steven johnson final
DESCRIPTION
SJSTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
STEVEN JOHNSON
DI SUSUN OLEH :
1. ERWIN APRIYANTO
2. EMI HERTATI
3. HERI URYONO
4. YENI
AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV /
DIPONEGORO
SEMARANG
2010
A. LATAR BELAKANG
Steven Johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput
lendir orifisium mata gebital. Prediksi : nulut, mata, kulit, ginjal, dan anus.
Steven johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian
umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut
dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Syndrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika.
A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Syndrom Steven Johnson yang bisa
disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian Syndrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi
hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom Steven Johnson dapat
timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan
tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus,
dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun
pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS serta
lapus angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven
johnson karena Syndrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat
menyebabkan kematian. Syndrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun,
dan penyebab Syndrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang
dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven
Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan
syndrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang Asuhan Keperawatan
dengan Kasus Syndrom Steven Johnson
2. Tujuan Khusus
Secara khusus '' Asuhan Keperawatan Klien dengan Syndrom Steven
Johnson '', ini disusun supaya :
A. Perawat dapat mengetahui tentang pengertian, penyebab, klasifikasi,
tanda dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaa, serta komplikasi dari Syndrom Steven Johnson.
B. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
Syndrom Steven Johnson.
C. Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang Syndrom
Steven Johnson pada klien.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Syndrom Steven Johnson adalah Syndrom yang mengenai kulit,
selaput lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat
disertai purpura.
( Djuanda, 1993 : 107 )
Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang
terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis.
( Junadi, 1982 : 480 )
Syndrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit,
selaput lendir yang oritisium dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik
sampai buruk.
( Mansjoer, A, 2000 : 136 )
Jadi syndrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan
kulit pada selaput lendir oritisium mata genital.
2. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang
dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :
a. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik),
Penisilline dan semisintetiknya, Sterptomecine, sulfonamida, Tetrasiklin
Anti piretik / analgetik (dentat, salisil / perazolon, metamizol,
metampiron, dan paracetamol). Kloepromazin, Mkarbamazepin, Kirin
antipirin, Tegretol.
b. Inspeksi mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, dan parasit ).
c. Neoplasma dan faktor endoktrin.
d. Faktor fisik ( sinar matahari, radiasi, sinar x ).
e. Makanan.
3. Manifestasi Klinis
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 8 tahun kebawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada syndrom ini terlihat
adanya trias kelainan, berupa :
a. Kelainan kulit.
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga
dapat terjadi purpura, pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lendir
Kelaianan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut ( 100 % )
kemudian disusul oleh kelainan alat dilubang genetol ( 50 % ), sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ( masing-masing 8 % dan 4 % ).
c. Kelainan mata.
Kelainan mata merupakan 80 % diantara semua kasus yang tersering telah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
parulen, peradarahan, alkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias
kelainan tersebut dapat pula dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya :
notritis, dan onikolisis
4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komlemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
leozim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ).
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan
sebagai reaksi radang.
Reaksi hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-
sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan
sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
5. Pathway
STEVEN JONHSON
6. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah
80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syoek pada
mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
7. Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku
dalam menegakkan diagnosis.
a. CBC ( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal
atau leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan
disebabkan karena infusi bakteri.
b. Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab
infeksi.
Tes lainya :
Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma
Adanya mikrosis sel epidermis
Infiltrasi limposit pada daerah ferifaskulator
8. Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh sukup diobati
dengan preanisone 30 – 40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya
burukdan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan
deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4 – 6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasienstevenjohnson
berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena
setelah masa kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi
lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan
5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti
dengan table kortikosteroid, misalnya prendnisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi
10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit
( K, Na dan CI ) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg / hari dan diet rendah garam bila
terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid
diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok dekanoat dan
nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk devasa ( dosis untuk anak
tergantung berat badan ).
Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang
dapat menyebabkan kematian, dapat di beri antibiotik yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat sakteriosidal misalnya
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena
pasien sukaratau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2
– 3 ahri, maka daapt diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
Tropikal
Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa
diarine perak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian
a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien
b. Gambaran klinik
c. Histopatologi
d. Riwayat kesehatan : riwayat laregi, reaksi alergi terhadap makanan, obat
serta zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
e. Pemeriksaan kulit infeksi dan
I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, faktor
P : Turgor kulit, adema
( Brunner and Suddarth, 2001 )
2. Data Fokus
DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas
menurun.
DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah untuk melihat,
tampak lemas dalam aktivitas.
3. Prioritas Diagnosa
a. Gangguan integritas kulit berdasarkan dengan informasi dermal dan
epidermal.
b. Gangguan nutrisi < kebutuhan tubuh berdasarkan dengan kesulitan
menelan.
c. Gangguan persepsi sensori, kurang penglihatan berdasarkan dengan
konjungtivitis.
d. Gangguan intoleransi aktivitas berdasarkan dengan kelemahan fisik
4. Perencanaan Keperawatan
DIAGNOSA :
1. Gangguan integritas kulit berdasakan dengan inflamasi dermal dan
epidermal
a. Tujuan : Diharapkan inflamasi dermal dan epidermal berkurang
Kriteria hasil :
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
b. Intervensi
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta
perubahan lainnya yang terjadi.
Kolaborasi dengan tim medis
c. Rasional
Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat untuk mencegah
infeksi lebih lanjut
2. Gangguan nutrisi < kebutuhan tubuh berdasarkan denagn kesulitan
menelan
a. Tujuan : Nafsu makan meningkat
Kriteria hasil
Menunjukkan berat badan stabil / peningkatan berat badan
b. Intervensi :
Berikan makanan sedikit tapi sering
Kolaborasi dengan tim gizi
Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
c. Rasional :
Membantu mencegah distensi gaster / ketidaknyamanan
Kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi
jaringan.
Meningkatkan nafsu makan.
3. Gangguan persepsi sensori : kurang penglihatan berdasarkan dengan
konjungtivitis
a. Tujuan : Pasien dapat melihat dengan jelas
Kriteria hasil :
Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya penglihatan secara permanen
b. Intervensi :
Kaji dan catat ketajaman penglihatan
Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan penglihatan
Orientasikan terhadap lingkungan
c. Rasional
Menentukan kemampuan visual
Mengurangi ketergantungan
Berikan bahan-bahan bacaan dan tulisan yang besar
4. Gangguan intoleransi aktivitas berdasakan dengan kelemahan fisik
a. Tujuan : Aktivitas mulai normal
Kriteria hasil :
Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
b. Intervensi :
Kaji respon individu terhadap aktivitas
Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas
c. Rasional
Mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari
Klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syndrom steven johnson merupakan syndrom yang mengenai julit,
selaput lendir, di orifisum dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan
ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa entema, vesikel atau bula
dapat disertai purpura.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi
alergi obat ( misalnya, penisilin, analgetik, anti peuritik ). Infeksi
mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, parasit ). Neoplasma dan faktor
endoktrin, faktor fisik, dan makanan.
Pada syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa : kelainan kulit
yang terdiri daribatuk eritema, vesikel dan bula, kelainan selaput lendir di
orivisium, dan kelainan mata yang ditemukan konjungtivitis kornea.
B. SARAN
1. Bagi Rumah Sakit
a. Rumah sakit mampu memberikan pelajaran yang baik pada klien
b. Rumah sakit membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan
2. Bagi sesama profesi / perawat
a. Perawat selalu melakukan pengawasan 1 x 24 jam pada klien
b. Perawat harus mengetahui sejauh mana perkembangan kesehatan klien
3. Bagi keluarga / klien
a. Keluarga harus mengawasi dan membatasi aktivitas klien
b. Keluarga hasur memberikan nutrisi yang adekuat kepada klien agar
kesehatan klien cepat membaik