumlah perempuan dan lelaki yang biasa

nongkrong di lapangan Merdeka Langsa lolos dari sergapan aparat. Tapi

Page 49: Wajah Syariat Islam di Media

Surat Terakhir dari Putri | 37

tidak dengan Putri. Bersama seorang teman perempuannya, dia terjaring

razia. Selain mereka, dua pemuda tanggung yang sedang begadang di

lapangan itu ditangkap.

Polisi syariah lalu membawa Putri dan ketiga orang itu ke markas

polisi syariah Langsa. Di sana, Putri dan temannya tak hanya dicatat

identitasnya, tapi juga diinterogasi perihal hubungannya dengan dua

pemuda itu. “Mereka mengaku tak saling mengenal,” kata Kepala Dinas

Syariat Islam Kota Langsa Ibrahim Latief.

Lantas polisi syariah mengorek alasan mengapa anak muda itu

berkeliaran di luar hingga dini hari. Kepada polisi, Putri dan rekannya

mengaku tertinggal rombongan saat pulang setelah menonton

pertunjukan organ tunggal di Langsa, sementara pada dinihari tak ada

lagi kendaraan umum menuju Aramiah.

Karena dua gadis itu termasuk usia anak, polisi syariah tak

menyerahkan mereka ke penyidik untuk dibawa ke mahkamah

(pengadilan syariah). Alasan lainnya, Putri dan rekan perempuannya

baru sekali itu terjaring razia.

Pagi harinya, polisi syariah pun memanggil Kepala Desa Aramiah

dan wali kedua gadis untuk membawa pulang mereka. Saat diminta

siapa nama orang tuanya untuk dipanggil, menurut Ibrahim, Putri

tak menyebut bapak atau ibunya. Dia meminta dijemput bibinya,

Jasminawati, yang tinggal di Matang Seulimeng, masih di Kota Langsa.

Ketika akan melepas mereka, polisi syariah memberi nasihat

kepada Putri dan penjemputnya. Polisi juga meminta mereka membuat

pernyataan tidak akan lagi keluyuran pada malam hari. “Mereka masih

anak-anak. Jika tidak dicegah, berbahaya,” kata Ibrahim.

Pagi itu, Putri dan temannya memang lolos dari ancaman hukuman

cambuk atau denda. Tapi penangkapan mereka ini rupanya terdengar

wartawan setempat. Pada edisi Selasa, 4 September, sebuah koran lokal

menurunkan berita berjudul “Dua Pelacur ABG Ditangkap Menjelang

Page 50: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media38

Subuh”. Berita itu menerangkan dua anak baru gede ditangkap polisi

syariah ketika berada di tengah kumpulan pemuda di sekitar Lapangan

Merdeka, Langsa. Berita itu pun dilengkapi rumor tentang perburuan

terhadap seorang germo oleh Dinas Syariat.

Di rumah bibinya, Putri rupanya tak kerasan. Setelah menginap

satu malam, sore harinya Putri minta izin pulang ke Aramiah. “Meski

dilarang, hari itu dia ngotot pulang,” kata Nurul, ibu Putri, yang sudah

dua tahun cerai dengan Yusri. Padahal di kampungnya pergunjingan

mengenai penangkapan Putri mulai panas. Kepada Tempo, misalnya,

seorang warga Desa Aramiah mengatakan rumor penangkapan Putri

ramai dibicarakan sejak ada warga desa yang membaca berita di koran

lokal itu.

Setiba di Aramiah, Putri masih berani keluar dari rumah. Dia pun

Kematian Putri Erlina tak hanya mengundang ucapan bela sungkawa dari masyarakat biasa. Kematian putri pun memantik kembali perlawanan kalangan aktivis perlindungan hak anak dan perempuan terhadap peraturan yang mereka anggap diskriminatif. “Putri menjadi korban kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama,” kata Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam siaran persnya, Jum'at pekan lalu.

Komnas Perempuan mencatat, di Indonesia, jumlah kebijakan

Diskriminasi Sana-Sini

Jajang Jamaludin

—Tulisan Boks—

Page 51: Wajah Syariat Islam di Media

Surat Terakhir dari Putri | 39

sempat bertegur sapa dengan beberapa tetangga yang melintas di

depan rumahnya. Kebetulan di dekat rumah Putri ada tetangga yang

menyiapkan acara mengantar pengantin ke desa lain.

Menjelang magrib, Kamis dua pekan lalu, Yusri meminta Putri masuk

ke rumah. Setelah salat magrib, Yusri berbaur dengan tetangga yang

menyiapkan hajatan. Begitu pula kakak dan adik lelaki Putri. Selama

hampir tiga jam, kegiatan Putri di rumah tak terpantau. Baru sekitar

pukul 21.30, adik lelaki Putri kembali ke rumah untuk minum. Saat

itulah sang adik melihat tubuh kakaknya tergantung.

Atas kesepakatan keluarga, Putri dimakamkan di Matang Seulimang.

Dua hari setelah pemakaman, sang bibi menemukan sepucuk surat

terselip di dalam tas yang biasa dibawa anak jebolan kelas II SMP itu. Isi

surat itu antara lain:

diskriminatif atas nama moralitas dan agama terus bertambah. Sampai 17 Agustus 2012, peraturan yang mengandung muatan diskriminasi berjumlah 282 buah—sebanyak 126 di antaranya diterbitkan pemerintah daerah.

Sebanyak 207 peraturan secara langsung diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, dengan cara memaksakan gaya berbusana perempuan, mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi atau pornografi, membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam, dan membedakan perempuan dari laki-laki dalam menikmati haknya untuk bekerja.

Khusus di Aceh, Komnas Perempuan mencatat ada 15 kebijakan diskriminatif. Peraturan tersebut menyebar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Salah satunya adalah Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khlawat atau Perbuatan Mesum.

Page 52: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media40

Menurut Pasal 1 butir 20 Qanun itu, Khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Setiap orang dilarang melakukan khalwat, memberikan fasilitas atau kemudahan, serta melindungi orang melakukan khalwat (Pasal 4 sampai 6).

Qanun itu juga menegaskan, siapa pun yang melanggar larangan Khalwat bakal dihukum cambuk, minimal tiga kali dan maksimal sembilan kali. Pelanggar larangan Khalwat juga diancam hukuman penjara paling singkat dua bulan dan paling lama enam bulan (Pasal 22). Adapun orang yang mengulangi pelanggaran atas larangan Khlawat hukumannya ditambah 1/3 dari hukuman maksimal.

Selama ini, hukum dicambuk rotan biasanya dilakukan di tempat umum. Qanun memang mengatur agar kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai terhukum. Para perancang Qanun, seperti mereka tegaskan dalam bagian penjelasan, meyakini hukuman cambuk akan

“Ayah…, maafin Putri ya yah. Putri udah malu-maluin ayah sama

semua orang. Tapi Putri brani sumpah kalo Putri gak pernah jual diri sama

orang. Malam itu Putri cuma mau nonton kibot (keyboard) di Langsa,

terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.”

Sekarang Putri gak tau harus gimana lagi, biarlah Putri pigi cari hidup

sendiri. Putri gak dha gunanya lagi sekarang….”

Sejauh ini belum ada pengujian ilmiah apakah surat itu benar-

benar dibuat Putri. Tapi keluarga meyakini surat itu asli tulisan Putri.

Di samping gaya bahasanya, tulisannya memang persis tulisan tangan

Putri. Hal yang menambah keyakinan keluarga, tanda tangannya juga

sama dengan tanda tangan Putri dalam surat pernyataannya di depan

polisi syariah.

Page 53: Wajah Syariat Islam di Media

Surat Terakhir dari Putri | 41

lebih efektif dengan memberi rasa malu bagi si pelanggar dan tidak menimbulkan risiko bagi keluarga.

Komnas Perempuan tentu saja tak sependapat dengan para perancang Qanun. Menurut Komnas, hukum yang dibuat untuk mempermalukan orang sering salah kaprah, terutama jika yang terkena hukuman itu anak-anak. Sebaliknya, hukum seperti itu sering menimbulkan trauma dan cap buruk (stigma) yang berkepanjangan bagi anak-anak. Apalagi, sepanjang pemantauan Komnas Perempuan, pelaksanaan sejumlah Qanun di Aceh pun kerap diikuti berbagai tindak kekerasan, termasuk pemukulan, dimandikan dengan air comberan, diarak, atau dipaksa nikah di bawah umur.

Alhasil, “Kasus Putri harus menjadi titik balik bagi pemerintah untuk merevisi aturan yang bermasalah,” kata Andy dalam jumpa pers bersama sejumlah aktivis di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Kamis pekan lalu.[]

Terlepas dari penyebab kematiannya, banyak pihak berharap agar

Putri menjadi korban terakhir dari penerapan qanun yang dibuat dan

diterapkan tanpa memperhatikan perlindungan atas hak-hak anak.

“Ini bukan anak perempuan pertama yang jadi korban aturan represif.

Jangan sampai ada Putri yang lain,” kata Andy Yentriyani dari Komisi

Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan.[]

Page 54: Wajah Syariat Islam di Media
Page 55: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Tersandung Rupiah

Saifullah Nurdin

SUASANA kantor Mahkamah Syariah Islam Lhoksukon di Desa

Kampung Baru, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara terlihat sepi, Selasa

(11/12/2012). Sejumlah sidang di kantor itu telah selesai dilaksanakan.

Di kantor ini pula, sidang pelanggaran syariat Islam digelar. Baik itu

sidang untuk perkara khamar, maisir, dan khalwat.

“Sejak Januari 2012 sampai saat ini majelis hakim Mahkamah Syariah

Aceh Utara telah memvonis dua kasus masing-masing kasus khalwat

dan maisir (judi). Tahun lalu kami juga memvonis dua kasus yang sama.

Sedangkan tahun 2010 tidak ada kasus yang masuk ke kami,” sebut

Humas Mahkamah Syariah Lhoksukon, Sardili kepada WartaAceh.com.Selain itu, sambung Sardili, saat ini pihaknya sedang menyidangkan

delapan kasus pelanggaran syariat Islam. Dari kasus khalwat, maisir

sampai kasus khamar. “Belum ada vonis untuk delapan kasus ini,” terang

Sardili pria berkumis tipis ini.

Lalu, kapan dilakukan hukum cambuk? “Untuk melakukan eksekusi

cambuk sesuai amanah qanun (peraturan daerah) itu kewenangan

Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhoksukon,”sebutnya sambil tersenyum.

Pelaksanaan syariat Islam diberlakukan secara menyeluruh di

Provinsi Aceh sejak tahun 2002 lalu. Pemberlakuan itu ditandai dengan

disahkannya qanun No 11/2002 tentang pelaksanaan syariat bidang

akidah dan ibadah, disusul qanun No 12/2003 tentang khamar, Qanun No

13/2003 tentang maisir, dan terakhir qanun No 14/2003 tentang khalwat.

Pelaksanaan hukum cambuk khusus di Aceh Utara baru dilakukan 1

Mei 2008 silam atau enam tahun setelah disahkannya qanun tersebut.

Page 56: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media44

Saat itu, tujuh pelaku pelanggaran syariat Islam dihukum cambuk

di Lapangan Upacara Lhoksukon, Aceh Utara. Namun, riuh rendah

semangat penegakkan syariat Islam perlahan sirna. Buktinya, sejak tahun

2010-2012 Pemkab Aceh Utara tidak menganggarkan dana pelaksanaan

hukuman cambuk.

“Kami tidak punya dana untuk pelaksanaan hukuman cambuk itu.

Dana itu ditanggung oleh pemerintah daerah. Jika ada dananya, maka

kita siap melaksanakan vonis mahkamah syariah yaitu melakukan

eksekusi cambuk,” sebut Kejari Lhoksukon, Aceh Utara, T Rahmatsyah

melalui Kasi Pidana Umum, Dahnir SH.

Disebutkan, pihaknya akan membicarakan persoalan dana tersebut

ke Pemerintah Aceh Utara. “Semoga tahun depan, bisa dialokasikan

anggarannya. Anggaran kita butuhkan untuk menyediakan tenaga

medis,” terang Dahnir.

Kepala Kantor Satuan Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol

PP dan WH) Aceh Utara, T Bachrumsyah membenarkan pihaknya tidak

mengusulkan dana pelaksanaan hukum cambuk tiga tahun terakhir.

“Ini karena keterbatasan keuangan daerah. Sekali pelaksanaan hukum

cambuk kita mengeluarkan dana sebesar Rp 35 juta. Jadi, ya kita tidak

memiliki dana itu,” ujar T Bachrum.

Disebutkan, dalam pelaksanaan hukum cambuk dibutuhkan

pengamanan dari polisi dan tim dinas kesehatan. Selain itu, sambung

T Bachrum, selama ini banyak kasus-kasus pelanggaran syariat Islam

diselesaikan secara adat di tingkat desa. “Tahun depan kita usulkan

dalam APBK,” ujarnya.

Harus DianggarkanSementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

Utara, Tgk H Mustafa Achmad menyebutkan seharusnya Pemkab Aceh

Utara mengalokasikan anggaran untuk penerapan syariat Islam tersebut.

Page 57: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Tersandung Rupiah | 45

“Jika alasannya terlalu besar dana itu, kan bisa dirasional. Diperkecil

anggarannya. Terpenting anggaran itu dialokasikan. Ini sesuai perintah

qanun yang telah disahkan di Aceh. Sehingga, pemberlakuan syariat

Islam bisa berjalan maksimal,” terang Pimpinan Dayah Darul Huda,

Paloh Gadeng, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara itu.

Dia meminta, agar Pemkab Aceh Utara serius mengawal penegakan

syariat Islam di kabupaten tersebut.

Sementara, Ketua Komisi D, DPRK Aceh Utara, Tgk Junaidi,

menyebutkan selama tiga tahun terakhir memang tidak ada usulan dana

pemberlakuan hukum cambuk dari Kantor Satpol PP dan WH Aceh

Utara.

“Sejak saya duduk di DPRK tiga tahun terakhir, tidak ada dana

yang diusulkan oleh eksekutif. Kita sudah bilang, untuk APBK 2013

mendatang, harus ada dana itu. Kita mendukung penerapan syariat

Islam di Aceh Utara,” terang politisi Partai Aceh tersebut.

Ditambahkan, dalam RAPBK Aceh Utara 2013 Kasatpol PP dan WH

telah mengusulkan dana untuk pelaksanaan hukum cambuk tersebut.

“Dananya sekitar Rp 100 juta yang diusulkan. Kami akan menyetujui

dana itu,” tegas Tgk Junaidi.

Dia meminta, upaya penegakkan syariat Islam bukan hanya

sebatas pemberlakuan hukum cambuk. Namun, di sekolah formal

harus diperbanyak pendidikan agama Islam. Sehingga, generasi muda

memahami hukum Islam dengan baik.

Kini, penerapan syariat Islam masih jalan terseok-seok. Semangat

peneggakan syariat hanya sebatas wacana, dan tertulis di atas kertas.

Namun, soal dana tunggu dulu. Syariat di Aceh Utara tersandung dana:

Rupiah tak mengalir untuk sektor penerapan hukum Allah itu []

Page 58: Wajah Syariat Islam di Media
Page 59: Wajah Syariat Islam di Media

Bisnis Salon dan Esek-Esekdi Kota Bandar Wisata Islami

Fitri Juliana

TAK ada asap jika tidak ada api. Bisa jadi, prinsip inilah yang dipegang

Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Dia mengaku

sudah gerah dengan berbagai praktik maksiat di kota bertajuk: Bandar

Wisata Islami ini.

Untuk menghalaunya, dia membentuk tim Amar Ma’ruf Nahi

Mungkar. Sasarannya, selain memperkuat aqidah juga untuk menindak

pelaku pelanggaran Syariat Islam di Kota Banda Aceh.

Nah, sejak enam bulan terakhir, Wakil Walikota Banda Aceh dan tim

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar gencar melakukan razia dan penertiban di

hampir setiap sudut Kota Banda Aceh, terutama di beberapa tempat

yang disinyalir sebagai lokasi pelanggaran Syariat Islam di Banda

Aceh. Sebut saja, salon, cafe, dan tempat-tempat wisata yang ada di

Koetaraja.

Sabtu malam dua pekan lalu misalnya, sekira pukul 23.15 WIB, tim

gabungan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar melakukan razia di Kecamatan

Kuta Alam, Banda Aceh. Hasilnya ditemukan beberapa barang bukti

berupa minuman keras dan telah disita oleh petugas Satpol PP dan WH

Banda Aceh.

Tak hanya itu, dalam penggerebekan yang dilakukan di Cafe Kuliner,

Kecamatan Kuta Alam, Wakil Walikota Banda Aceh dan Sekda Kota

Banda Aceh, juga menemui pemilik warung, Zulfikar (38). Dalam

pembicaraan singkat tersebut, Sekda Kota Banda Aceh mengatakan,

usaha milik Zulfikar selama ini dijadikan sebagai tempat transaksi seks.

Page 60: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media48

Selain itu, beberapa botol minuman keras juga ditemui di lokasi

cafe. Mengenai penemuan ini, Zulfikar membantah kalau di warungnya

menjual minuman keras. Menurutnya, minuman botol keras yang

ditemukan adalah milik pelanggan cafe yang dibawa secara sembunyi-

sembunyi ke cafe miliknya.

Wakil Walkot Banda Aceh, Illiza mengingatkan, cafe kuliner milik

Zulfikar yang disewa dari Pemko Banda Aceh akan disegel karena sudah

melanggar ketentuan Qanun Syariat Islam. Alasannya, selama ini fungsi

cafe tersebut sudah disalahgunakan menjadi tempat maksiat.

Selain cafe dan tempat-tempat hiburan serta wisata, salon kecantikan

pun kerap menjadi lahan basah dan mudah untuk mengembangkan bisnis

bawah pusar ini. Entah karena tidak mudah dilacak atau dibekingan

orang kuat, sehinga Satpol PP dan WH agak enggan melangkah atau

melakukan operasi.

Salon kecantikan memang kerap dijadikan sebagai lokasi tempat

transaksi prostitusi yang kian hari semakin menjamur. Padadal, telah

beberapa kali ditertibkan. Seperti diwartakan MODUS ACEH, Edisi 31

Tahun VIII, 03 Desember 2010 ( “Bisnis Esek-esek di Koetaradja”). Dan

Edisi 23-29 Januari 2012 (“Trafficking dan Bisnis Esek-Esek di Koeta

Raja”).

Bisnis esek-esek berkedok salon kecantikan di kota berlebel Bandar

Wisata Islami ini, memang sudah menjadi rahasia umum. Bak cendawan

di musim hujan. Pundi-pundi rupiah begitu leluasa diraup dari bisnis

ini. Jumlahnya pun, sangat menggiurkan para murcikari. Bayangkan,

gadis-gadis belia yang masih di bawah umur kerap menjadi sasaran para

“mami” untuk kemudian memperkerjakan sebagai pemuas nafsu laki-

laki hidung belang.

Banyak dari mereka terjebak dalam praktik ini karena diiming-iming

bayaran besar dan ancaman para mami berakal bulus. Selain di salon-

salon di Banda Aceh, gadis-gadis dibawah umur ini juga di perdagangkan

Page 61: Wajah Syariat Islam di Media

Bisnis Salon dan Esek-Esek di Kota Bandar Wisata Islami | 49

keluar negeri, seperti Singapura dan Malaysia.

Entah karena berlabel negeri Syariat Islam, bisnis tadi masih tergolong

tertutup di Aceh. Begitupun, ibarat pepatah, terasa ada, tapi terkata

tidak. Karena itu jangan heran, para pelakon bisnis esek-esek ini berhasil

meraup jutaan rupiah dari para pria hidung belang. Maklum, karena

alasan tertutup itulah, para penyaji nafsu syahwat tadi bisa menaikkan

tarif di atas rata-rata yang berlaku di Medan, Jakarta, Bandung atau

bahkan Surabaya.

Begitupun, sepandai-pandai tupai meloncat dan para mami bisnis

esek-esek menutupnya. Toh, akhirnya terkuak juga. Salah satu buktinya

adalah, BU yang ditangkap di Salon Tamara, Jalan Pembangunan,

Peunayong, Banda Aceh.

Salon kerab dijadikan tempat transaksi bisnis haram tersebut,

dikarenakan salon lebih aman dari razia WH dan aparat kepolisian. Dan

hampir semua salon di Banda Aceh menyediakan pijit plus-plus. Seperti

halnya lima unit salon milik Mami L yang dijuluki Ratu Salon yang sempat

digerebek Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Januari 2012 lalu.

Begitu juga halnya dengan Salon N yang terletak di Jalan Teratai,

Kampong Baro, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Kamis pekan

lalu juga digerebek Satpol PP dan WH Banda Aceh, pukul 11.45 Wib.

Salon tersebut juga dicurigai sering dijadikan tempat mesum.

Maka tak perlu heran jika bisnis salon kecantikan selalu dikaitkan

dengan prostitusi, karena hampir semua salon kecantikan di Banda Aceh

menjalankan praktik ini. Selamat datang di Kota ‘Salon’ Bandar Wisata

Islami.[]

Page 62: Wajah Syariat Islam di Media
Page 63: Wajah Syariat Islam di Media

’Tiga Hari Jelang AjalMenjemput Puteri’

Imran MA

Setelah dijemput dari kantor Dinas Syariah Islam,PE berada dirumah tantenya disebuah desa di

Kota Langsa, apa aktivitas PE disini, ceriakah dia, murungkah atau ada informasi lain yang terungkap ?

SETELAH dijemput dari kantor Dinas Syariah Islam. Dirumah PE

mengurung diri, karena kelakukan itu Jasminawati sempat bertanya

ngapain mengurung diri, bukan nya mandi dan makan dulu.

Namun ajakan dan bujukan itu dibiarkan saja oleh PE, ia tetap tak

mau keluar dari kamar, dan baru setelah dua hari ia keluar untuk makan.

“Dia terlihat tidak semangat, tatapannya kosong, kami minta dia mandi,

apalagi saat itu dia sedang halangan, makan, dua hari baru mau makan,”

Ujar Jasminawati mengenang.

Dua hari (Senin malam, Selasa Malam) dirumah Jasminawati, sorenya

hari Rabu PE meminta izin untuk kembali kerumah orang tua lakinya di

Desa Aramiah kecamatan Bireum Bayeun, saat itu PE beralasan untuk

mengambil baju.

Saat itu keluarga Jasmiati sempat melarang agar PE tidak usah

kembali dulu ke Bireum Bayeuen, biar dirumah di Langsa dulu. Namun

PE tetap ngotot untuk pulang, katanya mau ngambil baju dan esoknya

dia janji balik lagi.

Setelah semalam di Bireum Bayeun (Rabu Malam), Hari Kamis (Kalo

tidak salah ya, Kata Tante PE -Red). PE kembali lagi kerumah Tantenya

Page 64: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media52

di Langsa. Saat itulah sempat ada curhatan dari PE kepada Tantenya.

(Pernyataan ini ada rekaman audio dan vidio)

Saat itu PE mengatakan “ PE malulah ibuk ada yang gunjing PE,” Bis

tu katanya ada di koran lagi,” Aku Tante PE menirukan ucapan PE saat

ditemui dirumahnya Minggu 30 September 2012. (Pernyataan ini ada

rekaman audio dan vidio)

“Ya udah kalau begitu, kamu disini saja, ngapain pulang kesana,”

Jawab tante sambil menghibur.

Tak sampai sehari ia kembali lagi ke Bireum Bayeun, disana ia

bergabung dengan beberapa temen dikampung, lagian satu rumah

berselang sedang ada hajatan “Peugot Ranub” Pengantin baru.

Kamis sore, jelang insiden bunuh diri, PE sempat bersosialisasi dengan

tetangga dan temen–temen perempuan dikampung. Seorang temannya

di kampung kepada reporter acehtraffic.com bercerita, saat melihat PE

berada didepan rumah persisnya dipinggir jalan Medan-Banda Aceh itu,

iapun menyapanya

“He P ngapain? Tanya seorang kawannya berinisia A. Terus PE

menjawab ,” Ah suntuk x aku, lagi nunggu kawan lewat,” Jawab PE.

Reporter acehtraffic.com sempat berkali-kali mengulang tentang

keterangan ini, karena bila salah, takutnya pembaca akan mengasumsikan

ini..dan itu. Dan bukan mustahil jika keterangan disini PE sedang

menunggu di jemput, orang bakal berpikir siapa gerangan penjemput PE?

Menurut kawannya (Ada rekaman) bahwa PE hari itu berharap ada

kawannya yang lewat dari arah Sungai Raya atau dengan kata lain dari

arah Aceh Timur menuju Langsa. Karena kebiasaan jam-jam sore ada

kawannya yang melintas.

Bila ia lihat ada kawan yang sedang berkenderaan dijalan, maka

harapannya dia akan memanggil. Artinya berdasarkan keterangan

kawannya ini bukanlah PE hari itu menunggu di jemputan kawan.

Pertemuan dengan kawan yang satu ini berlangsung hingga pukul 19.00

Page 65: Wajah Syariat Islam di Media

’Tiga Hari Jelang Ajal Menjemput Puteri’ | 53

Wib lewat.

Setelah ngobrol sejenak A pun kembali kerumah yang tak seberapa

jauh dari rumah PE. sekitar pukul 20.00 Wib, seorang kawan ceweknya

yang lain berinsial N juga sempat bertemu, dalam pertemuan ini PE

tidak menceritakan apa-apa, yang ada dia bilang suntuk karena tidak

mengantongi HP. Setelah itu N pun kembali kerumah.

Sementara Yusrin orangtua PE mengungkapkan ia terakhir

berkomunikasi dengan PE menjelang Magrib, Kamis 6 September 2012.

setelah itu ia pergi ke sebuah warung yang tidak seberapa jauh dari

rumahnya.

Sekitar 21:30, tiba-tiba sebuah kabar mengejutkan dibawa anaknya,

Aries (11) tahun masuk kedalam rumah untuk minum. Namun alangkah

kagetnya ketika dia liat kakanda tercinta sedang dalam posisi tergantung

didalam kamar.

Saat itulah Aries keluar dan dengan berteriak minta tolong …sambil

menyebutkan gantung..gantung….

Sejumlah orang kampung yang sedang menyiapkan “Mee Ranup”

Pengantin dirumah tetangga tersentak mendengar kabar itu. Yusrin serta

paman korban berlarian ke dalam rumah, diikuti puluhan warga lain.

Apa yang dilihatnya? PE tergantung dengan tali plastic tersambung

dengan robekan kain spree ditiang kamar berbahan kayu mangrove,

tingginya sejengkal diatas kepala, saat ditemukan lutut dalam posisi

bengkok.

Kondisinya tidak menjulur lidah, dan tidak ditemukan keluar cairan

dari hidung, begitu juga dengan mata dalam kondisi tidak melalak.

”Saya tampung lehernya, saya minta potong tali sama pamannya,” Ujar

Yusrin yang ditemui masih terlihat berduka dirumahnya, 30 September

2012 lalu.

Pasca kejadian itu sejumlah anggota polisi datang, untuk memastikan

penyebab kematian, Jenazah korban diangkut ke rumah sakit daerah

Page 66: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media54

Langsa untuk keperluan pemeriksaan forensik. Dari pemeriksaan itu

keluar hasil, bahwa PE murni bunuh diri.

Kondisi setelah PE meninggal tanpa menjulur lidah dan ciri atau

lazimnya korban bunuh diri lainnya, sempat menimbulkan keraguan para

pihak. Termasuk para pihak yang sedang ada “Bau sengketa soal ini”.

Namun Kapolsek Bireum Bayeun dengan terang menjelaskan.

“Memang banyak kasus bunuh diri cirinya menjulur lidah dan lainnya,

tetapi kami polisi kan tidak bisa memutuskan itu, maka yang tangani

adalah dokter forensic, dan mereka lah yang memutuskan apakah itu

bunuh diri atau tidak,” dan ternyata setelah keluar hasil Dokter Forensik

nyatakan itu bunuh diri.

Dia juga menambahkan dibadan puteri tidak ditemukan tanda

kekerasan yang lain terkecuali bekas tali yang membuat leher korban

memerah yang panjangnya sekira 30 cm melingkar.

Zulkarnaen juga mengungkapkan berdasarkan keterangan dokter

forensik, tidak semua kasus gantung diri dengan kondisi lidah menjulur.

Gantung diri juga bisa saja dilakukan ditempat yang rendah, misalnya

dengan menggunakan alat bantu meja dipasang tali lalu dilarotkan

badan.

”Karena kan kalau tenggorokan udah kena, aliran pernafasan sudah

terhenti, kita bisa meninggal juga, Kata dokter Forensik begitu, “Jadi

kesimpulan berdasarkan dokter Forensik, itu kasus bunuh diri murni,

dan kita belum temukan unsur pidana yang lain,” Ujar Iptu Zulkarnaen.

Jumat 7 September 2012 PE di kebumikan didesa tempat domisili

tantenya. Innalillahi Waiinna Ilaihi Rajiun. Semoga almarhumah

mendapat tempat yang layak disisi-Nya.

Page 67: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam setengah hati

Siti Luluk Raihan

RAHMI, (20) mahasiswi fakultas ekonomi Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh dengan kesal menandatangani surat pernyataan untuk

menaati aturan berbusana muslim yang wajib di gunakan jika berada di

luar rumah.

Rahmi adalah satu dari seratusan perempuan yang terjaring razia

pakaian ketat yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (polisi syariat

Islam), Dinas Syariat Islam dan Satpol PP yang di gelar di jalan Teuku

Nyak Arief Banda Aceh.

Rahmi sempat terlihat beradu argumen dengan petugas, ia bersikeras

pakaiannya tidak begitu ketat, namun kenapa ia harus menandatangani

surat pernyataan. “ Gak adil ne pak, tuh yang pakaiannya lebih ketat

kenapa tidak di berhentikan , malah ada yang gak pakai jilbab, apa karena

mereka naik mobil” ujarnya kesal.

Rahmi yang mengaku berasal dari pulau Simeulu, Sinabang,

mengatakan ada kasus khalwat (mesum) yang melibatkan salah satu

pejabat di daerahnya namun tak tersentuh hukum.” Saya kecewa dengan

syariat Islam di Aceh, hanya rakyat kecil yang di cambuk, mending di

cabut aja status Syariat Islam ini “ Kata Rahmi.

Minimnya jumlah petugas membuat banyak perempuan yang

menerobos razia. Kepala operasi penegakan Syariat , Syamsuddin

mengatakan razia tersebut untuk memberikan arahan bagi para

perempuan untuk menggenakan pakaian yang sesuai dengan status

Syariat Islam di Aceh berdasarkan Qanun No. 11 Tahun 2002. “ Mereka

yang baru pertama sekali terjaring dalam razia kali ini akan di nasehati

Page 68: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media56

dan menandatangi surat pernyataan, jika kemudian masih terjaring juga

akan kami panggilkan orangtua mereka,” ujarnya.

Begitulah penegakan syariat Islam di Aceh, dimana selalu rakyat

kecil yang menjadi korban. Tidak sedikit masyarakat Aceh yang kecewa

dengan status Syariat Islam , karena hanya mengurusi cara berpakaian.

Pak Bahtiar (50),warga Setui, Banda Aceh mengatakan penegakan

syariat Islam di Aceh hanya omong kosong.”Kalau memang Aceh serius

memberlakukan Syariat Islam , buat Qanun (Perda) hukuman mati bagi

para Koruptor di Aceh. Malu kami, daerah Serambi Mekkah, daerah

terkorup nomor 3 di Indonesia”.

Apa yang dikatakan Pak Bahtiar memang sangat beralasan, bagaimana

tidak berdasarkan hasil penelitian lembaga anti korupsi FITRA, Aceh

menempati posisi runner up sebagai daerah terkorup di Indonesia. Hal

ini tentu saja menjadi cambuk bagi pemerintah Aceh baru.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang baru beberapa bulan menjabat

bisa jadi tak enak makan dan minum setelah mendapat ‘gelar’ dari

FITRA. Doto Zaini pun langsung bergerak cepat untuk membersihkan

nama Aceh yang terlanjur dicap sebagai daerah terkorup nomer 2 di

Indonesia.

Langkah yang dilakukan Doto Zaini dengan mengandeng KPK dan

BPK layak diapresiasikan, namun kita berharap ini bukan hanya sekedar

pencitraan dimasa-masa awal menjabat sebagai orang nomor satu di

Aceh.

Syariat Islam di Aceh awalnya diharapkan membawa provinsi ini

menuju kesejahteraan dan kenyamanan hidup bagi masyarakatnya,

namun hingga 12 tahun pelaksanaannya pemberlakukan syariat Islam

masih terkesan dipaksakan.

Sikap apatis yang timbul dari masyarakat terhadap pelaksanaan syarit

Islam di Aceh berawal dari banyaknya kasus pelanggaran syariat Islam

yang menimpa kalangan pejabat dan birokrat namun tidak jelas tindakan

Page 69: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam setengah hati | 57

hukumnya, akan tetapi jika masyarakat kecil yang melanggar syariat

Islam, algojo siap mencambuknya dimuka umum usai Shalat Jumat.

Kaum perempuan merasa syariat Islam hanya dipaksakan kepada

mereka, seperti kewajiban memakai jilbab. Tidak ada satupun

masyarakat muslim Aceh yang menolak pemberlakukan syariat Islam

jika pelaksanaannya tidak pilih kasih.

Kita bisa melihat kejadian yang menimpa Rahmi saat razia busana

muslim oleh Satpol PP dan WH. Meskipun sudah berpakain sopan dan

berjilbab, Rahmi tetap harus berurusan dengan petugas, karena petugas

menganggapnya memakai pakaian yang ketat.

Ketika Rahmi menunjuk sebuah mobil mewah lewat dengan

perempuan muda yang tidak berjilbab, petugas dengan enteng

mengatakan yang naik mobil tidak kena razia, tentu Rahmi semakin

kesal. Bisa jadi besok dia memaksa orang tuanya untuk membeli mobil

agar bebas dari razia WH.

Kita tentu masih ingat bagaimana tahun 2000 lalu, Gubernur Aceh

saat itu, Abdullah Puteh dengan lantang mendeklarasikan Aceh sebagai

daerah syariat Islam, akan tetapi tidak lama kemudian, masyarakat Aceh

tertawa dan terpana ketika sang gubernur harus tinggal di hotel prodeo

karena korupsi helikopter bekas asal rusia.

Sangat konyol, seseorang yang lantang meneriakkan syariat malah

yang bersangkutan dijebloskan ke penjara karena menikmati uang haram

dari tindakan korupsinya. Bisa jadi hal inilah yang menjadi titik awal

pelaksanaan syariat Islam menjadi terhambat karena dari dideklarasikan

oleh orang yang salah.

Dampak dari pelaksanaan syariat Islam kini muncul istilah, ‘Senin

hingga Jumat, telur Medan masuk Aceh, Sabtu dan Minggu telur Aceh

masuk Medan’ . Bagi yang sering bepergian ke Medan disaat akhir pekan,

tentu akan melihatnya banyak mobil dinas dan pribadi dengan plat BL

parkir di hotel-hotel mewah dan melati.

Page 70: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media58

Sudah menjadi rahasia umum, jika Medan adalah tempat pelampiasan

warga Aceh untuk memenuhi hasratnya setelah lelah bekerja Senin

hingga Jumat. Saat akhir pekan pun tempat hiburan malam di Medan

ramai dikunjungi masyarakat Aceh yang haus akan hiburan.

seorang agen travel di Banda Aceh menyebutkan, penerbangan dari

Banda Aceh menuju Medan puncaknya terjadi pada setiap akhir pekan,

namun sebaliknya penerbangan dari luar provinsi menuju Aceh malah

menurun di akhir pekan. “Biasanya mereka berangkat jumat siang atau

sore dan kembali Minggu malam,” ujarnya seorang staf agen travel yang

enggan disebutkan namanya.

Seorang teman jurnalis di Medan, menceritakan ada kejadian unik

saat meliput operasi penyakit sosial di sejumlah penginapan di Medan.

Dari sejumlah hotel melati di kawasan Padang Bulan dan Gatot Subroto

umumnya yang tertangkap bersama Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah

warga Aceh. “Dari KTP yang disita petugas hampir semuanya orang Aceh,

petugas sampai geleng-geleng kepala, mungkin karena di Aceh daerah

syariat Islam, susah cari PSK, makanya pada lari ke Medan,” katanya.

Tidak hanya masyarakat sipil, sejumlah pejabat nakal pun kerap ‘lari’

ke Medan atau Jakarta jika ada waktu libur kantor. Di kota besar mereka

akan leluasa melampiaskan hasrat terpendamnya tanpa khawatir adanya

hukuman cambuk dari algojo yang kejam.

Seharusnya sebagai satu-satunya daerah dengan status syariat Islam,

Aceh bisa menjadi contoh daerah yang baik bagi provinsi lainnya di

Indonesia. Masyarakat Aceh tentu akan bersuka cita jika anggota dewan

mensahkan hukuman gantung bagi koruptor di bumi Serambi Mekkah.

Koruptor adalah permasalahan nomor satu di Indonesia, dan Aceh bisa

menjadi contoh teladan dengan pemberlakukan hukuman mati.

Jika syariat Islam berjalan dengan sangat baik di Aceh, sudah barang

tentu, koruptor, pencuri, pemerkosa, pemabuk dan semua penjahat akan

mencari lapak lain di luar Aceh. Alahkah indahnya membayangkan,

Page 71: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam setengah hati | 59

saat Azan tiba, semua berbondong-bondong ke mesjid, tanpa takut

dagangannya hilang atau dicuri karena hukuman potong tangan sudah

menanti pelakunya.

Ketika syariat Islam dipaksakan pelaksanaannya sudah pasti akan

muncul tentangan dari pihak-pihak tertentu. Sebagai perempuan,

penulis berharap pemerintah daerah lebih melakukan pendekatan secara

persuasif. Terlebih saat ini kaum perempuanlah yang menjadi objek

utama dalam syariat. Ketika semua perempuan Aceh berjilbab di tempat

umum tentu para pendatang ataupun turis beranggapan bahwa Aceh

adalah daerah yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Namun

jika masih banyak perempuan Aceh yang tidak berjilbab tentu orang

luar akan menggangap penerapan syariat Islam di Aceh tidak didukung

oleh masyarakatnya. Semoga kelak tidak ada lagi istilah ‘Syariat Islam

Setengah Hati’.[]

Page 72: Wajah Syariat Islam di Media
Page 73: Wajah Syariat Islam di Media

Bagian #02

Page 74: Wajah Syariat Islam di Media
Page 75: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam,Antara Ketegasan Pemerintah

dan Kesadaran Masyarakat

M Arief Rahman

MASIH terlihat kesan masyarakat takut terjaring razia polisi syariat

(wilayatul hisbah-WH) jika tak mengenakan jilbab atau kala memakai

pakaian ketat. Tapi mereka tak merasa takut saat berdua-duaan di

tempat sepi (khalwat), menikmati minuman keras (khamar) atau saat

berjudi (maisir).

“Pemerintah belum tegas menerapkan aturan dan pelaksanaan

syariat Islam ini. Itulah mengapa kita, masyarakat, harus ikut terlibat

aktif untuk bersama-sama menjalankan dan menjaga agar pelaksanaan

syariat Islam secara kaffah bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan,”

kata Ir. Mawardi Ali, anggota DPRA dari Fraksi PAN, Kamis pekan lalu.

Memang, jika pemerintah tidak tanggap dan membiarkan pelaksanaan

syariat Islam di Aceh seperti yang saat ini berlangsung, dikhawatirkan

hanya akan menjadi cemoohan orang luar Aceh, bahkan warga Aceh

sendiri. Mereka menjalankan syariat hanya sebatas lahir, tapi bathin

masih melakukan pelangaran.

Mengutip mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Aceh, Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA, pemerintah daerah memegang

tanggungjawab terhadap pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh.

“Kami mengingatkan kembali tanggungjawab pemerintah terhadap

kewajibannya, sehingga penerapan syariat Islam yang sudah loyo ini bisa

dilaksanakan lebih baik lagi,” katanya, seperti dikutip Antara.

Page 76: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media64

Aceh, ditetapkan sebagai daerah istimewa sejak tahun 1959, melalui

Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang

ditandatangani oleh Mr. Hardi. Sejak itu, Aceh menjadi daerah yang

istimewa dalam bidang agama, peradatan dan pendidikan.

Secara formal, pelaksanaan syariat Islam di Aceh baru terlaksana dan

diakui paskapenandatanganan dan disahkannya Undang-undang Nomor

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah

Istimewa Aceh, 4 Oktober 1999.

Pencanangan Pelaksanaan Syariat Islam Secara Kaffah di Aceh

sesuai dengan UU No.44/1999, memberikan beberapa kewenangan

(keistimewaan) bagi Aceh. Diantaranya penyelenggaraan kehidupan

beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan

pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Belum puas, Aceh juga diberi undang-undang baru, yakni UU. Nomor

18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebutan untuk Aceh

pun berubah dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Paskapenandatanganan MoU damai 15 Agustus 2005, pemerintah

kemudian mensahkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahaan

Aceh, 18 Agustus 2006. UU ini sebagai pengganti dari UU Nomor 18

Tahun 2001 yang telah dicabut kembali. Aceh pun kembali disebut

Provinsi Aceh.

MubazirTidak ada yang membantah Aceh sebagai daerah yang Islami.

Bahkan julukan ‘Aceh Serambi Mekkah’ ditabalkan untuk daerah yang

berada di ujung paling barat Indonesia ini, sebagai bukti religius dan

tingginya komitmen masyarakat Aceh dalam menjalankan syariat dan

ajaran Islam.

Page 77: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam, Antara Ketegasan Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat | 65

Maka menjadi aneh ketika Pemerintah Aceh kala itu

mengimplementasikan Undang-undang No.44 tahun 1999 dan UU.

No.18 tahun 2001 dengan melakukan Pencanangan Pelaksanaan Syariat

Islam Secara Kaffah di Aceh. Sejak saat itu, semua sendi kehidupan di

Aceh wajib menjalankan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan sehari-

hari di Aceh.

Aceh dikenal sebagai daerah awal masuknya Islam ke Nusantara

(melalui kerajaan Samudera Pasai). Orang (masyarakat) Aceh yang Islami,

tentu saja menjalankan semua aturan syariat Islam dalam kehidupan

sehari-harinya. Mereka akan menjalankan apa yang diperintah agama

dan akan meninggalkan apa yang dilarang agama. Mereka tahu mana

yang boleh dan mana yang tidak, sesuai dengan syariat agama.

Sejak dulu mereka menjalankan perdagangan tanpa mengurangi

takaran (jujur), berbusana sesuai dengan aturan agama, menutup aurat,

tidak mencuri, khalwat apalagi maisir. Saat itu, mereka bukan takut

dicambuk jika melanggar apa-apa yang dilarang agama ini, tapi takut

pada murka Allah SWT.

Walhasil, apa yang dilakukan pemerintah ini terkesan mubazir.

Mengatur apa yang sudah teratur. Seperti menyusun buku yang telah

tersusun rapi di rak buku.

“Tidak mubazir. Itu dilakukan untuk memberikan tanggung jawab

kepada pemerintah daerah, agar menjaga dan dapat menerapkan syariat

Islam di setiap segi kehidupan masyarakat Aceh. Tidak ada yang mubazir,

hanya harus ada yang bertanggung jawab. Itu maksudnya,” kata Mawardi

Ali.

“Tanggungjawab pemerintah Aceh, dalam hal ini gubernur, tertuang

dalam qanun tentang penerapan syariat Islam. Dalam peraturan daerah

itu tertuang 10 kewajiban yang harus dilaksanakan. Tanggungjawab ini

juga diatur dalam pasal 127 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal itu mengamanahkan

Page 78: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media66

pemerintahan di Aceh bertanggungjawab atas penyelenggaraan

pelaksanaan syariat Islam,” tambah Tgk. Muslim Ibrahim.

“Pemerintah Aceh kurang serius menjalankan syariat Islam. Hal ini

terjadi karena pemerintah salah persepsi terhadap syariat Islam,” kata

Tgk. Faisal Ali, Sekjen HUDA dan Ketua Nahdlathul Ulama (NU) Aceh.

Menurut dia, seperti dikutip Antara, merosotnya akhlak yang

ditandai dengan menurunnya rasa malu, khususnya di kalangan remaja

dan pemuda Aceh dewasa ini, disebabkan lemahnya penegakan syariat

Islam, termasuk penegak hukumnya.

Tgk. Faisal Ali sangat memprihatinkan kualitas dan kuantitas

moral masyarakat yang terlihat dari perilaku masyarakat. Tidak sedikit

masyarakat Aceh mulai meninggalkan norma Islami dalam kehidupan

sehari-hari. “Contoh kecilnya bisa dilihat dari cara berpakaian, terutama

remaja putri dan wanita muda yang mulai mengabaikan cara berbusana

seorang muslimah.

Belum lagi tempat-tempat wisata yang diduga kerap dijadikan

tempat pelanggaran syariat Islam. Tempat-tempat seperti ini luput dari

penertiban pemerintah,” katanya.

Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saa`duddin Djamal membantah

jika dikatakan masalah penegakan Syariat Islam hanya menjadi

tangungjawab pemerintah. Tanggungjawab itu, katanya, menjadi

tangungjawab bersama pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.

“Jika ada pelanggaran syariat Islam, tidak mesti pemerintah yang

disalahkan, sebab terkadang ruang untuk melanggar itu telah diberikan

oleh masyarakat itu sendiri,” katanya.

Saat ini yang penting diperkuat, kata Illiza, adalah fondasi keluarga

dan masyarakat sebagai strategi jitu dalam memperkecil pelanggaran

syariat Islam, terutama di daerahnya masing-masing. Untuk itu, Pemko

Banda Aceh telah mengagas masing-masing gampong (desa) ada qanun

gampong yang mengatur tentang adat, istiadat di desanya masing-

Page 79: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam, Antara Ketegasan Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat | 67

masing.

“Jika seluruh gampong di Aceh sudah ada qanun yang mengatur

tentang syariat tersebut, maka diyakini tidak akan ada lagi celah

pelanggaran Syariat Islam di provinsi itu. Nasib Syariat Islam di Aceh

juga tidak lagi menjadi ilustrasi politik, tapi membumi di “negeri”

Serambi Mekah ini,” kata Illiza pada Antara.

Efek JeraSejak pencanangan, berbagai kelengkapan pelaksanaan SI pun

berdiri. Diantaranya polisi syariat (Wilayatul Hisbah-WH) dan perangkat

lainnya. Termasuk dipacunya pembahasan sejumlah qanun, seperti

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang

Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang

minuman khamar (memabukkan) dan sejenisnya. Qanun Nomor 13

Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun

2003 tentang khalwat atau mesum.

Namun belakangan, lembaga pengawas pelaksanaan syariat Islam

yang sebelumnya berada di bawah Dinas Syariat Islam, dilebur ke Satuan

Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Walhasil mereka malah tidak efektif

dalam menjalankan tugas pokok yang dibebankan kepada WH ini.

Para pelaku pelanggar syariat ini pun kemudian dihukum dengan

dieksekusi cambuk yang dilakukan para algojo terpilih. Dengan harapan

ada efek jera, eksekusi (ukubat) dilakukan di depan umum, usai shalat

Jumat, di halaman masjid.

WH pun sibuk bekerja menggelar berbagai aksi razia. Di jalan-jalan

untuk menindak warga yang menggunakan pakaian ketat atau tidak

mengenakan jilbab. Ke objek-objek wisata merazia pelaku khalwat dan

tempat-tempat lain yang berpotensi menjadi sarana untuk pelanggaran

khalwat, lokasi maisir dan khamar, serta lokasi lainnya.

Berhasilkah?

Page 80: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media68

Di awal-awal gebrakan ini terbilang berhasil membuat takut para

pelanggar syariat. Pakaian ketat mulai jarang dipakai. Lokasi wisata

minim khalwat, maisir dan khamar mulai jarang terlihat. Yang fenomenal,

hampir tak lagi terlihat ada wanita di Aceh yang tidak mengenakan jilbab,

kecuali yang nonmuslim.

Pelaksanaan syariat Islam sesuai dengan aturan perundang-undangan

(qanun/perda) di Aceh, ya baru sebatas itu. Pengaturan jilbab dan

pakaian ketat. Khalwat, maisir dan khamar yang tersembunyi, tak lagi

terbuka. Sementara kehidupan pribadi masih jauh dari yang namanya

syariat Islam.

Warung kopi, kafe-kafe dan ruko masih tetap buka saat azan bergema.

Jalanan semakin padat, justru kala azan Maghrib tengah berkumandang.

Volume televisi bersahut-sahutan dari dalam rumah, padahal azan belum

selesai dikumandangkan. Suara mengaji? Hanya terdengar dari masjid-

masjid, umumnya sesaat sebelum kumandang azan. Itupun dipancarkan

melalui radio, bukan lagi live.

Hukuman cambuk di depan umum terhadap para pelaku pelanggar

syariat dilakukan memang untuk meunculkan efek jera. Namun terlihat

tidak memberikan hasil yang seperti diharapkan. Pelanggaran masih saja

terjadi. Belum lagi ada ‘pilih kasih’ terhadap pelaku pelanggar syariat.

“Terkadang kita melihat hukuman cambuk ini hanya berlaku untuk

orang kecil. Pejabat atau orang yang berduit sering lolos dari jerat hukum

ini,” kata Riki, warga Banda Aceh.

Mungkinkah hukum cambuk diganti dengan kerja sosial, menjadi

muazin misalnya? Dengan harapan, akan lebih mendekatkan para pelaku

dengan jalan tobat?

Kita tunggu saja kebijakan pengambil keputusan. []

Page 81: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam Untuk Siapa?

Muhammad Hamzah Hasballah

Bang Amat nelangsa. Meski bersuara lantang, aura kesedihan terpancar,

tampak di wajahnya. “Le that meuthen syariat jino ka,” katanya di pagi

Jumat, 12 Desember, lalu. Kesedihan Bang Amat bukanlah tanpa dasar.

Lelaki berusia setengah abad ini berpendapat, penegakan syariat Islam di

masa ini mengalami banyak tantangan. Di antaranya, banyak pantangan

yang menjadikan syariat Islam tidaklah berjalan. Misal saja, kata Bang

Amat, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kadang bertabrakan

dengan penegakan syariat Islam.

“Nyan jinoe, menye tacutit aneuk, ka dipeugah melanggar HAM,” gerutu

Bang Amat.

Ditemani secangkir kopi, saya duduk menemani Bang Amat, warga

Meunasah Neulop, Kemukiman Reubee, Delima, Pidie, Jumat itu

bersama Tengku Aminullah. Sebetulnya, Bang Amat merupakan salah

satu warga yang sangat setuju dengan penegakan syariat Islam di Aceh.

Namun, banyaknya hal yang membuat syariat mandek, membuat ia

gusar.

Tengku Aminullah juga berpandangan sama dengan Bang Amat.

Menurut pengajar tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Al Aziziyah Samalanga, Bireuen, itu pola pengobrokan syariat ini dimulai

setelah tsunami melanda Aceh tahun 2004 lalu.

“Pola itu juga pengaruh bawaan NGO ke mari. Saya teringat yang

dibilang Pak Karim Syech, bahwa NGO masuk ke Aceh bukan gratis.

Bantuan yang diberikan kepada orang Aceh tidaklah gratis,” katanya

mengutip pernyataan Karim Syech, Ketua MPU Kota Banda Aceh.

Page 82: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media70

“Setelah itu di Aceh mulai ada undang-undang itu (Perlindungan anak-

red) yang mengerdilkan agama. Undang-undang Tuhan mulai ditentang

sama undang-undang yang dibuat manusia.”

Tengku Aminullah menjelaskan, kita, masyarakat Aceh telah diberi

umpan oleh NGO dan baru merasakan sekarang ketika banyak aliran

yang beredar di Aceh. Konsep itu, tambah pengajar IAIN Ar-Raniry

dan Dayah Darul Muar’if, Lampoh Pande di Neulop ini, telah lebih dulu

dipopulerkan oleh Snock Hurgronje. Sedangkan masalah pemberian

uang merupakan konsep milik Belanda. Bang Amat pun sependapat

dengan Tengku Aminullah.

“Nye awai nyan dirhoem peng lam peurede tring, jadi jak tanyo cah peureude tring untuk cok peng.” Maksudnya, Belanda ketika menjajah Aceh pada

masa lalu, menaburkan uang dalam rumpun bambu. Tujuannya orang

Aceh bisa membabat semua batang bambu, sehingga tidak lagi bisa

bersembunyi. “Dulu kita diperangi membabi buta, kita sembunyi di balik

batang bambu. Begitu cara menghabisi kita oleh Belanda,” tambahnya.

Konsep baru yang ditawarkan melalui hukuman cambuk bagi pelaku

maksiat pun, disangsikan oleh Tengku Aminullah. Penerapan yang tak

sesuai dengan aturan yang berlaku pada zaman nabi membuat hukum

tersebut tidak berjalan. “Perlu digarisbawahi, ketika melakukan hukum

rajam dan cambuk, ada aturan sendiri dan tidak bisa semena-mena,

main langsung tangkap dan cambuk.”

“Kalau orang yang berzina dan kemudian ditangkap, hukumnya

memang dirajam, tapi praktik dan aplikasinya itu seperti apa? Coba kita

lihat hadits Nabi, apa Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa beliau

pernah menghukum cambuk dan merajam orang gara-gara melakukan

perbuatan zina. Semua hadits sepertinya tidak ada yang menuliskan

demikian. Kemudian pada masa sahabat ada tidak?” tanyanya lagi.

“Sebagian memang ada yang bilang ada, yaitu Abu Syammah. Tapi

beliau kena hukum cambuk, bukan karena ditangkap, tapi pengakuan

Page 83: Wajah Syariat Islam di Media

Syariat Islam Untuk Siapa? | 71

beliau sendiri telah berzina. Yang ditangkap tidak pernah ada,” tambah

Tengku Aminullah.

Tengku Amin menyebutkan, menjatuhkan hukuman cambuk tidaklah

boleh sembarangan. Ada prosedur khusus yang telah diatur dalam agama

Islam. Harus ada minimal empat saksi yang adil dan melihat langsung

dua insan berlainan jenis sedang melakukan persetubuhan. Adil dalam

artian kuat dalam pengetahuan dan perbuatan keagamaan, sah menjadi

saksi nikah.

“Sekarang kita lihat secara logika, mana mungkin melihat orang yang

memang sedang bersetubuh. Oke kalau memang kita lihat langsung,

sedang kita memanggil orang alim, mereka sudah tidak lagi satu badan

berdua.”

Tengku Amin menekankan, hukum cambuk dan rajam sangatlah sulit

untuk diterapkan. Hal tersebut merupakan aib yang sangat memalukan.

Islam, sebut Tengku Amin, menerapkan hukum seperti itu, supaya

umatnya tidak melakukan hal yang demikian.

“Tapi kita lihat aplikasinya sekarang, bagaimana caranya menghukum

orang? Ketika hanya sebagian hukum yang berjalan, maka saat itu

orang akan membenci syariat Islam. Waktu penerapan yang tidak

imbang, saat itu akan menjadi konflik baru. Jadi, syariat Islam di Aceh

sekarang ini menciptakan konflik baru. Dalam menjatuhkan hukum

masih memandang orang. Aparat siapa berani hukum, dan efeknya akan

timbul perpecahan di kalangan kita orang Aceh. Hal yang kita sayangkan

sekarang, kita tidak lagi bersatu.”

Persatuan dalam diri orang Aceh memang tidak sekuat masa dulu,

dimana saat konflik mendera Aceh. “Saat itu kita dalam posisi tertekan,

jadi kita mempunyai rasa kebutuhan dan tidak mungkin kita sendiri.”

Persatuan orang Aceh bisa dilihat dari hidupnya balai-balai pengajian dan

di meunasah di gampong-gampong. “Juga perlu diingat, saat itu syariat

Islam di Aceh belum ada konsep, tapi memang muncul dari kesadaran

Page 84: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media72

masyarakat,” jelas Tengku Amin.

Menyangkut persatuan, sebetulnya, Masyarakat Aceh mempunyai

konsep yang sama, yaitu konsep warisan indatu yang diajarkan turun

temurun. “Konsep itu yang harus kita bangkitkan. Kita satu nektu. Jangan

sampai harus perang dulu baru bersatu.”

Untuk membangkitkan kembali hal tersebut, Tengku Amin dan Bang

Amat menyarankan para orang tua untuk senantiasa mendidik anak-anak

kecil usia sekolah dasar. “Nyan aneuk mit ube’ nan hana diteupe sapeu lom.

Lebih mudah mendidik mereka daripada meluruskan yang sudah rusak.”

“Menerapkan syariat islam haruslah membangun dari diri sendiri.

Pendidikan tingkat rumah yang penting.” Tengku Amin memberi contoh

pada diri perempuan, dimana perempuan adalah sosok ibu. Namun,

banyaknya aturan yang bertabrakan dengan aturan masa modern seperti

gender membuat lelaki berbadan tambun ini menyangsikan penerapan

tersebut akan maksimal.

“Seharusnya perempuan atau ibu tidak boleh bekerja. Karena mereka

memang pendidik anak, tidak perlu memikirkan hal lain. Namun

pemikiran modern tidak lagi menerima hal tersebut. kenyataannya

seperti itu memang.”

“Didikan ibu cukup berharga. Sambil menidurkan anak ia mengelus

kepala. Saat itu ia mengenalkan Tuhan melalui selawat-selawat, atau

dengan berzikir memuji Keeasaan Allah, Lailahaillallah. Itu konsep ajaran

pengenalan syariat orang Aceh. Pengajaran agama islam sejak dini,” kata

Tengku Amin.

Bang Amat dan Tengku Amin punya pandangan yang sama. Ibu, bagi

mereka merupakan sosok penting, dan orang yang pertama mengenalkan

Tuhan kepada sang anak. Menurut mereka, begitulah konsep penerapan

syariat di diri orang Aceh. Di mana pendidikan tingkat rumah merupakan

hal yang utama. “Sekarang kita tidak tau lagi kita apa masih ada yang

demikian? Saya rasa sudah sangat langka,” tutup Bang Amat. []

Page 85: Wajah Syariat Islam di Media

Syari’at Islam di Acehdalam Opini Jurnalis

Teuku Zulkhairi

BAIK atau burukya syari’at Islam di Aceh sesungguhnya ada di tangan

para jurnalis. Namun ironisnya, 11 tahun syari’at Islam diterapkan di

Aceh, realitasnya berita tentang syari’at Islam yang disajikan para jurnalis

masih negatif. Penyuguhan berita secara negatif ini misalnya diakui oleh

pakar Komunikasi Aceh, Dr A.Rani Usman yang juga Dekan Fakultas

Dakwah IAIN Ar-Raniry dalam workshop “Membangun Etika Penulisan

Pemberitaan Syariat Islam di Aceh” di Hotel Grand Nanggroe, Banda

Aceh beberapa waktu lalu, “Kita (media) asyik memberitakan Syariat

Islam di Aceh yang negatif-negatif saja, sehingga image kita (Aceh) jelek

di mata luar,”. Selain itu, “Pemberitaan Syariat Islam yang dilakukan

media selama ini hanya cendurung pada peristiwa semata, seperti

cambuk, razia busana, penangkapan pelaku mesum dan aliran sesat.

Seharusnya media juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga

menghasilkan berita yang konprehensif dan berimbang” (Sumber: voa-

islam.com, Jumat 30/11/2012). Diakui atau tidak, suguhan berita secara

negatif ini menyebabkan usaha penerapan syari’at Islam menghadapi

dilema serius, bahkan berpotensi “gagal”. Ini belum lagi kita berbicara

tentang media “porno informasi” yang ternyata semakin eksis di Aceh.

Kalau kita mencoba menganalisa lebih jauh tentang etika pemberitaan

yang menyebabkan opini dan berita tentang syari’at Islam cenderung

negatif, maka kita akan menemukan sebuah hal yang ironis bahwa

pelanggar syari’at Islam selama ini cenderung dicitrakan sebagai

“korban”. Padahal, menurut Wakil Redaktur Serambi Indonesia Asnawi

Page 86: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media74

Kumar “pelaku pelanggaran Syariat Islam itu bukan korban”(The Globe

Journal, (30/11/2012). Ini sebenarnya persoalan utama pada baik baik

atau buruknya citra implementasi syari’at Islam di Aceh dewasa ini, bahwa

sebagian kalangan jurnalis cenderung berparadigma bahwa pelanggar

syari’at Islam (yang diuangkapkan oleh stakeholders syari’at Islam) itu

sebagai “korban”. Seolah, syari’at Islam itu melanggar HAM. Padahal,

syari’at Islam di Aceh sifatnya konstitusional. Hukum yang dibuat

memang untuk menindak para pelanggar, pelanggar hukum dilihat dari

aturan hukum dan kearifan lokal yang berlaku di sebuah daerah.

Menakar “independesi” jurnalisSaat isu pembentukan Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam

(KWPSI) beberapa waktu lalu sebelum dideklarasikan, Kantor Berita

Radio 68-H Jakarta langsung mempertanyakan independensi jurnalis di

Aceh. Salah satu kutipan berita ini memuat statmen ketua Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) Banda Aceh Maimun Saleh yang mempertanyakan

independensi yang dijunjung para wartawan. “Ketika mereka menyebut

diri mereka penyebut pembela Syariat Islam, berarti yah sudah tidak

independen. Independen kan tidak kiri tidak kanan, esensi dari

jurnalisme”(Atjehpost.com, Kamis, 11 Oktober 2012).

Saya mencoba memahami bagaimana bentuk “independensi” yang

dikehendaki oleh dewan pers di Indonesia. Dalam merespon hadirnya

KWPSI ini, di akhir berita tersebut memuat statement wakil Ketua Dewan

Pers Bambang Harymurti: “Wartawan itu harusnya bentuk dukungannya

dengan memberi kritik. Itulah bentuk dukungan wartawan profesional

kan?”. Jadi, menurut mereka, kalau sikap jurnalis itu peduli kepada

syari’at, maka sikap itu tidak independen, sementara sikap mengkritisi

syari’at Islam itu adalah independen. Cara pandang seperti ini akan

mengiring manusia untuk benci kepada syari’at Islam. Faktanya, kritikan

yang disampaikan selama ini justru menyudukan syari’at. Seperti

Page 87: Wajah Syariat Islam di Media

Syari’at Islam di Aceh dalam Opini Jurnalis | 75

kritikan Majalah Tempo beberapa waktu lalu terkait bunuh diri seorang

remaja putri di Langsa. Majalah Tempo mengarahkan serangannya

ke Aceh, bahwa bunuh diri putri disebabkan penerapan qanun (baca:

Perda) Syari’at Islam (Lihat: Tempo, edisi Senin, 17 September 2012).

Pada titik ini, kita berharap agar kritik terhadap syari’at itu konstruktif

dan solutif. Tanpa keduanya, setiap kritikan hanya akan memperburuk

image syari’at Islam.

Dari berbagai kamus dijelaskan, bahwa Independensi adalah suatu

keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun.

Intinya, independen itu tidak mengusung kepentingan pihak tertentu

atau organisasi tertentu. Falsafah berfikir seperti ini sesungguhnya

mengandung nilai positif jika diterapkan dengan penuh kejujuran. Seperti

yang diungkapkan oleh Dr A.Rani Usman di atas, bahwa pemberitaan

Syariat Islam di Aceh selama ini cenderung pada peristiwa semata.

Padahal, seharusnya media dan para jurnalis juga perlu menggali cerita

di balik berita sehingga menghasilkan berita yang komprehensif dan

berimbang agar bisa disebut independen.

Namun, jika pemberitaannya tentang syari’at Islam cenderung hanya

mengkritisi, maka bagaimana mungkin sikap ini kita sebut independen?

Independensi seperti ini tidak pernah menguntungkan syari’at, bahkan

cenderung akan terus menghambatnya. Bagaimana tidak, jika opini

tentang syari’at selalu diberitakan negatif, maka sampai kapankah umat

akan tulis mencintai dan merindukan syari’at Islam? Dengan falsafah

independensi seperti ini, maka akan sangat berlebihan jika masyarakat

Aceh berharap agar kalangan jurnalis turut peduli dan membela

penerapan syari’at Islam di Aceh.

Wartawan mengemban misi dakwahPadahal, dalam perspektif Islam sendiri, siapapun yang mengaku

muslim maka dia harus mengemban misi dakwah agama. Menjadi

Page 88: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media76

wartawan, bukan berarti saat itu tugas untuk menyampaikan dakwah

sudah hilang dari pundaknya. Bahkan, akan menjadi sebuah pekerjaan

yang sangat mulia jika dengan profesinya sebagai jurnalis, seorang

muslim bisa mengiring manusia untuk mencintai Islam dan menjauh

dari nilai-nilai kebebasan. Dalam Islam, tidak ada istilah seperti yang

dipopulerkan kalangan perguruan tinggi Islam kepada para mahasiswa

agar :menyimpan“akidah” di luar ruang kuliah jika mau belajar pemikiran Islam di perguruan tinggi”. Jurnalis di Barat pun hingga

detik ini pun belum bisa membuktikan independensi mereka kecuali

sedikit di antara mereka.

Bahkan, dewasa ini, seruan-seruan untuk kembali dalam aturan

Islam kian tidak bisa dibendung lagi. Bukan saja misalnya seruan

agar umat Islam kembali dalam sistem kekhalifahan Islam yang akan

mempersatukan umat Islam di seluruh dunia dan menguatkannya di

tengah semakin jelasnya kebobrokan sistem demokrasi, tapi juga seruan

agar semua sistem dalam masyarakat Islam mengacu pada konsepsi

Islam, tentu saja termasuk pada ranah jurnalisme ini.

Sesungguhnya para penulis dan jurnalis memiliki peran dalam

penyampaian setiap pesan-pesan Islam untuk mendidik masyarakat

sekaligus merekayasa peradaban Aceh yang Islami. Ini adalah sebuah

peran yang sangat mulia di sisi Allah Swt. Maka para penulis dan jurnalis

Aceh seyogyanya berperan sebagai aktor-aktor utama dalam upaya

sosialisasi universalitas ajaran Islam (lewat berbagai regulasi yang telah

dibuat) sehingga masyarakat bisa memahami ajaran Islam secara utuh.

Sudah saatnya para penulis dan jurnalis Aceh mendukung sepenuhnya

proses pelaksanaan syari’at Islam. Dukungan tersebut, minimal adanya

keinginan untuk menulis secara adil dan seimbang setiap berita tentang

pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.

Artinya, setiap berita dan tulisan yang ditulis tidak justru mengadili

dan menghukum para stakeholder syari’at Islam di Aceh. Setiap berita

Page 89: Wajah Syariat Islam di Media

Syari’at Islam di Aceh dalam Opini Jurnalis | 77

dan tulisan idealnya memiliki nilai-nilai edukasi dan pesan-pesan moral

yang tersirat di dalamnya sehingga tulisan kita tidak menyebabkan

masyarakat Aceh dan dunia luar menjadi menjadi benci kepada syari’at

Islam. Tulisan-tulisan yang mengandung unsur “porno informasi” sudah

selayaknya pula mendapat evaluasi para jurnalis dan perusahaan media

di Aceh. Harus kita akui, bahwa berita-berita yang dipublish di media

massa yang mengandung unsur “porno informasi” sesungguhnya sangat

membahayakan generasi muda Aceh. Jika setiap hari mereka disuguhkan

dengan berita-berita informasi di media massa, maka usaha penguatan

moral apapun di lembaga pendidikan formal dan informal sesungguhnya

tidak akan berhasil secara maksimal. Pada saat seperti ini, merupakan

sebuah konsekuensi yang sangat logis terjadinya kerusakan moral yang

cukup parah dalam setiap dimensi kehidupan beragama dan berbangsa.

Selain kiprah edukasi via tulisan dalam konteks lokal yang bisa

dimainkan oleh para penulis dan jurnalis di Aceh, sesungguhnya mereka

juga memiliki peran yang sangat urgen dalam memperkenalkan Aceh

dengan syari’at Islamnya di mata dunia secara seimbang, sehingga wajah

syari’at Islam di Aceh dapat menjadi contoh ideal bagi pelaksanaan

syari’at Islam. Tulisan-tulisan kritis terhadap syari’at dari para penulis

dan juranlis adalah sebuah keniscayaan, namun alangkah baiknya

jika kritikan-kritikan tersebut berorientasi pada upaya konstruktif

untuk mendorong penyempurnaan pelaksanaan syari’at Islam, tidak

justru mengakibatkan pelemahan terhadap syari’at, dengan atau tanpa

disadari. []

Page 90: Wajah Syariat Islam di Media
Page 91: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’rufdan Nahi Munkar di Aceh

Rizki Alfi Syahril

Penegakan Nahi Munkar di Aceh Ada tiga kejadian terpisah tapi memiliki benang merah yang cukup

kuat dalam satu bulan terakhir: Penutupan akses pengunjung kawasan

pantai Ulee Lheue (Banda Aceh) sejak pukul 18.00-06.00 WIB yang

dimulai dari Minggu (22/4); pembongkaran paksa warung-warung di

kawasan Bate Geulungku, Simpang Mamplam (Bireuen) pada Kamis

(3/5); dan pembongkaran serta pembakaran sejumlah warung di pantai

Lhoknga (Aceh Besar) pada Minggu (13/5).

Alasannya, warga sekitar tidak ingin kawasannya “tercemari” oleh

perilaku pengunjung yang memanfaatkan tempat dan beberapa warung

di situ untuk melakukan hal-hal yang dilarang hukum syariat.

Timbul pertanyaan yang fundamental, apakah setelah beberapa kasus

ini, secara otomatis jumlah pelaku dan angka kasus maksiat di Aceh akan

berkurang? Jika benar bahwa selama ini di warung atau pantai itu ada

maksiat, berapa kasus maksiat yang ditemukan di warung atau pantai itu?

Apakah bila dibandingkan dengan kasus maksiat di tempat lain semisal

rumah pribadi, penginapan/hotel, salon, mobil, atau lokalisasi ilegal yang

ada di Aceh, maka persentase tempat yang paling banyak ditemukan

maksiat adalah di warung atau pantai itu? Apakah membongkar warung

dan menutup pantai adalah solusi atas perilaku maksiat yang selama ini

dianggap sudah sangat kronis?

Pada jawaban atas pertanyaan saya yang pertama di awal tulisan, saya

pesimis—jumlah pelaku dan angka kasus maksiat di Aceh tidak secara

Page 92: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media80

otomatis akan berkurang setelah adanya penutupan akses menuju pantai

di malam hari dan pembongkaran warung-warung itu.

Berita tentang penangkapan/penggerebekan warga atau WH atas

pelaku maksiat hampir saban hari dapat kita temukan di media. Yang

teranyar adalah penangkapan pasangan mesum di Rundeng (Meulaboh),

disertai berita ayah yang menghamili anak angkatnya (Aceh Timur), dan

berita pelaku penyekapan dan pemerkosa gadis di bawah umur yang

akhirnya berhasil ditangkap di Tangse (Pidie).

Jika kita mencari di mesin-pencari-internet, maka kita akan

menemukan rentetan panjang kasus yang membuat kita semestinya

malu dengan identitas syariat dan identitas keacehan kita. Mulai dari

“Video Seks Pejabat Abdya Beredar di Internet”, “[mantan] Ketua PN

Sabang Dicokok dari Hotel”, “Sepasang Remaja Dipaksa Mengulang

Adegan Mesum (Ditonton Ramai-ramai Sambil Divideokan)”, dan kasus-

kasus lainya.

Tentu saja kita perlu bersikap terbuka untuk mengakui bahwa di

Aceh—negeri yang dianggap sangat tertutup dan membatasi perilaku-

perilaku maksiat—adalah juga negeri yang terbuka dan banyak ditemukan

maksiat.

Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Akhmad Sahal, salah satu intelektual NU, menulis “Nahi Munkar yang

Munkar” di majalah Tempo (edisi 14-20 Mei 2012 [juga dimuat di portal:

http://www.jakartabeat.net]) dan sejalan dengan Sahal, salah seorang

dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Moch. Nur Ichwan, M. A., Ph.

D., juga menuliskan pendapatnya bertajuk “Rethinking al-Amr bi l-Ma’ruf

wa n-Nahy ‘an al Munkar: Etika Politik dalam Bingkai Post-Islamisme”

dalam buku Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan, Kado 60 Tahun Musa Asy’arie. Kedua penulis ini menyoroti perilaku nahi munkar yang kerap ditempuh oleh orang maupun organisasi Islam dengan jalan

Page 93: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di Aceh | 81

kekerasan dan paksaan dalam aksi-aksinya.

Rizieq Shihab (pemimpin FPI) membenarkan vigilantisme

kelompoknya dengan dalih bahwa negara dan aparat penegak hukum

dianggap gagal atau lembek dalam memberantas kemaksiatan sehingga

kemaksiatan semakin merajalela dan dibutuhkan kekuatan ormas-ormas

Islam untuk turun tangan.

Dalam kasus yang saya tulis di bagian pembuka tulisan ini, dapat

ditelisik bahwa kasus pembongkaran serta pembakaran sejumlah

warung di pantai Lhoknga (Aceh Besar) dilakukan oleh puluhan pemuda

perwakilan empat gampong di Kemukiman Lhoknga dan tergabung

dalam Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Al-Ishlah (aksi pembongkaran

ini dapat dilihat videonya di YouTube dengan judul “pengusuran pondok

pantai lhonknga oleh warga” yang diunggah oleh Teuku Iskandar);

pembongkaran paksa warung-warung di kawasan Bate Geulungku,

Simpang Mamplam dilakukan oleh FPI Bireuen didukung Muspika

Simpang Mamplam, Dinas Syariat Islam Bireuen, serta sejumlah santri;

dan penutupan kawasan Ulee Lheu di malam hari dilakukan oleh warga

dari 16 gampong di Kecamatan Meuraxa.

Menurut pandangan FPI, ormas Islam lainnya, dan masyarakat Islam,

tindak kekerasan yang mereka lakukan justru islami karena didasarkan

pada hadis Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: “Barangsiapa

yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan

tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga,

maka dalam hati. Yang demikian itulah selemah-lemahnya iman.”

Bagi mereka, jalan kekerasan adalah perwujudan dari pengamalan

perintah nabi untuk “mengubah kemunkaran dengan tangan

(falyughayyirhu biyadih),” yang mencerminkan keimanan yang paling

kuat dan tegas. Kedua penulis itu menegaskan pertanyaan seberapa

jauh alasan FPI, ormas Islam lainnya, dan masyarakat bisa diterima dari

sudut pandang Islam?

Page 94: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media82

Apakah cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa

dibenarkan? Apakah klaim FPI, ormas Islam lainnya, dan masyarakat

sebagai agen penegak nahi munkar bisa dibenarkan dari perspektif

doktrin dan sejarah Islam? Seberapa jauh ormas partikelir seperti

FPI, ormas Islam lainnya, dan masyarakat mempunyai lisensi untuk

mengangkat diri sebagai eksekutor nahi munkar?

Ichwan menjelaskan beberapa etika publik berdasarkan perspektif

post-Islamisme dalam kaitannya dengan amar ma’ruf dan nahi munkar yaitu: (1) Ma’ruf adalah nilai, dan amar ma’ruf adalah norma; (2) Amar ma’ruf dilakukan mendahului nahi munkar; (3) Amar ma’ruf dilakukan

dengan cara yang ma’ruf; (4) Amar ma’ruf tidak boleh dilakukan

secara munkar; (5) Nahi munkar hanya boleh dilakukan dengan cara

yang ma’ruf; (6) Nahi munkar adalah salah satu bentuk derivatif amar ma’ruf; (7) Nahi munkar tidak boleh dibungkus dengan hal dan cara

yang ma’ruf. Terkait kecenderungan FPI, ormas Islam lainnya, dan masyarakat

yang menggunakan kekerasan dalam aksinya, tindakan semacam ini

tidak dapat dibenarkan jika ditinjau dari sudut pandang hukum Islam.

Sahal menyitir dari al-qawa’id al-fiqhiyah (legal maxims [kaidah-

kaidah hukum/fiqih]), terdapat kaidah yang menyatakan: ad-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Namun, juga ada kaidah lain

yang berbunyi: ad-dlarar la yuzal bi aldarar (kemudaratan tak boleh

dihilangkan dengan kemudaratan yang lain).

Patut diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu

kesatuan. Dengan dalil tersebut, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran

mesti dihilangkan karena kemunkaran adalah bagian dari kemudaratan,

tapi pada saat yang sama kemunkaran tidak boleh dihilangkan dengan

kemunkaran yang lain.

Bahkan, dengan menghalalkan kekerasan, para agen nahi munkar ini sejatinya mengidap dua jenis kemunkaran sekaligus: memakai cara

Page 95: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di Aceh | 83

yang munkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; yang kedua:

memunculkan kemunkaran baru yang bisa jadi lebih parah (keresahan

dan anarki sosial).

Keresahan dan anarki sosial ini bisa saja terjadi, baik dalam tempo

singkat maupun di masa mendatang. Hal ini ibarat api dalam sekam bagi

orang-orang yang menjadi korban dari tindakan semena-mena eksekutor

nahi munkar. Dalam konteks kasus di Aceh tadi, bukan tidak mungkin para

pedagang yang warungnya dibongkar serta dibakar akan menuntut balik

para pelaku pembongkaran/pembakaran karena telah menghancurkan

alat produksinya yang hasilnya untuk mencukupi kehidupannya sehari-

hari. Terlebih jika kemudian, dalam konteks Lhoknga, bagaimana

seandainya para pedagang yang warungnya dibongkar dan dibakar

adalah warga yang selamat dari tsunami dan berjualan di warung itu

untuk mencukupi nafkahnya setelah hidupnya dimulai dari nol lagi

pascatsunami? Bukankah menghilangkan/merusak/mengambil lahan

orang mencari nafkahnya yang halal adalah sebuah kemunkaran?

Masyarakat semestinya berpijak pada posisi yang adil dan menaati

aturan hukum. Mereka patut marah jika benar telah dibuktikan atau

ditemukan bahwa di warung atau di pantai itu menjadi tempat maksiat,

tapi tindakan main hakim sendiri seperti menghancurkan dan membakar

pondok bukanlah penyelesaian.

Apakah hati kita tidak terenyuh melihat foto yang diambil oleh

wartawan Serambi Indonesia online, yang menampilkan pemilik

warung (seorang perempuan) menangis sambil mencoba menghentikan

aksi pembakaran di warung miliknya? Juga foto seorang anak laki-laki

berusaha memadamkan api di warung milik orang tuanya yang dibakar

massa di pantai Lhoknga? (Foto dapat dilihat di: http://aceh.tribunnews.

com/2012/05/14/pemuda-lhoknga-bakar-pondok-pantai).

Apakah tidak ada solusi yang lebih humanis dan adil sehingga syariat

Page 96: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media84

Islam tetap tegak, pemilik warung tetap dapat mencari nafkah, dan

pengunjung dapat menikmati liburan/hiburan di panorama alam itu?

Solusi itu misalnya membiarkan pantai dan warung tetap terbuka tapi

di pantai dipenuhi penerangan yang cukup di malam hari sehingga orang

tidak bergelap-gelapan ria; membabat semak belukar di sepanjang pantai

yang selama ini seperti dibiarkan tumbuh sehingga dimanfaatkan oleh

pelaku pelanggar syariat untuk menyibak “semak” yang lain; melarang

warung-warung membuat sekat; membuat regulasi tentang mandi/

berenang di laut seperti melarang laki-laki dan perempuan bercampur,

menyuruh para perempuan tetap memakai jilbab saat di pantai, melarang

memakai celana mini dan baju kaos.

Memaknai Firman dan Hadis Terkait pertanyaan apakah diperbolehkan menggunakan paksaan

dan kekerasan dalam mencapai tujuan (dalam konteks ini adalah

amar ma’ruf dan nahi munkar), ada hal mendasar yang semestinya

dipahami, yaitu dalam prinsip Islam dilarang adanya paksaan dalam hal

keagamaan. Hal ini sesuai firman Allah yaitu “La ikraha fi d-din, Tidak

ada paksaan di dalam beragama” (al-Baqarah: 265). Ichwan menegaskan

bahwa firman itu adalah prinsip etika dasar yang harus dipegang oleh

siapa pun yang ingin melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Cara-

cara paksaan, baik dengan cara halus maupun kekerasan, dalam bentuk

apapun, tidak dapat dibenarkan.

Ichwan dalam tulisannya juga membedah kritis hadis yang sering

disitir oleh para eksekutor nahi munkar, “Barangsiapa yang melihat

kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika

tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dalam

hati. Yang demikian itulah selemah-lemahnya iman.”

Pertama, kata mengubah dengan tangannya seharusnya dipahami

sebagai mengubah dengan kekuasaan yang relevan dengan dirinya.

Page 97: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di Aceh | 85

Kepala negara dengan mendorong penegakan hukum dan dengan

melahirkan kebijakan-kebijakan yang adil dan maslahat bagi rakyat,

agar tidak muncul hal-hal yang mengarah kepada buruk dan negatif.

Jika tidak bisa, karena tidak memiliki kekuasaan itu, maka dilakukan

dengan mengungkapkan pendapat, dan dengan pendekatan yang ma’ruf. Yang relevan dengan ini adalah mengirimkan surat, berdemonstrasi,

menuliskan opini di media massa, menasihati, memotivasi agar tidak

melakukan hal buruk dan negatif, dan sebagainya. Mengubah dengan

lisan banyak sekali medianya. Mengubah dengan hati artinya menolak

kemunkaran itu, bukan mentoleransinya. Mendoakan adalah bagian dari

etika profetik yang dilakukan oleh semua Nabi.

Ichwan malah berpendapat bahwa frasa “yang demikian itulah selemah-lemahnya iman” patut diduga sebagai frasa tambahan yang

ditambahkan oleh perawi kemudian. Hal ini dikarenakan dalam

sejarahnya, semua Nabi menganjurkan yang ma’ruf dan mencegah yang

munkar dengan cara memberikan nasihat, dan jika nasihatnya tidak

dipatuhi, maka mereka akan berdoa kepada Allah, baik mendoakan agar

mereka diberi petunjuk atau mendoakan agar Allah menurunkan azab,

misalnya dalam kasus Nabi Luth karena mereka memang menantang

agar diturunkan azab.

Mereka, para Nabi ini, tidak lantas memaksakan kehendak dan

pandangannya sendiri, apalagi dengan kekerasan. Nabi Muhammad saw

sendiri seringkali mendokan umatnya, saat mereka tidak mendengar

nasihatnya, agar diberikan petunjuk, karena mereka Beliau anggap

belum mengerti. Jika mendoakan adalah selemah-lemahnya iman, tentu

para Nabi, termasuk Nabi Muhammad itu lemah iman mereka. Ini adalah

hal yang tidak mungkin dalam keimanan Islam. Selain itu, penafsiran

“tangan” dengan tangan secara fisik yang berarti penggunaan kekerasan

atau kekuatan bertentangan dengan Alquran sendiri.

Allah menegaskan dalam Alquran (QS al-Ghasyiyah: 21-26) bahwa

Page 98: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media86

tugas para Rasul hanyalah pemberi peringatan (mudzakkir). Rasul

sendiri tidak diperkenankan melakukan paksaan atas orang lain untuk

menerima iman, nilai atau normanya, dan melakukan kekerasan, apalagi

manusia biasa walaupun gelarnya syeikh, ustadz, teungku, dsb. Rasul

bukanlah orang yang berkuasa dan pemaksa (musaythir) atas mereka,

karena masalah hidayah dan balasan baik-buruk hanyalah urusan Allah.

Allah-lah yang “menghitung amal” mereka dan memberikan balasan atau

azab, bukan Nabi ataupun manusia. Melakukan kekerasan, walaupun

dengan dalih mencegah hal yang munkar, bertentangan dengan ayat itu

dan juga banyak ayat yang lain. Hal yang juga penting dipahami adalah

jangan ada pencampuradukan antara amar ma’ruf dan nahi munkar dengan ajaran tentang jihad (dalam arti qital atau perang).

Hadis di atas juga memberi kesan bahwa mengubah hal yang munkar adalah kewajiban setiap muslim. Dari sinilah barangkali FPI, ormas

Islam lainnya, dan masyarakat merasa bahwa kekerasan bagian dari

upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran “dengan tangan”.

Hal itu justru akan menimbulkan masalah terutama jika setiap

orang merasa punya wewenang untuk mengubah kemunkaran “dengan

tangan,” maka yang kemudian terjadi adalah menjamurnya ormas Islam

dan timbulnya tindakan main hakim sendiri dari masyarakat yang

merasa memiliki mandat untuk menindak hal yang munkar. Semua

dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya agenda sendiri,

dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini pada gilirannya

bisa mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik dan

anarki dalam masyarakat.

Ichwan berpendapat bahwa ada dua teori utama tentang amar ma’ruf dan nahi munkar ini: (1) amar ma’ruf dan nahi munkar bukanlah fardhu ‘ayn (kewajiban individual) setiap Muslim, namun fardhu kifayah (kewajiban kolektif), yang jika telah ada yang melakukannya maka

gugurlah kewajiban bagi kaum Muslim lainnya, namun jika tidak ada

Page 99: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di Aceh | 87

yang melakukannya maka semuanya berdosa; (2) amar ma’ruf dan nahi munkar adalah fardhu ‘ayn (kewajiban individual) setiap Muslim. Hal

ini misalnya dianut oleh kaum Mu’tazilah dan juga didukung pendapat

Muhammad Abduh. Ichwan menyimpulkan dari kedua teori di atas yaitu:

(1) sebagai upaya mengekspresikan pendapat, maka amar ma’ruf dan

nahi munkar adalah hak semua manusia, tapi hanya pada lebel diskursif,

bukan pada level penggunaan tindakan, apalagi tindakan kekerasan; (2)

hak amar ma’ruf dan nahi munkar adalah afdhaliyyah (keutamaan)

untuk melakukannya, dengan alasan penggunaan kata wa-a-l-takun (dalam QS Ali Imran: 104), yang bernada himbauan yang sangat, bukan

pewajiban. Sebagai hak, ia bisa ditunaikan baik secara individual maupun

kolektif. Jika tidak ada satupun yang melakukannya, maka tidak apa-apa,

karena memang adalah hak yang diimbau agar ditunaikan.

Penginstitusionalisasian Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Ichwan memaparkan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar dalam

sejarahnya mengalami institusionalisasi, baik pada level negara

maupun level civil society. Pada masa Rasulullah, amar ma’ruf dan

nahi munkar belum mengalami institusionalisasi, baru pada masa

Khilafah Rasyidah perlahan-lahan amar ma’ruf dan nahi munkar mengalami institusionalisasi, misalnya Baitul Mal di masa Umar bin

Khattab, peradilan dengan hakim bernama Surayj. Pada masa itu juga

muncul lembaga bernama Wilayat al-Hisbah (polisi syariat) dengan

pelaksanaannya yang bernama muhtasib. Bagi muhtasib, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah fardhu ‘ayn (kewajiban individu) yang berdosa

jika tidak dilaksanakan.

Wilayat al-Hisbah (WH) adalah lembaga yang diberi wewenang, atas

nama negara Islam, untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan “tangan” sebagaimana hadis di atas. Sedangkan melakukan

amar ma’ruf dan nahi munkar melalui lisan dan hati adalah tugas setiap

Page 100: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media88

Muslim non-muhtasib, oleh karenanya hukumnya menjadi fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Lembaga WH ini tidak ada pada masa

Rasulullah dan Khilafah Rasyidah. Sahal menuliskan lembaga WH ini

dibentuk pada masa Dinasti Abbasiyah dan pada masa dinasti-dinasti

Islam. Lembaga ini adalah produk dari “penyempitan-yang-meluas”,

dalam pengertian amar ma’ruf dan nahi munkar menyempit menjadi

masalah fiqhiyah, namun meluas karena mencakup hal-hal yang pada

masa Rasulullah tidak dianggap sebagai hukum publik, seperti tidak

shalat Jumat dan penggunaan jilbab.

Sampai sekarang, lembaga WH ini masih didapati di sejumlah

negara Islam, terutama yang menerapkan syariat Islam. Kerajaan Saudi

misalnya memiliki WH dengan nama Hay’at al-amr bi ’l-ma’ruf wa ‘l-nahy ‘an al-munkar (Komite amar ma’ruf dan nahi munkar). Di

Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam,

juga ada lembaga WH ini untuk mengawasi pelaksanaan penerapan

aturan hukum Islam di Aceh.

Sahal dan Ichwan mengkritisi adanya penginstitusionalisasian amar ma’ruf dan nahi munkar di Indonesia, baik dalam wujud FPI, ormas Islam

lainnya, maupun seperti WH di Aceh. Semestinya, lembaga penegakan

nahi munkar tidak dipercayakan atau diamanahi pada orang per orang

atau kelompok swasta, melainkan melalui lembaga publik yang dibentuk,

diresmikan, dan menjadi wilayah kekuasaan negara, yaitu wilayatul

hisbah—tetapi kedua penulis dalam tulisannya berpendapat WH seperti

yang ada di Aceh bukanlah suatu hal ideal seperti yang dimaksudkan.

Jika merujuk pada masa Rasulullah sendiri, muhtasib sebenarnya

adalah orang yang ditunjuk Rasulullah untuk mengontrol pasar, agar

tidak terjadi kecurangan, seperti pengurangan timbangan, penipuan,

penerapan harga yang tidak wajar, dan lain-lain. Muhtasib tidaklah

mengawasi orang-orang yang tidak melaksanakan syariat Islam

sebagaimana perkembangan pasca-Khilafah Rasyidah. Dalam konteks

Page 101: Wajah Syariat Islam di Media

Rekonsepsi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di Aceh | 89

sekarang, tugas muhtasib dilakukan oleh lembaga negara yang mengurus

masalah pasar (dalam pengertian luas), di bawah kementerian terkait

ekonomi dan perdagangan.

Ichwan menekankan semestinya tugas amar ma’ruf dan nahi munkar pada level negara bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga kenegaraan

yang ada. Lembaga legislatif memastikan bahwa perundang-undangan

mengandung unsur amar ma’ruf, yakni mengatur agar tercipta ketertiban

sosial, dan nahi munkar agar mencegah terjadinya konflik, disharmoni,

dan ketimpangan dalam masyarakat. Secara internal, lembaga legislatif

juga harus dapat menjamin dirinya sendiri dapat melaksanakan amanah

yang diberikan rakyat dengan baik (ma’ruf) dan tidak mengkhianati atau

menyelewengkan untuk kepentingan pribadi atau partainya (munkar).

Lembaga eksekutif memastikan terciptanya kebijakan-kebijakan yang

ma’ruf yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat serta tidak membuat

kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Secara internal eksekutif juga

mesti dapat melaksanakan tata kelola pemerintah yang baik, tidak

melakukan korupsi atau menyalahgunakan wewenang/kekuasaan.

Lembaga yudikatfi memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan secara

adil (ma’ruf) dan terhindar dari ketidakadilan hukum; serta secara

internal mesti bebas dari suap atau makelar kasus.[]

Page 102: Wajah Syariat Islam di Media
Page 103: Wajah Syariat Islam di Media

Ketika Putri “Dirajam”

Chairul Fahmi

SEORANG gadis belia di kota Langsa dikabarkan bunuh diri setelah

sebuah media massa lokal memberitakan bahwa ia adalah seorang

Pelacur ABG. Berita itupun dikutip dari seorang petugas Wilayatul Hisbah

(WH) Kota Langsa, dan membahasakannya dalam bahasa “Koran”.

Motif kematian digadis diketahui setelah ia meninggalkan sepucuk surat

permohonan maaf kepada kedua orang tuanya akibat ia ditangkap oleh

WH, namun ia juga bersumpah bahwa ia bukanlah pelacur. Ia hanya

ingin menghabiskan malam bersama temannya setelah menonton acara

key board.

Berita kematian si Gadis Langsa terkait dengan tekanan psikis setelah

ia “dituduh” sebagai pelacur mengingatkan kita kembali kepada kasus

perkosaan “tahanan” WH yang juga dilakukan oleh oknum WH beberapa

tahun yang lalu. Bahwa benar syariat harus ditegakkan, namun tidak

juga benar jika syariat harus “merajam” orang tanpa ada pembuktian.

Bukankah menuduh wanita baik-baik secara “penzina” adalah hal yang

dilarang dalam Islam?, lalu bagaimana WH di kota Langsa, dan juga

media massa begitu mudah menulis “Pelacur ABG di Beureukah di

Langsa?”

Etika Hukum dan Media IslamDalam Islam sebenarnya telah diatur secara jelas bagaimana hukum

itu ditegakkan. Terkait dengan tuduhan terhadap seseorang dengan

sebutan pelacur atau penzini, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya

“Al-Muqni” (10/201), dan juga Ibnu Rusyd dalam “Taudhihul Ahkam

Page 104: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media92

min Bulughil Maram” (5/299) menyatakan bahwa menuduh orang

lain berzina hukumnya haram dan termasuk dosa besar, kecuali jika ia

membawa bukti nyata berupa 4 saksi laki- laki yang terpercaya.

Fatwa ulama yang menyatakan bahwa menuduh seseorang sebagai

pelacur (penzina) tanpa ada proses pembuktian didasarkan kepada

Al-Qur’an surah An-Nur, yang artinya: ‘’Dan orang-orang yang

menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka

tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka

(yang menuduh) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima

kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang

yang fasik.’’ (QS.An-Nur [24]: 4).

Dalam konteks ini, petugas WH dan si Media yang telah menulis

berita tanpa proses pembuktian, maka dalam Islam dapat dikategorikan

telah melakukan perbuatan tindak pidana Qazhaf, yaitu melontarkan

tuduhan zina kepada orang lain baik secara terang- terangan atau dengan

sindiran yang berakibat ditegakkannya hukuman pada si penuduh.

Sementara hukum bagi penuduh tersebut adalah, ia harus dicambuk 80

kali cambuk, tidak akan pernah diterima persaksiannya, dan ia menjadi

orang fasik (Al-Mawardi, 2010).

Ini adalah ketentuan dalam Islam yang seharusnya dipahami oleh

polisi syariat dalam upaya menegakkan syariat Islam di Aceh, bahwa

menegakkan syariat adalah penting, namun membangun etika dalam

upaya menegakkan syariat juga jauh lebih penting. Hal ini telah

dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dalam meneggakkan syariat Islam

semasa hidupnya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan

hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang

baik…” (QS An-Nahl: 125).

Pada masa Rasulullah ada seorang pemuda mendatanginya dan

bertanya ”Ya Rasulullah, izinkan saya berzina.” Rasul memandangi

pemuda tersebut dengan penuh kasih sayang dan mengajaknya berdialog.

Page 105: Wajah Syariat Islam di Media

Ketika Putri “Dirajam” | 93

”Sukakah kamu bila itu terjadi pada ibumu?” tanya Rasul. ”Tidak, demi

Allah,” jawab anak muda itu.

”Sukakah kamu bila itu terjadi pada saudara perempuanmu?” tanya

Rasul. ”Tidak, demi Allah.” ”Sukakah kamu bila itu terjadi pada anak

perempuanmu?.” ”Tidak, demi Allah.” Sukakah kamu bila itu terjadi

pada istrimu?” Anak muda itu menjawab, ”Tidak, Demi Allah.”

Rasulullah lalu berkata, ”Demikianlah halnya dengan semua

perempuan, mereka itu berkedudukan sebagai ibu, saudara perempuan,

istri, atau anak perempuan.” Kemudian beliau meletakkan telapak

tangannya di dada pemuda itu, lalu mendoakannya (A.Nizami, 2012).

Kisah ini memberikan suatu pelajaran tentang betapa tingginya etika

dalam menegakkan hukum (syariat) bagi umatnya. Islam adalah agama

rahmat, maka sudah sepatutnya petugas syariat Islam, atau siapapun

itu untuk dapat memahami bagaimana sunnah Rasul dalam upaya

menegakkan hukum dengan penuh rahmat dan berperadaban.

Disisi lain, “tuduhan” yang menyebabkan dorongan untuk melakukan

aksi “merajam diri” sampai mati oleh sigadis yang dituduh tersebut tidak

terlepas dari pemberitaan media massa. Berita itu kemudian menjadi aib

bagi dirinya dan keluarganya. Dalam kasus tersebut, AJI (Aliansi Jurnalis

Independen) Banda Aceh menyatakan bahwa pemberitaan terhadap

“Pelacur ABG” tersebut telah melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik.

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap

independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak

beritikad buruk” (ajibanda.org,2012). Sementara berita yang disebarkan

tidak memenuhi unsur cover both side (berimbang), dimana berita itu

harus diklarifikasi akan kebenarannya (check and recheck).

Prinsip dari kode etik jurnalis ini, juga telah disebutkan dalam Al-

Qur’an surah al-Hujarat ayat 6, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman,

jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka

periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah

Page 106: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media94

kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan

kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Ketika kode etik dan prinsip ini tidak dijalankan, barangkali karena

ada keinginan membuat judul yang “populis”. Namun sayang, sang gadis

telah “dirajam” oleh sebuah berita tanpa didasarkan pada bukti, fakta

dan data. Sebuah surat kemudian “membuktikan” bahwa ia bukanlah

“pelacur ABG” sebagaimana berita yang telah disebarkan: ”Ayah…Maafin putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani bersumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu putri cuma mau nonton kibot di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.” Wallahu’alam.[]

Page 107: Wajah Syariat Islam di Media

Derita Korban Berita

Rach Alida Bahaweres

DUA media di Aceh dilaporkan ke Dewan Pers. Dinilai melanggar kode

etik dan memicu aksi bunuh diri remaja putri terduga pelaku khalwat.

Menanggung malu lantaran diberitakan sebagai pelacur.

Tak tahan digunjing tetangga sebagai pelacur, PE, 16 tahun, memilih

bunuh diri. Tubuhnya ditemukan sang adik tergantung pada seikat tali

plastik di rumahnya, Gampong Matang Seulimeng, Langsa Barat, Kota

Langsa, Aceh, Kamis 6 September lalu. Sepucuk surat pamitan dan

klarifikasi kepada ayah dan adiknya menjadi isyarat terjadinya bunuh

diri.

Awalnya, tak ada yang aneh pada diri PE. Minggu 2 September lalu,

bersama kawannya, IT, 16 tahun, PE menghabiskan malam menonton

pertunjukan keyboard di Lapangan Merdeka, Langsa, Aceh Timur.

Karena keasyikan menonton, waktu melaju sampai pukul 03.00, Senin

dini hari 3 September lalu.

Dinas Syariat Islam (SI) serta aparat Satpol Pamong Praja dan

Wilayatul Hisbah (WH) Langsa menangkap PE. Setelah diinterogasi

di kantor Dinas SI dan menandatangani surat perjanjian tak akan

mengulangi perbuatan, PE dikembalikan ke orangtuanya, dijemput

salah satu tantenya, Senin pukul 10.30. Esok harinya, kabar tentang

penangkapan PE ramai diberitakan media.

Harian Pro Haba edisi Selasa, 4 September, menulis judul, “Dua

Pelacur ABG Dibeureukah WH”. Dibeureukah berarti diciduk. Aceh Tribun News.com menulis tajuk yang sama. Harian Waspada menulis

judul, “WH Amankan Dua Remaja Putri”.

Page 108: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media96

Eko Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia, dan Maimun Saleh,

Ketua AJI Banda Aceh, melaporkan kasus ini kepada Dewan Pers, Rabu

19 September lalu. Diterima Agus Sudibyo, Ketua Komisi Pengaduan

Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Eko Maryadi mengatakan

terjadi pelanggaran kode etik pada pemberitaan kasus ini. “Berita itu

dianggap ikut memicu terjadinya bunuh diri,” kata Eko Maryadi.

Tanpa sumber jelas, Pro Haba dan Aceh Tribun News.com langsung

menyebut PE sebagai pelacur. Pada paragraf pertama tertulis, “Dua wanita

yang masih di bawah umur ditangkap di Lapangan Merdeka, Langsa,

ketika menunggu lelaki hidung belang.” Paragraf kedua menyatakan,

“Kedua pelacur dimaksud dibeureukah saat razia syariat Islam lanjutan

yang digencarkan Dinas Syariat Islam bersama Wilayatul Hisbah (WH)

Langsa, sekitar pukul 03.00 WIB.”

“Bahkan, kepada penyidik, mereka secara gamblang menyatakan

selama ini kerap beraktivitas melayani lelaki hidung belang,” tulis

paragraf selanjutnya. “Tak ada satu kalimat penjelasan PE, salah satu

perempuan yang ditangkap, tertulis di berita itu,” kata Eko Maryadi.

Padahal, Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyebutkan, “Wartawan

Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,

berimbang, dan tidak beriktikad buruk.”

Berita Pro Haba tidak memenuhi unsur cover both sides (berimbang).

Berita itu hanya menampilkan informasi Kepala Dinas SI Langsa,

Ibrahim Latif. Namun, berdasarkan investigasi AJI Banda Aceh, Ibrahim

mengaku tak pernah menyebut PE sebagai pelacur.

Kepada Gatra, Ibrahim bercerita, ia memperoleh laporan masyarakat

bahwa di Lapangan Merdeka, Langsa, terdapat perzinaan. Setiba di

lokasi, aparat Dinas SI dan WH langsung menciduk sejumlah pasangan,

tapi banyak yang kabur. Nahas bagi PE dan IT yang tertangkap. Ada dua

pria lain yang ditangkap, tapi mengaku tidak saling mengenal.

Di kantor Dinas SI Langsa, menurut Ibrahim, PE dan IT diberi

Page 109: Wajah Syariat Islam di Media

Derita Korban Berita | 97

pembinaan. “Saya tanya mengapa mereka sampai dini hari belum pulang

ke rumah,” kata Ibrahim. PE mengaku hanya menonton keyboard. Senin

siang pukul 10.30 WIB, keluarga datang dan membawa PE dan IT ke

rumah masing-masing.

PE dan IT dinilai melanggar Qanun 14/2003 tentang Larangan

Khalwat/Mesum. Pasal 1 ayat 2 qanun itu mendefinisikan khalwat, “Perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang

berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.”

Ibrahim Latif menolak asumsi bahwa penangkapan PE mengakibatkan

remaja itu bunuh diri.

“Bunuh diri tak ada hubungannya dengan kami,” katanya. Ia

menyangkal pernah mengatakan kepada jurnalis bahwa PE dan IT

pelacur. “Siapa yang bilang mereka pelacur? Bukan saya,” katanya lagi.

Ibrahim baru tahu kejadian bunuh diri itu dari para jurnalis yang hendak

mencocokkan tanda tangan di surat kematian PE dengan surat peryataan

di Dinas SI. “Teryata cocok,” ujarnya.

Ibrahim pun meragukan apakah benar kematian PE itu akibat

pemberitaan. “Kami sering menangkap orang dan semua diliput, tapi tak

ada yang bunuh diri,” katanya kepada Gatra. Eko Maryadi mengatakan,

seharusnya media melakukan pengecekan dan tidak mencampuradukkan

opini dengan berita.

Harian Waspada juga melakukan pelanggaran kode etik. Meski

menulis inisial PE, Waspada menyebutkan alamat lengkap. Penulisan

alamat lengkap inilah yang membuat masyarakat tahu siapa PE itu dan

menggunjingkannya. Pergunjingan itu diketahui PE. Dalam KEJ Pasal 5

dinyatakan, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan

identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak

yang menjadi pelaku kejahatan.”

Identitas itu termasuk alamat lengkap yang membuat publik mudah

melacak. Harian Waspada juga menulis bahwa PE dari keluarga

Page 110: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media98

broken home yang terjun ke dunia hitam karena tekanan ekonomi. “Ini

pelanggaran kode etik Pasal 9,” ungkap Maimun. Dalam KEJ tertulis,

“Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan

pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.”

Dalam penelitian AJI Banda Aceh melalui “Shariah News Watch”

terhadap 15 media lokal dan nasional selama Maret-Juni 2012 ditemukan,

tren pemberitaan berkutat pada isu penangkapan terduga mesum dan

razia penegakan syariat. Ada 88 berita penangkapan terduga mesum

yang dipublikaskan. Berita razia berada di urutan kedua, sebanyak 44

berita.

Harian Waspada berada di urutan puncak yang memproduksi berita

penangkapan terduga mesum: 23 berita. Pro Haba dan Metro Aceh

berada di posisi kedua dengan jumlah masing-masing 21 berita. Dalam

catatan Shariah News Watch, pelanggaran etika kerap terjadi. Selain

tidak memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk berbicara, media

juga berperan sebagai hakim dan memvonis terduga.

Ibnu Sakdan, Kepala Biro Waspada di Aceh, membantah menulis

alamat lengkap PE di medianya. “Kami hanya menulis PE sebagai warga

Aramaniah,” katanya. Aramaniah terletak di Kabupaten Aceh Timur.

“Kalau disebut Aramaniah, orang tak akan tahu siapa yang dimaksud,”

ungkapnya.

Agus Sudibyo belum bisa menyimpulkan apakah bunuh diri itu

merupakan dampak pemberitaan atau tidak. “Kami harus melakukan

penyelidikan. Setelah itu, Dewan Pers baru dapat memberikan

rekomendasi,” katanya.[]

Page 111: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh

Satrio Arismunandar

PengantarSetelah gerakan reformasi Mei 1998 menjatuhkan rezim Orde

Baru yang otoriter, rakyat menikmati kebebasan pers dan kebebasan

berekspresi yang sangat besar. Tidak ada lagi hambatan perizinan

untuk menerbitkan surat kabar dan majalah. Tidak ada lagi ancaman

penyensoran dan pembreidelan, yang sebelumnya menjadi momok bagi

pekerja media. Jumlah stasiun TV swasta, yang melakukan siaran dari

Jakarta dan berbagai kota di daerah, juga bertambah secara drastis.

Selain di bidang media, banyak aspirasi rakyat lain --yang sekian lama

teredam-- akhirnya muncul ke permukaan. Era reformasi membuka jalan

bagi desentralisasi kekuasaan, lewat otonomi daerah yang lebih besar.

Lebih jauh, beberapa daerah yang memiliki latar belakang keagamaan

khas, mulai mengeluarkan berbagai peraturan daerah (perda) yang

dianggap mewakili aspirasi daerah. Munculnya perda syariat Islam di

Provinsi Aceh, adalah salah satu contohnya.

Hal yang perlu diperhatikan, sejumlah aspek dari penerapan perda

syariat ini ternyata menghadirkan komplikasi tertentu terhadap praktik

jurnalistik dan kebebasan pers, khususnya di daerah Aceh. Keberadaan

perda syariat bukanlah semata-mata persoalan hukum, tetapi juga terkait

dengan faktor agama, sosial-budaya, dan politik. Sehingga mungkin saja,

berbagai cara pemberitaan media yang kritis terkait penerapan perda

syariat berpotensi menimbulkan friksi atau menyinggung sensitivitas

kalangan tertentu, yang mendukung penerapan perda syariat tersebut.

Page 112: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media100

Ujung-ujungnya, media yang kritis dan kebebasan pers bisa dianggap

sebagai sebentuk ancaman terhadap penerapan perda syariat.

Tulisan ini tidak berpretensi sebagai artikel ilmiah atau akademis,

yang mengupas segala aspek penerapan perda syariat secara rinci dan

komplementer. Namun, melalui tulisan ini, penulis mencoba menyajikan

sebuah gambaran sekilas (snapshot) tentang dinamika penerapan qanun

(perda) syariat di Aceh, serta komplikasinya dengan isu jurnalisme dan

kebebasan pers.

Pengertian Syariat dan CakupannyaSyariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh

sendi kehidupan umat Islam. Tujuan utama seluruh hukum yang

diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan

(masalih). Pemikir Islam, Ibn Taymiyah, menekankan, “Syariat hadir

untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.”

Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini

berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis

Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan syariat Islam.

Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi tuntunan

bagi umat Islam dalam penyelesaian berbagai masalah kehidupan.

Sumber utama syariat Islam adalah Al-Quran dan hadist Nabi. Maka,

sebagian penganut Islam menganggap syariat Islam sebagai panduan

menyeluruh dan sempurna bagi seluruh permasalahan hidup manusia.

Cakupan syariat dengan demikian sangat luas. Mulai dari ibadah sholat,

zakat, puasa, sampai etika berbisnis, pernikahan, aturan pembagian

warisan, dan sebagainya.

Gubernur Provinsi Aceh (sekarang mantan gubernur) Irwandi

Yusuf pada Maret 2010 menyatakan, penerapan syariat Islam di Aceh

merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Menurutnya, Aceh

sedang berusaha secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan syariat

Page 113: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh | 101

Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Syariat Islam yang diterapkan memiliki landasan yuridis yang

kuat. Karena Aceh diberikan otonomi khusus dalam bidang syariat

Islam melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Otorisasi hukum seperti ini adalah amanah konstitusi Republik

Indonesia, yang menghargai dan menghormati satuan-satuan masyarakat

hukum yang memiliki kekhususan dan karakteristik tersendiri. Dengan

demikian, menurut Irwandi, pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah

upaya negara untuk membangun masyarakat Aceh, supaya hidup sesuai

dengan keyakinan dan ajaran agamanya masing-masing.

Problematika Penerapan Perda SyariatMeskipun penerapan perda syariat Islam bisa dibilang adalah wujud

dari aspirasi daerah, munculnya banyak perda syariat di berbagai

daerah (bukan cuma di Aceh) dipandang sebagian kalangan sebagai

hal yang problematik. Mereka melihat, kurangnya pemahaman tentang

pembagian kewenangan antara urusan pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sejak tahun

2000 hingga saat ini, berdampak pada banyaknya perda yang memiliki

muatan materi melampaui batas kewenangan dari pemerintah daerah

itu sendiri.

Banyak ditetapkannya perda bernuansa agama (perda syariat

Islam) dipandang sebagai salah satu bukti pelanggaran yang dilakukan

pemerintah daerah, dengan melampaui batas kewenangan yang

seharusnya merupakan kewenangan dari pemerintah pusat.

M. Iwan Satriawan, dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung,

menyatakan, sistem hukum nasional kita adalah sistem hukum yang

Page 114: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media102

bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi memberi tempat kepada

agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum

atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional.

Pakar politik hukum dari Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. M.

Mahfud MD, dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari’ah, juga menjelaskan, hukum agama sebagai

sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber

bahan hukum), dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam

bentuk tertentu) menurut peraturan perundang-undangan.

Sedangkan mantan Hakim Agung Bismar Siregar pernah menyatakan,

kewajiban menjalankan syariat Islam tidak perlu diperintahkan secara

formal berdasarkan undang-undang. Karena, sekali orang menyatakan

dirinya umat Muhammad, dengan ikrar dua kalimat syahadat, maka

berlakulah kewajiban menjalankan syariat Islam atas dirinya (Bismar

Siregar, 1991: 33).

Dari segi hukum ketatanegaraan, penerapan perda syariat tampaknya

memang berpotensi masalah dan telah menimbulkan kontroversi.

Namun, penerapan perda syariat –khususnya dalam kasus Aceh—

memang bukan semata-mata isu hukum, tetapi juga isu keagamaan

dan politik. Isu penerapan perda syariat ini bisa bersifat murni aspirasi

keagamaan, atau bahkan ideologis, namun bisa juga sekadar sarana

untuk menggalang dukungan menjelang pemilihan kepala daerah.

Namun, bagi pendukung perda syariat, ada juga “pertimbangan

khusus” lain, seperti argumen bahwa penerapan perda syariat itu sejalan

dengan upaya “menampung kondisi khusus daerah” (Pasal 12 UU Nomor

10 Tahun 2004). Argumen lain menyatakan, perda bernuansa syariat itu

sah-sah saja, karena dikeluarkan sesudah melalui proses legislasi yang

demokratis.

Perdebatan tentang aspek hukum dan politik atas penerapan perda

syariat ini bisa diperpanjang, tetapi bukan hal itu yang menjadi fokus

Page 115: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh | 103

tulisan ini. Biarlah aspek hukum itu digarap oleh pihak lain yang lebih

kompeten. Namun, terlepas dari tepat-tidaknya penerapan perda syariat

di Aceh, harus diakui bahwa isu perda syariat –karena menyangkut agama

dan aspirasi kedaerahan—memang menjadi isu sensitif. Dalam konteks

jurnalisme, isu penerapan perda syariat ini dapat memberi komplikasi

terhadap kebebasan pers dan cara peliputan media, yang dituding “tidak

peka” atau bahkan dituduh punya agenda “anti-perda syariat.”

Pemberitaan yang Terkait Perda SyariatAda contoh kasus pada September 2012, tentang cara pemberitaan

media, yang memunculkan tudingan “anti pelaksanaan perda syariat.”

Kasusnya berawal dari pemberitaan media lokal tentang penangkapan

remaja putri berinisial PE (16 tahun) oleh polisi syariat (Wilayatul

Hisbah) di Kota Langsa, Aceh Timur.

Koran lokal pada 4 September 2012, seperti diberitakan Majalah

Tempo, menulis judul: “Dua Pelacur ABG Ditangkap Menjelang Subuh.”

Harian Prohaba menulis: “Dua Pelacur ABG Dibereukah WH”. Dalam

pemberitaannya, koran itu menyebut PE sebagai pelacur. Belakangan

PE ditemukan tergantung tak bernyawa di rumahnya di Aramiah,

Kecamatan Bireum Bayuen, Aceh Timur. PE meninggalkan sepucuk

surat berisi permintaan maaf dan klarifikasi kepada ayahnya, bahwa dia

bukanlah pelacur.

Majalah berita Tempo edisi 12-23 September 2012, dalam rubrik

Hukum dan Nasional, memuat berita kematian PE. Dalam berita tersebut

dinyatakan, kematian PE secara tidak langsung terjadi karena penegakan

qanun (perda syariat). Artikel Tempo yang berjudul Surat Terakhir Dari Putri itu menyebutkan: “Terlepas dari penyebab kematiannya, banyak pihak berharap agar Putri menjadi korban terakhir dari penerapan qanun yang dibuat dan diterapkan tanpa memperhatikan perlindungan atas hak-hak anak.”

Page 116: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media104

Sebetulnya banyak kutipan lebih panjang bisa dipaparkan di sini

tentang berita Tempo tersebut. Tetapi dalam tulisan ini cukuplah diberikan

kutipan pendek dari satu berita saja, sekadar untuk menunjukkan,

bagaimana dari pemberitaan dan tulisan bisa memunculkan tudingan

bahwa Tempo telah bersemangat “anti-perda syariat.”

Kalau toh benar bahwa Tempo memiliki kebijakan redaksional

yang pada intinya menolak penerapan perda syariat (dengan berbagai

argumennya), sebetulnya sejumlah LSM dari dalam dan luar negeri juga

telah menyuarakan penolakan yang sama. Tentunya, masing-masing

lembaga itu punya argumen tersendiri. Lembaga itu antara lain: Amnesty

International dan Human Rights Watch (HRW).

Pada akhir 2010, HRW mengeluarkan laporan terkait penerapan

syariat Islam di Aceh. Dalam laporannya, HRW menyatakan, dua aturan

perda syariat mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana

muslim, pada pelaksanaannya telah melanggar HAM dan konstitusi

Indonesia. Dalam konferensi pers, 1 Desember 2010, HRW memuat

berbagai pengalaman masyarakat Aceh yang pernah dituduh melanggar

perda syariat.

Dalam kasus bunuh dirinya PE, Komisi Nasional Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Untuk Orang Hilang

dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI), adalah sebagian lembaga di dalam negeri yang

mengeritik cara pemberitaan media dan penerapan perda syariat, yang

dianggap berperan signifikan dalam kasus bunuh dirinya PE.

Namun, Dinas Syariat Islam Kota Langsa dengan tegas menolak jika

kematian PE dikaitkan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Kepala

Dinas Syariat Islam kota Langsa, Ibrahim Latif mengaku, tidak pernah

mengatakan bahwa dua gadis ABG itu pelacur. Maka, bila ada koran

harian di Aceh (atau media lain manapun) membuat judul atau berita

yang mengatakan bahwa PE dan temannya itu pelacur, tentu itu di luar

Page 117: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh | 105

tanggung jawab Kepala Dinas Syariat Islam.

Heboh berita tentang kematian PE juga memicu reaksi dari kalangan

mahasiswa. Mereka resah dengan pemberitaan media lokal, yang

dipandang sering tidak mengindahkan kode etik jurnalistik, khususnya

terkait liputan tentang penangkapan pelanggar qanun syariat Islam. Maka

sejumlah mahasiswa di Aceh menggagas Gerakan Syariatkan Media.

Mereka berharap, gerakan ini bisa menyadarkan media akan pentingnya

pembelajaran publik dalam pemberitaan, bukan mendahulukan

kepentingan bisnis semata.

“Kematian PE menjadi bahan pembicaraan hangat di kantin kampus.

Kemudian kami ikuti diskusi salah satu LSM. Sepulang dari situ kami

bangun Gerakan Syariatkan Media,” kata Muda Bentara, pada 13 Oktober

2012. Mahasiswa Komunikasi FISIP Universitas Syiah Kuala ini adalah

penggagas gerakan tersebut, seperti dilansir okezone.

Berbagai sorotan kritis dari media, LSM, dan lembaga HAM terhadap

penerapan perda syariat di Aceh memancing reaksi keras dari pemerintah

daerah Aceh. Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dalam sambutan di acara

HUT ke-44 Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry di Banda Aceh, 12 Oktober

2012, mencurigai adanya penggiringan opini yang memposisikan syariat

Islam sebagai musuh bagi penegakan hak asasi manusia (HAM).

“Mereka hanya akan puas kalau konsep HAM di negeri ini sama

dengan konsep HAM yang diterapkan di negeri mereka. Kalau di negeri

mereka bebas memakai pakaian minim, bebas menghina agama orang

lain, atau bebas berzina, maka mereka menginginkan hal seperti itu juga

terjadi di negeri kita,” kata Zaini Abdullah.

Menurut Gubernur, upaya-upaya pembusukan seperti itulah salah

satu yang harus dihadapi oleh para sarjana Dakwah, dalam memberi

pencerahan kepada masyarakat, agar memahami makna kebebasan

yang sebenarnya menurut Islam. “Kebebasan menurut Islam adalah

kebebasan universal yang seharusnya menjadi panutan seluruh umat

Page 118: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media106

manusia. Kita juga percaya, agama Islam adalah agama yang membawa

kebaikan, jauh dari kekerasan dan menghormati HAM yang beretika,”

katanya.

Kaukus Wartawan Pembela Syariat IslamDari berbagai macam reaksi, yang paling menarik dan patut dicermati

di sini adalah reaksi dari kalangan wartawan Aceh sendiri. Pada September

2012, sejumlah wartawan Aceh mendeklarasikan pembentukan Kaukus

Wartawan Pembela Syariat Islam (KWPSI), untuk memberi dukungan

konkret bagi ulama, pemerintah, dan aktivitas Wilayatul Hisbah dalam

memberantas berbagai bentuk maksiat di Aceh.

Menurut Arif Ramdan, wartawan Harian Serambi Indonesia dan salah

seorang penggagas kaukus itu, 23 September 2012, KWPSI juga bertujuan

mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh agar berjalan sesuai dengan

qanun dan undang-undang Syariat Islam itu sendiri. Sebagai lembaga

yang beranggota wartawan, kaukus ini akan memperjuangkan kebebasan

pers dan menyelaraskan kode etik jurnalistik dengan nilai Islam, sebagai

panduan moral wartawan dalam menjalankan tugasnya.

Dikatakannya, kaukus akan mengawal pelaksanaan syariat dari anasir-

anasir busuk yang berlindung dibalik tema-tema intelektual dan hak

asasi manusia. Anasir busuk tersebut sangat berbahaya karena disinyalir

berbaju munafik, yang berbicara seakan-akan mendukung syariat, tapi

diam-diam menjalankan misi terselubung dari donor-donor asing untuk

menghancurkan Islam di Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.

Dalam beberapa kasus, sekelompok orang yang ditengarai dibiayai

pihak luar itu mencoba mengatur pemberitaan tentang penangkapan

pelaku pelanggaran peraturan daerah/qanun tentang khalwat (mesum),

khamar (minuman keras), dan maisir (judi).

“Kami sekelompok wartawan yang menjunjung tinggi kebebasan

pers dan nilai-nilai syariat Islam, saat ini merasa khawatir dengan

Page 119: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh | 107

upaya sekelompok orang yang terindikasi berusaha mengekang atau

melemahkan semangat para pekerja pers, dalam meliput kasus-kasus

yang berkaitan dengan upaya penegakan syariat Islam di Aceh,” ujarnya.

Tidak hanya melemahkan semangat pekerja pers, pemantauan

terhadap penegakan syariat Islam oleh orang-orang yang disponsori

pihak luar negeri, juga meruntuhkan semangat para petugas Wilayatul

Hisbah (pengawas syariah Islam) dalam menjalankan tugasnya di

lapangan, tambah Arif lagi.

Sampai 10 Oktober 2012, diklaim sudah ada 56 wartawan yang

mendaftar untuk bergabung dalam kaukus ini, dari media cetak,

radio, televisi, dan online. Dukungan terhadap pembentukan

KWPSI juga mengalir dari berbagai kalangan, termasuk dari Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. KWPSI diharapkan MPU, dapat

memberikan pemberitaan seimbang tentang pelaksanaan syariat Islam

di Aceh, sekaligus meningkatkan kualitas penerapan nilai-nilai Islam

dalam masyarakat Aceh.

Dari kalangan pers, dukungan terhadap kehadiran KWPSI antara

lain disampaikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang

Aceh, Tarmilin Usman dan Wakil Ketua PWI Aceh Bidang Pembelaan

Wartawan, M. Nasir Nurdin. “PWI mendukung penuh kaukus ini,

apalagi melibatkan anggota PWI secara pribadi. PWI mengimbau kepada

anggota yang sepaham dengan kaukus, silakan bergabung. Ini sebuah

terobosan baru dan perlu ada dukungan dari semuanya, terutama dari

para wartawan,” kata Tarmilin, 24 September 2012.

Sesuai dengan namanya, yakni kaukus, lembaga KWPSI ini hanya

bersifat sementara dan terbatas kepada upaya untuk memberikan

semangat kepada jurnalis dalam meliput pemberitaan seputar upaya

penegakan hukum syariat di Aceh. Menurut Arif Ramdan, lembaga ini

akan dibubarkan jika ancaman terhadap penegakan syariat Islam di Aceh

dianggap sudah tidak ada lagi.

Page 120: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media108

Nyatanya, tidak semua wartawan Aceh bersedia bergabung dengan

kaukus ini. Memang, berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan

berserikat, tidak ada larangan bagi wartawan untuk membentuk kaukus

atau lembaga apapun. Namun, kehadiran kaukus semacam ini menuai

kritik karena dianggap menunjukkan posisi tidak independen.

Penyikapan wartawan terhadap isu perda syariat sebenarnya bisa

dituangkan dalam artikel opini atau tajuk rencana, sebagaimana yang

sudah berlaku selama ini. Sebagai warga negara biasa, tiap wartawan

tentu juga punya aspirasi individual, yang tidak terhindarkan. Tetapi

jika lantas berbagai aspirasi itu dimunculkan dalam bentuk deklarasi

kaukus-kaukus -- misalnya, kaukus wartawan pendukung perda syariat,

kaukus wartawan pendukung Pancasila, kaukus wartawan pendukung

liberalisme, kaukus wartawan anti-neoliberalisme, dan sebagainya --

tentu menjadi rumit.

Keseriusan tujuan kaukus untuk menegakkan pemberitaan yang

“sesuai syariat” juga dipertanyakan. Pasalnya, meski para wartawan di

kaukus tersebut mengaku sebagai pembela syariat, gaya pemberitaan di

sebagian media tempat mereka bekerja justru cenderung vulgar dalam

menulis berita kriminal. Ada berita-berita yang bersifat mengeksploitasi

kekerasan, dan ada yang sebagian masyarakat menilainya sebagai

pornografi.

Oleh karena itu, semangat para wartawan pendukung penerapan

syariat tersebut ada baiknya disalurkan lewat peningkatan profesionalisme

dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik. Seperti, meningkatkan

keterampilan penulisan, menghindari perilaku tidak etis dalam peliputan,

serta menghindari cara pemberitaan yang mengeksploitasi kekerasan,

seks, dan sensasi berlebihan.

PenutupDari uraian sebelumnya, dapat dicatat beberapa hal. Yakni, penerapan

Page 121: Wajah Syariat Islam di Media

Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh | 109

perda syariat di Aceh --dalam kaitan dengan praktik jurnalistik dan

kebebasan pers-- ternyata melahirkan sejumlah komplikasi. Komplikasi

itu perlu ditangani secara bijak, dengan mempertimbangkan sensitivitas

berbagai kalangan di Aceh yang mendukung penerapan perda syariat,

mulai dari pemerintah daerah, kaum ulama, dan warga masyarakat.

Meski demikian, sedapat mungkin penanganan komplikasi itu harus

ditempatkan dalam koridor praktik jurnalistik yang standar. Hal ini

karena kebebasan pers dan praktik jurnalistik yang benar bukan hanya

penting bagi insan media, tetapi justru teramat penting bagi warga

masyarakat umumnya, termasuk mereka yang mendukung penerapan

syariat Islam itu sendiri.

Keberadaan media yang bebas tetap merupakan salah satu sarana

yang paling efektif dalam menjalankan fungsi pengawas, termasuk

pengawasan terhadap pemerintah dan berbagai isu yang menyangkut

kepentingan publik. Kebebasan pers tidak sepatutnya diposisikan

sebagai ancaman atau musuh terhadap penegakan syariat Islam, tetapi

harus dipandang sebagai wujud fungsi pengawasan, yang bisa memberi

masukan, saran, kritik, dan perbaikan, terhadap berbagai potensi

penyimpangan terhadap kepentingan publik. Dengan atau tanpa perda

syariat, masyarakat Aceh dan kita semua tetap membutuhkan kebebasan

pers. []

Page 122: Wajah Syariat Islam di Media
Page 123: Wajah Syariat Islam di Media

’15 Jam Bersama Puteri’

Imran MA

Kisah tragis bunuh diri remaja PE berbuntut panjang, banyak pihak mengikuti kasus ini? Media, Jurnalis serta

Dinas Syariah Islam ikut terbawa-bawa.Inilah kisah yang terangkum dalam

“15 Jam Bersama Puteri” berdasarkan tuturan IT remaja yang sama-sama dengan PE saat ditangkap

Polisi Syariah/Wilayatul Hisbah sampai esoknya dilepas dan dijemput keluarganya.

“APA Ke“ Tanya PE kepada IT sedikit menantang, pertanyaan itu

pula mengawali pertemuan mereka dimalam itu, hampir saja terjadi

perkelahian. Namun panas itu tidak berlanjut, kedua anak manusia

masih usia remaja itu saling sabar. Ketegangan itu mencair, keduanya

berbaur dan saling bercerita.

Malam itu di lapangan bukan hanya IT dan PE, namun banyak

remaja lain juga masih bergadang di malam itu. IT memang sudah

menjadi tempat bermain disana, boleh dibilang rumput atau pohon

cemara disekitaran lapangan sudah mengenalnya.

Perempuan yang tidak sempat menamatkan SMP itu, menurut

pengakuan kehidupannya terganggu setelah tragedy rumah tangga

menimpanya, Ibu dan Ayahnya bercerai , sejak itulah ia tinggal bersama

neneknya.

Singkat cerita untuk menghilangkan penat dan suntuk dari berbagai

beban hidup Lapangan itulah dipilih menjadi tempat yang luas dan

dianggap menjadi ramuan istimewa untuk menghiburnya.

Page 124: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media112

Kalau benar seperti yang diakuinya, mungkin saja hanya manusia

pilihan saja yang sanggup memikul beban seberat yang mendera IT.

Bayangkan ia memiliki 7 ibu tiri, sementara adek dan abangnya semua

dititipkan ke Pante Asuhan?

“Pening aku bang kurang perhatian orang tua, keluar malam untuk

cari hiburan dan cari kawan, bukan untuk yang lain bang” Katanya saat

di temui reporter acehtraffic.com.

Di Lapangan Merdeka, IT berkawan dengan siapa saja asal tidak

mengganggunya, namun kebanyakan mereka masih berusia remaja baik

yang cewek maupun cowok. Kehidupan keras membawanya menjadi

keras, tak heran bila ada yang iseng atau memperlakukannya tidak

menyenangkan, langsung ia tantang.

Senin 3 September 2012, Tengah malam, IT masih berada dilapangan,

begitu juga sejumlah remaja yang lain. Dimalam yang sudah mulai

menyepi itu, tiba-tiba ia berpapasan dengan PE, mereka saling menatap,

disitulah terjadi sedikit ketegangan antara keduanya.

“Apa Ke ? Tanya PE, IT pun balik menantang Apa Ke ?

Situasi sedikit tegang, kalo saja pertengkaran mulut berlanjut,

mungkin jurus takwondo atau kungfu syaap..syap ya akan terjadi disini.

Namun keduanya saling mundur dan akhirnya mereka saling ngobrol.

“Kalau ngk diam aku pukul, salah dia kok, dia yang mulai liat-liat,

karena dia ngk maju, aku pun sabar, terus aku duduk disamping dia,

Aku tidak mengenal dia, tapi pernah liat sesekali,” Aku IT.

Itulah awal pertemuan antara IT dan PE. Sebelumnya IT pernah

sesekali melihat PE disana, namun mereka hanya saling memandang,

tapi tidak untuk mengobrol. Tapi entah mengapa malam itu, awalnya

hampir ribut, kemudian berubah dan saling bertukar-kabar.

Dalam obrolan itu terungkap bahwa PE berada di lapangan malam itu

karena di tinggal oleh kawannya yang sama-sama pergi nonton keybord.

Karena ketinggalan, iapun tak bisa pulang kerumah karena tidak ada lagi

Page 125: Wajah Syariat Islam di Media

’15 Jam Bersama Puteri’ | 113

tumpangan atau kenderaan umum.

Patroli Wilayatul Hisbah DatangJam 3.00 Dinihari, sedang santai –santainya ngobrol-ngidul, mobil

Patroli Polisi Syariah menyambar Lapangan, sejumlah pria dan wanita

yang lain memilih kabur. Namun tidak bagi IT dan PE, ia memilih diam

ditempat, saat itulah ia digaruk dan di amankan ke markas Polisi Syariah.

“Saya ajak dia untuk lari, tapi dia ngak mau,” Ujar IT.

Dikantor polisi Syariah/WH, IT mengaku di perlakukan baik, namun

ada juga yang menanyakan ngapain disana. “Ngapain kamu dilapangan?

Nge (red)…..Ya? Ngak Pak jawab IT. ,“Saya ngak Ngeee……….Pak? Kamu

ngaku ngak? ditanya lagi.

Gini bang ya “Kita ngak Nge…. kek mana bang? Memang kita ngak

jadi gimana mau ngaku. Karena terus didesak akhirnya ku bilang terus

gini. “ Ya aku nge……. sekali dibayar 300,”

,”Waktu aku bilang gitu, si PE bilang kok gitu ke IT? Ya kita ngaku

betul ngak percaya, kita bilang ngk betol percaya. Biar cepat selesai terus.

Banyak kali proses.,” Ujar IT lepas.

IT bercerita, saat desakan soal “Itu” PE merepet-repet, bapak ini ee

jahat x bapak ini di bilang kita Ngee……..” Ini adalah pengakuan IT, soal

benar atau salah atau ada yang dia sembunyikan kita juga tidak tahu

(sesuai rekaman)

Dikantor WH IT dan PE berselimut dengan kain gorden, keduanya

duduk berdekatan, mereka seperti adik kakak.

Siang esok harinya, Polisi Syariah/Wilayatul Hisbah IT dan PE di

lepas dengan syarat menandatangani surat pernyataan sebagai jaminan

tidak mengulangi lagi keluyuran dilarut malam. “PE dijemput tantenya,

bis tu aku kagak komunikasi lagi, hingga kudengar berita dia telah tiada”

Ujar IT mengenang.

Page 126: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media114

***

SEKITAR pukul 10.00 Wib pagi, Senin 3 September 2012 Kantor dinas

syariah Kota Langsa menghubungi keluarga IT dan PE. Keluarga PE

kedatangan awak Dinas Syariah itu untuk mengabarkan bahwa ada

seorang anggota keluarga sedang berada dikantor Syariat Islam. Dan

meminta keluarga PE datang ke kantor Dinas Syariat Islam untuk

menjemput.

Permintaan itu direspon cepat oleh keluarga PE. Jasminawati Tante

PE, tanpa menunggu suaminya pulang berbelanja. Mereka langsung

mendatangi kantor yang dimaksud, ia ditemani seorang anak masih kecil

dan adik perempuannya, sekitar pukul 10:00 wib tiba dikantor tersebut,

Namun karena sang kepala kantor masih sibuk dengan rapat, akhirnya

mereka diminta balik setelah siang.

Siang harinya, sesampai dikantor Jasmiyati diminta menghadap,

saat itulah ucapan-ucapan agak..agak …..menyambar Jasminawati.

“Ponaan Ibu ….Blaaa..blaaa…Udah jadi blaaa….membuat Jasmiyati

dooon. Jasmiyati tak sanggup menahan tangis, air matanya tanpa

disadari menetes. …Sementara PE diam seribu bahasa berada dibelakang

sang Tante saat serangan mulut itu meluncur kepada Tantenya. Begitu

juga dengan tante satu lagi yang ikut menemani.

Si PE ibu jamin…ibu jamin ? dengan nada meninggi. Ia tak berkata

banyak. Hanya menjawab dengan kalimat singkat Insya Allah Pak.

(Pernyataan ini terekam) Selesai dengan yang punya wewenang yang

lebih tinggi dikantor itu. Kini dihadapkan pada seorang bawahan yang

sedang menyiapkan surat pernyataan.

Sambil disiapkan surat pernyataan sang petugas dengan suara lembut

berkata “ Kenapa dek malu-maluin ibu”..

Dalam suasana pikiran yang kacau balau itu Jasminawati pun waktu

itu sempat bertanya kepada keponakannya. ,“Benar kamu …..? “ Ngak

Page 127: Wajah Syariat Islam di Media

’15 Jam Bersama Puteri’ | 115

ada buk, kami hanya duduk aja,” Jawab PE saat itu seperti dikisahkan

sendiri oleh Jasmiyati.

Tak lama kemudian surat pernyataan pun sudah siap, Jasminawati

segera menandatanganinya, begitu juga dengan PE. Disana Jasminawati

juga bertemu dengan sejumlah wartawan, dia ngaku sempat meminta

agar jangan ditulis di media.

Namun sang wartawan menjelaskan sesuai UU Pers, berita atau

informasi tidak boleh dilarang untuk ditulis.

”Rame wartawan disana, saya tidak kenal dia wartawan apa, dibilang

begitu ya sudah, saya pun kurang ngerti,” Kata Jasminawati.

Setelah proses administrasi di kantor syariah selesai ia bersama PE

dan seorang adik perempuan serta ditemani seorang anak Jasminawati

yang masih kecil, menumpang becak menuju rumahnya.

Sesampainya dirumah atas permintaan Ibu kandungnya PE yang saat

itu masih berada di negeri jiran alat komunikasi yang selama ini dipegang

PE diminta untuk dicabut. dengan harapan PE dapat menenangkan diri

pasca kejadian itu.

Esoknya, Selasa 4 September 2012. Berita tentang tertangkap PE dan

IT keluar di media. []

Page 128: Wajah Syariat Islam di Media
Page 129: Wajah Syariat Islam di Media

Kasatpol PP dan WH Banda Aceh, Edisah Putra, SHProses Hukumnya

Masih Sebatas Pembinaan

Fitri Juliana

Satuan Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) serta Pemerintah Kota Banda Aceh, setahun

terakhir gencar melakukan penertiban terhadap tempat-tempat pelanggaran Syariat di Kota Banda Aceh.

Hasilnya, ditenggarai banyak usaha yang dijadikan tempat maksiat. Lalu, ditutup dan dicabut surat ijin usahanya. Terutama salon-salon yang menyediakan

pijit plus-plus. Bahkan dalam razia beberapa minggu yang lalu, seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh juga

ikut terjaring Satpol PP WH Banda Aceh. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Berikut penuturan Kasatpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Edisah Putra kepada Fitri Juliana dari MODUS ACEH di ruang kerjanya, Jum’at

pagi pekan lalu.

SEJAuH ini seberapa banyak kasus pelanggaran syariat yang ditangani Satpol PP dan WH Banda Aceh?

Untuk setahun terakhir ini kurang lebih ada sekitar 340 kasus

pelanggaran syariat yang ditangani Satpol PP. Paling banyak tiga bulan

terakhir ini mulai dari September, Oktober dan November 2012. Khusus

tentang khalwat/mesum, namun setiap bulannya ada penurunan.

Dan kita terus berusaha untuk mewujudkan Banda Aceh menjadi Kota

Page 130: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media118

Madani, sesuai visi misi Walikota. Salah satunya dengan cara mengurangi

tempat-tempat maksiat di Banda Aceh.

Dari beberapa kasus pelanggaran syariat di Banda Aceh, yang paling banyak itu pelanggaran apa?

Setahun terakhir ini kalau saya tidak salah untuk pelanggaran Qanun

No 11 tahun 2002 tentang Aqida, Ibadah dan Syiar Islam, jumlahnya

106 kasus dan pelanggaran Qanun No.14 tahun 2003 tentang Khalwat/

Mesum sebanyak 223 kasus, sejak Januari hingga November 2012.

Penertiban seperti apa yang dilakukan Satpol PP dan WH Banda Aceh terhadap tempat-tempat pelanggaran Syariat di Aceh?

Saya baru memimpin Satpol PP dan WH Banda Aceh. Selama tiga

bulan ini kita intens melakukan penertiban tempat-tempat hiburan, salon

dan cafe yang diduga dijadikan sebagai tempat maksiat, apalagi saat ini

Wakil Walikota Banda Aceh, juga telah membentuk tim amal makruf

dengan melakukan razia di tempat-tempat hiburan, salon dan cafe-cafe

termasuk tempat-tempat burger pinggir jalan. Alhamdulilah kerja kita

tidak sia-sia, berkat informasi dan dukungan masyarakat banyak pelaku

yang terjerat, khususnya di salon. Dan untuk penertiban kita punya dua

cara. Pertama, berdasarkan laporan masyarakat dan yang kedua patroli

(razia) rutin.

Jika sudah terjaring, proses hukumnya bagaimana? Pelakunya kita lakukan pembinaan selama 1x24 jam sambil diminta

keterangan. Kemudian diminta keluarga untuk menjemput pelaku,

dan si pelaku di kenai wajib lapor selama tiga kali. Penjemputan oleh

keluarga di Kantor Satpol PP dan WH itu juga merupakan shokterapi

buat si pelaku. Sedangkan untuk tempat usaha, seperti salon, cafe, lapak-

lapak jualan itu ijin usahanya akan kita cabut dan usahanya akan kita

Page 131: Wajah Syariat Islam di Media

Proses Hukumnya Masih Sebatas Pembinaan | 119

segel seperti yang kita lakukan selama ini.

Kabarnya dalam razia beberapa waktu lalu di salah satu salon Peunayong, WH Banda Aceh melakukan penangkapan terhadap salah satu tokoh masyarakat di Banda Aceh?

Benar! saat itu menjelang magrib (azan magrib) kita mendapat

laporan dari masyarakat yang mengatakan ada laki-laki yang masuk ke

salon tersebut. Dari laporan masyarakat salon itu juga sering dijadikan

sebagai tempat maksiat, berdasarkan laporan tersebut kita coba telusuri

dan dalam penggerebekan tersebut, kita mendapatkan pasangan non

muhrim di lantai dua salon dalam keadaan tidak berpakaian. Dan saat

kita minta keterangan di Kantor WH, dia mengatakan khilaf dan belum

melakukan apa-apa.

Kabarnya si pelaku sempat ditahan?Bukan ditahan, cuma punya waktu 1x24 jam untuk melakukan

intograsi dan melakukan pembinaan. Setelah itu kita menghubungi

keluarga untuk dijemput. Dan si pelaku wajib lapor selama tiga kali.

Hanya itu saja proses hukumnya?Saya paham masyarakat pasti butuh tindakan hukum yang lebih lanjut,

seperti cambuk, tapi kami dari Satpol PP dan WH Banda Aceh, punya

cara-cara lebih santun dan lebih terdidik untuk menyelesaikan kasus-

kasus pelanggaran syariat. Ada proses edukasi dengan cara pembinaan

bagi si pelaku dan pemilik usaha, dan untuk usahanya kita tutup, ijin

usahanya kita cabut. Dan ini berlaku untuk semua, tanpa membedakan

antara masyarakat biasa dan pejabat maupun tokoh masyarakat. Siapa

yang bersalah akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Tidak ada tindak lanjut untuk diteruskan ke Mahkamah Syariah?

Page 132: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media120

Saya tidak bisa bilang tidak ada, mungkin pada masa Kadis sebelumnya

ada. Untuk saat ini selama saya pimpin belum ada yang kita teruskan

ke Mahkamah Syariah untuk diadili. Takutnya kalau saya bilang ada

yang diadili, ternyata ketika dicek ke Mahkamah Syariah tidak ada yang

disidangkan, kacaukan jadinya....he...he...he.... (tertawa-red).

Termasuk kasus Bu?Ya, termasuk kasus BU.

Jadi semua data pelanggaran syariat selama 2012 tidak ada yang di teruskan ke pengadilan?

Ya, sampai saat ini belum ada, masih kita tempuh dengan cara-

cara pembinaan. Dan kita berharap masyarakat bisa memakluminya,

karena kewenangan kita terbatas. Dan kami juga berharap kerjasama

masyarakat dan semua pihak untuk mewujudkan Banda Aceh menjadi

Kota Madani. Selama ini masyarakat sudah banyak membantu dengan

memberi informasi tentang pelanggaran Syariat Islam di Banda Aceh.[]

Page 133: Wajah Syariat Islam di Media

‘Tatapan Terakhir Puteri’

Imran MA

Sebelum dipanggil yang khaliq, PE sempat bercanda dan bermain manja dengan Dekna dan Dekta yang tak

lain adalah anak tantenya. Bahkan saat ia pamit sempat diungkap bahwa dia bakal pergi jauh. Diujung lorong

beberapa kali ia menoleh dan menatap kearah dua bocah kecil yang masih menunggunya.

SETELAH sempat menginap semalam dirumahnya di Bireum Bayeun

Kab Aceh Timur. PE sempat balik lagi kerumah tantenya di Langsa.

(Rabu malam), Hari Kamis (Kalo tidak salah ya, kata Tante PE -Red).

Saat itulah sempat ada curhatan dari PE kepada Tantenya. (pernyataan

ini ada rekaman audio dan vidio)

Saat itu PE mengatakan “ PE malulah ibuk ada yang gunjing PE,” Bis

tu katanya ada di koran lagi,” Aku tante PE menirukan ucapan PE saat

ditemui dirumahnya, Minggu 30 September 2012. (pernyataan ini ada

rekaman audio dan vidio)

“Ya udah kalau begitu, kamu disini saja, ngapain pulang kesana,”

Jawab tante sambil menghibur.

Dirumah Tantenya seperti biasa ia bermain dengan anak-anak tante

yang masih kecil yang bernama Eka Ramadani nama panggilan Dekta

(10,5) tahun dan Jasliana Nurul Husna (Dekna), bahkan hari itu PE juga

menikmati makan siang dirumah tantenya.

Tantenya sudah menjadi Ibu yang kedua setelah ibu kandungnya

Nurul cerai dengan Yusrin. Nurul berangkat ke negeri jiran untuk bekerja

Page 134: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media122

sementara anak yang ditinggal selain dalam bimbingan Yusrin juga

dibawah pengawasan tantenya, termasuk urusan PE masuk sekolah lagi,

setelah sempat putus sekolah.

”Sikula lon petamong loem keuno u Langsa, mese jeh jih ka SMA jino,

cuma sempat nganggur (Sekolah saya yang masukkan di langsa, kalo

tidak nganggur dia udah SMA,” Ujar Tantenya Jasminawati.

Yusrin (50) tinggal dirumah dasar di Bireum Bayeun. Sementara

anak-anaknya Hr (18), PE (16) dan Ar (11) sering bersama Yusrin juga

terkadang pulang kerumah Tante mereka di Langsa.

Kepergian ibunda ke negeri jiran tidak lepas dari jeritan persoalan

ekonomi, boleh dibilang kehidupan ekonomi keluarga itu tergolong

dibawah garis kemiskinan. Bayangkan rumah mereka ditempati

berukuran lebar 3 meter, panjang sekitar 4 meter, beratap rumbia yang

mulai bocor, begitu juga dengan dinding, terbuat dari tepas (bambu

cincang) kondisinya sudah uzur.

Didalamnya hanya memiliki satu kamar tamu dan satu kamar tidur,

sementara dibelakangnya dimamfaatkan untuk dapur. Tak ada perabotan

baru, hanya ada satu rak TV kayu warnanya juga sudah kusam.

Rumah itu tanpa halaman, hanya terpaut 3 meter dari bahu jalan

lintas Medan-Banda Aceh, diatas tanah milik PT Kereta Api Indonesia.

Dikiri dan kanan ada sejumlah rumah yang lain dengan kondisi fisik

sedikit lumayan.

Yusrin (50) tidak memiliki pendapatan tetap, sehari-hari ia bekerja

mencari kayu Mangrove untuk bahan baku arang, juga bekerja upahan

menjadi pendodos sawit warga, namun banyak juga nganggur. Jepitan

ekonomi membuat kedua anak laki-laki yang masih berumur belasan itu

juga harus bekerja.

Kembali ke PESiang itu dia masih dirumah tantenya. Saat hari mulai sujud kebarat

Page 135: Wajah Syariat Islam di Media

‘Tatapan Terakhir Puteri’ | 123

ia meminta pamit untuk kembali lagi ke Aramiah. Namun tantenya tetap

berharap agar PE tinggal di Langsa saja. Namun PE tetap ngotot kembali

ke Aramiah, entah karena malam itu ada acara hajatan Peugot Ranub

disamping rumah, atau dia teringat kepada ayah? Tidak ada yang tahu

soal ini.

Waktu itu tidak ada pirasat dari Tante dan keluarganya yang lain

bahwa keponakan tercinta bakal mengalami kejadian tragis seperti

itu. Semua keluarga dari Ibunya mengharapkan PE tumbuh layaknya

perempuan lainnya, bisa menamatkan SMP bahkan melanjutkan

kesekolah yang lebih tinggi menurut kemampuan.

Saat keluar rumah, ia pamitan pada kedua bocah Dekna dan Dekta,

mata PE seakan tak mau lepas memandang kedua anak kecil yang cukup

manja dengannya, berkali –kali ia minta pamit,

“Adek, kakak pulang ya,…PE pamit, dua bocah itupun tidak terima

begitu saja, mereka sempat bertanya “Kapan kakak balik lagi? “ Ngak tau,

dek, ‘ Jawab PE, lalu ia menambahkan “Kakak mau pergi jauh, sembari

melangkah keluar dari halaman rumah.

Dekna dan Dekta masih memperhatikan setiap gerak langkah sang

kakak yang beberapa saat lalu bermain manja dengan mereka. Sekitar

50 meter PE berjalan, tepatnya di ujung lorong, saat ia hendak belok,

beberapa kali ia menoleh ke belakang, menatap Tante dan menatap

Dekna dan Dekta.

Ternyata itulah tatapan yang terakhir...[]

Page 136: Wajah Syariat Islam di Media
Page 137: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan

Pro Syariat IslamRizki Alfi Syahril

Media: antara Fiksi dan Realitas Tomorrow Never Dies, salah satu seri film James Bond, menjelaskan

dengan baik bagaimana berbahayanya bila media telah memonopoli

“kebenaran”, mengatur dan memengaruhi publik, serta mendominasi

dunia. Digambarkan di awal film bagaimana Carver—Raja Media Dunia

yang mampu menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita—sedang

dalam perayaan atas peluncuran satelit barunya dalam Jaringan Grup

Media Carver. Satelit ini tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan

medianya saja, tapi juga menjadi salah satu alat perang yang digunakan

untuk memanipulasi informasi termasuk informasi militer negara-

negara dunia.

Di akhir pidatonya saat peluncuran satelit yang akan mampu

menjangkau seluruh umat manusia di muka bumi ini—kecuali Cina

yang menolak menyiarkannya—dia berjanji untuk memberikan berita

tanpa ketakutan atau tendensi, berjuang untuk kebaikan dunia, melawan

ketidakadilan, ketidakpedulian, memerangi ketidakmanusiaan. Tapi apa

dinyana, Carver bukan orang yang jujur dan menepati kata-katanya. Dia

juga adalah seorang penjahat yang baru saja membuat aksi kekacauan

di Laut Cina Selatan yang memantik konfrontasi pihak Inggris dan Cina.

Carver memiliki koran, majalah, buku, film, TV, radio, online, dan dengan

kekuasaannya dia mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi

‘besar’ dengan sokongan medianya.

Page 138: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media126

Walaupun cerita film ini adalah fiksi, tapi di dunia nyata gambaran

keculasan dalam film ini menemui bentuk nyatanya. Saat ini, konglomerasi

media menjadi lumrah di dunia. Suatu grup media bisa menguasai

jaringan televisi; radio; media cetak seperti surat kabar, majalah, buku;

online; film; dan sebagainya yang tersebar di delapan penjuru mata angin

dunia. Dalam perkembangan terkini, sebutlah Rupert Murdoch, taipan

yang menguasai grup media News Corp dan menjelma layaknya Carver.

Salah satu anak medianya yaitu News of The World menyadap telepon

para politisi, orang-orang terkenal, bahkan keluarga Kerajaan Inggris.

Skandal penyadapan yang kemudian terungkap ini menyebabkan koran

mingguan terlaris di Inggris yang telah terbit hampir 168 tahun ini tutup

pada 2011 lalu.

Di Indonesia, berdasarkan penelitian Nugroho (dipublikasikan pada

Maret 2012) terdapat dua belas grup media yang mengontrol hampir

semua saluran media Indonesia, termasuk media penyiaran, media

cetak, dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia

Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group,

Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group,

MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki

tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dimiliki dari grup

media lainnya, dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio

di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Harian

Seputar Indonesia. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak

termasuk grup Radar. Kompas, koran paling berpengaruh di Indonesia,

telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten televisi dengan

mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran radio di bawah anak

perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak

lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri dari 27 jaringan surat kabar.

Dalam penelitiannya, Nugroho menyimpulkan bahwa oligopoli

media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap

Page 139: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam | 127

informasi karena industri media telah berorientasi mencari laba, dan

perusahaan media dapat ‘dibentuk’ atau diintervensi oleh kepentingan

pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari

kekuasaan (politik). Contohnya yaitu Visi Media Asia atau Viva Group

yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai

Golongan Karya), dan grup MNC (dimiliki oleh Hary Tanoesoebdibjo)

dan Media Group (dimiliki oleh Surya Paloh) yang bersama-sama

bergabung di Partai Nasional Demokrat. Para pemilik media dan tokoh

partai ini menggunakan medianya sebagai alat kampanye politik untuk

mempengaruhi opini publik dan meraih dukungan. Dengan bantuan

beragamnya media yang dimiliki dan jam tayang/akses tanpa batas, hal

ini bukanlah perkara yang sulit. Publik akhirnya hanya mendapatkan

beberapa berita/informasi karena berita/informasi misalnya terkait isu

sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan telah diseleksi sebelumnya

untuk ditampilkan di media.

Media di Aceh Khusus Aceh, salah satu grup Kompas Gramedia yaitu grup Serambi

Indonesia juga menjadi pemimpin bisnis media di Aceh. Grup Serambi

Indonesia memiliki koran harian Serambi Indonesia dan Prohaba; radio

Serambi FM; Toko Buku Zikra; aceh.tribunnews.com atau Serambinews.

com; Serambi Indonesia Digital Newspaper; Serambi Indonesia e-paper;

dan usaha penerbitan Aceh Media Grafika. Sebelumnya grup ini juga

memiliki Tabloid Kontras yang telah ditutup. Kontras pernah menjadi

salah satu acuan pola jurnalisme investigasi di Aceh. Dengan teknologi

penerbitan jarak jauhnya, koran Serambi Indonesia dan Prohaba dapat

dibaca dan tiba di tangan masyarakat di seluruh penjuru Aceh dalam

waktu yang bersamaan di pagi hari. Dengan luasnya jangkauan grup

Serambi Indonesia serta reputasi yang telah terbangun selama lebih

dari dua puluh tahun, maka berita atau informasi dari sumber media

Page 140: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media128

ini menjadi seolah-olah satu-satunya referensi “kebenaran” atas suatu

berita atau informasi yang dipercaya khalayak Aceh.

Selama hampir dua puluh tahun, koran harian Serambi Indonesia

hampir tidak memiliki pesaing yang sepadan dalam bisnis media di

Aceh. Koran harian lainnya di Aceh pernah ada dan mencoba bersaing

memperebutkan ceruk pasar media cetak di Aceh seperti Aceh Pos, Aceh

Expres, Raja Post, sayangnya banyak yang tidak mampu bertahan. Tapi

saya melihat kegairahan ini sempat meningkat pascatsunami dengan

adanya koran Harian Aceh, Aceh Independen, dan saat grup Jawa

Pos News Network juga masuk ke Aceh dengan mendirikan Rakyat

Aceh-Metro Aceh, serta terbitnya Pikiran Merdeka. Kontras saat itu

jelas telah mampu diimbangi oleh Modus Aceh, bahkan kemudian

Kontras tutup. Beberapa waktu lalu juga telah terbit tabloid The Atjeh

Times yang sebelumnya hanya mengelola situs berita online The Atjeh

Post. Beberapa majalah seperti Aceh Magazine, Aceh Kita, Aceh Kini,

juga pernah mewarnai dinamika arus media di Aceh. Salah satu LSM

lokal di Aceh, The Center for Community Development and Education

(CCDE) juga mengelola dan menerbitkan majalah POTRET. Koran dari

provinsi jiran—sesuatu yang memiriskan karena bahkan untuk membaca

informasi yang terjadi di ‘halaman rumahnya’ sendiri, masyarakat Aceh

juga masih perlu impor dari provinsi tetangga!—membuka biro di Aceh

dan menyediakan kolom atau halaman khusus yang menuliskan berita

atau informasi dari Aceh. Misalnya saja Waspada atau Analisa. Tentu

saja yang paling marak adalah merebaknya situs berita online di Aceh,

seperti acehkita.com; atjehpost.com; seputaraceh.com; theglobejournal.

com; atjehlink.com; acehnationalpost.com; wartaaceh.com; acehcorner.

com; lintasaceh.com; dan media lainnya.

Bagi saya sendiri merebaknya media online adalah suatu hal yang

menggembirakan karena saat ini masyarakat Aceh bisa mendapatkan

beberapa sumber alternatif terhadap berita atau informasi, sehingga

Page 141: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam | 129

tafsir atau pola pandang atas “kebenaran” suatu berita menjadi tidak

tunggal dan tidak disetir oleh para pemilik atau redaktur media. Persoalan

banyaknya modal yang mesti dihabiskan jika menerbitkan suatu media

cetak sehingga para jurnalis lebih memilih mendirikan media online dapat dibenarkan, yang penting adalah walaupun cuma melalui media

online, spirit dan elemen penting, serta kode etik jurnalisme tetap dapat

tegak.

Banyaknya media yang tumbuh semestinya ditanggapi dengan

biasa saja oleh para pemilik media yang telah terlebih dahulu ada.

Semakin variatif dan majemuknya media yang ada di Aceh semestinya

memacu para pemilik, redaktur, dan jurnalis, untuk lebih meningkatkan

kompetensinya sehingga medianya dapat menjadi lebih baik dan

berkembang serta informasinya akurat. Media yang telah terlalu lama

berada di zona nyamannya dan tidak memiliki pesaing, menjadi tidak

begitu kreatif dan inovatif dalam penyajian berita atau informasinya.

Timbulnya pesaing malah dianggap suatu ancaman yang dapat

mengganggu posisinya saat ini.

Saya mendengar pernyataan ini langsung dari redaktur yang

menangani koran paling besar di Aceh di suatu diskusi formal terbatas.

Saat beberapa koran harian alternatif mulai muncul dan menjadi referensi

alternatif bagi masyarakat Aceh selain koran yang telah terlebih dahulu

ada, koran yang telah dahulu ada itu bukannya malah menjadi terpacu

karena ada pesaing, malah berusaha “melenyapkan” pesaingnya itu. Jelas

strategi ini mudah saja dilakukan bagi media yang menguasai jaringan

mesin cetak dan distribusi di seluruh Aceh serta memiliki penerbitan

sendiri. Kemunculan media seperti Harian Aceh, Aceh Independen, dan

Rakyat Aceh ditanggapi dengan terbitnya koran harian Prohaba.

Dengan harga yang lebih murah daripada pesaingnya, koran ini

seketika menjadi primadona di tengah publik Aceh. Segmentasi koran

ini adalah warga kelas menengah ke bawah dan level pendidikan yang

Page 142: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media130

tidak terlalu tinggi. Isi koran ini adalah berita kriminal, seks, informasi

artis, dan lainnya yang biasanya tidak ada dan tertampung di koran

induknya. Kemunculan koran ini sebenarnya bukan sesuatu hal yang

tidak-tertebak, karena jauh sebelum Kontras berhenti tutup, di salah

satu halaman dalam tabloid itu memuat cerita khas kasus seks yang

dikutip dari koran terbitan ibukota, yang lazim disebut koran ‘lampu

merah’. Jadi saya melihat ini sebagai mutasi satu halaman tabloid

menjadi sebuah koran.

Saat ini beberapa warung kopi yang menjadi pusat informasi

masyarakat di pedesaan Aceh telah berlangganan koran ini, baik rangkap

dengan induknya yaitu Serambi Indonesia, atau beralih dengan hanya

berlangganan Prohaba. Saat diskusi itu, redaktur media itu menjelaskan

bahwa Prohaba jelas tidak memiliki biaya yang besar selain hanya biaya

cetaknya saja, sedangkan biaya lainnya seperti distribusi, karyawan, dan

sebagainya telah ditanggung oleh koran induknya. Prohaba disebarkan

agen atau loper bersamaan dengan koran induknya, sehingga biaya

tambahannya nyaris tidak ada. Ibarat para pemilik warung kopi yang

juga menjual rokok di warungnya itu. Rokok bukan inti dari bisnisnya,

tapi rokok juga dapat menambah penghasilan warungnya, tanpa perlu

mengeluarkan biaya tambahan.

Kasus Prohaba dan Etika Media Nama Prohaba menjadi semakin bertambah populer akhir-akhir ini

terutama pascatragedi pemuatan berita penangkapan PE dan IT, dua ABG

di Langsa dan kemudian kasus gantung diri PE yang sebelumnya pernah

diberitakan sebagai pelacur itu. Salah satu organisasi profesi wartawan,

yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh menilai Prohaba

melanggar kode etik jurnalistik karena memuat berita yang berisi tuduhan

yang tidak berdasar. Berita itu adalah “Dua Pelacur ABG Dibeureukah

WH” (Selasa, 4/9). Berita itu juga dimuat di portal aceh.tribunnews.com,

Page 143: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam | 131

salah satu media online di bawah grup Serambi Indonesia. PE—salah

seorang yang sebelumnya diberitakan tergolong sebagai pelacur ABG di

berita media itu—kemudian ditemukan tergantung di kamar tidur. Berita

ini dimuat dengan judul “Gadis ABG Gantung Diri di Kamar Tidur”

(Sabtu, 8/9); “Sebelum Gantung Diri, PE Tulis Surat untuk Keluarga”

(Selasa, 11/9) di Prohaba dan aceh.tribunnews.com.

Berita penangkapan ini juga ditulis Waspada, namun mereka tidak

menyebut dua ABG itu pelacur. Waspada menurunkan berita berjudul

“WH Amankan Dua Remaja Putri” (Selasa, 4/9). AJI juga menilai berita

ini melanggar etika karena memuat identitas dua anak ini.

Setelah konferensi pers yang digelar AJI Banda Aceh pada Senin

(17/9) dan siaran persnya dikutip serta beritanya disebarluaskan

oleh para jurnalis, tiba-tiba saja pihak Prohaba meradang. Mereka

tidak terima jika kasus kematian PE dikaitkan dengan pemberitaan

Prohaba. “Kok enak sekali menuding bahwa orang bunuh diri sebagai

akibat pemberitaan koran? Apakah AJI sudah menguji faktanya secara

yuridis?” begitulah komentar Erlizar Rusli, S. H., M. H., yang merupakan

Manajer Umum/Pengembangan Sumber Daya Manusia Harian Prohaba

dan staf legal Prohaba untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik

yang dilakukan oleh Taufik Al Mubarak, Plh. Ketua AJI Banda Aceh yang

tempo hari melakukan konferensi pers.

Di awal saya sudah menggambarkan bagaimana kondisinya jika suatu

media memonopoli “kebenaran”, mengatur dan mempengaruhi publik,

serta mendominasi dunia. Dalam hal ini, maka grup Serambi Indonesia

telah menjalankan fungsi-fungsi ini di Aceh. Berita penangkapan PE

tidak pernah dimuat dan diulas di koran ini, hanya dimuat di Prohaba

dan aceh.tribunnews.com, akan tetapi berita “Prohaba Lapor Plh Ketua

AJI ke Polisi” dengan judul kecilnya “Taufik Al Mubarak No Comment”

menjadi berita utama Serambi Indonesia pada Rabu (26/9). Publik yang

tidak membaca Prohaba dan aceh.tribunnews.com tentu tidak memiliki

Page 144: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media132

informasi yang memadai sebelumnya tentang perkembangan kasus ini

sebelum diangkat menjadi berita utama di Serambi Indonesia.

Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam Perkembangan selanjutnya dari kasus di atas adalah dibentuknya

Kaukus Wartawan Pembela Syariat Islam (Minggu, 23/9) yang sebagian

inisiator dan anggotanya adalah dari media yang dituding AJI Banda Aceh

telah melanggar kode etik dalam pemberitaan; dimuatnya „semacam‟

laporan selama tiga hari berturut-turut yang memaparkan kondisi

maksiat dan tantangan penegakan syariat Islam di Langsa (sejak Kamis-

Sabtu, 4-6/10). Dua hal ini menurut saya adalah sebuah upaya purifikasi

yang dilakukan oleh media ini sekaligus menarik perhatian dan dukungan

publik dalam melawan pihak-pihak yang mencoba mengganggu stabilitas

media itu sebagai agen tunggal pembawa “kebenaran” yang tanpa cela

ke publik Aceh. Situasi antikritik dan the media fights back (media

menyerang balik.terj) muncul.

Dengan dukungan medianya, para wartawan mencoba menabur

simpati dan mencari objek-pengalih dari sebelumnya dituding tidak taat

kode etik jurnalistik dalam pemberitaan menjadi orang-orang yang ingin

menegakkan dan melindungi syariat Islam. Isu syariat Islam tentu saja

yang paling cepat masuk ke publik dan segera menuai dukungan yang

banyak. Masyarakat Aceh secara tradisional jelas masih mengagungkan

agama Islam, walau dalam keseharian mereka jarang beribadah dan

hidup berkubang maksiat. Tamsilnya, mereka tidak beribadah, tapi jika

keyakinan agamanya diusik, maka rela untuk mati mempertahankan

agamanya itu.

Maka para wartawan ini secara serempak mengatakan ada pihak-

pihak atau disebut juga anasir-anasir busuk yang berlindung di balik

tema intelektual dan HAM yang tidak ingin syariat Islam tegak di Aceh

dan terus berusaha mengusik eksistensi Syariat Islam Aceh, bahkan ingin

Page 145: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam | 133

menghancurkan Islam di Aceh. Jelas objek-pengalih ini mengacu kepada

LSM, baik LSM yang fokus pada isu pengawasan syariat Islam dan HAM,

maupun LSM yang selama ini mewarnai corak pemikiran kontemporer

di Aceh. Saya mengatakan bahwa sangat terang ini sebagai pengalihan

isu adalah karena jika memang para wartawan ingin membela atau

mendukung syariat Islam, mengapa baru sekarang? Mengapa tidak sejak

awal pelaksanaannya dahulu?

LSM menjadi sasaran tembak selanjutnya sebagai aktor-aktor

yang ‘mengusik’ pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan dihembuskan

media yang sebelumnya dikritik karena nir-etika. Sorotan dan kritikan

terhadap syariat Islam sebenarnya bukan hanya kondisi yang muncul

akhir-akhir ini. Tetapi jelas selama ini yang menyorot dan mengkritik

adalah dari perwakilan masyarakat sipil yang fokus pada isu pengawasan

syariat Islam dan HAM serta pemikiran. Sepengetahuan saya, mereka

bukannya menolak dan ingin menghapuskan syariat Islam di Aceh, tapi

ingin agar syariat Islam lebih humanis, adil, tidak mengedepankan aspek

formal (hukuman) saja dan meninggalkan substansi (etika/dasar hidup/

akhlak), dan menyeluruh.

Saya melihat ada ketidakobjektifan dan kesimpulan yang diambil

tergesa-gesa tanpa adanya investigasi mendalam oleh para wartawan

ini. Pertanyaan dasarnya adalah siapa saja pihak yang menghambat

pelaksanaan syariat Islam di Aceh? Apakah jawabannya cuma 1 pihak,

yaitu LSM yang didakwa sebagai satu-satunya pihak penghambat syariat

Islam di Aceh? Saya ingin mengajukan beberapa alternatif jawaban

yang mungkin luput dari amatan para wartawan ini terkait pihak-

pihak yang menghambat pelaksanaan syariat Islam di Aceh yaitu di

antaranya:—semuanya diawali dengan kata ‘oknum’— eksekutif yang

menolak pengesahan Qanun Jinayat; eksekutif dan legislatif yang

hanya sedikit mengalokasikan anggaran pada Dinas Syariat Islam dan

Wilayatul Hisbah; legislatif yang sedikit sekali memproduksi qanun yang

Page 146: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media134

berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam; aparat yang selama ini

menjadi backing bisnis minuman keras, pelacuran, dan perjudian; aparat

penegak syariat Islam yang tidak profesional dan menerapkan hukuman

hanya kepada yang lemah dan miskin; pemilik hotel yang mengoperasikan

bar, diskotik, menjual minuman keras di hotelnya, dan menyediakan

ruang karaoke yang dapat digunakan untuk ber-khalwat; mahasiswa

yang sudah menerapkan pacaran tanpa-batas; remaja yang tidak akrab

dengan pendidikan agama Islam; pejabat yang korup; pengusaha yang

melakukan suap, memanipulasi harga, mengurangi takaran; wartawan

yang bersekutu dengan pegawai Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat

Islam untuk tidak memberitakan kasus pelanggaran syariat Islam yang

dilakukan oleh pejabat atau keluarga pejabat; seniman, aktivis LSM, dan

beberapa pihak lainnya yang beranggapan syariat Islam bukanlah solusi,

tapi kekangan.

Pola “gajah di seberang lautan tampak tapi semut di depan mata tidak

tampak” juga jelas dapat kita perhatikan dalam model pengalihan isu ini.

Koran harian Prohaba yang selama ini memuat berita seks, malah dengan

bahasa vulgar seperti “Eh-Oh di kebun Coklat”, “Sepasang PNS ‘Cok

Siangen’ di Mobil Dinas atau Duda dan Janda ‘Cok Siangen’ di Rumah

Kos” tidak menjadi objek kritik dari para wartawan yang berhimpun di

kelompok wartawan pembela syariat ini. Tentu saja ini adalah persoalan

introspeksi diri dan kesediaan mengakui kesalahan sendiri.

Wartawan Prohaba yang selama ini menulis atau memuat berita seks

yang jelas-jelas merusak tataran moral dan nilai masyarakat bersyariat

Islam dan dapat mempengaruhi pembacanya lebih baik membereskan

kamar redaksinya dari noda ‘lendir’ terlebih dahulu sebelum terlalu jauh

berlagak menjadi pahlawan pembela dan penegak syariat Islam tapi

sebenarnya di koran itulah tatanan syariat Islam hancur lebur.

Bagi masyarakat Aceh secara umum semestinya dapat lebih cerdas

dalam memahami pemberitaan media, terutama terkait agenda

Page 147: Wajah Syariat Islam di Media

Memahami Bahaya Dominasi Media dan Fenomena Wartawan Pro Syariat Islam | 135

setting yang dijalankan oleh masing-masing media. Bagaimanapun,

mempercayai suatu media sebagai satu-satunya sumber “kebenaran”

yang setara dengan kitab suci adalah bentuk kesalahkaprahan bahkan

dapat memicu sebagai penambahan rukun iman dengan “percaya kepada

media”.

Pemberitaan atau informasi di media jelas dapat salah, yang

dibutuhkan bukan penyangkalan atas kesalahan itu, tetapi perilaku

meminta maaf dan memperbaiki kesalahan itu. Media semestinya juga

tidak hanya mendukung syariat Islam mutlak semata tanpa melakukan

kritik—dukungan ini akhirnya dilihat tidak lebih sebagai politisasi. Media

juga mesti menjadi pengawas serta pengendali terhadap implementasi

syariat Islam.[]

Page 148: Wajah Syariat Islam di Media
Page 149: Wajah Syariat Islam di Media

Paradoks Muslim

Rizki Alfi Syahril

MAJALAH Newsweek edisi 8 Oktober 2012

lalu memasang tajuk “The Muslim Paradox” (Paradoks Muslim –terj.) di halaman depan

majalahnya yang juga memuat gambar

depan seorang pria berparas Arab ber-

keffiyeh, sedang menyulut rokok, dan tidur

selonjoran di atas sebuah meja timbangan

di tengah reruntuhan. Diikuti dengan

subjudul “Why do they always blame the West for their weakness?”(Mengapa mereka

[muslim] selalu menyalahkan Barat untuk kelemahan mereka sendiri –

terj.). Tajuk itu diangkat dari features berjudul “The Real Threat to Islam”

(Ancaman sesungguhnya terhadap Islam –terj.). di edisi majalah itu yang

ditulis oleh Husain Haqqani, duta besar Pakistan untuk Washington sejak

2008-2011 dan juga seorang guru besar di kajian hubungan internasional

di Universitas Boston.

Artikel ini menjelaskan fenomena di dunia akhir-akhir ini khususnya

negara mayoritas muslim dalam merespon film Innocence of Muslims dan beberapa bentuk karya lainnya yang dianggap melecehkan Nabi

Muhammad dan keyakinan umat Islam secara umum. Banyak muslim

yang tersulut dan turun ke jalan melakukan protes, beberapa aksi

kekerasan bahkan berakhir dengan hilangnya nyawa manusia menjadi tak

terhindarkan. Orang Islam, sebagaimana halnya dengan umat beragama

lain, tidak suka jika keyakinan/keimanannya dilecehkan. Tapi Haqqani

Page 150: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media138

menegaskan bahwa protes-protes yang terjadi pascapenyebaran film,

karikatur, atau buku yang dianggap melecehkan umat beragama adalah

fungsi dari politik, bukan agama itu sendiri. Hal ini sendiri pada dasarnya

bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan secara adiluhung oleh

Rasulullah yang tidak membenci orang-orang yang membenci, menyakiti,

bahkan menghalanginya saat berdakwah.

Saya sependapat bahwa kebencian antarumat beragama terjadi

karena fungsi politik. Hal ini secara lebih dekat dapat dilihat saat

umat Islam di beberapa negara di bawah imperialisme Barat, maupun

daerah di Nusantara termasuk Aceh menyerukan perang jihad melawan

kaum penjajah, ataupun saat pengganyangan aktivis komunis di

Indonesia. Walaupun Barat atau penjajah serta aktivis komunis jahat,

tapi kita tidak dapat menghukumnya karena “kebaratannya” maupun

“kekomunisannya”, tapi karena memang jelas mereka terbukti jahat.

Saya teringat pesan moral yang diajarkan orang tua saya, bahwa baik

buruknya seseorang tidak karena jenis agama yang dianut. Jadi kita

jelas salah jika memersepsikan bahwa selain umat yang agamanya sama

dengan kita, adalah buruk atau jahat dan hanya umat yang agamanya

sama dengan kita yang baik semata.

Haqqani mencatat bahwa fenomena penghinaan terhadap Islam dan

nabi terakhir adalah fungsi dari era politik modern. Hal ini bermula

sejak peran kolonial Barat dan politisi muslim saat itu mencari isu

untuk memobilisasi konstituennya. Isu islam yang bukan sekadar

agama, tapi juga ideologi politik, dan menyalahkan pihak kolonial atas

kemunduran yang dialami umat Islam setelah sekian lama menjadi

kampiun peradaban terdahulu, menjadi pemantik yang dimanfaatkan

oleh politikus. Penyokong islamofobia juga memanfaatkan kondisi

ini untuk menjelekkan umat Islam sendiri yang digambarkan sebagai

ancaman terhadap peradaban Barat. Akhirnya stigma umat Islam yang

cenderung pemarah dan mudah untuk melakukan kekerasan menjadi

Page 151: Wajah Syariat Islam di Media

Paradoks Muslim | 139

familiar, terutama pascatragedi 11 September.

Protes dan pemanfaatan protes ini oleh para politisi untuk

memobilisasi massa telah bermula sejak awal abad ke20. Haqqani

menjelaskan bahwa para pemrotes tidak bereaksi terhadap sesuatu yang

mereka telah saksikan atau baca dalam kesehariannya. Selain Satanic Verses (Ayat-ayat Setan.terj), tidak ada dari objek yang dikomplain yang

secara umum dapat diakses bebas sebelum publik digerakkan ke dalam

amuk massa. Kemunculan media sosial dan kecepatan komunikasi

internasional telah mempermudah kampanye global, dan di negara yang

mayoritas muslim, pihak Islamis cenderung berada di antara orang-

orang yang paling efektif diorganisir untuk mengambil keuntungan dari

teknologi untuk tujuan politik. Awalnya adalah buku Rangela Rasool (Playboy Prophet) yang diterbitkan di India (British India) pada tahun

1927. Daftar lainnya adalah buku karya pemenang Nobel Sastra, Naguib

Mahfouz, berjudul Children of Gabalawi(terbit tahun 1959); buku The Turkish Art Love (terbit tahun 1933); buku Satanic Verses (terbit tahun

1989).

Sayangnya, semua buku di atas yang menjadi sasaran protes malah

tersedia saat ini dan meningkatkan keterkenalan penulisnya dan

meningkatnya penjualan buku itu. Hal ini juga berlaku bagi beberapa

video/film yang dituding melecehkan umat Islam. Jauh sebelum diekspos

ke publik, video/film itu hanya segelintir saja yang melihatnya, tapi begitu

beberapa umat muslim terpancing emosinya dan memprotes, video/film

itu menjadi terkenal dan dinonton oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Protes terhadap buku, karikatur, maupun film yang ditujukan untuk

mendiamkan penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad dengan

jelas telah gagal. Bukannya menghentikan, buku dan film yang tidak

disenangi itu malah meraih publisitas yang tinggi.

Haqqani menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada dalam tradisi

Islam yang mewajibkan umat Islam untuk keluar ke jalanan memprotes

Page 152: Wajah Syariat Islam di Media

| Wajah Syariat Islam di Media140

dan melempar batu atau melakukan pembakaran setiap kali mereka

mendengar seseorang menghina keyakinan mereka. Sebagaimana ajaran

di kitab suci Yahudi dan Kristen, ayat suci Islam berbicara hukuman Ilahi

dan juga kebaikan-Nya. Referensi terhadap perang suci diselingi dengan

nasihat untuk bermurah hati, baik terhadap sesama, dan respek untuk

kehidupan. Setiap bagian dari Alquran dimulai dengan kata “Dengan

menyebut nama Allah, yang Mahapengasih dan Mahapenyayang,” yang

menganjurkan para pemeluknya untuk mempraktikkan kasih sayang di

atas hukuman.

Bagaimanapun, kelemahan saat ini di dunia muslim bukan

sepenuhnya kesalahan kolonialisme Barat dan akal bulus poskolonial.

Namun demikian, muslim belum menunjukkan usaha yang serius untuk

memahami penyebab-penyebab dan memperbaiki kemunduran mereka

setelah 300 tahun. Muslim cenderung mengatakan “Kami lemah karena

kami dijajah” daripada mengakui bahwa tanah-tanah umat Islam dijajah

karena umat islam telah menjadi lemah.

Penurunan, kelemahan, impotensi, dan ketidakberdayaan adalah

kata-kata yang sering diulang dalam pidato dan tulisan dari pemimpin

muslim hari ini. Haqqani berpesan daripada mendalangi kebencian

dengan dalih bahkan provokasi yang tidak signifikan, pemimpin muslim

semestinya dapat memperluas angka melek huruf, mengembangkan

pendidikan, dan membuat kondisi ekonomi negaranya lebih kompetitif.

Tapi hal ini tidak diambil, karena politik pemecahan selalu lebih mudah

untuk diraih. “Kita melawan mereka” selalu merupakan pengalihan yang

bermanfaat daripada “kita melawan masalah kita sendiri”.

Hal ini secara umum juga dapat kita amati dalam kasus berpindahnya

agama seorang, aliran sesat, dan pembatasan rumah ibadah. Umat islam,

secara khusus dan terutama di Aceh, lebih menyukai kata-kata “mualaf”

dan/atau “jumlah umat muslim lebih banyak daripada umat beragama

lain” dan membenci kondisi sebaliknya. Jika kondisi sebaliknya yang

Page 153: Wajah Syariat Islam di Media

Paradoks Muslim | 141

terjadi, maka punca kesalahan selalu ditimpakan bagi umat beragama

lain yang dituding telah berkonspirasi untuk menjelekkan Islam dan

membujuk muslim untuk bersalin agama.

Muslim sangat jarang mengintrospeksi diri dan memahami

kondisi keislaman saat ini. Dalam hal ini Rasulullah telah jauh hari

bersabda tentang kondisi muslim yang nantinya bagai buih di lautan,

jumlahnya banyak tapi kekuatannya (kualitasnya) nihil. Hal ini yang

semestinya diwaspadai, jumlah umat suatu agama bukanlah indikator

kehebatan suatu agama, tapi kualitas umat agama itu sendiri dalam

menginternalisasi ajaran dan menerapkan ajaran agamanya. Agama

yang seperti kata Rasulullah, rahmat buat semesta alam.[]

Page 154: Wajah Syariat Islam di Media
Page 155: Wajah Syariat Islam di Media
Page 156: Wajah Syariat Islam di Media