teori disolusi intrinsik

6
PERCOBAAN II KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK TUJUAN Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvat) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya. DASAR TEORI Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep. (Anonim 2007) Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung- usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel. 1985).Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan

Upload: rafian-dizar-santya

Post on 16-Jan-2016

135 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

disolusi

TRANSCRIPT

Page 1: TEORI DISOLUSI INTRINSIK

PERCOBAAN II

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

TUJUAN

Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvat) terhadap

kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.

DASAR TEORI

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat

ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu

obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum

diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus  diuji disolusinya adalah bentuk padat atau

semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep.

(Anonim 2007)

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada

tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet

atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan  pada suatu

tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari

apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam

lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel.

1985).Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat

tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak

dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan

granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,

deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari

bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin. 1993).Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi

oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan

mengalami dua langkah berturut-turut (Gennaro.1990):Larutan dari zat padat pada

permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikelDifusi dari lapisan

tersebut pada massa dari zat cair.Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat.

Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah  langkah terakhir.Pada waktu suatu

Page 2: TEORI DISOLUSI INTRINSIK

partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk

ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan

partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.

Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan

berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat

terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat  yang

dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut.

(Martin 1993)

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat

diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang

terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus  menembus pembatas

membran. Tetapi, jika laju disolusi  untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin

karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri

akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat

yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin

tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah

pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau

saluran usus halus.

(Martin 1993)

UJI DISOLUSI OBAT

Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah

menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,

dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji

hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang

ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan

obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan

ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat

bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan

dengan laju larut obat dalam tablet.Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah,

maka kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut

dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari

Page 3: TEORI DISOLUSI INTRINSIK

berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas

kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para

ahli farmasi.

(Voigt, 1995).

Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh

dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in

vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,

melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian

pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya

biaya yang diperlukan; pemakaian  manusia sebagai obyek bagi penelitian yang

“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia

yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in

vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk

mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor

formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi

bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji

disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji

disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :

1.      Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%

2.      Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju

penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.

(Shargel, 1988).

Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari

satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator

kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch”

satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan

melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang

sama dan dapat diulangi.

(Shargel, 1988)

Page 4: TEORI DISOLUSI INTRINSIK

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan

sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang

dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya

ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat

aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi

(suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi

dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik

(Voigt, 1995).

DAFTAR PUSTAKA

Voigt, R.,1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soewandhi, S.N.,

UGM Press, Yogyakarta.

Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik, jilid I Edisi III. Jakarta: UI-Press.

Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.