sinta.unud.ac.id iv v vi.pdfsinta.unud.ac.id

251
BAB IV MASYARAKAT DAN BAHASA USING DI KABUPATEN BANYUWANGI 4.1 Sejarah Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Pada masa lampau daerah ini menjadi pusat kegiatan politik kerajaan Blambangan dan menduduki posisi penting dalam perkembangan sejarah Indonesia. Kerajaan Blambangan yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kabupaten Banyuwangi sekarang ini sering menjadi wilayah rebutan kerajaan-kerajaan di wilayah Jawa dan Bali (Lekkerker, 1923:332). Riwayat kerajaan Blambangan tidak dapat dilepaskan dari kerajaan Majapahit khususnya dengan penobatan Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (Slametmulyana dalam Suparman, 1987:11). Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Blambangan menjadi salah satu daerah kekuasaannya. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Blambangan menjadi rebutan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam. Sejak Sultan Agung menyerbu Blambangan pada tahun 1639, kerajaan ini menjadi kekuasaan Mataram Islam (Suprapto, 1984: 9). Tampaknya, Mataram tidak dengan mudah menguasai Blambangan karena beberapa kali dihambat oleh kekuasaan beberapa raja Bali seperti penguasa Gelgel, Klungkung, Mengwi, dan Buleleng walaupun Mataram kembali bercokol di daerah Blambangan pada tahun 1697 (Suprapto, 1984: 9). 78

Upload: letruc

Post on 10-Aug-2019

253 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

78

BAB IV

MASYARAKAT DAN BAHASA USING

DI KABUPATEN BANYUWANGI

4.1 Sejarah Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi mempunyai akar sejarah yang

cukup panjang. Pada masa lampau daerah ini menjadi pusat kegiatan politik kerajaan

Blambangan dan menduduki posisi penting dalam perkembangan sejarah Indonesia.

Kerajaan Blambangan yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kabupaten

Banyuwangi sekarang ini sering menjadi wilayah rebutan kerajaan-kerajaan di

wilayah Jawa dan Bali (Lekkerker, 1923:332). Riwayat kerajaan Blambangan tidak

dapat dilepaskan dari kerajaan Majapahit khususnya dengan penobatan Raden Wijaya

yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (Slametmulyana dalam Suparman, 1987:11).

Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Blambangan menjadi salah satu

daerah kekuasaannya. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Blambangan

menjadi rebutan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam.

Sejak Sultan Agung menyerbu Blambangan pada tahun 1639, kerajaan ini menjadi

kekuasaan Mataram Islam (Suprapto, 1984: 9). Tampaknya, Mataram tidak dengan

mudah menguasai Blambangan karena beberapa kali dihambat oleh kekuasaan

beberapa raja Bali seperti penguasa Gelgel, Klungkung, Mengwi, dan Buleleng

walaupun Mataram kembali bercokol di daerah Blambangan pada tahun 1697

(Suprapto, 1984: 9).

78

Page 2: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

79

Kerajaan Blambangan tidak pernah tenang. Di samping karena dikuasai oleh

Mataram Islam dan beberapa kerajaan Bali, secara silih berganti, perebutan

kekuasaan antaranggota keluarga kerajaan sering terjadi. Hal ini tidak

menguntungkan Mataram, sehingga pada tahun 1743, Paku Buwana dari Mataram

mengadakan perjanjian dengan VOC atas kekuasaannya di wilayah Blambangan.

Pada tahun 1765 Blambangan diserbu oleh VOC. Rakyat Blambangan yang memiliki

sifat gemar berperang (warlike) bertempur mati-matian untuk mempertahankan

wilayahnya di bawah pimpinan Pangeran Agung Willis. Untuk menakhlukkan

Blambangan, VOC melibatkan pasukan dari beberapa bupati di wilayah Jawa Timur,

seperti Bupati Madura Barat, Sumenep, Surabaya, Pasuruan, Bangil, dan

Probolinggo. Perlawanan sengit melawan VOC yang dipimpin oleh Pangeran

Rempeg, yang bergelar Pangeran Jagadipati yang dipercaya sebagai titisan dari

Pangeran Agung Willis, berlangsung dari tahun 1771-1772 dan puncaknya terjadi

pada tanggal 18 Desember 1771 yang dikenal dengan nama Puputan Bayu

(Suprapto,1984:25)

Lekkerker (1923) mengungkapkan bahwa Puputan Bayu adalah peperangan

terbesar yang pernah dialami oleh VOC selama menjajah Indonesia karena banyak

korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak. Bagi rakyat Blambangan, peperangan

ini merupakan perjuangan heroik dalam rangka mempertahankan tanah leluhurnya.

Akibat perang ini Blambangan mengalami kehancuran dan penduduknya banyak

yang hilang karena gugur dalam pertempuran dan mengungsi ke Bali atau ke

Page 3: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

80

wilayah pegunungan di sebelah selatan dan barat daya. Hal ini menyebabkan daerah

Blambangan sebagian besar dihuni oleh penduduk lapisan bawah. Walaupun sudah

dalam keadaan hancur, rakyat Blambangan yang tersisa menolak bekerja untuk

Belanda di perkebunan-perkebunan milik mereka. Sikap rakyat Blambangan ini

menyebabkan pemilik perkebunan mendatangkan pekerja dari daerah Jawa Tengah

(Kebumen dan Banyumas) dan Jawa Barat (Cirebon). Dapat dipastikan pada saat

inilah rakyat Blambangan bersentuhan dengan Wong Kulonan sekitar akhir abad ke18

atau awal abad ke 19. Sementara itu, persentuhan mereka dengan Bali terjadi pada

saat penguasa Blambangan meminta bantuan raja Bali untuk mempertahankan diri

dari serangan kerajaan Pasuruan (Notodiningrat dalam Herusantosa, 1987:81-84).

Persentuhan dengan Bali berdampak pada beberapa corak budaya dan kesenian

Using yang dapat diamati hingga kini.

4.2 Topografi dan Demografi

Kabupaten Banyuwangi, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, secara

administratif di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah barat

berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso, di sebelah Timur

berbatasan dengan Selat Bali, dan di sebelah Selatan terdapat Samudra Indonesia.

Jikalau dilihat dari letak geografisnya, pada zaman dulu Kabupaten

Banyuwangi merupakan daerah yang terisolasi karena di sebelah barat dan utara

dibatasi oleh pegunungan, sedangkan di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan

Page 4: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

81

laut. Hasan Ali (1991: 2) mengatakan bahwa pada zaman dulu, wilayah Banyuwangi

merupakan daerah tertutup dan kemudian terbuka dari isolasi setelah dibukanya jalan

Anyer-Penarukan dari arah utara dan jalan tembus dari Jember dari arah barat pada

pertengahan abad ke 20.

Berdasarkan garis batas koordinat, Kabupaten Banyuwangi terletak di antara

70 43‘ – 8

o 46‘ Lintang Selatan dan 113

o 53‘ – 114

o 38‘ Bujur Timur. Secara umum,

daerah di bagian selatan, barat, dan utara merupakan daerah pegunungan dengan

tingkat kemiringan 400. Sementara itu, dataran rendah yang terbentang dari bagian

utara hingga ke selatan, dengan 35 daerah aliran sungai (DAS), kemiringan tanah

kurang dari 15o, dan curah hijan yang cukup tinggi menyebabkan Kabupaten

Banyuwangi merupakan salah satu daerah pertanian dan perkebunan tersubur di

Provinsi Jawa Timur sehingga daerah ini merupakan daerah penghasil berbagai hasil

pertanian dan perkebunan yang sangat terkenal. Di samping itu, karena kesuburan

tanahnya daerah ini merupakan tempat potensial untuk hidup dan berkembangnya

berbagai jenis flora dan fauna yang mencerminkan bahwa wilayah ini memiliki

keberagaman hayati (biodiversity) yang tinggi yang diikuti oleh keberagaman

leksikon yang mengacunya.

Di samping sebagai nama kabupaten, Banyuwangi merupakan salah satu di

antara 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan luas dan kepadatan

penduduk yang berbeda-beda. Berikut adalah nama-nama kecamatan beserta jumlah

penduduknya.

Page 5: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

82

Tabel 4.1

Situasi Demografi Kabupaten Banyuwangi

No Kecamatan Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk (jiwa)

1 Pesanggaran 802,50 45.811

2 Siliragung 95,15 50.455

3 Bangorejo 137,43 61.732

4 Purwoharjo 200,30 67.783

5 Tegaldlimo 1.341,43 63.397

6 Muncar 146,07 130.319

7 Cluring 97,44 72.362

8 Gambiran 66,77 46.832

9 Tegalsari 65,23 60.151

10 Glenmore 421,98 71.582

11 Kalibaru 406,76 61.695

12 Genteng 82,04 85.167

13 Srono 100,77 89.811

14 Rogojampi 102,33 94.734

15 Kabat 107,20 67.604

16 Singojuruh 59,89 48.938

17 Sempu 174,83 74.120

18 Songgon 301,84 53.145

19 Glagah 76,75 28.677

20 Licin 169,25 33.974

21 Banyuwangi 30,13 108.591

22 Giri 21,31 28.250

23 Kalipuro 310,03 68.722

24 Wongsorejo 464,80 73.281

Jumlah 5.782,50 1.610.909

Sumber: Banyuwangi dalam Angka (2010:55-72)

Berdasarkan hasil Registrasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sampai

dengan akhir 2009 penduduk Kabupaten Banyuwangi berjumlah 1.610.909 dengan

Page 6: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

83

laju pertumbuhan penduduk 0,24%/tahun. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan

oleh Basri, secara kasar pada awal tahun 2009, penduduk yang merupakan GTBU

adalah sebesar kurang lebih 53% dari seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi

yang berjumlah 1.608.135 jiwa (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:50).

Secara administratif, saat ini GTBU berdomisili di sepuluh kecamatan, yakni

Kecamatan Cluring, Srono, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Kabat, Giri, Glagah,

Sempu, dan Banyuwangi. Di luar kecamatan-kecamatan tersebut, etnis Using

merupakan komunitas kecil, seperti di Kecamatan Muncar, Bangorejo, Kalipuro,

Tegaldlimo, dan Pesanggaran (Sutarto, 2010:264).

4.3 Masyarakat Using

Masyarakat etnis apa pun di dunia ini memiliki ciri-ciri khusus sebagai

penanda jati diri mereka. Ciri-ciri khusus ini dapat berupa bahasa, sistem sosial,

budaya, adat istiadat, kesenian, mata pencaharian, dan sebagainya. GTBU adalah

komunitas yang merupakan penduduk asli yang mendiami sebagian wilayah

Kabupaten Banyuwangi. Mereka merupakan kelompok etnis yang diposisikan

sebagai penduduk asli Banyuwangi. Istilah Using berasal dari kata sing ‗tidak‘ yang

sering juga diucapkan using, osing, atau hing. Secara historis, lare using atau wong

Banyuwangen adalah orang-orang yang tidak (sing) ikut mengungsi ketika terjadi

perang Puputan Bayu (19771-1772) di Blambangan (Banyuwangi). Mereka tetap

memilih tinggal di ujung paling timur Pulau Jawa. Di samping itu, istilah using

Page 7: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

84

mengandung resistensi budaya yang bermakna bahwa orang Using/Osing/

Banyuwangi tidak mau menjadi Bali (tidak mau menjadi dominasi kerajaan Bali) dan

tidak mau menjadi Jawa (tidak mau menerima dominasi kerajaan Mataram-Islam)

(Sutarto, 2010:263).

Struktur masyarakat Using bersifat horizontal egaliter, dalam arti struktur

sosial tidak dipahami secara hierarkis seperti masyarakat Jawa pada umumnya.

Prinsip hormat bersifat penghargaan dalam kesetaraan, bukan vertikal hierarkis.

Perwujudan egaliterisme juga tampak pada tradisi slametan menjelang hajatan,

seperti perkawinan atau sunatan. Dalam penyelenggaraan hajatan perkawinan, GTBU

khususnya yang berdomisili di Desa Kemiren, semua orang diperlakukan dan

dihormati dengan cara yang sama, tidak memandang status sosial, ekonomi, atau

jabatan seseorang dan mereka saling bantu satu sama lain. Pengertian saling

membantu dalam konteks ini tidak saja dalam bentuk materi (disebut arisan), tetapi

juga dalam bentuk tenaga (disebut resayan) (Subaharianto, 2002). Prinsip kesetaraan

dalam interaksi sosial itu juga tercermin pada struktur dialek (bahasa) Using yang

tidak mengenal pelapisan bahasa atau tingkat tuturan (speech level)(Zainuddin,

1996:6-7).

Masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya

sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani yang berdomisili tersebar hampir

di beberapa kecamatan. Hal ini merepresentasikan bahwa kehidupan mereka sangat

dekat dengan alam sehingga kehidupan sosial budaya mereka terkait dengan alam.

Page 8: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

85

Mereka bercocok tanam padi (baik pada lahan basah atau padi basah maupun pada

lahan kering atau padi ladang), jagung, palawija (kedelai, kacang tanah, kacang

hijau) dan juga pola tumpang sari. Di samping hasil pertanian, Kabupaten

Banyuwangi juga sebagai penghasil beberapa jenis buah-buahan, di antaranya yang

cukup terkenal adalah pisang, mangga, jeruk, rambutan, dan nangka. Sementara itu,

jenis sayur yang dihasilkan dari ladang-ladang yang subur di wilayah ini adalah

kacang panjang, cabe besar, cabe kecil, dan labu siam. Di samping untuk dikonsumsi

sendiri, hasil-hasil pertanian ini juga dikirim ke daerah sekitar seperti Kabupaten

Jember, Situbondo dan Bali (Banyuwangi dalam Angka, 2010: 143-158).

Bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani, tanah merupakan

penyangga kehidupan dan penghidupan GTBU secara sosial, ekonomi, dan budaya.

GTBU sangat jarang menjual tanah (baik lahan sawah maupun lahan kebun). Jikalau

pun hal itu dilakukannya, mereka menjualnya kepada kerabat dekat karena mereka

berkeyakinan bahwa dari kerabatlah pertolongan akan datang, apabila suatu saat nanti

mereka mengalami kesulitan dalam hidup. Di samping itu, menjual sawah atau kebun

merupakan perbuatan yang memalukan bagi GTBU. Fenomena ini berdampak pada

kecilnya alih fungsi lahan sehingga lahan pertanian masih terjaga (Hasil wawancara

dengan Drs.Aekanu Haryono, M.Pd., budayawan dan pemerhati Budaya Using, pada

tanggal 12 Agustus 2011). Terkait dengan kepemilikan lahan pertanian atau

perkebunan dikenal istilah, seperti sanggan, yaitu lahan sawah atau kebun yang

dimiliki dan diolah sendiri oleh pemilik lahan dan yasan apa bila tanah yang

Page 9: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

86

dikerjakan milik orang lain. Sementara itu, terkait dengan sistem pembagian hasil

dalam tanah yasan antara pemilik tanah dan penggarap dikenal sistem maro (pemilik

memperoleh separo ‗setengah‘ demikian juga si penggarap) dan sistem mertelu yaitu

hasil sawah atau kebun dibagi tiga, penggarap mendapat dua bagian, sedangkan

pemilik mendapat sepertiga (Rahayu dan Haryanto, 2008:6-8).

Sebagai masyarakat agraris, segala kegiatan dalam kehidupan GTBU

ditopang oleh hasil pertanian. Dalam aktivitas mengolah lahan pertanian seperti

membajak dan meratakan lahan masih banyak di antara mereka yang melakukan

secara tradisional yaitu dengan bantuan tenaga hewan peliharaan seperti sapi dan

kerbau, walaupun belakangan ini tractor tangan telah di kenal oleh para petani yang

tinggal di lahan pertanian yang datar. Dalam hal bercocok tanam, pola penanaman,

dan pemeliharaan juga dilakukan secara tradisional. Karakter GTBU ini membuat

hidup mereka terkait erat dengan lingkungan alam. Ketergantungan terhadap alam

atau hukum-hukum alam seperti mangsa rendeng (musim hujan) dan mangsa ketiga

(musim kemarau) menentukan pola hidup mereka sehari-hari.

Guyub tutur bahasa Using yang berlatar belakang budaya agraris (khususnya

golongan dewasa dan tua) sangat percaya terhadap kekuatan alam atau gaib yang

dapat memengaruhi kehidupan dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka

sangat mendambakan kesuburan lahan pertanian, kelestarian lingkungan, dan

kedamaian hidup. Untuk mencapai harapan tersebut, GTBU melakukan berbagai

aktivitas dalam bentuk ritual-ritual yang dilakukan dalam waktu-waktu tertentu.

Page 10: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

87

Terkait dengan fenomena ini, GTBU masih memegang teguh warisan leluhurnya

mengenai ritual-ritual yang terkait dengan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan

Yang Maha Esa dan pelestarian lingkungan, khususnya tentang pertanian karena

fenomena serupa tidak lagi ditemukan pada masyarakat agraris muslim lainnya.

Banyak ritual sebagai rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta dalam wujud

Dewi Sri dan kepada roh para leluhur yang masih dilakukan oleh GTBU hingga saat

ini. Ritual-ritual ini masih secara turun temurun dilakukan oleh GTBU, khususnya

yang berdomisili di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang menurut beberapa

peneliti dianggap homogen etnis Using. Ritual-ritual yang dimaksud di antaranya

adalah sebagai berikut.

1) Rebo Wekasan

Uapacara yang dilaksanakan terkait dengan menjaga kelestarian sumber air

(mata air, sungai, sumur, sumber mata air alam, bahkan air PDAM). Ritual ini

berfungsi untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menjaga sumber

air, yakni Nabi Kadhir. Ritual Rebo wekasan dilaksanakan pada setiap Rabu

terakhir bulan Sapar dimana pada hari tersebut masyarakat Using di Desa

Kemiren tidak diperbolehkan mengambil air di semua sumber air mulai

sebelum matahari terbit hingga matahari tepat di atas kepala (duhur). GTBU

percaya bahwa pada hari tersebut Nabi Kadhir mulai pulul 6 pagi hingga kira-

kira pukul 12 siang berada di semua mata air untuk membersihkan diri dan

GTBU harus menghormati aktivitas tersebut. Di samping tidak mengambil

Page 11: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

88

air, pada hari itu GTBU membawa persembahan berupa sesaji yang terdiri

atas: (a) Sega golong: nasi putih yang dilengkapai dengan lauk pauk (daging,

ikan, telur, sambal); (2) Jajan pasar yang terdiri atas rengginang, nagasari,

kripik, dan sebagainya; (3) Pecel ramban/serakat berupa rebusan berbagai

jenis sayur; (4) Jenang abang dan putih (bubur merah dan bubur putih) ; dan

(5) kemenyan (bakaran kulit atau kayu berbau harum yang diletakkan di atas

dulang kecil). Sebelum dibawa ke sumber air, kepala rumah tangga berdoa di

rumah. Persembahan sajian ini bertujuan agar penunggu sumber air tidak

marah dan membuat bencana.

2) Adeg-adeg/Labuh tandur

Adeg-adeg atau labuh tandur adalah upacara yang dilaksanakan sebelum padi

ditanam oleh petani Using untuk memohon keberkahan kepada roh halus/

kekuatan gaib penjaga/pelindung suatu desa) dan Dewi Sri agar tanaman padi

terhindar dari hama. Ritual ini diselenggarakan secara berkelompok oleh para

petani yang sawahnya berdekatan dengan susunan kegiatan sebagai berikut:

(1) pembakaran kemenyan dan persembahan sega urap (nasi dan sayur urap

beserta lauknya); (2) pembacaan doa/ mantra yang dipimpin oleh salah

seorang petani yang dituakan; (3) menikmati sega urap bersama-sama; dan

(4) penanaman padi oleh salah satu petani sebagai simbol dimulainya kegiatan

menanam.

Page 12: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

89

3) Nyelameti Pari

Ritual nyelameti pari adalah upacara yang dilakukan pada saat padi bunting

(menjelang buah padi menyembul) dengan tujuan agar bulir-bulir padi bernas

dan hasil panen melimpah. Ritual yang diselenggarakan untuk memuja Dewi

Sri ini dilengkapi dengan sajian berupa pecel pithik (ayam panggang yang

diberi bumbu urap), telampik (sayap ayam), dan berutu (bagian ekor ayam).

Dari semua sajian ada sajian yang tidak boleh dimakan oleh pemiliknya,

namun dibagi-bagikan kepada para tetangga sawah yang juga melaksanakan

upacara yang sama dan sebaliknya tetangga sawah juga melakukan hal yang

sama (biasanya dilakukan secara bersamaan dalam satu area persawahan).

4) Nggampung

Nggampung ialah upacara yang dilaksanakan waktu panen yang bertujuan

menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dalam perwujudan Dewi Sri

atas anugrah- Nya berupa hasil panen yang bagus kepada para petani. Adapun

yang dipersembahkan dalam ritual ini meliputi: (1) ayam pethetheng tanpa

nasi, (2) darah ayam yang dimasukkan ke wadah lalu dipanggang, dan (3)

kinangan (terdiri atas daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih) ditambah

bunga telasih yang diikat menjadi satu dengan kinangan dengan

menggunakan benang. Semua sajian ini diletakkan pada uwangan, yaitu pintu

air masuk pada petak sawah pertama, sedangkan kinangan beserta elemennya

diikatkan pada rumpun padi yang tumbuh di tempat tersebut. (Di daerah

Page 13: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

90

tertentu seperti di Desa Kemiren dan sekitarnya, bagi petani yang ―mampu‖

ada yang nanggap angklung paglak/sawahan, yakni seperangkat alat musik

pukul yang terbuat dari bambu yang biasa dimainkan di atas dangau yang

menjulang tinggi di tengah-tengah area persawahan yang juga terbuat dari

bambu).

5) Saparan

Sementara itu, rebo wekasan diselenggarakan oleh GTBU yang bertempat

tinggal di daerah pedalaman, upacara saparan dilaksanakan oleh mereka

yang tinggal di lingkungan pesisir Banyuwangi sebagai ungkapan rasa syukur

atas nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan yang telah memberikan pantai

yang indah dan air yang bersih sehingga mereka dapat menikmati keindahan

laut beserta pantainya untuk mencari nafkah. Upacara ini dilaksanakan di

beberapa pantai di Banyuwangi, seperti Pantai Sukojati dan Pondok Nangka

(Kecamatan Kabat), Pantai Santen (Kecamatan Banyuwangi), dan Pantai

Cacalan (Kecamatan Kalipuro).

6) Ider Bumi

Ritual yang dilakukan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, bertujuan

memohon keselamatan agar bencana tidak menimpa desa tersebut. Ritual ini

dilakukan dengan cara berkeliling desa untuk membuat ―pagar‖ sebagai

penangkal bencana, wabah, atau musibah yang dapat mengganggu kehidupan

masyarakat, lahan pertanian, dan lingkungan alam sekitar mereka. Sesajian

Page 14: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

91

berupa tumpeng pethetheng, jajanan pasar, dan berbagai hasil pertanian

seperti pala kependhem, pala gumandhul, dan pala bungkil. Persembahan

yang berupa jajanan pasar dan berbagai hasil bumi ini melambangkan

kesuburan tanah.

Terkait dengan kehidupan religi, GTBU adalah pemeluk agama Islam.

Walaupun demikian, mereka masih tetap memelihara tradisi para leluhurnya dengan

baik dan tidak pernah mempertentangkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai tradisi

yang ada dan bahkan keduanya saling melengkapi. Memadukan banyak hal yang

berbeda dan menjadikannya sesuatu yang baru merupakan keahlian GTBU yang

besifat terbuka. Hal ini dikemukakan oleh Singodimayan, sesepuh dan budayawan

Using (dalam Kompas, edisi Jumat, 29 Juli 2011 dan edisi Sabtu, 1 Maret 2014),

bahwa dalam GTBU banyak terjadi transformasi yang keterbukaannya merupakan

akar dari semuanya. Beberapa bentuk budaya, kesenian, dan tari merupakan

alkuturasi antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Bali. Budaya dalam bentuk

kesenian tari bahkan juga makanan yang masuk akan diserap lalu dipadukan dengan

budaya setempat lalu muncul format budaya baru. Dalam hal makanan, misalnya, di

lingkungan tempat tinggal GTBU dikenal rawon pecel. Seperti diketahui, rawon

berasal dari Surabaya sedangkan pecel merupakan masakan asal Madiun dan GTBU

menciptakan jenis makanan baru rawon pecel yang merupakan penggabungan dari

kedua makanan ini. Sementara itu, dalam hal kesenian GTBU juga menyerap

beberapa unsur kesenian Bali khususnya tari. Tari panyembarama (tari ucapan

Page 15: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

92

selamat datang) dimodifikasi dan disesuaikan dengan gerakan tari lokal lalu

menghasilkan tari semboran.

Dalam bidang seni dan budaya masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya

dan GTBU khususnya memiliki potensi seni budaya dan adat istiadat yang sangat

kaya. Hampir semua etnis yang berdomisili di wilayah ini sangat perduli dan terus

mengembangkan seni tradisional mereka di samping ada pula yang beralkulturasi

dengan seni tradisi dan budaya lain dan seni modern. Walaupun demikian, tidak

sedikit didapati unsur agama atau kepentingan agama mewarnai produk-produk

kesenian Using yang tidak saja bersifat menghibur, tetapi banyak juga mengandung

nilai-nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan yang

terjadi pada masa lampau. Di samping itu, produk kesenian Using ini memiliki dua

warna, yakni bernuansa agraris dan produk yang bercitra patriotik. Produk-produk

kesenian Using yang bernuansa agraris dimanfaatkan sebagai perekat dalam

kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat

digunakan untuk membangun nasionalisme (Hasil wawancara dengan Hasnan

Singodimayan, budayawan Banyuwangi, pada tanggal 14 Oktober 2009).

Interaksi penduduk asli Banyuwangi dengan kaum pendatang selama

bertahun-tahun membentuk struktur kebudayaan yang hidup dan berkembang di

lingkungan GTBU. Hal ini dapat dilihat pada beberapa jenis kesenian yang

merupakan alkulturasi dengan budaya kaum pendatang, seperti terlihat pada uraian

berikut.

Page 16: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

93

1) Seni pertujukan tradisional yang berhubungan dengan religi animisme-

dinamisme antara lain Seblang, Singa Barong, dan Gandrung.

2) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan Bali antara lain

Bali-balian, dan Damarwulan (Jinggoan)

3) Seni pertunjukan tradisinal Using yang berhubungan dengan religi Islam

antara lain Kuntulan, Macaan Lontar, Macaan Campursari,

Rengganis/Praburara, dan Patrol Using.

4) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan kesenian Jawa

antara lain Kendang Kempul, Campursari, Ketoprak, dan Wayang Kulit.

5) Seni pertunjukan tradisinal Using Profan antara lain Angklung Paglak dan

Kendang Kempul Blambangan (seni musik) dan Tari Tradisional Using

Modifikasi (seni tari).

Gambaran kedekatan GTBU dengan alam tidak saja tercermin dalam kehidupan

sehari-hari dan seni tari, namun juga dapat diamati pada seni batik. Terkait dengan

seni batik, ada kurang lebih 15 motif batik yang semuanya bertema alam. Motif-motif

batik yang dimaksud, di antaranya: (1) alas kobong ‘hutan terbakar‘, (2) belarakan

‘daun kelapa kering‘, (3) gajah oling ‗belalai gajah‘, (4) galaran ‗bilah-bilah bambu

untuk alas kasur‘, (5) jajang sebarong ‗serumpun bambu‘, (6) jenu ‗tumbuhan yang

akarnya dapat dipakai racun ikan‘, (7) kangkung setingkes ‗kangkung seikat‘, (8) kopi

pecah ‗kopi terbelah‘, (9) mas‘un ‗pucuk tumbuhan‘, (10) mata pitik ‗mata ayam‘,

(11) paras gempal ‗batu padas pecah‘, (12) sekar jagat ‗bunga setaman‘, (13)

Page 17: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

94

sembruk cacing ‗cacing bergerombol‘, (14) seretan ‗kulit pohon pisang kering‘, dan

(15) sisik papak ‘sisik ikan‘.

4.4 Bahasa Using

4.4.1 Sejarah Bahasa Using

Bahasa Using merupakan bahasa ibu bagi penduduk asli Kabupaten

Banyuwangi. Tentang statusnya, ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan BU

itu dahulunya adalah Bahasa Jawa yang dalam pejalanan sejarahnya digunakan oleh

orang-orang Jawa yang berpindah ke arah timur Pulau Jawa. Ketika tiba di wilayah

Banyuwangi sekarang, mereka terisolasi oleh hutan lebat, gunung, dan pegunungan

di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali dan di

sebelah selatan adalah Samudra Indonesia. Hal ini membuat mereka benar-benar

terisolasi terutama dari masyarakat Jawa yang ada di bagian barat sehingga Bahasa

Jawa yang digunakan di Banyuwangi tetap menggunakan bentuk-bentuk lama (lihat

Bolinger, 1975:355) dan kemudian mengalami perkembangan sendiri menjadi

bahasa Using seperti dikenal sekarang ini yang banyak leksikon-leksikonnya berasal

dari bahasa Jawa Kuna, seperti isun ‗saya‘, sira ‗engkau‘, paran ‗apa‘, dan hang

‗yang‘, dan sebagainya (Marwoto dkk., 1999: 23).

Pendapat lain beranggapan bahwa BU merupakan sebuah bahasa dan ada

pula yang beranggapan bahwa BU merupakan salah satu dialek bahasa Jawa. Karena

secara geografis Banyuwangi terletak jauh dari budaya Jawa (Solo dan Jogyakarta),

Page 18: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

95

pada masa lalu secara sosial politis Banyuwangi merupakan masyarakat dan wilayah

politik pinggiran yang berdampak pada perkembangan BU yang terlepas dari

perkembangan bahasa Jawa baku (bahasa induk) (Zainuddin, 1999).

Sebagai bahasa pinggiran, penuturnya merasa bahwa BU lebih rendah dari

bahasa Jawa (BJ) dari segi prestise. Berdasarkan kajian diglosia yang dilakukan oleh

Arifin dan Zainuddin (1999) dan Sariono (2002) ditemukan bahwa BU merupakan

low language dibandingkan dengan BJ baik BJ ngoko maupun BJ kromo. Sebagai

masyarakat pinggiran, dalam berkomunikasi dengan etnis Jawa Kulon, etnis Using

merasa harus menguasai BJ. Fenomena ini biasa terjadi bahwa masyarakat pinggiran,

kelompok minoritas, atau masyarakat dengan prestise rendah cenderung menguasai

lebih banyak varietas bahasa dibandingkan dengan masyarakat pusat, mayoritas, dan

berprestise lebih tinggi (lih. Poedjosoedarmo, 1996). Di samping itu, mereka

cenderung berorientasi pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang berprestise

lebih tinggi.

4.4.2 Karakteristik Ejaan Bahasa Using

BU memiliki ejaan sedikit berbeda dengan BJ. Ejaan leksikon pada kajian ini

didasarkan pada ejaan yang ditemukan pada buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa

Using yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan. Adapun ejaan BU yang

dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Huruf i dan u

Page 19: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

96

a. Huruf i pada posisi akhir tuturan diwujudkn dengan bunyi [ai]

laki [lakai] ‗suami‘

legundi [legundai]

b. Huruf u pada posisi akhir tuturan diwujudkan dengan bunyi [au]

milu [milau] ‗ikut‘

deringu [deringau] ‗jerangu‘

2) Huruf e, a, dan o

a. Huruf e pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [e?]

jambu mente [jambau mente?]

sate [sate?] ‗sate‘

b. Huruf a pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [O?]

delima [delimO?] ‗delima‘

kura [kurO?] ‗kura-kura‘

c. Huruf o pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [U?]

ijo [ijU?] ‗hijau‘

3) Huruf b, d, dh, g, m, n, ng, l, bila diikuti huruf a [a] atau e [E] dalam

realisasinya terjadi palatalisasi.

a. Huruf b

kembang [kembyan] ‗bunga‘

kabeh [kabyEh] ‗semua‘

b. Huruf d

Page 20: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

97

dami [dyami] ‗jerami‘

renden [rendyEn] ‗daun pisang‘

c. Huruf dh

dhangu [dyangu] ‗tangkai buah kelapa‘

gedhang [gedyang] ‗pisang‘

d. Huruf g

degan [degyan] ‗kelapa muda

garek [gyarEk] ‗cacing yang berkaki banyak‘

4.5 Situasi Kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi dihuni oleh tiga etnis dominan, yakni etnis Using,

Jawa, dan Madura dengan bahasa daerah mereka masing-masing. Masing-masing

etnik ini secara dominan berdomisili dan menggunakan bahasa mereka masing-

masing di kecamatan-kecamatan tertentu. Misalnya, bahasa Using, menurut hasil

perhitungan yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Blambangan pada tahun 1985,

secara dominan dipakai di 9 kecamatan dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten

Banyuwangi pada waktu itu (sekarang terdapat 24 kecamatan setelah adanya

pemekaran beberapa kecamatan yang ada di bagian utara Kabupaten Banyuwangi).

Ali (1990:18) secara lebih rinci mengatakan bahwa BU dipakai di 125 desa dari 175

desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah penutur 58% dari penduduk

Kabupaten Banyuwangi.

Page 21: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

98

Sutrisno dkk. (1976:274—281) menemukan bahwa dari 175 desa yang ada di

Kabupaten Banyuwangi, penutur BU dominan ditemukan di 95 desa, penutur BJ di

35 desa, penutur BM di 8 desa, sedangkan penutur campuran dari ketiga bahasa

tersebut ditemukan di 37 desa.

Dari segi ranah penggunaan bahasa terungkap beberapa fenomena.

Herusantosa (1987) dan Subyatiningsih dkk. (1999) menemukan tingkat penggunaan

bahasa di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan ranah sebagai berikut.

Tabel 4.2

Perbandingan Pemilihan Bahasa berdasarkan Ranah antara

Herusantosa (1987) dan Subjatiningsih (1999)

Ranah Herusantosa (1987) Subjatiningsih (1999)

Pilihan Bahasa Pilihan Bahasa

BU

(%)

BJ

(%)

BI

(%)

BU

(%)

BJ

(%)

BI

(%)

1. Keluarga

2. Ketetangaan

3. Transaksi

4. Agama

5. Seni, tradisi, dan budaya

6. Pendidikan

7. Pemerintahan

75

-

50,8

28

73,5

39,5

9

22,3

-

33

55

15,8

42,5

36,8

0

-

4,3

2,7

0

0

39,5

62,4

62,2

32,4

18,7

37,9

24,8

20,9

22,5

24,4

21,1

26

41,6

17,3

23

14,5

12,8

46,1

38,8

16

57,4

56,1

Rata-rata 45,9 34,2 7,7 37 25 34,5

Jikalau hasil kedua penelitian tersebut dibandingkan, dalam jangka 12 tahun

terjadi pergeseran penggunaan bahasa dalam semua ranah.

Page 22: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

99

4.6 Status Kebahasaan Bahasa Using

Mengenai status kebahasaan BU hingga saat ini masih menjadi perdebatan di

kalangan linguis BJ khususnya. Ada dua anggapan tentang status kebahasaan BU.

Pendapat pertama berasal dari kalangan peneliti yang menjadikan BU sebagai objek

kajiannya. Menurut mereka BU adalah salah satu dialek BJ (lih. Penelitian, antara

lain oleh Poerwadarminta, 1953; Hutomo, 1970; Sudjito, 1979; dan Sutoko, 1980,).

Pendapat kedua berasal dari masyarakat Using dan para budayawan Kabupaten

Banyuwangi. Menurut mereka, BU merupakan bahasa yang mandiri, lepas , dan

bukan merupakan varian BJ. Untuk memperkuat argumen mereka, sejak awal tahun

1970-an beberapa aktivis budaya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, dan industri

media lokal menjadikan BU objek perhatian mereka. Masing-masing kelompok ini

membuat gebrakan untuk tujuan politik kebahasaan mereka melalui media cetak,

audio, dan audio visual. Dengan cara yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan,

mereka ikut membangun sebuah sosio-kultural yang kompleks dan bergerak cepat

yang dapat dianggap sebagai pembuatan bahasa, sehingga dalam beberapa kurun

waktu ―Bahasa Using‖ yang dianggap merupakan salah satu dialek BJ menjadi

bahasa daerah resmi di Banyuwangi, merupakan salah satu mata pelajaran muatan

lokal yang diajarkan di seluruh kabupaten di Banyuwangi, dan sebagai wahana

wacana media yang hidup dan digemari masyarakat (Arps dalam Moriyama dan

Budiman, ed., 2010:226—227)

Page 23: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

100

Bernard Arps, guru besar dalam bidang bahasa dan budaya Indonesia dan

Jawa pada Universitas Leiden, Belanda, menulis sebuah tulisan terkait dengan

sejarah terwujudnya BU yang dikenal masyarakat luas seperti sekarang ini. Arps

dalam Moriyama dan Budiman (ed., 2010:230) mengamati pencitraan

Bahasa/Dialek Using. Arps menemukan bahwa ada lima periode proses dalam

pencitraan tersebut, seperti terlihat dalam uraian berikut.

(1) Periode masa ―prasejarah‖, yaitu masa sebelum tahun 1970-an.

Arps mengutip pendapat Lekkerkerker (1923) mengenai masyarakat yang

mendiami ujung timur Pulau Jawa yang memiliki adat, kepribadian, dan

bahasa yang berbeda dengan orang Jawa. Menurutnya, kemungkinan

kelompok ini dianggap dan menganggap dirinya bukan orang Jawa. Keadaan

ini berlangsung hingga tahun 1970-an dan sekarang pun kategorisasi ini masih

terdengar, terutama di daerah pedesaan.

(2) Periode 1970-an sampai Sarasehan Bahasa Using Pertama (1990).

Pada awal tahun 1970-an berkembang sebuah ―wacana kehilangan‖ identitas

sebagai sebuah masyarakat yang berotonomi terhadap sebuah bahasa (beserta

sastra dan budayanya) sehingga dipandang perlu adanya langkah-langkah

konkret untuk ―penemuan kembali‖ sesuatu yang hilang tersebut. Langkah-

langkah konkret tersebut diawali dengan diterbitkannya sebuah buku berjudul

Sekedar Petunjuk untuk Dapat Berbicara Bahasa Osing hasil karya

Abdurahman (1974). Kemudian terbit buku Selayang Pandang Blambangan

Page 24: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

101

karangan Sutrisno, dkk. (1976). Dalam buku ini dicantumkan data historis dan

etnografis yang bertujuan untuk mendukung pencapaian kejayaan daerah

Blambangan.

(3) Periode awal 1991 sampai pengajaran BU di sekolah (1997)

Periode ini diawali dengan langkah konkret untuk menunjang citra BU

sebagai bahasa dewasa dengan diterbitkannya pedoman ejaan BU (1991)

yang disusun oleh Hasan Ali. Selain itu, untuk menunjang usaha ini dia juga

mempresentasikan makalah mengenai bahasa dan sastra Using pada

Sarasehan Bahasa Jawa I pada tahun 1991di Semarang yang bertujuan untuk

memancing para ahli BJ berdiskusi sehingga terbuka jalan ke arah pengajaran

BU sebagai muatan lokal. Pada Kongres Bahasa Jawa II tahun 1996 di Batu

Malang, Hasan Ali mengambil langkah radikal yang pada akhirnya dapat

meyakinkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan juga Kepala Kantor

Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur bahwa BU

dapat disejajarkan dengan bahasa-bahasa daerah lain, seperti Bahasa Bali,

Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda sehingga BU dapat diajarkan sebagai muatan

lokal. Puncak dari periode ini ditandai dengan dikeluarkannya rekomendasi

dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur dan DPRD

Kabupaten Banyuwangi bahwa BU boleh diajarkan pada pendidikan dasar.

Hal ini diperkuat oleh turunnya izin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Page 25: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

102

tahun 1977 tentang pengajaran BU di sekolah-sekolah khususnya

pendididikan dasar.

(4) Periode terbitnya buku tata bahasa (1997) sampai kamus Using (2002)

Perjuangan untuk memperoleh bukti bahwa BU merupakan bahasa yang

mandiri secara geneologis dan kemufakatan para budayawan Banyuwangi

telah mebuahkan hasil dan Hasan Ali (motor perjuangan) melanjutkan usaha

pendeskripsian dan pembakuan BU dengan diterbitkannya Tata Bahasa Baku

Bahasa Using Jilid I yang membahas fonologi, sedangkan buku yang

berkaitan denga morfologi dan sintaksis BU belum terbit. Di samping buku

tentang fonologi BU, Hasan Ali sejak tahun 1980 menyusun kamus namun

baru bisa terbit 2002 dengan judul Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia.

(5) Periode sejak 2002 sampai 2009

Masa ini dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi yang ditandai dengan

dicetak ulangnya buku pelajaran dan kamus BU dan juga terbitnya majalah

berbahasa Using yang berisi puisi-puisi, cerpen-cerpen, budaya dan sejarah.

Namun, di tengah-tengah konsolidasi timbul kecaman dari berbagai pihak

terutama menyangkut apa yang disebut dengan ―Usingisasi‖ Kabupaten

Banyuwangi yang sebenarnya dihuni oleh berbagai etnis dengan berbagai

bahasa. Pengajaran BU sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah diprotes di

beberapa kecamatan yang mayoritas penduduknya bukan penutur BU. Di

samping itu, timbul perdebatan tentang status kebahasaan BU karena ada yang

Page 26: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

103

tidak menyukai sebutan ‗Bahasa Using‘ karena dianggap berasal dari

pendatang di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan berkonotasi negatif

(Moriyama dan Budiman, ed., 2010: 231—232).

Mencemati uraian tentang tahapan-tahapan yang dilalui BU selama kurang

lebih empat dasawarsa, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini status kebahasaan

BU adalah sebuah bahasa daerah di nusantara yang keberadaannya diakui secara sah

oleh pemerintah karena belum ada Surat Keputusan Pemerintah yang mencabut surat

keputusan sebelumnya yang melegalisasi status kebahasaan BU. Dengan demikian,

dalam kajian ini yang dimaksud BU adalah bahasa daerah yang dipakai oleh

sekelompok masyarakat yang berdomisili di beberapa kecamatan di Kabupaten

Banyuwangi.

Page 27: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

104

BAB V

KEBERAGAMAN LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM BAHASA USING

5.1 Pengantar

Sebelum sampai pada pembahasan keberagaman leksikon lingkungan

alam BU, pada bagian ini terlebih dahulu ditampilkan pemabahasan tentang

bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU, dalam hal ini yang berkaitan

dengan bahasan secara morfologis seperti terlihat pada bagian berikut.

5.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, bentuk-bentuk

lingual leksikon lingkungan alam BU terdiri dari atas empat wujud, yakni

berwujud kata dasar, kata turunan, kata ulang, dan kata majemuk. Berikut adalah

uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.

5.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang

Berwujud Kata Dasar

Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang

menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985: 45),

sedangkan Chaer (2012: 159) menyebutkan bentuk dasar (base) sebuah bentuk

yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu

dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam proses reduplikasi , atau bisa digabung

dengan morfem lain dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut

104

Page 28: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

105

berupa morfem tunggal tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (bdk.

Katamba, 1993:45).

Bentuk dasar yang dimaksud pada subbab ini adalah bentuk dasar yang

berupa morfem dasar tunggal. Sebenarnya, untuk menyatakan bentuk dasar yang

tunggal ada istilah bentuk asal. Istilah itu tidak digunakan karena bentuk asal

dapat berupa morfem pangkal, sedangkan morfem pangkal yang sudah dijelaskan

di atas merupakan bentuk terikat. Tabel berikut adalah tentang leksikon

lingkungan alam BU yang berupa bentuk dasar.

Tabel 5.1

Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam

Bahasa Using yang Berwujud Kata Dasar

No. Leksikon

BU

Gloss dalam BI Kategori

lingkungan

Kategori kata

Biotik Abiotik N V Adj

1. menir beras kecil-kecil, hasil sampingan

penyosohan beras

- + + - -

2. lemi kotoran buah jagung - + + - -

3. ledhebog batang pisang yabg sudah

ditebang

- + + - -

4. bagu daun muda pohon melinjo - + + - -

5. welit daun kelapa kering yang disusun

untuk atap bangunan

- + + - -

6. singkek Alat pemikul terbuat dari bilahan

bambu, bagian depan dan

belakang berbentuk segitiga

- + + - -

7. penjalin pohon rotan + - + - -

8. semprul irisan daun tembakau yang berasal

dari daun tembakau empat daun

terbawah, biasanya berbau apek

- + - -

9. bojog Kera + - + - -

10. asu anjing + - + - -

11. cekeker kaki unggas atau burung - + + - -

12. nyambit biawak + - + - -

13. rengit nyamuk + - + - -

14. nilem ikan nila + - + - -

15. deleg ikan gabus + - + - -

16. logrog gugur berjatuhan (tentang bunga

atau buah)

- - - + -

17. mekrog mekar (tentang bunga) - - - + -

Page 29: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

106

Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan, leksikon lingkungan

alam BU yang berupa bentuk dasar lebih banyak berkategori nomina. Dari 17 data

yang tertera dalam tabel di atas, data (1--15), yakni menir ‗beras kecil-kecil, hasil

sampingan dari penyosohan beras‘; lemi ‘kotoran buah jagung‘; gedhebog ‘batang

pisang yang sudah ditebang‘; bagu ‗daun muda pogon melinjo‘; welit ‗daun

pohon kelapa kering yang disusun untuk atap bangunan‘; singkek ‗alat pemikul

terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang berbentuk segitiga‘;

penjalin ‗pohon rotan‘; semprul ‗Irisan daun tembakau yang berasal dari daun

tembakau empat daun terbawah, biasanya berbau apek‘; bojog ‗kera‘; asu

‗anjing‘; cekeker ‗kaki unggas atau burung‘; nyambit ‗biawak‘; rengit ‗nyamuk‘;

nilem ‗ikan nila‘; dan deleg ‗ikan gabus‘ merupakan leksikon dengan kategori

nomina. Sementara itu, data (16—17) , yaitu logrog ‗gugur berjatuhan (tentang

bunga atau buah) dan mekrog ‗mekar (tentang bunga)‘ adalah leksikon

berkategori verba. Bentuk-bentuk dasar tersebut tidak dapat dipecah lagi ke dalam

bentuk yang lebih kecil. Jika bentuk-bentuk di atas dipecah maka masing-masing

pecahannya tidak memiliki makna (lihat Kridalaksana, 1996:164, bdk. Katamba,

1993: 45).

5.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang

Berwujud Kata Turunan

Pada umumnya, bahasa-bahasa yang termasuk rumpun Austronesia

memiliki bentuk turunan berafiks, bentuk turunan kata ulang, dan bentuk turunan

berupa kata majemuk (Kridalaksana, 1996). Berdasarkan data yang berhasil

Page 30: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

107

dikumpulkan, leksikon lingkungan alam BU juga memiliki ketiga bentuk turunan

tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.

5.2.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

yang Berwujud Kata Turunan Berafiks

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, leksikon

lingkungan alam BU yang memiliki bentuk turunan berafiks lebih banyak

ditemukan pada leksikon verba. Ada dua jenis bentuk turunan berafiks, yakni

bentuk turunan berprefiks {-} dan bentuk turunan berimbuhan gabung {-/-i}.

Uraian berikut adalah uraian tentang masing-masing bentuk turunan yang

dimaksud.

(1) Bentuk turunan berprefiks {-}

Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon verba lingkungan alam BU

yang berwujud kata turunan berprefiks {-} cukup banyak ditemukan. Sejumlah

leksikon yang tertera pada tabel berikut merupakan contoh leksikon lingkungan

alam BU yang berkategori verba berwujud kata turunan dengan prefiks {-}.

Akan tetapi, jikalau diperhatikan masing-masing data tampak mempunyai bentuk

yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Data ( 18) mbebeng ‗menutup saluran air‗ berasal dari bentuk dasar

bebeng; data (19) melar ‗membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan

kering‘ berasal dari bentuk dasar pelar; data (20) negor ‗menebang (tentang

pohon)‗ berasal dari bentuk dasar tegor; data (21) ndekung ‗mencangkok

tanaman‘; data (22) nyacal ‗menggemburkan tanah sawah/ladang/pekarangan

dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘ berasal dari bentuk dasar cacal; data

Page 31: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

108

(23) nyebar ‗menebarkan sesuatu (tentang benih)‘ berasal dari bentuk dasar sebar;

data (24) ngempet ‗menahan aliran air dengan menggunakan jerami atau benda

lainnya‘ berasal dari bentuk dasar empet; data (25) ngurit ‗menyemai benih padi‘

berasal dari bentuk dasar urit; data (26) nggagas ‗mengambil sisa-sisa padi atau

gabah setelah panen‘ berasal dari bentuk dasar gagas; data (27) ngokok

‗mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis bertelur‘ berasal dari bentuk dasar

kokok: data (28) ngerimbas ‗‗membuang kulit pohon dan membentuk kayunya

menjadi balok-balok kayu‘ berasal dari bentuk dasar rimbas; dan data (29)

ngeludes ‗menggemburkan tanah yang dilalukan oleh binatang khususnya babi‘

berasal dari bentuk dasar ludes.

Berdasarkan uraian data tersebut di atas, terlihat bahwa leksikon

lingkungan alam dengan bentuk turunan berprefik {-) memiliki lima buah

alomorf, yaitu alomorf [m-/, /n-/, /ň-/, /-/, dan /-/. Penggunaan masing-masing

alomorf tersebut tergantung pada fonem awal bentuk dasarnya. Dengan kata lain,

dapat disebutkan bahwa penggunaan masing-masing alomorf tersebut tergantung

pada fonem awal bentuk dasarnya yang memiliki daerah artikulasi mirip dengan

masing-masing alomorfnya.

Page 32: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

109

Tabel 5.2

Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

yang

Berwujud Kata Turunan Berafiks {-}

No. Leksikon

BU

Gloss dalam BI Bentuk

Dasar

Kategori Kata

N V Adj

18. mbebeng menutup saluran air bebeng - + -

19. melar membajak sawah atau kebun dalam keadaan

kering

Pelar - + -

20. negor menebang (tentang pohon) Tegor - + -

21. ndekung ‗mencangkok tanaman dekung - + -

22. nyacal menggemburkan tanah sawah atau ladang atau

pekarangan dengan menggunakan cangkul bukan

bajak

Cacal - + -

23. nyebar menebarkan benih padi atau palawija Sebar - + -

24. ngempet menahan aliran air dengan menggunakan jerami

atau benda lainnya

Empet - + -

25. ngurit menyemai benih padi Urit - + -

26. nggagas ‗mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah

panen

- + -

27. ngokok mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis

bertelur

kokok

‗suara

ayam

betina‘

- + -

28. ngerim-

bas

membuang kulit pohon dan membentuk kayunya

menjadi balok-balok kayu

Rimbas - + -

29. ngeludes menggemburkan tanah yang dilalukan oleh

binatang khususnya babi-

ludes - + -

Jikalau dat-data pada tabel diperhatikan, terlihat bahwa data (18-19), yakni

mbebeng ‗menutup saluran air‘ dan melar ‗membajak lahan sawah atau kebun

dalam keadaan kering‘ bentuk dasarnya diawali oleh fonem /b, p/, sehingga

alomorf yang digunakan adalah /m-/. Perlu dijelaskan bahwa prefiks {- } apabila

bergabung dengan bentuk dasar yang diawali fonem /b/ maka alomorfnya

dilekatkan langsung pada awal bentuk dasar, sedangkan apabila bentuk dasarnya

berawal dengan /p/ maka fonem /p/ nya akan luluh diganti dengan alomorf /m- /.

Contoh lain dari data sejenis adalah mbalong ‗menggenangi petakan-

petakan sawah dengan air yang cukup dalam sambil menunggu waktu tanam‗

bentuk dasarnya adalah balong ‗kolam/palung‘; mberubuk ‗membuat tanah

Page 33: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

110

menjadi gembur‗ dengan bentuk dasar berubuk; mbeseh ‗menyayat kulit pohon‘

yang bentuk dasarnya adalah beseh; medhok ‗bertempat tinggal sementara di

area sawah atau kebun selama musim panen‗ yang berbentuk dasar pedhok; majeg

‗menaruh cairan aren (bahan gula) pada cetakan yang terbuat dari gelang bambu

atau daun lontar‗ yang bentuk dasarnya adalah pajeg; pintal ‗memintal kapas

untuk dijadikan benang‘ yang memiliki bentuk dasar pintal; mepe ‗menjemur

sesuatu (bahan kopra atau ikan hasil tangkapan nelayan) dengan cara

menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘ dengan bentuk dasar

pepe; dan matun ‗membersihkan gulma di sela-sela tanaman padi‘ yang bentuk

dasarnya patun. Jikalau data-data di atas dicermati, tampak bahwa sebagian besar

bentuk dasar dari bentuk turunan berafiks {-} berasal dari morfem pradasar atau

praketgorial (lihat Verhaar, 2012: 99) karena bentuk-bentuk dasar tersebut tidak

bisa berdiri sendiri untuk memunculkan makna kecuali melalui proses

pengimbuhan (afiksasi).

Selanjutnya, apabila prefiks {-} bergabung dengan bentuk dasar yang

diawali oleh fonem /t,d/ maka digunakan alomorf /n-/. Hal itu tampak pada data

(21--22). Data (21) menunjukkan bahwa prefiks {-} apabila bergabung dengan

bentuk dasar yang diawali dengan fonem /t/, maka fonem /t/ akan luluh,

sedangkan apabila bergabung dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /d/

maka alomorfnya langsung dilekatkan pada bentuk dasar, seperti tampak pada

data (8). Contoh lain dari proses serupa, yakni nanceb ‗menanam pagar hidup

untuk kebun atau pekarangan‗ dengan bentuk dasar tanceb; notor ‗memotong

ranting atau dahan pohon‗ yang bentuk dasarnya adalah totor; neba ‗hinggap

Page 34: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

111

secara bersamaan yang dilakukan oleh kawanan burung di atas tanah atau dahan

pohon‗ dengan bentuk dasar teba; dan nderes ‘menyadap tuak atau nira dari

pohon enau‘ yang berbentuk dasar deres.

Sementara itu, alomorf /ň-/ digunakan apabila alomorf tersebut bergabung

dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /c, s/. Hal itu tampak pada uraian

data (23—24), di samping digunakan alomorf /ň-/ juga terjadi peluluhan fonem

awal /c,s / dari bentuk dasarnya. Contoh lain dari proses ini ditemukan pada

leksikon verba, yaitu nyumbat ‗menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‘

dengan bentuk dasar sumbat ‗peralatan yang terbuat dari besi yang berujung tajam

yang digunakan untuk menguliti serabut kelapa‘; nyeruh ‗memutihkan beras

dengan cara menumbuknya kembali‘ bentuk dasarnya seruh; nyelisir ‗berjalan

menelusuri bibir pantai atau sungai‘ yang bentuk dasarnya selisir; nyuluh

‗mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor pada

malam hari‘ dengan bentuk dasar suluh ‗obor‘, nyeker ‗mengais-ngais tanah

dengan menggunakan kaki yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan

makanan‘ yang bentuk dasarnya adalah ceker ‗kaki ayam atau unggas lainnya‘;

nyangrab ‗membersihkan pohon dari ranting-rantingnya‘ dengan bentuk dasarnya

cangkrab; dan nyenggot ‗mengambil air dari sumur dengan menggunakan

senggotan ‗timba yang dianggkat dengan galah‘ bentuk dasarnya adalah senggot

‗tangkai/tongkat‘.

Selanjutnya, alomorf yang keempat, yaitu /-/, digunakan pada bentuk

dasar yang diawali oleh fonem vokal /e,u/; konsonan /g, k/. Hal itu tampak pada

uraian data (25—26). Penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem

Page 35: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

112

awal bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /k/, sedangkan bentuk dasar yang

diawali oleh fonem vokal dan konsonan /g/ langsung dilekati. Contoh lainnya

adalah nguter ‗memindahkan bibit dari tempat persemaian ke tempat penanaman

permanen‘ dengan bentuk dasar uter; ngunduh ‗memetik sesuatu (tentang buah

atau bunga)‘ yang bentuk dasarnya adalah unduh; dan nggebros ‗memanen atau

mengetam padi‘ dengan bentuk dasar gebros; nggejig ‗membuat lubang pada

tanah untuk menanam benih‘ dengan bentuk dasarn gejig; nggulud ‗meninggikan

tanah sawah atau kebun/membuat gundukan‘ yang berbentuk dasar gulud; dan

ngguyang ‗mandi di dalam air atau lumpur yang dilakukan oleh ternak‘ dengan

bentuk dasarnya guyang.

Alomorf yang terakhir, yaitu /-/, digunakan apabila melekat dengan

bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r, l/. Hal itu tampak pada uraian data

(28--29). Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf

langsung dilekatkan pada bentuk dasar. Contoh lain dari proses serupa dapat

dilihat pada bentuk-bentuk, seperti ngeregeb ‗berendam di kubangan lumpur yang

dilakukan oleh kerbau‘ dengan bentuk dasar regeb; dan ngeludes

‗menggemburkan tanah dengan menggunakan moncongnya yang dilakukan oleh

babi/babi hutan‘ yang bentuk dasarnya adalah ludes.

Perlu diketahui bahwa penggunaan alomorf /-/ diangkat sebagai setatus

morfem, yaitu morfem {-}, karena morfem ini memiliki distribusi paling banyak

jikakalau dibandingkan dengan alomorf-alomorf lainnya.

(2) Bentuk turunan berwujud imbuhan gabung {-/-i}

Page 36: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

113

Berdasarkan analisis data leksikon lingkungan alam BU yang berupa

bentuk turunan dengan imbuhan gabung ditemukan hanya satu jenis, yaitu yang

berimbuhan gabung {-/-i} dengan jumlah yang tidak begitu banyak, seperti

terlihat pada tabel berikut.

Tabel 5.3

Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan

Kata Turunan Berwujud Imbuhan Gabung {N-/-i}

No. Leksikon

BU

Gloss dalam BI Bentuk Dasar Kategori Kata

N V Adj

30. nambaki menahan aliran air ke petak

sawah berikutnya‘

tambak ‗pematang

atau tanggul‘

- + -

31. macaki mengupas serabut kelapa

dengan menggunakan kapak

Pacak - + -

32. ngileni mengairi sawah ilen-ilen ‗aliran air‘ - + -

33. ngeremponi meratakan tanah sawah

sebelum ditanmi

rempon ‗perataan

tanah

- + -

34. nggepluki memebelah buah kelapa

dengan menggunakan kapak

Gepluk - + -

35. ngonceti menguliti sesuatu (tentang

buah)

Oncet - + -

Data (30--35) adalah contoh data yang menunjukkan adanya penggunaan

imbuhan gabung berupa prefiks {-} dan sufiks {-i}. Realisasi penggunaan

alomorf-alomorfnya sesuai dengan prefiks {-} pada uraian (a), yakni

penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem awal bentuk dasar yang

diawali oleh konsonan /p, t, g/ seperti terlihat pada kata-kata turunan macaki

‗mengupas serabut kelapa dengan menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar

pacak‘; nambaki ‗menahan aliran air ke petak sawah /-/berikutnya‘ dengan

bentuk dasar tambak‘; dan nggepluki ‗mengupas serabut kelapa dengan

menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar gepluk. Sementara itu, alomorf

digunakan apabila melekat dengan bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r/

seperti terlihat pada kata turunan ngeremponi ‗meratakan tanah sawah sebelum

Page 37: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

114

ditanami‘ dengan bentuk dasar rempon. Hal itu tampak pada uraian data (33).

Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf langsung

dilekatkan pada bentuk dasar. Selanjutnya, untuk kata dasar yang diawali dengan

fonem vokal (i,o), prefiks {-} langsung melekat pada bentuk dasar, seperti

terlihat pada kata turunan ngileni ‗mengairi sawah‘ dengan bentuk dasar ilen dan

ngonceti ‗menguliti sesuatu (tentang buah)‘ dengan bentuk dasar oncet. Untuk

semua contoh di atas sufiks {-i} dilekatkan langsung di akhir kata tanpa ada

perubahan.

5.2.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

yang Berwujud Kata Ulang

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu bentuk

turunan dari leksikon lingkungan alam BU adalah reduplikasi (pengulangan).

Reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya atau

sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil pengulangannya

disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar (lihat

Kridalaksana 1996: 93—103 dan bdk Verhaar, 2012: 152--153). Berdasarkan data

yang terkumpul, leksikon lingkungan alam BU yang berbentuk kata ulang

ditemukan hanya empat buah, seperti terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 5.4

Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam

Bahasa Using yang Berwujud Kata Ulang

No. Leksikon

BU

Gloss dalam BI Bentuk

Dasar

Kategori Kata

N V Adj

36. giblas-

giblas

mengepak-ngepakkan sayap yang dilakukan oleh

unggas agar kering

giblas - + -

37. keblak-

keblak

mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang

dil akukan oleh ayam jantan

keblak - + -

38. ason-ason berburu binatang dengan menggunakan anjing ason - + -

Page 38: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

115

39. angkut-

angkut

sejenis serangga yang sarangnya terbuat dari tanah

yang biasanya menempel pada dinding atau langit-

langit bangunan seolah-olah tersangkut

angkut + - -

40. uceng-

uceng

sejenis ikan air tawar yang hidup di sungai uceng + - -

41. iles-iles Iles-iles iles + - -

42. ngampar-

ampar

Menyambar-nyambar (tentang petir atau kilat) ampar - + -

43. urang-

aring

urang-aring, jenis tumbuhan yang daunnya untuk

penyubur rambut

urang + - -

44. kolang-

kaling

buah pohon enau kolang + - -

45. lung-

lungan

leng-lengan, sejenis timbuhan untuk obat diare lung + - -

Kalau diperhatikan data (36--41), keenam data tersebut merupakan kata ulang

penuh karena yang diulang adalah bentuk dasarnya secara utuh. Data (36) giblas-

giblas berasal dari bentuk dasar giblas, data (37) keblak-keblak berasal dari

bentuk dasar keblak; sedangkan data (41—42) merupakan kata ulang yang

dihasilkan dengan mengulang bentuk dasar, tetapi terjadi perubahan fonem pada

bentuk ulangnya. Data (40) ngampar-ampar berasal dari bentuk dasar ampar

mengalami pengulangan yang disertai penambahan prefiks {-} pada bentuk

ulangnya, sedangkan data (38) ason-ason merupakan kata ulang yang dihasilkan

dari bentuk asu ‗anjing‘ yang direduplikasi yang disertai sufiks {-an}. Pada

bentuk ini terjadi proses morfofonemik berupa perubahan fonem, yaitu fonem

/u/, sebagai akhir kata bergabung dengan akhiran yang diawali fonem /a/ berubah

menjadi fonem /o/.

5.2.2.3 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

yang Berwujud Kata Majemuk.

Menurut Verhaar (2012: 154) kata majemuk (compound) adalah kata yang

dihasilkan melalui proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar atau

Page 39: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

116

(pradasar) sebagai komponen pembentuknya (lihat Ramlan, 1993: 78—79 dan

bdk. Katamba, 1993:54). Sebuah kata majemuk dibentuk oleh komponen inti

(head) dan pewatas (modifier). Komponen mana yang menjadi inti tergantung

artinya (Verhaar, 2012: 155). Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon

lingkungan alam BU yang berbentuk turunan yang berwujud kata majemuk lebih

banyak berpola N-N dan N-Adj, hanya dua data ditemukan masing-masing

berpola N-Num dan V-N. Data tersebut disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5.5

Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam

Bahasa Using yang Berwujud Kata Majemuk

No Leksikon

majemuk

BU

Gloss dalam BI Unsur Pembentuk Kategori

Kata

Inti Pewatas N V Adj

Leksi-

kon

Kate-

gori

Leks-

kon

Kate-

gori

46. jeruk

sambel

Jenis jeruk yang dipakai

campuran sambal ulek agar

rasanya mantap

jeruk N sambel N + - -

47. poh madu Jenis mangga yang rasanya manis

seperti madu

poh N madu N + - -

48. bango

kebo

Jenis burung bangau yang

mencari kutu untuk dimakan di

punggung kerbau

bango N kebo N + - -

49. ketan

cemeng

Ketan hitam ketan N cemeng Adj + - -

50. duren

abang

Jenis durian yang daging buahnya

berwarna merah

duren N abang Adj + - -

51. gedhang

sewu

Jenis pisang yang satu tandannya

berisi banyak buah seolah-olah

jumlahnya seribu

gedhang N sewu Num + - -

52. tapak

liman

Jenis tanaman obat yang

batangnya tumbuh menempel di

permukaan tanah dan helaian

daunnya menyebar seperti jari-

jari manusia yang berjumlah lima

tapak N lima (n) Num + - -

53. smbung

nyawa

Jenis tumbuhan obat untuk orang

sakit keras agar nyawanya

tersambung kembali

sambung V nyawa N + - -

54. pecah

beling

Bunga pecah seribu pecah V beling N + - -

Data (46--48) dibentuk oleh kategori N-N, yaitu data (46) yang oleh jeruk

sambel. Begitu juga data (47) yang dibentuk oleh poh dan madu dan data (48)

Page 40: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

117

dibentuk oleh bango dan kebo. Keenam kata yang membentuk tiga kata majemuk

di atas termasuk kategori nomina karena secara sintaktik kategori nomina dapat

menduduki fungsi subjek atau objek pada tataran klausa dan kalimat. Contoh kata

majemuk lain yang berpola N-N adalah gedhang raja ‗pisang raja‘ yang

dibentuk oleh leksikon gedhang dan raja; kara pedhang ‗sejenis kacang kara

yang bentuk buahnya melengkung menyerupai pedang‘ dibentuk oleh leksikon

kara dan pedhang; jamur menur ‗sejenis jamur/cendawan yang bentuk dan

warnanya seperti bunga melati, putih dan kecil-kecil‘ dibentuk oleh leksikon

jamur dan menur; wedhus kendit ‘jenis kambing yang memiliki lingkaran putih di

bagian pinggangnya sehingga menyerupai kendit ‘sabuk‘ dibentuk oleh leksikon

wedhus dan kendhit. Sementara itu, data (49—50) dibentuk oleh kategori N-Adj,

yakni data (49) ketan cemeng yang dibentuk oleh leksikon ketan dan cemeng dan

data (50) duren abang dibentuk oleh leksikon duren dan abang. Untuk dapat

membuktikan bahwa suatu bentuk termasuk kategori Adj adalah dengan cara

melihat bentuk itu dalam konstruksi yang lebih tinggi. Untuk kategori Adj dapat

dilihat pada tataran frasa, yaitu biasanya dapat dijelaskan dengan kata sangat dan

sekali (bahasa Indonesia). Contoh lain dari leksikon lingkungan alam BU yang

berwujud leksikon majemuk dengan pola N-Adj adalah kacang ijo ‗kacang hijau‘

yang dibentuk oleh kacang dan ijo; bawang abang ‗bawang merah‘ yang

dibentuk oleh bawang dan abang; dan lempuyang wangi ‗lempuyang wangi‘

yang dibentuk oleh lempuyang dan wangi. Sementara itu, berdasarkan temuan di

lapangan leksikon lingkungan alam BU yang berupa kata majemuk dengan pola

N-Num ditemukan hanya dua, yakni data (51—52). Data (51) gedhang sewu

Page 41: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

118

dibentuk oleh gedhang yang berkategori nomina dan sewu berkategori numeralia

dan leksikon pada data (52) tapak liman yang dibentuk oleh tapak dan lima(n).

Selanjutmya, leksikon yang berpola V-N ditemukan pada data (53) sambung

nyawa yang dibentuk oleh sambung (morfem pradasar) yang berkategori verba

dan nyawa yang berkategori nomina dan data (54) pecah beling yang dibentuk

oleh inti pecah yang berkategori verba dan beling yang berkategori nomina.

5.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

Keberagaman leksikon lingkungan alam BU tergantung pada

kompleksitas sumber daya lingkungan tempat bahasa ini digunakan. Kategori dan

jumlah leksikon BU mencerminkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

dan keterampilan teknologi tradisional GTBU dalam memanfaatkan dan

mengolah sumber daya lingkungan melalui proses leksikalisasi dan kulturalisasi

(pembudidayaan dan pembudayaan ) yang mereka lakukan, di samping karena

kedalaman dan kebermaknaan interaksi dan interpendensi GTBU dengan

lingkungannya, serta potensi dan karakteristik ecoregion area ini ( lihat Skutnabb-

Kangas & Phillipson, 2001).

Pembahasan keberagaman leksikon lingkungan alam BU pada bagian ini

dianalisis berdasarkan hal-hal, seperti (1) keberagaman berdasarkan kategori

katannya; (2) keberagaman cara penamaan entitas acuannya; dan (3) dan

keberagaman berdasarkan relasi makna antara leksikon. Berikut adalah uraian dari

masing-masing bagian yang dimaksud.

Page 42: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

119

5.3.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berdasarkan

Kategori Katanya

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa leksikon

lingkungan alam BU yang dikaji pada penelitian ini hanyalah leksikon yang

berkategori nomina dan verba saja karena berdasarkan temuan di lapangan

leksikon-leksikon pada kedua kategori tersebut paling banyak ditemukan, seperti

lazimnya fenomena yang terjadi pada banyak bahasa di dunia. Keberagaman

leksikon lingkungan alam berdasarkan ketegori katanya dapat dilihat pada urain

berikut.

5.3.1.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berkategori

Nomina

Lingkungan tempat tinggal GTBU, baik di daerah dataran tinggi maupun

di daerah dataran rendah merupakan wilayah yang sangat subur karena faktor

topografis dan kondisi geografisnya. Secara biologis, hal ini sangat menentukan

keberagaman flora dan fauna yang hidup di wilayah ini dengan tingkat populasi,

kekuatan, serta persaingan hidup yang berbeda-beda.

Ada beberapa jenis flora dan fauna yang memiliki nilai sosial ekonomi

yang penting dalam kehidupan GTBU sehingga jenis-jenis flora dan fauna ini

dipelihara dan dibudiyakan oleh GTBU. Fenomena ini menyebabkan adanya

interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara entitas-entitas yang

ada dan GTBU khususnya. Mereka mengodekan semua entitas-entitas tersebut

secara lingual sehingga terciptalah keberagaman leksikon-leksikon nomina

kealaman BU, baik tentang flora maupun fauna. Uraian berikut adalah tentang

Page 43: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

120

keberagaman leksikon kealaman BU terkait dengan leksikon flora dan fauna

beserta kelompok-kelompoknya.

1) Keberagaman leksikon flora bahasa Using

Eksistensi beberapa jenis tanaman di suatu ecoregion tidak terlepas dari

adanya faktor biologis, sosiologis, dan ideologis. Secara biologis, beberapa

tanaman ini dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan baik karena tanah yang

subur, iklim yang sesuai, dan juga karena keberadaan tanaman lain di ecoregion

tersebut. Interdipendensi sebuah masyarakat terhadap tanaman-tanaman

tersebut menyebabkan adanya kedalaman (intensitas) interaksi dan interelasi

mereka dengan entitas tersebut sehingga masyarakat juga mengenal secara detail

entitas yang diakrabi dan dikenalnya. Karena adanya interpedensi, interelasi , dan

interaksi mereka dengan tanaman-tanaman tersebut, melalui ideologi yang

mereka miliki, suatu guyub tutur memberi nama, membudidayakan, dan

mengadakan penelitian-penelitian baru untuk menemukan jenis-jenis entitas baru

untuk beberapa jenis tanaman untuk mendapatkan jenis yang lebih unggul yang

semuanya dikodekan dalam bentuk leksikon.

Pada bagian ini dipaparkan keberagaman leksikon flora kealaman BU

yang dikelompokan berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia

umumnya dan GTBU khususnya. Pengelompokkan menjadi kelompok leksikon

yang secara semantik merujuk pada tanaman bahan pangan, buah-buahan, sayur-

sayuran, obat/bumbu, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lainnya. Di samping

leksikon-leksikon utama suatu entitas, pada beberapa tabel juga dipaparkan

beberapa leksikon yang mengacu pada bagian-bagian entitas tersebut seperti

Page 44: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

121

yang ditemukan pada kelompok leksikon kelapa ‘kelapa‘, jajang ‘bambu‘,

gedhang ‘pisang‘, dan sebagainya. Berikut adalah uraian dari masing-masing

kelompok leksikon yang dimaksud.

(1) Keberagaman leksikon tanaman bahan pangan bahasa Using

Leksikon bahan pangan dalam kajian ini terdiri atas beberapa kelompok,

seperti kelompok leksikon padi dan jenisnya, bagian-bagian tanaman padi, sesuatu

yang terkait dengan padi, tanaman jagung dan bagian-bagiannya, serta tanaman

bahan pangan lainnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa

GTBU adalah masyarakat agraris. Seperti masyarakat agraris di wilayah

Indonesia lainnya, pari ‘padi‘, jagung ‗jagung‘ dan puhung ‘ketela pohon‘

merupakan hasil utama dari lahan pertanian mereka. Ketiga jenis entitas ini

tumbuh subur di wilayah ini karena letak geografis, kondisi topografis dan iklim

yang sangat sesuai. Secara sosiologis, pari dan jagung merupakan bahan makanan

pokok dan memegang peran sangat penting dalam kehidupan GTBU yang

dikenal sejak zaman dahulu. Di samping itu, pari ‗padi‘ (dalam bentuk beras)

khususnya juga merupakan tanda persaudaraan terutama pada saat Hari Raya Idul

Fitri dan pada sebuah keluarga mengadakan hajatan. Sebagai tanda

persaudaraan pada Hari Raya Idul Fitri maksudnya bagi setiap GTBU yang

masih ada hubungan darah, mereka biasanya saling bersilaturahmi dan saling

bertukar bahan kebutuhan pokok dan salah satu jenisnya dan bahkan yang utama

adalah beras. Sementara itu, sebagai tanda persaudaraan pada saat sebuah

keluaraga mengadakan hajatan maksudnya setiap keluarga GTBU biasanya

menyumbang paling sedikit 2 kilogram beras untuk keluarga yang mengadakan

Page 45: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

122

hajatan (dan jumlahnya semakin besar apabila mereka masih ada hubungan

darah).

Di samping pari dan jagung, GTBU yang tinggal di daerah pegunungan

juga mengenal beberapa jenis umbian-umbian yang dapat dijadikan sebagai

sebagai pengganti beras dan jagung, seperti puhung ‘ketela pohon‘, sabrang ‘ubi

jalar‘, kentang jembut ‘kentang jawa (berukuran kecil dan berambut)‘, gadhung

‘gadung (tanaman melilit, berduri, dan berumbi serta sagunya mengandung

racun‘), ganyong ‘tanaman berumbi yang bunganya menyerupai bunga kana,

umbinya direbus dan dapat dimakan‘ dan sebagainya. Pada musim-musim

tertentu semua entitas ini tumbuh subur di lingkungan tempat tinggal GTBU,

khususnya di wilayah Kecamatan Glagah yang topografisnya terdiri atas lahan

perkebunan dengan kemiringan hampir mencapai 450. Karena adanya

interdependensi, interaksi, dan interelasi yang tinggi terhadap keberagaman

entitas di lingkungan alam sekitar mereka, semua pengetahuan (kompetensi) yang

luas dan dalam terhadap sumber daya alam lingkungannya terekam dalam memori

GTBU dalam wujud satuan-satuan lingual berupa leksikon-leksikon yang mereka

wariskan, baik secara lisan maupun tulisan kepada generasi berikutnya. Tabel

berikut menunjukkan keberagaman leksikon bahan pangan BU.

Tabel 5.6

Keberagaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Bioti

k

Abiotik

Padi dan

jenisnya

pari padi Oryza sativa + -

pari singgang tunas padi yang tumbuh dari batang padi

yang telah dipotong

+ -

Page 46: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

123

pari sogel jenis padi yang cepat berbuah + -

pari unthup jenis padi yang bulirnya tidak bermiang + -

pari gaga jenis padi yang ditanam di lahan tadah

hujan + -

pari genjah

harum

jenis padi yang berasnya pulen dan berbau

harum

+ -

sambulan jenis padi lain yang tumbuh di sela-sela

padi utama

+ -

ketan cemeng ketan hitam + -

ketan putih

ketan (putih) + -

winih benih (padi) + -

Bagian- bagian

tanaman padi

menir beras kecil-kecil hasil sampingan dari

menumbuk atau menyosoh beras

- +

elas bulir padi - +

dami jerami - +

merang tangkai buah padi yang dikeringkan - +

sekem sekam, kulit padi/abah setelah padi

disosoh/ ditumbuk

- +

belubon padi yang baru dipotong, belum kering dan

sudah diikat-ikat (pada jaman dulu padi ini

di jemur di sawah atau di pinggir jalan)

- +

tugih bulu padi/ rambut yang terdapat pada

ujung biji padi-padian - +

Sesuatu terkait

dengan padi

rantap penyakit pada daun padi muda + -

palawija tanaman (kebanyakan dari jenis kacang-

kacangan) yang ditanam di sawah

pengganti tanaman padi

+ -

tumpang sari tanaman yang ditanam di sela-sela

tanaman utama ( kacang panjang/kecipir

yang ditanam di pematang sawah setelah

musim tanam)

+ -

Tanaman

jagung dan

bagian-

bagiannya

jagung jagung Zea mays + -

janggel tongkol buah jagung - +

kelobot kulit buah jagung yang sudah dikeringkan

dipakai pembukus rokok

- +

lemi kotoran buah jagung - +

tebon batang pohon jagung - +

Bahan pangan

lain

kentang kentang jawa (ukuran kecil-kecil dan ada

rambutnya)

+ -

sabrang ubi jalar Ipomoea

batatas

+ -

gadhung gadung (tanaman melilit dan berduri

dengan umbi dan sagunya mengandung

Dioscorea

hispida

+ -

Page 47: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

124

racun)

arus tumbuhan yang umbinya dapat dibuat

tepung

+ -

ganyong tanaman umbi yang batangnya menyerupai

batang bunga kana, umbinya dapat direbus

dan dimakan

Canna edulis + -

kajar birah putih Remusa-tia

vivapara

+ -

suweg tanaman yang umbinya dapat direbus dan

dimakan dengan daun seperti bunga

bangkai

Amorpho-palu

Campanula-

tus

+ -

puhung ketela pohon + -

Di samping beberapa leksikon generik dan spesifik dari beberapa entitas,

GTBU juga mengenal leksikon khusus yang mengacu pada bagian-bagian dari

entitas pari dan jagung, yang merupakan bukti lain dari interaksi dan

interdipendensi mereka dengan entitas-entitas tersebut. Fenomena ini dapat

berbeda dengan di wilayah lain, baik sesama lingkungan tempat tinggal GTBU

maupun di luar wilayah tersebut, yang memiliki kondisi topografis dan letak

geogafris, serta sumber daya alam yang berbeda.

(2) Keberagaman leksikon tanaman buah-buahan bahasa Using.

Topografi suatu wilayah tidak saja menentukan bentuk permukaan,

namun juga berpengaruh pada ragam vegetasi yang tumbuh di atasnya

(Poerwanto, 2008), di samping cuaca, curah hujan, dan iklim. Kabupaten

Banyuwangi umumnya dan daerah tempat tinggal GTBU khususnya adalah

sebuah wilayah yang terdiri dari wilayah dataran rendah dan dataran tinggi

dengan kemiringan hampir mencapai 400

disertai curah hujan yang tinggi

merupakan wilayah yang sangat cocok tempat untuk berbagai jenis buah tropis

(Banyuwangi dalam Angka, 2010:138-140). Dengan karakteristik ecoregion di

atas, beragam jenis buah-buahan tumbuh subur di daerah ini, utamanya jenis

poh/epoh ‘mangga‘ (mangifera indica) dan gedhang ’pisang‘. Ada kurang lebih

Page 48: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

125

sebelas jenis poh ‘mangga‘ ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal

GTBU dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Tingkat interdependensi dan

interaksi mereka terhadapnya juga berberda-beda, tergantung pada nilai ekonomis

yang diembannya sehingga ada beberapa jenis epoh/poh yang dibudidayakant,

seperti poh gadhung, poh manalagi, poh golek, dan poh madhu sedangkan jenis

lainnya, seperti poh koweni, poh kopyor, dan poh kotak tumbuh liar di kebun-

kebun atau di pinggiran hutan.

Di samping poh ‘mangga‘ (mangifera indica), tumbuhan gedhang

‘pisang‘ tumbuh dengan sangat subur di Kabupaten Banyuwangi umumnya, di

lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya. Fenomena ini membuat Kabupaten

dan Kota Banyuwangi menjadi sangat terkenal sehingga dijuluki kota ―pisang‖.

Julukan ini tidak berlebihan karena ada kurang lebih sembilan belas jenis pisang

yang tumbuh di lingkungan ini dengan tingkat populasi yang berbeda-beda

tergantung pada manfaatnya pada perekonomian masyarakat. Entitas dengan

nilai ekonomis tinggi cenderung populasinya banyak karena guyub tutur

membudidayakannya di lingkungan yang tepat. Di antara jenis pisang ditemukan

di wilayah ini yang populasinya cukup banyak adalah gedhang keluthuk, gedhang

kethip, gedhang susu/selakat, gedhang raja, dan gedhang saba. Di samping

karena bernilai ekonomis tinggi, entitas gedhang-gedhang di atas, tumbuh subur

dan gampang berbuah serta buahnya banyak sehingga interaksi, interelasi,

interdependensi GTBU terhadaonya sangat tinggi, sedangkan terhadap entitas-

entitas, seperti gedhang sewu, gedhang sempring, gedhang kidhang, gedhang

keladi, gedhang welut, dan gedhang sri nyonyah populasinya sedikit karena tidak

Page 49: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

126

dapat tumbuh di sembarang tempat, kurang bernilai ekonomi tinggi, serta jumlah

buahnya tidak banyak kecuali gedhang sewu. Khusus untuk gedhang berlin dan

gedhang lempeneng populasinya tidak begitu banyak, namun kedua jenis gedhang

ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena diolah menjadi keripik pisang yang

memiliki rasa yang lezat yang tidak ditemukan di daerah lainnya.

Dikenalnya beragam jenis pisang, dinamainya bagian-bagian dari pohon

pisang serta diciptakannya beberapa wadah/peralatan terbuat dari daun pisang

merepresentasikan adanya interaksi, interdependensi, pengetahuan, dan

keakraban antara GTBU dan lingkungan yang ada entitas pisangnya sebagai

sumber daya lingkungan tersebut. Tentu semua ini terekam dalam ranah

kebahasaan mereka yang menghadirkan keberagaman leksikon tentang gedhang

yang turut memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang mungkin sangat

berbeda dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di nusantara ini. Tabel berikut

menunjukkan keberagaman flora dari jenis buah-buahan yang tumbuh di

lingkungan tempat tinggal GTBU yang secara semantik refernsial (Verhaar: 2007,

318) diacu oleh leksikon masing-masing.

Tabel 5.7

Keberagaman Leksikon Tanaman Buah-buahan Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Mangga dan

jenisnya

poh mangga Mangifera

indica

+ -

poh manalagi mangga manalagi + -

poh golek mangga golek + -

poh kuweni mangga wani. + -

poh kates mangga yang rasanya renyah seperti

kates mengkal

+ -

poh madu mangga madu + -

Page 50: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

127

poh ganda ganda ‗lain rasa‘ yaitu jenis mangga

yang waktu muda rasanya kecut,

namun ketika sudah matang rasanya

manis sekali

+ -

poh kenyut mangga yang cara makannya

dikenyut ‗dihisap‘ (tidak dikupas

seperti lasimnya cara makan jenis

mangga lainnya)

+ -

poh kopyor mangga kopyor, jenis mangga yang

daging buahnya tidak padat dan

sedikit encer

+ -

poh kotak mangga yang buahnya berbentuk

persegi empat (kotak)

+ -

poh endhog mangga yang buahnya berbentuk

lonjong seperti telur

+ -

poh kecik kecik ‗tak bisa besar ‗ artinya

mangga muda dan tua ukurannya

hampir sama.

+ -

Jambu dan

jenisnya

jambu jambu Eugenia + -

jambu mente jambu mente. Anacardium

occidentale

+ -

jambu keluthuk jambu biji Psidium

guajava

+ -

jambu kelampok jambu kelampok, jenis jambu yang

tumbuhnya selalu berkelompok.

Jambosa alba + -

jambu lante jenis jambu yang biasanya ditanam di

dekat teras rumah. (Lante = tikar

yang terbuat dari anyaman rotan yang

biasanya digelar di teras rumah untuk

santai atau menerima tamu)

+ -

jambu darsono jambu darsono, jambu yang berwarna

merah keputihan

+ -

jambu semarang jambu semarang + -

jambu wer Syzygium

aqueum

-

Nangka dan

bagian-

bagiannya

nangka nangka Artocarpus

integrifolia

+ -

pucil bakal buah nangka + -

babal buah nangka muda -

tombol buah nangka yang dipakai sayur + -

empik kelopak buah nangka + -

bethon biji nangka + -

Rambutan dan

jenisnya

rambutan rambutan Nepheliun

lappoceum

+ -

rambutan aceh rambutan aceh. -

rambutan rapiah rambutan rapiah. + -

rambutan lebak jenis rambutan yang rambutnya lebih + -

Page 51: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

128

bulus pendek dari rambutan lainnya

Duren dan

jenisnya

duren durian Durio

zibentinus

+ -

duren putih durian (putih) Durio

zibentinus

+ -

duren abang durian merah, yaitu jenis durian yang

daging buahnya berwarna merah.

Durio

zibentinus

+ -

Jeruk dan

jenisnya

jeruk jeruk + -

jeruk sambel jeruk sambal, jeruk yang dipakai

tambahan sambal sehingga rasanya

menjadi lebih mantap

Citrus

aurantifolia

+ -

jeruk purut jeruk purut, jeruk yang dapat dipakai

untuk obat urut

Citrus hystrix + -

jeruk manis jeruk manis Citrus

aurantium

+ -

jeruk limo jeruk limau Triphasia

trifoliate

+ -

jeruk kikit jeruk dengan buah kecil-kecil dan

rasanya masam sekali

Triphasia

aurantiola

+ -

Delima dan

jenisnya

+ -

delima delima Punica

granatum

+ -

delima putih delima putih Punica

granatum

+ -

delima abang delima merah + -

Pisang dan

jenisnya

gedhang pisang Musa

paradisiacal

+ -

gedhang sempring pisang yang buahnya panjang dan

lurus seperti pring ‘bambu‘

+ -

gedhang agung pisang agung. Jenis pisang dengan

ukuran buah besar-besar dan satu

tandan hanya terdiri dari beberapa

sisir.

+ -

gedhang berlin pisang yang buahnya kecil-kecil dan

harganya mahal (seperti berlian).

+ -

gedhang ambon pisang ambon + -

gedhang emas pisang emas + -

gedhang keladi pisang keladi + -

gedhang ijo pisang hijau +

gedhang

lempeneng

pisang lempeneng (pisang yang

buahnya gepeng ‗pipih‘

-

gedhang keluthuk pisang batu Musa

branchycarpa

+ -

gedhang sri

nyonyah

pisang kulitnya putih (agak pucat)

seperti kulit perempuan Cina

+ -

gedhang raja

nangka

pisang raja yang rasanya seperti buah

nangka

+ -

Page 52: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

129

gedhang kapuk pisang kapuk -

gedhang

selakat(susu)

pisang susu + -

gedhang sewu pisang yang satu tandannya terdiri

dari puluhan sisir dan satu sisir juga

berisi puluhan biji buah yang

jumlahnya seolah-olah berjumlah

seribu.

+ -

gedhang welut pisang belut (pisang yang tumbuh

dengan baik di daerah yang berair)

+ -

gedhang raja pisang raja + -

gedhang saba pisang kapok + -

Bagian-bagian

dari pohon

pisang

gedhebog batang pisang yang sudah ditebang + -

peret /serat tali terbuat dari serat batang pisang + -

papah pelepah pisang + -

kelaras daun pisang kering + -

ontong bunga pisang + -

pupus pucuk daun pisang yang masih muda

dan menggulung, berwarna hijau

terang

+ -

tandan kelompok buah pisang yang terdiri

dari beberapa sisir

+ -

godhogan setandan pisang yang sudah matang

beserta sebagian batangnya yang

diletakkan di depan rumah orang

punya hajatan/pernikahan

+ -

Peralatan dari

daun pisang

samir daun pisang yang dipotong

sedemikian rupa untuk alas kue,

tumpeng , dan sebagainya

+ -

pincuk daun pisang yang dibentuk

sedemikian rupa digunakan sebagai

alas sesuatu

+ -

suru sendok terbuat dari sobekan daun

pisang dengan cara dilipat.

+ -

takir wadah terbuat dari lipatan daun

pisang

+ -

Jenis buah

lainnya

manggis manggis Garcinia

Mangostana

+ -

wuni buni Antidesma

bunisius

+ -

kedondong kedondong Spondia

Spinnata

+ -

kentul sentul (buah kecapi) Sandronicum

koetjape

+ -

tai lampah tumbuhan dengan buah menyerupai

buah kayu bunut dan rasanya manis

+ -

belimbing manis belimbing Averrhoa + -

Page 53: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

130

carabola

langsat langsat Lansium

domesticum

+ -

duku duku Lansium

domesticum

+ -

cerème crème Euphorbia-

ceae

+ -

nanas nenas Ananas

comosus

+ -

kates papaya Carica papaya + -

pace mengkudu Morinda

citrifolia

+ -

belewah belewah Cucumis melo + -

belungking semangka Citrulus

vulgaris

+ -

Di samping poh/epoh ‗mangga‘ dan gedhang ‗pisang‘, dan jambu

‗jambu‘ merupakan tanaman buah-buahan yang memiliki banyak jenis, baik yang

dibudidayakan seperti jambu menthe, jambu lante, jambu dharsana,dan jambu

semarang maupun yang tumbuh liar seperti jambu wer dan jambu kelampok.

Sementara itu, jeruk ‗jeruk‘ yang juga memiliki beragam jenis, namun tidak

sebanyak gedhang ‗pisang‘, juga ditemukan banyak tumbuh di lingkungan

tempat tinggal GTBU. Salah satu jenis tanaman buah yang satu-satunya

ditemukan di salah satu desa (Desa Kemiren) di Kecamatan Glagah adalah duren

abang ‗durian merah‘. Durian yang menurut pemiliknya sudah berumur lebih dari

200 tahun lebih dan tidak ditemukan di wilayah lainnya ini berbuah setahun

sekali. Keberadaan duren abang ‗durian merah‘ di lingkunan tempat tinggal

GTBU sudah barang tentu memperkaya sumber daya lingkungan dan khasanah

leksikon kealaman BU yang membuatnya berbeda dengan bahasa daerah lain dari

segi leksikon.

(3) Keberagaman leksikon tanaman sayur-sayuran bahasa Using

Page 54: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

131

Keberagaman leksikon kealaman BU tentang sayur mayur

merepresentasikan keberagaman tanaman sayuran yang ada di sumber daya

lingkungan alam BU yang dilatari oleh tanah yang subur karena kesuburan

sebuah wilayah dapat diprediksi dari berbagai jenis sayur mayur yang

dihasilkannya. Tingkat pengetahuan, pemahaman, dan interaksi GTBU pun

berbeda-beda terhadap masing-masing jenis karena perbedaan interpendensi.

Keberagaman jenis sayuran disertai juga keberagaman pemanfaatannya. Seperti

misalnya ada jenis sayuran yang dimanfaatkan bunganya (turi putih dan turi

abang), buah/umbinya (semua jenis kara, labu, dan kacang, gambas, kelentang,

terong, timun, dan sebagainya), dan daaunnya (beberapa jenis bayem, kangkung,

gundha, kelor, genjer, dan sebagainya).

Keberagaman pemanfaatan, cara pengolahan, dan penamaan terhadap

entitas sayur-sayuran merepresentasikan kedalaman pengetahuan tradisonal

(indegenius knowledge) dan interaksi GTBU dengan sumber daya lingkungan

yang entitas sayur-sayurannya ada di dalamnya. Tabel berikut menunjukkan

keberagaman leksikon sayur-sayuran dalam BU.

Tabel 5.8

Keberagaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abioti

k

turi turi + -

turi abang turi yang bunganya berwarna merah

dengan daun berwarna hijau keabu-abuan

Sesbanea

grandifora

+ -

turi putih turi yang bunganya putih Sesbanea

grandifora

+ -

Labu dan

jenisnya

labu labu + -

labu abang labu merah Cucurbita + -

Page 55: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

132

moschata

labu kuning waluh Cucurbita pepo

labu putih bligo Lagrnaria

leucantha

+ -

labu siyem manisa Sechium edule + -

Kara dan

jemisnya

+ -

kara jenis polong-polongan dengan batang

merambat

Dolichos lablab

kara benguk jenis kara yang baunya benguk ‗langu‘ Mucuna

pruriens

+ -

kara abang kara merah (kulit buah berwarna merah) + -

kara ijo kara hijau (kulit buah berwarna hijau) + -

kara putih kara putih, kulit buah berwarna putih + -

kara komak kara komak, pada ujung biji ada guratan

seperti tanda ‗koma‘

+ -

kara pedang kara pedang, bentuk memanjang dan

melengkung seperti pedang.

+ -

kara utek kara otak, berbiji lembut dan apabila

dimasak warnanya putih seperti warna

otak dan rasanya gurih.

+ -

Kacang dan

jenisnya

+ -

kacang kacang + -

kacang brol kacang tanah Arachis

hypogeal

kacang ijo kacang hijau Phaseolus

radiates

+ -

kacang jangan kacang panjang Vigna sinensis + -

kacang kapri kacang kapri Pisum sativum + -

kacang

tunggak

kacang beras (kacang yang tingginya

setinggi tunggak yaitu ranjau yang terbuat

dari bilah bambu sebagai perangkap

Pisum vulgaris + -

kacang

usi(ose)

jenis kacang yang mengandung banyak

minyak karena rasanya empuk seperti uson

‗limpa‘ sapi.

+ -

Bayam dan

jenisnya dan

jenisnya

+ -

bayem bayam Amarantus

Lividus

+ -

bayem cina bayam cina. Jenis bayam yang warna

daunnya agak keputihan menyerupai kulit

orang keturunan Cina

Amrantus

melancholicus

bayem abang bayam merah. Bayam yang daunnya

berwarna kemerahan

Amarantus

spinosus

+ -

bayem eri bayam yang batangnya berduri + -

bayem kul baybam kul. Jenis bayam yang daunnya

bulat, kecil-kecil menyerupai kul ‗siput‘

+ -

bayem menir bayam menir (daun kecil-kecil seperti

menir)

+ -

ayem raja bayam raja (daunnya lebar-lebar dan

ukuran batang paling tingggi dibandingkan

dengan jenis lainnya)

+ -

Page 56: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

133

bayem sapi bayam sapi (jenis bayam yang tumbuh

pada kotoran sapi)

+ -

bayem pasir bayam pasir (ketika dikonsumsi, ada rasa

seperti pasir)

+ -

Jamur dan

jenisnya

+ -

jamur + -

jamur dami jenis jamur yang biasanya ditemukan

tumbuh pada jerami

Monilia

javanica

jamur merang jenis jamur yang biasanya ditemukan

tumbuh pada merang padi

Hydnum fragile + -

jamur kepong jenis jamur yang biasanya ditemukan

tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan

tidak dapat dikonsumsi karena beracun

+ -

jamur kuping jenis jamur yang bentuknya seperti kuping Hirneola

tureecelaria

+ -

jamur ulan jenis jamur yang bentuknya bulat seperti

bulan

+ -

jamur menur jenis jamur berukuran kecil yang bentuk

dan warnanya seperti bunga melati.

+ -

jamur manuk jenis jamur yang tumbuhnya berkelompok-

kelompok seperti burung, berwarna putih

keci-kecil. Pada saat memetik seseorang

harus barteriak-teriak seperti menghalau

burung, supaya lebih banyak lagi

tumbuh/bermunculan di tanah

+ -

jamur gerigit jenis jamur yang cara makannya dengan

cara digigit (gerigit) karena sangat kenyal

+ -

jamur impes jenis jamur yang digunakan sebagai obat

puser bayi agar supaya lekas impes

‗kempes‘

Calvita bosvita + -

jamur lot jamurnya alot (liat/sulit) sehingga ketika

memetiknya harus dipukul-pukul agar

cepat terlepas.

+ -

jamur gajih jenis jamur dengan warna putih dan rasa

gurih seperti gajih (lemak)

+ -

Jenis sayur

lainnya

+ -

buncis buncis Glysin max + -

dhangsul kacang kedelai Luffa cylidrical

Gambas oyong Momordica

charantia

-

pare pare Momordica

chrantia

+ -

kelentang nuah kelor + -

tegok kecipir Psophacarpus

tetragonolobus

+ -

terong terong Solanum nigrum + -

timun mentimun Cucumis sativus + -

belimbing

wuluh

belimbing sayur Averrhoa

bilimbi

+ -

gundha jenis tumbuhan sayur yang ditanam di

sawah (di sela padi)

Sphaenoclea

zeylanica

+ -

katu daun katuk Saurapus + -

Page 57: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

134

androgynus

kangkung kangkung Ipomoea

reptans

+ -

kelor kelor/marungga Moringa

oleifera

-

genjer genjer Limnocharis

flava

+ -

bagu daun muda pohon melinjo (melinjo) Eugenia

polyantha

+ -

manting pohon salam Syzygium

polyanthum

+ -

kemangi kemangi Ucimum

basilicum

+ -

kenikir kenikir Cosmos

caudatus

+ -

keningar keningar Cinnamomum

verum

+ -

lembayung + -

lucu kecombrang Nicolaia

speciosa

+ -

semanggi semanggi Marcilea

crenata

+ -

Di samping jenis sayuran yang dikenal secara luas, seperti buncis

(Phaseolus vulgaris), kangkung (Ipomoea reptans ), bayem (Amaratus tricolor),

dan sebagainya, di wilayah ini juga tumbuh jenis sayuran lokal yang juga

ditemukan tumbuh di daerah Jawa umumnya, seperti daun katu (Saurapus

androgynus), kenikir (Cosmos caudatus), keningar (Cinnamomum verum),

lembayung, genjer (Limnocharis flava), kelor (Moringa oleifera), dan semanggi

(Marcilea crenata) dengan tingkat populasi yang tinggi karena karakter

lingkungan dan topografi wilayah ini sangat cocok untuk semua jenis sayuran ini.

GTBU mengenal dengan baik khasiat dan lingkungan tempat tumbuh entitas-

entitas tersebut hingga saat ini.

Di antara jenis sayur-sayuran tersebut di atas, kelor ‗marungga‘, baik daun

maupun batangnya, memiliki peran penting dalam kehidupan sosial GTBU. Selain

digunakan sebagai bahan sayur sehari-hari, daun kelor dipakai sebagai penurun

Page 58: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

135

panas badan dan penghilang luka memar, sedangkan batangnya dipakai sebagai

penolak bala. Entitas ini banyak ditemukan di pekarangan rumah penduduk.

Sementara itu, kenikir, keningar, lembayung, dan bunga turi adalah bahan sayur

urap yang dipakai dalam tumpeng serakat, selain pecel pithik. Dimilikinya

pengetahuan tentang sumber daya alam lingkungan, manfaat masing-masing jenis

sayuran, dan adanya kepercayaan tertentu tentang fungsi sayuran oleh GTBU

mempresentasikan adanya interaksi dan interdipendensi GTBU dengan

lingkungan alam dan juga pemahaman terhadap leksikon-leksikon yang mengacu

pada entitas-entitas sayuran tersebut.

(4) Keberagaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat bahasa Using

Banyak jenis tanaman obat dan bumbu yang tumbuh dengan baik di

lingkungan tempat tinggal GTBU. Dari semua kelompok tanaman obat dan

bumbu yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ada yang

dimanfaatkan bunganya, batangnya, daunnya, atau umbi/akarnya. Pada bagian ini

leksikon-leksikon tanaman obat dan bumbu dibahas dalam satu bagian, karena

beberapa jenis entitas ada yang berfungsi ganda, bisa dipakai obat dan juga bisa

dipakai bumbu, seperti kunir ‘kunyit‘, temu kunci ‘temu kunci‘, kencur

‘kencur‘, laos ‘lengkuas‘ dan sebagainya. Banyak jenis tanaman obat dan

bumbu yang tumbuh dengan baik di lingkungan tempat tinggal GTBU dan jenis

sangat beragam, demikian juga leksikon-leksikon yang merepresenitasikannya. Di

antara jenis tanaman obat yang cukup dikenal di lingkungan GTBU adalah

kelompok temu dan jenisnya dengan khasiatnya masing-masing. Tumbuhan temu

ini paling banyak tumbuh liar di kebun-kebun penduduk, namun ada pula yang

Page 59: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

136

dibudidayakannya dalam pot. Di antara jenis temu yang dikenal oleh masyarakat,

temu kunci adalah yang paling populer terutama di kalangan ibu rumah tangga

karena temu ini merupakan salah satu elemen bumbu dalam pembuatan sayur

bening, di samping kemangi dan bumbu lainnya. Sementara itu, temu cemeng dan

temu putih walaupun populasinya sedikit, namun cukup dikenal karena khasiatnya

sebagai boreh untuk bagian tubuh yang memar/bengkak karena benturan. Tabel

berikut menunjukkan beberapa nama dan jenis tanaman bumbu dan obat yang

tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang sekaligus mencerminkan

keberagaman leksikon yang mewadahinya.

Tabel 5.9

Keberagaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat

Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Temu dan

jenisnya

temu temu + -

temu cemeng temu hitam Curcuma

aeroginusa

-

temu kunir temu kunyit/kuning Curcuma

domestica

+ -

temu putih temu putih Curcuma

zedoaria

+

temu rapet temu rapat Kaempferia

rotunda

+ -

temu kunci temu kunci Kaempferia

pandurata

+ -

temu giring temu giring Curcuma

heyneana

+ -

Jenis

tanaman obat

dan bumbu

lainnya

bawang abang bawang merah Allium ceppa + -

bawang putih bawang putih Allium sativum +

bakung tumbuhan berumpun berbunga putih

yang hidup dipinggir kali yang

menyerupai sempol

Crinum asiaticum + -

bangle tumbuhan berumpun menyerupai

lengkuas yang umbinya berasa pahit

Zingiber

cassummunar

+ -

Page 60: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

137

yang dapat digunakan sebagai obat

iles-iles iles-iles Arum masculatum + -

lempuyang lempuyang Zingiber

Americana

+ -

lempuyang

wangi

lempuyang wangi Zingiber

aromaticum

+ -

lempuyang

gajah

lempuyang gajah Zingiber

zerumber

+ -

jae jahe Zingiber

officinale

+ -

kencur kencur Kaempferia

galangal

+ -

kunir kunyit Curucuma

domestica

+ -

laos lengkuas Alpina galangal + -

sempol sempol,tumbuhan seperti lengkuas,

berbunga putih dan air bunganya dapat

dipakai sebagai obat tetes mata

Hedychium

coronarium

+ -

kembang

bintang

tumbuhan berbunga putih dengan

mahkota bunga berjumlah lima

tersusun menyerupai bintang.

+ -

Adas tumbuhan bergetah yang bijinya dapat

dijadikan obat/jamu

Foeniculum

vulgare

+ -

mahkota dewa mahkota dewa + -

kemiri kemiri Aleurites

mollucana

+ -

cabe cabe jawa Piper

retrofractum

+ -

cabe merah cabe merah Capsicum

annuum

+ -

cabe rawit cabe rawit Cartamus

frutescens

+ -

pulasari pulasari Alyxia stellate + -

Jinten jintan Coleus

amboinicus

+ -

kapulaga kapulaga Amomum

cardamomum

+ -

jemukus kemukus, tumbuhan rambat jenis lada-

ladaan/ lada berekor

Piper cubeba + -

cengkeh cengkeh Syzygium

aromaticum

+ -

sambiloto sambiloto, tumbuhan yang tinggi

batang hamper sama dandaunnya

sangat pahit dan dapat dipakai obat

panas dalam

Andrographis

paniculata

+ -

sembung sembung Bumea

balsamifera

+ -

deringu jerangu, yaitu jenis rumput-ruputan

yang tumbuh dengan subur di daerah

yang lembab, akar maupaun daunnya

dapat dipakai obat boreh

Acorus calamus + -

dilem tumbuhan dengan daun berbulu halus

dan berbau harum, dipakai untuk

campuran boreh bayi

Pogostemon

cablin

+ -

Page 61: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

138

kayu putih tumbuhan yang daun dan kulit

batangnya disuling untuk bahan

minyak kayu putih

Melaleuca

leucadendra

+

kayu manis tumbuhan yang kulit batang pohonnya

berbau harum dan dipakai untuk

pemberi aroma dalam minuman atau

kue

Cinnamomum

verum

+ -

kumis kucing kumis kucing Orthosiphon

stamineus/

grandiflorus

+ -

legundi tumbuhan semak yang daunya

berwarna abu-abu keunguan yang

dapat digunakan sebagai obat pengusir

nyamuk.

Vitex trifolia + -

lidah buaya lidah buaya, tumbuhan untuk pencegah

panas dalam

Polygala

glamerata

+ -

luntas beluntas Pluchea indica + -

mangkokan umbuhan dengan daun menyerupai

mangkok dan berkhasiat untuk

menyuburkan rambut

Nothopanax

scutellarium

+ -

meniran jenis tanaman yang banyak ditemukan

di pekaranagn atau tegalan yang

dipakai untuk campuran jamu

penambah stamina

Phyllantus

urinaria/ niruri

+ -

tapak dara tumbuhan dengan bentuk bunga

menyerupai paruh burung merpati

Chataranthus

roseus

+ -

tapak liman tumbuhan yang tumbuhmenempel di

tanah dengan helai daun membentang

seperti jari-jari manusia

Elephantopus

scaber

+ -

sambung

nyawa

tumbuhan yang daunnya berkhasiat

sebagai obat untuk ‗menyambung

nyawa orang yang sudah sekarat‘

Gynura

procumbens

+ -

pecah beling pecah beling/peceh seribu Sthrobilanthes

crispus

+ -

urang-aring tumbuhan yang banyak ditemukan di

pematang atau saluran air di sawah

untuk penyuburkan rambut

Eclipta prostrate + -

sereh sereh Andropogon

citriodium

+

pule jenis tumbuhan yang getah dan kulit

pohonnya sangat pahit dan dipakai obat

Alsetonia

scholaris

+ -

teki rumput teki, jenis rumput yang akarnya

dapat dipakai boreh.

Cyperus rotundus + -

Di samping beberapa jenis temu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa

masih ada cukup banyak tanaman obat dan bumbu yang tumbuh di wilayah ini

dengan fungsi dan khasiatnya masing-masing, di samping tingkat populasinya

juga berbeda-beda. GTBU, khususnya generasi dewasa dan tua, mengetahui

dengan sangat baik ecoregion masing-masing entitas yang mana kebanyakan

Page 62: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

139

ditemukan tumbuh di lahan kering seperti di lingkungan pekarangan rumah, di

pinggir jalan, semak belukar, kebun, dan sawah kecuali sempol ‘sempol‘

(Hedychium coronarium) dan urang aring ‘urang-aring‘ (eclipta prostrate) yang

tempat tumbuhnya di lahan basah (pinggir saluran air/parit). Di samping

berdasarkan tempat tumbuhnya, GTBU juga membedakan jenis tanaman

bumbu/obat berdasarkan jenis batangnya, yaitu ada yang berbatang tegak, perdu,

rumpun, menempel di tanah atau merambat. Tanaman yang termasuk berbatang

tegak adalah pule ‘pule‘ dan cengkeh ‘cengkeh‘; sedangkan yang tergolong

tanaman berumpun, di antaranya adalah kunir ‘kunyit‘, laos ‘lengkuas‘, temu

‘temu‘, sempol ‘sempol‘, dan jae ‘jahe‘. Tapak liman ‘tapak liman‘ dan , teki

‘teki‘ tumbuh menempel di tanah. Sementara itu, sambilata ‘sambiloto‘, legundi

‘legundi‘, kumis kucing ‘kumis kucing‘ dan luntas ‘beluntas‘ di antaranya

termasuk tanaman perdu. Pengetahuann mereka tentang banyak hal terkait dengan

tumbuhan obat dan bumbu ini, tentunya disertai dengan penngetahuan tentang

leksikon-leksikon pengacunya, mencerminkan adanya interaksi dan

interdependensi mereka terhadap entitas-entitas ini, di samping keberadaannya di

lingkungan hidup GTBU yang menjadi sumber daya lingkungan itu sendiri.

(5) Keberagaman leksikon tanaman bunga bahasa Using

Dengan kondisi topografis dan geografis yang begitu ideal, Kabupaten

Banyuwangi umumnya, dan daerah lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya,

sebenarnya merupakan ecoregion yang sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai

jenis bunga, baik di wilayah dataran tinggi maupun dataran rendahnya. Namun,

pada kenyataannya, tidak banyak ditemukan tumbuhan bunga yang tumbuh, baik

Page 63: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

140

secara liar maupun yang dibudidayakan, di wilayah ini. Jikalau pun ada,

fungsinya hanya sebagai tanaman hias yang ditanam di sekitar rumah atau

bahkan tumbuh liar di semak-semak. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya

interaksi dan interdipendensi kehidupan GTBU akan bunga. Walaupun

demikian, fenomena yang berbeda terjadi pada tiga jenis bunga, seperti wangsa

‘kenanga‘ (canangium odoratum), mawar ‘mawar‘ (rosa pamascena), pecari

’cempaka‘ (michelia alba/champaka), dan sundel ’sedap malam‘ (polyanthes

tuberose). Interaksi dan interelasi GTBU dengan ketiga entitas itu cukup tinggi.

Hal ini disebabkan oleh peran penting yang disandang oleh ketiga jenis bunga ini

dalam ritual slametan dan santet. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis

bunga yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang

mendukung keberagaman leksikon BU.

Tabel 5.10

Keberagaman Leksikon Tanaman Bunga Bahasa Using

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiot

ik

pecari

putih

cempaka putih Michelia alba + -

pecari

kuning

cempaka kuning Michelia

champaka

+ -

peciring bunga gardena. Tumbuhan dengan mahkota

bunga berwarna putih dan majemuk.

Gardenia

augusta

+ -

pembang

gantil

kembang sepatu + -

kembang

merak

bunga merak, jenis bunga yang tangkai

sarinya menyerupai ekor burung merak

+ -

kembang

bojog

bunga dengan bentuk memanjang berwarna

merah seperti ekor monyet

+ -

menur bunga melati Yasminum

sambac

+ -

seruni Seruni Chrysantium

indicum

+ -

kembang

kertas

bugenfil Bougainvillea

spectabilis

+ -

Page 64: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

141

serngenge bunga matahari Helianthus

annuus

+ -

kembang

sundel

bunga sedap malam Polyanthes

tuberose

+ -

mawar bunga mawar Rosa

pamascena

+ -

pacar pacar inai Lawsonia

incernis

+ -

Tunjung teratai Nymphaea lotus + -

widuri

putih

widuri putih Calotropis

gigantean

+ -

widuri biru widuri biru Calotropis

gigantean

+ -

kembang

bacin

bunga yang baunya seperti bacin ‗kotoran

manusia‘

Amorphophallus

variabilis

+ -

kembang

bangah

bunga bangkai Raflesiaceae + -

kembang

tembelekan

bunga tembelekan Lantana camara + -

kembang

kecubung

bunga dengan bentuk mahkota seperti

terompet dan bijinya memabukkan

+ -

tikul

balung

tikul balung Vitis quan-

drangularis

+ -

pecah

beling

pecah beling Sericocalyx

crispus

+ -

kemuning kemuning Muraya

paniculata

+ -

kembang

wangsa

kenanga Canangium

odoratum

+ -

sembuja bunga kamboja Plumiera

acuminate

+ -

Di samping ketiga jenis bunga tersebut, pecari ’cempaka‘ (michelia

alba/champaka) khususnya yang berwarna putih juga memegang peranan penting

dalam kehidupan GTBU karena bunga ini merupakan salah satu elemen (selain

kembang wangsa ‘bunga kenanga‘ dan kembang sundel ‘bunga sedap malam) dari

kembang dirma 3 yang disajikan untuk ‘dijual‘ pada saat pementasan tari ritual

Seblang. 4 .

Walaupun kebutuhan akan kembang wangsa, pecari, sundel, dan mawar

cukup banyak di wilayah , namun populasi keempatnya tidak banyak sehingga

pengetahuan yang dimilki oleh GTBU tentang bunga-bunga tersebut bukan karena

Page 65: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

142

populasinya banyak, melainkan karena inetraksi mereka melalui ritual slametan.

Sementara itu, sembuja ‘kamboja‘ (plumiera acuminate) dan kembang menur

‘bunga melati‘ (yasminum sambac) juga cukup dikenal dan populasi keduanya

cukup banyak karena peran budaya yang diembannya, yakni keduanya terkait

dengan siklus hidup manusia. Sembuja ‘kamboja‘ banyak ditemukan di daerah

pekuburan yang terkait dengan kematian, sedangkan menur ‘bunga melati‘

dipakai penghias sanggul pengantin yang terkait dengan pernikahan. Peran apa

pun yang diemban oleh masing-masing bunga yang tumbuh di lingkungan tempat

tinggal GTBU, sudah pasti keberadaannya turut memperkaya keberagaman

khasanah leksikon BU yang membuatnya mungkin berbeda dengan leksikon-

leksikon bahasa daerah lainnya.

(6) Keberagaman leksikon tanaman kelapa bahasa Using

Karena kesuburannya, Kabupaten Banyuwangi menjadi tempat yang

sangat cocok untuk tempat tumbunya tanaman kelapa ‘kelapa‘ (cocos

municifera). Tanaman kelapa dapat dijumpai tumbuh di hampir semua wilayah

kabupaten ini. Kabupaten Banyuwangi merupakan penghasil kelapa terbesar di

Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:146). Ada

beberapa jenis kelapa ditemukan tumbuh di wilayah ini, seperti kelapa bunyuk,

kelapa ijo, kelapa kopyor, kelapa puyuh, dan kelapa gadhing namun dengan

tingkat populasi yang berbeda-beda.

GTBU memiliki pengetahuan yang cukup dalam terhadap entitas kelapa

tersebut. Hal ini dapat diamati dari banyaknya leksikon tentang kelapa yang

mereka kenal. Di samping leksikon tentang kelima jenis kelapa, GTBU juga

Page 66: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

143

mengenal leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman tersebut, seperti

janur ‘daun kelapa yang masih muda‘, belarak ‘daun kelapa kering‘ jeliring ‘lidi

daun kelapa‘, dan bongkok ‘tangkai daun kelapa‘. Selain jenisnya yang beragam,

GTBU khususnya juga memberikan nama-nama spesifik pada bagian-bagian

pohon kelapa. Hal ini disebabkan oleh interaksi,interelasi, dan interdepenensi

mereka yang tinggi dengan entitas ini. Tabel berikut menunjukkan keberagaman

leksikon BU tentang kelapa dan turunannya.

Tabel 5.11

Keberagaman Leksikon Tanaman Kelapa Bahasa Using

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama

Latin

Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Kelapa dan

jenisnya

Kelapa kelapa Cocos

nucifera

+ -

kelapa

bunyuk

jenis kelapa yang tidak memiliki tapuk buah atau

gundul (bunyuk ‗gundul‘)

+ -

kelapa

kopyor

jenis kelapa yang daging buahnya encer + -

kelapa

puyuh

kelapa puyuh. + -

kelapa ijo kelapa yang tapuk buahnya selalu berwarna hijau

walaupun sudah kering

+ -

kelapa

gadhing

kelapa yang kulit buahnya berwarna kuning

(gading)

+ -

Bagian-

bagian

pohon

kelapa

janur daun kelapa yang masih muda + -

belarak daun kelapa yang sudah kering + -

bongkok tangkai daun kelapa + -

jeliring lidi daun kelapa + -

pol pangkal pelepah kelapa yang masih sangat muda

dan dapat dimakan

+ -

beluluk buah kelapa yang masih sangat muda + -

bathok tempurung buah kelapa + -

belangkokan tempurung beserta serabut kelapa + -

cikilan potongan buah kelapa + -

tombong daging yang tumbuh di tengah-tengah buah

kelapa yang sangat tua dan berwarna putih

+ -

dangu tangkai buah kelapa + -

Page 67: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

144

mayang bunga pohon kelapa + -

tapas serabut pembungkus tangkai daun kelapa + -

tali papah tali terbuat dari serat pelepah daun kelapa + -

ruyung batang kelapa yang sudah ditebang dan siap untuk

bahan bangunan

+ -

Peralatan

terbuat dari

bagian

pohon

kelapa

+

Kepang anyaman silang miring terbuat dari daun kelapa + -

kisa wadah terbuat dari anyaman daun kelapa (tempat

ayam)

+ -

rinjing wadah berbentuk persegi empat terbuat dari

anyaman daun kelapa

+ -

sapu sapu + -

tepis alat untuk menepis nyamuk/lalat yang terbuat

dari ikatan lidi daun kelapa

kurih sapu kecil dan pendek terbuat ikatan lidi kelapa

untuk membersihkan wajan setelah selesai

menyangrai kopi/jagung

+ -

welit daun kelapa kering yang disusun untuk atap + -

sepet sikat yang terbuat dari serabut kelapa + -

bencorong tempurung kelapa untuk takaran beras + -

canting alat pencedok air berukuran kecil yang terbuat

dari tempurung kelapa yang diberi tangkai

+ -

siwur gayung terbuat dari batok kelapa yang diberi

tangkai

+ -

irus cedok/ sendok yang terbuat dari tempurung kelapa

untuk mengambil nasi

+ -

patar lekukan yang yang dibuat pada batang pohon

kelapa tempat injakan kaki ketika memanjat

+ -

Olahan

terbuat

buah kelapa

+ -

gulali penganan terbuat dari gula kelapa yang dimasak

hingga liat

+

koyah parutan kelapa yang disangrai + -

koprah kopra/ kelapa yang dijemur hingga kering

sebagai bahan dasar untuk minyak kelapa

+ -

sawur parutan kelapa yg diberi bumbu dan disangngrai + -

Bagian-bagian kelapa (khususnya janur,,

ruyung, dan buah kelapa

)

memiliki nilai ekonomi dan budaya yang sangat penting bagi GTBU. Secara

ekonomis, buah kelapa dan janur dapat dijual sehingga menghasilkan uang

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Kabupaten Banyuwangi

merupakan pemasok, khususnya buah kelapa untuk beberapa kabupaten kota di

Page 68: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

145

Jawa Timur, seperti Surabaya, Mojokerto, Lamongan, dan sebagainya) dan juga

buah kelapa diolah menjadi beberapa jenis penganan seperti lidrik,sawur, gulali,

dan sebagainya. Sementara itu, ruyung ‘batang pohon kelapa yang sudah

ditebang‘ dapat dijual karena merupakan bahan bangunan yang kokoh.

Di samping peran ekonomi, buah kelapa dan janur juga memiliki peran

budaya dalam kehidupan GTBU karena keterpakaiannya dalam kegiatan adat

dan budaya yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu di beberapa desa di

beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Buah kelapa dipakai sebagai

bumbu pecel pitk, salah satu sajian dalam berbagai macam upacara slametan.

Sementara itu, janur dipakai sebagai hiasan rumah dan penjor pada acara

hajatan, khususnya upacara pernikahan, di samping juga dipakai kulit ketupat.

Di samping mengenal dan meleksikalisasikan setiap bagian dari pohon

kelapa secara rinci, dengan menggunakan pengetahuan dan peralatan

tradisionalnya, GTBU juga sangat kreatif dalam menciptakan peralatan yang

terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Pada tabel di atas terlihat bahwa lebih

dari sepuluh peralatan tradisional tercipta dengan memanfaatkan bagian-bagian

dari pohon kelapa. Dari lidi kelapa tercipta tiga peralatan yang fungsinya sama

yaitu sebagai alat untuk membersihkan namun berbeda dari segi ukuran. Sapu

adalah sebuah peralatan yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa yang berukuran

genggaman tangan orang dewasa‘ untuk membersihkan lantai atau halaman

rumah ; tepis adalah alat yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa dengan ukuran

lebih kecil dari sapu untuk menepis ‗memukul‘ nyamuk/lalat atau untuk

membersihkan tempat tidur; dan welit adalah sebuah alat seperti sapu kecil dan

Page 69: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

146

pendek terbuat dari ikatan lidi kelapa untuk membersihkan wajan setelah selesai

menyangrai kopi/jagung. Dari fenomena ini tercermin interdipendensi dan

interaksi GTBU dengan entitas kelapa sangat tinggi, yang berdampak pada

keberagaman leksikon BU.

(7) Keberagaman leksikon tanaman bambu bahasa Using

Bambu yang dalam BU disebut jajang merupakan salah satu jenis

tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan mudah dan subur di daerah dataran

rendah, baik di lahan kering maupaun di lahan basah. Demikian halnya di

lingkungan tempat tinggal GTBU. Berdasarkan hasil wawancara dengan

informan kunci dan pengamatan di lapangan kurang lebih ada lima belas jenis

bambu yang ditemukan tumbuh di daerah ini, seperti jajang apus, benel, peting,

petung, gabug, kuning, cemeng, wuluh, ori, pelet, surat dan sebagainya. Ada

beberapa jenis bambu yang memegang peranan penting dalam kehidupan GTBU

khususnya, seperti jajang petung dan jajang meluwuk. Kedua jenis jajang ini

memiliki diameter batang mencapai 30 cm sehingga sering digunakan untuk

tiang rumah atau katir jukung karena kokoh dan bentuk batangnya lurus.

Sementara itu, jajang pelet banyak dibudidayakan karena jajang ini merupakan

bahan dasar barang-barang kerajinan, seperti kursi tamu, dinding rumah, dan

beberapa barang kerajinan lainnya.

Dilihat dari segi kuantitas, jajang gabug populasinya terbanyak. Jajang

ini mudah tumbuh, namun tidak memiliki nilai ekonomi kecuali untuk kayu bakar

dan tiang bendera (umbul-umbul) karena dinding ruasnya tipis dan mudah patah

(berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan Bapak Seraj, budayawan

Page 70: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

147

Using, pada 12 September 2010 di Dusun Krajan, Desa Kemiren, Kecamatan

Glagah). Keberagaman leksikon BU tentang bambu dapat dilihat dalam tabel

berikut.

Tabel 5.12

Keberagaman Leksikon Tanaman Bambu Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Bambu dan

jenisnya

Jajang bambu + -

jajang apus jenis bambu dengan batang kuat dan

lentur sehingga sangat cocok untuk bahan

pengikat.

Giganto-

chloa apus

+ -

jajang benel jenis bambu yang benar-benar bambu

karena banyak manfaatnya

+ -

jajang peting jenis bambu ini ukurannya sama dengan

jajang benel. Dinamai demikian karena

jenis bambu ini sangat ‗penting‘ untuk

bangunan rumah karena kuat.

+ -

jajang petung jajang petung adalah jajang peting

dengan ukuran sangat besar dan sering

kali dipakai untuk katir jukung

Giganto-

chloa atter

+ -

jajang gabug gabug artinya kosong atau tidak berguna.

jenis _bambu ini dipakai hanya untuk

tangkai umbul-umbul dan kayu bakar

karena dinding ruasnya sangat tipis dan

mudah patah

+ -

jajang kuning bambu kuning Bambusa

vulgaris

+ -

jajang cemeng bambu hitam + -

jajang wuluh jenis bambu yang batangnya lurus

dengan dinding ruas sangat tipis dan

warnanya tidak kuning dan tidak hijau.‘

+ -

jajang ori jenis bambu yang berduri pada batang

dan rantingnya.

Bambusa

arundine-

ceae

+ -

jajang pellet bambu yang ada colet-colet ‗tutul-tutul‘

pada batangnya

+ -

jajang surat bambu yang ada guratan-guratan atau

garis-garis pada batangnya

+ -

jajang tutul bambu dengan ada bintik-bintik pada

batangnya

Bambusa

vulgaris

+ -

jajang meluwuk jenis bambu yang ukuran batangnya

melebihi ukuran jenis bambu-bambu

lainnya baik dari segi lingkar maupun

tinggi batangnya dan banyak dipakai

tiang rumah atau katir jukung/sampan)

+ -

jajang tali bambu yang sangat alot (kuat) dan + -

Page 71: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

148

biasanya dipakai untuk tali pengikat

jajang watu bambu yang berdinding sangat tebal dan

dipakai pikulan singkek untuk

mengangkut batu.

Dendrocala-

mus strictus

+ -

jajang ampel bambu yang ditanam oleh Sunan Ampel,

atas suruhan Sunan Bonang pada saat

menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa

+ -

Bagian-bagian

batang bambu

barongan sekumpulan pangkal batang rumpun

bambu dari jenis apa saja

+ -

celumpring kelopak batang pohon bambu + -

ebung rebung/ bakal pohon bambu + -

serit bulu/duri halus pada batang/ kelopak

bambu

+ -

Peralatan

terbuat dari

batang bambu

kelakah bilah-bilah bambu yang dipakai sebagai

atap rumah

+ -

geladhag lantai terbuat dari bambu + -

irig wadah berbentu bulat yang berlubang-

lubang dibuat dari anyaman bamboo

+ -

galar bilah-bilah _bambu yang dianyam

sebagai alas dipan/tempat tidur

+ -

seseg dinding dari anyaman bambu + -

langkab anyaman bambu yang dipakai untk

dinding rumah dari bilah-bilah bambu

yang dianyam

+ -

lothek bilah-bilah kecil/tipis dari bambu + -

kemarang bakul nasi dari anyaman bambu yang

bentuk bingkai dan alasnya sama

+ -

keranjang bakul besar yang terbuat dari anyaman

bambu

+ -

kereneng keranjang kecil pembungkus buah-

buahan terbuat dari anyaman bambu

+ -

kicir bubu (anyaman bambu untuk menangkap

ikan)

+ -

nyiru alat terbuat dari anyaman bambu untuk

menampi beras

+ -

sawu tangguk penangkap ikan terbuat dari

bambu

+ -

seser jaring kecil untuk menangkap ikan di

sawah atau di parit/sungai

+ -

kukusan kukusan + -

beronjong keranjang besar dan panjang terbuat dari

anyaman bambu.

+ -

budhag wadah (bakul) besar yang terbuat dari

anyaman bambu untuk menyimpan hasil

panen (padi, kedelai, jagung, dan

sebaginya).

+ -

tumbu bakul bertutup terbuat dari anyaman

bambu untuk tempat nasi kala bepergian

+ -

tedhok wadah (tempat buah) terbuat dari + -

Page 72: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

149

anyaman bambu berbentuk segi empat

tenong wadah terbuat dari anyaman bambu

dengan bingkai rotan

+ -

golong tabung yang terbuat dari ruas-ruas

bambu untuk mengangkut air sebelum

dikenalnya jerigen atau ember plastik

+ -

katir alat penyeimbang perahu yang terbuat

dari bambu

+ -

kentongan kentongan + -

berajag bilah-bilah bambu yang ujungnya

diruncingi dan dirangkai untuk

penghalang

+ -

beranding tali yang terbuat dari sayatan-sayatan

bambu

+ -

cokop bambu yang dibelah ujungnya lalu

dianyam dipakai untuk memetik jambu

atau mangga

+ -

cantuk pangkal batang bambu yang dipakai

untuk melumatkan bumbu

+ -

singkek alat pemikul terbuat dari bilahan bambu

yang bagian depan dan belakangnya

berbentuk segitiga

+ -

penguluran galah bambu tempat manggungkan

burung aduan

+ -

Di samping menampilkan beberapa leksikon dari berbagai jenis bambu,

tabel di atas juga mengandung sejumlah leksikon tentang bagian-bagian tanaman

bambu dan peralatan yang dibuat dengan bahan dasar bambu. Tampaknya,

tanaman bambu yang melimpah menumbuhkan kreativitas GTBU dari generasi

terdahulu dalam menciptakan barang-barang baru yang memperkaya

keberagaman leksikon BU. Karena modernisasi yang melanda kehidupan GTBU,

beberapa perlengkapan yang terbuat dari bambu tidak lagi dapat ditemukan di

tengah-tengah kehidupan mereka karena fungsinya sudah tergantikan oleh

produk-produk baru yang berbahan baku logam atau plastik yang lebih praktis

penggunaannya. Misalnya, tumbu/besek, yaitu sebuah bakul bertutup terbuat dari

anyaman bambu yang digunakan sebagai wadah nasi ketika bepergian fungsinya

telah digantikan oleh rantang plastik karena lebih praktis penggunaanya,

sedangkan tenong, yaitu suatu wadah terbuat dari anyaman bambu dengan bingkai

Page 73: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

150

rotan saat ini fungsinya sudah digantikan oleh keranjang/ember plastik yang lebih

multifungsi. Demikian halnya yang terjadi pada kelat, yaitu alat pemotong dari

cabang batang bambu yang salah satu ujungnya diiris tipis, pada masa lalu dipakai

sebagai alat potong tali pusar bayi yang baru lahir, sekarang tidak lagi ditemukan

di tengah-tengan masyarakat karena sudah ada gunting sebagai penggantinya.

Sebaliknya, ada dua peralatan yang terbuat dari bambu yang masih ada dan

dipakai dalam kehidupan sehari-hari GTBU karena hampir setiap keluarga

memilikinya, yakni kemarang‘bakul tempat nasi yang terbuat dari anyaman

bambu‘ dan singkek/cingkek, yaitu alat pemikul (rumput, kayu bakar, atau hasil

sawah dan kebun lainnya) terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang

berbentuk segitiga.

Dikenalnya berbagai jenis bambu, dinamainya bagaian-bagian bambu

secara detail, dan terciptanya berbagai peralatan yang berbahan dasar bambu

mengindikasikan adanya interaksi, interelasi, dan interidependensi antara GTBU

dan lingkungannya, di samping kedalaman pengetahuan lokal mereka tentang

perbambuan.

(8) Keberagaman leksikon tanaman lain bahasa Using

Selain beberapa tumbuhan yang telah disebutkan sebelumnya, di

lingkungan tempat tinggal GTBU ditemukan pula beberapa jenis tanaman lain

dengan manfaat dan tingkat populasi yang berbeda-beda. Kelompok tanaman

yang ditampilkan pada bagian ini umumnya yang ada kaitannya secara langsung

dengan kehidupan GTBU. Misalnya , lirang ‘enau‘, bagi GTBU entitas ini

memiliki peran penting dalam kehidupan mereka. Di samping dicari niranya,

Page 74: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

151

kedhuk ‘ijuk‘ dari lirang ini diperlukan untuk menyaring air yang keluar dari

dalam tanah sebelum dialirkan ke kolam penampungan atau pancuran, sedangkan

daunnya, oleh kelompok masyarakat di daerah tertentu, dikeringkan untuk

pembukus tembakau untuk rokok. Hal yang sama juga terjadi pada penjalin

‘rotan‘ (calmus sp.). GTBU memanfaatkan penjalin untuk bingkai peralatan yang

terbuat dari bambu, seperti keranjang, tenong, tedhok, dan sebagainya, pelepah

daun dari entitas ini dulu dipakai ―mata‖ alat pemarut kelapa, sebelum fungsinya

digantikan oleh parutan yang terbuat dari besi atau logam lainnya.

Sementara itu, suruh ‘sirih (piper betle), di samping untuk perlengkapan

nginang bagi beberapa orang dewasa dan bagi hampir semua orang tua, juga

suruh kinang memiliki peran budaya, yaitu sebagai salah satu elemen dari ragi

kinang yang dipakai pada upacara slametan. Entitas ini biasanya dibudidayakan di

kebun-kebun atau di pekarangan rumah.

Tumbuhan lain yang cukup banyak populasinya dan dikenal oleh GTBU

yang hampir semuanya merupakan tumbuhan liar, yakni bungur ‘bungur‘

(lagerstoemia speciosa ) , kepuh ‘pohon kepuh‘ (bombax malaborium), kesambi

‘pohon kesambi‘ (schclechera oleosa), ketepeng kecil ‘petai cina‘ (cassia tora),

ketepeng kebo ‘lamtoro gung‘ (cassia alata), waru ‘pohon waru‘ (hibiscus

tiliaccus), dan sebagainya. Sementara itu, kelompok jati ‘pohon jati‘ (tectonia

grandis) baik jati emas ‘pohon jati emas‘ maupun jati landa ‘pohon jati belanda‘

(guazoma ulmifiola), cukup dikenal oleh GTBU karena nilai ekonomisnya tinggi

sehingga jenis ini dibudiyakan di lahan pertanian atau kebun. Tabel berikut

Page 75: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

152

menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang tumbuhan selain kelompok-

kelompok yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.

Tabel 5.13

Kelompok Leksikon Tanaman Lain Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Enau dan bagian-

bagian dari

tanaman

lirang enau Arenga

pinnata

+ -

kedhuk ijuk + -

kolang-kaling buah pohon enau + -

mancung bungkus bunga pohon enau + -

manggar tangkai bunga pohon enau + -

kawung daun enau yang dikeringkan untuk

pembungkus rokok

+ -

sodho kulit pembalut bunga mayang enau + -

Lontar dan

bagian-bagiannya

gebyong/etal pohon lontar Borassus

flabellifer

+ -

siwalan buah pohon lontar + -

Rotan dan bagian-

bagiannya

penjalin pohon rotan Calmus sp. + -

geronong puah pohon rotan + -

doni daun pohon rotan + -

Pinang dan

bagian-bagiannya

pinang pinang Areca cathecu + -

mayang bunga pinang + -

upih kelopak tangkai daun pinang + -

Kapuk dan

bagian-bagiannya

randu pohon kapuk Ceiba

pentandra

+ -

karuk bunga pohon kapuk + -

pelenteng biji kapuk + -

Asam dan bagian-

bagiannya

asem pohon asam Tamarindus

indica

+ -

tempalok buah asam setengah matang

(mengkal)

+ -

kelingsi biji asam + -

asem kamal buah asam yang diawetkan + -

godhong asem daun asam + -

Jati dan jenisnya

Page 76: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

153

jati pohon jati Tectonia

grandis

+ -

jati mas pohon jati emas + -

jati landa pohon jati belanda Guazoma

ulmifiola

+ -

Tembakau dan

jenis irisan

daunnya

bako tembakau + -

semprul irisan tembakau yang terbuat dari

daun tembakau empat daun terbawah

dan biasanya berbau apek

+ -

kerosok irisan tembakau kasar dan terbuat

dari daun tembakau sisa-sisa panen

+ -

Jenis tanaman

lainnya

bungur tumbuhan berbatang tegak yang dapat

dipakai untuk kerangka rumah

dengan bunga berwarna ungu, merah

muda atau putih

Lagerstroemia

speciosa

+ -

kepuh pohon kepuh/ randu alas Bombax

malaborium

+ -

Kesambi pohon kesambi Schleichera

oleosa

+ -

ketepeng kecil etai cina Cassia tora + -

ketepeng kebo lamtoro gung Cassia alata + -

putat pohon putat, jenis tumbuhan

berbatang tegak, pada musim tertentu

pohonny menjadi gundul karena

seleuh daunnya dimakan oleh ulat

berbulu abu-abu kekuningan

Barringtonia

spiccata

+ -

santen pohon santan , jenis tumbuhan yg

sering dipakai bahan pagar kebun

atau pekarangan

Toona sinensis + -

rau tumbuhan dengan buah sebesar bola

pingpong dan rasanya manis

+ -

weringin beringin, jenis tumbuhan berdahan

dan berdaun rindang serta berwarna

hijau tua dan beranting kecil-kecil

Ficus

benjamina

+ -

wunut bunut, jenis tumbuhan yang

menyerupai pohon beringin akan

tetapi berdaun lebih lebar

Focus indica + -

cemara pohon cemara Casuarinas

eqnisetifolia

+ -

kedawung kedaung Parkia

biglobosa

+ -

kenari kenari Canarium

commun

+ -

waru pohon waru, jenis tumbuhan berdaun

lebar yang sering digunakan untuk

makanan ternak

Hibiscus

tiliaccus

+ -

suruh sirih, jenis tanaman merambat yang

daunnya berguna untuk jamu

Piper betle + -

suruh kinang sirih untuk nginang Piper betle + -

Page 77: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

154

suruh temu ros jenis suruh dengan tulang daun saling

bertemu, daunnya dapat dipakai

untuk obat

+ -

galing sejenis tumbuhan merambat,

getahnya dapat dipakai obat serta

dunnya dapat dipakai sebagai

makanan ternak

Vitis trifolia + -

simbukan tumbuhan melilit dan daunnya berbau

busuk, dapat dipakai untuk umpan

menangkap ikan dengan

menggunakan bubu

Saprosma

arboretum

+ -

sri wangkat jenis tanaman merambat yang

daunnya dipakai untuk sayur pada

tumpeng serakat

+ -

lung-lungan leng-lengan Leucas

lavandulifolia

+ -

Di samping itu, tabel di atas juga memperlihatkan beberapa nama dan jenis

tanaman lain yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU dengan tingkat

populasi dan manfaat yang berbeda-beda. Pinang ‗pinang‘, misalnya, adalah

tanaman yang tumbuh liar yang dengan mudah dapat ditemukan karena

populasinya banyak. Secara ekonomis, tanaman ini tidak memiliki nilai, namun

secara budaya perannya cukup penting, sebagai salah satu elemen kinang8.

Ada satu fenomena menarik terjadi pada entitas yang diacu oleh leksikon

semprul. Dikaitkan dengan bako ‗tembakau‘, leksikon semprul berarti irisan

tembakau yang berbau apek yang berasal dari daun tembakau sisa. Jika dikaitkan

dengan sifat manusia semprul berarti seseorang yang dapat membuat orang lain

merasa tidak senang/jengkel.

Pembudidayaan jenis entitas tertentu, dikenalnya ecoregion beberapa jenis

entitas, dan dimanfaatkannya bagian dari entitas tertentu sebagai peralatan

tradisonal untuk memudahkan hidup mereka, mencerminkan bahwa ada saling

ketergantungan antara GTBU dan lingkungan di sekitarnya. Dari interaksi,

Page 78: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

155

interrelasi, dan interdependensi GTBU dengan lingkungannya, tercipta leksikon-

leksikon unik yang turut memperkaya khazanah leksikon BU.

2) Keberagaman leksikon fauna bahasa Using

Di samping kaya akan aneka ragam flora, Kabupaten Banyuwangi juga

kaya dengan berbagai jenis fauna. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya

berbagai jenis fauna, baik yang dipelihara maupun yang tidak dipelihara (liar).

Pengelompokan terhadap fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat

tinggal GTBU, dalam kajian ini, secara garis besar dibagi menjadi kelompok

mamalia, kelompok unggas, kelompok burung, kelompok reptil, kelompok ikan

air tawar, dan kelompok serangga. Berikut adalah uraian dari masing-masing

kelompok yang dimaksud.

(1) Keberagaman leksikon mamalia bahasa Using

Dalam hal keragaman fauna, khususnya kelompok mamalia, jumlahnya

tidak sebanyak kelompok fauna lainnya. Jenis fauna yang ditemukan hidup di

wilayah ini hampir sama dengan fauna yang hidup di wilayah Indonesia pada

umumnya. Walaupun demikian, ada keunikan dalam penamaan jenis fauna

tertentu sehingga menghasilkan leksikon-leksikon spesifik yang unik. Penamaan

pada jenis wedhus ‗kambing‘, misalnya, GTBU mengenal dan menamai wedhus

‗kambing‘ dengan sangat beragam, yang mungkin pada etnis lain tidak dikenal.

GTBU memberi nama

wedhus berdasarkan perbedaan penampilan fisik binatang ini. Misalnya,

GTBU membedakan wedhus gimbal dengan wedhus gibas berdasarkan bulunya.

Wedhus gibas berbulu lebih panjang yang selalu di-gibas-gibas-kan, sedangkan

Page 79: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

156

wedhus gimbal berbulu sedikit lebih pendek dan bentuknya seperti rambut gimbal.

GTBU juga membedakan dan memberi nama wedhus berdasarkan ukuran tubuh,

yakni wedhus yang ukuran tubuhnya kecil dinamai wedhus kacangan (disamakan

ukurannya seolah-olah sebesar biji kacang), sementara yang bertubuh besar

disebut wedhus menggala (menggala artinya utama atau besar). Wedhus kendit

dibedakan dari wedhus lainnya melalui bulu putih melingkar dipinggang yang

menyerupai ikat pinggang yang dalam BU disebut kendhit. Fenomena ini juga

mencerminkan tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan

lingkungan dan entitas yang diacu oleh leksikonnya masing-masing. Tabel

berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU terkait dengan fauna dari

kelompok mamalia.

Tabel 5.14

Keberagaman Leksikon Mamalia Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Tikus dan

jenisnya

tikus tikus + -

tikus curut tikus bermulut runcing, berbadan kecil, dan

biasanya penglihatan kabur sehingga

berjalan selalu menepi

+ -

tikus kerot tikus rumah yang biasanya menggerogoti

bagian-bagian dan perabot rumah

+ -

tikus langu tikus yang selalu mengeluarkan bau anyir

dengan ukuran tubuh kecil

+ -

tikus got tikus yang hidupnya di ‗got‘ atau comberan

dan biasanya ukuran tubuhnya lebih besar

dibandingkan dengan ukuran tubuh tikus

lainnya

+ -

Kambing dan

jenisnya

wedhus kambing + -

wedhus

gimbal

jenis kambing dengan bulu gimbal + -

wedhus

kendhit

jenis kambing yang memiliki lingkaran

putih pada pinggang yang menyerupai sabuk

(ikat pinggang).

+ -

Page 80: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

157

wedhus

kacangan

jenis kambing dengan ukuran tubuh kecil

yang diumpamakan seperti biji kacang

+ -

wedhus

menggala

jenis kambing berbadan besar dan telinga

panjang.

+ -

wedhus gibas berbulu/berambutn panjang yang sering di-

gibas-gibas’kan dan biasanya berbau apek

+ -

wedhus etawa jenis kambing hasil blasteran antara

kambing lokal dan kambing menggala

+ -

wedhus jawa kambing lokal + -

Jenis

binatang

lainnya

asu anjing Canis

familiaris

+ -

kirik anak anjing + -

jaran kuda Equus

caballus

-

kucing kucing + -

sapi sapi + -

bojog monyet Anthropoi-

dea

+ -

bantongan kera besar Macacus

synomolgus

+ -

celeng babi hutan Babyrausa + -

cuwut kera besar Macacus

synomolgus

+ -

delundheng linsang Prionodon

gracilis

+ -

garangan musang Paradoxurus

hermaphro-

ditus

+ -

kidhang kijang Muntiacus

muntjak

+ -

macan harimau Filis tigris + -

Walaupun GTBU hampir seluruhnya merupakan masyarakat Muslim, di

tengah-tengah mereka juga ditemukan populasi asu ‗anjing‘ walaupun dengan

jumlah yang sangat sedikit. Asu-asu ini dipelihara oleh mereka yang memiliki

lahan kebun untuk menjaga kebun mereka dari gangguan maling. Di samping itu,

masyarakat Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya sangat akrab dengan

leksikon asu ‗anjing‘ karena keterpakaiannya dalam umpatan ABC yang

merupakan singkatan dari asu ‗anjing‘, babi ‘babi‘,dan celeng ‗babi hutan‘.

Umpatan ini, tidaklah bersifat betul-betul mengumpat, melainkan hanya

Page 81: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

158

spontanitas di antara mereka yang akrab satu sama lain. Singodimayan (81 tahun),

budayawan Using, menjelaskan bahwa umpatan ini dulunya merupakan kode

nama pasukan gerilyawan pada saat masyarakat Banyuwangi berperang melawan

Belanda pada jaman penjajahan. Nampaknya istilah ini masih dipakai oleh

anggota masyarakat tertentu, khususnya kelompok dewasa dan tua, untuk

menunjukkan keakraban. Sementara itu mamalia lainnya, yakni sapi ‗sapi‘, kebo

‗kerbau‘, dan jaran ‗kuda‘ memiliki peran sangat penting dalam kehidupan

GTBU. Sebagai masyarakat agraris, yang masih mengolah tanah secara

tradisional, GTBU membutuhkan tenaga hewan sapi dan kerbau untuk membantu

mereka dalam mengolah tanah sawah. Sebelum pengolahan sawah dimulai, sapi

atau kerbau ini dibuatkan slametan yang ditujukan kepada para leluhur dan roh

halus agar menjaga hewan peliharaan ini dan pengolahan sawah lancar, dan hasil

panen berhasil. Hal yang sama juga dilakukan setelah musim pengolahan sawah

dan musim tanam selesai.

Sementara itu, jaran ‗kuda‘ cukup dikenal oleh GTBU karena perannya

sebagai jaran kencak pada arak-arakan pengantin atau karnaval-karnaval lainnya.

Agar kondisinya prima jaran kencak-jaran kencak ini di-jamoni secara rutin di

samping diberikan makanan yang bermutu. Sama seperti yang dilakukan terhadap

sapi dan kebo mereka, pemilik jaran kencak juga membuat slametan paling

sedikit enam bulan sekali dengan tujuan agar kuda-kuda ini dilindungi oleh

leluhur dan roh-roh halus sehingga selalu berpenampilan prima dalam setiap

karnaval yang diikutinya.

Page 82: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

159

Pengetahuan yang dimiliki GTBU tentang mamalia, interaksi, interelasi,

dan interdependensi mereka dengan beberapa mamalia merepresentasikan

kekayaan verbal GTBU dan kedalaman pengetahuan mereka terhadap sumber

daya alam karena kelompok mamalia maenjadi salah satu dari bagiannya.

(2) Keberagaman leksikon unggas bahasa Using

Hampir sama dengan di wilayah pulau Jawa lainnya, di wilayah komunitas

Using ditemukan juga hidup dan berkembang berbagai kelompok unggas beserta

jenisnya, seperti banyak ‗angsa‘, bebek ‗itik‘, bangsong ‗itik manila/mentok‘ dan

pithik ‗ayam‘ Di antara jenis unggas ini ada yang dibudidayakan, seperti pithik,

bebek, sedangkan bebek banyon ‗itik yang hidup di rawa-rawa hutan‘ dan pithik

alas ‗ayam hutan‘ adalah kelompok unggas yang hidup liar. Bebek ‘itik‘ sangat

banyak populasinya karena luasnya lahan persawahan sebagai tempat untuk

mengembalakannya. Baik bebek maupun pitik dibudidayakan lebih banyak untuk

menopang perekonomian GTBU.

Di samping nilai ekonomis yang diperankannya, unggas juga memiliki

peran kultural, khususnya pithik ‗ayam‘ yang berbulu putih dan tidak cacat. Ayam

putih mulus ini disajikan dalam bentuk pecel pithik, yang merupakan salah satu

unsur dalam beberapa upacara slametan. Tabel berikut menunjukkan

keberagaman leksikon BU tentang unggas.

Tabel 5.15

Keberagaman Leksikon Unggas Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Ayam dan

jenisnya

pitik ayam (secara umum) + -

Page 83: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

160

pitik walik ayam dengan bulu terbalik, melengkung

keluar (seperti rambut keriting)

+ -

pitik cemara ayam dengan bulu seperti daun cemara + -

bangkok ayam keturunan ayam Bangkok + -

pitik alas ayam hutan + -

bekisar ayam bekisar + -

babon induk ayam + -

sawung ayam jantan/pejantan + -

Angsa dan

jenisnya

banyak angsa

berengul anak angsa + -

Bebek dan

jenisnya

+ -

bebek itik

bebek

banyong

itik yang hidup di rawa-rawa di hutan + -

bangsong itik manila + -

Bagian-

bagian tubuh

unggas

+ -

cekeker kaki unggas

cengger jengger unggas + -

cucuk paruh unggas + -

telampik sayap unggas + -

berutu bagian ekor unggas + -

(3) Keberagaman leksikon burung bahasa Using

Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, lingkungan tempat tinggal

GTBU masih asri. Lahan persawahan dan kebun masih terbentang luas karena

sangat sedikit terjadi alih fungsi lahan. Karena keasrian lingkungannya, berbagai

kelompok burung dan jenisnya masih dengan mudah ditemukan. Akan tetapi,

jenis burung tertentu populasinya tinggal sedikit karena berbagai faktor, seperti

pemakaian pestisida untuk memberantas hama padi menyebabkan jenis bango

‗bangau‘ mati karena memakan bangkai belut atau binatang yang mati karena

pestisida yang digunakan petani. Di samping itu, perburuan terhadap jenis burung,

seperti jalak cemeng, bethet, bango, dan kacer mempunyai peran terhadap

sedikitnya populasi burung-burung tersebut.

Page 84: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

161

GTBU sangat mengenal karakter beberapa jenis burung yang hidup di

lingkungan mereka. Hal ini tercermin pada nama yang diberikan pada entitas-

entitas tersebut. Misalnya, pengetahuan mereka terhadap kelompok burung pipit

(emprit), mereka dapat membedakan yang mana emprit uban ‗burung pipit

dengan bulu putih di bagian kepala‘, dan yang mana emprit gantil ‗burung pipit

yang sarangnya bergantung di dahan pohon‘. Jenis emprit yang disebut terakhir

ini memiliki julukan emprit priyayi atau emprit sugih karena di dalam sarangnya

terdapat lapisan-lapisan yang menyerupai kasur yang empuk. Hal ini tentu turut

memperkaya khasanah leksikon kealaman BU tentang kelompok emprit dan juga

terhadap kelompok burung lainnya. Kekayaan leksikon BU tentang burung dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.16

Keberagaman Leksikon Burung Bahasa Using

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abiotik

Bango dan

jenisnya

bango bangau + -

bango kebo jenis bangau pemakan serangga yang hidup di

tubuh kerbau

Egretta alba + -

bango

thongthong

jenis bangau pemakan hewan di sawah, seerti

belut, katak, ikan kepala timah dan

sebagainya

Leptoptil

javanicus

+ -

bango

wedhus

burung bangau yang mencari makan di tubuh

kambing

Egretta ibis

intermedia

+ -

belekok jenis burung bangau bertubuh kecil Ardeola

speclosa

+ -

kuntul jenis burung bangau berbulu putih mulus dan

berkaki hitam, pemakan ikan, katak, dsb

Agretta

garzetta

+ -

Meliwis burung belibis Dendrozygn

a javanicus

+ -

Jalak dan

jenisnya

jalak burung jalak + -

jalak bali burung jalak berwarna putih, kecuali pada

bagian dada berwarna coklat muda

+ -

jalak burung jalak hitam, kecuali pada bagian + -

Page 85: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

162

cemeng kepala berwarna putih

jalak suren burung jalak yang mencari makan pada bulu

kuda yang dikuncir setelah disisir (di-suren)

+ -

Pipit dan

jenisnya

emprit burung pipit + -

emprit

uban/bodol

burung pipit dengan bagian kepala berbulu

putih (seperti orang ubanan)

+ -

emprit

gantil

burung pipit yang sarangnya bergantung

(gantil) di dahan pohon

+ -

emprit

peking

jenis pipit dengan suara yang melingking dan

pemakan serangga-serangga kecil

+ -

emprit kaji jenis burung pipit dengan bulu berwarna –

warni, yang diumpamakan seperti orang kaya

(kaji atinya harga diri/kehormatan)

+ -

Jenis

burung

lainnya

ancel-ancel

angin

jenis burung yang gerakannya seperti orang

bersetubuh. (ancel artinya besetubuh)

+ -

belkatuk burung pelatuk, jenis burung yang membuat

sarang pada batang pohon yang sudah mati

dan rapuh dengan cara mematuk-matukan

paruhnya

+ -

bence burung berkicau yang pandai menirukan

kicauan burung lain

+ -

cucak rawa cucak rawa + -

culik burung kulik-kulik, jenis burung yang keluar

mencari makan menjelang malam hari.

Chalcococyx

honorata

+ -

gemek burung puyuh, burung yang tidak berekor + -

jegug enis burung hantu bertubuh besar dengan

sorotan mata yang sangat tajam dan

bertengger seperti orang njegugu ‗jongkok‘

+ -

kukuk

beluk

jenis burung hantu dengan ukuran tubuh lebih

kecil

+ -

kacer jenis burung berkicau + -

kakak tua burung kakak tua + -

kepodang burung kepodang + -

perenjak jenis burung berkicau + -

serigunting urung seri gunting, jenis burung berbulu hitam

dan berekor panjang terbelah dua menyerupai

gunting)

+ -

seriti burung walet + -

sikatan burung sikatan + -

tinil burung tinil + -

tuwu burung tuwu- tuwu + -

alap-alap burung buas pemakan burung kecil + -

bangkrak Burung pemakan ikan, berbulu hijau berparuh

merah

Geopelia

striata

+ -

betet burung betet (jenis kakak tua bertubuh lebih

kecil berbulu hijau dan berekor panjang

+ -

gagak burung gagak Carvus

macroryncus

+ -

gedhubug sejenis elang, bertubuh besar + -

Page 86: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

163

samber

ulung

sejenis elang, bertubuh agak kecil, bermata

sangat tajam, ketika sangat ulung ketika

menyambar mangsanya

+ -

bidhol elang berjambul, pemakan reptil seperti ular + -

dara burung merpati + -

manyar burung manyar, jenis burung berkicau yang

membuat sarang pada pohon-pohon yang

berduri.

Ploceus

hypoxanthus

+ -

perkutut burung perkutut Geopelia

striata

+ -

gelatik burung gelatik, jenis burung berbulu berwarna

abu-abu kehitaman dengan hiasan merah pada

mata

Munia

oryzivora

+ -

Pengetahuan GTBU yang dalam tidak hanya terhadap kelompok emprit

saja, tetapi juga terhadap kelompok burung lainnya, seperti jalak. GTBU

mengenal dan dapat membedakan dengan baik masing-masing jenis burung ini.

Hal ini menandakan interaksi mereka dengan entitas ini berjalan denga baik pula

sehingga muncullah nama jalak putih ‗jalak yang bulunya berwarna putih di

selruh tubuhnya‘, jalak cemeng ‗jalak berbulu hitam di hampir seluruh tubuhnya

kecuali bagian dada yang berwarna putih. Sementara itu, jalak suren adalah

burung jalak yang mereka temukan mencari kutu pada bulu kuda yang disisir

(disuren). Sementara itu, penamaan terhadap burung lainnya hampir sama dengan

nama dalam BI, kecuali nama gemek ‗burung puyuh‘ yaitu sejenis burung yang

dulu ditemukan hidup liar di sawah namun sekarang banyak dibudidayakan oleh

masyarakat karena telurnya yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi.

Sementara itu, GTBU juga mengenal burung manyar, yaitu jenis burung

yang bersarang pada pohon-pohon berduri dan sekarang populasinya semakin

berkurang karena diburu untuk dijual. Beberapa anggota masyarakat menjuluki

burung ini burung arsitek karena bentuk sarangnya yang indah dan banyak bilik

untuk berkembang biak secara berkelompok. Kreativitas dalam penamanan

Page 87: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

164

beberapa jenis burung mengindikasikan tingkat interaksi yang baik dengan

lingkungan hidup burung-burung ini sehingga berdampak pada bertambahnya

keberagaman leksikon BU tentang burung.

(4) Keberagaman leksikon reptil bahasa Using

Sama seperti di wilayah Indonesia pada umumnya, di lingkungan tempat

tinggal GTBU khususnya juga ditemukan berbagai macam reptil beserta jenisnya,

namun dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Sebagai daerah pertanian

lahan basah, di wilayah ini banyak ditemukan reptil dari jenis ular dan katak.

GTBU mengenal delapan belas jenis ular dan mereka menamai ular-ular tersebut

berdasarkan perbedaan ciri fisik, warna, dan sifat. Berdasarkan warnanya, ada

ula luwuk ‗ular hijau‘ dan ula gadhung ‗ular hijau kekuning-kuningan seperti

warna kulit mangga gadung‘. Berdasarkan tempat hidupnya, ada ula sawa ‗ular

sawah‘, sedangkan nama ular berdasarkan sifat ada ula kelasa ‗bergerak

menggulung seperti kelasa tikar dan ula silara ‗kalau terinjak dia merasa lara

‗sakit‘ baru menggigit orang yang menginjaknya. Sementara itu, ula jali, ula

cinde, dan ula walur adalah nama-nama ular berdasarkan ciri fisiknya. Penamaan

ular yang sangat cermat dan kreatif sangat memperkaya leksikon BU. Tabel

berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang reptil.

Page 88: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

165

Tabel 5.17

Keberagaman Leksikon Reptil Bahasa Using

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Bioti

k

Abiotik

Kodok dan

jenisnya

bangkrak jenis katak yang kulitnya berwarna coklat dan

beracun

+ -

bangkong kodok besar -

Kentus sejenis katak + -

Ular dan

jenisnya

ula

gadhung

jenis ular dengan warna sisik hijau seperti warna

mangga gadung (tidak hijau dan tidak kuning)

+ -

ula dhawu ular dengan panjang melebihi ukuran panjang

dari ular-ular lainnya (dhawu=dhawa ‗panjang‘

+ -

ula irus ular kobra, jenis ular dengan bentuk kepala

menyerupai irus ‗sendok dari tempurung kelapa‘

Naja

sputatrix

+ -

ula jali jenis ular yang sisiknya bermotif jali, alur hitam

dengan lintang putih

+ -

ula lanang ular jantan dari ular kayu, warna ½ kuning

(kepala), dan setengah hitam (badan). Selalu

jantan

+ -

ula lumbu jenis ular yang kulitnya berbintik-bintik seperti

daun tumbuhan lumbu

+ -

ula sungu jenis ular yang memiliki sungu ‗sungut‘ atau

benjolan yang menyerupai tanduk pada kepala

+ -

ula walur jenis ular yang sisiknya ada bintik-bintik putih

yang menyerupai tumbuhan walur yaitu nama

tumbuhan yang hidup di hutan (alas).

+ -

ula welang ular yang bentuk fisiknya seperti ular jali, tetapi

ukurannya besar dan sisiknya berwarna belang-

belang

Bungarus

fusciatus

+ -

ula

gadhung

warna sisiknya hijau seperti warna mangga

gadung (tidak hijau dan tidak kuning)

+ -

ula lampar jenis ular yang sisiknya berwarna seperti lampar

‗wuluh‘ karena warna ular ini kuning seperti

buluh dijemur

+ -

ula luwuk jenis ular yang berwarna luwuk ‗hijau‘ dengan

ekor merah

+ -

ula kayu jenis ular yang warna sisiknya seperti kayu,

keabuan dan ukurannya panjang

Trimeresurus

albolabris

+ -

ula kelasa jenis ular yang bergerak dengan cara

menggelundung seperti menggulung tikar.

+

ula sawa jenis ular yang hidup di daerah persawahan dan

pemakan tikus hama padi.

+ -

ulo silara jenis ular yang kalau tidak diganggu dan tidak

merasa lara ‗sakit, tidak akan menggigit.

+ -

ula weling jenis ular yang sisik dan ukurannya hampir sama

dengan ula jali dan kalau diinjak, ular ini akan

mengingatkan (eling)kita akan kehadirannya

+ -

Page 89: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

166

dengan cara melilit sambil menggigit kaki kita.

Jenis reptil

lainnya

bajul buaya Crocodiles

porosus

+ -

nyambit biawak Valaranus

salvator

+ -

kura kura-kura Testudini-dae + -

kadal bengkarung Tachy-

dromus

seclineatus

+ -

cecek cicak Hemidactylus

frenatus

+ -

tekek tokek + -

(5) Keberagaman leksikon serangga bahasa Using

Berbagai macam fauna ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal

GTBU dan kelompok serangga merupakan kelompok fauna yang paling banyak

dari segi jenis dan jumlah. Berbeda dengan kelompok fauna lainnya, hampir

semua serangga memiliki banyak jenis sehingga khasanah leksikon yang

mengacunya juga menjadi beragam. GTBU mengenal enam jenis ulat yang

penamaannya berdasarkan beberapa hal, seperti berdasarkan efek yang

ditimbulkannya ada uler genit dan uler senggeni; dan berdasarkan ciri fisiknya

ada uler jaran, ula jembut, dan uler wulu.

Berbeda dari segi jumlah jenisnya dibandingkan dengan uler ‗ulat‘, GTBU

mengenal kurang lebih empat belas jenis dudhuk ‗capung‘ dengan berbagai latar

belakang penamaan. Ada yang diberi nama berdasarkan warnanya, seperti dudhuk

abang, dudhuk kuning; ada diberi nama berdasarkan ciri fisik, seperti duduk

edhom (ekornya runcing seperti edom ‗jarum yang ujungnya runcing‘, dudhuk

cutrik ‗capung yang sangat kurus seperti cantri/petruk), dan dudhuk macan

‗guratan kulitnya loreng-loreng seperti macan‘. Sementara itu, dudhuk cilik,

dudhuk menggala, dan dudhuk ruyung adalah nama-nama capung berdasarkan

Page 90: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

167

ukuran tubuhnya, sedangkan dudhuk maling adalah penamaan berdasarkan cara

hidupnya, yaitu keluar hanya pada malam hari seperti maling. Tabel berikut

menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang serangga.

Tabel 5.18

Keberagaman Leksikon Serangga Bahasa Using

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama

Latin

Kategori lingkungan

Biotik Abiotik

Ulat dan

jenisnya

uler ulat + -

uler geni ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa

panas seperti terbakar api

+ -

uler

senggenit

ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa

genit ‗gatal‘

+ -

uler jaran ulat yang bersungut dua, bagian badan datar

seperti sadel kuda. Ulat dewasa memiliki ekor

seperti kuda

+ -

uler wulu ulat dengan banyak bulu + -

uler

jembut

ulat yang warna bulunya hitam seperti warna

rambut

+ -

uler keket ulat yang berbulu warna-warni, kalau dipegang

mengeluarkan suara ket-ket

+ -

Capung

dan

jenisnya

dudhuk capung + -

dudhuk

cutrik

capung yg sangat kurus seperti cantrik/ petruk + -

dudhuk

edhom

capung yang ekornya seperti dom (jarum) + -

dudhuk

abang

capung merah + -

dudhuk

kuning

capung kuning + -

dudhuk

macan

capung macan, warna guratan kulitnya, loreng-

loreng spt macan

+ -

dudhuk

ruyung

capung yang warnanya seperti warna pohon

kelapa kering dengan bingkai putih

+ -

dudhuk

terasi

jenis capung yang warnanya ungu kehitaman,

seperti warna terasi

+ -

dudhuk

cilik

capung yang badannya berukuran kecil dan

hidup di atas permukaan air yang mengalir

+ -

dudhuk

gerobok

capung gajah, ukurannya paling besar, untuk

menangkapnya digunakan capung kecil, sambil

mengucapkan drok, drok, drok

+ -

dudhuk

menggala

capung besar (manggala), berwarna merah tua

dan sangat galak

+ -

dudhuk

maling

capung yg keluarnya pada malam hari seperti

maling ‗pencuri‘, makanannya berupa lemud,

+ -

Page 91: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

168

serangga kecil bertubuh lunak yang biasa

beterbangan menjelang malam.

udhuk

entelong

capung yang gerakannya entelong-entelong

‘mengendap-endap‘ di atas permukaan air

sambil membuang telurnya

+ -

Tawon

dan

jenisnya

tawon tawon + -

tawon

sruk

tawon yang bersarang di tempat yang jeru

‘dalam‘ di dalam (tanah)

+ -

tawon

kenceng

tawon yang bersarang pada reng atau langit-

langit rumah

+ -

tawon

keroso

tawon yang bentuk sarangnya seperti keroso

‗wadah terbuat dari anyaman daun kelapa

berbentuk bulat lonjong‘.

+ -

tawon

gung

tawon dengan ukuran sarang sangat besar + -

tawon

kunir

tawon yang warnanya kuning seperti kunyit

gigitannya menyebabkan gatal, dan ukuran

tubuhnya kecil

+ -

tawon

terasi/

gagak

tawon yang warnanya hitam seperti

gagak/terasi

+

tawon

macan

jenis tawon yang warna tubuhnya loreng-

loreng seperti macan

+

tawon

menggala

enis tawon yang ukuran tubuhnya paling besar

dan sangat ganas. Kalau merasa terganggu,

tawon ini akan mengejar

lawanya/pengganggunya di manapun

sembunyi

+ -

tawon

rowan

lebah madu -

Belalang

dan

jenisnya

walang belalang + -

walang

gancong

jenis belalang yang tubuhnya berbentuk pipih

seperti salah satu sisi mata gancong yaitu

sejenis cangkul yang bermata dua, yang satu

ujungnya pipih, sedangkan yang lainnya

runcing

+ -

walang

jaran

jenis belalang yang punggungnya datar

menyerupai pelana kuda

+ -

walang

kalung

jenis belalang yang memiliki lingkaran kuning

pada lehernya yang menyerupai kalung

+

walang

godhong

belalang daun, jenis belalang yang banyak

ditemukan pada daun pepohonan yang tumbuh

di semak-semak.

+ -

walang

kadhung

enis belalang yang gerakannya menyerupai

orang madhung ‗memanggul‘ kayu.

+ -

walang

kayu

jenis belalang yang berwarna abu-abu

kecoklatan seperti warna kayu

+ -

walang jenis belalang dengan ukuran tubuh kecil, + -

Page 92: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

169

watu berwarna hitam seperti batu dan hidup di air

kali-kali/sungai

walang

keretek

jenis belalang yang mengeluarkan bunyi

keretek-keretek di malam hari

+ -

walang

pari

jenis belalang yang makan daun padi sehingga

tanaman padi tidak dapat tumbuh dengan

sempurna

+ -

walang

sangit

jenis belalang yang kencingnya berbau ‗sangit‘

yang dapat menyebabkan daun padi menjadi

layu

+ -

walang

selethet

belalang yang gigitannya nyelethet + -

walang

gebog

jenis belalang yang selalu ditemukan hidup

berkelompok (gebog artinya seikat/ segulung)

+ -

Kupu-

kupu dan

jenisnya

kupu kupu-kupu + -

kupu

abang

kupu-kupu yang sayapnya berwarna merah + -

kupu ijo kupu-kupu yang sayapnya berwarna hijau + -

kupu

kuning

kupu-kupu yang sayapnya berwarna kuning +

kupu

putih

kupu-kupu yang sayapnya berwarna putih + -

kupu

cedhung

kupu-kupu bertubuh besar + -

kupu kithi kupu-kupu bertubuh kecil + -

Semut

dan

jenisnya

semut semut + -

semut

abang

semut merah Plagio-

lepsis

longipes

+ -

semut

cemeng

semut hitam -

semut

gatel

semut kecil-keci berwarna coklat kehitaman,

dan gigitannya meneyebabkan gatal

+ -

semut

geni

semut api, jenis semut yang gigitannya

menyebabkan panas seperti kena api

Tetra-

ponera

rufonigra

-

semut

angkrang

semut berjalan dengan cara melangkrang

‗merangkak‘

Occphylla

smaragina

+ -

semut

pudhak

jenis semut yang ditemukan pada pudhak

(sejenis pandan yang bunganya berbau sangat

harum) .

Topinoma

melano-

cephalum

+ -

Lalat dan

jenisnya

laler lalat + -

laler lalat rumah + -

Page 93: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

170

cemeng

laler ijo/

buyung

lalat hijau + -

Kumban

g dan

jenisnya

kuwang-

wang

kumbang kelapa + -

Kutis kumbang tahi + -

bapak

pucung

kumbang daun + -

gasir kumbang yang mengorek-ngorek tanah untuk

membuat sarang

+ -

ancruk kumbang/ serangga pemakan daun kelapa yang

masih muda, yang dapat mematikan pohon

kelapa

+ -

samber

ilen

umbang janti, sejenis kumbang bertubuh

sedang dan sayapnya berwarna hijau berkilau-

kilau.

+ -

Jenis

serangga

lainnya

-

Keremi kutu ayam yang muncul pada saat ayam

bertelur hingga menetas

+ -

lingsa telur kutu kepala + -

limpit jenis kutu yang ditemukan pada ternak + -

kala

jengking

jenis serangga yang bergerak sambil njengking

‗nungging‘

+ -

kala supit jenis serangga/kala jengking yang sepitnya

lebih besar

+ -

tumo rerangga yang hidup pada lipatan-lipatan kain

yang sudah lusuh

+ -

rengit nyamuk + -

berecung jentik-jentik nyamuk + -

pucung serangga kecil yang berwarna merah + -

angkut-

angkut

sejenis serangga yang membuat sarang dari

tanah dan menempelkan sarangnya pada

dinding bangunan atau pohon-pohon sehingga

seperti tersangkut

+ -

lare

angon

serangga yang hidup di permukaan air sawah

(banyak muncul menjelang musim tanam padi).

+ -

tengu tungau, kutu kecil yang sering ditemukan pada

ayam

-

kunang kunang-kunang + -

kengkrik jangkrik -

jekethit sejenis jangkrik dengan ukuran tubuh lebih

kecil

+ -

Di samping capung dan ulat, tabel di atas juga memperlihatkan bahwa

GTBU juga mengenal banyak jenis tawon dan belalang. Ada sembilan jenis tawon

Page 94: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

171

dan dua belas jenis belalang yang mereka kenal dengan tempat hidup dan populasi

yang berbeda-beda. Tawon kenceng adalah tawon yang banyak ditemukan

bersarang pada langit-langit rumah sangat banyak populasinya sehingga hampir

semua masyarakat dengan mudah dapat menemukannya. Sebaliknya, tawon sruk

sangat sulit ditemukan karena bersarang di dalam tanah pada kedalaman tertentu.

Sesuatu yang unik, yakni GTBU memberikan julukan tawon menggala dengan

sebutan tawon kirapa karena tawon jenis ini sangat ganas dan akan menyerang

musuhnya tanpa ―kira-kira‖, dimana pun musuhnya bersembunyi selalu dikejar

dan dapat menimbulkan kematian karena keganasan racunnya.

Sementara itu, dari kelompok belalang yang sangat dikenal adalah walang

sangit. Di samping bau kencingnya yang sangat menyengat, keterkenalan belalang

ini juga karena kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman padi yang bisa

menyebabkan petani mengalami kerugian yang sangat besar. Walaupun walang

pari juga merusak padi karena memakan daunnya, kerusakan yang ditimbulkan

tidak separah kerusakan yang ditimbulkan oleh walang sangit karena membuat

bulir padi gabug ‗kosong‘. Walang lain yang juga cukup dikenal adalah walang

kadhung, yaitu jenis belalang berkaki panjang dengan kaki depan yang selalu

dilipat seperti orang madhung ‗memikul‘ sesuatu. Belalang ini sering dipakai

mainan oleh anak-anak karena gerakan-gerakannya yang lucu.

(6) Keberagaman leksikon ikan air tawar bahasa Using

Air yang berlimpah merupakan tempat yang baik untuk berkembang

biaknya berbagai jenis ikan air tawar, baik yang dibudidayakan maupun yang

hidup liar. Fenomena ini juga terjadi di wilayah tempat tinggal GTBU terutama di

Page 95: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

172

beberapa wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Glagah dan Kabat tempat

terdapatnya banyak mata air karena GTBU sangat menjaga kelestarian mata air

ini dengan baik sesuai dengan petunjuk leluhur mereka. Untuk menunjukkan rasa

terima kasih mereka kepada leluhur dan juga kepada Tuhan karena telah

menciptakan mata air serta menjaganya untuk anak cucu, GTBU mengadakan

sebuah upacara yang dinamai Rebo Wekasan.

Banyak jenis ikan air tawar yang hidup di perairan di lingkunganan tempat

tinggal GTBU khususnya dan di Kabupaten Banyuwangi umumnya. Di antara

jenis ikan air tawar yang cukup terkenal melalui pembudidayaan karena memiliki

nilai ekonomi cukup tinggi adalah wader, sengkaring, gurame, mujaher, tombro,

lele, dan welut (Banyuwangi dalam Angka, 2009:166-170). Sementara itu, jenis-

jenis ikan yang cukup terkenal, namun tidak dibudidayakan di antaranya adalah

deleg, cokol, uceng, dan kuniran (hasil wawancara dengan informan kunci dan

pengamatan). Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BUtentang ikan

air tawar.

Tabel 5.19

Keberagaman Leksikon Ikan Air Tawar Bahasa Using

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori

lingkungan

Biotik Abioti

k

sepat ikan sepat, ikan air tawar bersisik

halus, sebagai bahan dasar ikan kering

Trichogaster

thichopterus

+ -

badher ikan wader + -

gurameh ikan gurami Osphromenus

olfa

+ -

sengkaring ikan sengkaring + -

tombro ikan tombro + -

lele lele Clarius

melanoderma

+ -

mujaher ikan mujaher Tiapia mas + -

tawes ikan tawes Puntius javanicus + -

nilem kan nila + -

Page 96: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

173

bedhul ikan bedul dan hidup di sungai + -

cokol ikan di sungai berwarna kehitaman + -

deleg ikan gabus Ophiocephalus

striatus

+ -

geruyu ketam (kepiting) yang hidup di

sungai

+ -

mendhil ikan bertubuh kecil yang ditemukan

hidup di parit-parit atau sungai

+ -

meniran ikan air tawar dengan ukuran tubuh

kecil seperti menir

+ -

telekan ikan yang ditemukan hidup di sungai

dengan warna sisik hijau kehitaman

+ -

uceng-uceng ikan uceng + -

kuniran ikan yang hidup di sungai yang badan

bagian bawah berwarna kekuning-

kuningan

+ -

welut belut Monopterus

albus

+ -

encit ikan air tawar yang warna tubuhnya

transparan

+ -

bibis ikan bibis + -

oling ikan oling + -

urang udang air tawar Crustacean + -

5.3.1.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

Berkategori Verba

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, leksikon suatu bahasa

secara keseluruhan merupakan inventaris tentang semua objek atau benda-benda,

pemikiran, kepentingan, dan aktivitas/tindakan yang dianggap penting dalam

kehidupan sebuah guyub tutur. Semua hal yang dianggap penting tersebut diberi

label atau nama dalam bahasa mereka dalam bentuk leksikon-leksikon yang

bermakna yang merepresentasikan budaya mereka. Fenomena ini juga terjadi

dalam guyub tutur GTBU.

Page 97: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

174

Leksikon kealaman BU tidak saja beragam dari jenis leksikon nominanya

tetapi, juga dari jenis leksikon verbanya. Leksikon-leksikon verba ini merupakan

rekaman dari berbagai aktivitas GTBU terkait dengan kehidupan sehari-hari dan

lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah

dengan kondisi topografis dataran tinggi dan dataran rendah yang subur dengan

air yang berlimpah serta keadaan geografis dengan curah hujan yang tinggi, tentu

sangat banyak aktivitas yang dilakukan GTBU terhadap lingkungan mereka. Hal

ini terekam dalam leksikon verba BU.

Leksikon verba pada bagian ini dikelompokkan menjadi beberapa jenis,

yakni leksikon verba BU terkait dengan aktivitas di lahan pertanian dan lahan

perkebunan, leksikon verba BU tentang aktivitas sosial, dan leksikon verba

tentang aktivitas fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang

dimaksud.

5.3.2.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang

Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun

Seperti diketahui bahwa mayoritas dari GTBU bermata pencaharian

petani khususnya petani lahan basah. Hal ini sangat sesuai dengan keadaan

topografis, letak geografis, dan kesuburan lahan di wilayah tersebut. Sangat

banyak aktivitas yan mereka lakukan di lahan pertanian maupun kebun mereka,

baik terkait dengan flora, fauna, dan lingkungan yang mereka kenal dan akrabi.

Semua aktivitas tersebut terekam dalam memori mereka dan dikodekan secara

lingual sehingga melahirkan leksikon-leksikon verba tentang lingkungan alam

yang beragam yang memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang

Page 98: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

175

membuatnya berbeda dengan BD lainnya yang ada di wilayah nusantara.Tabel

berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait dengan aktivitas

GTBU di lahan pertanian dan kebun.

Tabel 5.20

Keberagaman Leksikon Bahasa Using tentang Aktivitas

di Lahan Pertanian dan Kebun

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI

mbebeng menutup saluran air

nyirati menyirami sesuatu dengan air

mbubak memecah tanah dengan menggunakan bajak atau cangkul (setelah habis

panen)

nambaki menahan alira air ke petak sawah berikutnya

nyacal menggemburkan tanah sawah, kebun atau pekarangan dengan

menggunakan cangkul bukan bajak

ngempet menahan saluran air dengan menggunakan jerami atau benda-benda

lainnya

nggagas mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah panen dilakukan

nggebros/nggampung memanen atau mengetam padi

nggejig membuat lubang dalam tanah untuk menanam benih

nggulud meninggikan tanah sawah atau kebun (membuat gundukan)

ngileni (tentang

sawah)

mengairi sawah

mbalong menggenangi petakan-petakan sawah dengan air yang cukup dalam untuk

menunggu ditanami

melar membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering

ngeremponi meratakan tanah sawah sebelum ditanami

matun embersihkan gulma di sela-sela tanaman padi

nyebar menebar benih padi, palawija, dan sebagainya di lading atau sawah

ngurit enyemai bakal benih

nguter memindahkan benih dari tempat pembenihan ke tempat penanaman

permanent

mberubuk membuat tanah menjadi gembur

nggrujug menyirami seseuatu dengan air

ngunduh memetik sesuatu (tentang buah, bunga)

mbeseh menyayat kulit pohon

ndekung mencangkok tanaman

nderes menyadap tuak/nira dari pohon enau

ngenam menganyam sesuatu (daun kelapa, bilah-bilah bamboo)

nggepluki memebelah buah kelapa dengan kapak

ngonceti menguliti sesuatu (tentang buah)

ngorag/ngureg mengoyang-goyangkan batang pohon agar buahnya berjatuhan (tentang

pohon mangga, jambu, dsb)

majeg/nebas menaruh cairan aren (bahan gula di dalam cetakan yang terbuat dari

gelang-gelang bamboo atau daun lontar)

macaki mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak

nyumbat menguliti kelapa dengan sumbat

ngerimbas membuang kulit pohon dan membentuk kayunya menjadi balok-balok

Page 99: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

176

kayu

nyelogrok menjolok (tentang buah)

nyangkrab membersihkan pohon dari ranting-rantingnya

nanceb menanam pagar hidup untuk kebun atau pekarangan rumah

notor memotong ranting atau dahan pohon

mepe menjemur kelapa bahan kopra dengan cara menebarkannya di atas

anyaman bambu atau tikar plastik

Jikalau diperhatikan dengan saksama, tabel di atas menunjukkan bahwa

ada 20 leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dari mulai

mengairi sawah, mengolah tanahnya hingga memanen padi, seperti mbebeng

‗menutup saluran air‘, mbubak ‗memecah tanah dengan menggunakan bajak atau

cangkul setelah panen selesai‘, melar membajak tanah sawah atau kebun dala

keadaan kering‘, nyacal ‗menggemburkan tanah sawah, ladang atau pekarangan

dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘, dan seterusnya, hingga leksikon

verba nggebros/ggampung ‗memanen padi‘. Hal ini menandakan bahwa GTBU

mengodekan secara detail aktivitas-aktivitas mereka tentang pertanian khususnya

padi sehingga BU menjadi sangat kaya akan leksikon-leksikon verba tentang

pertanian yang membuatnya berbeda dengan BD lain yang guyub tuturnya tidak

bermata pencaharian petani.

Di samping memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di lahan

pertanian, tabel di atas juga memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di

lahan kebun. Dari 15 leksikon verba tentang aktivitas di lahan kebun, 6 leksikon

di antaranya terkait dengan kelapa ‗kelapa‘, seperti ngunduh ‗memetik sesuatu

(tentang buah), nggepluki ‗membelah buah kelapa dengan kapak‘ , macaki

‗mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak‘, nyumbat ‗menguliti kelapa

dengan sumbat‘, mepe ‘menjemur kelapa bahan kopra dengan cara

menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘, dan mbeseh ‗menyayat

Page 100: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

177

batang kelapa untuk dicari kayu intinya‘. Hal ini mencerminkan bahwa GTBU

memiliki interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan entitas ini. Kondisi

berbeda akan ditemukan di ecoregion yang tidak ada entitas kelapanya, sehingga

guyub tutur yang berdomisili di lingkungan tersebut tidak mengenal leksikon

verba tentang kelapa seperti yang dimiliki BU.

5.3.2.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang

Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya

Keberagaman leksikon suatu bahasa, menggambarkan keberagaman lingkungan

ragawi dan lingkungan sosial guyub tuturnya karena leksikon-leksikon suatu

bahasa merekam buah pikiran, ide-ide, aktivitas-aktivitas penting dalam

kehidupan guyub tuturnya. Demikian halnya yang terjadi dalam BU. Yang

dimaksud dengan aktivitas sosial dalam hal ini adalah segala aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat terhadap entitas fauna dan entitas-entitas lainnya yang

dilakukan di lingkungan tempat tinggal mereka, seperti leksikon verba yang diacu

oleh aktivitas berburu, mengambil air di sumur, menumbuk, hingga aktivitas

melempar. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait

dengan aktivitas sosial mereka.

Tabel 5.21

Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang

Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI

ngangsu mengambil air di sumur dengan timba

nyenggot mengambil air di sumur dengan ‗senggotan‘ (timba yang dianggkat dengan

galah)

ason-ason berburu binatang dengan menggunakan anjing (asu)

mbelor berburu babi hutan dan rusa pada malam hari dengan menggunakan lampu

sorot

nggeladag berburu binatang hutan

Page 101: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

178

ngantih memintal kapas untuk dijadikan benang

mbebek menumbuk (tentang padi atau kopi)

mbelasak memasuki wilayah yang penuh dengan tumbuhan semak beelukar

mbenem membenamkan sesuatu di abara api (tentang pisang, ketela, dsb).

mbleteti mengeluarkan isi perut hewan semblihan

mbombong menyabung ayam aduan

nyancang menambatkan binatang ternak

nyekoki/njamoni memberi jamu hewan peliharaan (tentang kuda, sapi, kerbau)

nyeruh memutihkan beras dengan cara menumbuknya kembali

ngangon mengembalakn bintang peliharaan

nggetes menumbuk kuat-kuat supaya pecah (tentang kemiri)

ngileni (tentang

jangkrik)

membuat jangkrik geli dengan menggunakan bunga rumput tertentu

medhok bertempat tinggal semetara di sawah atau di kebun selama musim panen

ngersaya bergotong royong mengerjakan tanah sawah atau kebun

majeg (tentang

hasil kebun)

membeli hasil kebun atau sawah secara borongan

nyelisir berjalan menelusuri pinggir sungai atau pantai

nyerimpung melempar dengan batang kayu

mbentuk melempar sesuatu (tentang buah-buahan) dengan batang kayu atau batu

nyerawat melemparkan sesuatu

nyuluh Mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor

Jika tabel di atas dicermati, terdapat sejumlah leksikon verba tentang

aktivitas-aktivitas, seperti berburu, memberi jamu pada hewan peliharaan,

mengambil air di sumur, menumbuk, hingga leksikon verba melempar. Untuk

leksikon verba berburu, GTBU membedakan antara leksikon verba berburu

secara umum dan berburu dengan menggunakan peralatan tertentu sehingga ada

tiga jenis leksikon verba terkait dengan aktivitas berburu, yakni nggeladag

‗berburu binatang hutan‘, ason-ason ‗berburu binatang dengan menggunakan

anjing (asu)‘, dan mbelor ‗berburu babi hutan atau rusa pada malam hari dengan

menggunakan lampu sorot‘. Fenomena serupa juga terjadi pada leksikon verba

ngangsu ‗mengambil air di sumur dengan menggunakan timba yang diangkat

dengan menggunakan tangan‘ dan nyenggot ‗mengambil air di sumur dengan

senggot (galah yang digunakan untuk mengangkat timba dengan cara

mengungkitnya‘. Semua fenomena tersebut merepresentasikan bahwa di

Page 102: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

179

lingkungan tempat tinggal GTBU ada entitas kelapa dan GTBU memiliki

pengetahuan cara mengolah dan memanfaatkan bagian-bagian dari entitas

tersebut. Demikian halnya kehadiran leksikon-leksikon verba lainnya dengan

aktivitas-aktivitas yang diacunya juga turut memberi ciri pada budaya GTBU

yang membedakan mereka dari etnis lainnya.

5.3.2.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang

Aktivitas Fauna

Lingkungan tempat tinggal GTBU merupakan lingkungan yang masih asri

karena tidak terlalu banyak alih fungsi lahan sehingga merupakan ecoregion yang

sangat bagus untuk hidupnya beberapa jenis fauna. Eksistensi dari fauna-fauna

dan juga flora tertentu di lingkungan mereka menyebabkan adanya interaksi,

interelasi, dan interelasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara

GTBU dan entitas-entitas yang ada di lingkungan tersebut, di samping mereka

memiliki pengetahuan tentang entitas-entitas tersebut. GTBU tidak saja

mengodekan aktivitas mereka terhadap alam, tetapi juga aktivitas flora, fauna,

dan alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon verba

yang mengacu pada berbagai aktivitas dari entitas-entitas yang ada di lingkungan

mereka. Pada bagian ini ditampilkan leksikon verba yang terkait dengan aktivitas

hewan, unggas dan burung, reptil dan serangga. Tabel berikut menunjukkan

keberagaman leksikon verba tentang beberapa aktivitas dari entitas-entitas yang

dimaksud.

Page 103: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

180

Tabel 5.22

Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using

tentang Aktivitas Fauna

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI

Aktivitas hewan

ngeludes menggemburkan tanah dengan moncong (tentang babi hutan)

Kedrangen berlari sambil berlompatan kesana kemari yang dilakukan oleh anak sapi

ngguyang mandi yang dilakukan oleh ternak di air atau lumpur

Ngeregeb berendam dalam kubangan lumpur yang dilakukan oleh kerbau

nyeludug menyeruduk dengan tanduk (tentang kambing)

Aktivitas unggas

dan burung

nyeker mengais-ngais tanah yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan

makanan

ngendhat berhenti bertelur sementara (tentang itik atau ayam)

ngentit bertelur di luar sarang yang sudah disediakan (tentang ayam)

keblak-keblak mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang dilakukan oleh ayam

jantan

ngokok mengeluarkan suara yang dilakukan oleh ayam betina (dilakukan sebelum

bertelur atau sedahnya)

neba hinggap secara bersamaan yang dilakukan secara bersamaan oleh

sererombolan burung di atas tanah atau dahan pohon

metingkring bertengger di atas sesuatu (tentang burung)

giblas-giblas mengepak-ngepakkan sayap agar kering

nyisil menguliti bulir padi/kacang yang dilakukan oleh tikus atau burung

nyeblak memukul-mukul dengan sayap (tentang ayam aduan)

Aktivitas

serangga

yenget menyengat

Aktivitas reptile

nyeloyor melata (tentang ular)

Karena kedekatannya dengan lingkungan alam sekitarnya, GTBU sangat

akrab dengan aktivitas binatang yang ada di sekeliling mereka. Aktivitas binatang-

binatang diverbalkan secara rinci, seperti perilaku ayam/burung. Burung/unggas

yang mengepak-ngepakkan sayap disebut keblak-keblak, jika mereka

membersihkan air dari bulu disebut nyisil, berhenti bertelur sementara disebut

ngendat, dan bertelur di luar sarang disebut ngentit. Hal ini turut memperkaya

kekayaan leksikon verba BU, khususnya tentang aktivitas fauna yang

membuatnya berbeda denagn BD lain.

Page 104: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

181

5.3.2.4 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang

Aktivitas Alam

Aktivitas yang dimaksud pada bagian ini adalah segala aktivitas yang

terjadi yang bukan dilakukan oleh manusia. Karena interaksi. interelasi, dan

interdependensi mereka dengan alam, GTBU juga mengodekan secara verbal atau

lingual aktivitas-aktivitas tersebut yang menciptakan leksikon verba yang

beragam yang mengacu pada aktivitas-aktivitas tersebut. Tabel berikut

menunjukkan keberagaman leksikon verba BU yang mengacu pada aktivitas-

aktivitas alam yang dikenal dan diakrabi oleh GTBU.

Tabel 5.23

Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using

tentang Aktivitas Alam

Leksikon BU Gloss dalam BI

ngampar-ampar menyambar-nyambar (tentang petir)

ngungkreg berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah karena gempa bumi

mencorong bersinar terang (tentang matahari)

Aktivitas alam

mberojol terlepas dari ikatannya (tentang buah atau padi)

nggerontol gugur berjatuhan (tentang buah)

nggeluntung menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari

logrog gugur berjatuhan (tentang bunga atau buah)

mekrog mekar (tentang bunga)

meldhog merekah karena kekeringan (tentang tanah)

mergodog menguning pada bagian yang sudah tua (tentang tanaman padi)

merkatak menyembul serentak (tentang buah padi)

mecukul munculnya bakal tanaman dari biji kacang-kacangan

methukul munculnya tunas dari dahan yang habis dipotong

melethek merekah karena terlalu matang/tua (tentang kulit buahbuah)

Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan secara

lingual aktivitas yang mereka lakukan sendiri terhadap lingkungannya dan

aktivitas fauna yang ada di sekitar mereka, mereka juga melakukan hal yang sama

terhadap aktivitas alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat munculnya

leksikon verba, seperti merkatak yang mengacu pada aktivitas tentang buah padi

Page 105: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

182

menyembul serentak, methukul yang mengacu pada proses keluarnya bakal

tanaman di sela-sela biji kacang-kacangan, mecukul untuk tumbuhnya tunas dari

dahan yang dipotong, dan melethik yang mengacu pada proses munculnya buah

yang merekah karena terlalu matang, dan sebagainya. Di samping itu, dalam tabel

di atas juga terlihat leksikon verba yang mengacu pada beberapa perubahan daun

tumbuhan.

5.4 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Cara

Penamaan Entitas Acuan

Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ada dua teori terkait

dengan penamaan. Teori pertama mengatakan bahwa sebuah kata berkategori

nomina yang memiliki acuan (reference). Nama juga merupakan sebuah kata yang

mengekspresikan sesuatu yang ada di dalam benda atau makna yang ada dibalik

sebuah objek. Nama merupakan label yang diberikan untuk orang, tempat,

tumbuhan, hewan, dan sebagainya yang membuatnya berbeda satu sama lain

karena nama merupakan sesuatu yang spesifik yang mengandung asumsi

pembicara sehingga seseorang yang mendengarkannya dapat mengidentifikasikan

objek atau referen yang dimaksud pembicara.

Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, ed.,1971:91-94) memberi nama objek

khususnya binatang, berdasarkan hal-hal, seperti asal, ukuran, jenis makanan,

bunyi, bentuk, warna, ekspresi wajah, dan sebagainya. Sementara itu, Verheijen

(1984:3) memberi nama pada tumbuh-tumbuhan yang ditemukan tumbuh di

wilayah Manggarai, Flores, berdasarkan nama yang terkait dengan peristiwa

sejarah, nama pinjaman (dari bahasa lain), nama aetiologis, dan nama deskripsi.

Page 106: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

183

Pada bagian ini, untuk penamaan flora dan fauna, khususnya yang

berbentuk leksikon majemuk (compound words), yang ditemukan di lingkungan

tempat tinggal GTBU diterapkan kedua model yang dikemukakan oleh kedua

ahli di atas, namun diadakan modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada

di lapangan.

5.4.1 Keberagaman Cara Penamaan Flora

Berdasarkan pengamatan dan analisis data ditemukan bahwa GTBU

menamai entitas atau objek yang berupa flora yang ada di sekeliling mereka

berdasarkan hal-hal berikut, yakni (1) penamaan secara umum, (2) penamaan

berdasarkan nama tempat, (3) penamaan berdasarkan bau, (4) penamaan

berdasarkan bentuk, (5) penamaan berdasarkan cara mengonsumsi, (6) penamaan

berdasarkan cara tumbuh, (7) penamaan berdasarkan jumlah, (8) penamaan

berdasarkan ciri fisik, (9) penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) penamaan

berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) penamaan berdasarkan persamaan

bunyi, (12) penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) penamaan berdasarkan

rasa, (14) penamaan berdasarkan sifat, (15) penamaan berdasarkan tempat

tumbuh, (16) penamaan berdasarkan ukuran, dan (17) penamaan berdasarkan

warna. Berikut adalah uraian dari masing-masing penamaan yang dimaksud.

1) Penamaan berdasarkan asal/nama tempat

Keberagaman flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU

memunculkan keberagaman leksikon flora BU yang juga disertai dengan

keberagaman nama jenis flora tersebut. Salah satu cara yang dipakai GTBU untuk

menamai beberapa jenis flora adalah berdasarkan asal/nama tempat. Di antara

Page 107: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

184

jenis flora yang dimaksud adalah: kacang cina, yaitu kacang yang dibawa oleh

pedagang-pedagang asal negeri Cina (yang dahulu terkenal dengan sebutan

Tiongkok) yang berlabuh di Pelabuhan Pasuruan. Kacang ini terbawa oleh bala

tentara Kerajaan Pasuruan pada saat menyerang Kerajaan Blambangan. Entitas

lain yang diberi nama berdasarkan asal/nama tempat adalah jenis rambutan, yakni

rambutan lebak bulus dengan ciri yaitu bulu/rambut buahnya pendek-pendek,

sedangkan rambutan aceh rambut/bulunya lebih panjang. Sementara itu, jenis

jambu yang dinamai berdasarkan asal/nama tempat adalah jambu semarang, yaitu

jambu yang waktu muda berwarna hijau dan setelah matang berwarna coklat tua.

Contoh lainnya adalah gedhang ambon, yaitu sejenis pisang dengan ukuran

cukup besar, kulit selalu berwarna hijau, baik pada saat masih mentah maupun

sesudah matang.

2) Penamaan berdasarkan bau

Banyak flora dikenal oleh masyarakat karena baunya, baik bau yang

berasal dari daun, bunga, umbi, maupun dari kulit pohonnya. Terkait dengan

penamaan flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ditemukan

bahwa ada jenis flora tertentu dinamai berdasarkan baunya yang khas. Entitas

yang dimaksud di antaranya adalah kembang bacin adalah sejenis flora yang bau

bunganya menyerupai bacin ‗kotoran manusia‘. Contoh lainnya adalah kembang

bangah ‗bunga bangkai‘, yaitu tanaman berumbi dan getahnya menyebabkan gatal

serta bunganya berbau seperti bangkai, dan pandan wangi, yaitu jenis pandan

tanpa duri yang daunnya berbau wangi. Pandan ini, secara budaya, dipakai

Page 108: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

185

campuran kembang kirim 2

dan juga sebagai pemberi aroma harum berbagai jenis

kue.

3) Penamaan berdasarkan bentuk

Ada beberapa jenis flora yang dinamai berdasarkan kemiripan bentuk

dengan objek lainnya yang bisa berupa flora, fauna atau benda-benda lainnya.

Jumlah jenis flora yang mempunyai kemiripan bentuk jumlahnya cukup banyak,

di antaranya dari kelompok buah-buahan, yakni poh endhog dan poh kotak, yaitu

jenis mangga yang penamaannya karena bentuknya lonjong seperti telur dan

hampir persegi empat menyerupai kotak. Sementara itu, dari kelompok sayur-

sayuran yang penamaannya berdasarkan kemiripan bentuk, yakni kara komak,

yaitu jenis kara yang bentuknya menyerupai tanda koma; kara pedang yaitu jenis

kara yang bentuknya mirip pedang; dan kara urang adalah jenis kara yang

bentuknya seperti udang, bungkuk dan melengkung pada bagian ujungnya.

Contoh lain dari kelompok sayur-sayuran adalah jamur kuping, yaitu jamur yang

bentunya mirip telinga manusia dan biasanya tumbuh pada batang-batang kayu

tua yang sudah lapuk, jamur wulan, yaitu jenis jamur yang bentuknya bulat dan

berwarna putih seperti bulan. Adapun contoh tanaman obat adalah kembang

bintang, yaitu jenis tanaman obat yang hidup di pinggir kali kecil bermahkota

bunga lima helai yang membentuk segi lima dan dipakai sebagai obat tetes mata

dan kumis kucing, yaitu tanaman obat berkhasiat untuk mengatasi susah buang air

kecil dengan sari bunganya menyerupai kumis kucing.

Page 109: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

186

4) Penamaan berdasarkan cara mengonsumsinya

Tidak banyak jenis flora yang dinamai berdasarkan cara mengkonsumsi

bagian-bagian dari flora tertentu. Walaupun demikian, fenomena ini tetap

berperan dalam terciptanya keberagaman leksikon lingkungan alam BU. Contoh

flora yang dinamai berdasarkan cara mengonsumsi bagian-bagiannya adalah poh

kenyut yaitu jenis mangga yang buahnya tidak terlalu besar, berserat, dan

dikonsumsi dengan cara di-kenyut ‗dihisap‘, tidak dikupas seperti lazimnya cara

mengkonsumsi buah mangga pada umumnya. Flora lain yang penamaannya juga

dengan cara ini adalah jamur gerigit, yaitu salah satu jenis jamur yang apabila

setelah diolah menjadi masakan tertentu lalu dikonsumsi dengan cara digigit

karena jamur ini cukup kenyal walaupun sudah dimasak dengan matang.

5) Penamaan berdasarkan cara tumbuh

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, ada beberapa

jenis flora yang dinamai berdasarkan cara tumbuhnya, yakni sambulan, tumpang

sari, jambu kelampok, dan jamur manuk. Sambulan adalah jenis padi lain yang

tumbuh di sela-sela jenis padi utama yang dibudidayakan petani atau padi lain

yang tumbuh di sela-sela tanaman padi utama dan tingginya melebihi padi utama.

Keberadaan padi ini dianggap mengganggu sehingga sering dicabuti. Sementara

itu, tumpang sari adalah semua jenis tanaman yang ditanam secara ‗numpang‘ di

antara tanaman utama, seperti jagung yang ditanam di sela-sela tanaman kedeleai

atau kacang hijau, atau kecipir yang ditanam di pematang sawah sesaat stelah

musim tanam sehingga berbuah bersamaan dengan padi menguning. Jambu

kelampok adalah jenis jambu yang tumbuhnya secara berkelompok dan jarang

Page 110: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

187

ditemukan terpisah dari tanaman sejenis. Hal ini terkait dengan cara berkembang

biaknya yang terjadi melalui perantara kelelawar. Entitas-entitas ini biasanya

tumbuh liar.

6) Penamaan berdasarkan jumlah

Keberagaman leksikon BU dari segi penamaan juga ditunjang oleh cara

penamaan berdasarkan jumlah buah, daun, bunga atau bagian-bagian lainnya dari

tumbuhan tersebut. Fenomena ini melahirkan leksikon baru untuk sebuah entitas

seperti yang terlihat pada penamaan salah satu jenis pisang, yakni gedhang sewu.

Pada saat berbuah, dalam satu tandannya terdapat belasan sisir pisang yang terdiri

atas puluhan biji. GTBU mengumpamakan bahwa pisang ini seolah-olah berbuah

seribu sehingga dinamakan gedhang sewu. Contoh lain untuk pengelompokan

penamaan dengan cara ini adalah tapak liman, yaitu jenis tanaman obat dengan

daun berwarna hijau tua dengan helai daun tumbuh melingkar mengelilingi batang

yang menempel rapat di atas permukaan tanah dengan jumlah seolah-olah lima.

7) Penamaan berdasarkan ciri fisik

Penamaan berdasarkan keadaan sebuah entitas yang dimaksud pada bagian

ini adalah penamaan berdasarkan ciri khusus yang dimiliki suatu entitas.

Fenomena ini terlihat pada contoh kelompok entitas, seperti pari sogel adalah

jenis padi lokal yang tidak berbulu pada setiap ujung bulirnya (gundul), jambu

menthe adalah jambu yang letak bijinya mencle ‗berada di luar daging buah, tidak

seperti lazimnya buah pada umumnya, kembang surngenge ‗bunga matahari‘

adalah jenis flora dengan bunga besar, bulat, dan selalu menghadap matahari, dan

kelapa kopyor dan mangga kopyor adalah jenis kelapa dan mangga dengan

Page 111: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

188

daging buah yang selalu kopyor ‗encer‘. Gedhang saba ‗pisang kepok‘ adalah

salah satu jenis pisang yang paling mudah ditemukan dan paling dicari di

wilayah Kabupaten umumnya karena pisang ini memiliki nilai ekonomis tinggi di

samping keterpakaiannya sebagai bahan dasar berbagai penganan, seperti keripik,

kue, naga sari, pisang goring, gethuk, dan sebagainya, sedangkan jajang ori dan

bayem eri adalah dua entitas yang dinamai berdasarkan duri yang ada pada batang

di kedua entitas tersebut. Sementara itu, jajang pelet adalah jenis bambu yang

diberi nama demikian karena ada guratan-guratan pada batangnya dan jajang

surat karena adanya guratan-guratan/garis-garis pada batangnya.

8) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi

Di samping mengungkapkan bentuk, jumlah, rasa, dan sebagainya tentang

entitas acuannya, nama juga dapat merupakan sebuah kata yang

mengekspresikan fungsi/manfaat yang diemban oleh suatu tumbuhan karena

nama merupakan label yang diberikan pada tumbuhan yang membuatnya dapat

dikenali oleh manusia untuk diidentifikasi. Ada sejumlah flora yang dinamai

berdasarkan manfaat/fungsi yang diembannya terutama bagi kehidupan manusia,

seperti jeruk purut, yaitu jeruk yang dipakai ramuan tambahan dalam obat urut

bagi GTBU yang tinggal di daerah tertentu. Contoh flora lainnya adalah jajang

watu ‗bambu batu‘ yaitu jenis bambu yang sangat kuat sehingga dipakai sebagai

bahan dasar untuk pembuatan singkek untuk mengangkut batu kali. Sementara itu,

suruh kinang adalah jenis sirih yang dipakai untuk nginang dan untuk

perlengkapan kinangan. Selanjutnya, sambung nyawa adalah jenis tanaman obat

Page 112: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

189

untuk ramuan yang diberikan kepada orang sakit (biasanya sakit parah) agar

―nyawanya tersambung kembali‖

9) Penamaan berdasarkan penemu/pemilik pertama

Di dunia internasional banyak ditemukan nama penemu sebuah objek

sama dengan nama objek itu sendiri, apakah nama gunung, pulau, tanjung,

tumbuhan, dan sebagainya. Fenomena ini juga ditemukan di tengah-tengah

GTBU. Sebagai contoh, jambu dharsono adalah salah satu jambu yang

dimiliki/diperkenalkan/ditanam pertama kali oleh Tuan Dharsono. Sementara itu,

ranbutan rapiah adalah salah satu jenis rambutan dengan rambut (duri) agak

pendek dibandingkan dengan rambutan aceh yang

diperkenalkan/ditanam/dibudidayakan pertama kali oleh Nyonya Rapiah dan

jajang ampel adalah jenis bambu dengan ruas pendek-pendek, dinding ruas tebal

dan ditanam pertama kali oleh Sunan Bonang atas perintah Sunan Ampel pada

saat penyebaran Syariat Islam di tanah Jawa.

10) Penamaan berdasarkan prsamaan bunyi

Persamaan bunyi yang dimaksud pada bagian ini adalah persamaan bunyi

konsonan atau vokal nama entitas fauna dengan bunyi konsonan/vokal leksikon

entitas yang menjadi referennya. Misalnya, bunyi til pada leksikon kembang sri

gantil ‗bunga kembang sepatu yang memiliki persamaan bunyi dengan bunga

yang sarinya intil-intil ‗sari yang bergelantungan‘, bunyi ja pada kembang

sembuja ‗bunga kamboja‘ (banyak ditanam di daerah pekuburan) memiliki

persamaan bunyi dengan puja ‗memuja‘ yang artinya bahwa sanak saudara orang

yang meninggal tetap mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar arwah orang

Page 113: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

190

yang meninggal itu dapat diterima di sisi-Nya. Demikian halnya yang terjadi pada

bunyi sa pada leksikon kembang wangsa memiliki persamaan bunyi dengan

bunyi sa pada leksikon rumangsa ‗mawas diri‘, artinya kehadiran kembang

wangsa sebagai salah satu elemen dari kembang telonxx

‗bunga tiga jenis‘ pada

upacara slametan dengan harapan agar orang yang di-slameti selalu mawas diri

agar terhindar dari marabahaya dan godaan.

11) Penamaan berdasarkan persamaan sifat

Cara penamaan berdasarkan persamaan sifat antara flora dan sifat entitas

pembanding turut memperkaya keberagaman leksikon lingkungan alam BU dan

membedakannya dengan leksikon-leksikon kealaman BD lainnya. Dinamainya

satu jenis pisang dengan gedhang welu ‗pisan belut‘ karena pisang ini akan

tumbuh subur kalau ditanam di tempat yang ada airnya seperti pinggir parit atau

kali. GTBU menyamakan sifat jenis pisang ini dengan sifat belut yang tidak bisa

hidup tanpa air. Contoh lain, yakni kembang sundel dan kembang mawar yang

dipakai dalam ritual santet. Kembang sundel berbau harum dan dapat memikat

hati orang yang menciumnya, sedangkan sundel adalah perempuan yang sering

bertingkah laku tertentu untuk memikat hati orang terutama lawan jenis. Kembang

mawar yang berwarna merah dan berbau harum dapat memikat orang yang

memandangnya. Artinya bahwa orang mengadakan ritual santet juga dapat

memikat orang yang di di-santet. Pemberian nama berdasarkan persamaan sifat

juga dapat dilihat pada entitas jati mas ‗jati emas‘ dan gedhang berlin ‗pisang

berlin‘, dan widuri putih ‗bunga widuri putih‘. Dinamai jati mas karena harganya

mahal seperti harga emas dan dinamai gedhang berlin karena ukuran buahnya

Page 114: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

191

kecil-kecil seperti berlian dan juga harganya mahal ibarat berlian (rasanya gurih

kalau diolah menjadi kripik pisang) dan penamaan terhadap jenis pisang yang

buahnya keras dan pada umumnya bentuk buahnya lurus dianggap bersifat sama

dengan kayu sehingga dinamai gedhang kayu. Sementara itu, widuri putih

‗(bunga) widuri putih‘ dipakai ramuan untuk anak yang sedang belajar berbicara

supaya bicaranya lancar seperti letupan-letupan bunga widuri kering apabila

terkena sinar terik matahari.

12) Penamaan berdasarkan rasa

Cukup banyak jenis flora yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat

tinggal GTBU dinamai berdasarkan terutama rasa buahnya dan secara kebetulan

kebanyakan penamaan model ini berasal dari kelompok buah-buahan. Poh madhu

yaitu jenis mangga yang rasanya manis seperti madu, gedhang raja nangka

adalah jenis gedhang raja yang memiliki rasa seperti rasa nangka, gedhang

kapuk, yaitu jenis pisang yang berbiji dan daging buahnya terasa empuk seperti

kapuk, jeruk manis, yaitu jenis jeruk yang rasanya manis, jamur gajih, yaitu jenis

jamur yang apabila diolah menjadi masakan rasanya gurih seperti gajih ‗lemak‘,

dan kacang usi, yaitu jenis kacang yang mengandung banyak minyak dan rasanya

empuk seperti uson ‗usus ternak‘ yang digoreng adalah contoh penamaan terhadap

entitas-entitas yang didasarkan pada rasa, serta bayem pasir, jenis bayam, apabila

dimakan rasanya seperti ada pasir.

Page 115: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

192

13) Penamaan berdasarkan sifat

GTBU mempunyai berbagai cara untuk menamai tumbuhan atau flora

yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal mereka. Di samping penamaan dengan

cara-cara di atas, penamaan berdasarkan sifat entitas yang dinamai juga dilakukan.

Hal ini dapat dilihat pada nama jajang benel ‗bambu benel‘ yaitu jenis bambu

yang benar-benar dianggap bambu karena kegunaannya yang sangat banyak dan

jajang gabug, yaitu salah jenis bambu yang hanya bisa dipakai sebagai tiang

umbul-umbul dan kayu bakar yang bagi GTBU dianggap tidak berguna (gabug

artinya kosong, tidak berguna) karena dinding ruasnya sangat tipis.

14) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh

Beda tumbuhan berbeda pula tempat tumbuhnya. Fenomena ini

menginspirasi GTBU untuk memberi nama tumbuhan tertentu berdasarkan tempat

tumbuhnya sehingga menambah keberagaman leksikon BU. Sebagai contoh,

jamur dami adalah jenis jamur yang ditemukan tumbuh di atas tumpukan jerami

atau jamur yang menggunakan media jerami untuk tumbuh. Jamur kepong adalah

jenis jamur yang banyak ditemukan tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan

bayem sapi adalah jenis bayam yang banyak tumbuh pada kotoran sapi di samping

merupakan jenis bayam yang sering dijadikan makanan sapi meskipun makanan

utamanya adalah rumput.

15) Penamaan berdasarkan ukuran

Penamaan flora yang merepresentasikan ukurannya tidak banyak

ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU jika dibandingkan dengan

karakteristik penamaan lainnya dan juga jika dibandingkan dengan jumlah sampel

Page 116: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

193

flora yang dipakai. Berdasarkan analisis data, ada tiga jenis ukuran yang

direpresentasikan oleh cara penamaan flora, yakni ukuran besar, ukuran kecil, dan

ukuran merata. Untuk penamaan ukuran besar diwakili oleh entitas gedhang

agung dan ketepeng kebo. Gedhang agung adalah salah satu jenis pisang yang

ukuran buahnya jauh melebihi ukuran pisang pada umumnya yang jumlah sisirnya

dalam satu tandan dua atau tiga dan ketepeng kebo yang dalam BI disebut lamtoro

gung adalah jenis lamtoro yang buahnya lebih besar dibandingkan dengan

ketepeng (cilik) ‗petai cina‘ yang ranting beserta daunnya digunakan untuk

makanan ternak. Sementara itu, contoh entitas flora yang mengacu pada ukuran

kecil adalah menir, meniran, dan bayem menir. Menir adalah butiran beras

berukuran kecil yang didapat pada saat penyosohan beras; meniran adalah jenis

tumbuhan berdaun dan berbuah kecil-kecil yang diumpamakan sebesar menir; dan

bayem menir adalah jenis bayam yang tumbuh liar di pekarangan rumah atau

tegalan yang ukuran daunnya sangat kecil. Selanjutnya itu, sambilata ‗sambiloto‘

adalah jenis tanaman dengan daun berasa sangat pahit yang dinamai karena tinggi

batangnya merata yang biasanya ditemukan tumbuh di semak-semak atau

pekarangan rumah.

16) Penamaan berdasarkan warna

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, banyak tumbuhan

yang dinamai berdasarkan warna dari entitas-entitas tersebut. Tumbuhan-

tumbuhan yang dimaksud di antaranya adalah ketan cemeng, temu cemeng,

gedhang ijo, kelapa ijo, kacang ijo, kara ijo, ketan putih, temu putih, kara putih,

labu putih, labu kuning, jajang kuning, temu kuning, labu abang, duren abang,

Page 117: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

194

turi abang, kara abang, dan sebagainya. Semua entitas di atas diberi nama sesuai

dengan warnanya. Di samping itu, ada penamaan berdasarkan warna yang mirip

dengan warna entitas lainnya, seperti kembang tembelekan, yaitu bunga yang

berwarna hitam seperti kotoran ayam yang warnanya hitam dan kemuning, yaitu

jenis tumbuhan yang daunnya apabila digerus akan berubah menjadi kuning.

Jikalau cara penamaan flora yang hidup di lingkungan tempat tinggal

GTBU diklasifikasikan maka akan terlihat seperti tabel berikut.

Tabel 5.24

Keberagaman Cara Penamaan Flora Acuan

Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

Leksikon BU Cara Penamaan Flora 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

rambutan lebak

bulus

+ + - - - - - - - - - - - - - - -

gedhang ambon + + - - - - - - - - - - - - - - -

ranbutan aceh + + - - - - - - - - - - - - - - -

jambu semarang + + - - - - - - - - - - - - - - -

kembang bacin + - + - - - - - - - - - - - - - -

kemabang bangah + - + - - - - - - - - - - - - - -

pandan wangi + - + - - - - - - - - - - - - - -

poh endog + - - + - - - - - - - - - - - - -

kara komak + - - + - - - - - - - - - - - - -

jamur kuping + - - + - - - - - - - - - - - - -

kembang bintang + - - + - - - - - - - - - - - - -

kumis kucing + - - + - - - - - - - - - - - - -

poh kenyut + - - - + - - - - - - - - - - - -

jamur gerigit + - - - + - - - - - - - - - - - -

sambulan + - - - - + - - - - - - - - - - -

tumpang sari + - - - - + - - - - - - - - - - -

jambu kelampok + - - - - + - - - - - - - - - - -

gedhang sewu + - - - - - + - - - - - - - - - -

tapak liman + - - - - - + - - - - - - - - - -

pari sogel + - - - - - - + - - - - - - - - -

jambu menthe + - - - - - - + - - - - - - - - -

kelapa kopyor + - - - - - - + - - - - - - - - -

bayem eri + - - - - - - + - - - - - - - - -

jajang pellet + - - - - - - + - - - - - - - - -

jeruk purut + - - - - - - - + - - - - - - - -

jajang watu + - - - - - - - + - - - - - - - -

suruh kinang + - - - - - - - + - - - - - - - -

sambung nyawa + - - - - - - - + - - - - - - - -

jambu dharsana + - - - - - - - - + - - - - - - -

rambutan rapiah + - - - - - - - - + - - - - - - -

jajang ampel + - - - - - - - - + - - - - - - -

sri gantil + - - - - - - - - - + - - - - - -

Page 118: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

195

Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan nama tempat, (3) Penamaan

berdasarkan bau, (4) Penamaan berdasarkan bentuk, (5) Penamaan berdasarkan cara

mengkonsumsi, (6) Penamaan berdasarkan cara tumbuh (7) Penamaan berdasarkan jumlah, (8)

Penamaan berdasarkan cirri fisik, (9) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) Penamaan

berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) Penamaan berdasarkan persamaan bunyi, (12)

Penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) Penamaan berdasarkan rasa (14) Penamaan

berdasarkan sifat, (15) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh, (16) Penamaan berdasarkan ukuran,

dan (17) Penamaan berdasarkan warna.

Keberagaman cara penamaan di atas, di samping mengindikasikan

kedalaman pemahaman dan pengetahuan GTBU terhadap sumber daya

lingkungan alam, fenomena tersebut juga menandakan adanya interaksi dengan

entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut yang turut dapat

memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU, khususnya tentang flora.

kembang sembuja + - - - - - - - - - + - - - - - -

kembang wangsa + - - - - - - - - - + - - - - - -

gedhang welut + - - - - - - - - - - + - - - - -

gedhang berlin + - - - - - - - - - - + - - - - -

jati mas + - - - - - - - - - - + - - - - -

widuri putih + - - - - - - - - - - + - - - - -

gedhang raja

nangka

+ - - - - - - - - - - - + - - - -

jeruk manis + - - - - - - - - - - - + - - - -

jamur gajih + - - - - - - - - - - - + - - - -

kacang usi + - - - - - - - - - - - + - - - -

ajang benel + - - - - - - - - - - - - + - - -

jajang gabug + - - - - - - - - - - - - + - - -

jamur dami + - - - - - - - - - - - - - + - -

jamur kepong + - - - - - - - - - - - - - + - -

bayem sapi + - - - - - - - - - - - - - + - -

menir + - - - - - - - - - - - - - - + -

meniran + - - - - - - - - - - - - - - + -

bayem menir + - - - - - - - - - - - - - - + -

gedhang agung + - - - - - - - - - - - - - - + -

ketepeng kebo + - - - - - - - - - - - - - - + -

sambiloto + - - - - - - - - - - - - - - + -

ketam cemeng + - - - - - - - - - - - - - - - +

gedahing ijo + - - - - - - - - - - - - - - - +

duren abang + - - - - - - - - - - - - - - - +

kembang

tembelekan

+ - - - - - - - - - - - - - - - +

jajang kuning + - - - - - - - - - - - - - - - +

Page 119: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

196

5.4.2 Keberagaman Cara Penamaan Fauna

Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di Kabupaten

Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya hidup

berbagai jenis fauna. Keberagaman jenis fauna disertai juga keberagaman

leksikon yang diacunya karena adanya keberagaman cara penamaan yang

dilakukan oleh GTBU. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan

ditemukan bahwa ada sebelas cara penamaan terhadap fauna yang hidup di

wilayah ini. Berikut adalah uraian dari masing-masing cara penamaan fauna yang

dimaksud.

1) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan

Oleh karena adanya interaksi dengan biota yang ada di lingkungan mereka,

maka manusia dapat mengetahui ada tidaknya binatang tertentu di sekeliling

mereka karena bau yang dikeluarkan oleh binatang tersebut yang berfungsi untuk

mempertahankan diri dari musuh-musuhnya, seperti racun yang ada pada

serangga. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan

bahwa tikus langu dan walang sangit adalah jenis mamalia dan serangga yang

diberi nama berdasarkan bau yang dikeluarkannya. Tikus langu adalah jenis tikus

yang kencingnya berbau langu ‗tidak sedap‘. Sementara itu, walang sangit adalah

jenis belalang yang kencingnya yang sangit. Jenis belalang ini biasanya

menyerang padi yang baru berbuah dan jikalau kencing belalang mengenai bulir

padi maka dapat menyebabkan bulir-bulir padi tersebut menjadi gabug ‗kosong‘.

Jika serangan dari belalang-belalang ini pada daerah cukup luas maka

menimbulkan kerugian pada petani.

Page 120: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

197

2) Penamaan berdasarkan ciri fisik

Beragam nama dan leksikon muncul karena keberagaman penamaan

berdasarkan ciri fisik. Ciri fisik yang dimaksud dalam hal ini adalah ciri khusus

yang ditemukan pada entitas fauna yang dibandingkan dengan sesuatu yang

ditemukan pada objek lain atau di lingkungan sekitarnya. Di antara jenis fauna

yang diberi nama berdasarkan ciri fisiknya, yakni dudhuk dom, kala supit, kul

buntet, samber ilen, ula cinde, wedhus gimbal, dan wedhus kendit. Dudhuk dom

adalah jenis capung bertubuh kurus, berekor runcing seperti dom ‗jarum‘,

berwarna ungu tua dan biasanya ditemukan di sekitar sungai atau parit. Kala supit

adalah sejenis serangga yang menyerupai kala jengking bersumpit lebih besar dan

ditemukan hidup di sawah. Kul buntet adalah jenis siput yang berukuruan kecil,

berkulit warna hijau kehitaman, dan tidak memiliki lubang (bunthet). Samber ilen

adalah serangga jenis kumbang kecil dengan sayap berwarna mingkilap (ilen) dan

sering ditemukan di sekitar rumah. Ula cinde adalah sejenis ular berbisa berwarna

hijau keabu-abuan yang memiliki lingkaran kuning di lehernya yang menyerupai

kalung (cinde). Sementara itu, wedhus gimbal ‗biri-biri‘ adalah jenis kambing

bertubuh sedang dan berbulu gimbal, dan wedhus kendit adalah jenis kambing

bertubuh sedang dan kebanyakan berbulu putih dengan lingkaran putih pada

bagian pinggang yang menyerupai sabuk.

3) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan

Banyak cara makhluk hidup untuk bergerak dari satu tempat ke tempat

lainnya. Berbeda makhluk berbeda pula cara bergeraknya. Misalnya, kebanyakan

jenis burung bergerak dengan cara terbang, seperti burung perkutut, burung

Page 121: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

198

elang, burung pipit, dan sebagainya. Sementara itu, kebanyakan jenis reptil

bergerak dengan cara melata. Cara bergerak hewan-hewan yang hidup di

lingkungan tempat tinggal mereka menginspirasi GTBU untuk memberi nama

hewan-hewan tersebut berdasarkan gerakan mereka. Nama-nama hewan yang

diberi nama berdasarkan gerakannya, yakni wedhus gibas, manuk ancel-ancel

angin, dudhuk enthelong, kala jengking, semut angkrang, ula kelasa, dan walang

kadhung. Dudhuk enthelong adalah jenis capung yang berwarna kuning muda

dengan gerakan encelong-enchelong ‗mengendap-endap‘. Jikalau musim bertelur

tiba, gerakan ini biasanya dilakukannya sambil membuang telur. Kala jengking

adalah sejenis serangga yang berbisa dengan gerakan njengking ‗menungging‘.

Semut angkrang adalah jenis semut yang bergerak dengan cara ngangkrang

‗merangkak‘. Ula kelasa adalah jenis ular yang bergerak untuk mengelabui musuh

dengan cara menggulungkan tubuh seperti orang menggulung kelasa ‗tikar

pandan‘. Sementara itu, walang kadhung adalah jenis belalang yang memiliki

gerakan seperti orang madhung ‗menggotong‘ kayu.

4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri

Ada banyak cara yang dilakukan binatang untuk mempertahankan diri atau

menundukkan musuh-musuhnya. Gajah, misalnya, mempertahankan diri melalui

kekuatan fisik dan belalainya, sedangkan harimau mempertahankan diri melalaui

gigi yang tajam. Sementara itu, reptil tertentu, seperti ular mempertahankan diri

dengan bisa/racun dan belitan yang mematikan, sedangkan dengan warna tubuh

yang berubah-ubah merupakan cara memepertahankan diri yang dilakukan oleh

bunglon. Fenomena ini memberi inspirasi kepada GTBU untuk

Page 122: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

199

menciptakan/memberi nama serangga tertentu berdasarkan efek yang ditimbulkan,

di antaranya uler geni, uler senggenit, semut geni, semut gatel, ula silara, dan ula

weling. Uler geni dan semut geni adalah jenis ulat dan semut yang masing-masing

bulunya dan gigitannya membuat orang merasa kepanasan seperti kena api.

Sementara itu, uler senggenit dan semut gatel adalah juga jenis ulat dan semut

yang masing-masing bulunya dan gigitannya dapat membuat orang merasa gatal.

Dari kelompok reptil, ada dua jenis ular yang dinamai oleh GTBU

berdasarkan efek yang ditimbulkan, yakni ula silara dan ula weling. Ula silara

adalah jenis ular yang kalau tidak merasa tersakiti (lara), tidak akan menggigit.

Sebaliknya, kalau tersakiti, misalnya terinjak, ular ini akan menggigit. Demikain

juga yang terjadi pada ula weling, yaitu jenis ular yang dapat melilit sambil

menggigit untuk mengingatkan (eling) musuhnya agar tidak mengganggunya.

5) Penamaan berdasarkan bersamaan/kemiripan bentuk fisik

Ada beberapa fauna dari kelompok serangga yang dinamai berdasarkan

kemiripan atau persamaan bentuk dengan entitas tertentu walaupun jumlahnya

tidak banyak. Entitas-entitas yang dimaksud adalah ula irus, uler jaran, tawon

keroso, dan walang jaran. Ula irus ‗ular kobra‘ adalah jenis ular yang dalam

keadaan tertentu, bentuk kepalanya menyerupai irus ‗sendok yang terbuat dari

tempurung kelapa‘. Uler jaran adalah sejenis ulat bersungut dua (menyerupai

telinga kuda), leher berwarna hitam, bagian punggung datar seperti pelana/sadel

kuda, dan ulat dewasa memiliki ekor. Tawon keroso adalah jenis tawon yang

bentuk sarangnya seperti keroso, wadah berbentuk bulat yang terbuat dari

anyaman daun kelapa yang pada zaman dulu dipakai untuk menaruh periuk nasi

Page 123: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

200

atau sayur di dapur dan sarang tawon ini biasanya ditemukan menempel pada

cabang pohon yang cukup besar. Sementara itu, walang jaran adalah jenis

belalang yang tubuhnya hampir persegi empat dengan punggung datar menyerupai

pelana kuda.

6) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak banyak jenis fauna yang

dinamai karena persamaan sifat dengan entitas lainnya dibandingkan dengan cara

panamaan lainnya. Walaupun demikian, berdasarkan analisis data, ada dua jenis

entitas yang dinamai berdasarkan sifat/tingkah laku entitas tersebut, yakni dudhuk

maling dan emprit kaji. Dudhuk maling adalah jenis capung yang memiliki sifat

seperti maling, yakni keluar mencari makan pada saat hari mulai gelap. Emprit

kaji adalah salah satu jenis burung pipit yang bulunya berwarna-warni yang

mencari makan di pohon-pohon yang berupa semut atau ulat-ulat kecil. Nama kaji

diberikan karena, menurut GTBU, bagian bawah dari sarang burung ini terdiri atas

lapisan-lapisan yang menyerupai kasur empuk milik seorang kaji, yaitu seseorang

yang bergelar haji yang kaya, memiliki status sosial tinggi, dan terhormat.

7) Penamaan berdasarkan suara yang dikeluarkan

Hampir sama dengan cara penamaan berdasarkan tempat mencari makan,

berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, cara penamaan suatu

entitas berdasarkan suara yang dikeluarkannya juga sangat sedikit. Entitas-entitas

yang dinamai berdasarkan suara yang dikeluarkannya, yakni uler keket dan

walang keretek. Uler keket adalah jenis ulat yang biasanya hidup di daun pisang

dan apabila merasa terganggu akan mengeluarkan suara ket-ket-ket, sedangkan

Page 124: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

201

walang keretek adalah jenis belalang yang biasanya hidup di pohon-pohon kayu di

hutan dengan ukuran tubuh cukup besar dan suara yang keras terutama pada

malam hari.

8) Penamaan berdasarkan tempat hidup

Beberapa hewan atau serangga yang penamaannya berdasarkan tempat

hidup hanya dapat ditemukan pada lingkungan tertentu saja. Misalnya, jenis

belalang banyak ditemukan pada tumbuhan berjenis rumput-rumputan, serangga

jenis kumbang pada umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan yang berbunga,

dan sebagainya. Terkait dengan penamaan berdasarkan tempat hidup hewan,

GTBU memberi nama beberapa hewan berdasarkan tempat hidup mereka, seperti

semut pudhak, tawon sruk, ula sawa, walang godhong, walang kayu, dan walang

pari. Semut pudhak adalah jenis semut yang banyak ditemukan pada bunga

pandan pudhak, yang berbau wangi dan airnya berasa manis. Tawon sruk adalah

jenis tawon berwarna hitam dengan pantat kuning yang bersarang di dalam tanah

yang sruk atau jeru ‗dalam‘. Ula sawa adalah jenis ular yang ditemukan hidup di

sawah-sawah dan memakan tikus sebagai hama pemakan batang dan buah padi,

sehingga ular ini dianggap sahabat petani karena membantu petani membasmi

hama tikus. Sementara itu, walang godhong, walang kayu, dan walang pari

adalah jenis belalang yang masing-masing ditemukan hidup pada dedaunan,

batang-batang kayu, dan daun-daun padi. Jenis belalang yang disebutkan terakhir

ini dapat menimbulkan kerugian pada petani karena serangga ini memakan daun

padi.

Page 125: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

202

9) Penamaan berdasarkan tempat mencari makan

Di samping cara-cara penamaan yang telah disebutkan sebelumnya,

penamaan berdasarkan tempat mencari makan dari entitas tertentu adalah cara

penamaan lainnya. Jumlah entitas yang dinamai berdasarkan model ini sangat

sedikit, yakni bango kebo, bango wedhus, dan jalak suren. Bango kebo adalah

salah satu dari jenis burung bangau yang hinggap pada punggung kerbau untuk

mencari kutu atau serangga lainnya yang menempel pada badan hewan peliharaan

tersebut. Sementara itu, bango wedhus adalah jenis bangau pemakan kutu atau

serangga lainnya yang menempel pada hewan kambing, sedangkan jalak suren

adalah salah satu jenis dari beberapa jenis burung jalak pemakan kutu atau

serangga lainnya yang hidup pada kuncir kuda yang disisir (di-suren). Penamaan

dengan cara ini turut memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU,

khususnya tentang serangga.

10) Penamaan berdasarkan ukuran

Fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU

memiliki ukuran beragam, dari yang paling besar, seperti sapi ‗sapi‘ atau kebo

‘kerbau‘ hingga yang paling kecil, seperti semut ‗semut‘ atau rengit ‗nyamuk‘.

Berdasarkan keberagaman ukurannya ini, GTBU memberi nama beberapa jenis

fauna berdasarkan ukuran badan atau sesuatu yang terkait dengan entitas tersebut,

seperti dudhuk kacangan, wedhus kacangan, dan dudhuk menggala, wedhus

menggala, dan tawon menggala. Dudhuk kacangan dan wedhus kacangan adalah

jenis capung dan kambing yang tubuhnya berukuran lebih kecil dari ukuran tubuh

kambing pada umumnya. Dudhuk menggala, wedhus menggala, dan tawon

Page 126: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

203

menggala adalah masing-masing jenis capung dan kambing yang memiliki

ukuran tubuh paling besar (manggala artinya utama). Sementara itu, tawon

menggala adalah jenis tawon yang berukuran paling besar dari segi sarang.

Beberapa GTBU menjuluki jenis tawon ini dengan tawon kirapa artinya tawon

yang tidak pernah pandang bulu terhadap lawannya karena keganasan serangan

dan sengatannya yang dapat mematikan lawan-lawannya. Dengan cara penamaan

seperti ini, membuat leksikon lingkungan alam BU menjadi unik dan berbeda dari

leksikon BD lainnya.

11) Penamaan berdasarkan warna

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan cukup banyak jenis

fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU yang diberi

nama berdasarkan warnanya. Beberapa jenis fauna yang dimaksud, di antaranya

adalah dudhuk kuning, dudhuk ruyung, kupu ijo, kupu kuning, laler ijo, laler

cemeng, semut cemeng, ula gadhung, ula kayu, ula luwuk, dan sebagainya.

Dudhuk kuning ‗capung kuning‘ adalah jenis capung yang berwarna kuning dan

biasanya ditemukan hidup di daerah persawahan, khususnya pada saat padi

berumur satu bulan. Dudhuk ruyung adalah jenis capung yang berwarna coklat tua

menyerupai warna ruyung ‗pohon kelapa yang dipakai untuk kayu bangunan

rumah. Kupu ijo dan kupu kuning adalah jenis kupu-kupu yang masing-masing

berwarna hijau dan kuning yang banyak ditemukan di daerah kebun atau daerah

yang banyak semak-semak yang berupa tanaman perdu. Laler ijo atau buyung

‗lalat hijau‘ adalah jenis lalat yang ditemukan hinggap pada sesuatu yang berbau

busuk. Laler cemeng ‗lalat hitam atau lalat rumah‘ adalah jenis lalat yang

Page 127: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

204

ditemukan di lingkungan rumah dengan populasi paling banyak di antara semua

jenis lalat. Ula gadhung ‗ular gadhung‘ adalah jenis ular yang berwarna hijau

muda seperti kulit mangga gadhung yang ditemukan hidup melilit di dahan-

dahan pohon. Ula kayu ‗ular kayu‘ adalah jenis ular yang berwarna seperti kulit

pohon kayu dan ditemukan hidup pada batang-batang kayu dan ula dhawuk ‗ular

hijau (dhawuk) adalah jenis ular yang warnanya lebih tua, bisa/racunnya lebih

membahayakan dan ukuran tubuh lebih besar dari ula gadhung. Jika cara

penamaan fauna dalam BU disajikan dalam bentuk tabel, akan terlihat seperti

tabel berikut.

Tabel 5.25

Keberagaman Cara Penamaan Fauna Acuan

Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using

Leksikon BU Cara Penamaan Fauna 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

tikus langu + + - - - - - - - - - -

walang sangit + + - - - - - - - - - -

dudhuk dom + - + - - - - - - - - -

kala supit + - + - - - - - - - - -

kul buntet + - + - - - - - - - - -

samber ilen + - + - - - - - - - - -

ula cinde + - + - - - - - - - - -

wedus kendit + - + - - - - - - - - -

dudhuk enthelong + - - + - - - - - - - -

kala jengking + - - + - - - - - - - -

semut angkrang + - - + - - - - - - - -

tikus celurut + - - + - - - - - - - -

ula kelasa + - - + - - - - - - - -

walang kadung + - - + - - - - - - - -

uler geni + - - - + - - - - - - -

uler senggenit + - - - + - - - - - - -

semut geni + - - - + - - - - - - -

semut gatel + - - - + - - - - - - -

ula silara + - - - + - - - - - - -

ula weling + - - - + - - - - - - -

ula jaran + - - - - + - - - - - -

tawon keroso + - - - - + - - - - - -

walang jaran + - - - - + - - - - - -

dudhuk maling + - - - - - + - - - - -

emprit kaji + - - - - - + - - - - -

uler keket + - - - - - - + - - - -

Page 128: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

205

walang keretek + - - - - - - + - - - -

semut pudak + - - - - - - - + - - -

tawon sruk + - - - - - - - + - - -

ula sawa + - - - - - - - + - - -

walang godhong + - - - - - - - + - - -

walang kayu + - - - - - - - + - - -

walang pari + - - - - - - - + - - -

bango kebo + - - - - - - - - + - -

bango wedhus + - - - - - - - - + - -

jalak suren + - - - - - - - - + - -

dudhuk kacangan + - - - - - - - - - + -

wedhus kacangan + - - - - - - - - - + -

dudhuk menggala + - - - - - - - - - + -

tawon menggala + - - - - - - - - - + -

wedhus menggala + - - - - - - - - - + -

dudhuk kuning + - - - - - - - - - - +

dudhuk ruyung + - - - - - - - - - - +

kupu kuning + - - - - - - - - - - +

kupu ijo + - - - - - - - - - - +

laler ijo + - - - - - - - - - - +

laler cemeng + - - - - - - - - - - +

semut ireng + - - - - - - - - - - +

ula gadhung + - - - - - - - - - - +

ula kayu + - - - - - - - - - - +

ula luwuk + - - - - - - - - - - +

Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan, (3)

Penamaan berdasarka cirri fisik, (4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri/efek yang

ditimbulkan, (5) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan, (6) Penamaan berdasarkan

kemiripan bentuk fisik, (7) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku, (8) Penamaan

berdasarkan suara yang dikeluarkan, (9) Penamaan berdasarkan tempat hidup, (10) Penamaan

berdasarkan tempat mencari makan, (11) Penamaan berdasarkan ukuran, dan (12) Penamaan

berdasarkan warna.

Jika klasifikasi cara penamaan di atas dicermati, terlihat bahwa GTBU

secara rinci memberikan nama kepada entitas-entitas flora dan fauna yang mereka

temukan hidup di lingkungan mereka. Begitu rincinya cara mereka menamai

entitas-entitas acuan leksikon-leksikon yang ada menandakan bahwa adanya

kedalaman interaksi mereka dengan ecoregion tempat hidup fauna-fauna yang di

maksud sehingga BU memiliki leksikon yang unik dari segi nama-nama fauna

tertentu yang turut memberi warna pada keberagaman leksikon lingkungan alam

BU.

Page 129: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

206

5.5 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam BU Berdasarkan

Relasi Maknanya

Ada berbagai cara yang dapat diterapkan untuk menunjukkan adanya relasi

semantis antara entitas yang diacu dan leksikonnya. Berdasarkan analisis data

dan temuan di lapangan ditemukan ada beberapa cara untuk menunjukkan hal

tersebut, di antaranya adalah melalui keberagaman penamaan sebuah entitas. Dari

leksikon-leksikon tentang nama-nama entitas yang ada terlihat bahwa nama

entitas mencerminkan adanya relasi semantis, seperti nama tempat, bau, bentuk

cara mengkonsumsi,cara tumbuh, ciri fisik, dan manfaat/fungsi entitas acuannya.

Di samping relasi makna antara leksikon dan entitas acuannya,

keberagaman relasi makna pada leksikon lingkungan alam BUjuga terlihat pada

adanya hubungan makna antara leksikon tertentu dan leksikon lainnya. Relasi

makna yang dimaksud, di antaranya dalam bentuk relasi makna paradigmatik

identitas dan inklusi, yang terdiri atas relasi makna hiponimi (hyponimy), dan

meronimi (meronimy). Berikut adalah uraian dari masing-masing relasi makna

yang dimaksud.

5.5.1 Relasi Makna Hiponimi

Relasi makna hiponimi merupakan relasi makna suatu ujaran yang

maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Telaah terhadap data

menunjukkan bahwa cukup banyak leksikon yang memiliki hubungan semantis

jenis hiponimi yang ditemukan dalam leksikon lingkungan alam BU, baik dalam

kelompok flora maupun kelompok fauna. Fenomena ini terlihat pada hubungan

antara tataran leksikon generik dan leksikon spesik, yang merupakan usaha untuk

Page 130: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

207

membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan kelas-

kelas spesifik. Adanya keberagaman jenis pari ‘padi‘ dari kelompok bahan

pangan merupakan kelas spesifik dari leksikon generik pari; keberagaman jenis

mangga, pisang, jambu, dan jeruk dari kelompok buah-buahan merupakan

leksikon-leksikon generik dari leksikon generik masing-masing dari poh,

gedhang, jambu, dan jeruk ; keberagaman jenis bambu yang diacu oleh

leksikonnya masing-masing merupakan kelas spesifik dari leksikon generik

jajang; dan sebagainya, seperti tertera pada tabel berikut.

Tabel 5.26

Relasi Makna Hiponimi Leksikon

Lingkungan Alam Flora BahasaUsing

Tumbuh-tumbuhan

Pari

pari gaga

pari genjah arum

pari singgang

pari sogel

pari untup

Sambulan

ketan cemeng

dsb.

Buah-buahan

poh

poh endhog

poh ganda

poh kecik

poh kenyut

poh kopyar

poh kotak

dsb.

gedhang

gedhang agung

gedhang berlin

gedhang kelutuk

gedhang lempeneng

gedhang raja nangka

gedhang welut

dsb.

Jambu

jambu dharsana

jambu kelampok

jambu lante

jambu semarang

dsb.

sentul

sai lampah

jamur dami

Page 131: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

208

Sayur-sayuran

jamur

jamur gerigit

jamur impes

jamur kepon

jamur lot

jamur manuk

dsb.

Kara

kara abang

kara benguk

kara komak

kara pedang

kara utek

Dsb

Kenikir

Kemanggi

Tanaman

bumbu dan

tanaman obat

temu temu cemeng

temu kunci

temu rapet

dsb.

Bangle

Adas

mahkota dewa

sambung nyawa

Bunga

pecari pecari kuning

pecari putih

Sundel

Tunjung

Wangsa

Relasi makna di atas secara hierakis dapat disajikan dalam diagram di

bawah ini

tumbuhan

buah bunga dsb

gedhang poh dsb

gd.saba gd.sewu gd.mas dsb

Diagram 5.1

Hubungan Hierarkhis (Hiponimis) Flora dalam

Bahasa Using

Page 132: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

209

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa buah yang ada pada paling atas

dalam tingkat hierakinya disebut superordinat, dan anggota-anggotanya yang

berupa gedhang, poh, dan sebagainya yang berada pada tingkat bawah merupakan

hiponim dari superodinat buah. Hubungan yang terdapat antara superordinat dan

hiponim adalah bersifat satu arah. Terdapat hubungan yang logis dalam hierarki

relasi makna hiponimi ini, artinya bahwa kalau sudah disebutkan hiponim

gedhang, maka sudah dapat dibayangkan kelompoknya, seperti gedhangsempring,

gedhang welut, gedhang saba, gedhang kidhang, gedhang berlin, gedhang sewu,

dan sebagainya. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa gedhang sewu,

gedhang saba, dan gedhang mas merupakan hiponim dari gedhang, gedhang

merupakan hiponim dari buah, dan buah merupakan hiponim dari tumbuhan.

Sementara itu, terkait dengan relasi semantis hiponimi yang ditemukan

pada kelompok leksikon fauna, pada tabel berikut terlihat bahwa tikus kerot, tikus

curut, dan tikus got merupakan hiponim dari tikus, tikus merupakan hiponim dari

mamalia, dan mamalia merupakan hiponim dari binatang. Hal ini tercermin pada

tabel berikut

Tabel 5.27

Relasi Makna Hiponimi Leksikon

Lingkungan Alam Fauna BU

mamalia

tikus

tikus curut

tikus kerot

tikus langu

dsb.

wedhus

wedhus kendit

wedhus menggala

wedhus etawa

dsb.

asu

bojog

pitik walik

pitik alas

Page 133: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

210

Binatang

unggas

pitik bekisar

bangkok

dsb.

burung

bango

bango kebo

bango wedhus

bango tongtong

dsb.

emprit

emprit

uban/bondol

emprit kaji

emprit gantil

dsb.

gemek

kukuk beluk

reptil ula ula irus

ula jail

ula kelasa

ula sawa

dsb.

nyambit

kura

serangga

uler uler jaran

uler geni

uler keket

dsb.

dudhuk

dudhuk cutrik

dudhuk edom

udhuk maling

dudhuk entelong

dsb.

tawon

tawon kenceng

tawon gung

tawon rowan

dsb.

walang

walang jaean

walang kadhung

walang sangit

dsb.

semut

semut abang

semut angkrang

semut pudhak

dsb.

kuwangwang

angkut-angkut

Relasi makna di atas secara hierarkhis dapat disajikan dalam diagram di

bawah ini.

Page 134: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

211

Diagram 5.2

Hubungan Hierarkis (Hiponimis) Fauna dalam Bahasa Using

5.5.2 Relasi Makna Meronimi

Selain relasi makna hiponimi, ada relasi makna lain yang ditemukan antara

leksikon BU dan leksikon BU lainnya, yakni relasi makna meronimi, yakni

hubungan inklusi unsur leksikon yang menggambarkan hubungan antara bagian

dan keseluruhan entitas. Berikut adalah tabel yang menunjukkan beberapa contoh

leksikon yang memiliki hubungan meronimi, baik pada leksikon flora maupun

pada leksikon fauna. Untuk melihat beberapa contoh relasi semantis meronimi

yang ada pada leksikon flora BU, perhatikan tabel berikut.

Tabel 5.28

Tabel Relasi Makna Meronimi Leksikon

Lingkungan Alam Flora Bahasa Using

pari

menir

elas

dami

merang

tugih

janggel

binatang

mamalia reptil dsb

wedhus jaran dsb

w.gibas w.etawa w.jawa dsb

Page 135: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

212

Jagung kelobot

lemi

tebon

Gedhang

gedhebog

peret

papah

onthong

pupus

tandhan

Kelapa

belarak

janur

bongkok

jeliring

beluluk

pol

bathok

belangkokan

cikilan

tombong

dangu

Mayang

tali papah

Ruyung

Jajang

Barongan

Celumpring

Ebung

Serit

Hubungan inklusi antar-leksikon dalam satu kelompok, misalnya

kelompok jajang, yang terlihat pada tabel di atas menggambarkan bagian dan

keseluruhan, artinya jajang merupakan keseluruhan, sedangkan barongan,

celumpring, ebung, dan serit merupakan bagian. Demikian halnya yang terjadi

pada kelompok leksikon kelapa, kelapa merupakan keseluruhan, sedangkan

leksikon belarak, janur, belangkok, jeliring, beluluk, pol, bathok, belangkokan,

Page 136: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

213

cikilan, tombong, dangu, mayang, dan ruyung merupakan bagian. Sementara itu,

relasi semantis meronimi yang ditemukan pada leksikon fauna adalah

Tabel 5.29

Relasi Makna Meronimi Leksikon

Lingkungan Alam BU tentang Fauna

pithik, bebek, burung

cekeker

cengger

cucuk

celampik

terutu

wulu

Page 137: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

214

BAB VI

DINAMIKA PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN

LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM

ANTARGENERASI GUYUB TUTUR BAHASA USING

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa lingkungan tempat tinggal

GTBU adalah lingkungan yang majemuk, baik secara lingual, sosial, maupun

kultural. Secara lingual, di tengah-tengah mereka digunakan beberapa BD, seperti

BJ, BM, dan sedikit BB. Sementara itu, secara sosial GTBU hidup berdampingan

terutama dengan penutur BJ dan BM dengan budaya mereka masing-masing di

sisi keberagaman profesi dan status sosial tradisional. Di samping karena adanya

perubahan lingkungan alam tempat GTBU bermukim, fenomena di atas berperan

dalam terjadinya perkembangan, perubahan, dan pergeseran bahasa, dalam hal ini,

pada tataran leksikon. Pada bagian ini dipaparkan profil tingkat pemahaman dan

penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU, serta perubahan

leksikon lingkungan alam BU. Tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan

leksikon-leksikon BU oleh ketiga kelompok responden ditampilkan dalam bentuk

persentase. Perbedaan persentase tingkat pemahaman dan penggunaan

antargenerasi terhadap leksikon-leksikon tersebut digunakan sebagai parameter

dinamika aspek tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang

dimaksud.

6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU

Interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan lingkungan

alam tempat mereka bermukim terekam dalam alam pikiran dalam bentuk

214

Page 138: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

215

gagasan-gagasan konseptual atau pengetahuan mereka tentang lingkungan alam

tersebut. Pengetahuan mereka tentang lingkungan alam ini direpresentasikan

dalam bentuk pemahaman leksikon-leksikon BU dari entitas-entitas yang secara

semantik referensial eksternal diacunya dalam komunikasi verbal mereka sehari-

hari. Penutur suatu bahasa tidak akan memahami leksikon-leksikon yang tidak

ada dalam gagasan konseptual mereka. Fenomena yang sama juga terjadi pada

GTBU. Di samping hal tersebut, interaksi, interelasi, dan interdependensi antara

GTBU dan lingkungannya juga berpengaruh pada tingkat pemahaman mereka

terhadap leksikon-leksikon lingkungan alam BU. Makin tinggi interaksi,

interelasi, atau interdependensi mereka terhadap keberagaman entitas lingkungan

mereka, maka makin tinggi pula tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon-

leksikon yang ada atau juga sebaliknya. Demikian juga halnya jikalau lingkungan

alam berubah, maka berubah pula pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon

kealaman walaupun perubahan ini terjadi dalam waktu yang lama. Yang

dimaksud dengan tingkat pemahaman, dalam hal ini, adalah pengetahuan,

pemahaman, dan keeratan relasi dengan kekayaan leksikon yang dimiliki GTBU,

baik dalam bentuk leksikon-leksikon aktif maupun pasif. Akan tetapi sesuai

dengan permasalahan yang dikaji, maka jenis leksikon yang dikaji dalam

penelitian ini hanyalah leksikon lingkungan alam yang tergolong kelompok

nomina dan verba saja.

Tingkat pemahaman leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU pada

bagian ini, secara garis besar, dipilah menjadi tingkat pemahaman terhadap

leksikon kelompok nomina dan kelompok leksikon verba. Selanjutnya, kelompok

Page 139: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

216

leksikon nomina dibedakan lagi menjadi kelompok leksikon flora dan kelompok

leksikon fauna. Secara lebih rinci, ulasan dari masing-masing kelompok leksikon

yang dimaksud dapat dilihat di bawah ini.

6.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Alam Antargenerasi GTBU Berkategori

Nomina

Khazanah leksikon nomina BU terkait dengan lingkungan alam sangat

bervariasi. Fenomena ini mengindikasikan keberagaman entitas acuannya yang

hidup di wilayah ini. Tingkat pemahaman terhadap leksikon nomina ini

dikelompokkan menjadi tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok flora

dan tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok fauna, seperti terlihat dalam

uraian berikut.

6.1.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Flora Antargenerasi GTBU

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dengan kesuburan tanahnya

anekamacam flora tumbuh subur di wilayah Kabupaten Banyuwangi sehingga

berbagai leksikon yang mengacunya juga beragam. Demikian juga tentang tingkat

pemahaman responden yang sangat bervariasi. Berikut adalah uraian dari masing-

masing tingkat pemahaman responden terhadap kelompok leksikon flora yang

ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU.

(1) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU

Secara umum pemahaman responden terhadap leksikon tanaman bahan

pangan cukup tinggi, khususnya pada kelompok responden dewasa dan tua.

Walaupun demikian, ditemukan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden

Page 140: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

217

yang mencapai 100% untuk leksikon yang entitas-entitasnya, di samping

populasinya sangat banyak, juga memiliki interaksi, interelasi, dan

interdependensi yang tinggi dengan kehidupan GTBU, yakni sebagai bahan

makanan pokok. Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya pari „padi‟, pari

ketan „padi ketan‟ dan jagung „jagung‟. Sementara itu, tingkat pemahaman

responden, khususnya golongan remaja, sangat rendah (rata-rata di bawah 30%)

terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada jenis-jenis padi, seperti leksikon

pari sogel „jenis padi yang cepat berbuah‟, pari gaga „jenis padi yang ditanam di

lahan tadah hujan‟, sambulan „padi liar yang tumbuh di sela-sela tanaman padi

utama‟, serta leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman padi, seperti

elas „bulir padi‟, belubon „padi yang baru dipotong dari sawah dan belum kering‟,

dan tugih „rambut yang terdapat pada ujung bulir padi‟. Khusus terhadap leksikon

elas, tingkat pemahaman responden remaja sebesar 9,6%, dewasa sebesar 25%,

dan tua sebesar 50%. Kecilnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon di

atas disebabkan oleh benak remaja tidak ingin dibebabni hal yang bersifat spesifik

dan kurang bermanfaat pada dunia mereka, di samping karena karena interaksi,

interelasi, dan intedependensi mereka lebih banya pada sesuatu yang besifat

generik. Khusus untuk leksikon elas, leksikon yang bersangkutan sudah

tergantikan oleh leksikon gabah/butir padi (dalam BI).

Sementara itu, tingkat pemahaman terhadap leksikon entitas jagung dan

bagian-bagiannya cukup tinggi kecuali untuk leksikon lemi „kotoran buah jagung‟

dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 52,4%, 65%, dan 86,%. Di

samping itu, fenomena ini disebabkan oleh kurangnya pengalihan pengetahuan

Page 141: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

218

tentang entitas acuannya karena entitas ini tidak memiliki manfaat terhadap

kehidupan GTBU jika dibandingkan dengan bagaian-bagian tanaman jagung

lainnya. Misalnya, janggel „tongkol buah jagung‟ yang sudah kering dapat

dipakai kayu bakar; kelobot „kulit buah jagung yang dikeringkan untuk pembukus

rokok‟; serta tebon „batang pohon jagung‟, kalau yang masih mentah dapat

dipakai makanan ternak, yang sudah kering dapat dipakai kayu bakar. Tabel

berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap

leksikon-leksikon tanaman pangan yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal

GTBU.

Tabel 6.1

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan

Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Padi dan

jenisnya

Sesuatu terkait

dengan padi

pari 100 100 100 rantap 57,1 80 86,4

pari singgang 47,6 70 90,9 palawija 90,5 100 100

pari sogel 28,6 55 81,8 tumpang sari 62 85 86,4

pari unthup 42,8 40 54,5 Jagung dan

bagian-

bagiannya

pari gaga 28,6 50 54,5 jagung 100 100 100

pari genjah

harum

76,2 95 100 Janggel 71,4 85 95,5

sambulan 28,6 70 90,9 kelobot 71,4 100 100

ketan cemeng 100 100 100 lemi 52,4 65 86,4

ketan putih 100 100 100 tebon 90,5 95 95,5

winih 100 100 100 Bahan pangan

lain

Bagian- bagian

tanaman padi

kentang jembut 100 100 100

menir 100 100 100 sabrang 100 100 100

elas 9,6 25 50 gadhung 95,2 100 100

dami 100 100 100 arus 52,4 75 95,5

merang 85.7 100 100 ganyong 42,9 70 100

sekem 90,5 95 100 kajar 19 30 59,1

belubon 23,8 50 63,6 suweg 47,6 75 90,9

tugih 23,8 30 63,6 puhung 100 100 100

Page 142: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

219

Sementara itu, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon bahan

pangan lain cukup bervariasi dengan tingkat pemahaman tertinggi, yakni 100%

oleh ketiga kelompok responden yang ada pada leksikon kentang jembut „kentang

lokal yang ada rambutnya‟, sabrang „ubi jalar‟, dan puhung „ketela pohon‟,

sedangkan yang terendah ditemukan pada tingkat pemahaman leksikon kajar,

yakni sebesar 19%, 45%, dan 59,1%. Tingginya tingkat pemahaman terhadap

leksikon-leksikon di atas karena adanya interaksi, inetrelasi, dan interdependensi

yang tinggi terhadap entitas acuannya karena fungsinya sebagai makanan pokok

hampir sama dengan padi sehingga GTBU mempertahankannya dengan cara

membudidayakannya. Fenomena menarik terlihat pada tingkat pemahaman

yang cukup tinggi yakni dengan rerata di atas 95% terhadap leksikon gadhung

yaitu tanaman melilit dengan batang berduri yang umbinya beracun‟. Walaupun

populasi entitas ini tidak begitu banyak, ketiga kelompok responden berinteraksi

cukup tinggi dengan entitas acuannya karena keterpakaian umbi entitas ini sebagai

bahan campuran berbagai macam penganan.

(2) Tingkat pemahaman leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU

Hampir sama dengan di wilayah Pulau Jawa lainnya, berbagai jenis buah

dapat ditemukan di wilayah ini. Karena adanya interaksi, interelasi, dan

interdependensi antara sejumlah entitas buah dengan GTBU, tingkat pemahaman

ketiga kelompok responden terhadap sejumlah leksikon buah secara umum cukup

tinggi, seperti terhadap leksikon-leksikon entitas jeruk tertentu, rambutan, dan

jenis buah lain (nanas, kedhondong, duren putih, manggis, dan pace) yang

Page 143: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

220

disebabkan oleh banyaknya populasi karena entitasnya gampang tumbuh serta

faktor geografis dan totopgrafis, seperti terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.2

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Buah-buahan

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Mangga dan

jenisnya

Pisang dan

jenisnya

poh

100 100 100 gedhang 100 100 100

poh manalagi 100 100 100 gedhang sempring 57,1 60 100

poh golek 95,2 100 100 gedhang agung 47,6 85 100

poh kuweni 100 100 100 gedhang berlin 81 100 100

poh kates 23,8 65 72,7 gedhang ambon 95,2 100 100

poh madu 90,5 100 100 gedhang emas 81 100 100

poh ganda 52,4 90 90,9 gedhang keladi 52,4 90 90,9

poh kenyut 90,5 100 100 gedhang ijo 57,1 90 90,9

poh kopyor 42,9 70 72,7 gedhang

lempeneng

85,7 90 90,9

poh kotak 23,8 65 77,3 gedhang keluthuk 90,5 100 100

poh endhog 47,6 70 90,9 gedhang sri

nyonyah

66,7 90 96,4

poh kecik 71,4 75 81,8 gedhang raja

nangka

81 85 100

Jambu dan

jenisnya

gedhang kapuk 57,1 95 100

jambu 100 100 100 gedhang

selakat(susu)

100 100 100

jambu mente 100 100 100 gedhang sewu 52,4 95 100

jambu keluthuk 100 100 100 gedhang welut 71,4 85 90,9

jambu kelampok 42,7 55 77,3 gedhang raja 85,7 95 100

jambu lante 28,6 100 100 gedhang saba 100 100 100

jambu darsono 71,4 100 100 Bagian-bagian

dari pohon

pisang

jambu semarang 23,8 75 81,8 gedhebog 100 100 100

jambu wer 76,2 75 95,5 peret /serat 42,9 80 100

Nangka dan

bagian-

bagiannya

papah 66,7 100 100

nangka 100 100 100 kelaras 95,2 100 100

pucil 38,1 75 86,4 ontong 95,2 100 100

babal 38,1 75 86,4 pupus 66,7 80 82,7

tombol 72 100 100 tandan 42,9 100 100

empik 38,1 95 100 godhogan 28,6 80 100

bethon 100 100 100 Peralatan dari

Page 144: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

221

daun pisang

Rambutan dan

jenisnya

samir 52,4 75 100

rambutan 100 100 100 pincuk 95,2 100 100

rambutan aceh 100 100 100 suru 90,5 100 100

rambutan rapiah 95,2 100 100 takir 81 80 100

rambutan lebak

bulus

76,2 80 90,9 Jenis buah

lainnya

Duren dan

jenisnya

manggis 100 100 100

duren 100 100 100 wuni 95,2 100 100

duren putih 100 100 100 kedondong 100 100 100

duren abang 71,4 100 100 kentul 81 85 100

Jeruk dan

jenisnya

tai lampah 47,6 75 100

jeruk 100 100 100 belimbing manis 95,2 100 100

jeruk sambel 100 100 100 langsat 100 100 100

jeruk purut 90,5 100 100 duku 100 95 90,9

jeruk manis 100 100 100 cerème 81 95 95,5

jeruk limo 85,7 100 100 nanas 100 100 100

jeruk kikit 57,1 60 63,6 kates 100 100 100

Delima dan

jenisnya

pace 100 100 100

delima 100 100 100 belewah 95,2 100 100

delima putih 95,2 100 100 belungking 71,4 90 100

delima abang 81 90 95.5

Dari tabel di atas terlihat tingkat pemahaman responden terhadap

kelompok leksikon gedhang, jambu dan poh sangat bervariasi dalam arti bahwa di

antara jenis entitas-entitas tersebut ada yang tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden mencapai 100%, namun ada juga yang di bawah 30% khususnya oleh

kelompok responden remaja, seperti terlihat pada tingkat pemahaman terhadap

leksikon poh kates, poh kotak, jambu lante, dan jambu semarang yang besarnya di

bawah 30%. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh populasi sedikit, interaksi

dan interdependensi rendah, dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi

pendahulu, serta entitas-entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut tidak

memiliki nilai penting bagi kehidupan remaja.

Page 145: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

222

Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap

leksikon-leksikon entitas gedhang „pisang‟, khususnya terhadap gedhang

keluthuk, gedhang ambon, gedhang susu, gedhang raja, dan gedhang saba, tidak

menunjukkan perbedaan yang tinggi, yaitu berkisar antara 90% - 100%.

Tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon ini karena

adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan

entitas-entitas acuannya sehingga GTBU secara terus-menerus membudidayakan

entitas-entitas ini sehingga populasinya tetap banyak. Demikian halnya terhadap

leksikon duren abang ‘duren merah‟ yang entitasnya merupakan buah langka

yang hanya dapat ditemukan di satu keluarga di Desa Kemiren merupakan

fenomena unik yang terkait dengan tingkat pemahaman responden. Ketiga

kelompok responden memiliki pemahaman yang cukup tinggi terhadap entitas ini,

yakni masing-masing untuk remaja 71,4%, dewasa 100%, dan tua 100%.

Faktanya, populasi entitas ini sangat sedikit dan tumbuh hanya di satu tempat.

Adanya transfer pengetahuan tentang entitas ini dari generasi pendahulu

merupakan faktor penyebab dari fenomena ini.

(3) Tingkat pemahaman leksikon tanaman sayur-sayuran antargenerasi GTBU

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa beberapa wilayah

di Kabupaten Banyuwangi merupakan lahan yang sangat subur dan cocok untuk

tumbuhnya berbagai macam sayuran khususnya sayur-sayuran lokal, seperti

beberapa jenis kara, bayem, kacang, jamur, labu, dan sayuran lokal lainnya.

Keberagaman jenis entitas sayuran juga disertai keberagaman tingkat pemahaman

leksikon-leksikon spesifik yang mengacunya, sedangkan tingkat pemahaman

Page 146: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

223

terhadap semua leksikon generiknya adalah 100%. Berdasarkan hasil analisis data

dan pengamatan di lapangan, tingkat pemahaman responden, khususnya

kelompok remaja, sangat rendah terhadap leksikon spesifik kelompok kara,

seperti kara benguk, kara pedang, dan kara utek yang masing-masing sebesar

33,3%, 33,3%, dan 19%; sedangkan terhadap kelompok leksikon bayam, yakni

bayem raja dan bayem pasir sebesar 14,3% dan 9,6%. Kecilnya tingkat

pemahaman, khususnya kelompok responden remaja jika dibandingkan dengan

tingkat pemahaman terhadap jenis sayuran lainnya di antaranya disebabkan oleh

tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka terhadap entitas-entitas

tersebut sangat rendah karena sedikitnya populasi dan juga karena beberapa jenis

sayuran yang di datangkan dari daerah lain, seperti kol, buncis, dan sawi hijau,

dengan mudah dapat dibeli di warung-warung karena lebih praktis. Tentang

tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon sayur-sayuran

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.3

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Turi dan jenisnya Jamur dan

jenisnya

turi 100 100 100 jamur 100 100 100

turi abang 57,1 80 81,8 jamur dami 76,2 85 95,5

turi putih 100 100 100 jamur merang 66,7 90 95,5

Labu dan jenisnya jamur kepong 76,2 80 95,5

labu 100 100 100 jamur kuping 95,2 100 100

labu abang 38,1 50 68,2 jamur ulan 76,2 95 95,5

labu putih 57,1 95 95,5 jamur menur 71,4 85 86,4

labu siyem 66,7 100 100 jamur manuk 76,2 100 100

Kara dan jemisnya 33,3 90 90,9 jamur gerigit 42,9 75 86,4

kara jamur impes 28,6 40 77,3

Page 147: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

224

kara benguk 100 100 100 jamur lot 90,5 95 95,5

kara abang 33,3 60 90,9 jamur gajih 47,6 65 90,9

kara ijo 42,6 70 100 Jenis sayur

lainnya

kara putih 66,7 75 95,5 buncis 100 100 100

kara komak 81 85 95,5 dhangsul 100 100 100

kara pedang 71,4 95 95,5 gambas 100 100 100

kara utek 66,7 85 100 pare 100 100 100

Kacang dan

jenisnya

33,3 75 95,5 kelentang 100 100 100

kacang 19 90 95 tegok 81 95 100

kacang brol terong 100 100 100

kacang ijo 100 100 100 timun 100 100 100

kacang jangan 90,5 100 100 belimbing

wuluh

100 100 100

kacang kapri 100 100 100 gundha 100 100 100

kacang tunggak 100 100 100 katu 100 100 100

kacang usi(ose) 90,5 100 100 kangkung 100 100 100

Bayam dan jenisnya

dan jenisnya

66,7 100 100 kelor 100 100 100

bayem 54,2 75 81,8 genjer 100 100 100

bayem cina bagu 81 95 100

bayem abang 100 100 100 manting 81 95 95,5

bayem eri 42,9 55 90,9 kemangi 100 100 100

bayem kul 66,7 75 90,9 kenikir 100 100 100

bayem menir 76,2 80 90,9 keningar 66,7 80 86,4

bayem raja 42,9 75 95,5 lembayung 95,2 100 100

bayem sapi 52,4 80 86,4 lucu 81 100 100

bayem pasir 14,3 40 77,3 semanggi 100 100 100

Berbeda dengan beberapa leksikon yang disebutkan di atas, tingkat

pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok sayuran lain,

khususnya sayuran lokal, seperti tegok, manting, kemangi, kelor, kelethang, dan

sebagainya di atas 80%. Berdasarkan pengamatan di lapangan, khususnya entitas

kelor dengan mudah ditemukan pada setiap rumah karena entitas ini memiliki

nilai budaya, yakni untuk penolak bala sehingga, di samping karena adanya

interaksi, interelasi, interdependensi terhadap entitas-entitas tersebut, juga

ecoregion yang sesuai, nilai ekonomis yang diembannya, dan adanya transfer

pengetahuan dari generasi pendahulu menyebabkan tingginya tingkat pemahaman

terhadap leksikon-leksikon tersebut. Khusus untuk leksikon sayuran lokal, seperti

Page 148: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

225

kelor dan kelentang, tingginya tingkat pemahaman semua responden yang

mencapai 100%, di samping karena faktor-faktor tersebut di atas, keterpakaian

daun kelor sebagai salah satu elemen dalam ritual haturi dahar, membuat kedua

entitas ini begitu diakrabi oleh GTBU, khususnya yang berdomisili di beberapa

desa di Kecamatan Glagah.

(4) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi

GTBU

Di samping kaya akan berbagai jenis tanaman bahan pangan, buah-buahan,

dan sayur-sayuran, di Kabupaten Banyuwangi juga ditemukan tumbuh berbagai

jenis tanaman bumbu dan obat dengan tingkat populasi yang berbeda-beda, baik

yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Berdasarkan analisis data dan

pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden terhadap leksikon-leksikon yang entitasnya berfungsi, baik sebagai

obat tradisional maupun sebagai bumbu, seperti bawang abang, cengkeh, jahe,

kemiri, kencur, dan sebagainya hampir mencapai 100%. Hal ini disebabkan oleh

interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi terhadap entitas-entitas

acuannya karena keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan GTBU sehari-

hari. Di sisi lain, ada sejumlah leksikon dari entitas-entitas tanaman obat

tradisional yang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden sangat rendah,

yakni untuk leksikon lempuyang wangi: 19%, 30%, dan 59,1%; lempuyang gajah:

19%, 25%, dan 59,1%; kembang bintang: 14,3%, 35%, dan 59,1%; dan sembung:

9,6%, 35%, dan 54,5%. Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden terhadap leksikon-leksikon tersebut di samping karena sedikitnya

populasi juga disebabkan oleh kurangnya interaksi, interelasi, dan interdependensi

Page 149: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

226

terhadap entitas-entitas tersebut. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh

fungsinya sebagai tanaman obat sudah digantikan oleh obat yang bersifat kimiawi.

Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden

terhadap leksikon tanaman bumbu dan obat lainnya.

Tabel 6.4

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Temu dan

jenisnya

cabe merah 100 100 100

temu 95,2 100 100 cabe rawit 100 100 100

temu cemeng 81 90 100 pulasari 23,8 55 81,8

temu kunir 57,1 95 100 jinten 66,7 70 95,5

temu putih 52,4 80 81,8 kapulaga 71,4 90 95,5

temu rapet 33,3 75 81,8 jemukus 90,5 100 100

temu kunci 57,1 100 100 cengkeh 100 100 100

temu giring 33,3 55 59,1 sambiloto 62 80 100

Jenis tanaman

obat dan bumbu

lainnya

sembung 9,6 35 54,5

bawang abang 100 100 100 deringu 57,1 95 95,5

bawang putih 100 100 100 dilem 42,3 95 95,5

bakung 19 60 72,7 kayu putih 57,1 95 95,5

bangle 19 65 77,3 kayu manis 85,7 100 100

iles-iles 14,3 25 81,8 kumis kucing 90,5 100 100

lempuyang 76,2 100 100 legundi - 35 88,2

lempuyang wangi 19 30 59,1 lidah buaya 100 100 100

lempuyang gajah 19 25 59,1 luntas 76,2 100 100

jae 100 100 100 mangkokan 62 70 81,8

kencur 100 100 100 meniran 66,7 70 90,5

kunir 100 100 100 tapak dara 38,1 40 68,2

laos 100 100 100 tapak liman 42,6 40 68,2

sempol 19 35 72,7 sambung nyawa 28,6 60 68,2

kembang bintang 14,3 35 59,1 pecah beling 47,6 70 86,4

adas 23,8 80 81,8 urang-aring 66,7 70 90,5

mahkota dewa 76,2 80 86,4 sereh 100 100 100

kemiri 100 100 100 pule 33,3 45 90,9

cabe 100 100 100 teki 57,1 85 100

Sementara itu, fenomena menarik terjadi pada leksikon yang mengacu

pada entitas legundi, yaitu tumbuhan perdu dengan daun berwarna abu-abu

Page 150: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

227

keunguan yang digunakan sebagai obat pengusir nyamuk, dengan tingkat

pemahaman responden remaja 0%, artinya bahwa tak satu pun dari mereka tahu

atau pernah mendengar leksikon tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan,

entitas ini populasinya masih ada namun karena tidak adanya interdependensi,

ketidaktahuan akan manfaatnya, fungsinya tergantikan oleh obat nyamuk bakar

atau obat nyamuk semprot buatan pabrik, serta tidak adanya transfer pengetahuan

dari generasi pendahulu menyebabkan responden remaja tidak paham dan tidak

pernah menggunakan leksikonnya dalam percakapan sehari-hari.

(5) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU

Tidak banyak ragam tanaman bunga yang ditemukan tumbuh di

lingkungan tempat tinggal GTBU, khususnya jenis bunga yang dibudidayakan.

Fenomena ini disebabkan oleh hampir tidak adanya interaksi, interelasi, dan

interdependensi antara GTBU dan entitas-entitas yang dimaksud. Hal ini

berdampak pada sedikitnya leksikon tentang tanaman bunga yang dikenal oleh

GTBU dari segi kuantitas.

Walaupun demikian, berdasarkan analisis data dan pengamatan di

lapangan ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden

secara umum cukup tinggi terhadap beberapa jenis leksikon bunga yang memiliki

hubungan dekat dengan kehidupan budaya GTBU khususnya. Kembang sundel,

mawar, kenanga (wangsa), dan pecari, misalnya merupakan elemen-elemen untuk

kembang telon yang dibutuhkan oleh GTBU dalam ritual santet dan slametan-

slametan lainnya. Tingkat pemahaman semua responden terhadap leksikon

keempat jenis bunga ini masing-masing untuk responden remaja: 47,6%, 90,5%,

Page 151: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

228

95,5%, dan 72,2%; responden dewasa: 85%, 100%.100%, dan 90%; dan

responden tua: 95,5%, 100%, 100%, dan 100%. Rendahnya tingkat pemahaman

responden remaja terhadap leksikon kembang sundel, di samping karena

populasinya sedikit sehingga interaksi kurang, juga disebabkan oleh sedikitnya

keterlibatan mereka dalam ritual-ritual slametan yang biasanya didominasi oleh

kelompok tua. Beberapa besar tingkat pemahaman masing-masing kelompok

responden terhadap leksikon bunga, persentasenyadapat dilihat dalam tabel

berikut.

Tabel 6.5

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bunga

Antagenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

pecari putih 72,2 90 100 tunjung 28,6 60 100

pecari kuning 66,7 75 95,5 widuri putih 28,6 55 77,3

peciring 62 75 95,5 widuri biru 14,3 50 72,7

pembang gantil 71,4 80 90,9 kembang bacin 66,7 85 90,9

kembang merak 81 85 90,9 kembang bangah 28,6 50 63,6

kembang bojog 71,4 80 90,9 kembang

tembelekan

33,3 60 72,7

menur 71,4 85 90,9 kembang kecubung 52,4 85 90,9

seruni 85,7 100 100 tikul balung 47,6 70 86,4

kembang kertas 85,7 85 90,9 pecah beling 47,6 70 86,4

serngenge 90,5 100 100 kemuning 52,4 90 100

kembang sundel 72,2 100 100 kembang wangsa 90,5 100 100

mawar 90,5 100 100 sembuja 85,7 95 100

pacar 90,5 95 100

Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman terhadap leksikon sembuja

yaitu sebesar 85,7% untuk responden remaja, 95% untuk responden dewasa, dan

100% untuk responden tua disebabkan oleh eksistensi entitas ini di lingkungan

makam sehingga sangat mudah dikenali dan terekam dalam memori GTBU yang

pasti pernah datang ke makam, sedangkan tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden terhadap leksikon kembang menur, yang masing-masing sebesar

Page 152: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

229

85,7%, 100%, dan 100%, didukung oleh keterpakaian entitas ini pada riasan

pengantin, yang frekuensinya cukup tinggi.

(6) Tingkat pemahaman leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU

Kabupaten Banyuwangi umumnya, dan Kecamatan Glagah, Giri, dan

Rogojampi khususnya memiliki lahan kebun kelapa yang sangat luas dan subur

sehingga kelapa merupakan salah satu tumbuhan yang populasinya sangat mudah

ditemukan di daerah ini di samping padi dan jagung. Di samping untuk

dikonsumsi sendiri, kelapa Banyuwangi juga diperdagangkan ke kabupaten atau

kodya lain di Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU khususnya

memiliki interaksi, interelasi, serta interdependensi yang tinggi terhadap entitas

kelapa sehingga berdampak pada terciptanya beraneka konsep di alam pikiran

mereka yang berdampak pada terciptanya beragam jenis leksikon tentang kelapa,

baik leksikon tentang jenis-jenis kelapa, bagian-bagian pohon kelapa maupun

peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa yang membuat BU sangat

berbeda dengan leksikon BD lain tentang kelapa.

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat

pemahaman ketiga kelompok responden leksikon-leksikon tentang entitas kelapa

secara umum cukup tinggi, seperti terlihat dalam tabel berikut

Tabel 6.6

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Kelapa

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Kelapa dan

jenisnya

tombong 95,2 95 100

kelapa 100 100 100 pol 95,2 100 100

kelapa bunyuk 23,8 50 63,6 mancung 95,2 100 100

Page 153: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

230

kelapa kopyor 77,3 90 100 Peralatan

terbuat dari

bathok/

pohon kelapa

cengkir 71,4 75 100

kelapa ijo 90,5 100 100 irus 90,5 100 100

kelapa gadhing 66,7 95 90,9 kepang 66,7 85 100

kelapa puyuh 77,3 90 100

Bagian-bagian

pohon kelapa

kiso 66,7 90 100

bongkok 100 100 100 rinjing 23,8 60 86,4

bathok 100 100 100 riwur 90,5 100 100

belarak 100 100 100 patar 38,1 65 81,8

belangkokan 90,5 95 100 sapu 100 100 100

beluluk 76,2 100 100 tepis 90,5 100 100

cangkok 95,2 100 100 kurih 9,6 70 81,8

cikilan 90,5 100 100 sepet 100 90 100

celumpring 72,1 90 100 bencorong 66,7 90 95,5

dangu 76,2 75 100 canting 66,7 75 95,5

gelugu 66,7 80 100 welit 42,9 95 100

tali papah 57,1 85 100 Hasil olahan

dari buah

kelapa

janur 100 100 100 gulali 85,7 100 100

jeliring 76,2 90 100 koyah 66,7 80 86,4

mayang 57,1 90 100 koprah 66,7 95 100

ruyung 52,4 75 100 sawur 52,4 70 95,5

Tapas 28,6 75 100

Jika data tabel di atas dicermati, terlihat bahwa dari lima leksikon jenis

kelapa yang ada, tingkat pemahaman terhadap leksikon kelapa bunyuk

menunjukkan persentase paling rendah untuk ketiga kelompok responden, yaitu

masing-masing 23,8%, 50%, dan 63,6% yang merupakan tingkat pemahaman

terendah dibandingkan dengan tingkat pemahaman terhadap leksikon jenis kelapa

lainnya. Selain karena sedikitnya populasi, kebermanfaatan entitas ini yang diacu

oleh leksikon ini juga rendah sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi

GTBU juga rendah. Hal sebaliknya terlihat pada tingkat pemahaman ketiga

kelompok responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada nama-nama

bagian pohon kelapa, seperti belarak „daun kelapa kering‟, bongkok „tangkai daun

Page 154: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

231

kelapa‟, dangu „tangkai buah kelapa‟, tombong „daging berwarna putih yang

tumbuh di tengah-tengah buah kelapa yang sudah tua‟, dan sebagainya dengan

persentase cukup tinggi yang menandakan bahwa interaksi GTBU terhadap

entitas-entitas yang diacunya juga tinggi kecuali untuk leksikon tapas yaitu

serabut pembungkus tangkai daun kelapa yang persentase tingkat pemahaman

kelompok responden remaja khususnya hanya 28,6% yang jauh lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok dewasa (75%) dan kelompok tua (100%).

Fenomena ini disebabkan oleh ketidakbermanfaatan entitas ini pada kehidupan

modern saat ini dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke

generasi berikutnya, walaupun populsi entitas ini sama banyaknya dengan

populasi pohon kelapa.

Fenomena yang sedikit berbeda ditemukan pada tingkat pemahaman

responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada sejumlah nama

peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Dari 12 leksikon, ada 3

leksikon, yakni rinjing „wadah persegi empat yang terbuat dari anyaman daun

kelapa‟, kurih „sapu kecil dan pendek yang terbuat dari ikatan lidi kelapa ynag

digunakan untuk membersihkan wajan setelah menyangrai kopi/jagung‟, dan

patar „lekukan pada batang pohon kelapa sebagai tempat pijakan kaki ketika

sedang memanjat pohon kelapa‟ yang tingkat pemahamannya kurang, khususnya

pada responden remaja, yaitu masing-masing sebesar 23,6%, 9,6%, dan 38,1%.

Kurang dipahaminya ketiga entitas yang diacu oleh masing-masing leksikon di

atas, walaupun populasinya masih banyak, antara lain, disebabkan oleh

tergantikannya fungsi entitas-entitas tersebut oleh peralatan lain, seperti rinjing

Page 155: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

232

digantikan oleh bakul bambu atau wadah terbuat dari plastik. Sementara itu,

leksikon sapu kecil dipakai sebagai pengganti kurih.

(7) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU

Bambu yang dalam BU disebut jajang tumbuh subur di daerah Kabupaten

Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya.

Berdasarkan pengamatan di lapangan ada lima belas jenis bambu yang ditemukan

tumbuh dari daerah dataran rendah hingga ke daerah perbukitan dengan lingkar

batang dari yang paling kecil, yakni jajang wuluh hingga yang paling besar,

yakni jajang meluwuk, yang biasanya dipakai katir perahu nelayan karena

kekuatan dan bentuk batang yang lurus.

Ada interaksi, interelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara

GTBU, khususnya responden dewasa dan tua, dan beberapa jenis bambu tertentu.

Hal ini dapat dibuktikan melalui tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon-

leksikon perbambuan, baik terhadap entitas bambu itu sendiri maupun entitas-

entitas peralatan yang tercipta dari berbagai jenis bambu. Walaupun demikian,

berdasarkan analisis data, dari ke lima belas jenis bambu yang dikenal oleh

GTBU, ada empat entitas yang kurang dipahami leksikonnya oleh responden

muda dan dewasa dengan tingkat pemahaman masing-masing: jajang apus

(23,8%/35%), jajang gabug (19%/45%), jajang pelet (14,2%/35%), jajang watu

(4,8%/30%), dan jajang meluwuk (4,8%/10%). Kurang dipahaminya leksikon

dari entitas-entitas tersebut, di samping karena populasinya sedikit (kecuali jajang

gabug), ecoregion tempat tumbuhnya yang jauh dari lingkungan tempat tinggal

mereka, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu

Page 156: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

233

merupakan faktor penyebab dari fenomena ini. Sementara itu, untuk jajang gabug

fenomena ini dilatarbelakangi oleh kemiripan bentuk fisik dari jajang ini dengan

jajang tali, namun yang membedakan keduanya adalah dinding ruas jajang tali

lebih tebal dan lebih lentur. Tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-

leksikon perbambuan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.7

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bambu

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

jajang 100 100 100 ganjur/sengget 95,2 95 100

jajang apus 23,8 35 77,3 golong/gunjo 19 50 86,4

jajang benel 47,6 60 77,3 irig 95,2 95 100

jajang kuning 76,2 90 100 katir 38,1 60 90,9

jajang ori 62 95 100 keranjang 100 100 100

jajang peting/

keting

33,3 70 90,9 kereneng 4,8 50 72,7

jajang petung 81 100 100 kicir 71,4 80 95,5

jajang meluwuk 4,8 10 54,5 langkab 33,3 55 100

jajang pellet 14,3 35 68,2 lothek 90,5 95 95,5

jajang surat 71,4 80 100 nyiru 100 100 100

jajang tali 57,1 75 100 kentongan 95,2 100 100

jajang wuluh 66,7 70 100 sawu 52,4 60 100

jajang tutul 81 90 100 Seser 71,4 75 90,9

jajang ampel 47,6 60 100 kukusan 100 100 100

jajang watu 4,8 35 68,2 berajag 4,8 35 72,7

jajang gabug 19 45 68,2 beranding 19 60 90,9

Bagian-bagian

dari pohon bambu

beronjong 28,6 35 86,4

barongan 90,5 95 100 budhag 9,6 55 72,7

celumpring 52,4 80 81,8 tumbu/besek 57,1 90 100

ebung 100 100 100 cokop 57,1 70 95,5

serit 66,7 85 90,9 cantuk 95,2 100 100

Peralatan terbuat

dari batang

bambu

tedhok 14,3 65 95,5

keser 23,8 45 68,2 tenong 85,7 95 100

galar 90,5 100 100 singkek 100 100 100

seseg 90,5 100 100 penguluran

/panggungan

66,7 85 90,9

geladhag 42,9 55 81,8

Page 157: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

234

Di samping menampilkan persentase tingkat pemahaman responden

terhadap leksikon jenis-jenis bambu, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon

tentang nama-nama dari bagian pohon bambu dan peralatan yang terbuat dari

bambu yang masing-masing berjumlah empat dan dua puluh sembilan leksikon.

Jikalau dicermati, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden cukup tinggi

terhadap leksikon bagian-bagian tanaman bambu yaitu di atas 50%, sedangkan

untuk leksikon peralatan yang terbuat dari tanaman bambu, persentase tingkat

pemahamannya sangat bervariasi. Variasi tersebut tercermin pada perbedaan

tingkat pemahaman antarleksikon oleh satu kelompok responden dan variasi

antargenerasi yang mencerminkan rentangan persentase yang cukup jauh. Contoh

dari kelompok yang disebutkan pertama dengan persentase yang sangat rendah,

antara lain, ditunjukkan oleh tingkat pemahaman responden remaja terhadap

leksikon-leksikon: kelakah (19%), kereneng (4,8%), beronjong (28,6%), budhag

(9,6%), tedok (14,3%), golong/gunjo (19%), berajag (4,8%), beranding (19%),

dan keser (23,8%). Fenomena ini, selain disebabkan oleh ketiadaan entitas-entitas

yang diacu oleh masing-masing leksikon dimaksud di tengah-tengah kehidupan

GTBU karena fungsinya sudah digantikan oleh peralatan lain, juga disebabkan

oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi

berikutnya.

Sementara itu, kelompok kedua dengan tingkat pemahaman antargenerasi

ditunjukkan oleh leksikon-leksikon, seperti kelakah (19%, 50%, dan 95,5%),

langkab (33,3%, 55%, dan 100%), beronjong (28,6%, 35%, dan 86,4%),

golong/gunjo (19%, 50%, dan 86,4%), dan berajag (4,8%, 35%, dan 72,7%).

Page 158: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

235

Fenomena ini mengindikasikan keberagaman tingkat pemahaman antargenerasi

terhadap leksikon-leksikon tersebut yang disebabkan oleh beberapa faktor.

Perbedaan interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka terhadap entitas

acuan dari leksikon-leksikon tersebut, yang disebabkan oleh perbedaan zaman

merupakan salah satu faktor penyebab fenomena.

(8) Tingkat pemahaman leksikon tanaman lain antargenerasi GTBU

Leksikon tanaman lain yang dimaksud pada bagian ini adalah leksikon-

leksikon yang diacu oleh jenis flora yang berada di luar kelompok yang telah

diulas pada bagian sebelumnya yang memiliki interaksi, interelasi, dan

interdependensi dengan kehidupan GTBU, baik pada masa sebelumnya maupun

masa sekarang. Kelompok leksikon ini mengacu pada beberapa jenis entitas

beserta leksikon-leksikon dari bagian entitas tersebut, seperti enau (lirang), lontar

(gebyong), rotan (penjalin), kapuk (randu), tembakau (bako), dan sebagainya.

Hasil analisis data dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa

tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok-kelompok

tanaman ini sangat bervariasi dengan tingkat pemahaman responden terhadap

leksikon inti sangat tinggi dengan rerata di atas 95% (kecuali untuk gebyong

„lontar‟ dengan rerata tingkat pemahaman 44,2%) , namun tidak demikian halnya

terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada bagian-bagian dari entitas tersebut

yang menunjukkan tingkat pemahaman yang bervariasi, baik terhadap

antarleksikon oleh satu generasi maupun antargenerasi terhadap sejumlah

leksikon. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 159: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

236

Tabel 6.8

Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Lain

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Lirang dan

bagian-bagiannya

semprul 28,6 70 100

lirang 81

100 100 kerosok 9,6 30 59,1

kedhuk 62 80 90,9 Jenis tanaman

lainnya

kolang-kaling 100 100 100 bungur 28,6 70 77,3

mancung 66,7 80 100 kepuh 19 25 59,1

manggar 42,9 85 90,9 kesambi 42,9 50 59,1

kawung 38,1 40 72,7 ketepeng kecil 76,2 90 95,5

sodho 47,6 80 100 ketepeng kebo 19 35 40,1

upih 62 80 90,9 putat 28,6 70 77,3

Kapuk dan

bagian-bagiannya

santen 100 100 100

randu 100 100 100 rau 62 80 90,9

karuk 47,6 55 72,7 weringin 100 100 100

pelenteng 47,6 80 87,3 wunut 33,3 65 90,9

Asam dan bagian-

bagiannya

cemara 95,2 100 100

asem 100 100 100 kedawung 57,1 90 90,5

tempalok 57,1 65 95,5 kenari 76,2 75 95,5

kelingsi 76,2 85 95,5 waru 90,5 100 100

asem kamal 76,2 100 100 suruh 100 100 100

godhong asem 100 100 100 suruh kinang 100 100 100

Jati dan jenisnya suruh temu ros 81 85 90,9

jati 100 100 100 galing 19 35 72,7

jati mas 57,1 85 95,5 simbukan 95,2 100 100

jati landa 28,6 55 77,3 sri wangkat 42,9 55 86,4

Tembakau dan

jenis irisan

daunnya

lung-lungan 38,1 60 81,8

bako 100 100 100

Dari tabel di atas dapat diamati bahwa dari tingkat pemahaman responden

muda terendah ditemukan pada leksikon doni „daun pohon rotan‟, yaitu sebesar

4,8%, kemudian disusul oleh kerosok „daun tembakau sisa panen yang diiris

secara kasar‟ sebesar 9,6%, dan terendah ketiga, yakni kepuh, ketepeng kebo, dan

galing dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 19%. Berdasarkan

pengamatan di lapangan, populasi entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut

Page 160: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

237

sangat banyak, tetapi karena kurangnya interaksi, intereasi, dan interdependensi

menyebabkan tingkat pemahaman mereka rendah. Fenomena yang sedikit berbeda

ditemukan pada responden dewasa dan tua dengan tingkat pemahaman terhadap

leksikon-leksikon tersebut rerata masing-masing 31,7% dan 57,3%. Lebih

tingginya tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini karena mereka,

khususnya yang berprofesi petani, masih berinteraksi dengan entitas-entias

acuannya.

Sementara itu, ada dua jenis tumbuhan, baik leksikon maupun entitasnya

hanya dipahami dan diakrabi oleh GTBU yang berdomisili di Desa Kemiren, yaitu

lung-lungan dan sri wangkat. Fenomena ini disebabkan oleh keterpakaian kedua

entitas tersebut dalam ritual dimana ada tumpeng sri wangkat-nya.

6.1.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa GTBU adalah masyarakat yang

muslim agraris sehingga jenis-jenis fauna tertentu yang ada kaitannya dengan

situasi sosial tersebut banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal mereka.

Adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi terhadap fauna-fauna tertentu

berdampak pada tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon yang

diacu oleh entitas-entitas tersebut. Secara umum, tingkat pemahaman responden

terhadap leksikon-leksikon fauna lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

pemahaman mereka terhadap leksikon-leksikon flora. Walaupun demikian,

berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data, ditemukan juga tingkat

pemahaman yang rendah terhadap beberapa jenis leksikon, khususnya leksikon-

leksikon spesifik dari entitas-entitas fauna tertentu. Untuk mengetahui tingkat

Page 161: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

238

pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon fauna yang

ditemukan hidup di lingkungan tempat tingga GTBU, dapat dilihat pada uraian

berikut.

(1) Tingkat pemahaman leksikon mamalia antargenerasi GTBU

Jenis mamalia tertentu, seperti jaran, sapi, wedhus, dan kebo cukup

banyak ditemukan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya. Dipahami dan

diakrabinya objek dan leksikon dari entitas-entitas ini oleh masyarakat tidak

terlepas dari perannya dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi GTBU

sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka pun cukup tinggi. Sapi

„sapi‟ dan kebo „kerbau‟ adalah dua jenis hewan yang berperan penting dalam

membantu GTBU mengolah lahan pertanian dan kebun hingga saat ini walaupun

mereka telah mengenal traktor. Semetara itu, wedhus „kambing‟ bagi GTBU

merupakan hewan penting yang memiliki peran budaya yakni untuk aqiqah-an

dan juga peran ekonomi, yakni untuk diperjualbelikan sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan mereka, sedangkan jaran „kuda‟ adalah jenis hewan

yang digunakan jaran kencak yaitu kuda yang didandani secantik mungkin yang

biasanya ditanggap pada acara kawinan atau sunatan. Beberapa peran penting

yang diemban oleh entitas-entitas di atas berdampak pada tingginya tingkat

pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon entitas-entitas tersebut

(kecuali terhadap leksikon-leksikon spesifik kelompok wedhus), yakni 100%.

Ditemukan fenomena menarik pada tingkat pemahaman responden

terhadap leksikon wedhus etawa, yaitu jenis kambing hasil kawin silang antara

kambing lokal dan kambing impor, yakni persentase tingkat pemahaman

Page 162: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

239

responden tua terendah, yaitu sebesar 68,2%, dewasa, 85%, dan remaja 71,4%.

Ketidakmampuan mereka untuk membedakan bentuk fisik entitas ini dan

sedikitnya populasi sehingga kurangnya interaksi merupakan faktor-faktor

penyebab fenomena ini.

Untuk melihat persentase dan perbedaan tingkat pemahama ketiga

kelompok responden terhadap kelompok leksikon mamalia dapat dilihat dalam

tabel berikut.

Tabel 6.9

Tingkat Pemahaman Leksikon Mamalia Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

tikus 100 100 100 Jenis binatang

lainnya

tikus curut 81 95 95,5 asu 100 100 100

tikus kerot 52,4 50 72,7 kirik 100 100 100

tikus langu 66,7 95 95,5 jaran 100 100 100

tikus got 33,3 55 86,4 kucing 100 100 100

Kambing dan

jenisnya

sapi 100 100 100

wedhus 100 100 100 bojog 95,2 100 100

wedhus gimbal 57,1 75 95,5 bantongan 66,7 65 81,8

wedhus kendhit 19 50 72,7 celeng 95,2 100 100

wedhus kacangan 52,4 80 86,4 cuwut 90,5 100 100

wedhus menggala 33,3 65 81,8 delundheng 57,1 65 86,4

wedhus gibas 62 80 95,5 garangan 42,9 95 100

wedhus etawa 71,4 85 68,2 kidhang 90,5 100 100

wedhus jawa 66,7 75 90,9 macan 100 100 100

Ada fenomena unik yang terlihat pada tabel di atas, yakni pada leksikon

wedhus etawa „hasil persilangan antara kambing lokal dan kambing menggala‟

yang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman generasi tua terhadap leksikon

tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat pemahaman pada generasi

dewasa dan generasi remaja. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada tingkat

pemahaman terhadap pada leksikon pada umumnya, yakni tingkat pemahaman

Page 163: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

240

generasi tua adalah tertinggi. Fenomena ini disebabkan oleh kebaruan dari entitas

acuannya sehingga generasi tua kurang mengakrabi entitasnya, di samping ciri

fisik dari entitas ini memiliki kemiripin dengan wedhus menggala.

Di samping itu, selain terhadap leksikon hewan-hewan yang telah

disebutkan sebelumnya, tingkat pemahaman yang tinggi juga ditemukan pada

tingkat pemahaman terhadap leksikon asu „anjing‟, kirik „anak anjing‟, dan

celeng „babi hutan‟ yang masing-masing hampir mencapai 100%. Walaupun

GTBU merupakan masyarakat muslim dimana ketiga entitas ini merupakan hewan

yang “diharamkan”, di wilayah tertentu, khususnya asu dan kirik,cukup dikenal.

Diakrabinya, baik leksikon maupun entitas binatang ini, khususnya asu, karena

fungsinya untuk menjaga kebun dari gangguan pencuri dan monyet. Sementara

itu, dikenalnya entitas dan leksikon celeng „babi hutan‟ di samping merupakan

hewan perusak tanaman kebun, celeng juga merupakan kata umpatan yang

berfungsi sebagai sapaan kepada sahabat saat bertemu setelah lama berpisah.

(2) Tingkat pemahaman leksikon unggas antargenerasi GTBU

Hampir sama dengan wilayah Jawa Timur lainnya, di Kabupaten

Banyuwangi juga ditemukan berbagai jenis unggas yang hampir semuanya

dibudidayakan atau dipelihara di lingkungan pekarangan sehingga terdapat

interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan entitas-

entitas yang dimaksud sehingga tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikon-

leksikonnya cukup tinggi pula. Kehadiran beberapa jenis unggas, seperti pitik

‘ayam‟, bebek „itik‟, dan banyak „angsa‟di tengah-tengah GTBU, di samping

memiliki nilai ekonomis, juga memiliki nilai budaya, khususnya pitik berbulu

Page 164: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

241

putih mulus sebagai bahan dasar untuk pecel pitik. Leksikon-leksikon apa saja

yang terkait dengan unggas dan jenisnya dan bagaimana tingkat pemahaman

responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.10

Tingkat Pemahaman Leksikon Unggas Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Ayam dan

jenisnya

berengul 76,2 85 95,5

pitik 100 100 100 Bebek dan jenisnya

pitik walik 85,7 90 100 bebek 95,2 100 100

pitik cemara 33,3 70 100 bebek banyong 66,3 85 95,5

bangkok 66,7 85 100 bangsong 52,4 70 86,4

pitik alas 95,2 95 100 Bagian-bagian

tubuh ungags

bekisar 71,4 80 95,5 cekeker 100 100 100

babon 71,4 80 95,5 cengger 100 100 100

bAngsa dan

jenisnya

71,4 80 95,5 cucuk 100 100 100

banyak telampik 100 100 100

Banyak 100 100 100 berutu 100 100 100

Selain beberapa leksikon unggas yang dipahami oleh GTBU, ada sejumlah

leksikon tentang bagian-bagian tubuh entitas tersebut yang tingkat pemahaman

ketiga kelompok responden mencapai 100%. Hai ini mengindikasikan bahwa

GTBU masih menggunakan leksikon BU untuk menyebut entitas-entitas yang

dimaksud.

(3) Tingkat pemahaman leksikon burung antargenerasi GTBU

Lingkungan alam yang asri dan lestari merupakan tempat yang nyaman

bagi burung untuk hidup dan berkembang biak. Berdasarkan pengamatan di

lapangan, ada cukup banyak jenis burung yang dikenal dan dipahami oleh GTBU

Page 165: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

242

walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda, baik antarleksikon oleh

satu generasi maupun antargenerasi, terhadap sebuah leksikon.

Sama halnya seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon

generik dan spesifik, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon spesifik

selalu lebih rendah dari tingkat pemahaman terhadap leksikon generik.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan ada tiga jenis burung yang

memiliki leksikon generik dan spesifik, yakni bango „burung bangau‟, jalak

„burung jalak‟, dan emprit „burung pipit‟ dengan rata-rata tingkat pemahaman

responden remaja, dewasa, dan tua terhadap leksikon generik setiap entitas secara

berurutan, untuk bango: 71,4%, 100%, dan 100%; jalak: 90,5%, 100%, dan

100%; dan emprit: 100%, 100%, dan 100%. Sementara itu, tingkat pemahaman

terendah terhadap leksikon spesifik dari ketiga jenis burung tersebut ditemukan

pada tingkat pemahaman terhadap leksikon bango. Sedikitnya populasi karena

jenis burung itu mati akibat memakan bangkai hewan yang terkena pestisida dan

adanya perburuan terhadap jenis bangau tertentu serta ketidakmampuan GTBU

membedakan entitas dari masing-masing jenis secara fisik merupakan penyebab

rendahnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon spesifik entitas ini.

Untuk mengetahui variasi tingkat pemahaman responden terhadap leksikon

burung lainnya, dalam hal ini persentasenya, dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.11

Tingkat Pemahaman Leksikon Burung Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Bango dan jenisnya culik 62 75 100

bango 71,4 100 100 gemek 81 90 95,5

bango kebo 14,3 40 63,6 jegug 42,9 65 86,4

Page 166: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

243

bango thongthong 28,6 45 63,6 kukuk beluk 47,6 80 95,5

bango wedhus 14,3 25 40,1 kacer 52,4 65 81,8

belekok 81 85 95,5 kakak tua 95,2 100 100

kuntul 95,2 95 100 kepodang 66,7 85 100

meliwis 33,3 50 81,8 perenjak 71,4 95 95,5

Jalak dan jenisnya serigunting 28,6 75 95,5

jalak 90,5 100 100 seriti 33,3 90 100

jalak bali 47,6 75 90,9 sikatan 23,8 60 86,4

jalak cemeng 71,4 85 90,9 tinil 28,6 50 90,9

jalak suren 23,8 65 90,9 tuwu 19 65 100

Pipit dan jenisnya alap-alap 81 90 100

emprit 100 100 100 bangkrak 76,2 75 77,3

emprit uban/bodol 52,4 65 95,5 betet 66,7 75 90,9

emprit gantil 52,4 65 81,8 gagak 100 100 100

emprit peking 52,4 65 77,3 gedhubug 66,7 65 72,7

emprit kaji 42,9 50 59,1 samber ulung 19 55 100

Jenis burung

lainnya

bidhol 19 55 63,6

ancel-ancel angin 23,8 70 81,8 dara 100 100 100

belkatuk 81 90 95,5 manyar 28,6 90 90,9

bence 62 70 90,9 perkutut 85,7 90 100

cucak rawa 85,7 85 100 gelatik 66,7 75 100

Selain memperlihatkan variasi tingkat pemahaman responden terhadap

leksikon generik dan spesifik seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tabel di

atas juga memuat tingkat pemahaman responden terhadap jenis burung lain yang

tingkat pemahamannya juga bervariasi. Tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden cukup tinggi ditemukan pada leksikon-leksikon yang diacu oleh

entitas-entitas, seperti belkatuk: 81%, 90%, dan 95,5%; cucak rawa: 85,7%, 85%,

dan 100%; gemek: 81%, 90% dan 95,5%; kakak tua: 95,7%, 100%, dan 100%;

gagak: 100%, 100%, dan 100%; dan dara: 100%, 100%, dan 100%. Tingginya

tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu oleh entitas

burung-burung tersebut, di antaranya populasi yang cukup banyak (cucak rawa,

gemek), tempat hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU (dara), terkait dengan

cerita rakyat/tahyul (gagak), dan sering menjadi berita di media, khususnya TV,

karena kemampuan berbicara dan keindahan bulunya (kakak tua).

Page 167: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

244

Sebaliknya, tingkat pemahaman, khususnya responden remaja, yang

rendah ditemukan terhadap leksikon dari entitas-entitas yang habitatnya jauh dari

lingkungan tempat tinggal GTBU seperti ancel-ancel angin (22%) dan sikatan

(23,8%) yang hidup di lingkungan persawahan dan juga populasinya sedikit,

seperti tuwu, bidol, dan samber ulung dengan tingkat pemahaman masing-masing

sebesar19%. Kedua faktor tersebut berkontribusi terhadap rendahnya interaksi

responden remaja dengan entitas-entitas dimaksud.

(4) Tingkat pemahaman leksikon reptil antargenerasi GTBU

Hampir sama dengan di wilayah Kabupaten Banyuwangi lainnya, di

lingkungan tempat tinggal GTBU juga ditemukan beberapa jenis reptil. Di antara

semua jenis yang ada yang paling menonjol adalah kelompok ular yang dalam BU

disebut ula. Berdasarkan pengamatan di lapangan ada delapan belas leksikon

tentang ular dan entitasnya yang dipahami dan dikenal oleh GTBU walaupun

dengan tingkat pemahaman responden yang berbeda-beda. Leksikon dengan

tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang cukup tinggi, di antaranya

ditemukan pada leksikon-leksikon ula irus dan ula gadhung dengan tingkat

pemahaman masing-masing sebesar 90,5%, 100%, dan 100%, serta ula gadhung

sebesar 62%, 75%, dan 81,8%. Di samping karena populasinya masih cukup

banyak, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke generasi

berikutnya merupakan faktor penyebab dari fenomena ini.

Sebaliknya, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang rendah

ditemukan pada leksikon-leksikon, seperti ula dhawu dengan tingkat

pemahaman masing-masing sebesar 9,6%, 30%, dan 50%, ula sungu sebesar

Page 168: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

245

23,8%, 25%, dan 54,5%, ula walur sebesar 14,3%, 25%, dan 63,6%, dan ula

lumbu sebesar 23,8%, 40%, dan 59,1%. tingkat pemahaman 17,9% oleh remaja

dan 30% oleh kelompok dewasa, sedangkan tingkat pemahaman kelompok tua

terhadap entitas-entitas tersebut di bawah 60%. Rendahnya tingkat pemahaman

terhadap leksikon-leksikon dan entitas-entitas yang diacu disebabkan oleh

kurangnya interaksi terhadap habitat ular (seperti diketahui habitat hampir semua

jenis ular adalah semak belukar yang lokasinya berjauhan dengan pemukiman

penduduk, di samping ketidakmampuan responden untuk membedakan ciri-ciri

fisik dari entitas-entitas acuannya. Tabel berikut menunjukkan keberagaman

tingkat pemahaman responden terhadap leksikon reptile yang ditemukan hidup di

lingkungan tempat tinggal GTBU.

Tabel 6.12

Tingkat Pemahaman Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Kodok dan jenisnya

bangkrak 76,2 80 81,8 ula lampar 47,6 50 63,6

bangkong 23,8 60 68,2 ula luwuk 57,1 85 90,9

kentus 19 25 54,5 ula kayu 28,6 55 59,1

Ular dan jenisnya ula kelasa 42,9 40 54,5

Ula 100 100 100 ula sawa 33,3 60 86,4

ula dhawu 9,6 30 50 ulo silara 23,8 50 86,4

ula irus 90,5 100 95,5 ula weling 33,3 50 81,8

ula jail 90,5 100 100 Jenis reptil

lainnya

ula lanang 28,6 50 59,1 bajul 90,5 100 100

ula lumbu 23,8 40 59,1 nyambit 100 100 100

ula sungu 23,8 25 54,5 kura 100 100 100

ula walur 14,3 25 63,6 kadal 100 100 100

ula welang 14,3 60 81,8 cecek 100 100 100

ula gadhung 62 75 81,8 tekek 100 100 100

Jikalau tabel di atas dicermati, terlihat bahwa tingkat pemahaman

responden terhadap jenis reptil lainnya, seperti bajul „buaya‟, nyambit „biawak,

Page 169: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

246

kura „kura-kura‟, kadal „kadal‟, cecek „cecak‟, dan tekek „tokek‟ sangat tinggi

dengan rerata hampir mencapai 100%. Tingkat populasi yang tinggi dan habitat

yang berada di pemukiman penduduk sehingga interaksi sangat tinggi (untuk

cecek, tokek, dan kadal) dan kondisi habitat yang sangat sesuai yaitu banyak

tersedia air (untuk nyambit dan kura) merupakan penyebab dari fenomena ini.

(5) Tingkat pemahaman leksikon serangga antargenerasi GTBU

Hidup dan berkembangbiaknya banyak serangga merupakan salah satu ciri

dari daerah tropis. Demikian halnya di daerah Kabupaten Banyuwangi umumnya,

dan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya, hidup dan berkembang biak

berbagai jenis serangga yang diacu oleh leksikon generik ataupun leksikon

spesifik. Serangga-serangga ini ada yang habitatnya di lingkungan atau dekat

dengan lingkungan tempat tinggal GTBU dan juga di daerah persawahan atau

kebun. Perbedaan habitat turut berpengaruh terhadap tingkat pemahaman

manusia, baik terhadap leksikon maupun entitas serangga-serangga ini.

Berdasarkan pengamatan dan analisis data, cukup banyak jenis serangga

yang memiliki leksikon generik dan leksikon spesifik, seperti uler „ulat‟, dudhuk

„capung‟, tawon „tawon‟, walang „belalang‟, kupu „kupu-kupu, semut „semur‟,

laler „lalat, dan kumbang „kumbang‟ dengan jenisnya masing-masing. Untuk

mengetahui seberapa paham ketiga kelompok responden terhadap leksikon-

leksikon serangga yang hidup di lingkungan mereka, dalam hal ini, persentasenya,

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Page 170: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

247

Tabel 6.13

Tingkat Pemahaman Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Ulat dan

jenisnya

walang selethet 23,8 35 68,2

uler 100 100 100 walang gebog 38,1 45 68,2

uler geni 66,7 85 95,5 Kupu-kupu dan

jenisnya

uler senggenit 85,7 90 95,5 kupu 100 100 100

uler jaran 76,2 90 95,5 kupu abang 42,9 50 81,8

uler wulu 95,2 100 100 kupu ijo 33,3 60 81,8

uler jembut 38,1 75 90,9 kupu kuning 90,5 95 100

uler keket 81 95 95,5 kupu putih 85,7 85 90,9

Capung dan

jenisnya

kupu cedhung 71,4 70 100

dudhuk 95,2 100 100 kupu kithi 23,8 55 81,8

dudhuk cutrik 52,4 60 81,8 Semut dan

jenisnya

dudhuk edhom 90,5 90 90,9 semut 100 100 100

dudhuk abang 95,2 90 95,5 semut abang 100 100 100

dudhuk kuning 62 70 90,9 semut cemeng 100 100 100

dudhuk macan 47,6 70 72,7 semut gatel 100 100 100

dudhuk ruyung 9,6 25 59,1 semut geni 95,2 100 100

dudhuk terasi 62 70 77,3 semut angkrang 100 100 100

dudhuk cilik 62 80 95,5 semut pudhak 90,5 95 100

dudhuk gerobok 33,3 70 81,8 Lalat dan

jenisnya

dudhuk menggala 14,3 55 63,6 laler 100 100 100

dudhuk maling 42,9 55 59,1 laler cemeng 100 100 100

udhuk entelong 14,3 30 72,7 laler ijo/buyung 85,7 100 100

Tawon dan

jenisnya

Kumbang dan

jenisnya

tawon 100 100 100 kuwang-wang 4,8 65 81,8

tawon sruk 66,7 75 100 Kutis 42,9 65 90,9

tawon kenceng 95,2 95 95,5 bapak pucung 9,6 15 63,6

tawon keroso 95,2 100 100 gasir 90,5 90 95,5

tawon gung 28,6 75 90,9 ancruk 71,4 90 90,9

tawon kunir 66,7 75 90,9 samber ilen 42,9 65 90,9

tawon terasi/

gagak

42,9 45 72,7 Jenis serangga

lainnya

tawon macan 42,9 45 68,2 Keremi 100 100 100

tawon menggala 23,8 25 50 lingsa 95,2 100 100

tawon rowan 90,5 90 90,9 limpit 23,8 65 90,9

Belalang dan

jenisnya

kala jengking 100 100 100

walang 100 100 100 kala supit 71,4 75 90,9

walang gancong 42,9 50 72,7 tumo 100 100 100

walang jaran 38,1 45 72,7 Rengit 100 100 100

walang kalung 23,8 35 68,2 berecung 85,7 90 95,5

Page 171: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

248

walang godhong 38,1 50 72,7 pucung 38,1 40 63,6

walang kadhung 85,7 85 95,5 angkut-angkut 66,7 85 90,9

walang kayu 62 60 86,4 lare angon 9,6 70 81,8

walang watu 23,8 35 68,2 tengu 100 100 100

walang keretek 23,8 25 81,8 Kunang 100 100 100

walang pari 90,5 95 95,5 Jengkrik 100 100 100

walang sangit 100 100 100 jekethit 81 85 86,4

Dari tabel di atas terlihat bahwa entitas dudhuk „capung‟ yang memiliki

leksikon generik paling banyak, yakni mencapai 12 leksikon. Terbanyak kedua

adalah walang „belalang‟ yang mencapai jumlah 11 leksikon, sedangkan

terbanyak ketiga tawon „tawon‟ dengan 9 leksikon, kemudian disusul berturut-

turut oleh kupu „kupu‟ kupu-kupu‟, uler „ulat‟, semut „semut‟, kumbang

„kumbang‟ dengan jumlah masing-masing 6, serta yang terakhir adalah laler

„lalat‟ dengan 2 leksikon generik. Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga

kelompok responden terendah ditemukan pada leksikon generik kelompok dudhuk

„capung‟, seperti dudhuk ruyung (9,6%, 25%, dan 59,1), dudhuk menggala

(14,3%, 55%, dan 63,6%), dan dudhuk entelong (14,3%, 30%, dan 63,6%).

Sementara itu, dari kelompok tawon „tawon‟ adalah tawon menggala (23,8%,

25%, dan 50%), sedangkan dari kelompok walang „belalang‟ yakni walang

kalung (23,8%, 35%, dan 63,6% , walang watu (23,8%, 35%, dan 68,2%, dan

walangselethet (19%,30%, dan 59,1%). Kurangnya pemahaman responden

terhadap leksikon-leksikon ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya,

sedikitnya populasi, kurangnya interaksi karena habitat entitas-entias ini jauh dari

lingkungan tempat tinggal responden, ketidakmampuan responden membedakan

ciri-ciri fisik antara satu entitas dan entitas lainnya, dan tidak adanya transfer

pengetahuan dari generasi pendahulu.

Page 172: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

249

Berbeda dengan fenomena tersebut di atas, tingkat pemahaman semua

responden untuk kelompok semut dan lalat sangat tinggi, yaitu rata-rata di atas

95%. Hal ini disebabkan oleh interaksi GTBU terhadap entitas-entitas tersebut

sangat tinggi karena keduanya hidup di lingkungan tempat tinggal manusia, di

samping populasi entitas-entitas tersebut masih sangat banyak.

(7) Tingkat pemahaman leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Kabupaten Banyuwangi

umumnya dan lingkungan tempat tnggal GTBU khususnya memiliki sumber air

yang melimpah sehingga wilayah ini merupakan tempat yang bagus untuk hidup

dan berkembangbiaknya berbagai jenis ikan, khususnya ikan air tawar. Jenis ikan

air tawar yang populer di kalangan GTBU adalah badher „ikan wader‟, gurameh

„ikan gurami‟, sengkaring „ikan sengkaring‟, tombro „ikan tombro‟, mujaher „ikan

mujair, tawes „ikan tawes‟, dan nilem „ikan nilam‟ yang semuanya merupakan

jenis yang dibudidayakan, kecuali wader yang hidup liar di daerah aliran sungai.

Berdasarkan analisis data, tingkat pemahaman ketiga responden terhadap

leksikon-leksikon dari entitas-entitas di atas 80% yang mengindikasikan bahwa

ada interaksi, ineterelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara GTBU dan

entitas-entitas acuan leksikon-leksikon dimaksud. Tabel berikut adalah tabel yang

memuat tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok

leksikon ikan air tawar yang ditemukan pada perairan di lingkungan tempat

tinggal GTBU.

Page 173: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

250

Tabel 6.14

Tingkat Pemahaman Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU

Leksikon

BU

Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

sepat 57,1 45 54,5 geruyu 100 100 100

badher 95,2 90 95,5 mendhil 66,7 90 90,9

gurameh 100 100 100 meniran 47,6 45 81,8

sengkaring 100 100 100 telekan 38,1 50 68,2

tombro 81 90 100 uceng-uceng 76,2 75 95,5

lele 100 100 100 kuniran 38,1 60 77,3

mujaher 100 100 100 welut 100 100 100

tawes 95,2 95 95,5 encit 28,6 65 95,5

nilem 81 85 95,5 bibis 47,6 85 95,5

bedhul 81 100 100 oling 90,5 100 100

cokol 100 100 100 urang 100 100 100

deleg 47,6 70 95,5

Di samping beberapa leksikon ikan air tawar di atas, di wilayah ini juga

dikenal beberapa jenis ikan lain, seperti geruyu „kepiting air tawar, deleg „ikan

gabus, meniran „ikan yang hidup di sungai dan bertubuh kecil‟, urang „udang air

tawar‟, welut „belut‟, dan sebagainya yang ditemukan hidup liar. Jikalau tingkat

pemahaman masing-masing leksikon ikan air tawar dicermati maka terlihat bahwa

cukup banyak tingkat pemahaman ketiga kelompok responden persentasenya di

atas 80%. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU memiliki pengetahuan tentang

sumber daya lingkungan tempat mereka tinggal, walaupun kuantitas dan

kualitasnya semakin menurun seiring berjalannya waktu yang disebabkan oleh

beberapa faktor. Di samping karena populasinya masih banyak dan adanya

transfer pengetahuan dari generasi pendahulunya, juga karena tingginya interaksi,

interelasi, dan interdependensi dengan entitas-entitas acuannya merupakan faktor

penyebab dari fenomena ini.

Page 174: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

251

6.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba Antargenerasi GTBU

Interaksi, interelasi, dan interdependensi GTBU terhadap lingkungannya

sangat tinggi. Segala aktivitas yang mereka lakukan terhadap alam dan di alam

mereka kodekan dalam leksikon-leksikon verba yang beragam yang membuat BU

berbeda dengan BD lainnya.

Sebagai masyarakat agraris dengan lingkungan alam yang masih lestari

sudah tentu banyak aktivitas yang GTBU lakukan di lingkungan alam, seperti di

lingkungan sawah, kebun bahkan di lingkungan tempat tinggal mereka. Terkait

dengan perihal tersebut, pada bagian ini leksikon-leksikon verba yang mengacu

pada aktivitas GTBU terkait dengan lingkungan alam dikelompokkan menjadi

leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dan aktivitas yang

dilakukan di lingkungan pekarangan, baik yang terkait dengan flora maupun

fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.

6.1.2.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan

Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU

Persawahan di lingkungan tempat tinggal GTBU masih sangat luas dan

produktif dan pengolahannya masih banyak dilakukan secara tradisional sehingga

leksikon-leksikon yang mengacu pada aktivitas di lahan pertanian, khususnya

tentang pengolahan lahan, masih dipahami dengan baik umumnya oleh kelompok

responden dewasa dan tua karena sebagian dari mereka bermata pencaharian

petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data dapat ditunjukkan

bahwa tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini terhadap leksikon verba

di lahan pertanian paling rendah 80%, kecuali untuk leksikon mbubak „memecah

Page 175: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

252

tanah dengan cara dibajak atau dicangkul sehabis panen, yakni sebesar 75% dan

77,3%. Fenomena ini disebabkan oleh semakin jarangnya aktivitas mbubak dalam

tahapan pengolahan tanah. Karena traktor sudah dikenal di kalangan GTBU,

biasanya sehabis panen tanah sawah langsung ditraktor kemudian diratakan dan

didiamkan beberapa waktu sebelum siap ditanami padi.

Selanjutnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU tidak saja terdapat sawah

yang luas, tetapi juga lahan kebun. Ada berbagai jenis tanaman tumbuh di

dalamnya, baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Banyak aktivitas

yang dilakukan GTBU di lahan kebun, baik terhadap tanaman maupun terhadap

hasil-hasil kebun itu sendiri, yang mengindikasikan adanya interaksi, interelasi,

dan interdependensi mereka dengan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Aktivitas-aktivitas di lahan kebun yang mereka kodekan secara lingual, terekam

dalam leksikon-leksikon verba yang mereka pahami dengan tingkat pemahaman

yang beragam. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden

terhadap leksikon verba di lahan pertanian dan kebun.

Tabel 6.15

Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian

dan Kebun Antargenerasi GTBU

Leksikon Verba

BU di Lahan

Pertanian

Tingkat Pemahaman Leksikon Verba

BU di Lahan

Kebun

Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

mbebeng 85,7 80 100 ngunduh 95,2 100 100

nyirati 95,2 100 100 mbeseh 95,2 100 100

mbubak 66,7 75 81,8 ndekung 42,9 80 90,9

nambaki 90,5 90 100 nderes 95,2 100 100

nyacal 76,2 85 95,5 ngenam 71,4 90 95,5

ngempet 90,2 90 95,5 nggepluki 85,7 100 95,5

nggagas 100 100 100 ngonceti 100 100 100

nggebros/ngga

mpung

100 100 100 ngorag/ngureg 95,2 100 100

nggejig 52,4 85 90,9 majeg/nebas 85,7 95 95,5

nggulud 47,6 90 95,5 macaki 95,2 95 100

Page 176: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

253

ngileni (tentang

sawah)

100 100 100 nyumbat 95,2 100 100

mbalong 62 85 95,5 ngerimbas 85,7 100 100

melar 57,1 80 81,8 nyelogrok 66,7 80 100

ngeremponi 71,4 80 90,9 nyangkrab 76,2 80 100

matun 100 100 100 nanceb 38,1 80 100

nyebar 100 100 100 notor 85,7 100 100

ngurit 95,2 100 100 mepe 85,7 100 100

nguter 52,4 80 100 Mepe 100 100 100

mberubuk 33,3 80 86,4

nggrujug 81 90 90,9

Sementara itu, untuk responden remaja, walaupun interaksi mereka dengan

lingkungan sawah agak kurang, tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon

verba tentang aktivitas di lahan persawahan cukup tinggi, yaitu di atas 60%,

kecuali untuk leksikon-leksikon seperti nggejig „membuat lubang pada tanah

untuk menanam benih‟ dengan tingkat pemahaman sebesar 52,4%, nggulud

„meninggikan tanah sawah/membuat gundukan sebesar 47,6%, melar „membajak

tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering‟ sebesar 57,1%, nguter

„memindahkan bibit ke tempat penanaman permanen‟ sebesar 52,4%, dan

mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟ sebesar 33,3%. Kurangnya tingkat

pemahaman responden remaja terhadap leksikon-leksikon tersebut disebabkan

oleh ketidakmampuan mereka membedakan leksikon verba generik macul

„mencangkul‟ dengan verba spesifiknya seperti nggulud, melar, dan mberubuk

yang sama-sama memiliki makna mengolah tanah. Sementara itu, rendahnya

pemahaman mereka terhadap leksikon verba nggejig dan nguter disebabkan oleh

jarangnya mereka melakukan aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut.

Di samping itu, pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat

pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas

di lahan kebun cukup tinggi, yaitu 80% ke atas, kecuali tingkat pemahaman

Page 177: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

254

responden muda terhadap dua leksikon, yakni mbeseh „menyayat kulit pohon‟ dan

nyangkrab’membersihkan pohon dari ranting-rantingnya‟ dengan tingkat

pemahaman masing-masing 42,9% dan 38,1%. Hal ini disebabkan oleh langkanya

aktivitas menyayat kulit pohon yang menjadi acuan leksikon mbeseh serta adanya

kekaburan makna antara nyangkrab dan notor yang keduanya bermakna

menghilangkan cabang pohon. Perbedaannya adalah nyangkrab mengacu pada

aktivitas menghilangkan ranting-ranting kecil saja, sedangkan notor bermakna

menghilangkan ranting-ranting pohon baik yang kecil maupan yang besar.

Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-

leksikon verba ini, selain karena adanya transfer pengetahuan dari generasi

pendahulu, juga disebabkan oleh masih terpakainya leksikon-leksikon tersebut

untuk mengacu pada aktivitas-aktivitas yang menjadi acuannya dalam kehidupan

sehari-hari.

6.1.2.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap

Fauna dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU

GTBU tidak saja mengodekan secara lingual segala aktivitas yang mereka

lakukan di lahan pertanian dan di lahan kebun, tetapi juga aktivitas sosial yang

mereka lakukan terhadap entitas-entitas yang ada di sekeliling mereka. Hal ini

dapat dilihat dari beragamnya leksikon verba yang muncul yang mengodekan

aktivitas-aktivitas tersebut, seperti termuat dalam tabel berikut.

Tabel 6.16

Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna

dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU

Leksikon BU

Tingkat Pemahaman

Leksikon BU

Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Page 178: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

255

ngangsu 95,2 100 100 nyeruh 76,2 80 90,9

nyenggot 62 80 81,8 ngangon 62 85 86,4

ason-ason 62 80 95,5 nggetes 85,7 95 95,5

mbelor 23,8 55 59,1 ngileni (tentang

jangkrik)

95,2 100 100

nggeladag 71,4 75 77,3 medhok 76,2 90 95,5

ngantih 52,4 95 95,5 ngersaya 76,2 90 100

mbebek 85,7 85 86,4 majeg (tentang

hasil kebun)

71,4 100 100

mbelasak 66,7 80 72,7 nyelisir 85,7 95 100

mbenem 47,6 85 90,9 nyerimpung 85,7 90 95,5

mbleteti 76,2 85 100 mbentuk 100 100 100

mbombong 47,6 95 100 nyerawat 100 100 100

nyancang 100 100 100 nyuluh 95,2 100 100

nyekoki/njamoni

Pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat pemahaman ketiga

kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas sosial cukup tinggi

, kecuali terhadap leksikon mbelor „berburu babi hutan atau rusa pada malam hari

dengan menggunakan lampu sorot‟ yang tingkat pemahamannya masing-masing

sebesar 28,3%, 55%, dan 59,1%. Sementara itu, persentase tingkat pemahaman

rendah lainnya, khususnya remaja, juga ditemukan pada leksikon-leksikon, seperti

mintal/ngantih „memintal kapas untuk dijadikan benang‟ sebesar 52,4%,

sedangkan untuk responden dewasa dan tua sebesar 95% dan 95,5%, serta

leksikon mbenem „memasak sesuatu dengan cara membenamkannya di dalam

bara api (seperti pisang, ketela, dan pepesan)‟ dan mbombong „menyabung ayam

aduan‟ dengan tingkat pemahaman masing-masing 47,6% untuk responden

remaja, sedangkan responden dewasa dan tua masing-masing 85%/90,9% dan

95% / 100%.

Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap

leksikon mbelor karena leksikon tersebut memiliki kemiripan makna dengan

leksikon nggeladag, yakni keduanya bermakna berburu binatang hutan tanpa

Page 179: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

256

memperhatikan spesifikasinya. Sementara itu, selisih persentase tingkat

pemahaman yang mencapai hampir 50% antara responden remaja di satu sisi dan

responden dewasa dan tua di sisi lainnya terhadap leksikon-leksikon, seperti

mintal/ngantih, mbenem dan mbombong disebabkan oleh perbedaan tingkat

interaksi dengan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut.

6.1.2.3 Tingkat Pemahaman Leksikon tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi

GTBU

Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan

aktivitas dirinya secara lingual, namun juga beberapa aktivitas yang dilakukan

fauna yang dilihatnya. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon yang

merepresentasikan aktivitas fauna yang dimiliki BU, seperti ngeludes „aktivitas

menggemburkan tanah yang dilakukan babi hutan (celeng) tanah dengan

menggunakan moncongnya‟, nyeludug „menyeruduk dengan tanduk yang

dilakukan oleh hewan bertanduk, seperti kerbau, sapi, dan kambimg‟. Tabel

berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon verba

terkait dengan aktivitas beberapa fauna yang hidup di lingkungan tempat tinggal

GTBU

Tabel 6.17

Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Aktivitas hewan ngokok 95,2 100 100

ngeludes 66,7 70 90,9 neba 66,7 70 95,5

kedrangen 62 70 95,5 metingkring 100 100 100

ngguyang 76,2 90 95,5 giblas-giblas 90,5 100 100

ngeregeb 81 85 95,5 nyisil 52,4 90 95,5

nyeludug 95,2 100 100 nyeblak 90,5 95 100

Page 180: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

257

Aktivitas unggas

dan burung

Aktivitas

serangga

nyeker 100 100 100 nyenget 95,2 100 100

ngendhat 66,7 75 86,4 Aktivitas reptile

ngentit 76,2 85 95,5 nyeloyor 62 80 100

keblak-keblak 90,5 95 95,5

Pada tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas fauna di atas 60%, kecuali

tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon nyisil „aktivitas menguliti

bulir padi atau kacang yang baisanya dilakukan oleh burung atau tikus‟, yakni

sebesar 52,4%. Di samping karena kurangnya interaksi dengan lingkungan

tempat aktivitas biasanya terjadi dan leksikon verba nyisil digantikan oleh

leksikon verba BJ mangan „makan‟.

6.1.2.4 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam

Antargenerasi GTBU

Aktivitas alam yang terekam dalam leksikon verba BU secara umum

terjadi di wilayah tropis, namun menggunakan leksikon verba yang berbeda-beda.

GTBU menamai aktivitas alam dalam BU. Seiring berjalannya waktu, terjadi

perubahan leksikon yang dipakai untuk memverbalkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Hal ini berdampak pada tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-

leksikon BU untuk mengacu aktivitas-aktivitas alam tersebut.

Hampir semua kelompok responden memiliki tingkat pemahaman yang

cukup tinggi terhadap kelompok leksikon verba BU tentang aktivitas alam. Hal ini

menandakan bahwa mereka cukup akrab dengan lingkungan dan adanya transfer

ilmu pengetahuan tentang acuan leksikon-leksikon tersebut telah dilakukan oleh

generasi pendahulu, di samping aktivitas yang diacu oleh leksikon tersebut tetap

Page 181: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

258

berlangsung dan sering muncul di sekeliling mereka. Bagaimana tingkat

pemahaman responden terhadap leksikon verba BU tentang aktivitas alam dapat

dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.18

Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam

Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Fenomena alam logrog 100 100 100

ngampar-ampar 33,3 65 81,8 mekrog 66,7 70 90,9

ngungkreg 42,9 70 90,9 meldhog 71,4 70 95,5

mencorong 85,7 100 100 mergodog 66,7 75 95,5

Aktivitas alam merkatak 62 65 95,5

mberojol 71,4 85 100 mecukul 100 100 100

nggerontol 90,5 100 100 methukul 100 100 100

nggeluntung 71,4 75 95,5 melethek 95,2 100 100

Dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok

responden aktivitas alam cukup tinggi, kecuali terhadap dua leksikon pada

responden muda, yakni leksikon verba ngampar-ngampar „menyambar-nyambar

(tentang burung)‟ dan ngungkreg „berguncang/bergetar dengan keras karena

(tentang tanah) gempa bumi‟, yang masing-masing sebesar 33,3% dan 42,9%.

Kekurangpahaman responden remaja terhadap kedua leksikon tersebu disebabkan

oleh tergantikannya leksikon BU oleh leksikon BJ, yakni nyamber-nyamber untuk

ngampar-ngampar dan goyang untuk leksikon ngungkreg.

6.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU

Sama seperti masyarakat Indonesia lainnya, GTBU juga tidak luput dari

perubahan. Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, informasi, dan

komunikasi misalnya, menjadikan mereka berkembang menjadi masyarakat yang

Page 182: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

259

kompleks. Sebagai dampaknya, muncul perubahan dalam aspek sosial, budaya,

dan alam. Bahasa sebagai salah satu aspek budaya tidak luput dari perubahan ini,

termasuk leksikon bahasa tersebut. Leksikon yang merepresentasikan lingkungan

alam tempat bahasa itu dipakai turut berubah seiring dengan perubahan entitas-

entitas yang diacunya. Leksikon yang dikenal dan digunakan pada satu dasawarsa

sebelumnya, mungkin akan tidak dikenal saat ini karena entitas acuannya sudah

tidak ada atau leksikon tersebut sudah tergantikan oleh leksikon bahasa lain

namun acuannya tetap sama.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat penggunaan responden

terhadap leksikon lingkungan alam daratan Banyuwangi jauh lebih rendah

dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, kecuali terhadap leksikon-leksikon

yang mengacu pada entitas-entitas yang akrab dengan kehidupan sehari-hari

responden. Walaupun demikian, perlu kiranya diungkap leksikon-leksikon mana

saja yang mengalami penurunan penggunaan yang sangat tajam dan yang mana

masih bertahan. Berikut adalah uraian tentang tingkat penggunaan oleh responden

terhadap kelompok leksikon dalam kategori nomina dan verba.

6.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Antargenerasi GTBU Berkategori

Nomina

Sama seperti tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon

lingkungan alam BU dibedakan menjadi dua, yakni tingkat penggunaan leksikon

nomina yang terdiri dari tingkta penggunaan leksikon flora dan leksikon fauna dan

tingkat penggunaan leksikon verba BU. Berdasarkan analisis data dan temuan di

lapangan, dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang

Page 183: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

260

signifikan antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon

lingkungan alam BU, khususnya di kalangan responden remaja.

6.2.1.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Flora Antargenerasi GTBU

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kelompok leksikon flora

dibedakan menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil, yaitu bedasarkan fungsi

atau kegunaannya bagi kehidupan manusia. Kelompok yang dimaksud meliputi:

kelopok leksikon tanaman bahan pangan, sayur-sayuran, buah-buahan,

bumbu/obat, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lain. Berikut adalah uraian

tingkat penggunaan leksikon dari masing-masing kelompok leksikon yang yang

dimaksud.

(1) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa jika dibandingkan dengan

tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon lingkungan alam oleh semua

responden jauh lebih kecil. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh sebagai

berikut. Leksikon lemi „kotoran buah jagung‟ dan entitasnya sangat diakrabi oleh

responden dewasa dan tua khususnya yang sering bertanam jagung, karena setiap

habis panen jagung mereka akan sering berinteraksi dengan lemi, dan lemi juga

sering menjadi topik pembicaraan mereka. Hal yang berbeda akan terjadi pada

responden remaja yang hanya pernah mendengar leksikon lemi namun tidak

pernah menjadikannya topik pembicaraan karena mereka jarang berinteraksi

dengan entitas lemi. Tabel berikut menunjukkan tingkat penggunaan leksikon

bahan pangan oleh ketiga kelompok responden.

Page 184: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

261

Tabel 6.19

Tingkat Penggunaan Leksikon Bahan Pangan

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Padi dan

jenisnya

Sesuatu terkait

dengan padi

pari 100 100 100 rantap 47,6 50 81,8

pari singgang 9,6 65 63,6 palawija 62 90 100

pari sogel - 45 63,6 tumpang sari 23,5 70 86,4

pari unthup 4,8 15 22,7 Tanaman jagung

dan bagian-

bagiannya

pari gaga 4,8 60 63,6 jagung 100 100 100

pari genjah

harum

42,8 65 77,3 janggel 57,1 65 81,8

sambulan 9,8 25 81,8 kelobot 57,1 60 86,4

ketan cemeng 62 60 68,2 lemi 33,3 50 63,6

ketan putih 90,5 90 95,5 tebon 52,4 70 72,7

winih 90,5 100 100 Bahan pangan

lain

Bagian-bagian

tanaman padi

kentang jembut 81 90 95,5

menir 42,9 70 81,8 sabrang 95,2 95 95,5

elas - 25 36,4 gadhung 71,4 75 90,1

dami 52,3 80 81,8 arus 26,8 60 68,2

merang 28,6 70 81,8 ganyong 14,3 55 72,7

sekem 52,3 60 81,8 kajar 9,6 30 40,1

belubon 14,3 20 45,5 suweg 33,3 50 54,5

tugih 9,6 20 45,5 puhung 100 100 100

Pada tabel di atas tertera bahwa di antara semua persentase tingkat

penggunaan leksikon yang ada, persentase tingkat penggunaan leksikon-leksikon

spesifik tentang pari menunjukkan tingkatan penggunaan cukup rendah

khususnya pada responden remaja, seperti terlihat pada leksikon-leksikon pari

singgang (9,6%), pari sogel (0%), pari gaga (4,8%), dan sambulan (9,8%).

Rendahnya tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon-leksikon

tersebut disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas-entitas acuannya

karena sebagian besar dari mereka bukan petani.

Page 185: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

262

Hal sebaliknya terlihat pada tingkat penggunaan oleh ketiga kelompok

responden pada leksikon-seksikon generik, seperti leksikon pari „padi‟ dan

jagung „jagung‟, dan juga lekikon-leksikon lainnya, seperti ketan cemeng „ketan

hitam‟, ketan putih „ketan (putih), winih „benih‟, menir „beras kecil-kecil sisa

beras yang ditampi‟, dami „jerami‟, kentang jembut „kentang lokal yang berukuran

kecil-kecil dan berambut‟, sabrang „ketela rambat‟, dan puhung „ketela pohon‟

dengan tingkat penggunaan ketiga kelompok responden masing-masing sebesar

100%. Masih tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut di kalangan

responden disebabkan oleh adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi pada

entitas-entitas acuannya sehingga GTBU selalu membudidayakannya membuat

populasinya tetap banyak.

(2) Tingkat penggunaan leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU

Sama seperti terhadap leksikon generik entitas-entitas lainnya, tingkat

penggunaan ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon generik jenis

buah-buahan yang tumbuh di wilayah ini, seperti poh „mangga‟, jambu „jambu‟,

jeruk „jeruk‟, gedhang „pisang‟, rambutan ‘rambutan‟, dan duren „durian‟, serta

beberapa leksikon spesifik dari jenis buah tertentu dan juga jenis buah lainnya,

juga mencapai 100%. Beberapa leksikon spesifik dari entitas buah tertentu yang

tingkat penggunaannya mencapai 100% atau rerata tingkat penggunaan responden

hampir 100%, di antaranya adalah poh manalagi „mangga manalagi‟, poh koweni

„mangga kuweni‟, rambutan aceh „rambutan aceh‟, gedhang raja „pisang raja‟,

gedhang saba „pisang kepok‟, gedhang ambon „pisang ambon‟, gedhang selakat

„pisang susu‟, kedondhong „kedondong‟, nanas „nenas‟, dan pace „mengkudu‟.

Page 186: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

263

Tingginya penggunaan leksikon poh manalagi, poh koweni, gedhang saba,

gedhang ambon „pisang ambon, gedhang selakat „pisang susu‟ dan rambutan

aceh di samping karena populasinya banyak, sumbangsihnya kepada

perekonomian masyarakat juga turut menyebabkan entitas-entitas dari leksikon ini

dibudidayakan. Sementara itu, fenomena yang terjadi pada leksikon gedhang raja

di samping memiliki nilai ekonomi yang tinggi, gedhang juga memiliki peran

budaya karena kehadirannya yang wajib pada acara slametan yang bermakna

orang yang dislameti berperilaku seperti raja. Untuk mengetahui tingkat

penggunaan responden terhadap leksikon buah-buahan, perhartikan tabel berikut.

Tabel 6.20

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Buah-buahan

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Mangga dan

jenisnya

Pisang dan

jenisnya

poh/epoh 100 100 100 gedhang 100 100 100

poh manalagi 81 85 86,4 gedhang sempring 4,8 30 31,8

poh golek 66,7 70 77,3 gedhang agung 14,3 50 59,1

poh kuweni 81 90 90,9 gedhang berlin 42,9 85 86,4

poh kates 4,8 35 36,4 gedhang ambon 71,4 95 95,5

poh madu 57,1 75 86,4 gedhang emas 42,9 80 86,4

poh ganda 4,8 45 59,1 gedhang keladi 4,8 20 27,3

poh kenyut 36 40 59,1 gedhang ijo 4,8 85 86,4

poh kopyor 4,8 60 68,2 gedhang lempeneng 52,4 90 90,9

poh kotak - 35 36,4 gedhang keluthuk 52,4 75 77,3

poh endhog 14,3 45 40,1 gedhang sri

nyonyah

71,4 80 86,4

poh kecik 66,7 70 77,3 gedhang raja

nangka

33,3 35 45,5

Jambu dan

jenisnya

gedhang kapuk 9,6 35 77,3

jambu 100 100 100 gedhang

selakat(susu)

81 85 81,8

jambu mente 33,3 60 63,6 gedhang sewu - 70 81,9

jambu keluthuk 76,2 95 95,5 gedhang welut 66,7 65 77,3

jambu kelampok 19 50 63,6 gedhang raja 95,2 100 100

jambu lante 9,6 50 68,2 gedhang saba 90,5 95 95,5

jambu darsono 33,3 65 54,5 Bagian-bagian

Page 187: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

264

dari pohon pisang

jambu semarang - 60 63,6 gedhebog 90,5 100 100

jambu wer 42,9 75 90,9 peret /serat 19 75 81,8

Nangka dan

bagian-

bagiannya

papah 42,9 65 86,4

nangka 100 100 100 kelaras 28,6 65 77,3

pucil 19 50 77,3 ontong 85,7 90 95,5

babal 19 55 81,8 pupus 42,9 65 90,9

tombol 23,8 70 77,3 tandan 19 75 77,6

empik 14,3 55 59,1 godhogan 23,8 30 59,1

bethon 80,1 90 95,5 Peralatan dari

daun pisang

Rambutan dan

jenisnya

samir 23,8 35 45,5

rambutan 100 100 100 pincuk 71,4 75 81,8

rambutan aceh 100 100 90,9 suru 66,7 75 77,3

rambutan

rapiah

95,2 90 90,9 takir 26,8 50 81,8

rambutan lebak

bulus

66,7 70 72,7 Jenis buah lainnya

Duren dan

jenisnya

manggis 85,7 85 86,4

duren 100 100 100 wuni 66,7 85 86,4

duren putih 95,2 95 95,5 kedondong 100 100 100

duren abang - 15 22,7 kentul 19 25 31,8

Jeruk dan

jenisnya

tai lampah - 10 31,8

jeruk 100 100 100 belimbing manis 71,4 95 95,5

jeruk sambel 85,7 85 90,9 langsat 57,1 65 86,4

jeruk purut 57,1 85 90,9 duku 57,1 65 63,6

jeruk manis 85,7 85 86,4 cerème 71,4 85 86,4

jeruk limo 57,1 85 86,4 nanas 100 100 100

jeruk kikit - 20 22,7 kates 100 100 100

Delima dan

jenisnya

pace 76,2 100 100

delima 100 100 100 belewah 42,9 65 77,3

delima putih 38,1 40 63,6 belungking 28,6 65 72,7

delima abang 9,6 20 22,7

Sementara itu, leksikon beberapa entitas gedhang sangat tinggi

penggunaanya. Namun beberapa jenis lainnya bersifat sebaliknya, di antaranya

seperti gedhang sempring „pisang dengan buah lurus dan panjang menyerupai

pring‟ (4,8%, 30%, dan 31,8%), gedhang agung „pisang agung‟ (14,3%, 50%, dan

59,1%), gedhang keladi „pisang keladi‟ (4,8%, 20%, dan 27,3%), dan gedhang

raja nangka „pisang raja nangka‟ (33,3%, 35%, dan 45,%). Rendahnya tingkat

Page 188: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

265

penggunaan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan sehari-hari rsponden

disebabkan oleh kurangnya interaksi dengan entitas-entitas acuannya, di samping

karena jenis-jenis pisang tersebut tidak bisa tumbuh dengan baik kalau habitatnya

tidak sesuai, juga kebermanfaatannya tidak sebesar jenis pisang dengan tingkat

penggunaan leksikonnya tinggi.

Di antara entitas-entitas buah dalam tabel di atas, ada dua entitas yang

termasuk buah langka, yakni sentul „buah kecapi‟ dan tai lampah, yaitu tumbuhan

dengan buah yang menyerupai buah kayu bunut. Tingkat penggunaan leksikon-

leksikon terhadap keduanya sangat rendah untuk ketiga kelompok responden,

yakni sebesar 19%, 25%, dan 31,8% untuk leksikon sentul dan 0%, 10%, dan

31,8%. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas

acuannya karena manfaatnya yang kurang terhadap kehidupan GTBU.

(3) Tingkat penggunaan leksikon tanaman sayur- sayuran antargenerasi GTBU

Beragam jenis sayuran, khususnya sayuran lokal, masih banyak ditemukan

tumbuh di wilayah ini. Hal ini disebabkan adanya interaksi, interelasi dan

interdependensi GTBU yang cukup tinggi dengan entitas-entitas tersebut. Hal ini

tentunya berdampak pada tingkat penggunaan leksikon-leksikonnya oleh

responden, baik leksikon generik maupun leksikon spesifiknya. Berbeda dengan

kasus-kasus sebelumnya yang tingkat penggunaan responden terhadap leksikon-

leksikon generik entitas-entitasnya yang mencapai hampir 100%, tingkat

penggunaan leksikon generik sayuran bervariasi, ada yang hampir 100% seperti

terhadap leksikon generik turi sebesar 90,5%, 100%, dan 100%; kacang dengan

tingkat pengunaan semuanya 100%, sedangkan untuk leksikon generik lainnya

Page 189: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

266

seperti labu sebesar 62%, 85%, dan 81,8%, kara sebesar 33,3%, 85%, dan 95,5%,

jamur sebesar 66,7%, 90%, dan 95,5%, dan bayem sebesar 71,4%, 90%, dan

95,5%. Secara lebih rinci, tabel berikut mengandung tingkat penggunaan

responden terhadap leksikon sayur-sayuran.

Tabel 6.21

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Sayur-sayuran

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Turi dan

jenisnya

Jamur dan

jenisnya

turi 90,5 100 100 jamur 66,7 90 95,5

turi abang 23,8 50 54,5 jamur dami 23,8 50 54,5

turi putih 38,1 85 100 jamur merang 23,8 35 54,5

Labu dan

jenisnya

jamur kepong 14,3 25 22,7

labu 62 85 81,8 jamur kuping 47,6 60 68,2

labu abang 4,8 25 22,7 jamur ulan 23,8 35 54,5

labu kuning 9,6 65 63,6 jamur menur 9,6 45 50

labu putih 9,6 70 72,7 jamur manuk 23,8 50 77,3

labu siyem 33,3 50 50 jamur gerigit - 40 45,5

Kara dan

jemisnya

jamur impes 9,6 15 22,7

kara 33,3 85 95,5 jamur lot 42,9 45 63,6

kara benguk - 10 40,1 jamur gajih 4,8 40 45,5

kara kerato - 70 50 Jenis sayur

lainnya

kara abang - 15 4o,1 buncis 100 100 100

kara ijo 19 65 81,8 dhangsul 100 100 100

kara putih 9,6 25 59,1 gambas 71,4 75 90,9

kara komak 38,1 55 63,6 pare 90,5 95 100

kara pedang - 65 63,6 kelentang 100 100 100

kara utek - 40 40,1 tegok 47,6 80 86,4

Kacang dan

jenisnya

terong 95,2 100 100

kacang 100 100 100 timun 100 100 100

kacang brol 85,7 100 100 belimbing wuluh 100 100 100

kacang ijo 100 100 100 gundha 85,7 100 100

kacang jangan 100 100 100 katu 90,5 90 90,9

kacang kapri 14,3 60 54,5 kangkung 100 100 100

kacang tunggak 38,1 60 54,5 kelor 100 100 100

kacang usi(ose) - 70 77,3 genjer 71,4 75 95,5

Bayam dan

jenisnya

bagu 62 65 95,5

bayem 71,4 90 95,5 manting 47,6 80 95,5

bayem cina 9,6 25 50 Kemangi 81 100 100

Page 190: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

267

bayem abang - 55 54,5 kenikir 90,5 90 90,9

bayem eri 4,8 40 45,5 Keningar 33,3 40 77,3

bayem kul - 40 50 lembayung 90,5 95 100

bayem menir 9,6 30 50 lucu 71,4 90 90,9

ayem raja 9,6 10 22,7 semanggi 71,4 100 100

bayem sapi 9,6 50 72,7

bayem pasir - 35 50

Berbeda dengan tingkat penggunaan leksikon-leksikon generiknya, pada

tebel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon

spesifik dari entitas-entitas tersebut dan leksikon-leksikon entitas sayuran lainnya

menunjukkan persentase yang sangat bervariasi pada ketiga kelompok responden.

Pada beberapa leksikon spesifik untuk jenis kara, seperti kara benguk, kara

kerato, kara abang, kara pedang, dan kara utek , tingkat penggunaan leksikonnya

masing-masing sebesar 0%, khususnya pada responden remaja. Fenomena yang

sama juga ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon spesifik kacang usi/ose,

bayem abang, bayem kul, dan jamur gerigit. Tidak pernah terpakainya leksikon-

leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden remaja khususnya, di

samping karena tidak adanya interaksi, juga tidak adanya transfer pengetahuan

dari generasi pendahulu kepada generasi berikutnya, banyaknya pilihan sayur

lokal lainnya, serta sedikitnya populasi merupakan faktor-faktor penyebab

fenomena ini.

Selain informasi tentang tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon

generik dan spesifik entitas-entitas tersebut di atas, dalam tabel di atas juga

dapat terlihat tingkat penggunaan terhadap leksikon jenis sayuran lokal lainnya,

yang persentasenya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat

penggunaan leksikon-leksiko spesifik yang telah diulas. Berdasarkan analisis data

dan pengamatan di lapangan, tingkat penggunaan leksikon sayuran lokal, seperti

Page 191: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

268

di antaranya kelentang, kelor, gundha, kangkung, katu, belimbing sayur/wuluh,

lembayung, lucu, dan semanggi reratanya hampir mencapai 100%. Sering

munculnya leksikon-leksikon sayuran lokal tersebut dalam komunikasi kehidupan

sehari-hari GTBU disebabkan faktor-faktor seperti masih adanya tingkat

interaksi, interelasi dan interdependensi antara entitas-entitas acuannyadan

kehidupan GTBU. Walaupun beberapa jenis sayuran non-lokal, seperti wortel,

buncis, sawi putih dan hijau, dan kol telah hadir di tengah kehidupan GTBU,

karena populasinya masih banyak serta ecoregion-nya sangat sesuai dengan

entitas-entitas ini, maka leksikon beserta entitas acuannya masih bertahan hingga

saat ini. Khusus untuk leksikon kelor, tingginya penggunaan leksikon ini dalam

komunikasi responden dikarenakan oleh perannya dalam kehidupan budaya

GTBU sebagai bahan jangan kelor, salah satu sajian dalam upacara slametan di

samping dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan jangan bening „sayur bening‟

sehingga hampir setiap keluarga memiliki tanaman ini di pekarangan atau di

kebun mereka.

(4) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi

GTBU

Dari sejumlah leksikon yang ada di kelompok ini, ada yang entitasnya

berfungsi ganda yaitu sebagai tanaman obat sekaligus sebagai tanaman bumbu

dan ada yang hanya berfungsi sebagai tanaman obat saja. Yang termasuk dalam

kelompok pertama diantaranya adalah bawang abang „bawang merah‟, bawang

putih „bawang putih‟, jae „jahe‟, kunir „kunyit‟, cabe merah „cabe merah‟, laos

„lengkuas‟, dan sereh „sere‟. Entitas yang termasuk kelompok kedua jumlahnya

sangat banyak, di antaranya temu cemeng „temu hitam‟, temu kunci „temu kunci‟,

Page 192: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

269

bangle „bangle‟, sambiloto „sambiloto‟, kembang bintang „bunga bintang, dan

sebagainya. Jika tingkat penggunaan leksikon kedua kelompok tersebut

dibandingkan, terlihat tingkat penggunaan leksikon kelompok pertama jauh lebih

tinggi dari pada kelompok yang kedua. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.22

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Obat

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Temu dan jenisnya cabe merah 100 100 100

temu 14,3 85 90,9 cabe rawit 100 100 100

temu cemeng 4,8 55 63,6 pulasari - 10 18,2

temu kunir 4,8 65 77,3 Jinten - 30 36,4

temu putih - 50 63,6 kapulaga 9,6 25 40,1

temu rapet - 55 63,6 jemukus - 5 9,1

temu kunci 14,3 50 50 cengkeh 95,2 100 100

temu giring 4,8 35 40,1 sambiloto 4,8 50 63,6

Jenis tanaman obat

dan bumbu lainnya

sembung - 10 13,6

bawang abang 100 100 100 deringu 4,8 25 45,5

bawang putih 100 100 100 dilem - - 36,4

bakung 4,8 35 40,1 kayu putih 14,3 50 54,5

bangle 9,6 25 40,1 kayu manis 28,6 40 36,4

iles-iles - - 22,7 kumis kucing 19 65 72,7

lempuyang 14,3 75 77,3 legundi - - 4,5

lempuyang wangi 4,8 40 40,1 lidah buaya 62 80 81,8

lempuyang gajah - 25 36,4 luntas 38,1 85 86,4

jae 100 100 100 mangkokan 4,8 60 54,5

kencur 95.2 100 100 meniran - 45 50

kunir 100 100 100 tapak dara - 25 31,8

laos 100 100 100 tapak liman - 30 31,8

sempol - 15 13,6 sambung

nyawa

- 30 36,4

kembang bintang - 20 18,2 pecah beling 4,8 60 63,6

Adas 9,6 35 40,1 urang-aring 14,3 60 63,6

mahkota dewa 14,3 60 59,1 sereh 95,2 95 100

kemiri 100 100 100 pule - 25 31,8

cabe 62 80 81,8 teki 14,3 60 63,6

Ada dua fenomena penting yang dapat dijelaskan dari isi tabel di atas.

Fenomena pertama, tingkat penggunaan ketiga kelompok responden terhadap

Page 193: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

270

leksikon tanaman obat yang sekaligus merupakan tanaman bumbu semuanya

hampir mencapai 100%, seperti terlihat pada tingkat penggunaan leksikon bawang

abang (100%, 100%, dan 100%), jae (100%, 100%, dan 100%), cengkeh

(95,2%, 100%, dan 100%), laos (100%, 100%, dan 100%), dan sereh (95,2%,

95%, dan 100%). Ada beberapa faktor penyebab tingginya tingkat penggunaan

leksikon terhadap entitas-entitas ini. Selain adanya interaksi, interelasi,

intedependensi yang sangat tinggi karena semuanya merupakan kebutuhan sehari-

hari GTBU, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi

berikut dan banyaknya populasi adalah sebagai faktor peneyebab fenomena di

atas.

Hal penting kedua yang dapat diamati adalah adanya perbedaan tingkat

penggunaan leksikon yang sangat jauh antara responden muda di satu pihak dan

responden dewasa dan tua di pihak lainnya. Hal ini dapat diamati pada sebagian

leksikon yang mengacu pada entitas-entitas yang hanya berfungsi sebagai

tanaman obat saja. Beberapa di antaranya adalah kemukus (0%, 5% dan 9,1%),

sembung (0%, 10% dan 13,6%), temu cemeng (4,8%, 55% dan 63,6%),

lempuyang wangi (4,8%, 40% dan 40,1), temu kunci (14,3%, 50% dan50%), teki

(14,3%, 60% dan 63,6%), kayu putih (14,3%, 50%, 54,5), kumis kucing (19%,

65% dan 72,7), kayu manis (28,6%, 40% dan 40,1%), dan luntas (38,1%, 85%

dan 86,5%).

Tampilan beberapa contoh data di atas untuk memperlihatkan rentangan

tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon tanaman obat dari

terendah 0% dan yang tertinggi 38,1%. Jika tingkat penggunaan ini dibandingkan

Page 194: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

271

dengan tingkat penggunaan pada responden dewasa dan tua ditemukan perbedaan

yang sangat jauh, yakni 1:5, 1:10,1:11, atau lebih. Fenomena ini hampir sebagian

besar disebabkan oleh kurangnya interaksi dan pengetahuan responden terhadap

entitas dan manfaatnya pada kehidupan mereka karena fungsinya sebagai obat

ramuan tradisional sudah digantikan oleh obat kimia yang penggunaannya lebih

praktis serta mudah diperoleh. Sementara itu, tingkat penggunaan terhadap

leksikon luntas, yakni sebesar 38,1% bukan semata-mata disebabkan fungsinya

sebagai tanaman obat, melainkan sebagai tanaman pagar dan bahan sayur urap di

samping populasinya sangat banyak.

(5) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU

Bunga bukan merupakan entitas penting bagi kehidupan GTBU sebagaimana

masyarakat yang menganggap bunga merupakan elemen penting dalam aktivitas

sosial, budaya, dan religi, seperti masyarakat Bali, misalnya. Hal ini berdampak

pada sedikitnnya leksikon tentang bunga beserta entitas acuannya yang ada di

wilayah ini. Walaupun demikian, ada sejumlah leksikon bunga yang persentase

tingkat penggunaannya cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti

leksikon kembang gantil „kembang sepatu‟ (66,7%, 70% dan 77,3%), kembang

mawar ‘bunga mawar‟ (81%,85% dan 86,4%), kembang wangsa „bunga kenanga‟

(47,6%, 85% dan 86,4%), dan sembuja „bunga kamboja‟(62%,60% dan 68,2%).

Tingginya tinggkat pengunaan sejumlah leksikon di atas karena adanya

keterkaitan kehidupan sosial dan budaya GTBU dengan entitas-entitas acuannya.

Sebagai contoh, kembang gantil, populasi entitas ini masih banyak ditemukan di

lingkungan tempat tinggal GTBU karena fungsinya sebagai pagar pekarangan,

Page 195: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

272

sedangkan yang terjadi pada leksikon sembuja karena eksistensinya sebagai

tanaman di daerah pekuburan sehingga interaksi responden dengan entitas ini

cukup tinggi, di samping populasinya masih banyak.

Sementara itu, untuk leksikon kembang wangsa dan kembang mawar yang

tingkat penggunaan leksikonnya cukup tinggi disebabkan peran budaya yang

diembannya, yakni sebagai elemen kembang telon yaitu tiga macam bunga yang

harus ada dalam ritual santet, di samping kembang sundel „bunga sedap malam‟

atau penggantinya yaitu pecari putih/kuning „cempaka putih/kuning‟ apa bila

kembang sundel tidak ada. Akan tetapi, dua entitas yang disebut terakhir ini

tingkat penggunaan leksikonnya masing-masing 9,6%, 40% dan 45,5% dan

28,6%, 45% dan 68,2%. Untuk mengetahui tingkat penggunaan leksikon bunga

lainnya secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut.

Tabel 6.23

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bunga

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

pecari 28,6 55 77,3 pacar 62 70 77,3

pecari putih 28,6 45 68,2 tunjung 4,8 10 50

pecari kuning 23,8 25 36,4 widuri putih - 15 27,3

peciring 19 30 54,5 widuri biru - 10 9,1

pembang gantil 66,7 65 77,3 kembang bacin 57,1 60 59,1

kembang merak 19 55 68,2 kembang bangah 4,8 40 36,4

kembang bojog 19 50 54,5 kembang

tembelekan

- 15 13,6

menur 33,3 55 81,8 kembang

kecubung

19 50 54,5

seruni 52,4 30 31,8 tikul balung 33,3 65 68,2

kembang kertas 63 85 72,7 pecah beling - 35 22,7

serngenge 42,9 65 86,4 kemuning 9,6 30 59,1

kembang sundel 9,6 40 45,5 kembang wangsa 47,6 85 77,3

mawar 81 85 86,4 sembuja 62 60 68,2

Page 196: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

273

Selain leksikon dari entitas-entitas yang telah disebutkan di atas, pada

tabel di atas juga tampak leksikon-leksikon yang tingkat penggunaannya cukup

tinggi karena keunikan dan fungsinya dalam kehidupan GTBU, seperti kembang

bacin dengan tingkat penggunaan sebesar 57,1%, 60% dan 59,1% dan pacar

„pacar inai‟ sebesar 62%, 70%, dan 77,3%. Tingginya penggunaan leksikon

kembang bacin karena populasinya cukup banyak dan baunya yang busuk

sehingga terekam begitu kuat di memori masyarakat, sedangkan fenomena yang

terjadi pada pacar adalah karena berfungsi dalam kehidupan budaya, salah satu

elemen kembang kirim „bunga tabur untuk orang meninggal serta kembang

menur yang tingkat penggunaannya 33,3%, 55%, dan 81,8% memiliki kaitan

dengan kehidupan budaya, yakni untuk hiasan pengantin.

(6) Tingkat penggunaan leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU

Entitas kelapa merupakan tanaman yang paling mudah ditemukan di

lingkungan tempat tinggal GTBU karena begitu banyaknya populasi. Ada

interaksi, interekasi, dan interdependensi yang sangant tinggi antara GTBU

dengan entitas ini karena beberapa peran penting yang diembannya, di antaranya

peran ekonomi dan sosial budaya. Secara ekonomi, tidak saja buahnya namun

juga janur dan batang entitas ini dapat dijual sehingga dapat menunjang

perekenomian GTBU. Sementara itu, peran sosial entitas dapat dilihat

keterpakaian bbeberapa bagian pohon kelapa untuk peralatan rumah tangga dan

bangunan, sedangkan peran budaya yang diembannya dapat dilihat pada

terpakainya parutan buah kelapa untuk bumbu pecel pitik dalam beberapa acara

slametan dan dauannya dipakai sebagai hiasan pada setiap hajatan terutama

Page 197: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

274

upacara mantenan. Begitu pentingnya entitas kelapa bagi kehidupan mereka,

GTBU tidak saja menjadikan jenis-jenis kelapa dan bagian-bagian dari pohonnya

sebagai topik dalam percakapan mereka sehari-hari, tetapi juga barbagai macam

peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon entitas tersebut. Hal ini dapat

dilihat dari berbagai macam leksikon terkait dengan kelapa yang dimiliki BU yang

membuatnya berbeda dengan BD lain khusus leksikon perkelapaan beserta

tingkat penggunaannya oleh masing-masing kelompok responden seperti terlihat

dalam tabek berikut.

Tabel 6.24

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Kelapa

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Kelapa dan

jenisnya

tombong

kelapa 100 100 100 pol

kelapa bunyuk - 25 22,7 mancung

kelapa ijo 90.5 100 100 Peralatan

terbuat dari

bathok/

pohon kelapa

kelapa kopyor 9,6 55 72.3 cengkir 9,6 55 72.3

kelapa gadhing 42,9 95 90,9 irus 33,5 45 50

kelapa puyuh 52,4 55 72,7 kepang 33,3 60 59,1

Bagian-bagian

pohon kelapa

kiso 14,3 40 68,2

bongkok 85,7 95 95,5 rinjing - 45 45,5

bathok 85,7 100 100 siwur 47,6 65 68,2

belarak 72,1 75 86,4 patar 4,8 45 50

belangkokan 19 70 90,9 sapu 100 100 100

beluluk 4,6 85 90,9 tepis 90,5 100 100

cangkok 42,9 80 77,3 kurih 4.8 55 59,1

cikilan 62 75 86,4 sepet 95,5 100 100

celumpring 62 80 100 bencorong 47,6 80 95,5

dangu 72,1 80 86,4 canting 38,1 55 59,1

gelugu 42,9 60 86,4 welit 9,6 35 40,1

tali papah 19 70 81,8 Hasil olahan

dari buah

kelapa

janur 95,2 100 100 gulali 4,8 5 31,8

Page 198: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

275

jeliring 42,9 60 86,4 koyah 9,6 70 68,2

mayang 23,8 65 77,3 koprah 28,6 70 72,3

ruyung 9,6 60 72,7 sawur 23,8 50 77,3

tapas 4,6 75 77,3

Ada empat kelompok tingkat penggunaan leksikon yang termuat dalam

tabel di atas, yakni leksikon-leksikon tentang jenis-jenis kelapa, nama-nama

bagian pohon kelapa, peralatan yang terbuat dari bagian pohon kelapa, serta

beberapa olahan yang terbuat dari buah kelapa. Hampir sama dengan fenomena

yang ditemukan pada bagian lainnya, tingkat penggunaan responden remaja

terhadap hampir sebagian besar leksikon jauh lebih kecil dari pada tingkat

penggunaan oleh responden dewasa dan tua. Walaupun demikian, dalam beberapa

bagian ditemukan juga tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok cukup

tinggi, seperti pada leksikon tentang jenis kelapa yaitu kelapa ijo „kelapa hijau‟

sebesar 90,5%, 100%, dan 100%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon entitas

ini dalam wacana sehari-hari GTBU, di samping karena populasinya cukup

banyak, khasiat buah muda entitas ini bila dicampur dengan ramuan tertentu dapat

digunakan sebagai penjaga stamina, khususnya kaum lelaki, serta khasiat

minyaknya sebagai penyubur dan penguat rambut adalah penyebab semuanya.

Sementara itu, terhadap leksikon nama-nama bagian pohon kelapa yang

tingkat penggunaannya cukup tinggi adalah pada leksikon janur „daun kelapa

yang masih muda‟ sebesar 85,7%, 95%, dan 95,5; belarak „daun kelapa yang

sudah tua dan kering‟ sebesar 85,7%, 100%, dan 100%; bongkok „tangkai daun

kelapa‟ sebesar 72,1%,75%, dan 86,4%; cikilan „potongan buah kelapa sebagai

bahan dasar koprah‟ sebesar 72,1%, 80%, dan 86,4%; dan tombong „daging

berwarna putih yang tumbuh di tengah buah kelapa yang sudah sangat tua‟

Page 199: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

276

sebesar 95,2%, 100%, dan 100%. Cukup seringnya muncul leksikon janur dan

belarak dalam komunikasi sehari-hari karena peran sosial budayanya dalam

kehidupan GTBU. Janur merupakan elemen penting untuk membuat berbagai

jenis ketupat yang ada dalam berbagai slametan sedangkan blarak dipakai obor

yang dinyalakan pada hari sebelum upacara ider bumi yang dilakukan di Desa

Kemiren khususnya.

Tingkat penggunaan yang sangat tinggi terhadap leksikon peralatan yang

terbuat dari bagian pohon kelapa seperti sapu „sapu yang terbuat dari ikatan lidi

daun kelapa yang berukuran segenggam tangan orang dewasa‟ (100%, 100%, dan

100%), tepis „sapu kecil terb uat dari ikatan daun kelapa yang fungsinya

membersihkan tempat tidur dan menepis nyamuk‟ (90,5%, 100%, dan 100%, serta

sepet „sikat terbuat dari sabut kelapa‟ (95,2%, 95%, dan 100%) dikarenakan oleh

belum tergantikannnya fungsi entitas-entitas ini oleh peralatan modern dalam

kehidupan GTBU sehingga leksikon ini masih bertahan. Fenomena sebaliknya

ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon gulali yang merupakan penganan

atau gula terbuat dari aren kelapa yang dimasak hingga liat yang dapat dijulurkan

seperti tali yang fungsinya sama seperti permen saat ini‟ dengan tingkat

penggunaan sebesar 4,8%, 10%, dan 17,9%. Hal ini disebabkan oleh hampir

punahnya acuan leksikon ini karena di samping pembuatannya memerlukan

proses yang lama, munculnya berbagai bentuk dan macam permen atau gula-gula

adalah faktor penyebabnya.

(7) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU

Page 200: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

277

Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa lingkungan tempat

tinggal GTBU sangat kaya akan entitas bambu, baik dari segi jenis maupun

kuantitas. Karenanya banyak leksikon perbambuan yang dimiliki BU terkait

dengan jenis-jenis bamboo, bagian dari pohon bambu, dan peralatan yang terbuat

dari pohon bambu. Namun, karena perubahan lingkungan dan modernisasi yang

melanda kehidupan GTBU khususnya, walaupun masih dipahami dan dikenal,

banyak leksikon perbambuan sudah tidak muncul lagi dalam komunikasi sehari-

hari GTBU, khususnya di kalangan responden remaja.

Populasi entitas bambu tertentu yang masih banyak tidak menjamin

banyaknya interkasi, interelasi, dan interdependensi yang banyak pula, khususnya

terhadap jenis-jenis bambu tertentu. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di

lapangan, jenis bambu yang populasinya sangat banyak, namun tingkat

penggunaan leksikonnya sangat rendah di antaranya adalah jajang gabug, bambu

dengan dinding tipis dan rapuh, sebesar 0%, 5%, dan 9,1% dan jajang ampel yaitu

bambu beruas agak pendek dan berdinding tebal dengan tingkat penggunaan

masing-masing sebesar 0%, 20%, dan 31,8%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan responden tentang kelebihan yang dimiliki entitas ini, dan

tergantikannya fungsi entitas ini oleh entitas lain, serta kurangnya interaksi karena

tidak adanya kebutuhan akan entitas ini. Untuk mengetahui keberagaman leksikon

jenis bambu dan peralatan yang terbuat dari bambu, serta tingkat penggunaan

masing-masing responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam

tabel berikut.

Page 201: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

278

Tabel 6.25

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bambu

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

jajang 95,2 100 100 galar 76,2 75 77,3

jajang apus 4,8 10 18,2 seseg 52,4 65 77,3

jajang benel 14,3 25 45,5 langkab - 40 40,1

jajang peting 14,3 30 31,8 lothek 62 70 77,3

jajang petung 47,6 55 63,6 kemarang 90,5 100 100

jajang gabug - 5 4.5 keranjang 52,4 90 100

jajang kuning 19 40 54,5 kereneng - 5 18,2

jajang cemeng - 15 18,2 kicir 14,4 65 77,3

jajang wuluh 23,8 60 68,2 nyiru 100 100 100

jajang ori 42,9 65 68,2 sawu - 5 22,7

jajang pellet - 5 22,7 seser 14,3 40 45,5

jajang surat 47,6 40 63,6 kukusan 90,5 100 100

jajang tutul 33,3 50 59,1 beronjong - 15 18,2

jajang meluwuk - 10 13,6 budhag - 45 54,5

jajang tali 33,3 70 72,1 tumbu 19 40 50

jajang watu - - 4,5 tedhok - 60 59,1

jajang ampel - 20 31,8 tenong 62 70 95,5

Bagian-bagian dari

pohon bambu

golong - 10 9,1

barongan 71,4 75 77,3 katir 9,6 50 59,1

celumpring 42,9 55 63,6 kentongan 76,2 70 77,3

ebung 81 85 90,9 berajag - 15 22,7

serit 42,7 60 68,2 beranding - 55 54,5

Peralatan terbuat

dari batang bambu

cokop 14,3 50 50

kelakah 9,6 35 40,1 cantuk 62 100 100

geladhag 23,8 30 31,8 singkek 100 100 100

irig 81 85 86,4 penguluran 52,4 70 72,7

Pada tabel di atas terlihat bahwa dari 18 jenis bambu yang tumbuh di

lingkungan tempat tiinggal GTBU, hanya empat jenis bambu dengan rerata

tingkat penggunaan di atas 50%, yakni jajang petung dengan tingkat penggunaan

masing-masing 47,6%, 55%, dan 63,6%, jajang ori sebesar 42,9%, 65%, dan

68,2%, jajang surat sebesar 47,6%, 50%, dan 63,6%, serta jajang tali sebesar

33,3%, 70%, dan 72,1%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon beberapa jenis

bambu di atas karena adanya interaksi, interelasi, dan interdependensia, serta

Page 202: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

279

fungsi banyak bagi kehidupan GTBU. Misalnya, jajang petung dikenal luas dan

diakrabi oleh GTBU karena entitas ini banyak digunakan sebagai tiang rumah atau

bangunan lainnya karena batangnya yang lurus dan kokoh; jajang ori yaitu bambu

berduri dan ruasnya berdinding tebal banyak dimanfaatkan untuk pagar dan

bambu yang hidup sering dipakai untuk penahan erosi karena perakarannya yang

kuat dan rapat; jajang surat, bambu yang memiliki guratan-guratan pada

batangnya merupakan bahan dasar untuk pembuatan kursi tamu atau berbagai

barang kerajinan yang bernilai seni tinggi; dan jajang tali adalah jenis bambu

dengan ruas agak panjang berdinding sedang namun kuat yang merupakan bahan

dasar untuk berbagai jenis tali, di antaranya termasuk tali untuk mengikat hewan

peliharaan seperti sapi dan kerbau sebelum dikenalnya tali plastik yang lebih kuat

dan lebih praktis.

Sementara itu, leksikon barongan „sekumpulan pangkal batang rumpun

bambu‟ dengan tingkat penggunaan 71,4%, 75% dan 77,3% dan leksikon ebung

„rebung atau bakal batang bambu yang masih sangat muda‟ dengan tingkat

penggunaan 81%, 85%, dan 90% merupakan dua leksikon bagian-bagian pohon

bambu yang diakrabi oleh responden karena adanya interaksi yang tinggi di

samping karena populasinya cukup banyak dan juga sebagai salah satu jenis sayur

yang sering dikonsumsiGTBU, khususnya entitas rebung.

Dari tiga puluh leksikon peralatan terbuat dari batang bambu yang dikenal

GTBU, hanya sebelas leksikon dengan rerata tingkat penggunaan responden di

atas 60%, sedangkan yang lainnya tingkat penggunaannya sangat rendah.

Leksikon-leksikon yang masih sering muncul dalam percakapan sehari-hari

Page 203: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

280

GTBU, di antaranya irig „wadah berbentuk bulat yang berlubang-lubang yang

terbuat dari anyaman bambu‟ dengan tingkat penggunaan 81%,85%, dan 86,4%;

galar „bilah-bilah bambu yang dirangkai dengan tali untuk dipakai alas dipan‟

sebesar 76,2%, 75%, dan 77,3%; cantuk „pangkal batang bambu yang dipakai

untuk menggerus bumbu‟ sebesar 62%, 100%, dan 100%; serta cingkek „alat pikul

terbuat dari bilahan bambu yang bagian depan dan belangnya berbentuk segi tiga

untuk menempatkan barang bawaan‟ sebesar 100%, 100%, dan100%. Tingginya

tingkta kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari

GTBU karena entitas-entitas acuannya masih dengan mudah ditemukan karena

banyak fungsinya, khususnya singkek, karena setiap keluarga GTBU pasti

memiliki benda ini.

(8) Tingkat penggunaan leksikon tanaman lainnya antargenerasi GTBU

Seperti telah desebut pada bagian terdahulu bahwa selain kelompok flora

di atas masih ada kelompok flora lain yang memiliki peran penting dalam

kehidupan GTBU. Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi, interelasi, dan

interdependensi antara GTBU dengan entitas-entitas acuannya yang tercermin

dalam penggunaan leksikon-leksikonnya. Entitas-entitas lain yang dimaksud pada

bagian ini meliputi beberapa jenis tanaman, seperti enau, lontar, rotan, kapuk,

tembakau, asam beserta bagian-bagiannya.

Hampir sama seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon

yang mengacu pada nama entitas utama dan leksikon yang mengacu pada bagian-

bagian entias tersebut, tingkat penggunaan terhadap nama entitas utama selalu

Page 204: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

281

lebih tinggi dari tingkat penggnaan leksikon terhadap nama-nama bagian dari

entitasnya. Fenomena ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.26

Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Lainnya

Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewa

sa(%)

Tua

(%)

Lirang dan

bagian-agiannya

Jati dan jenisnya

lirang 23,8 55 63,6 jati 66,7 90 95,5

kedhuk 19 50 54,5 jati mas 9,6 35 54,5

kolang-kaling 62 65 68,2 jati landa 4,8 5 36,4

mancung 14,3 55 59,1 Tembakau dan

jenis irisan

daunnya

manggar 4,8 60 59,1 bako 81 100 100

kawung 14,3 15 45,5 semprul 9,6 50 50

sodho 4,8 50 68,2 kerosok 4,6 10 45,5

Lontar dan

bagian-agiannya

Jenis tanaman

lainnya

gebyong/etal - 35 40,1 bungur 28,6 35 45,5

siwalan - 30 27,3 kepuh 9,6 25 36,4

Rotan dan

bagian-

bagiannya

Kesambi 4,8 55 55,5

penjalin 47,6 65 63,6 ketepeng kecil 28,6 35 45,5

geronong - 5 13,6 ketepeng kebo - 25 36,4

doni - 5 13,6 putat 4,8 55 55,5

Pinang dan

bagian-

bagiannya

santen 66,7 75 86,4

Pinang 95,2 100 100 rau 9,6 30 45,5

mayang 23,8 65 77,3 weringin 66,7 70 72,7

upih 14,3 50 72,7 wunut 9,6 10 54,5

Kapuk dan

bagian-

bagiannya

cemara 47,6 55 72,7

randu 66,7 80 81,8 kedawung 14,3 15 31,8

karuk 9,6 40 45,5 kenari 9,6 20 40,1

pelenteng 9,6 50 45,5 waru 66,7 70 72,7

Asam dan

bagian-

bagiannya

suruh 85,7 90 100

asem 100 100 100 suruh kinang 52,4 80 90,9

tempalok 23,8 45 45,5 suruh temu ros 19 75 86,4

kelingsi 47,6 75 81,8 galing - 25 27,2

asem kamal 47,6 85 100 simbukan 28,6 75 77,2

godhong asem 100 100 100 sri wangkat - - 63,6

lung-lungan - 35 40,1

Page 205: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

282

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, pada beberapa entitas yang

memiliki leksikon entitas utama dan leksikon-leksikon yang mengacu pada

bagian-bagian dari entitas-entitas tersebut selalu menunjukkan bahwa tingkat

penggunaan terhadap leksikon utama lebih tinggi dari leksikon-leksikon yang

mengacu bagian-bagiannya, kecuali pada leksikon lirang „enau‟ masing-masing

sebesar 23,8%, 55%, dan 63,6%, yang persentase tingkat penggunaannya terhadap

salah satu leksikon yang mengacu pada bagiannya, yakni leksikon kolang-kolang

„buah enau‟ sebesar 62%, 65%, dan 68% lebih tinggi sedikit tingkat

pemakaiannya. Fenomena ini disebabkan oleh kehadiran kolang-kolang dalam

bentuk olahan, bukan sebagai buah mentahnya. Sementara itu, tingkat penggunaan

terhadap leksikon utama tertinggi ditemukan pada leksikon asem „pohon asem‟

masing-masing sebesar 100%, sedangkan terendah adalah pada leksikon

gebyong/etal „pohon lontar‟ dengan tingkat penggunaan sebesar 0%, 35%, dan

40,1%. Tingginya kehadiran leksikon asem dalam komunikasi sehari-hari GTBU,

di samping karena tingginya populasi juga disebabkan oleh terpakainya buah

asem dan daunnya dalam beberapa jenis masakan lokal GTBU sehingga interaksi,

interelasi, dan interdependensi sangat tinggi. Sebaliknya, yang terjadi pada

leksikon gebyong/etal dikarenakan oleh sangat sedikitnya populasi dan tidak

adanya kebutuhan akan entitas dalam kehidupan GTBU tersebut sehingga tidak

ada untuk membudidayakan entitas ini, di samping faktor geografis dan topografis

tidak mendukung tumbuhnya entitas ini.

Sementara itu, leksikon suruh khususnya leksikon generiknya

menunjukkan tingkat penggunaan yang cukup tinggi yakni 85,7%, 90%, dan

Page 206: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

283

100%. Di samping bahan untuk nginang, khususnya oleh responden tua,

keterpakaian entitas ini sebagai salah satu elemen dalam ritual-ritual adat

menyebabkan sering munculnya leksikon ini dalam komunikasi sehari-hari GTBU

serta mereka membudidayakannya, baik di

pekarangan rumah atau di kebun sehingga populasinyab cukup tinggi. Sebaliknya,

leksikon sri wangkat hampir tidak pernah muncul dalam percakapan responden

remaja dan responden dewasa dengan tingkat penggunaan masing-masing 0%.

Hal ini disebabkan oleh mereka yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan

entitas ini walaupun entitas ini memegang peranan penting dalam kehidupan

budaya GTBU, yaitu sebagai salah satu unsur dalam tumpeng sri wangkat yang

dibuat untuk upacara slametan. Tingkat penggunaan leksikon ini pada responden

tua adalah 63,6% karena responden tua lah paling sering terlibat dalam ritual

slametan sehingga interaksi mereka cukup tinggi.

Sementara itu, fenomena menarik terlihat pada kelompok leksikon bako

„temabakau‟. Tingkat penggunaan leksikon generiknya di atas 80% untuk ketiga

kelompok responden, sedangkan untuk leksikon-leksikon yang mengacu pada

jenis irisan daunnya adalah setengah dari leksikon generiknya. Hal ini disebabkan

karena bagi sebagian besar responden tidah berpendapat bahwa semua daun

tembakau yang sudah diiris disebut bako „tembakau

6.2.1.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU

Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan tingkat pemahaman

responden terhadap leksikon-leksikon fauna jauh lebih tinggi dari tingkat

Page 207: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

284

penggunaannya. Tingkat penggunaan leksikon-leksikon fauna cukup rendah

dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, di antaranya ada 1:2, 1:3 dan

bahkan ada 1:4. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena ini.

Berikut adalah penjelasan tentang tingkat penggunaan responden terhadap

leksikon mamalia BU.

(1) Tingkat penggunaan leksikon mamalia antargenerasi GTBU

Mamalia yang hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU ada yang

dibudidayakan dan ada pula yang hudup liar. Berdasarkan analisis data dan

pengamatan di lapangan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat

penggunaan responden terhadap leksikon mamalia liar dan yang dibudidayakan.

Hal yang berbeda tampak pada tingkat penggunaan leksikon oleh kelompok

responden remaja di satu pihak dan responden dewasa dan tua di pihak lainnya.

Pada leksikon-leksikon tertentu, tingkat penggunaan leksikon pada responden

remaja jauh di bawah tingkat penggunaan oleh dewasa dan tua. Fenomena ini

dapat diamati pada leksikon-leksikon seperti: tikus curut „tikus bertubuh kecil dan

bermulut runcing dan kalau berjalan selalu menepi ke dinding apa saja‟ dengan

tingkat penggunaan sebesar 14,3% untuk responden remaja, sedangkan

responden dewasa dan tua sebesar 70% dan 95,5%; wedhus gimbal „kambing

berbulu gimbal‟ masing-masing sebesar 0%, 45%, dan 59,1%; jaran „kuda‟

masing-masing sebesar 33,3%, 80%, dan 86,4%, dan sebagainya. Fenomena ini

disebabkan ,antara lain, oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi

pendahulu tentang perbedaan ciri fisik dari entitas sehingga pengetahuan generasi

berikutnya hanya sebatas pada leksikon generik saja, seperti yang terjadi pada

Page 208: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

285

leksikon tikus curut dan wedhus gimbal, misalnya. Sementara itu, yang terjadi

pada leksikon jaran disebabkan oleh kurangnya interaksi responden remaja

dengan entitas ini, karena yang biasanya terlibat dalam memelihara dan merawat

kuda, khususnya jaran kencak, adalah orang dewasa atau tua. Untuk melihat

tingkat penggunaan responden terhadap leksikon mamalia, perhatikan tabel

berikut.

Tabel 6.27

Tingkat Penggunaan Leksikon Mamalia Antargenerasi GBTU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Tikus 100 100 100 Jenis bina-

tang lainnya

tikus curut 14,3 70 95,5 asu 28,6 30 31,8

tikus kerot 19 25 40,1 kirik 23,8 30 27,3

tikus langu 28,6 70 68,2 jaran 33,3 80 86,4

tikus got - 35 54,5 kucing 100 100 100

Kambing dan

jenisnya

sapi 90,5 100 100

wedhus 100 100 100 bojog 23,8 35 40,1

wedhus gimbal - 45 59,1 bantongan - 5 13,6

wedhus kendhit - 10 31,8 celeng 4,8 40 36,4

wedhus kacangan 19 55 68,2 cuwut 52,4 80 81,8

wedhus menggala 4,8 30 31,8 delundheng 4,8 5 59,1

wedhus gibas 4,8 65 59,1 garangan 26,8 55 59,1

wedhus etawa 23,8 30 27,3 kidhang - 5 9,1

wedhus jawa 33,3 75 68,2 macan - - -

Ada beberapa beberapa leksikon yang tingkat penggunaannya cukup tinggi

yang terlihat dalam tabel di atas, seperti kucing „kucing‟ (100%,100%, dan

100%), sapi „sapi‟ (90,5%, 100%, 100%), dan cuwut „tupai‟ (52,4%, 80%, dan

81,8%). Kucing merupakan jenis mamalia yang banyak ditemukan hidup

berdampingan dengan manusia; sapi adalah salah satu hewan peliharaan yang

membantu manusia dalam mengerjakan tanah sawah; dan cuwut merupakan

hewan dengan kelapa sebagai salah satu makanan yang paling disukai (populasi

Page 209: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

286

kelpa di wilayah ini sangat banyak) sehingga dapat dikatakan bahwa banyaknya

populasi, tempat hidup berdampingan, serta tingginya interaksi merupakan faktor-

faktor penyebab tingginya tingkat penggunaan ketiga leksikon tersebut. Sementara

itu, leksikon asu „anjing‟dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar

26,8%, 30%, dan 31,8% dan leksikon kirik „anak anjing‟ sebesar 23,8%, 30%,

dan 27,3%, biasanya hampir tidak pernah muncul penggunaannya dalam

komunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat muslim, namun terjadi pada

GTBU karena kedua entitas ini walau pun tidak hidup berdampingan secara

langsung dengan pemiliknya, namun perannya sebagai penjaga kebun dari

ancaman pencuri dan bojog ‘kera‟ membuat kedua leksikon ini muncul dalam

komunikasi sehari-hari GTBU.

(2) Tingkat penggunaan leksikon unggas antargenerasi GTBU

Jenis unggas yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal etnik Using

hampir sama jenisnya dengan yang ditemukan di daerah Jawa Timur lainnya,

seperti banyak „angsa‟, berengul „anak angsa‟, bebek „itik‟, bangsong

„menthok/itik manila‟, pitik „ayam‟ dan sebagainya. Hanya satu unggas, yakni

bebek banyong „itik yang hidup di daerah rawa-rawa di hutan dan bisa terbang‟

dengan tingkat penggunaan masing-masing 9,6%, 25%, dan 36,4%. Penggunaan

leksikon ini muncul dalam komunikasi GTBU yang berdomisili di Desa Kampung

Anyar, Kecamatan Glagah yang masih memiliki wilayah hutan. Tabel berikut

menunjukkan tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok responden.

Page 210: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

287

Tabel 6.28

Tingkat Penggunaan Leksikon Unggas Antargenerasi GBTU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Ayam dan

jenisnya

Bebek dan

jenisnya

pitik 100 100 100 bebek 95,2 100 100

pitik walik 4,8 20 22,7 bebek banyong 9,6 25 36,4

pitik cemara - 15 14,2 bangsong 19 45 50

bangkok 9,6 35 31,8 Bagian-bagian

tubuh unggas

pitik alas 47,6 55 54,5 cekeker 100 100 100

bekisar 4,8 5 9,1 cengger 100 100 100

babon 52,4 90 90,9 cucuk 100 100 100

sawung 38,1 65 86,4 telampik 100 100 100

Angsa dan

jenisnya

berutu 100 100 100

banyak 82 85 86,4

berengul 23,8 50 50

Sebagaimana tingkat penggunaan leksikon generik pada umumnya, pada

tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan leksikon generik untuk entitas

pitik „ayam‟ dan bebek „itik‟ sangat tinggi yang hampir mencapai 100%. Namun

tidak demikian halnya terhadap leksikon spesifiknya, khususnya pada leksikon-

leksikon tertentu, yang tingkat penggunaannya jauh lebih kecil. Hal ini jelas

terlihat pada tingkat penggunaan leksikon spesifik pitik, seperti pitik walik yaitu

ayam yang bulunya terbalik (keriting) dengan tingkat penggunaan 4,8%, 20%, dan

22,7%; pitik cemara yaitu jenis ayam yng bulunya meneyerupai daun cemara

dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 0%, 15%, dan 14,2%; dan

bangkok „ayam bangkok‟ sebesar 9,6%, 35%, dan 31,8%. Rendahnya kemunculan

leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden, selain karena

sedikitnya populasi dan sulitnya membedakan ciri fisik kedua acuan entitas

leksikon tersebut sehingga interaksi sangat jarang, juga tidak adanya transfer

Page 211: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

288

pengetahuan kepada generasi berikutnya adalah beberapa faktor penyebab

fenomena di atas.

Fenomena berbeda terlihat pada tingkat penggunaan leksikon babon

„induk ayam‟ sebesar 52,4%, 90%, 90,9% dan leksikon sawung „ayam

penjantan‟ sebesar 38,1%, 65%, dan 86,4% yang pesentasenya lebih tinggi dari

leksikon-leksikon yang disebutkan sebelumnya walaupun tidak sebesar tingkat

penggunaan leksikon tentang bagian-bagian tubuh unggas sebesar 100%. Hal ini

berarti bahwa leksikon-leksikon BU yang mengacu pada entitas-entitas tersebut

tetap terpakai dan sering muncul dalam komunikasi sehari-hari GTBU.

(3) Tingkat penggunaan leksikon burung antargenerasi GTBU

Walaupun BU memiliki cukup banyak leksikon yang merepresentasikan

berbagai jenis burung, percakapan yang melibatkan leksikon tentang burung

sangat sedikit terjadi walaupun habitat burung masih tetap asri. Berdasarkan

analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ada tingkat

penggunaan beberapa leksikon spesifik burung (bahkan juga terhadap leksikon

generik bango „burung bangau‟) sebesar 0% untuk ketiga kelompok responden.

Fenomena ini terlihat pada tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon, seperti

bango kebo, bango tongthong, bango wedhus, dan jalak putih/bali. Tidak pernah

munculnya leksikon generik dan tiga leksikon spesifik bango tersebut disebabkan

oleh ketidaktahuan responden membedakan meliwis, kuntul dan bango secara

fisik karena ketiganya berbulu putih. GTBU menyebut burung yang berbulu putih

yang berkaki dan berparuh panjang adalah meliwis atau kuntul sehingga leksikon

Page 212: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

289

bango tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Untuk melihat

tingkat penggunaan leksikon burung lainnya, perhatikan tabel berikut.

Tabel 6.29

Tingkat Penggunaan Leksikon Burung Antargenerasi GTBU

Leksikon BU

Tingkat Penggunaan Leksikon

BU

Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Rema

ja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Bangau dan jenisnya culik - 30 40,1

Bango - - - gemek 9,6 35 36,4

bango kebo - - - jegug 4,8 10 13,6

bango thongthong - - - kukuk beluk - 20 31,8

bango wedhus - - - kacer 14,3 20 13,6

belekok - 35 63,6 kakak tua 9,6 10 22,7

kuntul 19 20 40,1 kepodang 14,3 25 36,4

Meliwis - 5 9,1 perenjak 4,8 20 27,3

Jalak dan jenisnya serigunting 9,6 30 54,5

jalak - 5 9,1 seriti 9,6 55 68,2

jalak bali - - - sikatan 23,8 25 27,3

jalak cemeng - - 13,6 tinil 4,8 10 13,6

jalak suren - - 9,1 tuwu 4,8 15 13,6

Pipit dan jenisnya alap-alap 14,3 40 59,1

emprit 90,5 95 90,9 bangkrak 14,3 30 40,1

emprit uban/bodol 14,3 50 77,3 betet - 30 45,5

emprit gantil 9,6 50 54,5 gagak 19 55 54,5

emprit peking 9,6 50 54.5 gedhubug - 15 18,2

emprit kaji 4,8 15 27,3 samber

ulung

- 25 27,3

Jenis burung lainnya bidhol 14,3 40 59,1

ancel-ancel angin - 5 31,8 dara 76,2 75 77,3

belkatuk - 35 36,4 manyar - 25 40,1

bence - 50 54,5 perkutut 85,7 85 90,9

cucak rawa 4,8 30 63,6 gelatik 14,3 40 59,1

Sementara itu, leksikon burung dengan tingkat penggunaan jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan burung lainnya adalah leksikon dara „burung

merpati‟ dengan tingkat penggunaan masing-masing 76,2%, 75%, dan leksikon

perkutut sebesar 85,7%, 85, dan 90,%. Tingginya kemunculan leksikon dara

dalam percakapan sehari-hari GTBU, di samping karena habitat burung ini ada di

lngkungan perumahan mereka serta sifatnya yang jinak, juga disebabkan oleh

Page 213: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

290

adanya trend adu dara, yaitu sejenis permainan mengadu burung dara dengan

memperhitungkan kecepatan dan ketepatannya mencari objek sasaran, khususnya

di kalangan responden remaja, sehingga interaksi dengan entitas acuan leksikon

ini sangat tinggi. Fenomena yang terjadi pada leksikon perkutut, di samping

populasinya yang banyak dan mudah ditemukan di sekeliling GTBU, juga

dijadikannya entitas leksikon ini sebagai burung peliharaan karena keindahan

suaranya juga menyebabkan leksikon entitas ini sering menjadi topik pembicaraan

dalam kehidupan sehari-hari mereka.

(4) Tingkat penggunaan leksikon reptil antargenerasi GTBU

Sebagaimana jenis entitas acuannya, tidak banyak leksikon tentang reptil

yang dimiliki oleh BU. Walaupun demikian, di antara leksikon reptil yang ada,

leksikon spesifik ula „ular‟ jumlahnya paling banyak, yakni sebanyak enambelas

leksikon dengan tingkat penggunaan tertinggi ditemukan pada leksikon ula irus

dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 52,4%, 65%, 77,3% dan ula

jali sebesar 52,4%,75%, 81,8%. Hal yang berbeda terlihat pada tingkat

penggunaan leksikon spesifik ula lainnya yang rerata tingkat penggunaannya di

bawah 30%, seperti di antaranya ula dawu (0%, 0%, 4,5%), kelasa (0%,

10%,9,1%) , ula lampar (9,6%, 10%, 22,7%), silara (9,6%, 25%, 27,4%), lanang

(4,8%,10%, 22,7%), lumbu, sungu (0%, 10%, 4,5%), walur (0%, 5%, 4,5%) , dan

weling (0%, 10%, 22,7%). Di samping sebagian besar habitat ular-ular tersebut

jauh dari pemukiman GTBU sehingga interaksi mereka kurang, sedikitnya

populasi, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi sebelumnya

Page 214: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

291

adalah penyebab rendahnya tingkat penggunaan leksikon tentang ula „ular‟. Tabel

berikut menunjukkan keberagaman tingkat penggunaan leksikon reptil lainnya.

Tabel 6.30

Tingkat Penggunaan Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Kodok dan

jenisnya

ula lampar 9,6 10 27,3

bangkrak 4,8 10 9,1 ula luwuk 14,3 40 31,8

bangkong - 5 4,5 ula kayu 9,6 30 27,3

kentus - - 9,1 ula kelasa - 10 9,1

Ular dan jenisnya ula sawa 9,6 50 50

ula 85,7 70 100 ulo silara 9,6 25 27,3

ula dhawu - - 4,5 ula weling - 10 22,7

ula irus 52,4 65 77,3 Jenis reptil

lainnya

ula jail 52,4 75 81,8 bajul - - 9,1

ula lanang 4,8 10 22,7 nyambit 62 75 77,3

ula lumbu 4,8 10 18,2 Kura 14,3 25 36,4

ula sungu - 10 4,5 Kadal 90,5 90 90,9

ula walur - 5 4,5 Cecek 95,3 95 95,5

ula welang - 30 31,8 tekek 100 100 100

ula gadhung 19 10 18,2

Sementara itu, dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan

leksikon reptil, seperti nyambit „biawak‟, kadal „kadal‟, cecek „cicak‟ dan tekek

„tokek‟ menunjukkan persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

leksikon reptil lainnya. Habitat entitas acuan yang dekat dengan atau di tengah-

tengah pemukiman warga sehingga interaksi sangat tinggi (khususnya cecek,

kadal, dan tekek) dan banyaknya populasi merupakan penyebab tingginya tingkat

penggunaan leksikon entitas-entitas tersebut. Leksikon bajul „buaya‟ dengan

tingkat penggunaan 0% untuk semua kelompok responden merupakan leksikon

yang entitasnya hanya sebagai pengetahuan responden yang didengar melalui

Page 215: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

292

dongeng-dongeng atau cerita pada buku, karena bajul tidak ada di lingkungan

tempat tinggal GTBU yang letak topografisnya tidak sesuai dengan habitat buaya.

(5) Tingkat penggunaan leksikon serangga antargenerasi GTBU

Dibandingkan dengan jumlah leksikon fauna lainnya, leksikon serangga

jumlahnya jauh lebih banyak karena entitas-entitas acuannya dapat ditemukan di

mana-mana. Tidak seperti jumlah jenisnya yang sangat banyak, tingkat

penggunaan responden terhadap leksikon serangga sangat rendah kecuali terhadap

leksikon-leksikon yang acuannya memiliki interaksi tinggi dengan kehidupan

manusia atau habitatnya sangat dekat dengan atau di sekitar pemukiman mereka,

seperti leksikon generik dan spesifik semut „semut‟ dan laler „lalat‟ dan beberapa

leksikon serangga lainnya. Keberagaman leksikon dan tingkat penggunaannya

oleh ketiga kelompok responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.31

Tingkat Penggunaan Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Ulat dan jenisnya walang selethet - - 9,1

uler 100 100 100 walang gebog 4,8 25 22,7

uler geni 9,6 55 68,2 Kupu-kupu

dan jenisnya

uler senggenit 23,8 55 54,5 kupu 57,1 100 100

uler jaran 19 55 54,5 kupu abang - 25 36,4

uler wulu 33,3 60 54,5 kupu ijo - 35 40,1

uler jembut - 50 45,5 kupu kuning 33,3 50 59,1

uler keket 9,6 60 63,6 kupu putih 33,3 60 59,1

Capung dan

jenisnya

kupu cedhung 14,3 25 40,1

dudhuk 57,1 95 95,5 kupu kithi 4,8 30 40,1

dudhuk cutrik 19 55 54,5 Semut dan

jenisnya

dudhuk edhom 42,9 45 50 semut 90,5 100 100

dudhuk abang 19 65 68,2 semut abang 76,2 80 81,8

dudhuk kuning - 35 54,5 semut cemeng 71,4 85 86,4

dudhuk macan - 5 9,1 semut gatel 57,1 80 90,9

Page 216: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

293

dudhuk ruyung - - 9,1 semut geni 47,6 65 86,4

dudhuk terasi 9,6 10 27,3 semut angkrang 57,1 85 86,4

dudhuk cilik 14,3 65 63,4 semut pudhak 33,3 85 77,3 dudhuk gerobok - 20 40,1 Lalat dan

jenisnya

dudhuk menggala - - 9,1 laler 90,5 100 100 dudhuk maling - 5 9,1 laler cemeng 66,7 90 86,4 udhuk entelong - - 13,6 laler ijo/buyung 19 70 72,7 Tawon dan

jenisnya

Kumbang dan

jenisnya

tawon 76,2 95 95,4 kuwang-wang - 55 59,1 tawon sruk 23,8 60 54,5 Kutis - 45 45,5 tawon kenceng 76,2 95 95,4 bapak pucung - 10 18,2 tawon keroso 52,4 70 72,7 gasir 52,4 60 59,1 tawon gung 9,6 15 31,8 ancruk 14,3 45 50 tawon kunir 28,6 40 40,1 samber ilen - 45 45,5 tawon terasi/ gagak - 45 45,5 Jenis serangga

lainnya

tawon macan 9,6 20 27,3 keremi 62 70 72,7

tawon menggala - 15 27,3 lingsa 42,9 60 59,1

tawon rowan 62 90 90,9 limpit - 30 45,5

Belalang dan

jenisnya

kala jengking 52,4 55 54,5

walang 85,7 85 90,9 kala supit 14,3 30 50

walang gancong 9,8 30 31,8 tumo 66,7 70 72,7

walang jaran - 25 27,3 Rengit 57,1 75 86,4

walang kalung - 25 22,7 berecung 62 70 72,7

walang godhong 19 40 59,1 pucung - 15 22,7

walang kadhung 47,6 40 40,1 angkut-angkut - 55 60

walang kayu 14,3 25 40,1 lare angon - 45 45,5

walang watu - 20 22,7 tengu 81 85 81,8

walang keretek - 25 31,8 kunang 19 80 77,3

walang pari 71,4 80 86,4 jengkrik 66,7 85 81,8

walang sangit 81 95 90,9 jekethit 33,3 40 50

Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah leksikon generik dari jenis

serangga tertentu, tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon generik dudhuk

dengan rerata persentase paling rendah. Hal ini dapat dilihat pada tingkat

penggunaan leksikon-leksikon, seperti dudhuk macan (0%, 5%, 9,1%), dudhuk

ruyung (0%, 0%, 9,1%), dudhuk terasi (9,6%, 10%,27,3%), dudhuk gerobok (0%,

20%, 27,3%), dudhuk menggala (0%, %, 9,1%), dudhuk maling (0%, 5%, 9,1%),

dan dudhuk entelong (0%, 5%, 13,6%). Sedikitnya kemunculan leksikon-leksikon

Page 217: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

294

tersebut dalam percakapan ketiga kelompok responden disebabkan oleh beberapa

faktor. Sedikitnya interaksi, khususnya di kalangan responden remaja karena

habitat dudhuk seperti daerah persawahan, kebun atau lingkungan yang ada

airnya; sedikitnya populasi karena pemakaian pestisida untuk memberantas hama

padi atau tanaman tanaman lainnya dan tidak adanya pengalihan pengetahuan

kepada generasi berikutnya menyebabkan sangat rendahnya kenmunculan

leksikon-leksikon tersebut sebagai topik pembicaraan dalam komunikasi sehari-

hari GTBU.

Fenomena menarik terlihat pada tingkat penggunaan leksikon generik

tawon dan leksikon spesifik tawon kenceng, yaitu jenis tawon berwarna coklat

yang paling banyak ditemukan bersarang pada langit-langit bangunan.

Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa

tingkat penggunaan terhadap kedua leskikon oleh ketiga kelompok responden

menunjukkan persentase yang sama, yakni masing-masing sebesar 76,2%, 95%,

dan 95,4%. Fenomena ini merupakan akibat dari ketidakmampuan responden

untuk membedakan fisik tawon karena ukuran tubuh serta warna beberapa jenis

tawon hampir sama namun yang membedakannya adalah tempatnya bersarang.

Di samping itu, populasi tawon kenceng yang terbanyak di antara jenis tawon

serta sarangnya banyak ditemukan di langit-langit bangunan menyebabkan

interaksi antara GTBU dengan entitas ini sangat tinggi sehingga responden

cendrung menyeneralisasi bahwa yang disebut tawon adalah tawon kenceng itu

sendiri.

Page 218: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

295

Sementara itu, jenis serangga lain dengan tingkat penggunaan leksikon

cukup tinggi, yakni keremi „kutu ayam yang muncul pada saat ayam bertelur

hingga telurnya menetas‟ (62%, 70%, 72,7%); tumo, serangga yang hidup lipatan-

lipatan kain yang sudah lusuh (66,7%, 70%, 72,7%) ; rengit „nyamuk‟ (57,1%,

75%, 86,4%); berecung „jentik-jentik nyamuk‟ (62%, 70%, 72,7%); tengu

„tungau‟ (81%, 85%, 81,8%) ; dan jengkrik „jangkrik‟ (66,7%, 85%, 86,4%).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, semua jenis serangga yang diacu oleh

leksikon-leksikon di atas habitatnya ada di sekitar atau di tengah-tengah

pemukiman warga sehingga interaksi respoden dengan entitas-entitas acuannya

cukup tinggi.

(6) Tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU

Terletak di wilayah dengan sumber air yang melimpah, daerah lingkungan

tempat tinggal GTBU sangat kaya akan berbagai jenis ikan air tawar, baik yang

dibudidayakan oleh masyarakat maupun yang hidup liar. Walau pun jenis ikan

cukup banyak, namun interaksi GTBU dengan beberapa jenis ikan tidak begitu

tinggi. Hal ini terbukti rendahnya persentase penggunaan beberapa leksikon jenis

ikan air dalam percakapan responden sehari-hari, seperti di antaranya terlihat pada

leksikon sepat (0 %, 5%, 13,6%) , sengkaring (4,8%, 10%, 22,7%) , tombro (4,8

%, 30%, 45,5%) , meniran (19 %, 35%, 40,1%) , telekan (4,8%, 25%, 31,8%) ,

kuniran (14,3%, 20%, 27,3%), encit (0%, 25%, 45,5%), dan bibis (0%, 40%,

45,5%). Jarangnya kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan

GTBU, di samping karena harga entitasnya mahal (khususnya sepat, sengkaring,

dan tombro), sedikitnya populasi yang disebabkan matinya ikan karena pemakaian

Page 219: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

296

pestisida, dan berkurangnya kegiatan mencari ikan di kali atau sungai, seperti

yang dilakukan oleh para leluhur, serta munculnya bahan lauk pengganti, seperti

tempe, tahu, dan daging adalah faktor penyebab dari fenomena di atas. Untuk

mengetahui tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar yang ditemukan di

lingkungan tempat tinggal GTBU, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.32

Tingkat Penggunaan Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

sepat - 5 13,6 geruyu 47,6 65 63,6

badher 71,4 80 72,7 mendhil 42,9 65 63,6

gurameh 47,6 80 81,8 meniran 19 35 40,1

sengkaring 4,8 10 22,7 telekan 4,8 25 31,8

tombro 4,8 30 45,5 uceng-uceng 23,8 40 40,1

lele 81 80 81,8 kuniran 14,3 20 27,3

mujaher 81 95 95,5 welut 71,4 80 81,8

tawes 47,6 65 63,6 encit - 25 45,5

nilem 42,9 60 63,6 bibis - 40 45,5

bedhul 28,6 50 59,1 oling 28,6 75 68,2

cokol 42,9 65 63,6 urang 71,4 75 72,7

deleg 19 55 54,5

Fenomena sebaliknya ditemukan pada tingkat penggunaan yang tinggi

terhadap leksikon-leksikon ikan seperti badher (74,1%, 85%, 86,4%), gurameh

(47,6%, 81%, 81,8%), lele (81%, 80%, 81,8%), mujaher (81%, 95%, 95,5%),

welut (71,4%, 80%, 81,8%), dan urang (47,6%, 80%, 77,3%). Tingkat

penggunaan yang tinggi pada leksikon-leksikon di atas, di samping karena lokasi

pembudidayaan ada di sekitar pemukiman masyarakat juga disebabkan oleh

banyaknya populasi sehingga entitasnya dengan mudah dapat ditemukan.

Page 220: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

297

6.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU

Berkategori Verba

Bahasa, khususnya pada tataran leksikon, merepresentasikan situasi sosial

budaya penuturnya dan lingkungan alam tempat bahasa tersebut digunakan.

Karena mayoritas penuturnya bertempat tinggal di lingkungan pedesaan dan

bermata pencaharian sebagai petani, leksikon BU sangat kaya akan leksikon verba

yang mencerminkan aktivitas penuturnya di lahan pertanian dan kebun serta

leksikon tentang aktivitas lain yang dilakukan terhadap isi lingkungan alam di

sekeliling mereka. Akhir-akhir ini, karena berbagai faktor, telah terjadi perubahan

pola hidup yang menggiring GTBU perlaha-lahan menjauh dari alam sehingga

aktivitas yang dulunya begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari mereka menjadi

semakin jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan berkurangnya penggunaan

leksikon-leksikon yang mengacu pada tindakan-tindakan yang diacunya.

Sebagaimana tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon verba

lingkungan alam BU juga dikelompokan menjadi kelompok leksikon verba

tentang aktivitas manusia terhadap alam, aktivitas fauna di alam, dan aktivitas

alam itu sendiri. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat

penggunaan responden terhadap leksikon verba lingkungan alam lebih rendah

dibandingkan dengan tingkat pemahamannya. Hal ini dapat dilihat pada bagian

berikut.

6.2.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan

Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU

Walaupun banyak di antara responden remaja yang kurang berinteraksi

dengan lingkungan lahan pertanian dan kebun, berdasarkan analisis data dan

Page 221: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

298

pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tingkat penggunaan leksikon yang

cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti terhadap leksikon ngempet

„menahan saluran air dengan jerami atau benda lainnya‟ (66,7%, 80 %, 81,8%);

nggebros/nggampung „memanen atau mengetam padi‟ (85,7%, 100%, 100%);

ngileni „mengairi sawah‟ (85,7%, 100%, 100%); nyebar „menyebar benih padi

atau palawija di sawah atau di ladang‟ (62%, 80%, 81,8%), ngurit „menyemai

benih di tempat persemaian‟ (62%, 75%, 77,3%); dan ngrujug „menyiram

tanaman dengan air‟ (52,4%, 80%, 81,8%), sedangkan untuk verba yang

mengacu pada aktivitas di lahan kebun terlihat pada leksikon verba ngunduh

(85,7%, 95%, 100%), negor (57,1%, 95%, 100%), nggepluki (57.1%, 80%,

81,1%), dan ngonceti (81%, 100%, 100%) Cukup tingginya penggunaan leksikon-

leksikon di atas di kalangan responden karena leksikon-leksikon tersebut mengacu

beberapa aktivitas penting dalam kegiatan pengolahan sawah dan aktivitas di

lahan kebun yang masih bisa disaksikan oleh responden remaja khususnya,

meskipun mereka jarang terlibat dalam aktivitas mengolah sawah serta sudah

dikenalnya pengolahan sawah dengan cara modern, yakni menggunakan traktor.

Untuk melihat tingkat penggunaan leksikon verba tentang aktivitas di lahan

pertanian dan lahan kebun secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut.

Tabel 6.33

Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian

dan Kebun Antargenerasi GTBU

Leksikon Verba

BU di Lahan

Pertanian

Tingkat Penggunaan Leksikon

Verba BU di

Lahan Kebun

Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

mbebeng 57,1 60 63,6 ngunduh 85,7 95 100

nyirati 62 65 77,3 negor 57,1 95 100

mbubak 19 45 63,6 mbeseh 9,6 35 54,5

Page 222: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

299

nambaki 23,8 60 81,8 ndekung 23,8 70 68,2

nyacal 14,3 70 81,8 nderes 28,6 65 63,6

ngempet 66,7 80 81,8 ngenam 38,1 65 68,2

nggagas 52,4 65 68,2 nggepluki 57,1 80 81,8

nggebros/

nggampung

85,7 100 100 ngonceti 81 100 100

nggejig 14,3 60 59,1 ngorag/ngureg 52,4 75 81,8

nggulud 23,8 70 68,2 majeg/nebas 28,6 75 77,3

ngileni (tentang

sawah)

85,7 100 100 macaki 14,3 75 68,2

mbalong 9,6 85 95,5 nyumbat 63,6 95 90,9

melar - 70 68,2 ngerimbas 23,8 50 63,6

ngeremponi - 65 77,3 nyelogrok 9,6 65 81,8

matun 19 80 81,8 nyangkrab 28,6 60 63,6

nyebar 62 80 81,8 nanceb 33,3 80 77,3

ngurit 62 75 77,3 notor 28,6 75 77,3

nguter 4,8 60 81,8 mepe 66,7 75 77,3

mberubuk 4,8 60 77,3

nggrujug 52,4 80 81,8

Sementara itu, pada beberapa leksikon, seperti mbubak „memecah tanah

dengan menggunakan cangkul yang dilakukan sehabis panen‟ (19%, 45%,

63,6%); nyacal „menggeburkan tanah sawah dengan menggunakan cangkul,

bukan bajak‟ (14,3%, 70%, 81,8%); mbalong „menggenangi petakan sawah

dengan air yang cukup dalam sebelum ditanami‟ (9,6%, 85% , 95,5%); melar

„membajak tanah sawah dalam keadaan kering (0%, 70%, 68,2%); ngeremponi

„meratakan tanah sawah sebelum ditanami (0%, 65%, 77,3%); matun

„membersihkan tanaman dari gulma‟ (19%, 80%, 81,8%); nguter „memindahkan

bibit padi atau entitas lainnya dari tempat persemaian ke tempat penanaman

permanen‟ (4,8%, 70%, 81,8%); dan mberubuk „membuat tanah pertanian menjadi

gembur‟ (4,8%, 65%, 77,3%) tingkat penggunaan di kalangan responden remaja

sangat rendah jika dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Penyebabnya

adalah sedikit atau kurangnya interaksi responden remaja dengan aktivitas di

sawah karena berdasarkan pengamatan di lapangan responden yang sudah

Page 223: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

300

menyelesaikan studi pada tingkat SLTA lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik

atau toko-toko dibandingkan menjadi petani. Di samping karena leksikon-

leksikon di atas tidak mengacu aktivitas utama/penting dalam tahapan pengolahan

sawah, tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi sebelumnya merupakan

penyebab dari fenomena di atas.

Sementara itu, berbagai aktivitas yang dilakukan GTBU di lahan kebun

melahirkan berbagai macam leksikon yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas

tersebut. Namun dari enam belas leksikon verba yang dimiliki BU yang

merepresentasikan aktivitas di kebun, enam leksikon di antaranya terkait dengan

aktivitas terhadap entitas kelapa, seperti ngunduh „memetik buah kelapa‟, ngenam

„menganyam daun kelapa atau bilah-bilah bambu‟, nggepluki „memebelah buah

kelapa dengan kapak‟, macaki ‘mengupas buah kelapa dengan menggunakan

kapak‟, nyumbat „menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‟, ngerimbas

„menguliti batang pohon kelapa atau batang pohon lainnya untuk dijadikan balok-

balok kayu‟, dan mepe „menjemur daging buah kelapa yang akan dijadikan kopra

di atas anyaman bambu atau plastik‟. Hal ini merupakan bukti lain bahwa ada

interaksi, interelasi, dan interdependensi yang sangat tinggi antara GTBU dan

entitas ini karena kelapa merupakan entitas yang memiliki nilai ekonomi tinggi,

baik buah, batang, maupun janur-nya.

Sebagaimana terhadap leksikon-leksikon lainnya, tingkat penggunaan

terhadap leksikon verba tentang aktivitas-aktivitas di lahan kebun juga bervariasi

untuk ketiga kelompok responden dan juga tingkat penggunaan responden remaja

jauh lebih rendah dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Namun

Page 224: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

301

demikian, pada leksikon-leksikon tertentu tingkat penggunaan pada ketiga

kelompok responden cukup tinggi seperti leksikon ngunduh „memetik (tentang

buah) sebesar (85,7%, 95%, 100%), negor „menebang (tentang pohon) sebesar

(57,1%, 95%, 100%), nggepluki „membelah buah kelapa dengan menggunakan

kapak‟ sebesar (57,1%, 80%, 80,1%), ngonceti „menguliti (tentang buah selain

kelapa)‟ sebesar (81%, 100%, 100%), ngorag/ngureg „menggoyang-goyangkan

batang pohon agar buahnya berjatuhan‟ sebesar (52,4%, 80%, 81,8%), nyumbat

„menguliti buah kelapa dengan sumbat’ sebesar (63,6%, 95 %, 90,9%), nanceb

„menanam pagar hidup untuk pekarangan atau kebun‟ sebesar (33,3%, 80%,77,3

%), dan mepe „menjemur daging buah kelapa sebagai bahan kopra dengan alas

anyaman bambu atau lembaran plastik‟ sebesar (66,7%, 80%, 77,3%). Cukup

tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut disebabkan karena aktivitas

acuan merupakan aktivitas yang penting dan sering dilakukan oleh GTBU dalam

kehidupan mereka sehari-hari, khususnya bagi mereka yang memiliki kebun

kelapa atau yang bekerja di perusahan kopra.

6.2.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap

Fauna dan Isi Alam Lainya Antargenerasi GTBU

Leksikon verba tentang aktivitas sosial yang dimaksudkan dalam hal ini

mengacu pada sejumlah aktivitas yang dilakukan responden di lingkungan

pekarangan atau tempat lainnya terhadap objek-objek yang ada di tempat

tersebut, seperti hewan, tumbuhan, atau entitas-entitas lainnya. Berdasarkan

analisis data dan pengamatan di lapangan, walaupun aktivitas-aktivitas yang diacu

oleh leksikon-leksikon tersebut terjadi di sekitar tempat tinggal mereka, tidak

Page 225: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

302

berarti bahwa tingkat penggunaan leksikon-leksikonnnya dalam percakapan dalam

kehidupan sehari-hari mereka menjadi tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tingkat

penggunaan leksikon-lekiskon, seperti nyenggot „mengambil air di sumur dengan

menggunakan senggotan (timba yang diangkat dengan galah)‟ sebesar (9,6%,

50%, 54,5%), mintal/ngantih „memintal/ngantih kapas untuk dijadikan benang‟

sebesar (0%, 10%, 13,6%), mbebek „menumbuk padi atau kopi‟ sebesar (28,6%,

60%, 63,6%), mbenem „memasak sesuatu (biasanya ketela, pisang, dan

sebagainya) di dalam bara api‟sebesar (4,8%, 35%, 40,9%), mbombong

„menyabung ayam aduan‟ sebesar (4,8%, 30%, 31,8%), dan nyeruh

„memutihkan beras dengan cara ditumbuk ulang‟ sebesar (4,8%, 35%, 40,9%).

Jarangnya leksikon-leksikon tersebut muncul dalam percakapan sehari-hari GTBU

disebabkan semakin berkurangnya aktivitas-aktivitas acuannya dilakukan oleh

GTBU. Aktivitas nyenggot misalnya, sudah sangat jarang dilakukan GTBU

semenjak kebutuhan air warga sudah dilayani oleh PDAM atau di beberapa

tempat untuk mendapatkan air, warga tinggal memasang selang dari tandon umum

yang menampung air dari sumbernya, seperti yang dilakukan GTBU di Desa

Kemiren. Hal yang sama juga terjadi pada leksikon mbenem, bebek, dan nyeruh.

GTBU khususnya sudah sangat jarang menggunakan kayu bakar untuk keperluan

memasak sehingga bara api sulit ditemukan karena perannya sudah digantikan

oleh kompor minyak tanah atau kompor gas sehingga aktivitas diacu oleh

leksikon mbenem sudah jarang dilakukan di lingkungan rumah kecuali di lahan

kebun, sedangkan aktivitas mbebek dan nyeruh digantikan oleh mesin penggiling

gabah yang lebih praktis. Sementara itu, rendahnya tingkat penggunaan leksikon

Page 226: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

303

mbombong disebabkan oleh hampir tidak adanya aktivitas orang mengadu ayam

apa lagi dengan menggunaan taruhan karena aktivitas mengadu ayam sangat

diharamkan dalam agama Islam. Tabel berikut memperlihatkan tingkat

penggunaan leksikon verba tentang aktivitas sosial lainnya oleh GTBU.

Tabel 6.34

Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna

dan

Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

ngangsu 71,4 80 81,8 nyeruh 4,8 35 40,9

nyenggot 9,6 50 54,5 ngangon 57,1 70 72,7

ason-ason - 35 31,8 nggetes 57,1 80 77,3

mbelor - 35 31,8 ngileni (tentang

jangkrik)

63,6 65 68,2

nggeladag 19 60 63,6 medhok 23,8 65 72,7

ngantih - 10 13,6 ngersaya 42,9 85 90,9

mbebek 28,6 40 40,1 majeg (tentang

hasil kebun)

9,6 70 86,4

mbelasak 14,3 30 31,8 nyelisir 23,8 65 72,7

mbenem 4,8 35 40,9 nyerimpung 14,3 80 81,8

mbleteti 42,9 70 81,8 mbentuk 76,2 100 100

mbombong 4,8 30 31,8 nyerawat 85,7 100 100

nyancang 57,1 80 86,4 nyuluh 28,6 60 63.6

nyekoki/njamoni 63,6 75 77,3

Jakalau tingkat penggunaan leksikon-leksikon tersebut di atas cukup

rendah oleh ketiga kelompok responden, fenomena sebaliknya terlihat pada

tingkat penggunaan leksikon-leksikon yang acuannya masih sering dilakukan oleh

GTBU, seperti di antaranya ngangsu „menimba air di sumur‟ sebesar (71,4%,

80%, 81,8%); nyekoki/njamoni sebesar (63,6%, 75%, 77,3%); ngangon

„mengembalakan hewan ternak‟ sebesar (42,9%, 70%, 72,7%); ngileni (jengkrik)

„membuat jangkrik geli sehingga mau berbunyi atau siap untuk diadu‟ sebesar

(63,6%, 65%, 68,2%); dan mbentuk „melempari sesuati (tentang buah-buahan)

Page 227: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

304

dengan batu atau kayu agar jatuh‟ sebesar(76,2%, 100%, 100%). Masih tingginya

leksikon ngangsu muncul di kalangan responden karena memang di beberapa

tempat walaupun air sudah didapat melalui PDAM, air sumur tetap dipakai

sehingga aktivitas menimba air dengan timba masih dilakukan. Sementara itu,

aktivitas njamoni/nyekoki masih banyak dilakukan untuk hewan-hewan, seperti

sapi „sapi‟, kebo „kerbau„, dan jaran „kuda‟. Sapi dan kebo biasanya dijamoni

pada saat musim pengolahan sawah tiba dengan maksud agar hewan-hewan

peliharaan ini ada dalam keadaan sehat pada saat membantu petani membajak

sawah, sedangkan untuk jaran, aktivitas njamoni dilakukan paling sedikit sebulan

sekali utamanya setiap menjelang pentas jaran kencak sehingga hewan ini bisa

tampil prima. Demikian juga aktivitas ngileni (jengkrik) masih banyak dilakukan

khususnya pada saat musim palawija dimana banyak masyarakat mencari jengkrik

di sawah baik untuk diadu, diolah untuk bahan lauk, ataupun untuk dijual.

6.2.2.3 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna

Antargenerasi GTBU

Di lingkungan tempat tinggal guyub tutur bahasa Using banyak ditemukan

berbagai jenis hewan ternak, burung, dan unggas. Karena interaksi, interelasi, dan

interdependensi mereka dengan lingkungan, mereka mencermati berbagai tingkah

laku entitas-entitas tersebut dan memverbalisasi aktivitas fauna yang ada di

sekeliling mereka ke dalam satuan-satuan lingual bermakna. Hal ini dapat diamati

dari keberagaman leksikon-leksikon verba tentang aktivitas binatang seperti

terlihat dalam tabel berikut dengan tingkat penggunaan yang beragam pula.

Page 228: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

305

Tabel 6.35

Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna

Antargenerasi GBTU

Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Aktivitas hewan ngokok 81 85 86,4

ngeludes 23,8 55 68,2 Neba 14,3 55 54,6

kedrangen 4,8 65 68,2 metingkring 95,2 95 95,4

ngguyang 28,6 80 86,4 giblas-giblas 71,4 85 86,4

ngeregeb 52,4 85 81,8 Nyisil 9,5 80 81,8

nyeludug 52,4 75 81,8 Nyeblak 14,3 80 77,3

Aktivitas unggas

dan burung

Aktivitas

serangga

nyeker 95,2 100 100 Nyenget 71,4 100 100

ngendhat 42,9 45 45,5 Aktivitas

reptile

ngentit 4,8 65 68,2 nyeloyor 57,1 70 77,3

keblak-keblak 66,7 75 77,3

Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah tingkat penggunaan

leksikon yang ada, tingkat penggunaan terhadap leksikon terkait dengan aktivitas

burung dan unggas yang paling beragam terutama dari segi persentasenya, baik

antarleksikon maupun oleh antargenerasi. Misalnya, ada sejumlah leksikon yang

tingkat penggunaannya sangat tinggi oleh satu generasi, seperti oleh responden

remaja seperti terlihat pada leksikon nyeker „mengais-ngais sampah atau yang

lainnya untuk mendapatkan makanan‟ (95,2%), ngokok „berkokok‟ (81%), dan

methingkring ‘bertengger‟ (95,2%), sedangkan untuk leksikon lainnya tingkat

penggunaannya sangat rendah seperti terhadap leksikon ngentit „bertelur di luar

sarang yang sudah disediakan (tentang ayam)‟ (4,8%), neba „hinggap secara

bersamaan yang di lakukan oleh segerombolan burung di atas tanah atau dahan‟

(14,3%), nyisil „menguliti bulir padi atau kacang yang dilakukan oleh burung atau

tikus‟ (19%), dan nyeblak „memukul-mukul lawan dengan sayap (tentang ayam

aduan)‟ (14,3%). Tingginya tingkat penggunaan mereka terhadap leksikon-

Page 229: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

306

leksikon di atas, selain karena aktivitas acuannya sering dan terjadi dekat dengan

lingkungan tempat tinggal mereka, juga disebabkan adanya transfer pengetahuan

dari generasi pendahulu. Sebaliknya, tingkat penggunaan yang rendah pada

leksikon-leksikon lainnya disebabkan oleh aktivitas acuannya jarang terjadi

karena aktivitas adu ayam (mbombong) sangat dilarang dan walaupun ada

dilakukan secara sembunyi-sembunyi; untuk leksikon ngentit disebabkan oleh

rendahnya interaksi responden dengan aktivitas tersebut; dan fenomena yang

terjadi pada leksikon nyisil dikarenakan oleh tergantikannya leksikon tersebut

dengan leksikon BJ mangan „makan‟ dan leksikon BI makan.

Sementara itu, keberagaman tingkat penggunaan antargenerasi juga

terlihat pada leksikon-leksikon dengan tingkat penggunaannya masing-masing,

seperti leksikon ngentit (4,8%, 65%, 68,2%), nyisil (19%, 80%, 81,8%), dan

nyeblak (14,3%, 80%, 77,3%). Tingginya kesenjangan tingkat penggunaan antara

responden remaja di satu sisi dengan responden dewasa dan tua di sisi lainnya,

selain karena perbedaan tingkat interaksi dengan aktivitas acuannya,

tergantikannya leksikon yang diacu oleh leksikon bahasa lain, juga disebabkan

oleh tidak adanya transfer dari generasi pendahulu.

6.2.2.4 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba Aktivitas Alam

Antargenerasi GTBU

Beradasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan perbandingan

antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon tentang

aktivitas alam dengan rerata yang tidak berbeda jauh, yaitu pada responden remaja

(78,5%:49,9%), dewasa (86,2%:77,6%), dan tua (96,3%:82,3%). Perbandingan

Page 230: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

307

tersebut mengindikasikan bahwa kekayaan leksikon aktif tentang aktivitas alam

yang dimiliki responden tidak berbeda jauh dengan total kekayaan leksikon

tentang hal yang sama. Hal ini menyiratkan beberapa hal, di antaranya adanya

interaksi dan interelasi responden, khususnya dewasa dan tua, yang cukup tinggi

dengan alam sekitarnya, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu,

serta belum tergantikannya leksikon-leksikon yang mengacu aktivitas dalam tabel

di atas oleh leksikon bahasa lain. Hal ini sangat baik untuk kebertahanan BU dari

segi leksikon. Untuk melihat tingat penggunaan leksikon tentang aktivitas alam,

secara lebih rinci adalah sebagai berikut.

Tabel 6.36

Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam

Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Remaja

(%)

Dewasa

(%)

Tua

(%)

Fenomena alam logrog 85,7 90 90,9

ngampar-ampar 14,3 60 63.6 mekrog 47,6 55 72,7

ngungkreg 4,8 65 77,3 meldhog 42,8 50 72,7

mencorong 76,2 100 100 mergodog 47,8 60 72,7

Aktivitas alam merkatak 38,1 60 68,2

mberojol 23,8 65 72,7 mecukul 90,5 85 95,5

nggerontol 47,6 95 95,5 methukul 71,4 75 95,5

nggeluntung 23,8 75 77,3 melethek 62 90 95,5

Dari tabel di atas juga terlihat bahwa beberapa leksikon dengan tingkat

penggunaan yang sangat rendah, khususnya pada kelompok responden remaja,

seperti yang terjadi pada tingkat penggunaan leksikon ngungkreg

„berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah) karena gempa bumi‟ sebesar

4,7%, ngampar-ampar „menyambar-nyambar (tentang petir)‟ sebesar 14,3%, dan

nggeluntung „menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari‟

sebesar 19%. Pada kelompok responden dewasa rerata tingkat penggunaan

Page 231: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

308

leksikon-leksikon tersebut sebesar 66,7%, sedangkan kelompok tua sebesar

72,7%. Perbedaan tingkat penggunaan yang cukup jauh antar kelompok responden

tersebut utamanya disebabkan oleh responden remaja lebih mengenal leksikon

tersebut dalam BJ atau BI.

6.3 Kecenderungan dan Daya Tahan Leksikon Lingkungan Alam Bahasa

Using

Dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam

menghasilkan kebertahanan, kepunahan, dan inovasi leksikon lingkungan alam

BU pada konsepsi GTBU. Jikalau ketiga hal di atas dihubungkan dengan tiga

dimensi dalam prksisi sosial yang mempengaruhi perubahan bahasa maka dapat

dikatakan bahwa leksikon yang bertahan adalah leksikon yang secara biologis

entitas acuannya masih banyak ditemukan di sekeliling tempat tinggal GTBU

karena ekologinya cocok; secara sosiologis entitasnya dibutuhkan untuk

kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk menjaga interaksi dengan entitas sesama

mahluk hidup lainnya; serta secara ideologis sejumlah entitas acuannya

dikembangkan atau dibudidayakan untuk mendukung keberlangsungan kedua

dimensi sebelumnya. Sebaliknya, ditemukan sejumlah leksikon mengalami

pergeseran dan yang hampir punah. Hal ini, jikalau dikaitkan dengan uraian

berikut mengandung ketiga kelompok leksikon yang dimaksud.

6.3.1 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan

Kebertahanan sebuah bahasa, terutama dari segi leksikon, terkait dengan

apakah leksikon-leksikon tersebut masih dipahami serta digunakan dalam

Page 232: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

309

percakapan sehari-hari atau tidak oleh komunitas tuturnya. Untuk menentukan

leksikon-leksikon BU yang bertahan dilakukan dengan membandingkan dan

menganalisis perbedaan antara tingkat pemahaman dan penggunaan pada ketiga

kelompok responden. Parameter yang digunakan untuk menentukan kategori hal

yang dimaksud adalah dengan menentukan tingkat panggunaan terendah sebesar

85% pada ketiga kelompok responden dengan asumsi bahwa dengan tingkat

penggunaan dalam persentase tersebut menunjukkan bahwa frekuensi

penggunaan leksikon yang dimaksud masih tinggi. Hal ini juga merupakan bukti

bahwa leksikon tersebut masih ada dalam memori dan kognisi gurub tutur. Tabel

berikut menunjukkan beberapa contoh leksikon BU yang masih bertahan.

Tabel 6.37

Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan

Leksikon BU Responden

Remaja Dewasa Tua

TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)

FLORA

pari 100 100 100 100 100 100

ketan putih 100 90,5 100 90 100 95,5

winih 100 90,5 100 100 100 100

jagung 100 100 100 100 100 100

sabrang 100 95,2 100 95 100 95,5

poh/epoh 100 100 100 100 100 100

jambu 100 100 100 100 100 100

nangka 100 100 100 100 100 100

rambutan 100 100 100 100 100 100

rambutan aceh 100 100 100 100 100 90,9

duren 100 100 100 100 100 100

duren putih 100 95,2 100 95 100 95,5

jeruk 100 100 100 100 100 100

jeruk sambel 100 85,7 100 90 100 90,9

delima 100 100 100 100 100 100

gedhang 100 100 100 100 100 100

gedhang saba 100 90,5 100 95 100 95,5

gedhebog 100 90,5 100 100 100 100

kates 100 100 100 100 100 100

turi 100 90,5 100 100 100 100

kacang 100 100 100 100 100 100

kacang jangan 100 100 100 100 100 100

dangsul 100 100 100 100 100 100

Page 233: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

310

pare 100 90,5 100 95 100 100

kelentang 100 100 100 100 100 100

belimbing wuluh 100 100 100 100 100 100

gundha 100 85,7 100 100 100 100

katu 100 90,5 100 90 100 90,9

kelor 100 100 100 100 100 100

kenikir 100 90,5 100 100 100 90,9

kunir 100 100 100 100 100 100

laos 100 100 100 100 100 100

kemiri 100 100 100 100 100 100

cabe merah 100 100 100 100 100 100

cabe rawit 100 100 100 100 100 100

cengkeh 100 95,2 100 100 100 100

sereh 100 95,2 100 95 100 100

kelapa 100 100 100 100 100 100

janur 100 85,7 100 95 100 95,5

belarak 100 85,7 100 100 100 100

sapu 100 100 100 100 100 100

jajang 100 95,2 100 100 100 100

kemarang 100 90,5 100 100 100 100

kukusan 100 90,5 100 100 100 100

singkek 100 100 100 100 100 100

asem 100 100 100 100 100 100

godhong asem

100 100 100 100 100 100

FAUNA

tikus 100 100 100 100 100 100

wedhus 100 100 100 100 100 100

kucing 100 100 100 100 100 100

sapi 100 90,5 100 100 100 100

pitik 100 100 100 100 100 100

cekeker 100 100 100 100 100 100

cengger 100 100 100 100 100 100

cucuk 100 100 100 100 100 100

telampik 100 100 100 100 100 100

berutu 100 100 100 100 100 100

emprit 100 90,5 100 95 100 90,9

kadal 100 90,5 100 90 100 90,9

cecek 100 95,3 100 95 100 95,5

tekek 100 100 100 100 100 100

uler 100 100 100 100 100 100

semut 100 90,5 100 100 100 100

laler 100 90,5 100 100 100 100

VERBA

nyeker 100 95,2 100 100 100 100

Dalam tabel di atas terlihat bahwa leksikon lingkungan alam BU yang

tingkat kebertahanannya sangat tinggi umumnya ditemukan pada leksikon

generik. Sementara itu, tingginya tingkat kebertahanan pada sejumlah leksikon

Page 234: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

311

spesifik ditemukan pada leksikon yang entitas acuannya masih banyak ditemukan

di lingkungan tempat tinggal GTBU karena interaksi mereka yang tinggi dengan

entitas acuannya sehingga tingkat pemahaman dan penggunaannya hampir sama.

Di samping itu, ketergantungan yang tinggi terhadap entitas acuannya juga

merupakan faktor penyebab adanyanya fenomena tersebut. Seperti yang terjadi

terhadap leksikon pari „padi‟, misalnya, dengan tingkat pemahaman dan

penggunaannya sebesar 100%. Seperti telah diulas sebelumnya bahwa Kabupaten

Banyuwangi umumnya dan lingkungan tempat tinggal GTBU khusunya

merupakan lahan yang subur sehingga sangat cocok untuk tumbuhnya entitas ini.

Secara sosiologis, tanaman ini merupakan bahan makanan pokok GTBU sehingga

mereka membudidayakannya. Di samping itu, pari khususnya beras juga

merupakan elemen penting dalam kehidupan GTBU karena beras ini merupakan

lambang persahabatan, terutama pada saat ada hajatan dimana setiap keluarga

GTBU menyumbang beras dengan jumlah tertentu (di samping hasil bumi

lainnya) kepada yang punya hajatan. Dengan kata lain, pari merupakan tali

pengikat kerukunan antar GTBU. Secara ideologis pari merupakan lambang Dewi

Sri, Dewi Kemakmuran yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian GTBU,

terutama yang berdomisili di beberapa desa di Kecamatan Glagah sebagai Dewi

yang memberkahi mereka melalui hasil panen yang bagus dan berlimpah.

Sementara itu, untuk leksikon wedhus „kambing‟ dari kelompok fauna

juga memiliki tingkat pemahaman dan penggunaan 100%. Entitas ini memiliki

peranan penting dalam beberapa aspek kehidupan GTBU, seperti aspek sosial,

aspek budaya, dan ekonomi sehingga mereka memiliki interaksi, interelasi, serta

Page 235: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

312

interdependensi yang tinggi terhadap intitas acuannya dan ada usaha untuk

mempertahankan dan membudidayakan entitas-entitas tersebut. Wedhus

berkembang biak dengan baik di wilayah ini karena di samping ketersediaan

pakan yang berlimpah juga keadaan iklim sangat memadai. Wedhus memiliki

peran sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat penting. Dalam kehidupan sosial

budaya, entitas ini dipakai kurban pada Hari Raya Idul Kurban dan upacara

sunatan dan aqiqahan sehingga berdampak pada peningkatan perekonomian

GTBU yang membudidayakannya.

6.3.2 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Mengalami Penurunan

Leksikon-leksikon BU yang dikategorikan pada kelompok ini adalah

ditinjau dari penurunan tingkat penggunaan di bawah 81% untuk responden

remaja walaupun tingkat pemahamannya tetap 100%. Hal ini didasarkan pada

asumsi bahwa walaupun seseorang paham akan makna sebuah leksikon namun

leksikon tersebut jarang atau tidak pernah digunakan dan jikalau fenomena ini

terjadi dalam kurun waktu yang lama, dalam kurun waktu tertentu, leksikon

tersebut tidak lagi menjadi repertoire kebahasaannya. Jikalau fenomena ini

terjadi pada banyak orang bahkan pada seluruh anggota masyarakat tutur suatu

bahasa, sudah dapat dipastikan leksikon tersebut tidak lagi menjadi pengetahuan

mereka.

Analisis data menunjukkan bahwa kelompok leksikon yang mengalami

penurunan khususnya dari segi penggunaan ditemukan hampir pada semua

kelompok leksikon, walaupun dengan tingkat yang beragam. Ada beberapa

Page 236: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

313

leksikon yang menunjukkan adanya perbedaan yang eksterim antara tingkat

pemahaman dan tingkat penggunaannya, khususnya pada generasi muda. Hal ini

terlihat pada leksikon-leksikon, seperti jambu mente, kura, kunang, asu, kirik, dan

gagak, yakni dengan tingkat penggunaan masing-masing, 33,3%, 14,3%, 28,8 %,

23,8%, dan 19%, sedangkan tingkat pemahamannya masing-masing 100%.

Demikian juga halnya yang terjadi pada leksikon-leksikon seperti turi putih dan

kara dari kelompok flora dengan masing-masing tingkat penggunaan pada

responden remaja yang hanya sebesar 38,1% dan 33,3% dan dari kelompok fauna

yang terlihat pada leksikon-leksikon seperti jaran dan teri sekul dengan tingkat

penggunaan masing-masing 33,3% dan 23,8%. Fenomena yang terjadi pada

kelompok leksikon di atas menunjukkan adanya passive understanding pada

GTBU terhadap leksikon-leksikon tersebut karena kurangnya interaksi dan hampir

tidak adanya interdependensi GTBU terhadap entitas-entitas acuannya. Khusus

untuk leksikon asu „anjing‟ dan kirik „anak anjing‟, terlihat adanya penggunaan

yang sangat rendah pada kedua leksikon tersebut menandakan bahwa topik

tentang kedua entitas tersebut sangat jarang muncul dalam percakapan mereka

sehari-hari yang disebabkan oleh kehidupan sosial keagamaan mereka yang

hampir semuanya merupakan masyarakat muslim yang mengharamkan kedua

fauna tersebut. Tabel berikut menunjukkan beberapa bentuk leksikon yang

mengalami penurunan.

Page 237: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

314

Tabel 6.38

Leksikon Nomina Bahasa Using yang Mengalami Penurunan

Leksikon BU Responden

Remaja Dewasa Tua

TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)

ketan cemeng 100 62 100 65 100 68,2

menir 100 42,9 100 70 100 81,8

dami 100 52,3 100 80 100 81,8

poh manalagi 100 81 100 85 100 86,4

poh kuweni 100 81 100 90 100 90,9

jambu mente 100 33,3 100 60 100 63,6

jambu keluthuk 100 76,2 100 95 100 95,5

bethon 100 80,1 100 90 100 95,5

gedhang

selakat/susu

100 81 100 85 100 81,8

langsat 100 57,1 100 65 100 86,4

duku 100 57,1 95 65 90,9 63,6

pace 100 76,2 100 100 100 100

turi putih 100 38,1 100 85 100 100

labu 100 62 100 85 100 81,8

kara 100 33,3 100 85 100 95,5

bayem 100 71,4 100 90 100 95,5

jamur 100 66,7 100 90 100 95,5

gambas 100 71,4 100 75 100 90,9

genjer 100 71,4 100 75 100 95,5

kemangi 100 81 100 100 100 100

semanggi 100 71,4 100 100 100 100

cabe 100 62 100 80 100 81,8

lidah buaya 100 62 100 80 100 81,8

bongkok 100 72,1 100 75 100 86,4

bathok 100 62 100 75 100 86,4

keranjang 100 52,4 100 90 100 100

kolang-kaling 100 62 100 65 100 68,2

randu 100 66,7 100 80 100 81,8

jati 100 66,7 100 90 100 95,5

bako 100 81 100 100 100 100

santen 100 66,7 100 75 100 86,4

weringin 100 66,7 100 70 100 72,7

FAUNA

asu 100 28,6 100 30 100 36,4

kirik 100 23,8 100 30 100 36,4

jaran 100 33,3 100 80 100 86,4

banyak 100 82 100 85 100 86,4

gagak 100 19 100 55 100 54,5

dara 100 76,2 100 75 100 77,3

nyambit 100 62 100 75 100 77,3

kura 100 14,3 100 25 100 36,4

tawon 100 76,2 100 95 100 95,4

kupu 100 57,1 100 100 100 100

semut abang 100 76,2 100 80 100 81,8

Page 238: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

315

Sementara itu, adanya penurunan tingkat penggunaan terhadap leksikon-

leksikon verba oleh generasi muda lebih disebabkan oleh adanya perubahan

profesi dari petani ke profesi lain, seperti buruh bangunan, pedagang, atau penjaga

toko, sehingga generasi muda tidak lagi mengakrabi aktivitas yang diacu oleh

leksikon-leksikon tersebut sehingga jarang muncul dalam percakapan sehari-hari

mereka. Di samping itu, modernisasi yang melanda kehidupan GTBU di bidang

pengolahan lahan pertanian yang mana pengolahan tanah yang sebelumnya

menggunakan tenaga hewan seperti sapi atau kerbau, saat ini fungsinya

digantikan oleh penggunaan traktor tangan. Hal ini menyebabkan hilangnya

beberapa tahapan dalam pengolahan tanah sehingga verba-verba yang

mengacunya juga menghilang dari ingatan beberapa penutur. Di samping itu,

fenomena penurunan ini juga disebabkan oleh tergantikannya leksikon verba BU

oleh leksikon verba bahasa lain, khususnya leksikon BI. Fenomena menurunnya

tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon verba BU ditunjukkan oleh

tabel berikut.

semut cemeng 100 71,4 100 85 100 86,4

semut gatel 100 57,1 100 80 100 90,9

semut angkrang 100 57,1 100 85 100 86,4

laler cemeng 100 66,7 100 90 100 86,4

keremi 100 62 100 70 100 72,7

tumo 100 66,7 100 70 100 72,7

rengit 100 57,1 100 75 100 86,4

kunang 100 19 100 80 100 81,8

jengkrik 100 66,7 100 85 100 86,4

gurameh 100 47,6 100 80 100 81,8

sengkaring 100 4,8 100 10 100 22,7

lele 100 81 100 80 100 81,8

mujaher 100 81 100 95 100 95,5

cokol 100 42,9 100 65 100 72,7

geruyu 100 47,6 100 65 100 77,2

welut 100 71,4 100 80 100 81,8

urang 100 47,6 100 80 100 77,2

Page 239: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

316

Tabel 6.39

Leksikon Verba Bahasa Using yang Mengalami Penurunan

Leksikon BU Responden

Remaja Dewasa Tua

TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)

nggagas 100 52,4 100 65 100 68,2

matun 100 62 100 80 100 81,8

nyebar 100 62 100 80 100 81,8

nggepluki 100 57,1 100 80 100 81,8

mepe 100 66,7 100 75 100 77,3

nyekoki/njamoni 100 63,6 100 75 100 77,3

mbentuk 100 76,2 100 100 100 100

methukul 100 71,4 100 75 100 95,5

Menurunnya penggunaan beberapa leksikon verba utamanya oleh

responden remaja, seperti terlihat pada tabel di atas, merupakan dampak dari

ketidakterlibatan mereka pada aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon

tersebut, di samping tergantikannya beberapa leksikon verba BU oleh verba BI,

seperti yang terjadi pada leksikon nyebar „menaburkan benih padi atau palawija

pada lahan pertanian atau kebun‟ digantikan oleh leksikon verba BI nabur dan

leksikon mepe „menjemur koprah atau entitas lainnya di atas anyaman bambu atau

plastik‟ tergantikan oleh leksikon njemur (BI).

6.3.3 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Hampir Punah

Tidak digunakannya sebagai akibat dari tidak dipahaminya beberapa

leksikon lingkungan alam BU oleh penuturnya berdampak pada rendahnya

kebertahanan atau hampir punahnya leksikon-leksikon tersebut. Dari 728

leksikon yang digunakan sebagai sampel penelitian, ditemukan sebanyak 210

leksikon dengan tingkat pemahaman dan penggunaan yang sangat rendah.

Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya seperti tertera pada tabel berikut.

Page 240: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

317

Tabel 6.40

Tabel Leksikon Nomina Bahasa Using yang Hampir Punah

Leksikon BU Responden

Remaja Dewasa Tua

TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)

pari singgang 47,6 9,6 70 60 90,9 63,6

pari sogel 28,6 - 55 45 81,8 63,6

pari unthup 42,8 4,8 40 15 54,5 22,7

pari gaga 28,6 4,8 75 60 54,5 45.5

sambulan 28,6 9,8 70 25 90,9 81,8

elas 9,6 - 25 25 50 36,4

belubon 23,8 14,3 50 20 63,6 45,5

tugih 23,8 9,6 30 20 63,6 45,5

kajar 19 9,6 45 30 59,1 40,1

poh kates 23,8 4,8 65 35 72,7 36,4

poh kotak 23,8 - 65 35 77,3 36,4

jambu lante 28,6 9,6 100 50 100 68,2

jambu semarang 23,8 - 75 60 81,8 63,6

pucil 38,1 19 75 50 86,4 77,3

babal 38,1 19 75 55 86,4 81,8

tombol 38,1 19 100 70 100 77,3

empik 38,1 14,3 95 55 100 59,1

duren abang 71,4 - 100 15 100 22,7

godhogan 28,6 23,8 80 30 100 59,1

labu abang 38,1 4,8 50 25 68,2 22,7

labu siyem 33,3 33,3 90 50 90,9 50

kara benguk 33,3 - 60 10 90,9 40,1

kara kerato 42,6 - 70 70 100 50

kara abang 66,7 - 75 15 95,5 4o,1

kara pedang 33,3 - 75 65 95,5 63,6

kara utek 19 - 90 40 95 40,1

kacang usi/ose 54,2 - 75 70 81,8 77,3

kayem cina 42,9 9,6 55 25 90,9 50

kayem abang 66,7 - 75 55 90,9 54,5

bayem eri 76,2 4,8 80 40 90,9 45,5

bayem kul 42,9 - 75 40 95,5 50

bayem menir 52,4 9,6 80 30 86,4 50

bayem raja 14,3 9,6 40 10 77,3 22,7

bayem sapi 28,6 9,6 70 50 90,9 72,7

bayem pasir 9,6 - 75 35 86,4 50

jamur gerigit 42,9 - 75 40 86,4 45,5

jamur impes 28,6 9,6 40 15 77,3 22,7

temu putih 52,4 - 80 50 81,8 63,6

temu rapet 33,3 - 75 55 81,8 63,6

temu giring 33,3 4,8 55 35 59,1 40,1

bakung 19 4,8 60 35 72,7 40,1

bangle 19 9,6 65 25 77,3 40,1

iles-iles 14,3 - 25 - 81,8 22,7

lempuyang

wangi

19 4,8 30 40 59,1 40,1

Page 241: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

318

lempuyang

gajah

19 - 25 25 59,1 36,4

sempol 19 - 35 15 72,7 13,6

kembang

bintang

14,3 - 15 20 59,1 18,2

adas 23,8 9,6 80 35 81,8 40,1

pulasari 23,8 - 55 10 81,8 18,2

jinten 66,7 - 70 30 95,5 36,4

kapulaga 71,4 9,6 90 25 95,5 40,1

kemukus 90,5 - 100 5 100 9,1

sembung 9,6 - 35 10 54,5 13,6

deringu 57,1 4,8 95 25 95,5 45,5

dilem 42,3 - 95 25 95,5 36,4

legundi - - 35 - 88,2 4,5

tapak dara 38,1 - 40 5 68,2

31,8

tapak liman 42,6 - 40 25 68,5 31,8

sambung nyawa 28,6 - 60 30 68,2 36,4

pule 33,3 - 75 25 90,9 31,8

kembang sundel 47,6 9,6 85 40 95,5 45,5

tunjung 28,6 4,8 60 40 100 50

widuri. Putih 28,6 - 55 15 77,3 27,3

Wwduri. Biru 14,3 - 50 10 72,7 9,1

kembang

bangah

28,6 4,8 50 40 63,6 36,4

kembang

tembelekan

33,3 - 60 15 72,7 13,6

pecah beling 47,6 - 70 35 86,4 22,7

kelapa bunyuk 23,8 - 50 25 63,6 22,7

tapas 28,6 9,6 75 60 100 72,7

rinjing 23,8 - 60 45 86,4 45,5

kurih 9,6 4,8 70 55 81,8 59,1

patar 38,1 4,8 65 45 81,8 50

jajang apus 23,8 4,8 35 10 77,3 18,2

jajang gabug 19 - 45 5 68,2 4.5

jajang cemeng - - 25 15 59,1 18,2

jajang pelet 14,3 - 35 5 68,2 22,7

jajang meluwuk 4,8 - 10 10 54,5 13,6

jajang watu 4,8 - 35 - 68,2 4,5

kelakah 19 9,6 50 35 95,5 40,1

langkab 33,3 - 55 40 100 40,1

kereneng 4,8 - 5 5 72,7 18,2

beronjong 28,6 - 35 15 86,4 18,2

budhag 9,6 - 55 45 72,7 54,5

golong/gunjo 19 - 50 10 86,4 9,1

katir 38,1 9,6 60 50 90,9 59,1

berajag 4,8 - 35 15 72,7 22,7

beranding 19 - 60 55 90,9 54,5

keser 23,8 - 45 - 68,2 -

gebyong/etal 38,1 - 85 35 93,6 40,1

siwalan 47,6 - 55 30 68,2 27,3

geronong 42,9 - 50 5 68,2 13,6

doni 4,8 - 25 5 77,3 13,6

Page 242: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

319

jati landa 28,6 4,8 55 5 77,3 36,4

kerosok 9,6 4,6 30 10 59,1 45,5

bungur 28,6 4,8 70 55 77,3 55,5

kepuh 19 - 25 10 59,1 18,2

ketepeng kebo 19 - 35 25 40,1 36,4

putat 28,6 4,8 70 55 77,3 55,5

wunut 33,3 9,6 65 10 90,9 54,5

galing 19 - 35 25 72,7 27,2

sri wangkat 42,9 - 55 - 86,4 63,6

lung-lungan 38,1 60 35 81,8 40,1

tikus got 33,3 - 35 35 86,4 54,5

wedhus kendhit 19 - 50 10 72,7 31,8

bango 71,4 - 100 - 100 -

bango kebo 14,3 - 40 - 63,6 -

bango

thongthong

28,6 - 45 - 63,6 -

bango wedhus 14,3 - 25 - 40,1 -

kuntul 95,2 19 95 20 100 40,1

meliwis 33,3 - 50 5 81,8 9,1

jalak 90,5 - 100 5 100 9,1

jalak bali 47,6 - 75 - 90,9 -

jalak cemeng 71,4 - 85 - 90,9 13,6

jalak suren 23,8 - 65 - 90,9 9,1

emprit

uban/bondol

52,4 14,3 65 50 95,5 77,3

emprit gantil 52,4 9,6 65 50 81,8 54,5

emprit peking 52,4 9,6 65 50 77,3 54.5

emprit kaji 42,9 4,8 50 15 59,1 27,3

ancel-ancel

angin

22 - 75 5 81,8 31,8

serigunting 28,6 9,6 75 30 95,5 54,5

seriti 33,3 9,6 90 55 100 68,2

sikatan 23,8 23,8 60 25 86,4 27,3

tinil 28,6 4,8 50 10 90,9 13,6

tuwu 19 4,8 65 15 100 13,6

samber ulung 19 - 55 25 100 27,3

bidhol 19 14,3 55 40 63,6 59,1

manyar 28,6 - 90 25 90,9 40,1

bangkong 23,8 - 60 5 68,2 4,5

kentus 19 - 25 - 54,5 9,1

ula dhawu 9,6 - 30 - 50 4,5

ula irus 90,5 52,4 100 65 100 77,3

ula jali 90,5 52,4 100 75 100 81,8

ula lanang 28,6 4,8 50 10 59,1 22,7

ula lumbu 23,8 4,8 40 10 59,1 18,2

ula sungu 23,8 - 25 10 54,5 4,5

ula walur 14,3 - 25 5 63,6 4,5

ula welang 14,3 - 60 30 81,8 31,8

ula gadhung 62 19 75 20 81,8 22,7

ula lampar 47,6 9,6 50 10 63,6 27,3

ula luwuk 57,1 14,3 85 40 90,9 31,8

ula kayu 28,6 9,6 55 30 59,1 27,3

ula kelasa 42,9 - 40 10 54,5 9,1

Page 243: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

320

ula sawa 33,3 9,6 60 50 86,4 50

ula silara 23,8 9,6 50 25 86,4 27,3

ula weling 33,3 - 50 10 81,8 22,7

bajul 90,5 - 100 - 100 -

uler jembut 38,1 - 75 50 90,9 45,5

dudhuk kuning 62 - 70 35 90,9 54,5

dudhuk macan 47,6 70 5 72,7 9,1

dudhuk ruyung 9,6 - 25 - 59,1 9,1

dudhuk gerobok 33,3 - 70 20 81,8 27,3

dudhuk

menggala

14,3 - 55 - 63,6 9,1

dudhuk.maling 42,9 - 55 5 59,1 9,1

dudhuk entelong 14,3 - 30 - 63,6 13,6

tawon gung 28,6 9,6 75 15 90,9 31,8

tawon

terasi/gagak

42,9 - 45 45 72,7 45,5

tawon macan 42,9 9,6 45 20 68,2 27,3

tawon menggala 23,8 - 25 15 50 27,3

walang gancong 42,9 9,8 50 30 72,7 31,8

walang jaran 38,1 - 45 25 72,7 27,3

walang kalung 23,8 - 35 25 63,8 31,8

walang godhong 38,1 19 50 40 72,7 59,1

walang watu 23,8 - 35 20 68,2 22,7

alang keretek 23,8 - 50 25 81,8 31,8

walang seletet 19 - 30 - 68,2 9,1

kupu abang 42,9 - 50 25 81,8 36,4

kupu ijo 33,3 - 60 35 81,8 40,1

kupu kithi 23,8 4,8 55 30 81,8 40,1

kuwangwang 4,8 - 65 55 81,8 59,1

kutis 42,9 - 65 45 90,9 45,5

bapak pucung 9,6 - 15 10 63,6 18,2

samber ilen 42,9 - 65 45 90,9 45,5

limpit 23,8 - 65 30 90,9 45,5

pucung 38,1 - 40 15 63,6 22,7

angkut-angkut 66,7 - 85 55 90,9 60

lare angon 9,6 - 70 45 81,8 45,5

Jikalau data-data pada tabel di atas dicermati, terlihat bahwa sangat banyak

leksikon yang tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari khususnya di

kalangan responden remaja. Tampak fenomena unik yang terjadi pada leksikon-

leksikon duren abang „duren merah‟, kara abang „kara merah‟, bayem eri „bayam

berduri‟, jinten „jinten‟, kapulaga „kapulaga‟, kemukus „kemukus‟. Pada tabel di

atas terlihat bahwa tingkat pemahaman responden remaja khususnya terhadap

leksikon-leksikon tersebut cukup tinggi sedangkan tingkat penggunaannya

Page 244: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

321

semuanya hampir 0%. Hal yang sama juga terjadi leksikon kelompok fauna

seperti pada leksikon generik bango „bangau‟, jalak „jalak‟, dan leksikon spesifik

kuntul „kuntul‟, jalak cemeng ‘jalak hitam‟, dan bajul „buaya‟. Pengetahuan

mereka tentang semua entitas di atas diperoleh melalui transfer pengetahuan dari

generasi pendahulu dan juga melalui media, seperti TV atau buku-buku dan

majalah, bukan melalui interaksi langsung dengan entitas acuannya. Di samping

karena populasi sangat jarang, tidakadanya interdependensi terhadap entitas

acuannya juga menjadi penyebab dari fenomena ini.

Sementara itu, fenomena yang sedikit berbeda terjadi pada leksikon

legundi (fitex trifolia), dan jajang cemeng „bambu hitam‟ Tingkat pemahaman dan

penggunaan, khususnya generasi muda, terhadap ketiga leksikon di atas adalah

0%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga leksikon tersebut tidak ada dalam

verbal repetoire mereka karena mereka tidak paham sehingga tidak pernah

menggunakannya dalam percakapan sehari-hari mereka. Berdasarkan pengamatan

di lapangan, populasi entitas legundi masih sangat banyak, namun karena tidak

adanya ketergantungan terhadap entitas acuannya menjadikan leksikon ini tidak

dipahami dan tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka,

Sementara itu, untuk leksikon jajang cemeng „bambu hitam‟ populasinya hampir

punah dan seandainya masih ada lingkungan tempat tumbuhnya sangat jauh dari

jangkauan masyarakat, yakni di daerah hutan.

Sementara itu, leksikon yang terancam punah, tidak saja terjadi pada

leksikon nomina, tetapi juga pada leksikon verba. Keterancaman ke arah

kepunahan ini ditemukan pada kelompok leksikon verba yang terkait dengan

Page 245: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

322

verba pengolahan tanah yakni melar „membajak tanah sawah/kebun dalam

keadaan kering‟, mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟, dan ngeremponi

„meretakan tanah sawah sebelum ditanami‟ dan leksikon verba yang mengacu

pada aktivitas berburu berburu, seperti nggeladag „berburu binatang hutan‟,

mbelor „berburu binatang hutan dengan menggunakan lampu sorot, dan ason-ason

„berburu binatang hutan dengan menggunakan asu (anjing). Ketidakmunculan

kelompok leksikon pertama pada percakapan sehari-hari mereka, khususnya

responden remaja, disebabkan oleh kekurang-mampuan mereka membedakan

bentuk aktivitas yang diacu oleh ketiga leksikon tersebut. Di samping itu, mereka

tidak pernah terlibat dalam aktivitas tersebut walaupun pada kenyataan di

lapangan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut masih

cukup banyak muncul. Sementara itu, untuk leksikon kelompok kedua yang

mengalami keterancaman ke arah kepunahan dilatari oleh jarangnya aktivitas

acuannya dilakukan saat ini dan juga ketiga verba tersebut sudah tergantikan oleh

verba BI berburu. Beberapa leksikon verba lingkungan alam BU yang mengalami

keterancaman ke arah kepunahan, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.41

Leksikon Verba Bahasa Using yang Hampir Punah Leksikon

BU

Responden

Remaja Dewasa Tua

TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)

melar 57,1 - 80 70 81,8 68,2

ngeremponi 71,4 - 80 65 90,9 77,3

nguter 52,4 4,8 80 70 100 81,8

mberubuk. 33,3 4,8 80 65 86,4 77,3

ason-ason 62 - 80 35 95,5 31,8

mbelor 23,8 - 55 35 59,1 31,8

medhok 76,2 - 90 65 95,5 72,7

Page 246: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

323

Di samping leksikon-leksikon verba yang telah diulas di atas, ada dua

leksikon yang juga tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari,

khususnya responden remja. Fenomena yang terjadi pada leksikon verba nguter

„memindahkan bibit padi atau entitas lainnya ke tempat penanaman permanen‟

dan medhok „bertempat tinggal sementara di gubuk pada lahan kebun atau sawah

selama musim panen‟ disebabkan oleh tidak akrabnya kelompok responden ini

dengan aktivitas yang diacu, karena aktivitas nguter dan medhok biasanya

dilakukan oleh orang dewasa.

6.4 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Tergeser

Ada beberapa alasan sosial mengapa GTBU dari menggunakan BU dala

kehidupan mereka sehari-hari beralih menggunakan bahasa lain. Di samping

karena menganggap BU kurang prestisius, rendahnya rasa bangga terhadap bahasa

ibu yang ada pada diri mereka, dan adanya perubahan pola hidup adalah penyebab

lainnya. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa di samping mengalami

kebertahanan dan penurunan, ada sejumlah leksikon lingkungan alam BU yang

mengalami pergeseran. Bentuk pergeseran yang terjadi adalah (1) entitas yang

diacu tetap namun nama entitasnya tergantikan oleh leksikon dalam bahasa lain

dan (2) fungsi entitas-entitas tertentu leksikonnya tergantikan oleh fungsi

tanaman/entitas lain. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang

dimaksud

Page 247: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

324

6.4.1 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Nama

Entitas Tergantikan Bahasa Lain

Rendahnya rasa bangga terhadap bahasa ibu yang ada pada seseorang atau

pada sebuah guyub tutur merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran

suatu bahasa. Fenomena ini juga terjadi pada penutur BU, perasaan rendah diri

menggunakan BU karena, terutama orientasi kebahasaan mereka yang cenderung

menggunakan bahasa yang berprestise lebih tinggi, seperti BJ dan BI. Pada tabel

berikut dapat dilihath beberapa contoh entitas yang dulunya menggunakan

leksikon BU namun pada saat ini namanya tergantikan oleh leksikon bahasa lain.

Tabel 6.42

Perangkat Leksikon Bahasa Using dengan Nama

Tergantikan Bahasa Lain

Leksikon

BU

Gloss dan penjelasannya dalam BI Leksikon

Pengganti

Bahasa,Leksikon

Pengganti

elas buah padi buah padi BI

sambulan jenis padi yang tumbuh di sela-sela

tanaman padi utama yang tingginya

melebihi padi-padi lainnya

padi liar BI

godhogan setandan pisang (biasanya yang sudah

matang) beserta sebagian batang yang

dipajang di depan rumah orang yang

punya hajatan

pajangan BJ/BI

bagu daun melinjo muda godhong so BJ

manting daun salam daun salam BI

pecari bunga cempaka bunga kantil BJ

tunjung bunga teratai teratai BI

kembang

wangsa

bunga kenanga kenanga BJ/BI

kembang

sundel

bunga sedap malam sedep malem BJ

kembang

serngenge

bunga matahari bunga matahari BI

kembang

gantil

bunga /kembang sepatu kembang sepatu BI

kembang

menur

bunga melati bunga melati BI

Page 248: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

325

Dari sejumlah entitas yang acuannya tetap tetapi namanya tergantikan oleh

leksikon bahasa lain yang tertera pada tabel di atas juga dapat terlihat bahwa

leksikon BU yang tergantikan dalam bahasa lain paling banyak ditemukan pada

leksikon yang diacu oleh leksikon bunga terutama pada bunga yang mempunyai

peran sosial dan budaya yang cukup penting dalam kehidupan GTBU, seperti

kembang pecari, kembang wangsa, kembang sundel, dan kembang menur. Seperti

telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di samping kembang mawar

„bunga mawar‟, ketiga jenis kembang yang disebutkan pertama merupakan

elemen dari kembang telon ‘bunga tiga jenis‟ yang harus ada pada ritual santet

atau ritual slametan lainnya. Fenomena yang terjadi pada leksikon kembang

sundel khususnya, adalah tergantikannya leksikon BU yang diacu oleh entitas

tersebut oleh bahasa lain disebabkan oleh adanya perasaan risih GTBU jikalau

mengucapkan kata sundel. Seperti diketahui bahwa kata tersebut memiliki

konotasi negatif, yakni mengacu pada PSK (pekerja seks komersial) yang bercitra

miring di tengah-tengah masyarakat.

Sementara itu, tergantikannya leksikon BU terkait dengan kembang menur

yang berubah menjadi leksikon kembang melati adalah karena pengaruh dari

media, khusunya siaranTV tentang flora dan budaya yang di dalamnya ada ulasan

tentang bunga melati. Penyebab lainnya adalah perias pengantin yang kebanyakan

berasal dari etnik non-Using yang pada setiap kegiatan merias menggunakan

leksikon bunga melati yang dalam BU adalah kembang menur.

Page 249: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

326

6.4.2 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi

Tergantikan Fungsi Entitas Lain

Deraan modernisasi yang menimpa kehidupan GTBU menimbulkan

adanya perubahan pola hidup mereka. Hal ini salah satunya terlihat pada aspek

kehidupan yang berorientasi pada kepraktisan. Hal tersebut telah merubah pola

interaksi, ineterelasi, dan interdependensi mereka terhadap lingkungan alam

tempat tinggalnya, dari sangat mengangkrabi, mengetahui, memahami,

memanfaatkan sumber daya lingkungan menjadi sebaliknya. Salah satu

dampaknya adalah rendah atau berkurangnya ketergantungan dan pemanfaatan

mereka terhadap sumber daya alam tersebut yang dapat berujung pada

ketidakakraban dan dan ketidaktauan tentang manfaat/fungsi entitas-entitas yang

ada di dalamnya. Semua hal ini adalah akibat dari sudah ditemukan atau sudah

tersedianya entitas-entitas pengganti, seperti yang terjadi kebanyakan pada

fenomena beberapa entitas tanaman obat dan bumbu yang diacu oleh leksikonnya

masing-masing. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis entitas yang fungsinya

digantikan oleh fungsi entitas lain.

Tabel 6.43

Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi

Entitas Tergantikan Fungsi Entitas Lain

Leksikon BU Gloss dan penjelasannya

dalam BI

Fungsi Entitas

pengganti

FLORA

Sempol tanaman yang berbunga

putih menyerupai

lengkuas yang tumbuh di

pinggir parit

sebagai obat tetes mata

tradisional

obat tetes

mata kimiawi

kembang

bintang

tanaman berbatang lunak

dengan daun mahkota

berwarna putih dan

berjumlah lima yang

tumbuh di tembok-tembok

pekarangan rumah

sebagai obat tetes mata

tradisional

obat tetes

mata kimiawi

Page 250: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

327

sembung pohon sembung

(tumbuhan perdu, daun

berwarna hijau keabu-

abuan, tumbuh di

pekarangan rumah

sebagai obat panas dalam larutan

penyegar

penurun panas

dalam

dilem pohon dilem

(tanamaberbatang lunak,

daun bergerigi dan berbau

wangi)

campuran boreh bayi bedak bayi

legundi tumbuhan perdu berdaun

hijau keunguan, tumbuh di

pekarangan rumah, atau

pagar-pagar tanaman.

sebagai bahan untuk mengusir

myamuk (dengan cara dibakar)

obat nyamuk

bakar

urang-aring urang-aring (tumbuhan

yang tumbuh di

pekarangan, pematang

sawah, bau daun langu

sebagai bahan untuk luka dan

penyubur rambut

obat merah

atau yodium

Luntas beluntas sebagai penghilang bau badan deodorant

Teki rumput teki ramuan untuk boreh yang dapat

menghangatkan badan

boreh

kemasan

produski

pabrik jamu

PERALATAN

Samir daun pisang yang

dipotong sedemikian rupa

untuk alas kue atau

tumpeng

sebagai alas tumpeng atau kue

yang biasanya diletakkan di atas

piring, lepekan atau nyiru atau

nampan

kertas tisue

atau kertas

lainnya

kepang anyaman silang miring

terbuat dari daun kelapa

sebagai atap terob atau dinding

bangunan tidak permanen atau

gubuk

tenda yang

bisa

dibongkar

pasang

kisa wadah terbuat dari

anyaman daun kelapa

(tempat ayam)

sebagai tempat ayam ketika

dibawa ke tempat lain.

keranjang

terbuat dari

rotan.

rinjing wadah berbentuk persegi

empat terbuat dari

anyaman daun kelapa

sebagai tempat untuk wadah

sesuatu.

keranjang

plastik

Welit daun kelapa kering yang

disusun untuk atap

sebagai atap bangunan alang-alang

atau genteng

bencorong tempurung kelapa untuk

takaran beras

untuk menakar beras timbangan

besi

siwur gayung terbuat dari batok

kelapa

untuk yang diberi tangkai untuk

mengambil air di tempayan atau

tempat lain

gayung

plastik

irus cedok/ sendok yang

terbuat dari tempurung

kelapa

untuk mengambil nasi sendok nasi

terbuat dari

plastik atau

logam

geladhag lantai terbuat dari bambu untuk lantai gubug yang

lingkungan yang tanahnya agak

lembab/becek

lantai semen

atau ubin

kemarang bakul nasi terbuatdari

anyaman bambu yang

bingkainya terbuat dari

rotan

untuk tempat nasi setelah

dimasak

keranjang

plastik atau

magic jar

Page 251: sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id

328

budhag wadah (bakul) besar yang

terbuat dari anyaman

bambu

untuk menyimpan hasil panen

(padi, kedelai, jagung, dan

sebaginya).

karung plastik

tumbu bakul bertutup terbuat

dari anyaman bambu

untuk tempat nasi kala bepergian rantang

aluminium

atau palstik

b eranding

tali yang terbuat dari

sayatan-sayatan bambu

untuk mengikat padi atau entitas

lainnya

tali plastik

cantuk ulekan yang terbuat dari

pangkal batang bambu.

untuk melumatkan atau

menggerus bumbu

ulekan terbuat

dari batu atau

selep bumbu

Di samping memuat beberapa contoh leksikon yang fungsi entitasnya

digantikan oleh fungsi entitas lain, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon

peralatan terbuat dari bahan tertentu dengan fungsinya masing-masing.

Kepraktisan yang ditawarkan oleh penggunaan peratan pengganti, di samping

karena mudah mendapatkannya, menyebabkan GTBU beralih menggunakan

peralatan tersebut yang berdampak pada tidak diakrabinya penggunaan peralatan

lama sehingga leksikonnya pun tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari

mereka.