tesis rica fitri yunita 157006004

84
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI FILM SELULOSA ASETAT DARI KAYU KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) DENGAN PELARUT KLOROFORM DAN PLASTISIZER TRIASETIN TESIS RICA FITRI YUNITA 157006004 PROGRAM PASCASARJANA KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI FILM SELULOSA ASETAT

DARI KAYU KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) DENGAN

PELARUT KLOROFORM DAN PLASTISIZER TRIASETIN

TESIS

RICA FITRI YUNITA

157006004

PROGRAM PASCASARJANA KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI FILM SELULOSA ASETAT

DARI KAYU KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) DENGAN

PELARUT KLOROFORM DAN PLASTISIZER TRIASETIN

TESIS

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

Magister Sains

RICA FITRI YUNITA

157006004

PROGRAM PASCASARJANA KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN ORISINALITAS

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI FILM SELULOSA ASETAT

DARI KAYU KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) DENGAN

PELARUT KLOROFORM DAN PLASTISIZER TRIASETIN

TESIS

Saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan

dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, 5 April 2018

Rica Fitri Yunita

157006004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di

bawah ini :

Nama : Rica Fitri Yunita

NIM : 157006004

Program Studi : Magister Kimia

Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive

Royalti Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

Pembuatan dan Karakterisasi Film Selulosa Asetat dari Kayu Kelapa Sawit (Elaeis

Guinensis Jacq) dengan Pelarut Kloroform dan Plastisizer Triasetin

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-

Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media,

memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasi tesis

saya tanpa meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis

dan sebagai pemegang atau sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 5 April 2018

Rica Fitri Yunita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Telah diuji pada

Tanggal : 5 April 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Darwin Yunus Nasution, MS

Anggota : 1. Dr. Marpongahtun, M.Sc

2. Prof. Dr. Tamrin, M.Sc

3. Saharman Gea, M.Si, Ph.D

4. Dr. Amir Hamzah Siregar, M.Si

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak

memberikan anugerah-Nya, sehingga tesis dapat diselesaikan dengan baik.

Tesis dengan judul : Pembuatan dan Karakterisasi Film Selulosa Asetat

dari Kayu Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) dengan Pelarut Kloroform dan

Plastisizer Triasetin adalah merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister

Sains pada Program Pascasarjana Kimia FMIPA USU.

Keberhasilan dari penilitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dan telah

memberikan dukungan secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis

ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor Universitas

Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.MHum atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Sumatera Utara Dr. Kerista Sebayang, M.S, Ketua Program Studi Magister Kimia

Prof. Tamrin, M.Sc dan Sekretaris Program Studi Magister Kimia Dr. Andriayani,

M.Si atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program

Pascasarjana Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya

ditujukan kepada :

1. Dr. Darwin Yunus Nasution, M.S selaku Pembimbing Utama dan Dr.

Marpongahtun, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan perhatian, dorongan, bimbingan dan arahan dengan penuh

kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.

2. Prof. Tamrin, M.Sc, Saharman Gea, M.Si, Ph.D, dan Dr. Amir Hamzah Siregar,

M.Si, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk

menyelesaikan tesis ini.

3. Ayahanda H. Syahrial Effendi dan Ibunda Hj. Kasiatik, serta adik-adik saya

Afishar Ramadhan, S.Ei, MM dan Dila Yulanda Sari Amd. Keb yang telah

memberikan do’a restu serta dorongan moril maupun materil sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan.

4. Rekan-rekan Angkatan 2015, Denny, Putu, Ayus, Yessi, Iwan, Rini, Suci,

Marisi dan kawan-kawan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu kerjasama

yang baik selama perkuliahan maupun selama penelitian.

Medan, 5 April 2018

Rica Fitri Yunita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI FILM SELULOSA ASETAT DARI

SELULOSA KAYU KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) DENGAN

PELARUT KLOROFORM DAN PLASTISIZER TRIASETIN

ABSTRAK

Pembuatan dan karakterisasi film selulosa asetat dari kayu kelapa sawit (Elaeis

guinensis Jacq) dengan pelarut kloroform dan plastisizer triasetin telah dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data pengaruh plastisizer triasetin

terhadap film selulosa asetat. Penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap, seperti (i) isolasi

selulosa dari kayu kelapa sawit, (ii) memodifikasi struktur selulosa dengan asam

asetat glasial dan asam sulfat pekat, (iii) pencampuran selulosa asetat dengan

plastisizer triasetin (0; 0,5; 1,0 dan 1,5 mL), dan (iv) mencetak film selulosa asetat

melalui proses evaporasi. Film selulosa asetat yang diperoleh dikarakterisasi dengan

menggunakan FT-IR, uji tarik, TGA dan SEM. Spektrum FT-IR isolasi selulosa

menunjukkan bilangan gelombang spesifik pada 3410,15 cm-1

, 2900,94 cm-1

, dan

1620,21 cm-1

berasal dari gugus fungsi O-H, C-H, dan C-O. Selulosa asetat

menujukkan bilangan gelombang yang relatif sama dengan selulosa, seperti pada

bilangan gelombang 3471,87 cm-1

, 2962,66 cm-1

, 1234,44 cm-1

dan 1751,36 cm-1

yang berasal dari gugus fungsi O-H, C-H, C=O, dan C-O. Bilangan gelombang yang

sama diperoleh setelah proses pencampuran dengan triasetin, seperti pada 3471.87

cm-1

, 2962.66 cm-1

, 1743.65 cm-1

dan 1226.73 cm-1

. Nilai Modulus Young’s

optimum adalah 4289,8 MPa, ditunjukkan pada rasio selulosa asetat dan triasetin

(1,8:1,0 (b/v)). Analisa degradasi termal dengan TGA dibagi dalam 4 tahap

berdasarkan perbedaan dari kurva TGA. Setelah penambahan plastisizer triasetin,

stabilitas termal dari film selulosa asetat meningkat. Analisa permukaan dari film

selulosa asetat dengan SEM menunjukkan permukaan film selulosa asetat yang

halus, pori-pori yang kecil dan homogen.

Kata kunci : film, kayu kelapa sawit, kloroform, selulosa asetat, triasetin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF CELLULOSE ACETATE FILM

FORM PALM OIL WOOD (Elaeis guinensis Jacq) WITH CHLOROFORM AS

SOLVENT AND TRIACETIN AS PLASTICIZER

ABSTRACT

Synthesis and characterization of cellulose acetate film in addition of triacetin

plasticizer has been conducted. The aim of this research is to obtain the data of the

influences of triacetin plasticizer in the cellulose acetate films. This research is

divided into 4 steps, such as (i) isolation of cellulose from palm oil wood, (ii)

modifying cellulose structure with acetic acid glacial and concentrated sulphuric

acid, (iii) blending cellulose acetate with triacetin plasticizer (0; 0.5; 1.0 and 1.5

mL) and (iv) casting film of cellulose acetate through evaporation process. The

obtained cellulose film was characterized using FT-IR, UTM, TGA and SEM. The

FT-IR spectra of isolated cellulose showed specific signal at 3410.15 cm-1

, 2900.94

cm-1

, and 1620.21 cm-1

that ascribed to these functional groups O-H, C-H and C=O.

The neat cellulose acetate showed relative similar signals with cellulose, such as at

3471.87 cm-1

, 2962.66 cm-1

, 1751.36 cm-1

and 1234.44 cm-1

that showed the

presence of O-H, C-H, C=O and C-O, respectively. The similar signals were

obtained after the blending process with triacetin, such as at 3471.87 cm-1

, 2962.66

cm-1

, 1743.65 cm-1

and 1226.73 cm-1

. The maximal value of Young’s modulus, 4289.8

MPa, was showed at the ratio of 1.8 CA/ 1.0 TA (w/v). The degradation of CA/TA

can be divided into 4 stages based on the differentiate of TGA curve. After addition

of triacetin plasticizer the thermal stability of the cellulose acetate film increased.

The morphological analysis showed the cellulose acetate film has a smooth surface,

small and homogeneous pores.

Keywords: cellulose acetate, chloroform, film, palm oil wood, triacetin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN TESIS i

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ii

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

PRAKATA v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

xi

xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Metode Penelitian 4

1.7 Lokasi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Deskripsi Tanaman Sawit 6

2.2 Kayu Kelapa Sawit 7

2.3 Selulosa 8

2.3.1 Struktur Selulosa 8

2.3.2 Sumber Selulosa 9

2.3.3 Sifat Fisika Kimia Selulosa 11

2.3.4 Pembagian Selulosa 11

2.4 Selulosa Asetat 12

2.4.1 Selulosa Diasetat

2.4.2 Selulosa Asetat sebagai Material Membran

13

13

2.5 Plastisizer 14

2.5.1 Gliserol

2.5.2 Gliserol Triasetat (Triasetin)

14

15

2.6 Karakterisasi 16

2.6.1 Spektroskopi Infra Merah Fourier-Transform 16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(FTIR)

2.6.2 Analisa Sifat Kekuatan Tarik dan Kemuluran 17

2.6.3 Termograviti Analisis (TGA) 18

2.6.4 Scanning Electron Microscopy (SEM) 19

BAB 3 METODE PENELITIAN 20

3.1 Alat dan Bahan 20

3.1.1 Alat-Alat Penelitian 20

3.1.2 Bahan Penelitian 20

3.2 Prosedur Penelitian 21

3.2.1 Pembuatan Pereaksi 21

3.2.1.1 Pembuatan Larutan NaOH 2% 21

3.2.1.2 Pembuatan Larutan NaOCl 5% 21

3.2.1.3 Pembuatan Larutan HNO3 0,05 N 21

3.2.2 Preparasi Serbuk Kayu Kelapa Sawit 21

3.2.3 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit 22

3.2.3.1 Perlakuan Alkali 22

3.2.3.2 Proses Pemutihan 22

3.2.4 Asetilasi Selulosa 23

3.2.5 Film Selulosa Asetat 23

3.2.6 Karakterisasi 23

3.2.6.1 Analisa Kadar Asetil 23

3.2.6.2 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR 24

3.2.6.3 Uji Tarik 24

3.2.6.4 Analisa TGA 25

3.2.6.5 Analisa Morfologi dengan SEM 25

3.3 Bagan Penelitian 26

3.3.1 Bagan Isolasi Seluosa dari Serbuk Kayu Kelapa

Sawit

26

3.3.2 Sintesis Selulosa Asetat 27

3.3.3 Film Selulosa Asetat 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 29

4.1 Hasil Penelitian 29

4.1.1 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit 29

4.1.2 Sintesis Selulosa Asetat 29

4.1.3 Film Selulosa Asetat 30

4.2 Pembahasan 32

4.2.1 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit 32

4.2.2 Sintesis Selulosa Asetat 32

4.2.3 Film Selulosa Asetat 33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.2.4 Karakterisasi 34

4.2.4.1 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR 34

4.2.4.3 Analisa Sifat Mekanik Film Selulosa

Asetat 37

4.2.4.4 Analisa Degradasi Termal dengan TGA 38

4.2.4.5 Analisa Morfologi dengan SEM 40

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 42

5.1 Kesimpulan 42

5.2 Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel

Judul Halaman

2.1 Komponen-Komponen yang Terkandung dalam KKS 8

2.2 Penggolongan Selulosa Asetat 12

4.1 Pembuatan Film Selulosa Asetat 30

4.2 Gugus Fugsi yang Diperoleh dari Selulosa dan Selulosa

Asetat dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit

34

4.3 Gugus Fungsi yang diperoleh dari Film Selulosa Asetat 35

4.4 Data Pengujian Sifat Mekanik Film Selulosa Asetat 37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar

Judul Halaman

2.1 Kayu Kelapa Sawit (KKS) 7

2.2 Struktur Molekul Selulosa 9

2.3 Gliserol 15

2.5 Gliserol Triasetat (Triasetin) 16

2.6 Skema Komponen Dasar FT-IR 17

3.1 Cara Pengambilan Sampel Batang Kelapa Sawit 22

4.1 Selulosa yang Diisolasi dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit 29

4.2 Serbuk Selulosa Asetat Hasil Esterifikasi Selulosa dari

Serbuk Kayu Kelapa Sawit

30

4.3 Film Selulosa Asetat 31

4.4 Reaksi Sintesis Selulosa Asetat dari Selulosa 32

4.5 Spektrum FT-IR dari Selulosa dan Selulosa Asetat 35

4.6 Spektrum FT-IR dari Film Selulosa Asetat dengan

Pelarut Kloroform dan Plastisizer Triasetin

36

4.7

4.8

4.9

Grafik Stress-Strain dari Film Selulosa Asetat dengan

Pelarut Kloroform dan Plastisizer Triasetin

Kurva TGA dari Film Selulosa Asetat dengan Pelarut

Kloroform dan Plastisizer Triasetin

Hasil SEM dari Film Selulosa Asetat perbesaran 1000x

38

39

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran

Judul Halaman

1. Hasil Analisa Gugus Fungsi dari Selulosa 49

2. Hasil Analisa Gugus Fungsi dari Selulosa Asetat 50

3. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat

dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 0 (b/v))

51

4. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat

dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v))

52

5. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat

dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v))

53

6. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat

dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v))

54

7. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0 (b/v))

55

8. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v))

55

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v))

Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v))

Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0 (b/v))

Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v))

Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v))

Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v))

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 0 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 0 (b/v)) dalam Perbesaran 1000 kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v)) dalam Perbesaran 1000

kali

56

56

57

57

58

58

59

59

60

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v)) dalam Perbesaran 1000

kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio

SA-Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v)) dalam Perbesaran 1000

kali

Perhitungan Nilai Kadar Asetil dan Derajat Substitusi

dari Selulosa Asetat

Perhitungan Nilai Tegangan (Stress)

Perhitungan Nilai Regangan (Strain)

Perhitungan Nilai Modulus Elastisitas (Modulus Young)

Gambar Penelitian

61

61

62

62

63

63

64

65

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR SINGKATAN

KKS = Kayu Kelapa Sawit

SA = Selulosa Asetat

TA = Triasetin

DS = Derajat Substitusi

FTIR = Fourier Transform Infrared

SEM = Scanning Electron Microscopy

TGA = Thermogravimetry Analysis

TKKS = Tandan Kosong Kelapa Sawit

DP = Derajat Polimerisasi

CMC = Karboksimetil Selulosa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yang

berkembang pesat, khususnya wilayah Sumatera dan Kalimantan. Data Statistik

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menyebutkan luas areal kelapa sawit mencapai

12.307.677 Ha pada tahun 2017 (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015-2017). Luas

perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, karena

kelapa sawit merupakan penghasil minyak nabati yang sangat potensial. Industri

pengolahan minyak kelapa sawit ini menghasilkan limbah padat dalam jumlah yang

sangat besar. Dari beberapa jenis limbah padat yang dihasilkan seperti kayu kelapa

sawit (KKS), tandan kosong kelapa sawit (TKKS), sabut, lumpur, cangkang sawit,

dan lain-lain. Kayu kelapa sawit merupakan salah satu limbah hasil perkebunan yang

berlimpah dan semestinya dapat dimanfaatkan dengan optimal agar memiliki nilai

ekonomis.

Pada keadaan kering konstan, komponen-komponen yang terkandung dalam

KKS adalah selulosa (30,77 %), pentosa (20,05 %), lignin (17,22 %), hemiselulosa

(16,81 %), air (12,05 %), abu (2,25 %) dan SiO2 (0,84 %) (Nasution, 2001). Jadi

berdasarkan kandungan selulosa yang dihasilkan, maka KKS dapat digunakan

sebagai sumber selulosa yang potensial. Selulosa adalah polisakarida yang terbuat

dari d-glukosa dihubungkan bersama melalui ikatan β-1,4-glikosidik dan merupakan

bahan baku mentah yang menjanjikan untuk memproduksi bahan kimia turunan

selulosa seperti selulosa asetat, selulosa nitrat, karboksimetil selulosa (CMC), dan

material awal untuk produksi polimer (Hahn-Häegerdal et al, 2006; Mosier et al,

2001; Ragauskas et al, 2006).

Saat ini turunan dari selulosa telah banyak digunakan dalam pengolahan

limbah, oil recovery, pembuatan kertas, tekstil, makanan tambahan dan aplikasi

industri farmasi. Selulosa asetat salah satu turunan dari selulosa di bidang industri

dan diperkirakan setiap tahunnya mencapai 700.000 ton diproduksi secara global

(Biswas et al, 2006). Selulosa asetat merupakan senyawa turunan selulosa yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

diperoleh melalui esterifikasi menggunakan pereaksi asetat anhidrida. Selulosa asetat

merupakan salah satu jenis polimer yang banyak digunakan untuk industri. Selulosa

asetat secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu selulosa triasetat (selulosa asetat

primer) dan selulosa diasetat (selulosa asetat sekunder). Selulosa asetat primer dibuat

melalui reaksi esterifikasi (asetilasi) selulosa dengan pereaksi anhidrida asetat,

sedangkan selulosa asetat sekunder dibuat dengan cara menghidrolisis selulosa asetat

primer (Desiyarni, 2006). Selulosa asetat memiliki aplikasi industri yang luas seperti

pelapis, filter rokok, serat tekstil, produk konsumen, membran filtrasi, komposit,

laminasi, dan produk medis dan farmasi (Yu et al, 2013; Li et al, 2009; Yu et al,

2012).

Archana et al (2014) telah melakukan penelitian tentang sintesis dan

karakterisasi selulosa asetat dari sekam padi dengan kondisi ramah lingkungan

menggunakan metode standar dengan larutan alkali, larutan asam dan pemutihan

dengan 2% H2O2. Selulosa asetat telah berhasil disintesis dengan hasil 66% dengan

penambahan anhidrida asetat dan yodium sebagai katalis dalam kondisi bebas pelarut

dan ramah lingkungan.

Safriani (2000) telah melakukan penelitian tentang produksi biopolimer dari

Selulosa Asetat Nata de Soya, proses asetilasi dalam waktu 5, 7,5, dan 10 jam

dengan rasio asetat anhidrida 1:2, 1:3, dan 1:4 menghasilkan kadar asetil 14,55 –

41,72%. Film selulosa asetat yang dihasilkan digunakan sebagai penyaring, kemasan,

dan amplop.

Dengan tingginya kadar selulosa yang diperoleh dari kayu kelapa sawit

(KKS) sehingga dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan selulosa asetat yang

selanjutnya akan dilanjutkan pada proses pembuatan film selulosa asetat. Selulosa

asetat memiliki transisi gelas (Tg) yang tinggi yaitu 190oC. Oleh karena itu, selulosa

asetat mensyaratkan penggunaan plastisizer untuk mengurangi suhu transisi gelas

(Tg) dalam pengolahannya (Vu et al, 2014). Untuk meningkatkan daya pengolahan

film selulosa asetat, triasetin digunakan sebagai plastisizer karena sifatnya yang

ramah lingkungan, rendah toksisitas dan lebih cepat terbiodegradasi dibandingkan

dengan plastisizer lain seperti ftalat konvensional . Untuk itu, di dalam proses

pembuatan film selulosa asetat, penulis menambahkan pelarut kloroform dan

plastisizer triasetin yang diharapkan dapat menghasilkan film selulosa asetat dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memiliki hasil yang optimal. Selanjutnya film selulosa asetat dikarakterisasi dengan

menggunakan FTIR, uji tarik, SEM. dan TGA.

1.2 Perumusan Masalahan

Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses isolasi selulosa dari serbuk kayu kelapa sawit.

2. Bagaimana proses sintesis selulosa menjadi selulosa asetat.

3. Bagaimana proses pembuatan film selulosa asetat dengan pelarut klorofom dan

plastisizer triasetin.

4. Bagaimana karakteristik sifat mekanik, morfologi dan kekuatan termal dari film

selulosa asetat yang dihasilkan.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada :

1. Kayu Kelapa Sawit yang digunakan bagian tengah yang berasal dari Kuta Cane,

Aceh.

2. Pembuatan film selulosa asetat dilakukan degan metode blending.

3. Pelarut yang digunakan adalah kloroform.

4. Plastisizer yang digunakan adalah triasetin dari PT.UNIKEMIKA ASIA

5. Karakteristik film selulosa asetat meliputi sifat mekanik, morfologi, dan kekuatan

termal.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengisolasi selulosa dari serbuk kayu kelapa sawit.

2. Untuk mensintesis selulosa menjadi selulosa asetat.

3. Untuk membuatan film selulosa asetat dengan pelarut klorofom dan plastisizer

triasetin.

4. Untuk menentukan bagaimana karakteristik sifat mekanik, morfologi dan

kekuatan termal dari film selulosa asetat yang dihasilkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Dapat memanfaatkan kayu kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan film

selulosa asetat sehingga mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi pada

tumbuhan kelapa sawit.

2. Memberikan informasi tentang cara memproduksi film selulosa asetat dari α-

Selulosa yang diperoleh dari kayu kelapa sawit dengan menggunakan pelarut

kloroform dan triasetin sebagai plastisizer sehingga menghasilkan film selulosa

asetat yang memiliki sifat kimia dan mekanik yang lebih baik.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika FMIPA USU Medan,

Laboraturium Pasca Sarjana Kimia USU Medan, uji FT-IR di laboraturium organik

FMIPA UGM Yogyakarta, uji tarik di laboraturium Teknik Mesin USU Medan, uji

SEM di laboraturium Fisika FMIPA UNIMED, dan uji TGA di Poltek ATK

Yogyakarta.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini

dilakukan beberapa tahapan yaitu:

1. Tahap persiapan serbuk kayu kelapa sawit (KKS) dan dilanjutkan tahap isolasi

selulosa dari kayu kelapa sawit dengan proses alkalisasi dan proses bleaching.

Karakterisasi yang dilakukan yaitu analisa gugus fungsi dengan FT-IR.

2. Tahap sintesis selulosa asetat dari serbuk kayu kelapa sawit. Pada proses asetilasi

digunakan asam asetat anhidrida sebagai solvent, dan berlangsung dengan

kehadiran asam asetat glasial sebagai diluent dan asam sulfat sebagai katalis.

Karakterisasi yang dilakukan yaitu penentuan analisa gugus fungsi dengan FT-

IR, kadar asetil, dan derajat substitusi (DS).

3. Tahap pembuatan film selulosa asetat dengan perbandingan (1,8 g : 0 mL, 1,8 g :

0,5 mL, 1,8 g : 1 mL, dan 1,8 g : 1,5 mL) dan dengan penambahan 50 mL

kloroform sebagai pelarut. Karakterisasi yang dilakukan yaitu analisa gugus

fungsi dengan FT-IR, analisa morfologi dengan SEM, dan uji tarik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Variabel tetap

Suhu (28oC)

Waktu (24 jam)

Volume pelarut kloroform (50 mL)

2. Variabel bebas

Perbandingan selulosa asetat dan triasetin (1,8 g : 0 mL, 1,8 g : 0,5 mL,

1,8 g : 1 mL, dan 1,8 g : 1,5 mL)

3. Variabel terikat

Sifat mekanik dengan uji tarik (MPa)

Stabilitas termal dengan TGA (oC)

Morfologi dengan SEM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika

Barat, pada kenyatannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya,

seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu

memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Pada tahun 2016, Indonesia

merupakan penghasil utama minyak sawit dengan produksi 36 juta ton atau 61,22 %

dari produksi minyak kelapa sawit dunia (Indonesia-investments.com, 2017).

Tanaman kelapa sawit termasuk tumbuhan monokotil, ciri-ciri dari tumbuhan

monokotil tersebut adalah, tidak memiliki kambium, pertumbuhan sekunder,

lingkaran tahun, sel jari-jari, kayu awal, kayu akhir, cabang, mata kayu. Batang

terdiri dari serat dan parenkim. Pohon kelapa sawit produktif sampai umur 25 tahun,

ketinggian 9-12 m dan diameter 45-65 cm (Tomimura, 1992).

Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun dapat tumbuh dan

berkembang dengan baik. Perkebunannya dapat ditemukan antara lain di Sumatera

Utara dan Aceh, produk olahannya yang berupa minyak sawit merupakan salah satu

komoditas yang handal (Risza, 1995). Untuk Indonesia saat ini, tanaman kelapa

sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain dapat

menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat juga

sebagai sumber devisa negara (Fauzi, 2003). Tumbuhan yang mengandung banyak

serat dikenal sebagai lignoselulosa yang merupakan sumber utama dari selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa banyak terdapat pada kayu, sisa peninggalan

perkebunan, tumbuhan berair, rumput dan jenis tumbuhan lainnya (Rowell et al,

2000). Tumbuhan dengan serat tinggi memiliki karakteristik dan struktur yang dapat

digunakan dalam pembuatan komposit, tekstil, dan pembuatan kertas. Dan dipakai

untuk menghasilkan bahan bakar, bahan kimia, enzim, dan bahan makanan (Reddy et

al, 2000).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.2 Kayu Kelapa Sawit

Pada bagian inti dari struktur dan anatomi kayu kelapa sawit (KKS) yang

paling dominan adalah jaringan dasar parenkim, sehingga memiliki kerapatan yang

rendah. Pada daerah pinggir dekat kulit penyusun utamanya adalah berkas

pengangkut yang terselimuti oleh serabut berdinding tebal sehingga rapat masanya

lebih tinggi. Di daerah bagian kayu yang terdiri dari jaringan parenkim mengandung

kadar air lebih tinggi dan menurun seiring prosentase berkas pengangkut naik.Batang

kelapa sawit mempunyai sifat khusus seperti kandungan selulosa dan lignin yang

rendah, namun kandungan air dan NaOH yang dapat larut tinggi dibandingkan kayu

pohon karet dan ampas batang tebu. Sifat fisik batang menunjukkan heterogenitas

yang berbeda-beda tergantung pada arah lingkaran dan arah vertikal (Tomimura,

1992).

Sifat dasar kayu kelapa sawit sangat berbeda dengan kayu lainnya dalam hal

berat jenis, kadar air dan kembang susut. Hal ini disebabkan variasi struktur anatomi

kayu kelapa sawit sangat besar dan bagian pusatnya didominasi oleh sel pembuluh

yang berdinding tebal (Prayitno, 1994). Kayu monokotil seperti kayu kelapa sawit

mempunyai jaringan parenkim diantara bundel-bundel seratnya yang mula-mula

dalam kayu segar masih mengandung air. Setelah pengeringan jaringan ini

membentuk pori yang cenderung menyerap cairan bersifat polar sejenis air. Oleh

karena itu, perlu dilakukan modifikasi pengisian pori kayu dengan polimer agar

mampu meningkatkan stabilitas kayu dengan semakin banyaknya rongga-rongga sel

kayu yang terisi bahan polimer (Purnama, 2009).

Gambar 2.1 Kayu Kelapa Sawit (KKS)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Komponen-komponen yang terkandung dalam kayu kelapa sawit dapat

dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komponen-Komponen Yang Terkandung Dalam Kayu Kelapa Sawit

Komponen Kandungan (%)

Air

Abu

SiO2

Lignin

Hemiselulosa

Α-selulosa

Pentose

12,05

2,25

0,48

17,22

16,81

30,77

20,05

(Sumber: Nasution, 2001)

Kayu kelapa sawit mempunyai sifat yang tidak seragam mulai dari bagian

luar sampai ke bagian dalam, demikian juga mulai dari pangkal bawah sampai ke

bagian atas batang. Secara umum kekurangan kayu kelapa sawit dibandingkan

dengan kayu lainnya adalah kandungan air dan zat pati yang tinggi, dalam

pengolahan mudah menumpulkan pisau dan gergaji, kualitas permukaan kayu yang

rendah dan keawetannya rendah. Masalah lain dalam pemanfatannya adalah sifatnya

yang sangat higroskopis. Walaupun kayu kelapa sawit sudah dikeringkan, akan tetapi

kayu ini masih dapat lagi mnyerap air kembali hingga 20 %.

2.3 Selulosa

Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi.

Diperkirakan sekitar 1011

ton selulosa dibiosintesis tiap tahun dan selulosa mencakup

sekitar 50% dari karbon tak bebas di bumi. Selulosa membentuk komponen serat dari

dinding sel tumbuhan (Fessenden, 1986).

2.3.1 Struktur Selulosa

Selulosa tersusun dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang tersambung

dengan ikatan β-1,4-glikosidik membentuk suatu rantai makromolekul tidak

bercabang. Setiap unit anhidroglukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil (Potthas

et al, 2006; Zugenmainer, 2008). Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10O5)n

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan n~1500 dan berat molekul ~ 243.000 (Rowe et.al, 2009). Struktur selulosa

terdiri dari rantai polimer β-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosida 1,4

yang ditunjukkan pada Gambar berikut:

Gambar 2.2 Struktur Molekul Selulosa (Poedjadi, 1994)

Pada rantai selulosa gugus hidroksi (-OH) dapat membentuk ikatan suatu

hidrogen intramolekuler maupun intermolekuler yaitu ikatan yang berbentuk antara

satu atom dengan dua atom yang lebih elektronegatif. Ikatan hidrogen intramolekuler

hidrogen terjadi antara gugus –OH dari unit-unit glukosa dalam satu rangkai selulosa

yang menyebabkan kekuatan pada selulosa. Ikatan hidrogen intermolekuler terjadi

antara gugus-gugus –OH dari molekul selulosa yang berdampingan yang

menyebabkan pembentukan supramolekul (Fengel, 1995).

Morfologi selulosa mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaktifitasnya.

Gugus hidroksi yang terdapat dalam daerah amorf sangat mudah bereaksi karena

strukturnya acak sehingga mudah bereaksi dan dicapai oleh pelarut. Gugus hidroksi

yang terdapat pada daerah kristalin memiliki berkas rapat dan ikatan antar rantai

yang kuat, sehingga sangat kecil untuk bereaksi dan dicapai oleh pelarut. Daerah

kristalin adalah daerah yang terbentuk dengan susunan rantai yang sangat teratur.

Sedangkan daerah yang kurang teratur disebut daerah amorf (Sjostrom, 1993).

Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut

sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin dihasilkan dari proses

fotosintesis pada saat yang sama, komponen-komponen utama penyusun tanaman ini

diuraikan oleh aktivitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu

menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan

kapang.

2.3.2 Sumber Selulosa

Selulosa terdapat dalam tumbuhan sebagai bahan pembentuk dinding sel.

Serat kapas boleh dikatakan seluruhnya adalah selulosa. Dalam tubuh kita selulosa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tidak dapat dicernakan karena kita tidak mempunyai enzim yang dapat menguraikan

selulosa. Dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis, tetapi oleh asam dengan

konsentrasi tinggi dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan d-Glukosa. Selobiosa

adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan

glikosidik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4. Meskipun selulosa tidak

dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh tubuh, namun selulosa yang terdapat

sebagai serat-serat tumbuhan, sayuran atau buah-buahan berguna untuk

memperlancar pencernaan makanan (Poedjiadi, 2006).

Selulosa alkali, biasanya dipreparasi dari bubur kayu yang dipisahkan dari

lignin melalui reaksi dengan larutan alkali dan dibiarkan menjadi matang yang

bersamaan dengan itu berat molekulnya berkurang. Pengurangan berat molekul

mungkin timbul terutama dari degradasi oksidatif. Etil selulosa yang paling banyak

di gunakan, terutama dalam aplikasi–aplikasi plastik yang mirip dengan aplikasi

selulosa asetat. Metil selulosa dapat larut dalam air dan dipakai sebagai bahan

pengental makanan dan sebagai bahan dalam beberapa perekat, tinta, dan formulasi–

formulasi proses akhir tekstil dan sebagai bahan pengemulsi (misalnya, dalam cat–

cat lateks). Hidroksil propil selulosa yang diapit antara dua film yang tidak larut

dalam air akhir–akhir ini telah di pakai dalam pembuatan botol–botol yang dapat

terdegradasi (degradable). Ketika film luar terkelupas, hidroksi propil selulosa

segera larut yang dengan demikian mengurangi masalah sampah padat yang biasanya

dikaitkan dengan botol–botol yang tidak dapat di daur ulang (Stevens, 2001).

Selulosa pada tumbuhan terdapat di dalam dinding sel pelindung tanaman,

terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bahan kayu. Selnya hidup di dalam

jaringan kolenkim. Selulosa juga terdapat pada biji kopi dan serat kulit kacang.

Selulosa pada daun, pembuluh xylem dan floem akan terletak berdampingan dan

jaringannya tersusun pada tulang daun. Meskipun susunan jala yang tampak pada

daun, kedua jaringan ini akan disatukan dalam berkas–berkas yang direkatkan oleh

pektin dan selulosa. Selulosa pada hewan tingkat rendah terdapat di dalam organisme

primitif, seperti rumput laut, flagelata, dan bakteri, misalnya pada bakteri

Acetobacter xylinum. Nata de coco merupakan sumber selulosa yang diproduksi

sebagai hasil proses fermentasi dalam substrat air kelapa dengan menggunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bakteri Acetobacter xylinum. Kelebihan selulosa yang dihasilkan dari nata de coco

adalah tidak bercampur dengan lignin dan hemiselulosa (Saxena, 1995).

2.3.3 Sifat Fisika Kimia Selulosa

Selulosa merupakan komponen utama dalam pembuatan kertas. Selulosa

adalah senyawa organik penyusun utama dinding sel dari tumbuhan. Adapun sifat

dari selulosa adalah berbentuk senyawa berserat, mempunyai tegangan tarik yang

tinggi, tidak larut dalam air dan pelarut organik.

Selulosa mempunyai struktur rantai yang linier, sehingga kristal selulosa

menjadi stabil. Bahan berbasis selulosa sering digunakan karena memiliki sifat

mekanik yang baik seperti kekuatan dan modulus regang yang tinggi, kemurnian

tinggi, kapasitas mengikat air tinggi, dan struktur jaringan yang sangat baik (Gea

dkk, 2011).

2.3.4 Pembagian Selulosa

Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium

hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1. α-Selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam

larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi)

600-15000. α-selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian

selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92 % memenuhi syarat untuk

bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa

kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan

industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin

baik mutu bahannya.

2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan

NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila

dinetralkan.

3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP nya

kurang dari 15. Selain itu ada yang disebut Hemiselulosa dan Holoselulosa

(Sumada, 2011).

Selulosa sangat stabil dalam berbagai pelarut dan hanya dapat dihancurkan

dengan adanya asam kuat atau sistem pelarut dengan ikatan hidrogen yang kuat,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

biasanya basa-amina. Sifat termal selulosa yaitu temperatur transisi gelas selulosa

dengan kisaran 200-230oC yang dekat dengan dekomposisi termal yaitu 260

oC

(Goring, 1963).

2.4 Selulosa Asetat

Selulosa asetat adalah salah satu selulosa asetat hasil proses asetilasi, proses

asetilasi merupakan proses penambahan gugus asetil pada suatu senyawa melalui

tahapan-tahapan reaksi tertentu. Kualitas bahan dasar selulosa sangat penting untuk

proses asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat (Sjostrom, 1995).

Selulosa asetat dapat digolongkan menjadi tiga yaitu selulosa monoasetat,

selulosa diasetat dan selulosa triasetat. Selulosa monoasetat adalah selulosa asetat

dengan satu gugus asetil tersubtitusi pada struktur selulosa. Selulosa diasetat adalah

selulosa asetat dengan dua gugus asetil tersubtitusi pada struktur selulosa. Sedangkan

selulosa triasetat adalah selulosa asetat dengan tiga gugus asetil tersubtitusi pada

struktur selulosa (Sjostrom, 1995).

Tabel 2.2 Penggolongan Selulosa Asetat

Selulosa Kadar Asetil

(%)

Derajat

Substitusi

Pelarut Penggunaan

Monoasetat 13,0-18,6

22,2-32,3

0,6-0,9

1,2-1,8

Air

2-metoksiatonal

-

Plastik, cat, laker

Diasetat 36,5-42,2 2,2-2,7 Aseton Benang, film

Triasetat 43,6-44,8 2,8-3,0 Kloroform Kain, pembungkus

(Sumber: Fengel, 1995)

Pada proses asetilasi selulosa direaksikan dengan asam asetat glasial sebagai

pelarut, asetat anhidrida berlebih dan asam sulfat sebagai katalisator. Reaksi diakhiri

saat selulosa asetat yang terbentuk terlarut sempurna. Selulosa asetat yang larut

sempurna pada proses asetilasi disebut selulosa triasetat. Selulosa diasetat maupun

selulosa monoasetat dapat diperoleh dari hasil hidrolisis selulosa triasetat dengan

menaikkan suhu dan pengaturan asam asetat encer (Fengel, 1995).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.4.1 Selulosa Diasetat

Selulosa diasetat merupakan selulosa ester dengan dua gugus asetil

tersubstitusi pada struktur selulosa melalui proses asetilasi. Selulosa diasetat dapat

disintesis dari bahan dasar selulosa (Fessenden,1992). Proses asetilasi selulosa dapat

dilakukan dalam tiga tahap yaitu penggembungan, tahap asetilasi dan tahap hidrolisis

(Sjostrom, 1995).

Tahap penggembungan yaitu pulp selulosa direaksikan dengan pelarut

sebagai bahan penggembung (swelling agent). Prinsip penggembungan yaitu

penetrasi molekul penggembungan (pelarut) dalam struktur polimer (selulosa).

Tingkat penggembungan tergantung pada pelarut maupun sifat alami sampel

selulosa. Pada penelitian ini digunakan asam asetat glasial sebagai bahan

penggembung. Selain berfugsi menggembungkan, asam asetat glasial juga dapat

menaikkan reaktivitas serat-serat maupun menurunkan derajat polimerisasi hingga ke

tingkat yang sesuai.

Tahap asetilasi menggunakan asetat anhidrida dan katalis asam sulfat pada

media asam asetat agar terjadi reaksi asetilasi pada selulosa. Setelah asetilasi

sempurna dihasilkan larutan selulosa triasetat. Selulosa triasetat ini terdeasetilasi atau

terhidrolisis sebagian dalam larutan asam asetat berair untuk memperoleh selulosa

diasetat dengan derajat substitusi rendah sekitar 2,2-2,7, kadar asetil 36,5-42,2% dan

larut dalam aseton (Sjostrum, 1993 dan Fengel, 1995).

Reaksi diawali dengan terjadinya protonasi asetat anhidrida oleh asam sulfat.

Gugus hidroksi selulosa yang bersifat nukleofil akan menyerang asetat anhidrida

sehingga terbentuk selulosa triasetat. Selulosa triasetat ini akan terhidrolisis salah

satu gugus asetilnya menjadi selulosa diasetat dan asam asetat (Sjostrom, 1995).

2.4.2 Selulosa Asetat sebagai Material Membran

Material membran selulosa asetat adalah selulosa yaitu polisakarida yang

tersusun atas satuan glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosida β-1,4 antar

molekul glukosa penyusunnya. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel

tumbuhan (Fessenden, 1989). Selulosa dan derivatnya mempunyai struktur rantai

linier seperti batang dan molekulnya in-fleksibel. Sifatnya sangat hidrofilik namun

tidak larut dalam air karena adanya sifat kristalin dan ikatan hidrogen antara gugus

hidroksil.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sifat fisika membran selulosa lainnya adalah derajat polimerisasinya dengan

nilai optimum antara 100-200 atau 100-300, yang akan menghasilkan berat molekul

sekitar 25.000-80.000.

Keuntungan selulosa asetat dan derivatnya sebagai material membran :

1. Bersifat hidrofilik

2. Membran selulosa asetat relatif mudah dibuat

3. Dari sumber yang dapat diperbaharui.

Di samping keuntungan-keuntungan tersebut, kerugian membran selulosa

asetat adalah:

1. Mengalami kompaksi atau fenomena memadat yang sedikit lebih besar

dibandingkan dengan material lainnya, yaitu secara bertahap akan kehilangan sifat-

sifat membran (khususnya fluks permeasi)

2. Sangat mudah biodegradasi.

2.5 Plasticizer

Plasticizer adalah senyawa adiktif yang ditambahkan kepada polimer untuk

menambah fleksibilitas dan workability-nya. Plasticizer merupakan substansi non

volatil, mempunyai titik didih yang tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam materi

lain dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik bahan tersebut (Krochta et al,

1994). Beberapa plasticizer yang biasa digunakan dalam pembuatan plastik

biodegradable antara lain glycerol, sorbitol dan polyethylene glycol. Glycerol dan

sorbitol mampu memberikan rasa manis sedangkan polyethylene glycol tidak berasa

(Han, 2001). Plasticizer seperti sorbitol mempunyai kemampuan mengurangi ikatan

hidrogen internal dan meningkatkan jarak intermolekuler (Kristanoko, 1996).

Menurut Mc Hugh et al (1994), sorbitol memberikan tingkat kelenturan tertinggi

diantara jenis plasticizers lainnya. Sorbitol adalah alkohol gula, dan merupakan

pemanis yang ditemukan dalam sejumlah produk. Sorbitol merupakan zat humectant

(pengatur kelembaban) dan texsturizing.

2.5.1 Gliserol

Menurut Winarno (1990), Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat (polyol)

dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul atau disebut alkohol trivalent.

Struktur molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HO

OH

OH

Gambar 2.3 Struktur Molekul Gliserol

Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3, Berat molekul gliserol 92,10 massa

jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204

oC. Fungsi utama gliserol adalah sebagai

humuctant (suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban).

Gliserol juga dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan

serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak

digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan

makanan dan minuman. Hal ini disebabakan karena gliserol tidak beracun. Gliserol

juga dapat digunakan dalam industri resin untuk menjaga sifat kelenturan. Gliserol

mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan

menurunkan Aw (Lindsay, 1985). Gliserol merupakan salah satu plastisizer yang

banyak digunakan karena cukup efektif mengurangi ikatan hidrogen internal

sehingga akan meningkatkan jarak intermolekuler. Secara teoritis plastisizer dapat

menurunkan gaya internal diantara rantai polimer, sehingga akan menurunkan

tingkat kegetasan dan meningkatkan permeabilitas terhadap uap air (Gontard et al,

1993). Rodriguez et al. (2006) menambahkan bahwa gliserol merupakan plastisizer

yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat

hidrofilik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran

gliserol sebagai plastisizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film

(Gontard et al, 1993; Mali et al, 2005; Bertuzi et al, 2007). Molekul plastisizer akan

mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekuler dan

meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongation

dan penurunan tensile strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol.

Penurunan interaksi intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan

memfasilitasi migrasi molekul uap air (Rodriguez et al, 2006).

2.5.2 Triasetin

Triasetin adalah trigliserida, dan merupakan rantai terpendek dari ester

asam lemak dari gliserol, yang akan siap untuk proses hidrolisasi untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memberikan asam asetat dan gliserol dalam lingkungan alkaline. Triasetin

adalah suatu cairan dengan titik didih 258°C dan tekanan uap 0.003306 hPa

pada 25°C. Triasetin dapat larut di dalam air. Titik konstan Hukum Henry

untuk triacetin (1,23 x 10-8

atm m3/mol) mengindikasikan bahwa senyawa ini

pada dasarnya tidak dapat menguap dari air. Triasetin adalah senyawa yang

mudah terurai. Triasetin biasanya digunakan sebagai aditif makanan, seperti

pelarut dalam perasa, humektan, plastisizer, pelarut dan sebagai aditif bahan

bakar.

O O

O

O

O

O

Gambar 2.4 Struktur Molekul Triasetin

2.6 Karakterisasi

2.6.1 Spektroskopi Infra Merah Fourier-Transform (FTIR)

Salah satu metode spektroskopi yang sangat populer digunakan adalah

metode spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared), yaitu metode spektroskopi

inframerah modern yang dilengkapi dengan teknik transformasi fourier untuk

deteksi dan analisis hasil spektrumnya. Dalam hal ini metode spektroskopi yang

digunakan adalah metode spektroskopi absorbsi, yaitu metode spektroskopi yang

didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi inframerah oleh molekul suatu materi.

Absorbsi inframerah oleh suatu materi dapat terjadi jika dipenuhi dua syarat, yakni

kesesuaian antara frekuensi radiasi inframerah dengan frekuensi vibrasional

molekul sampel dan perubahan momen dipol selama bervibrasi (Chatwal, 1985).

Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan salah satu

teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu

senyawa. Komponen utama spektroskopi FTIR adalah interferometer Michelson

yang mempunyai fungsi menguraikan (mendispersi) radiasi inframerah menjadi

komponen - komponen frekuensi. Penggunaan interferometer Michelson tersebut

memberikan keunggulan metode FTIR dibandingkan metode spektroskopi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

inframerah konvensional maupun metode spektroskopi yang lain. Diantaranya adalah

informasi struktur molekul dapat diperoleh secara tepat dan akurat (memiliki resolusi

yang tinggi). Keuntungan yang lain dari metode ini adalah dapat digunakan untuk

mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase (gas, padat atau cair). Kesulitan-

kesulitan yang ditemukan dalam identifikasi dengan spektroskopi FTIR dapat

ditunjang dengan data yang diperoleh dengan menggunakan metode spektroskopi

yang lain (Harmita, 2006).

Komponen dasar sebuah FT-IR ditunjukkan pada Gambar 2.5 seperti berikut:

Gambar 2.5 Skema Komponen Dasar FT-IR

2.6.2 Analisa Sifat Kekuatan Tarik Dan Kemuluran

Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σt)

menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan

diberikan tegangan. Secara praktis, kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban

maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi

dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan,

spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik

dinyatakan dengan luas penampang semula (Ao) (Wirjosentono, 1995).

σt =

(2.1)

Keterangan :

σt = tegangan

Fmaks = beban maksimum

Ao = luas penampang awal

Selama perubahan bentuk,dapat diasumsikan bahwa volume specimen tidak

berubah.Perpanjangan tegangan pada saat bahan terputus disebut regangan. Besaran

regangan (ε) dapat didefenisikan sebagai berikut :

Sumber

Inframerah Interferometer Sampel Detektor

Pemprosesan

data dan

sinyal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ε =

X 100% (2.2)

Keterangan:

l0 = Panjang spesimen mula-mula (mm)

l = Panjang spesimen saat putus (mm)

ε = Regangan (%)

2.6.3 Termogravimetri Analisis (TGA)

Teknik analisis termogravimetri dapat dilakukan baik secara dinamik maupun

secara statik. Pada termogravimetri dinamik, sampel dinaikkan temperaturnya secara

linear terhadap waktu. Pada cara statik atau termogravimetri isotermal, sampel

dipelihara temperaturnya pada suatu periode waktu tertentu, selama waktu tersebut

setiap perubahan berat dicatat. Pada rangkaian peralatannya diperlukan paling tidak

tiga komponen utama yaitu timbangan berpresisis tinggi, tungku dan perekam.

Kenaikan temperatur dalam tungku haruslah berfungsi linear terhadap waktu dan

mampu digunakan baik dalam lingkungan inert, oksidasi maupun reduks. Perubahan

temperatur dan berat direkam secara kontinyu sedemikian rupa sehingga tidak ada

satu termogram yang terlewati (Khopkar, 1990).

Teknik-teknik yang mencakup dalam metode analisis termal adalah analisis

termogravimetri (thermogravimetry analysis = TGA) yang didasari pada perubahan

berat akibat pemanasan. TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu

sistem bila temperaturnya berubah dengan laju tertentu.

TGA dipakai terutama untuk menetapkan stabilitas panas polimer-polimer.

Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang

kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel di

naikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. Data dicatat sebagai

termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi

lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari

terurainya polimer. Selain memberikan informasi mengenai stabilitas panas, TGA

bisa dipakai untuk mengkarakterisasi polimer melalui hilangnya suatu entitas yang

diketahui. TGA juga bermanfaat untuk penetapan volatilitas bahan pemlastik dan

bahan-bahan tambahan lainnya. Penelitian-penelitian stabilitas panas adalah

merupakan aplikasi dari TGA (Steven, 2000).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.6.4 Analisa Morfologi dengan Pengujian Scanning Electron Microscopy

(SEM)

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen

secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada

spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa

fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan

absorpsi elektron.

Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa

permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari

lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan. Gambar permukaan yang

diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada

permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang

dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh

detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas

menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat

dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam

suatu disket.

Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan

dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka

bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan

yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama,

lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium.

Observasi dengan SEM dilakukan untuk menyelidiki struktur mikro

permukaan material (geopolimer) termasuk porositas dan pembentukan retakan, dan

antar muka (interface) antara agregat matriks. Mikroskop elektron (SEM atau TEM)

adalah mikroskop yang menggunakan berkas elektron sebagai sumber energi, dan

lensa elektromagnetik sebagai pengganti lensa gelas. Penggunaan mikroskop

elektron dilakukan terutama dengan alasan resolusi dan kedalaman fokus (depth of

focus) yang lebih baik dibandingkan dengan mikroskop optik (Subaer, 2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Nama Alat Merck

Seperangkat Alat SEM JSM-35 C Shumandju

Seperangkat Alat FT-IR Shimadzu

Seperangkat Alat Uji Tarik Shimadzu

Seperangkat Alat TGA Shimadzu

Neraca Analitis Ohauss

Termometer Fisher

Hot Plate Cimarec

Oven Carbolite

Alat-alat gelas Pyrex

Magnetic Stirrer -

Indikator pH Universal Sartorius

Aluminium foil -

Plat kaca -

3.1.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Nama Bahan Merck

Kayu Kelapa Sawit -

Aquadest -

NaOH pellet Merck

NaOCl Merck

HNO3 Merck

Asam Asetat Glasial Merck

Asam Sulfat Merck

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Asam Asetat Anhidrida Merck

Etanol Merck

HCl(p) Merck

Fenolptalein -

Metil merah -

Gliserol Triacetat / Triacetin (C9H14O6) PT. Unikemika Asia

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pembuatan Pereaksi

3.2.1.1 Pembuatan Larutan NaOH 2%

Ditimbang sebanyak 20 g NaOH, dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL.

Diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.1.2 Pembuatan Larutan NaOCl 5%

Diukur sebanyak 167 mL NaOCl 15%, dimasukkan ke dalam labu takar 500 mL.

Diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.1.3 Pembuatan HNO3 0,05 N

Diukur sebanyak 1,74 mL HNO3 65%, dimasukkan ke dalam labu takar 500

mL. Diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.2 Preparasi Serbuk Kayu Kelapa Sawit

Kayu kelapa sawit yang diambil adalah kayu kelapa sawit yang telah non

produktif dan berumur 20-25 tahun. Pengambilan sampel di ambil dari perkebunan

kelapa sawit Kuta Cane, Aceh. Sampel (KKS) secara radial sesuai dengan Gambar

3.1, Batang kelapa sawit ditebang ½ meter dari permukaan tanah kemudian batang

tersebut dipotong dengan panjang 1 meter perbagian hingga mendapatkan 9

potongan bagian ujung batang dibuang 1 meter dari pangkal pelepah sawit pertama.

Bagian yang telah dipotong tersebut dibagi kedalam 3 bagain yaitu bagian bawah (I),

bagian tengah (II) masing - masing tiga potong. Pada bagian luar atau kulit dibuang 1

inchi, pada penelitian ini diambil dari bagian tengah batang specimen, kemudian

dikeringkan sampai diperoleh berat yang konstan (Meer dan Menzies, 1997)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sedangkan bagian inti tidak dipergunakan karena mengandung banyak air.

Dihaluskan dan diayak dengan ayakan 80 mesh sehingga menjadi bagian-bagian

partikel kecil, kemudian dikeringkan sampai kadar air di bawah 5%.

Gambar 3.1. Cara Pengambilan sampel batang kelapa sawit

3.2.3 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit

3.2.3.1 Perlakuan Alkali

Sebanyak 50 g serbuk kayu kelapa sawit (KKS) dimasukkan ke dalam gelas

Beaker dan ditambahkan 500 mL aquadest. Selanjutnya diaduk dengan

menggunakan magnetic stirrer pada suhu 50oC selama 2 jam. Selanjutnya disaring.

Lalu residu ditambahkan 500 mL NaOH 2% dibantu dengan pengadukan selama 2

jam pada suhu 80oC. Selanjutnya disaring dan dicuci sampai filtrat netral.

Selanjutnya dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 50oC.

3.2.3.2 Proses Pemutihan

Hasil perlakuan alkali dari KKS ditambahkan 250 mL NaOCl 5% dan 8 tetes

asam asetat glasial sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer dan

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam. Selanjutnya disaring dan dicuci sampai

filtrat netral. Residu yang dihasilkan selanjutnya ditambahkan HNO3 0,05 N diaduk

dan dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam. Lalu disaring dan dicuci hingga filtrat

netral. Lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC selama 1 jam. Produk yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dihasilkan adalah selulosa dan selanjutnya di karakterisasi dengan menggunakan

FTIR.

3.2.4 Asetilasi selulosa

Sebanyak 2 g selulosa ditambahkan 50 mL asam asetat glasial dan diaduk

dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit pada suhu 50oC. Selanjutnya

larutan ditambahkan 0,32 mL H2SO4 dan 18 mL asam asetat glasial lalu diaduk

selama 25 menit. Lalu diasetilasi dengan 64 mL asetat anhidrida dibantu pengadukan

selama 30 menit pada suhu 50oC. Campuran didiamkan selama 14 jam pada suhu

ruang, dilanjutkan dengan penyaringan. Ke dalam filtrat hasil penyaringan,

ditambahkan air setetes demi setetes sampai terbentuk endapan. Endapan yang

diperoleh dipisahkan dari larutan, kemudian dicuci hingga netral lalu dikeringkan

pada suhu 70oC selama 2 jam (Meireles, 2010). Produk yang dihasilkan berupa

serbuk putih selulosa asetat dan selanjutnya dikarakterisasi dengan FTIR, Kadar

Asetil, dan Derajat Substitusi.

3.2.5 Film Selulosa Asetat Hasil Sintesis KKS

Sebanyak 1,8 g selulosa asetat dilarutkan dengan pelarut kloroform 50 mL

diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam. Kemudian dalam larutan

tersebut ditambahkan (0,5, 1, dan 1,5 mL) triasetin. Larutan diaduk sampai homogen

selama 24 jam. Larutan polimer yang telah homogen kemudian didiamkan sampai

tidak mengandung gelembung udara. Larutan polimer yang tidak mengandung

gelembung udara dicetak di atas plat kaca yang bagian tepinya telah diberi selotip

untuk mengatur ketebalan film. Kemudian film diuapkan dengan cara didiamkan

pada udara terbuka dengan waktu penguapan 24 jam dan kemudian dikarakterisasi

dengan FT-IR, SEM, uji tarik, dan uji TGA.

3.2.6 Karakterisasi

3.2.6.1 Analisis Kadar Asetil

Selulosa asetat dikeringkan di dalam oven selama 1 jam. Dimasukkan ke

dalam erlenmeyer sebanyak 1 g, kemudian ditambahkan 40 mL etanol 75%

dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50-60 oC. Setelah itu ditambahkan 40 mL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

larutan NaOH 0,5 N dan pemanasan dilakukan selama 15 menit pada suhu yang

sama. Kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl 0,5 N dengan indikator fenolptalein.

Selulosa asetat dibiarkan selama 1 hari untuk memberikan kesempatan bagi NaOH

berdifusi. Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,5 N dengan indikator metil merah

sampai terbentuk warna merah. Blanko dibuat dengan cara yang sama. Persamaan

(4.1) berikut ini adalah untuk perhitungan kadar asetil (%) (Cai et al., 2013).

Kadar asetil (%) = [( ) ( ) ]

(4.1)

Dimana :

V1 = mL HCl yang dipakai untuk titrasi selulosa asetat

V2 = mL HCl yang dipakai untuk titrasi blanko

V3 = mL NaOH yang dipakai untuk titrasi selulosa asetat

V4 = mL NaOH yang dipakai untuk titrasi blanko

N = normalitas HCl

N = normalitas NaOH

F = 4,305

W = bobot contoh

Selanjutnya dilakukan penentuan derajat substitusi (DS) pada persamaan (Cai et al.,

2013) :

( )

( ) (4.2)

3.2.6.2 Analisis Gugus Fungsi Dengan FTIR

Film selulosa asetat dijepit pada tempat sampel kemudian diletakkan pada

alat kea rah sinar infra merah. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala

berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.

3.2.6.3 Analisis Uji Tarik

Untuk menguji kekuatan tarik dari sampel dilakukan dengan menggunakan

alat uji tarik Shimadzu dengan kecepatan tarik 5 mm/menit dan beban 2 ton.

Spesimen dijepit menggunakan griff pada alat tersebut, kemudian diatur tegangan,

regangan dan satuannya. Tekan tombol start untuk memulai uji pada spesimen

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sampai putus. Dari data load (tegangan) dan stroke (regangan) yang diperoleh dapat

dihitung kekuatan tarik dan kemuluran masing-masing spesimen.

3.2.6.4 Analisis TGA

Uji degradasi termal (TGA) dilakukan untuk film selulosa asetat dengan

menggunakan instrumen shimadzu TA 50 yang didialisis gas nitrogen. Sampel

ditimbang dengan massa 12 mg dan dipanaskan pada suhu kamar sampai 600oC

dengan laju pemanasan 10oC/menit. Analisis dilakukan dengan menaikkan suhu

sampel secara bertahap dan menentukan perubahan berat terhadap temperatur. Suhu

dalam metode pengujian mencapai 600oC atau lebih. Perubahan berat akibat proses

pemanasan dapat ditentukan langsung dari termogram yang diperoleh. Setelah data

diperoleh, dapat ditentukan puncak dekomposisinya.

3.2.6.5 Analisis Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

Analisis morfologi dengan SEM dilakukan untuk melihat struktur topografi

permukaan dari film selulosa asetat. Hasil yang diperoleh dilihat secara langsung

pada hasil SEM berupa Scanning Electron Micrograph yang menyajikan bentuk tiga

dimensi berupa gambar atau foto.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit

50 g KKS

ditambakan 500 mL aquadest

diaduk selama 2 jam pada suhu 50oC

disaring

Filtrat Residu

ditambahkan 500 mL NaOH 2%diaduk selama 2 jam pada

suhu 80oCdisaring

dicuci hingga filtrat netral

ResiduFiltrat

dikeringkan pada suhu 50oC

dalam oven selama 2 jam

Hasil Perlakuan Alkalidari KKS

ditambahkan 250 mL NaOCl 5% dan 8

tetes CH3COOHdipanaskan pada suhu 60-70oC dan

dibantu pengadukan menggunakan

magnetic stirrer selama 1 jamdisaring

dicuci hingga filtrat netral

Filtrat Residu

ditambahkan HNO3 0.05Ndipanaskan pada suhu 70oC dan

dibantu pengadukan

menggunakan magnetic stirrer

selama 1 jamdisaringdicuci hingga filtrat netral

dikeringkan pada suhu 60oC

dalam oven selama 2 jam

Selulosa

FTIR

dikarakterisasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.3.2 Sintesis Selulosa Asetat

10 g Selulosa

ditambahkan 250 mL asam asetat glasialdiaduk menggunakan magnetic stirrer selama

30 menit pada suhu 50 oCditambahkan 1,6 mL H2SO4 dan 97 mL asam

asetat glasial

diaduk selama 25 menitditambahkan 100 mL asetat anhidridadiaduk selama 30 menit pada suhu 50 oCdidiamkan selama 14 jam pada suhu ruangdisaring

Filtrat Residu

ditambahkan air setetes demi setetes

Endapan Selulosa Asetat

disaring

dicuci hingga netral

dikeringkan pada suhu 70 oC dalam oven selama 24 jam

Selulosa Asetat

dikarakterisasi

Uji FT-IR Uji AnalisaKadar Asetil

Penentuan DerajatSubstitusi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.3.3 Film Selulosa Asetat Hasil Sintesis KKS

1,8 g Selulosa Asetat

ditambahkan 50 mL kloroform

diaduk selama 2 jam

ditambahkan triasetin (0,5 mL, 1 mL, dan 1,5 mL)

diaduk selama 24 jam

dicetak di atas plat kaca

diuapkan dengan cara didiamkan pada udara terbuka selama 1 hari

dikarakterisasi

FT-IR Uji Tarik

Film Seulosa Asetat

TGA SEM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Isolasi Selulosa dari Kayu Kelapa Sawit

Isolasi selulosa dari kayu kelapa sawit dilakukan dengan dua proses yaitu

proses alkalisasi dan proses bleaching. Proses alkalisasi bertujuan untuk

menghilangkan lignin yang terkandung di dalam kayu kelapa sawit sedangkan proses

bleaching bertujuan untuk memutihkan selulosa yang telah diperoleh sehingga

menghasilkan selulosa yang berwarna putih. Hasil selulosa yang diperoleh dari 50

gram serbuk kayu kelapa sawit adalah 15,85 gram. Selulosa yang dihasilkan dari

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Selulosa yang Diisolasi dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit

4.1.2 Sintesis Selulosa Asetat

Asetilasi merupakan tahapan penting dalam proses pembuatan selulosa asetat

dengan melibatkan penggunaan larutan asam asetat anhidrida dan katalis berupa

asam sulfat. Hasil selulosa asetat yang diperoleh dari 10 gram selulosa adalah 14,87

gram. Selulosa asetat yang dihasilkan dari penelitian ini mengandung kadar asetil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebesar 43.05% dan derajat substitusi (DS) 2,79. Gambar selulosa asetat dapat dilihat

pada Gambar 4.2

Gambar 4.2 Serbuk Selulosa Asetat Hasil Esterifikasi Selulosa dari Serbuk Kayu

Kelapa Sawit

4.1.3 Film Selulosa Asetat

Pada penelitian ini, pembuatan film selulosa asetat ditambahkan pelarut

kloroform dan variasi plastisizer triasetin yaitu 0-0,5 mL. Komposisi film selulosa

asetat dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan film selulosa asetat yang dihasilkan dapat

dilihat pada Gambar 4.3

Tabel 4.1 Komposisi Film Selulosa Asetat

Sampel Plastisizer Rasio SA:TA(b/v) Pelarut

1.

2.

3.

4.

SA : TA

SA : TA

SA : TA

SA : TA

1,8 g : 0 mL

1,8 g : 0,5 mL

1,8 gr : 1 mL

1,8 gr : 1,5 mL

Kloroform

Kloroform

Kloroform

Kloroform

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.3 Film Selulosa Asetat dengan Pelarut Kloroform dan Plastisizer Triasetin

4.2 Pembahasan

4.2.1 Isolasi Selulosa dari Serbuk Kayu Kelapa Sawit

Isolasi selulosa dari serbuk kayu kelapa sawit mengacu pada metode

Chandrahasa et al. (2014). Ada beberapa tahapan dalam isolasi selulosa yaitu

perlakuan alkalisasi dan proses pemutihan (bleaching). Pada perlakuan alkalisasi,

bertujuan untuk penghilangan lignin pada serbuk kayu kelapa sawit. Selain itu,

bertujuan untuk menghilangkan hemiselulosa, garam-garam mineral, silika dan abu.

Selanjutnya dilakukan proses bleaching yaitu pemutihan pada pulp yang dihasilkan

dengan menambahkan NaOCl 5% dan 8-10 tetes asam asetat glasial. Tujuan dari

perlakuan ini adalah untuk menghilangkan warna kuning kecoklatan pada pulp dan

menghasilkan pulp berwarna putih yang disebut selulosa. Ion hipoklorit pada NaOCl

merupakan oksidan yang kuat sehingga mampu memecahkan ikatan eter dalam

struktur lignin dan mengakibatkan derajat putih pada pulp meningkat. Kemudian

SA SA + TA(0,5 mL)

SA + TA(1 mL) SA + TA(1,5 mL)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

selulosa yang dihasilkan ditambahkan HNO3 0,05 N untuk membantu proses

pemutihan dan menghilangkan sisa lignin yang terdapat pada selulosa yang telah

diperoleh. Selulosa dikarakterisasi dengan FTIR. Pada isolasi α-selulosa dilakukan di

kantor Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) sehingga kadar α-selulosa yang

diperoleh adalah 30%.

4.2.2 Sintesis Selulosa Asetat

Asetilasi merupakan tahapan penting dalam proses pembuatan selulosa asetat

yang melibatkan larutan asam asetat anhidrida dan katalis berupa asam sulfat. Pada

penelitian ini mengacu pada metode Meireles et al. (2010) dengan modifikasi.

Perendaman dalam asam asetat bertujuan untuk mendapatkan luas permukaan serat

selulosa yang besar dan mengurangi ikatan intramolekuler hidrogen sehingga

memudahkan difusi asetat anhidrida sebagai reagen esterifikasi ke dalam serat

selulosa. Proses esterifikasi dimaksudkan untuk mensubstitusi gugus hidroksil

selulosa dengan gugus asetil sehingga terbentuk selulosa asetat. Asam asetat

anhidrida akan terprotonasi dengan adanya asam sufat menghasilkan ion karbonium.

Ion karbonium yang terbentuk akan bereaksi dengan selulosa membentuk selulosa

asetat. Reaksi sintesis selulosa asetat dari selulosa dapat dilihat pada Gambar 4.4

O

OH

OHHO

O

O

HOOH

OH

O

n

3CH3COOHO

OHO

O

O

O

CH3

HO OO

O

CH3

O

CH3

O OH3C

O

n

3[n.H2O]

Selulosa Selulosa asetat

Gambar 4.4 Reaksi Sintesis Selulosa Asetat dari Selulosa (Nurhayati, 2014)

Proses esterifikasi berlangsung sampai materi larut sempurna. Reaksi

esterifikasi adalah reaksi eksoterm sehingga suhu harus dijaga tetap rendah, supaya

tidak terjadi degradasi rantai selulosa dan menghindari penguapan. Bahmid et al.

(2013) menyatakan terdapat beberapa faktor berpengaruh terhadap rendemen

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

selulosa asetat, diantaranya jenis dan kadar air bahan baku yang digunakan, rasio

selulosa: asam asetat, suhu dan waktu proses asetilasi dan lain-lain. Selanjutnya,

produk selulosa asetat yang terhasil dikaraktrisasi dengan FTIR, kadar asetil dan

derajat substitusi.

4.2.3 Film Selulosa Asetat

Pembuatan film selulosa asetat dari hasil sintesis selulosa asetat yang

diisolasi dari serbuk kayu kelapa sawit mengacu pada metode Zhu et al. (2013)

dengan modifikasi. Kelarutan selulosa asetat berhubungan dengan kadar asetilnya.

Selulosa asetat dengan kandungan asetil antara 36,5-42,2% bersifat mudah larut

dalam aseton, sedangkan selulosa asetat dengan kandungan 43% ke atas bersifat

mudah larut dalam diklorometan ataupun kloroform (Smurlin, 1954). Jika kadar

asetil lebih kecil dari 35% digolongkan sebagai selulosa monoasetat, jika antara 35-

43,5% digolongkan sebagai selulosa diasetat, dan jika di atas 43,5% digolongkan

sebagai selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984). Berdasarkan hasil penelitian

yang telah dilakukan, selulosa asetat terhasil memiliki kadar asetil 43,05%, derajat

substitusi (DS) 2,79, mudah larut dalam kloroform dan digolongkan sebagai selulosa

triasetat sesuai dengan pernyataan Smurlin dan Fengel.

Selulosa asetat memiliki transisi gelas (Tg) yang tinggi yaitu 190oC. Oleh

karena itu, selulosa asetat mensyaratkan penggunaan plastisizer untuk mengurangi

suhu transisi gelas (Tg) dalam pengolahannya. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan Vu et al. (2014) triasetin dipilih sebagai plastisizer karena sifatnya yang

ramah lingkungan, rendah toksisitas dan lebih cepat terbiodegradasi sehingga dapat

meningkatkan daya pengolahan film selulosa asetat sehingga dengan alasan yang

sama penulis menggunakan triasetin sebagai plastisizer dalam proses pembuatan film

selulosa asetat. Film selulosa asetat yang terhasil selanjutnya dikarakterisasi dengan

FT-IR, uji tarik, TGA, dan SEM.

4.2.4 Karakterisasi

4.2.4.1 Analisa Gugus Fungsi dengan FT-IR

Karakterisasi menggunakan FT-IR dilakukan untuk mengetahui perubahan

gugus fungsi proses pembuatan film selulosa asetat dari hasil sintesis selulosa asetat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang diperoleh dari serbuk kayu kelapa sawit. Analisa gugus fungsi dengan FT-IR

dilakukan dengan menggunakan alat Shimadzu IR-Prestige-21 dilakukan pada

rentang bilangan gelombang 450-4500 cm-1

. Bilangan gelombang FT-IR selulosa,

selulosa asetat dan film selulosa asetat dapat dilihat pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3.

Kurva perubahan %T terhadap bilangan gelombang (cm-1

) dapat dilihat pada Gambar

4.5 dan Gambar 4.6

Tabel 4.2 Gugus Fungsi yang diperoleh untuk Selulosa dan Selulosa Asetat dari

Serbuk Kayu Kelapa Sawit

Gugus Fungsi Bilangan Gelombang

Selulosa (cm-1

) Selulosa Asetat (cm-1

)

Uluran O-H 3410,15 3471,87

Uluran C-H 2900,94 2962,66

Uluran C-O 1620,21 1234,44

Uluran C=O - 1751,36

Daerah serapan gugus O-H ulur pada spektrum selulosa muncul pada daerah

serapan antara 3500-3700 cm-1

. Hasil analisa FT-IR menunjukkan bahwa spektrum

selulosa sebelum proses asetilasi memiliki gugus fungsi O-H ulur yang muncul pada

sekitar 3410,15 cm-1

dan setelah proses asetilasi memiliki gugus fungsi O-H ulur

yang muncul pada sekitar 3471,87 cm-1

. Hal ini disebabkan karena intensitas puncak

serapan gugus hidroksil menurun sementara intensitas puncak serapan gugus asetil

meningkat. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya oleh He et al. (2009) dan Mark (1999).

Hasil analisis gugus fungsi menggunakan FTIR juga menunjukkan adanya

puncak serapan gugus karbonil C=O (1870-1540 cm-1

) dan gugus ester C-O dari

gugus asetil (1320-1210 cm-1

) masing-masing pada bilangan gelombang 1751,36 cm-

1 dan 1234,44 cm

-1. Hal ini menunjukkan terbentuknya senyawa selulosa asetat

dengan adanya puncak yang tajam pada bilangan gelombang 1751,36 cm-1

dan

terjadi penurunan intensitas gugus O-H akibat tersubstitusi oleh gugus asetil.

Selulosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi dapat menghasilkan selulosa asetat

dengan kualitas yang baik. Tingkat kemurnian selulosa ditunjukkan dengan tingginya

nilai α-selulosa dan adanya puncak khas pada spektrum IR selulosa. Gugus fungsi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

utama pada selulosa murni adalah gugus hidroksi (O-H), karena selulosa merupakan

rantai panjang dari β glukosa (Bahmid et al, 2013).

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

% T

Bilangan Gelombang (cm-1)

SA

S

Gambar 4.5 Spektrum FTIR dari Selulosa dan Selulosa Asetat

Tabel 4.3 Gugus Fungsi yang diperoleh dari Film Selulosa Asetat

Gugus

Fungsi

Bilangan Gelombang

SA:TA

(1,8:0mL(b/v))

SA:TA

(1,8:0,5mL(b/v))

SA:TA

(1,8:1mL(b/v))

SA:TA

(1,8:1,5mL(b/v))

Uluran

O-H

Uluran

C-H

Uluran

C=O

Uluran

C-O

3471,87

2962,66

1751,36

1234,44

3471,87

2962,66

1743,65

1234,44

3464,15

2962,66

1743,65

1226,73

3471,87

2962,66

1751,36

1234,44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sedangkan pada puncak serapan film selulosa asetat hanya sedikit terjadi

pergeseran pada gugus karbonil. Cerqueira et al. (2012) menyatakan bahwa ketika

senyawa dicampur, ikatan fisik dan interaksi kimia tercermin oleh perubahan

karakteristik puncak spektrum IR. Gambar 4.6 menunjukkan spektrum IR film

selulosa asetat dengan atau tanpa triasetin. Dengan meningkatnya kandungan

triasetin, pita pada 1226,73 cm-1

dan secara bertahap bergeser pada pita 1234,44cm-1

,

yang mengindikasikan bahwa gugus alkoksil dari triasetin dan molekul selulosa

asetat ditingkatkan. Plastisizer berpengaruh dengan memutus interaksi polimer-

polimer (misalnya ikatan hidrogen dan Van der Waals atau kekuatan ionik). Menurut

struktur molekuler triasetin dan selulosa asetat, kekuatan antar dan intra-molekul

primer dalam film yang terplastisasi dan tidak terplastisasi dianggap sebagai gaya

Van der Waals (Santosa et al., 1999 & Suyatma et al., 2005). Interaksi baru ini

menggantikan kekuatan molekul masing-masing yang semula merupakan milik

triasetin dan selulosa asetat sendiri. Interaksi yang meningkat secara bertahap secara

simultan memperlemah kekuatan molekul aslinya (Jie et al., 2013).

Gambar 4.6 Spektrum FT-IR dari Film Selulosa Asetat dengan Pelarut Kloroform

dan Plastisizer Triasetin

3000 2500 2000 1500 1000 500

Bilangan Gelombang (cm-1)

SA

SA+TA(0.5mL)

SA+TA(1.0mL)

SA+TA(1.5mL)

% T

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.2.4.3 Analisa Sifat Mekanik Film Selulosa Asetat

Pada penelitian ini pengujian sifat mekanik dari film selulosa asetat diuji

melalui uji tarik pada temperatur kamar menggunakan beban 2 ton. Ketebalan rata-

rata dari film selulosa asetat yang dihasilkan adalah 1 mm.

Tabel 4.4 Data Nilai Uji Tarik dari Film Selulosa Asetat

Komposisi Film (b/v) Tegangan

(MPa)

Regangan

Modulus Young’s

(MPa)

SA + TA (1,8:0) 76,561 0,026 1933,6

SA + TA (1,8:0,5) 61,894 0,0148 2164,3

SA + TA (1,8:1,0) 159,578 0,0186 4289,8

SA + TA (1,8:1,5) 156,701 0,0296 3725,4

Dari Tabel 4.5 diatas, terlihat bahwa Modulus Young’s paling optimum

berada pada film selulosa asetat dan triasetin pada rasio perbandingan yaitu 1,8:1,0

(b/v) yaitu 4289,8 MPa. Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam

bentuk kurva tegangan (Stress), yakni perbandingan beban dengan luas penampang =

F/A, terhadap perpanjangan bahan (regangan/Strain) yakni pertambahan panjang

dibagi panjang awal bahan, yang disebut kurva tegangan-regangan. Perbandingan

tegangan tarik terhadap regangannya didefinisikan sebagai Modulus Young atau

Modulus Elastisitas.

Akan tetapi penambahan 0-1,5 mL triasetin pada proses pembuatan film

selulosa asetat memberikan efek penurunan kekuatan tarik dan modulus young’s. Hal

ini disebabkan karena triasetin tidak dapat bercampur secara sempurna atau tidak

homogen saat proses pencampuran selulosa asetat dan triasetin karena dilakukan

secara manual menggunakan stirrer sehingga film selulosa asetat yang dihasilkan

terdegradasi pada saat proses pencampurannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

0.000 0.005 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030

0.0

2.0x107

4.0x107

6.0x107

8.0x107

1.0x108

1.2x108

1.4x108

1.6x108

Regangan (%)

SA

SA+TA(0.5mL)

SA+TA(1.0mL)

SA+TA(1.5mL)

Tegangan

(P

a)

Gambar 4.7 Grafik Stress-Strain dari Film Selulosa Asetat dengan Pelarut Kloroform

dan Plastisizer Triasetin

4.2.4.4 Analisa Degradasi Termal dengan Menggunakan TGA

Pengujian degradasi termal dilakukan dengan Termogravimetry Analysis (TGA)

yang bertujuan untuk mengetahui perubahan massa film selulosa asetat terhadap

kenaikan suhu. Pengujian ini juga dapat memberikan informasi terhadap hasil

dekomposisi termal atau massa residu yang dihasilkan. Kurva perubahan massa film

selulosa asetat terhadap kenaikan suhu dapat dilihat pada Gambar 4.8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

0

20

40

60

80

100

% W

Temperature (oC)

SA

SA+TA(0.5mL)

SA+TA(1.0mL)

SA+TA(1.5mL)

Gambar 4.8 Kurva TGA dari Film Selulosa Asetat dengan Pelarut Kloroform dan

Plastisizer Triasetin

Kurva TGA dari film selulosa asetat (SA) menunjukkan penurunan berat

awal yaitu pada suhu di bawah 100oC disebabkan oleh penguapan air. Dekomposisi

film selulosa asetat mulai terjadi pada suhu 235oC-381

oC dapat dikaitkan dengan

degradasi asetat dari hemiselulosa dan lignin, yang dikonfirmasi oleh penurunan

berat pada kurva TGA (Ren et al., 2007) dengan massa residu 0,3% dari berat awal.

Meskipun masih terdapat lignin dan hemiselulosa dalam komposisi selulosa asetat,

beberapa unsur tersebut mudah dihilangkan dengan hidrolisis dan pelarutan dalam

media reaksi selama proses asetilasi (Shaikh et al., 2009).

Sedangkan pada kurva TGA dari film selulosa asetat (SA : TA (0,5 mL), SA :

TA (1 mL) SA : TA (1,5 mL)) penurunan berat awal yaitu pada suhu di bawah 100oC

disebabkan oleh penguapan air. Selanjutnya stabilitas termal triasetin menurun secara

signifikan (terlihat dari permulaan dan nilai puncak) setelah dicampur dengan

selulosa asetat yaitu masing-masing dari 53,5oC sampai 177,5

oC (37,6% berat),

57,8oC sampai 208,91

oC (48,6% berat), dan 39,3

oC sampai 118,9

oC (9,44% berat)

dengan masa residu 1,9% berat awal. Hal ini disebabkan karena penguapan triasetin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terkait dengan penghancuran kekuatan molekuler, sehingga stabilitas termal triasetin

berubah seiring dengan interaksinya dengan molekul selulosa asetat. Sebagian besar

kekuatan molekul triasetin digantikan oleh interaksi dengan molekul selulosa asetat

ketika kedua komponen ini dicampur. Triasetin dalam film menguap pada suhu yang

lebih rendah, yang mana dapat disimpulkan bahwa kekuatan antarmolekul triasetin

memiliki stabilitas lebih tinggi daripada interaksi dengan selulosa asetat (Jie et al.,

2013). Selain itu, triasetin yang meningkat dikumpulkan di wilayah amorf terbentuk

kaya plastisizer karena terjadi kristalisasi (Mathew dan Dufresne, 2002). Kekuatan

molekul triasetin harus jauh lebih luar biasa di dalam daerah amorf tersebut, yang

mungkin menyebabkan nilai karakteristik triasetin meningkat (Zohuriaan &

Shokrolahi, 2004).

4.2.4.5 Analisa Morfologi dengan Menggunakan SEM

Analisis morfologi dengan menggunakan SEM bertujuan untuk melihat

permukaan dan sebaran pori pada film selulosa asetat. Pada penelitian ini permukaan

film selulosa asetat dapat memberikan gambaran permukaan dan pori pada film yang

dapat dikaitkan dengan penentuan kecepatan alir film. Analisis morfologi di

permukaan film selulosa asetat ditunjukkan pada Gambar 4.9

SA SA+TA (0,5 mL)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.9 Hasil SEM dari Film Selulosa Asetat dengan perbesaran 1000 kali

Mulder (1996) menyatakan terbentuknya film dapat diakibatkan dari proses

pembuatan film dengan cara inversi fasa, dimana pada inversi fasa terjadi penguapan

pelarut dalam udara terbuka sehingga mendorong permukaan film membentuk pori.

Proses pembuatan film selulosa asetat dengan penambahan kloroform dapat

memperbaiki stabilitas larutan dan menghindari pemisahan fasa sehingga dapat

mempengaruhi karakteristik dari film selulosa yang dihasilkan. Morfologi film

selulosa asetat yang ditunjukkan pada Gambar 4.9 jelas terlihat bahwa film selulosa

asetat tanpa plastisizer tiasetin lebih kasar dengan ditandai adanya partikel putih.

Namun, film selulosa asetat dengan plastisizer triasetin menghasilkan tekstur yang

berbeda. Hal ini ditandai dengan penambahan triasetin dari 0,5 mL, 1 mL dan 1,5 mL

terlihat bahwa semakin banyak penambahan plastisizer triasetin menunjukkan

kekasaran yang lebih rendah. Dengan demikian mengindikasikan bahwa plastisasi

dapat secara efektif mendorong homogenisasi intuitif pada film yang dihasilkan (Jie

et al., 2013).

SA+TA (1 mL) SA+TA (1,5 mL)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Sebanyak 50 g serbuk kayu kelapa sawit dapat menghasilkan selulosa sebesar

15,85 g .

2. Sebanyak 10 g selulosa disintesis dengan asam asetat sebagai aktivator dan

menggunakan katalis H2SO4 diperoleh selulosa asetat sebesar 14,87 g dengan

kadar asetil 43,05% dan derajat substitusi 2,8.

3. Film selulosa asetat telah berhasil dilakukan dengan metode blending dengan

menggunakan pelarut kloroform dan plastisizer triasetin.

4. Nilai uji tarik film selulosa asetat yang optimum diperolehi dari perbandingan

campuran SA+TA (1,8:1,0 (b/v)) dengan nilai Modulus Young’s 4289,8 MPa.

Analisa degradasi termal dengan TGA dibagi dalam 4 tahap berdasarkan

perbedaan dari kurva TGA. Setelah penambahan plastisizer triasetin, stabilitas

termal dari film selulosa asetat meningkat. Analisa permukaan dari film selulosa

asetat dengan SEM menunjukkan permukaan film selulosa asetat yang halus,

pori-pori yang kecil dan homogen.

5.2 Saran

1. Kepada peneliti selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian lebih dalam

tentang reaksi-reaksi apa yang terjadi dalam pembuatan film selulosa asetat.

2. Kepada peneliti selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian lanjutan

dengan pelarut diklorometana untuk mengetahui tingkat homogenisasi dalam

pembuatan film selulosa asetat.

3. Kepada peneliti selanjutnya disarankan agar melakukan karakterisasi lebih lanjut

terhadap pengaplikasian film selulosa asetat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

Archana M, Abdul A, Manash P, Hazarika, 2014. Synthesis and Characterization of

Cellulose Acetate from Rice Husk : Eco-Friendly Condition. Carbohydrate

Polymers. 112:342–349.

Bahmid NA, Syamsu K, Maddu A, 2013. Production of Cellulose Acetate From Oil

Palm Empty Fruit Bunches Cellulose. Chemical and Process Engineering

Research. 17:12–20.

Bertuzzi MA, Vidaurre EFC, Armada M, Gottifredi JC, 2007. Water Vapor

Permability of Edible Starch Based Film. Food Engineering. 80: 972-978.

Biswas A, Saha BC, Lawton JW, Shogren RL, Willett JL, 2006. Process for

Obtaining Cellulose Acetate from Agricultural by-Products. Carbohydrate

Polymers. 64:134–137.

Cao Y, Zhang J, He J, Li H, Zhang Y, 2010. Homogeneous Acetylation of Cellulose

at Relatively High Concentrations In an Ionic Liquid. Chinese Journal of

Chemical Engineering. 18(3):515–522.

Cerqueira MA, Souza BWS, Teixeira J A, Vicente AA, 2012. Effect of glycerol and

corn oil on physicochemical properties of polysaccharide films-A

comparative study. Food Hydrocolloids. 27:175–184.

Chandrahasa R, Rajamane NP, Jeyalakshmi, 2014. Development of Cellulose

Nanofibres from Coconut Husk. International Journal of Emerging

Technology and Advanced Engineering. 4: 88-93.

Chatwall G, 1985. Spectroscopy Atomic and Molecule. Himalaya Publishing House.

Bombay

Direktoral Jendral Perkebunan, 2015. Buku Statistik Perkebunan Indonesia-Kelapa

Sawit (Palm Oil) 2014-2016. Jakarta.

Fauzi IY, 2003. Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.

Fengel D, 1955. Kimia Kayu Ultrastruktur Reaksi-reaksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Fessenden RJ, Fessenden JS, 1992. Kimia Organik Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Gea S, Reynolds CT, Roohpour N, Wirjosentono B, Soykeabkaew N, Bilotti E, Peijs

T, 2011. Investigation into the Structural, Morphological, Mechanical and

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Thermal Behaviour of Bacterial Cellulose after a Two-Step Purification

Process. Bioresource Technology. 102: 9105-9110.

Gontard N, Guilbert S, Cuq JL, 1992. Edible Wheat Film: Influence of The Main

Process Variables on Film Properties of an Edible Wheat Gluten Film. Food

Science. 57 (1): 190-195.

Goring D, 1963. Thermal Softening of Lignin. Pulp and Paper Magazine of Canada.

64(12): T517-T527.

Hahn-Häegerdal B, Galbe M, Gorwa-Grauslund MF, Lidén G, Zacchi G, 2006.

Bioethanol-The Fuel of Tomorrow from The Residues of Today. Trends in

Biotechnology. 24:549–556.

Harmita, 2006. Analisis Fisika Kimia. Departemen Farmasi FMIPA-UI. Jakarta.

He JX, Ming Z, Cui SH, Wang YS, 2009. High-Quality Cellulose Triacetate

Prepared from Bamboo Dissolving Pulp. Journal of Applied Polymer Science.

113(1):456–465.

Jie Z, Xiaoxi L, Chen H, Ling C, Lin L, 2013. Plasticization Effect of Triacetin on

Structure And Properties Of Starch Ester Film. Carbohydrate Polymers.

94:874– 881.

Khaswar S, Tutus K, 2014. Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat Dari Selulosa

Mikrobial Nata De Cassava. E-Jurnal Agroindustri Indonesia. Vol. 3: No. 1.

Khopkar SM, 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.

Kristanoko H, 1996. Pengaruh Penambahan Carboxy Methyl Cellulose dan Sorbitol

Terhadap Krakteristik Edibel dari Ekstrak Bungkil Kedelai. IPB. Bogor.

Krochta. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technornic

Publishing Company Inc. Lancaster.

Li J, Zhang LP, Peng F, Bian J, Yuan TQ, Xu F, 2009. Microwave-Assisted Solvent-

Free Acetylation of Cellulose with Acetic Anhydride in The Presence of

Iodine as a Catalyst. Molecules. 14: 3551–3566.

Lindsay RC, 1985. Food Additives. Food Chemistry.

Mali S, Sakanaka LS, Yamashita F, Grossmann MVE, 2005. Water Sorption and

Mechanical Properties of Cassava Starch Films and Their Relation to

Plasticizing Effect. Carbohydrate Polymers. 60:283–289.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Mark JE, 1999. Polymer data handbook. Oxford: Oxford University press.

Mathew AP, Dufresne A, 2002. Plasticized waxy maize starch: Effect of polyols and

relative humidity on material properties. Biomacromolecules. 3:1101–1108.

McHugh TH, Aujard JF, Krochta JM, 1994. Plasticized whey protein edible films:

water vapor permeability properties. Food Sci. 59: 416-419.

Meireles S, Rodrigues G, Fernandes M, Alves D, Maria R, Zeni M, 2010.

Characterization Of Asymmetric Membranes Of Cellulose Acetate From

Biomass: Newspaper And Mango Seed. Carbohydrate Polymers. 80(3): 954–

961.

Mosier NS, Sarikaya A, Ladisch CM, Ladisch MR, 2001. Characterization Of

Dicarboxylic Acids for Cellulose Hydrolysis. Biotechnology Progress.

17:474–480

Mulder M, 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer Academic

Publisher. London.

Nasution DY, Tamrin, 2001. Pembuatan Kayu Termoplastik dari Batang Kelapa

Sawit Menggunakan Teknik Impregnasi Reaktif dengan Poliolefin Daur

Ulang. Laporan Akhir Penelitian Domestik Colaboratif Research Grant,

Proyek Penelitian untuk Pengembangan Pasca Sarjana/URGE, Direktorat

Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Nurhayati, Rinta K, 2014. Sintesis Selulosa Asetat dari Limbah Pengolahan Agar.

Jakarta.

Poedjiadi A, 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Bandung: ITB Bandung.

Potthast A, Rosenau T, Kosma P, 2006. Analysis of Oxidized Functionaties in

Cellulose. Polym Sci. 205: 1-6.

Prayitno TA, 1994. Bentuk Batang dan Sifat Fisik Kayu Kelapa Sawit. Yogyakarta:

UGM.

Purnama KO, 2009. Impregnasi Kayu Kelapa Sawit dengan Menggunakan Asap Cair

Tempurung Kelapa, Stirena, dan Toluena Diisosianat (TDI). Medan:

Universitas Sumatera Utara.

Ragauskas AJ, Williams CK, Davison BH, Britovsek G, Cairney J, Eckert CA, 2006.

The Path Forward for Biofuels and Biomaterials. Science. 311: 484-489.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ren JL, Sun RC, Liu CF, Cao ZN, Luo W, 2007. Acetylation Of Wheat Straw

Hemicelluloses In Ionic Liquid Using Iodine as a Catalyst. Carbohydrate

Polymers. 70(4): 406–414.

Risza S, 1995. Kelapa Sawit. Semarang: Penerbit Kanisius.

Rodriguez M, Oses J, Ziani K, Mete JI, 2006. Combined Effect of Plastizers and

Surfactants on the Physical Properties of Starch Based Edible Film. J. Food,

Research International.

Rosa MF, Medeiros ES, Imam SH, 2010. Cellulose Nano Whiskers From Coconut

Husk Fibers: Effect Of Preparation Conditions On Their Thermal And

Morphological Behavior. Published by Elsevier.

Rowe RC, Sheskey PJ, Quinn ME, 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients

Edisi keenam. Pharmaceutical Press. 136-138: 129-133.

Rowell RM, Han JS, Rowell JS, 2000. Characterization and Factors Effecting Fiber

Properties, Natural Polimers and Agrofibers Composites. Preparation,

Properties and Application. Emrapa Instrumentacao Agropecuria. Brasil.

Safriani, 2000. Produksi Biopolimer dari Selulosa Asetat Nata de Soya [tesis].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Santosa FXB, Padua GW, 1999. Tensile Properties and Water Absorption of Zein

Sheets Plasticized with Oleic and Linoleic Acids. Journal of Agricultural and

Food Chemistry. 47: 2070–2074.

Sastrohamidjojo H, 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta : Penerbit Liberty.

Saxena IM, Brown RMJr, 1995. Identification of a Second Cellulose Synthase Gene

(acsAll) in Acetobacter Xylinum. Journal of Bacteorology.

Shaikh HM, Pandare KV, Nair G, Varma AJ, 2009. Utilization of Sugarcane Bagasse

Cellulose for Producing Cellulose Acetates: Novel Use of Residual

Hemicellulose as Plasticizer. Carbohydrate Polymers. 76(1): 23–29.

Sjostrom E, 1993. Wood Chemistry. Academic Press: Second Edition.

Smurlin O, 1954. Cellulose and Cellulose Derivatives. Interscience Publisher, Inc.

New York.

Socrates G, 2004. Infrared and Raman characteristic group frequencies. New York:

John Wiley & Sons. 366.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Stevens MP, 2001. Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Hal: 177-597.

Subaer. 2007. Pengantar Fisika Geopolimer. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Makasar.

Sumada K, 2011. Kajian Proses Isolasi α-Selulosa dari Limbah Batang Tanaman

Manihot Esculenta Crantz yang Efisien. Jurnal Teknik Kimia Vol.5, No.2.

Suyatma NE, Tighzert L, Copinet A, Coma V, 2005. Effects Of Hydrophilic

Plasticizers On Mechanical, Thermal, And Surface Properties Of Chitosan

Films. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 3950–3957.

Tomimura, 1992. Chemical Characteristics of Palm Tunk. Journal Japan Agri.

Vol.2.

Vu, T.P., Steven, V., Patrizia, C., Irene, A., Maria-Beatrice, C., Andrea, L. 2014.

Cellulose Acetate Blends–Effect of Plasticizers on Properties and

Biodegradability. Scrivener Publishing LLC, J. Renew. Vol. 2, No. 1.

Winarno FG, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Wirjosentono B, 1995. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan: USU Press.

Yu DG, Yu JH, Chen L, Williams GR, Wang X, 2012. Modified Coaxial

Electrospinning for The Preparation of High-Quality Ketoprofen-loaded

Cellulose Acetate Nanofibers. Carbohydrate Polymers. 90: 1016–1023.

Yu DG, Li XY, Wang X, Chian W, Liao YZ, Li Y, 2013. Zero-Order Drug Release

Cellulose Acetate Nanofibers Prepared using Coaxial Electrospinning.

Cellulose. 20: 379–389.

Zohuriaan MJ, Shokrolahi F, 2004. Thermal Studies on Natural and Modified Gums.

Polymer Testing. 23:575–579.

Zugenmainer P, 2008. Crystalline Cellulose and Derivatives. Heidelberg: Springer-

Verlag. 2: 7–8.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 1. Hasil Analisa Gugus Fungsi dari Selulosa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 2. Hasil Analisa Gugus Fungsi dari Selulosa Asetat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 3. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 4. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 0,5 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 5. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,0 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 6. Hasil Analisa Gugus Fungsi Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-

Triasetin (1,8 : 1,5 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 7. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 0

(b/v))

Lampiran 8. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 :

0,5 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 9. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 :

1,0 (b/v))

Lampiran 10. Grafik Uji Tarik Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 :

1,5 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 11. Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 0

(b/v))

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

20

40

60

80

100

% W

Temperature (oC)

Lampiran 12. Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 0,5

(b/v))

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

0

20

40

60

80

100

% W

Temperature (oC)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 13. Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 1,0

(b/v))

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

0

20

40

60

80

100

% W

Temperature (oC)

Lampiran 14. Kurva TGA Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin (1,8 : 1,5

(b/v))

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

0

20

40

60

80

100

% W

Temperature (oC)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 15. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 0 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Lampiran 16. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 0 (b/v)) dalam Perbesaran 1000 kali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 17. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 0,5 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Lampiran 18. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 0,5 (b/v)) dalam Perbesaran 1000 kali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 19. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 1,0 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Lampiran 20. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 1,0 (b/v)) dalam Perbesaran 1000 kali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 21. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 1,5 (b/v)) dalam Perbesaran 500 kali

Lampiran 22. Hasil Foto SEM dari Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8 : 1,5 (b/v)) dalam Perbesaran 1000 kali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 23. Perhitungan Nilai Kadar Asetil dan Derajat Substitusi dari Selulosa

Asetat

1. Analisa Kadar Asetil

Dik : V1 (mL HCl untuk titrasi selulosa asetat) = 2 mL

V2 (mL HCl untuk titrasi untuk titrasi blanko) = 5 mL

V3 (mL NaOH untuk titrasi selulosa asetat) = 20 mL

V4 (mL NaOH untuk titrasi blanko) = 3 mL

N (Normalitas HCl) = 0,5 N

N (Normalitas NaOH) = 0,5 N

F = 4,305

W (berat contoh) = 1 g

Dit : % Kadar Asetil

Penyelesaian :

Kadar asetil (%) = [( ) ( ) ]

= [( ) ( ) ]

= 43.05%

2. Derajat Substitusi

( )

( ) =

Lampiran 24. Perhitungan Nilai Tegangan (Stress)

Contoh : Perhitungan untuk sampel Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8:0 (b/v))

Sampel spesimen uji mempunyai :

Panjang = 50 mm = 0,05 m

Lebar = 15 mm = 0,015 m

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tebal = 0,95 mm = 0,00095 m

Force = 1,091 N

Maka nilai tegangan diperoleh :

( )

= 76561403,5 Pa

= 76,561 MPa

Perhitungan yang sama juga dilakukan pada setiap sampel dari hasil

pengujian tarik yang lainnya.

Lampiran 25. Perhitungan Nilai Regangan (Strain)

Contoh : Perhitungan untuk sampel Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8:0 (b/v))

Sampel spesimen uji mempunyai :

Panjang awal (l0) = 50 mm = 0,05 m

Pertambahan panjang (Δl) = 1,3 mm = 0,0013 m

Maka Nilai Regangan diperoleh :

( )

Perhitungan yang sama juga dilakukan pada setiap sampel dari hasil

pengujian tarik yang lainnya.

Lampiran 26. Perhitungan Nilai Modulus Elastisitas (Modulus Young)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Contoh : Perhitungan untuk sampel Film Selulosa Asetat dengan rasio SA-Triasetin

(1,8:0 (b/v))

Sampel spesimen uji mempunyai :

Tegangan (σ) = 76561403,5 Pa

Regangan (ε) = 0,026

Maka nilai Modulus Elastisitas diperoleh :

Perhitungan yang sama juga dilakukan pada setiap sampel dari hasil

pengujian tarik yang lainnya.

Lampiran 27. Gambar Penelitian

Serbuk Kayu Kelapa Sawit Proses Delignifikasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Proses Pemutihan Selulosa

Selulosa Asetat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Film SA + TA (1,8 : 0 (b/v)) Film SA + TA (1,8 : 0,5 (b/v))

Film SA + TA (1,8 : 1,0 (b/v)) Film SA + TA (1,8 : 1,5 (b/v))

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA