skenario 2 euthanasia b-5-1.docx

25
SKENARIO 2 EUTHANASIA PILIHAN TERAKHIR AGAIN Indosiar.com, Jakarta –Bagi Agian Isna Nauli Siregar, Euthanasia adalah pilihan terakhir untuk melepaskan diri dari penderitaannya akibat penyakit yang secara medis sulit di sembuhkan. Sang suami Panca Satria Hasan Kusuma dengan gigih terus berjuang untuk mencari kepastian hokum, agar keinginannya untuk mengakhiri hidup istrinya terkabul. Kendati system hukum di Indonesia belum mengakuinya. Telah lebih dari 3 bulan, Agian Isna Nauli Siregar hanya tergolek tanpa daya di rumah sakit. Sejumlah uang telah dikeluarkan Panca Satria Hasan Kusuma demi kesembuhan istrinya. Namun hingga kini tidak ada perubahan yang berarti terlihat dari dalam diri Again. Kenyataan pahit ini membuat Hasan pasrah dan rela melepaskan istrinya dengan cara Euthanasia atau disuntik mati. Keputusan akhir diperjuangkan Hasan karena telah habisnya dana yang dimiliki dan tidak tahan melihat penderitaan istrinya yang sulit untuk disembuhkan. Kesedihan Hasan semakin bertambah, karena sejak istrinya sakit ia sangat jarang bertemu dengan anak-anaknya. Perjuangan menempuh jalan akhir melalui euthanasia, hingga kini masih terus dilakukan. Sudah 3 bulan Again mengalami stroke setelah menjalani operasi seksio di Rumah Sakit Islam Bogor. Sebelumnya, pasien mengalami henti nafas dan henti jantung selama 1 bulan. Mereka kini menunggu keputusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang menangani masalah ini.

Upload: mutia12345

Post on 09-Feb-2016

189 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Y

TRANSCRIPT

Page 1: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

SKENARIO 2

EUTHANASIA PILIHAN TERAKHIR AGAIN

Indosiar.com, Jakarta –Bagi Agian Isna Nauli Siregar, Euthanasia adalah pilihan terakhir untuk melepaskan diri dari penderitaannya akibat penyakit yang secara medis sulit di sembuhkan. Sang suami Panca Satria Hasan Kusuma dengan gigih terus berjuang untuk mencari kepastian hokum, agar keinginannya untuk mengakhiri hidup istrinya terkabul. Kendati system hukum di Indonesia belum mengakuinya.

Telah lebih dari 3 bulan, Agian Isna Nauli Siregar hanya tergolek tanpa daya di rumah sakit. Sejumlah uang telah dikeluarkan Panca Satria Hasan Kusuma demi kesembuhan istrinya. Namun hingga kini tidak ada perubahan yang berarti terlihat dari dalam diri Again.

Kenyataan pahit ini membuat Hasan pasrah dan rela melepaskan istrinya dengan cara Euthanasia atau disuntik mati. Keputusan akhir diperjuangkan Hasan karena telah habisnya dana yang dimiliki dan tidak tahan melihat penderitaan istrinya yang sulit untuk disembuhkan.

Kesedihan Hasan semakin bertambah, karena sejak istrinya sakit ia sangat jarang bertemu dengan anak-anaknya. Perjuangan menempuh jalan akhir melalui euthanasia, hingga kini masih terus dilakukan.

Sudah 3 bulan Again mengalami stroke setelah menjalani operasi seksio di Rumah Sakit Islam Bogor. Sebelumnya, pasien mengalami henti nafas dan henti jantung selama 1 bulan. Mereka kini menunggu keputusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang menangani masalah ini.

Page 2: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

SASARAN BELAJAR

LI 1 Mampu Memahami dan menjelaskan tentang Euthanasia

LO 1.1 Memahami dan menjelaskan definisi Euthanasia

LO 1.2 Memahami dan menjelaskan jenis-jenis Euthanasia

LO 1.3 Memahami dan menjelaskan latar belakang Euthanasia

LO 1.4 Memahami dan menjelaskan syarat-syarat pengajuan Euthanasia

LO 1.5 Memahami dan menjelaskan Undang-undang Euthanasia

LO 1.6 Memahami dan menjelaskan KODEKI/Etika Kedokteran tentang Euthanasia

LO 1.7 Memahami dan menjelaskan sanksi-sanksi Euthanasia

LO 1.8 Memahami dan menjelaskan Euthanasia menurut Islam

LI 2 Mampu memahami dan menjelaskan kaidah dasar Bioetik

LO 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi kaidah dasar Bioetik

LO 2.2 Memahami dan menjelaskan tentang Benifience

LO 2.3 Memahami dan menjelaskan tentang Autonomy

LO 2.4 Memahami dan menjelaskan tentang Justice

LO 2.5 Memahami dan menjelaskan tentang Non maleficience

LI 3 Mampu memahami dan menjelaskan tentang KODEKI

LO 3.1 Memahami dan menjelaskan definisi KODEKI

LO 3.2 Memahami dan menjelaskan fungsi KODEKI

LO 3.3 Memahami dan menjelaskan hubungan antara KODEKI dengan Etika Kedokteran

Page 3: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

LI.1 Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Euthanasia

L.O.1.1 Definisi Euthanasia

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanatos. Eu = baik, tanpa penderitaan ; sedang thanatos = mati. Dengan demikian, euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa derita.

Belanda merupakan salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatanmendefinisikan Euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Doter Belanda) :“Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan unutk kepentingan pasien sendiri.”

(M. Jusuf Hanafiah &Amri Amir. 2008)

Euthanasia dalam Kamus Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama pada kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam Kamus Kedokteran Dorland euthanasi mengandung dua pengertian, yaitu:

1.    Suatu kematian yang mudah dan tanpa rasa sakit.2. Pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang

menderita dan tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan, secara hati-hati dan disengaja.

LO.1.2 Jenis-jenis Euthanasia

Euthanasia bisa ditinjau dari beberapa sudut. Dilihat dari cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan atas :

1. Euthanasia pasifEuthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air dan ventilator.

2. Euthanasia aktifEuthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati.

Page 4: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :

1. Euthanasia aktif langsung (direct)Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.

2. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)Euthanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas :

1. Euthanasia voluntir atau euthanasia suka rela (atas permintaan pasien)Euthanasia voluntir atau euthanasia suka rela adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.

2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta. Kedua jenis euthanasia diatas dapat digabung, misalnya euthanasia pasif voluntir,

euthanasia aktif involuntir dan euthanasia aktif langsung voluntir.

Ada yang melihat pelaksanaan euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas empat kategori, yaitu :

1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien. 2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien.3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien.4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien.

(M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir. 2008)

Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi tiga macam :

1. Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.

2. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya bertahan hidup atau mengurangi pertolongan.

Page 5: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

3. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

(Muhsin Hariyanto, 2011)

Auto eutanasia: penolakan secara tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atauperawatan medik terhadap dirinya dan ia tahu pasti hal itu dapat memperpendekumurnya atau mengakhiri hidupnya(dinamika etika dan hUkum kedokteran dalam tantangan zaman, chrisdiono M achadiat, 2004, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta)

LO.1.3 Latar Belakang di Lakukannya Euthanasia

Euthanasia sangat berhubungan dengan konsep kematian:

Tahapan waktu dalam proses kematian:

1. Kematian klinis adalah berhentinya fungsi kardiovaskuler (jantung) dan nafas (paru-paru)2. Kematian otak adalah mati batang otak 3. Kematian biologis adalah kematian permanen 4. Kematian seluler adalah kematian pada jaringan jaringan tubuh

Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa jika seseorang pasien masih dalam keadaan mati badan, kemungkinan hidup seseorang tersebut masih ada. Bila dalam kondisi tersebut, dokter menghentikan kehidupannya maka dapat dinyatakan sebagai dilakukan pembunuhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya Euthanasia anatara lain:

1. Pasien tidak mungkin lagi hidup sehat karena tidak ada obatnya 2. Keadaan pasien yang sudah tidak memungkinkan 3. Permintaan pihak keluarga4. Ekonomi

Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing bertahan dengan alasan yang diyakini Alasan pro euthanasia adalah sebagai berikut :

1.    Rasa kasihan (mercy killing)2.    Faktor ekonomi3.    Faktor sosial4.    Pasien siap mati wajar5.    Mati batang otak6.    Pasien menolak semua tindakan medis7.    Tindakan medis tidak menolong lagi8.    Setujuh asal dilakukan dinegara yang melegalkan Euthanasia.

Page 6: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang seperti sudut pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati dengan tenang di tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak semua tindakan medis dan pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak melanggar sesuai dengan SK.PB. IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan mati bila sudah terdapat kerusakan permanen pada batang otak.

Dokter diperkenankan menghentikan perawatan, tetapi tidak berarti dokter bebas dari kewajiban untuk menolong pasien dan memberi perawatan untuk mengurangi rasa sakit pada saat akhir dari penyakitnya. Sedangkan dari segi hukum hanya memungkinkan bila dilakukan di negara yang melegalkan euthanasia seperti di Belanda, Belgia dan Oregon. Sedangkan faktor lain timbul dari keluarga seperti faktor ekonomi dan rasa iba.(Tedjho . 2012. . Pandangan Masyarakat Terhadap Euthanasia. Available from : http://tedjho.wordpress.com/tag/jenis-euthanasia/ ) [Accessed: Oktober, 2012]

LO.1.4 Syarat-syarat Euthanasia

( Cari di PTM/inform concent )

Syarat-syarat melakukan eutahanasia adalah:

1. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan, 2. Atas permintaan pasien dan keluarganya, 3. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

Rohim Abdal . 2006. EUTHANASIA PERSEPETIF MEDIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA. Available from : http://www.stikku.ac.id/wp-content/uploads/2011/02/EUTHANASIA-PERSEPETIF-MEDIS-DAN-HUKUM-PIDANA-INDONESIA.pdf ) [accessed: Oktober, 2012]

Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa.Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapatdisembuhkan lagi.

Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalumahal.

Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakanmedis tersebut. (euthanasia persfektif medis dan hukum pidana indonesia, abdalrohim (onlinehttp://www.stikku.ac.id/wp-content/uploads/2011/02/EUTHANASIA-PERSEPETIF-MEDIS-DAN-HUKUM-PIDANA-INDONESIA.pdf ) [Accessed: Oktober, 2012]

Page 7: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

LO .1.5 Undang-undang Euthanasia

Ketentuan hukum yang mengungatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus Euthanasia :

Pasal 344 KUHP :Barang siapa menghilangkan jiwa seseorang atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun.

Pasal 345 KUHP :Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 338 KUHP:Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena

makar mati, dengan penjara selama-lamanya 15 tahun.Pasal 340 KUHP :

Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa oreang lain,dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukum mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun.

Pasal 359 KUHP :Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kutang selama-lamanya satu tahun.(Hanafiah Jusuf dan Amir amri. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC: Jakarta.108)

LO 1.6 Memahami dan menjelaskan KODEKI/Etika Kedokteran tentang Euthanasia

Di Indonesia sebagai umat yang beragama dan berfalsafah/berazazkan panacasila percaya pada kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada makhluknya mngandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Dalam KODEKI tercantum larangan untuk dokter yaitu:

Pasal 5

Tiap perbuatan/nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan baik psikis maupun fiaik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikkan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 7a

Seorang dokter harus dalam setiap prktik medisnya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia

Pasal 7d

Page 8: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani

(M. Jusuf H dan Amri Amir. 2008)

Kode etik kedokteran Indonesia mengatur Euthanasia dalam :Pasal 1 : Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah dokter, antara lain: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.”

(Santoso.H dan Ismail.A. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia. BPK Gunung Mulia: Jakarta)

LO 1.7 Memahami dan menjelaskan sanksi-sanksi Euthanasia

Kitab undang-undang hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.

1. Hukum Penjara selama-lamanya 12 tahun jika menghilangkan nyawa oranglain atas permintaan sendiri (Pasal 344 KUHP)

2. Hukum Penjara selama-lamana 15 tahun, jika dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain. ( Pasal 338 KUHP)

3. Hukum mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau 20 tahun, jika sengaja merencanakan menghilankan jiwa orang lain ( Pasal 340 KUHP)

4. Hukum penjara selama-lamanya 5 tahun atau kurang selama-lamanya 1 tahun, jika salah menyebabkan kematian orang lain (Pasal 359 KUHP)

(Hanafiah Jusuf dan Amir amri. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC: Jakarta.108)

LO 1.8 Memahami dan menjelaskan Euthanasia menurut Islam

Definisi menurut Abdul Fadi (2001) :

Mati adalah terpisahnya ruh dan jasad dan hidup adalah bertemunya ruh dengan jasad.

Manusia mengalami saat terpisahnya rug dari jasad sebanyak 2 kali dan mengalami pertemuan dengan jasad sebanyak dua kali juga.

Terpisahnya ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada di alam ruh, ini adalah saat mati pertama. Seluruh ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka di dalam ruh dan berfirman seperti dalam surat Al-Araf 172 :

Page 9: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak anak Adam dari Sulbi Mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa Mereka (Seraya Berfirman): “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami), Kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat Kamu tidak melakukan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).” (Q.S al-Araf:172)

Selanjutnya Allah menciptakan tubuh manusia berupa janin di dalam rahim seorang ibu, ketika usia janin 120 hari. Allah meniupkan ruh lalu lahirlah, itulah saat kehidupan manusia pertma kali. Kematian yang kedua kali adalah ketika kita meninggal dunia maka berpisahlah kembali dengan tubuh. Kemudian kehidupan kedua kalinya adalah ketika hari kebangkitan kelak, Allah akan menciptakan jasad yang baru, kemudian Allah meniupkan ruh yang ada di alam barzakh, sabagaimana disebut dalam surat yasin 51-52:

“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segeera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: “Aduh, celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) yang maha pemurah dan benarlah Rasul-rasulnya.” (Q.S Yasin:51-52)

Itulah saat kehidupan yang kedua kali, kehidupan yang abadi yang tidak aka nada lagi kematian sesudah itu.

Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

A. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Page 10: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan

Page 11: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

B. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan

Page 12: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Wallahu a’lam.

(Farid Ma’ruf. 2007)

Menurut ulama terhadap euthanasia aktif dan pasif adalah

Page 13: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Euthanasia aktif para Ulama sepakat mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qutlu al-amad) walaupun niatnya baik yaitu meringkan penderitaan pasien hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasien sendiri. Dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan (Zuhroni.2010)

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharmakan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S Al-An-aam:151)

Ulama berpendapat dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif pasien tidka dapat manfaat (nikmat) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepadanya yaitu pengampunan dosa. Rasulullah bersabda “Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu” (HR.Bukhari dan Muslim)

Euthanasia pasif para Ulama sepakat jika tindakan tersebut dimaknai sebagai pengobatan, dan memilih beralih menggunakan metode alternative, bukan hokum euthanasia yang konotasinya melakukan tindakan mempercepat kematian, maka hukumnya sangat tergantung dari efektivitas usha pengobatan itu sendiri. Kepastian humnya tergantung pasa ‘illat-nya (mubah), lima hokum taklifi dapat berlaku di sini, sejalan dengan situasi dan kondisi, serta niatnya, baik dari sisi pasien maupun keluarganya. Jika diniati agar cepat mati maka termasuk yang diharamkan, sama dengan pembunuhan dengan sengaja, namun jika maksudnya hanya menghentikan pengobatan secara medis dan berlih kepada doa, sabar, atau tawakal maka tidak termasuk yang diharamkan, meskipun berdampak matinya pasien. Dengan semikian hokum euthanasia pasif tergantung pada situasi dan kondisi dari pasien, di samping masalah kemampuan financial untuk pembeayaan pengobatan (mubah).

Bahwa urusan hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan, seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran:

Page 14: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Q.S Al-Mulk: 2)

Islam memandang eutanasia sebagai kejahatan sebab tindakan itu jalas-jalas merupakan upaya sengaja untuk mempercepat kematian seseorang. Jadi, menurut hukum islam barangsiapa membantu seseorang mengakhiri hidupnya maka ia di anggap melakukan pembunuhan(organ transplantation,euthanasia, cloning and animal experimentatio, abul fadl mohsin ebrohim, theislamic fondation, leicester, 2001)

LI.2 Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Kaidah Dasar Bioetik

LO.2.1 Definisi

Bioetika berasal dari kata bios = kehidupan dan ethos = norma-norma atau nilai –nilai moral. Bioetika merupakan studi interdispliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan kedokteran baik skala mikro maupun makro. Bioetikaa mencakup isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika membicarakan bidang medis dan membahas masalah kesehatan.

(M. Jusuf H dan Amri Amir. 2008)

LO.2.2 Autonomy

Pasien adalah individu yang bebas maka setiap perlakuan yang akan diberikan kepada pasien, harus atas persetujuan pasien. Tidak ada pihak luar yang dapat mempengaruhi keputusan pasien.

Page 15: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

Contoh: Misalnya seorang pasien dapat menolak atau menerima pengobatan medis yang akan dilakukan oleh seorang dokter walalupun kondisisnya sudah kritis.

LO.2.3 Beneficience

Tindakan yang diberikan kepada pasien merupakan tindakan yang bermanfaat bagi kondisi pasien. Tindakan ini harus merupakan tindakan yang positif dan mengurangi bahaya pada pasien.

Contoh: Misalnya seorang dokter yang selalu aktif memperkembangkan ilmu pengetahuannya dan selalu update terhadap ilmu pengetahuan yang baru yang bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasiennya.

Jadi diberikan untuk: a. Pemerintah dirib. Hak kebebasanc. Pilihan individuBeneficence terdiri dari 2 prinsip:

a. Prinsip positive beneficence1. Tidak untuk menimbulkan kejahatan atau bahaya2. Mencegah sesuatu yang membahayakan3. Memberikan yang baik

b. Prinsip balancing of utility/proportionality1. Menyeimbangkan manfaat dan bahaya

c. Prinsip of utility=balancing of cost-risk-benefit1. Cost benefit analysis

Diperhitungkan dalam hitungan uang2. Cost effectiveness analysis

Diperhitungkan bukan dalam uang3. Risk assessment

Probabilitas (peluang) dan besarnya resiko

LO.2.4 Justice

Dapat disebut juga dengan keadilan. Perawatan kesehatan harus dilakukan secara adil tanpa memandang umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, dan lain-lain. Untuk orang yang kurang mampu dapat memperoleh jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

Contoh: Misalnya seorang dokter yang tidak membeda bedakan pasiennya maupun dari tingakat ekonominya ataupun usianya, dokter tersebut tetap melakukan hal yang paling terbaik untuk pasien pasiennya.Terdapat 2 istilah:

a. Justice,fairness

Seseorang menerima yang selayaknya dia terima

Page 16: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

b. Distributive justice

Distribusi sumber daya dalam masyarakat

LO.1.5 Non Maleficience

Tidak berniat jahat/buruk/merugikan pasien. Anggota medis dilarang melakukan pelaksanaan yang berlebihan atau kekurangan kepada pasien. Semua kegiatan harus diperhitungkan sehingga tidak merugikan pasien. Bila tidak memenuhi standar maka anggota medis sudah bertindak negligence.

Contoh: Misalnya seorang dokter yang melakukan pertolongan pertama di IGD, dokter tersebut tidak menelpon keluarga pasien tersebut dahulu, tetapi karena ia tidak memperburuk keadaan pasiennya maka Ia langsung melakukan pertolongan pertama terlebih dahulu.Jadi:

a. Tidak untuk menyakitkanb. Semua yang diberikan tidak membahayakanc. Tidak untuk menimbulkan kejahatan/bahayad. Mencegah sesuatu yang membahayakane. Memberikan yang baik

Di prinsip non maleficence ada prinsip double effect yaitu tindakan yang merugikan tidak selalu dianggap tindakan yang buruk.

a. Bila tindakan tersebut secara intrinsik tidak salahb. Bila niatnya memperoleh akibat baik c. Bila akibat buruk bukan cara untuk mencapai akibat baikd. Bila pertimbangan yang layak antara akibat baik dengan akibat buruk.

LI 3 Mampu memahami dan menjelaskan tentang KODEKI

LO.3.1 Definisi KODEKI

Di indonesia, kode etik kedokteran merupakan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strkturil.

LO.3.2 Fungsi KODEKI

untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran

(Amri Amir, 2007)

1. Sebagai kode etik “umum”Sebagai kode etik “umum” Memuat Kaidah Dasar Bio-Etika.2. Sebagai kode etik “Spesialis” Karena spesialistik keilmuannya membawa kadar etika

tanggung-jawab lebih besar3. Memuat etiket sopan santun (antar sejawat).

Page 17: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

4. Merupakan acuan untuk disiplin kedokteran (setelah verifikasi keterangan saksi ahli) Pedoman memberikan sanksi kepada anggota profesi.

Page 18: SKENARIO 2 EUTHANASIA B-5-1.docx

DAFTAR PUSTAKA

Fadi, Abdul.2001.Fikih Kesehatan.Serambi

Hanafiah, M. Jusuf dan Amir, Amri.2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Edisi 4

Hariyanto, Muhsin. 2011. Dilema Euthanasia. http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/dilema-euthanasia/ 9 oktober 2011 jam 20.36pm

Ma’ruf, Farid. 2007. Euthanasia Menurut Hukum Islam. http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/ 10 Oktober2012 4.32pm

Zuhroni.2010.Pandangan Islam Terhadap Ilmu Kesehatan. Yarsi