s2-2013-295045-chapter1
DESCRIPTION
chapter1TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Sindrom Nefrotik adalah penyakit glomerular kronis yang paling sering
pada anak (Behrman, et.al.,2004; Gibson, et.al.,2009). Insidensi sindrom nefrotik
sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000
anak (Eddy et. al., 2003). Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (Wirya, 1992).
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom
nefrotik idiopatik. Penyebabnya meliputi minimal change disease (85%),
mesangial proliferation (5%), and focal segmental glomerulosclerosis (10%).
Sekitar 10% anak merupakan sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan
dengan penyakit sistemik. Pasien dengan minimal change disease kebanyakan
menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid (Churg et.al.,1970).
Disamping untuk menginduksi remisi, kortikosteroid juga bermaanfaat untuk
mempertahankan remisi. Sindrom nefrotik idiopatik dibedakan menjadi dua tipe
berdasarkan respon terhadap steroid, yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
(SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) (Avner et.al., 2004).
Penderita sindrom nefrotik mendapat regimen glukokortikoid untuk
mempertahankan remisi. Dari beberapa efek samping potensial terapi
-
2
glukokortikoid, obesitas merupakan salah satu yang sering ditemui. Penelitian
terdahulu mengestimasi prevalensi obesitas sebesar 35-43 % selama terapi
glukokortikoid. Penurunan berat badan relatif terjadi bilamana dosis
glukokortikoid diturunkan atau dihentikan. Meskipun demikian, belum jelas
apakah berat badan akan kembali ke normal setelah penghentian terapi
glukokortikoid (Merritt et.al., 1986).
Pada penelitian Foster tahun 2006 di Philadelphia, Amerika Serikat, yang
meneliti mengenai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas pada
penggunaan steroid, terutama faktor ras dan indeks masa tubuh maternal
menyimpulkan bahwa risiko obesitas meningkat pada pasien sindrom nefrotik
sensitif steroid yang masih mendapat paparan terapi steroid dalam waktu 6 bulan
terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66). Risiko ini meningkat hanya pada ras
bukan kulit hitam, sedangkan pada ras kulit hitam tidak terdapat peningkatan OR
0,32 (CI 95%: 0,032-3,29). Penelitian ini menggunakan kontrol, anak sehat dan
remaja yang tidak menderita sakit kronis dan tidak mendapat paparan steroid
(Foster et.al., 2006).
Penelitian yang membandingkan risiko obesitas pada pasien sindrom
nefrotik sensitif steroid masih sangat sedikit dan penelitian tersebut menggunakan
anak normal sebagai pembanding eksternal. Merritt tahun 1986 menemukan
prevalensi obesitas sebesar 43 % selama mendapat terapi steroid dan 17 % setelah
bebas steroid 6 bulan (Merritt et. al., 1986). Sedangkan Foster tahun 2006
menemukan bahwa risiko obesitas meningkat bermakna pada kelompok sindrom
nefrotik sensitif steroid yang masih mendapat paparan terapi steroid dalam waktu
-
3
6 bulan terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66) dan setelah periode bebas
steroid 6 bulan dibandingkan kontrol normal (OR 5,22 CI 95%: 1,77-15,4)
dengan prevalensi sebesar 20% (Foster et. al., 2006). Kedua peneliti diatas
mencurigai masih besarnya prevalensi obesitas setelah penghentian steroid 6
bulan berdasarkan keluaran sekunder penelitian mereka, Foster et.al menemukan
OR 5,22 dan Merrit et.al menemukan prevalensi sebesar 17 %. Hal ini
bertentangan dengan beberapa literatur yang menyatakan obesitas terkait steroid
bersifat reversibel (Kopelman, 1994; Stewart, 1999). Untuk itu masih diperlukan
penelitian lain yang dapat mengukur prevalensi obesitas setelah paparan steroid
dosis tinggi.
Terapi kortikosteroid kronis menekan fungsi aksis hipotalamus hipofisis.
Supresi ini bergantung pada dosis dan durasi terapi. Pada pasien yang mendapat
terapi steroid kurang dari tiga minggu, penekanan aksis hipotalamus hipofisis
jarang dijumpai. Berbeda halnya dengan pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid frekuen, akan muncul supresi terhadap aksis ini. Sebuah penelitian
melaporkan prednisolon dosis 5 mg/hari sudah mampu menimbulkan defek
respon pada aksis hipotalamus hipofisis, namun masih menjadi perdebatan
seberapa dosis yang dapat mensupresi aksis hipotalamus hipofisis (Stewart, 2003).
Pasien sindrom nefrotik sensitif steroid mendapat steroid frekuen terutama karena
relaps berulang, sedangkan sindrom nefrotik resisten steroid lebih sedikit
mendapat dosis berulang karena penggunaan steroid-sparing agent. Pasien
dengan SNSS sesuai perjalanan penyakitnya 76 93% akan mengalami relaps,
30% diantaranya akan mengalami relaps sering/frekuen, 10 20% akan
-
4
mengalami relaps jarang, sedangkan 40 50% sisanya akan mengalami dependen
steroid (SNDS). Oleh karena adanya perbedaan pengaruh glukokortikoid yang
bergantung pada dosis dan durasi ini, maka perlu diteliti seberapa besar risiko
obesitas antara pasien sindrom nefrotik sensitif steroid dibandingkan pasien
sindrom nefrotik resisten steroid.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Seberapa besar risiko untuk terjadinya obesitas pada anak dengan sindrom
nefrotik sensitif steroid dibandingkan anak dengan sindrom nefrotik resisten
steroid?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui prevalensi obesitas pada anak sindroma nefrotik yang
mendapat terapi steroid.
2. Untuk mengetahui seberapa besar risiko obesitas pada anak dengan
sindrom nefrotik sensitif steroid dibandingkan anak dengan sindrom
nefrotik resisten steroid, dan apabila ditemukan risiko tinggi sebagai bahan
pertimbangan penggunaan steroid-sparing agent.
-
5
I.4. KEASLIAN PENELITIAN
No Peneliti Judul Metode Hasil
1. Foster,B.J
dkk
(2006)
Risk factors for
glucocorticoid-
induced obesity in
children with
steroid-sensitive
nephrotic syndrome
cross-sectional
Subyek: 96 anak
umur 4-21 tahun
dengan Sindrom
Nefrotik sensitive
steroid (SNSS) dan
186 kontrol normal
Prevalensi obesitas pada anak
SNSS yang masih mendapat
paparan steroid sebesar 41%,
prevalensi obesitas pada anak
SNSS setelah 6 bulan bebas
steroid sebesar 20 %.
Terdapat hubungan bermakna
antara obesitas dengan anak
SNSS yang masih mendapat
paparan steroid OR 95% CI :
26,14 (7,54-90,66) pada ras
bukan kulit hitam. Sedangkan
pada ras kulit hitam tidak
ditemukan kenaikan risiko (OR
0,32: 0,032- 3,29). Ras bukan
kulit hitam adalah faktor risiko
obesitas pada SNSS.
2. Russell J.
Merritt
dkk
(1986)
Corticosteroid
Therapy- induced
obesity in children
kohort prospektif
subyek: 23 anak
umur 1-14 tahun
sindrom nefrotik
idiopatik yang telah
mendapat terapi
steroid lebih dari 60
hari
Jumlah anak yang berat
badannya > 120% kurva NCHS
saat inisiasi, selama terapi dan 6
bulan setelah terapi berturut-
turut 3, 10 dan 4 anak.
Terdapat perbedaan bermakna
berat badan antara waktu
pengukuran awal dan akhir
terapi steroid (p 130% kurva HCHS
setelah periode 6 bulan bebas
steroid ( 17 % dari jumlah
sampel).
3. Foster,
B.J dkk
(2004)
Interactions
between growth
and body
composition in
cross-sectional
subyek: 52 anak
umur 4-21 tahun
dengan sindrom
52% subyek SNSS obesitas.
Keluaran diukur dengan
parameter skor standar deviasi
(SD skor) berdasarkan NCHS.
-
6
No Peneliti Judul Metode Hasil
children treated
with high-dose
chronic
glukokorticoids
nefrotik sensitif
steroid (SNSS) dan
259 kontrol normal
(anak sehat)
Rerata tinggi badan dibanding
umur, TB//U , pada pasien
SNSS berada pada skor standar
deviasi 0,08 SD (persentil ke
47), lebih rendah daripada
kontrol 0,34 SD (persentil ke
63), dan ini bermakna secara
statistik (p< 0,0006).
Rerata masa tubuh dibanding
tinggi badan 0,43 SD pada
pasien SNSS, yang artinya
pasien SNSS memiliki masa
tubuh// tinggi pada standar
deviasi 0,43, dan ini lebih tinggi
bermakna daripada kontrol
normal (p= 0.003).
I.5. MANFAAT PENELITIAN
1. Untuk membantu klinisi memantau efek jangka panjang terapi steroid
pada anak dengan sindrom nefrotik.
2. Untuk tatalaksana pasien, dapat dilakukan alternatif terapi dengan steroid-
sparing agent apabila ditemukan risiko tinggi.
3. Untuk konseling nutrisi pada anak dengan sindroma nefrotik.