penerapan syariat islam di aceh

23
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh mayoritas penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini adalah Aceh, yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini sedang menerapkan pelaksanaan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam ini diberlakukan dan mendapat legalitas karena didukung sosio-kultural dan historis masyarakatnya, seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di nusantara. Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam tersebut tidak serta merta berjalan sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum adanya rujukan yang jelas dan formulasi yang tepat dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada beberapa Negara yang menerapkan syariat Islam bagi penduduknya. Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para penjajah-penjajah seperti masa perjuangannya dahulu. Tetapi maksiat dan perbuatan mungkarlah yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD ). 1

Upload: nissakurnia

Post on 17-Dec-2015

209 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

BAB 1PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPelaksanaan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh mayoritas penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini adalah Aceh, yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini sedang menerapkan pelaksanaan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam ini diberlakukan dan mendapat legalitas karena didukung sosio-kultural dan historis masyarakatnya, seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di nusantara. Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam tersebut tidak serta merta berjalan sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum adanya rujukan yang jelas dan formulasi yang tepat dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada beberapa Negara yang menerapkan syariat Islam bagi penduduknya.Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para penjajah-penjajah seperti masa perjuangannya dahulu. Tetapi maksiat dan perbuatan mungkarlah yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD ). Khususnya Dinas Syariat Islam yang membantu dalam proses pemulusan pengimplementasiaan syariat Islam secara kaffah ( sempurna ) di propinsi paling barat Indonesia ini. Pemberantasan budaya pacaran dan hubungan seks diluar nikah yang digemari oleh para pemuda-pemudi Aceh dalam pergaulannya saat ini merupakan sekelumit contoh-contoh yang bisa diangkat untuk menggambarkan betapa beratnya tugas menjalankan syariat Islam secara sempurna karena hal ini berkenaan dengan proses bagaimana mengubah cara pendang dunia seseorang. Beranjak dari pemikiran tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya implementasi syariat Islam secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan secara instan.Pro kontra masih saja terjadi menyangkut diberlakukannya pelaksanaan syariat Islam, apalagi dalam bidang hukum publik ( pidana ). Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh , karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera.Ada berbagai macam landasan dalam menerapkan syariat Islam di tanah rencong ini. Landasan-landasan ini pula yang yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dan proses pemberian nilai-nilai islam yang positif dalam pribadi masyarakat Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, landasan-landasan tersebut sangat penting dipelajari agar terciptanya rasa peduli terhadap agamanya sendiri yang telah dijunjung tinggi dan diperjuangkannya selama ini.1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimakah landasan historis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?2. Bagaimakah landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?3. Bagaimakah landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?4. Apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif ?1.3 Tujuan1. Untuk memahami bagaimana landasan historis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.2. Untuk memahami bagaimana landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.3. Untuk memahami bagaimana landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.4. Untuk mengetahui apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif. BAB 2KAJIAN TEORI2.1 Pengertian Syariat IslamSyariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPelaksanaan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh mayoritas penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini adalah Aceh, yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini sedang menerapkan pelaksanaan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam ini diberlakukan dan mendapat legalitas karena didukung sosio-kultural dan historis masyarakatnya, seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di nusantara. Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam tersebut tidak serta merta berjalan sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum adanya rujukan yang jelas dan formulasi yang tepat dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada beberapa Negara yang menerapkan syariat Islam bagi penduduknya.Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para penjajah-penjajah seperti masa perjuangannya dahulu. Tetapi maksiat dan perbuatan mungkarlah yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD ). Khususnya Dinas Syariat Islam yang membantu dalam proses pemulusan pengimplementasiaan syariat Islam secara kaffah ( sempurna ) di propinsi paling barat Indonesia ini. Pemberantasan budaya pacaran dan hubungan seks diluar nikah yang digemari oleh para pemuda-pemudi Aceh dalam pergaulannya saat ini merupakan sekelumit contoh-contoh yang bisa diangkat untuk menggambarkan betapa beratnya tugas menjalankan syariat Islam secara sempurna karena hal ini berkenaan dengan proses bagaimana mengubah cara pendang dunia seseorang. Beranjak dari pemikiran tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya implementasi syariat Islam secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan secara instan.Pro kontra masih saja terjadi menyangkut diberlakukannya pelaksanaan syariat Islam, apalagi dalam bidang hukum publik ( pidana ). Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh , karena denganUndang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera.Ada berbagai macam landasan dalam menerapkan syariat Islam di tanah rencong ini. Landasan-landasan ini pula yang yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dan proses pemberian nilai-nilai islam yang positif dalam pribadi masyarakat Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, landasan-landasan tersebut sangat penting dipelajari agar terciptanya rasa peduli terhadap agamanya sendiri yang telah dijunjung tinggi dan diperjuangkannya selama ini.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimakah landasan historis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?2. Bagaimakah landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?3. Bagaimakah landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?4. Apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif ?

1.3 Tujuan1. Untuk memahami bagaimana landasan historis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.2. Untuk memahami bagaimana landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.3. Untuk memahami bagaimana landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh.4. Untuk mengetahui apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif.

BAB 2KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Syariat IslamSyariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al Quran maupun dengan sunnah Rasul.Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam Al Quran maupun hadits dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.

Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di Aceh, dapatlah dijelaskan lembaga lembaga yang memiliki wewenang sebagai berikut :a. Dinas syariat islam.Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 Februari 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.c. Wilayatul hisbah (WH)Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenang memberitahu dan mengingatkan anggota anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.d. Mahkamah syariah.Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadilan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada Qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam. Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).

2.2 Pengertian QanunQanun adalah peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah Aceh dan disahkan oleh DPR yang di tanda tangain oleh Gubernur (Tingkat propinsi) dan bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah undang undang tentang otonomi khusus Aceh, dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syariyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh.Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :a. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syariat islam.b. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman tazir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).c. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).d. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).e. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.2.3 Pengertian Landasan HistorisSecara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang berarti alas, dasar, paron, besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk menguatkan suatu keterangan. Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural (jamak) bahasa inggris History yang berarti segala hal yang berkenaan dengan sejarah dan masa lalu.Jadi, dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa landasan historis adalah segala bukti sejarah yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan dari landasan historis ini adalah pelaksaan Syariat Islam di Aceh.

2.4 Pengertian Landasan FilosofisSecara Bahasa, Kata filsafat berasal dari kata dalam bahasa Yunani Filosofia, yang berasal dari kata kerja Filosofien yang berarti mencintai kebijaksaan. Kata tersebut juga berasal dari kata dalam bahasa Yunani Philosophis yang berasal dari kata Philein yang berarti mencintai, atau Philia yang berarti cinta, dan kata Sophia yang berarti kearifan atau kebijaksaan. Dari kata tersebut lahirlah kata inggris Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Menurut Al Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segalanya yang ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al maujudat). Jadi, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis adalah segala bukti filosofis yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan filosofis ini adalah pelaksaan Syariat Islam di Aceh.

2.5 Pengertian Landasan YuridisMenurut bahasa, Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala hal yang berdasarkan hukum, menurut hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Yuridis berarti menurut hukum; secara hokum.Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan yuridis adalah segala bukti yang yuridis atau berdasarkan hukum yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan.

BAB 3PEMBAHASAN

3.1 Landasan Historis dalam Penerapan Syariat Islam di AcehSejarah ajaran Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah melalui Aceh oleh Kesultanan Samudera Pasai atau dikenal juga dengan nama Samudera Darussalam yang hancur pada abad ke-16. Syariat Islam sebenarnya bukan hal baru bagi daerah penghasil gas alam cair di ujung pulau Sumatera ini. Beberapa literatur sejarah menginformasikan tentang penerapan Syariat Islam dalam kehidupan sosial dan pemerintahan ketika Aceh masih diperintah raja-raja setempat. Menurut Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), empat kerajaan besar di Aceh yaitu Peureulak, Pasai, Pedir dan Daya telah berasaskan Islam sebelum bersatu dan membentuk kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam yang dibentuk oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 Hijriyah atau 22 April 1205 Masehi. Bahkan kerajaan Islam ini juga memiliki kitab rujukan yang bernama Qanun Al-Asyi (Adat Meukuta Alam) sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Islam Darussalam. Dari latar belakang sejarah tersebut, ajaran Islam telah mengakar dalam kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Aceh, Islam dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Islam telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka amat tunduk kepada ajaran Islam dan sangat memperhatikan fatwa-fatwa dari para ulama karena mereka menganggap ulama adalah ahli waris dari nabi. inilah bukti kenapa para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Sebagaimana diketahui Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secarakaffah.Aceh dalam sejarahnya yang panjang, juga memiliki pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri Aceh memiliki masyarakat yang unik, misalnya disebutkan heroik, berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan malah ada yang menyebutkan dengannya dengan sebutan Moorden. Julukan yang terakhir bermakna kegilaan, yang disebutkan oleh seorang jurnalis Belanda, RA. Kern. Masyarakat Aceh menurutnya memilliki sifat-sifat kegilaan, suka membuang nyawa atau suka mati dengan melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda yang siaga dengan persenjataan mereka yang lengkap demi membela agama mereka dan tanah airnya, padahal mereka tidak memiliki senjata yang berarti untuk mengimbangi senjata lawan (Belanda). Nilai-nilai Islami memang telah mendarah-daging dalam masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap bersendikan pada syariat Islam.

3.2 Landasan Filosofis dalam Penerapan Syariat Islam di AcehNegara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh, karena setiap Negara didirikan atas dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu Negara. Keberadaan Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan pelaksanaan Pancasila yang terdapat dalam isi Qanun tersebut, karena sila pertama tersebut mengandung sisi mutlak, bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ketuhanan atau keagamaan, karena di Indonesia tidak hanya memiliki satu agama saja yaitu agama Islam, melainkan banyak agama yang ada di Indonesia, oleh karena itu setiap manusia yang ada di Indonesia diberikan kesempatan untuk memeluk agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemeluk agama Islam, bagaimana yang ditafsirkan dalam sila pertama Pancasila bahwasanya dijamin untuk melakukan pelaksanaan syariat yang diajarkan oleh agama Islam, yang diistilahkan dengan nilai adil dan beradab. Kata wajib dalam pelaksanaan Syariat yang diajarkan oleh Islam Pancasila menafsirkan bahwasanya kewajiban religius dan kewajiban moril tertanam dan meresap pada sanubari setiap orang, sesuai dengan keadilan dan keadaban sebagaimana yang diajarkan oleh Negara Indonesia. Landasan ini adalah dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draf peraturan Negara. Falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Hal ini bertujuan supaya nilai filosofi bangsa tersebut tidak bertentangan dengan kaidah hukum dan norma yang ada dalam bangsa tersebut. Bahwasanya kedudukan Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan sebagai sumber hukum yang menjadi Filosofi Qanun Aceh yang sebagai upaya pengharmonisasian antara Peraturan nasional dengan Qanun Aceh yang berlaku hanya di Aceh. Kedudukan Pancasila sebagai landasan filosofi dalam Qanun Aceh merupakan norma hukum yang di cita-citakan oleh masyarakat. Qanun dapat dijadikan sebagai keinginan kolektif masyarakat Aceh dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, dengan melalui pelaksanaan Qanun diharapkan masyarakat Aceh bisa merasakan hukum yang dicita-citakan selama ini. Adapun dasar pembentukan Qanun Aceh adalah berdasarkan filosofi yaitu keberadaan masyarakat Aceh yang meyakini keberadaan bumi ini tidak terlepas dari aturan-aturan (hukum) yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam tatanan hidup bernegara di Indonesia hal ini dengan jelas diatur dalam Pancasila yang sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pada itu, keberadaan Qanun Aceh di Negara Kesatuan Indonesia adalah merupakan kesadaran masyarakat Aceh sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah disebutkan dalam sila pertama Pancasila, dan oleh karena itu pula adanya pengakuan terhadap Qanun Aceh sebagai peraturan dalam melaksanakan Syariat Islam.

3.3 Landasan Yuridis dalam penerapan syariat Islam di AcehAdapun yang menjadi permasalahan dari landasan Yuridis ini adalah pelaksaan Syariat Islam di Aceh itu sendiri. UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga dan sebagian kecil bidang muamalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muamalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi syariat Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai aturan syariat Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun yang sesuai dengan semangat sosiologis yang dikandung syariat. Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam kelihatannya belum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di Aceh hari ini.Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariatkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun 2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur desertirnya. Al Quran mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai orang yang berbeda agama.Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang terasa masih ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pandangan yang menginginkan adopsi aturan fiqih tanpa filter, ternyata telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial yang tinggi.

3.4 Syariat Islam Sebagai Hukum Positif di AcehSyariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif sejak zaman kerajaan aceh Darussalam yang mencapai puncak kejayaan pada jaman Sultan Iskandar Muda. Syariat Islam tersebut berlaku dalam seluruh aspek kehidupan bernegara baik berdasarkan hukum private yang meliputi Fiqih, yaitu berkaitan dengan kewajiban secara perorangan, maupun hukum publik yang berupa hukum pidana Islam (Jinayat), maisyir (Judi), khamar (minuman keras), maupun khalawat yaitu berdua-duaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mukhrim. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam.Seiring dengan berjalannya waktu sampai dengan era kemerdekaan Negara republik Indonesia, Aceh dinyatakan oleh pemerintah pusat sebagai daerah istimewa yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif atau hukum yang seharusnya (ius constituendum) yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat. Namun pada kenyataannya tidak menjadi hukum yang berlaku (ius constitutum), hal inilah yang memicu masyarakat Aceh menuntut diberlakukannya kembali hukum Islam dan sebagai salah satu penyebab Aceh untuk merdeka.Dari seluruh rangkaian sejarah tuntutan masyarakat Aceh akhirnya pemerintah pusat memberikan otonomi khusus berdasarkan undang undang otsus yang disebut Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dan pada akhirnya pemerintah daerah Aceh atau yang disebut pemerintah Aceh membuat peraturan daerah yang disebut Qanun dan secara resmi menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yaitu hukum public yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat. Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan pengadilan agama yang disebut sebagai mahkamah syariah sebagai yang berwenang mengadili. Dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

BAB 4PENUTUP

4.1 KesimpulanAceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secarakaffah. Nilai-nilai Islami memang telah mendarahdaging dalam masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap bersendikan pada syariat Islam.Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam Sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu Negara.UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga dan sebagian kecil bidang mumalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang mumalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.Proses pelaksanaan hukum publik dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan mahkamah syariah sebagai yang berwenang mengadili dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

4.2 Sarana. Hukum publik tetap diberlakukan di Aceh dan ditambah pidana Islam atau jinayat.b. Dengan adanya hukum public, pelaksanaan hukum cambuk di Aceh, hendaknya dapat menjadikan masyarakat muslim lainnya untuk memilki kesadaran hukum agar lebih mentaati ketentuan ketentuan yang berlaku dengan kesadaran yang paling dalam bahwa perbuatan tersebut adalah melanggar agama. c. Untuk pembaca, hendaknya mempelajari landasan dalam penerapan syariat Islam dengan begitu dapat menambah wawasan kita dalam mengetahui agama Islam di Aceh sehingga dapat menambah rasa bangga kepada agama Islam yang kita anut ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar. Al yasa.2006. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.Musa, Muhammad Yusuf.1988.Islam: Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali Press. Adan, Hassanuddin Yusuf. Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh. Jurnal Ar-Raniry, Nomor 82 Tahun 2003. Tersedia dalam https://www.academia.edu/10291095/makalah_studi_syariat_islam_di_aceh_qanunAmanda, Rizky Rachmani. 2014. Aceh dan Syariat Islam. diambil pada 20 Mei 2015 dari https://www.academia.edu/7475125/ACEH_DAN_SYARIAT_ISLAMAmal, Taufik Adnan, dkk. 2004. Politik syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria. Pustaka Alvabet : Jakarta. Tersedia dalam https://books.google.co.id/books?id=3PTxZVyzIfwC&pg=PA26&dq=buku+tentang+syariat+islam+di+aceh&hl=id&sa=X&ei=qzFjVfTBD82ruQSxvoKgDA&redir_esc=y#v=onepage&q=buku%20tentang%20syariat%20islam%20di%20aceh&f=false diakses pada 19 Mei 2015 pukul 20:15

Berutu, Ali Geno .2014. Review Disertasi Tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh. Diambil pada 19 Mei 2015 dari https://www.academia.edu/7419800/REVIEW_DISERTASI_TENTANG_PENERAPAN_SYARIAT_ISLAM_DI_ACEH

15