bab i pendahuluan -...

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh satu individu dengan individu lain untuk berinteraksi. Interaksi yang dilakukan dapat secara lisan atau tulisan, tergantung kepada apa yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, bahasa dipandang sebagai media untuk menyalurkan pesan, gagasan, ide, dan konsep yang sebelumnya berada di dalam pikiran seseorang yang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi bahasa yang dapat didengar atau diterima oleh lawan tutur. Ketika dibahasakan, lawan tutur dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang penutur. Proses tersebut merupakan salah satu bukti pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia. Pentingnya peran bahasa juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986: 3-8) yang mengatakan bahwa semua aspek kehidupan manusia dikomunikasikan dengan bahasa. Sebagai alat interaksi antarindividu, bahasa berkaitan erat dengan pemakainya. Perilaku berbahasa seorang individu juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku sosialnya. Tidak hanya itu, status sosial seseorang dapat dilihat dari bahasa yang dipakai. Selain itu, pemakaian bahasa atau pola-pola bahasa juga dapat mencerminkan pendidikan, agama, etnik, dan lain sebagainya. Pateda (1987: 11) menyatakan bahwa bahasa dipakai sebagai media untuk menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial. Perbenturan terjadi apabila keinginan seorang individu tidak sesuai dengan kenyataan. Gambaran perbenturan PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK (Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau) TASLIATI Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vukhue

Post on 10-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh

satu individu dengan individu lain untuk berinteraksi. Interaksi yang dilakukan

dapat secara lisan atau tulisan, tergantung kepada apa yang ingin disampaikan.

Dalam hal ini, bahasa dipandang sebagai media untuk menyalurkan pesan,

gagasan, ide, dan konsep yang sebelumnya berada di dalam pikiran seseorang

yang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi bahasa yang

dapat didengar atau diterima oleh lawan tutur. Ketika dibahasakan, lawan tutur

dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang penutur. Proses tersebut

merupakan salah satu bukti pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia.

Pentingnya peran bahasa juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986: 3-8) yang

mengatakan bahwa semua aspek kehidupan manusia dikomunikasikan dengan

bahasa. Sebagai alat interaksi antarindividu, bahasa berkaitan erat dengan

pemakainya. Perilaku berbahasa seorang individu juga tidak dapat dilepaskan dari

perilaku sosialnya. Tidak hanya itu, status sosial seseorang dapat dilihat dari

bahasa yang dipakai. Selain itu, pemakaian bahasa atau pola-pola bahasa juga

dapat mencerminkan pendidikan, agama, etnik, dan lain sebagainya.

Pateda (1987: 11) menyatakan bahwa bahasa dipakai sebagai media untuk

menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial. Perbenturan terjadi apabila

keinginan seorang individu tidak sesuai dengan kenyataan. Gambaran perbenturan

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

2

itu misalnya ketika seseorang ingin membeli beberapa macam barang, tetapi

jumlah uang yang dibawa tidak mencukupi. Ada banyak solusi yang bisa diambil,

misalnya dengan hanya membeli beberapa barang sesuai dengan jumlah uang,

kembali ke rumah untuk mengambil uang, meminjam uang kepada teman,

meminta keringanan agar dapat membayar keesokan harinya, atau memberikan

jaminan kepada penjual. Kesemua solusi tersebut dapat diambil dengan

memanfaatkan bahasa, sehingga tampaklah bahwa dalam kehidupan

bermasyarakat, bahasa dapat menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial.

Interaksi sosial yang melibatkan penutur-penutur dengan kebudayaan yang

berbeda menyebabkan adanya kontak bahasa. Berkaitan dengan hal ini, Foley

(1997: 384) mengatakan bahwa kontak antardua kebudayaan atau lebih

mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa. Perubahan itu dapat berupa adaptasi

ciri-ciri kebahasaan satu bahasa oleh bahasa yang lain atau keduanya saling

melakukan adaptasi. Dalam ilmu sosial, kondisi ini dinamakan asosiatif, yaitu

apabila salah satu komunitas melakukan adaptasi terhadap komunitas lain, atau

kedua komunitas saling melakukan adaptasi, salah satu adaptasi itu berupa

adaptasi bahasa (Soekanto, 2005: 70).

Kontak bahasa yang terjadi secara terus menerus dapat membentuk

masyarakat bilingual atau multilingual. Kondisi ini ditunjang oleh faktor sosial

atau ekonomi masyarakat yang menuntut untuk melakukan interaksi dengan

frekuensi yang tinggi. Di samping itu, sikap keterbukaan terhadap bahasa lain

juga menjadi faktor terbentuknya masyarakat bilingual atau multilingual. Di

Indonesia yang mempunyai bahasa nasional dan bahasa daerah, masyarakat

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

3

umumnya merupakan bilingual, dan tidak jarang yang multilingual. Seorang

individu tidak hanya dapat menguasai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) saja,

tetapi juga dapat menguasai bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai

bahasa kedua (B2). Bahkan, tidak jarang masyarakat suatu daerah yang di

samping menguasai bahasa etniknya juga dapat menguasai bahasa etnik lain yang

hidup berdampingan dalam satu masyarakat.

Dalam keadaan normal, keberadaan bahasa-bahasa, dialek-dialek, atau

ragam-ragam yang berdampingan tersebut mempunyai ranah pemakaian masing-

masing, situasi ini disebut juga dengan situasi diglosik. Lebih lanjut,

Poedjosoedarmo (2008: 8) mengatakan bahwa pada situasi diglosik terlihat

adanya pemilahan fungsi yang jelas antara bahasa High (H) dan Low (L). Bahasa

High dipakai untuk memperbincangkan hal-hal yang bersifat standar, resmi, dinas,

nasional, antarsuku, atau bisnis, sedangkan bahasa Low dipakai untuk

memperbincangkan hal-hal yang bersifat informal, tidak dinas, atau kedaerahan.

Karena adanya kontak bahasa yang terjadi secara terus-menerus, pemilahan fungsi

tersebut menjadi kabur, misalnya ditandai dengan penggantian fungsi bahasa L

oleh bahasa H. Situasi ini dikenal dengan kebocoran diglosia.

Permasalahan dalam masyarakat bilingual atau multilingual tidak hanya

berkaitan dengan keberadaan bahasa dengan fungsi pemakaiannya, hal lain yang

tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat tersebut memakai bahasa untuk

berkomunikasi. Dalam masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih etnik yang

berbeda, ada beberapa bahasa etnik yang hidup berdampingan, selain bahasa

nasional yang juga dikuasai oleh kedua etnik. Sikap keterbukaan yang dimiliki

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

4

oleh anggota etnik terhadap etnik lain dapat menyebabkan terjadinya transfer

kebudayaan, yang di dalamnya termasuk bahasa. Hal itu pulalah yang menjadikan

masyarakat menjadi bilingual atau multilingual.

Kajian mengenai kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik

merupakan kajian etnografi, misalnya kajian mengenai adat-istiadat, kebiasaan,

hukum, seni, religi, atau bahasa. Etnografi yang mengambil fokus pada bahasa

sering disebut etnografi komunikasi (etnography of communication, etnografi

wicara atau etnografi pertuturan (etnography of speaking) (Sumarsono, 2009:

309). Sudut pandang etnografi komunikasi selalu menginterpretasikan pemakaian

bahasa sebagai pemakaian kode tutur dalam kehidupan sosial. Jika terdapat lebih

dari satu kode tutur, seorang penutur akan melakukan pemilihan kode tutur yang

sesuai dengan situasi pada saat tuturan diutarakan. Pemilihan kode tutur ini dapat

dipandang sebagai perilaku kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku

berbahasa. Pemilihan kode tutur (speech code choice) atau yang umum dikenal

dengan pemilihan bahasa (language choice) muncul pada situasi diglosia yang

memungkinkan masyarakat menjadi dwibahasawan, baik secara aktif maupun

pasif. Kondisi ini mendukung masyarakat secara umum atau seorang penutur

secara khusus mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur, sehingga dalam

berkomunikasi dengan orang lain, ia melakukan pemilihan kode tutur, terutama

pada mitra tutur yang berbeda bahasa pertamanya (Sumarsono, 2009: 201-204).

Pemilihan kode tutur sebagai bagian dari perilaku sosial penutur tidak lepas

dari pertimbangan ranah pemakaian masing-masing kode tutur yang tentunya

sudah diketahui oleh penutur yang bersangkutan. Misalnya, penutur secara sadar

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

5

memakai kode tutur bahasa Indonesia dalam kegiatan rapat, dan memakai bahasa

ibu untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarganya. Dalam hal ini, penutur

menyadari bahwa pada ranah pemerintahan, kode tutur yang harus dipakai adalah

bahasa nasional, dan pada ranah keluarga, kode tutur yang dipakai adalah bahasa

ibu. Selain kedua ranah yang telah disebutkan tersebut, terdapat ranah-ranah

lainnya yang diperhatikan oleh penutur ketika melakukan pemilihan kode tutur.

Selain melakukan pemilihan kode tutur berupa variasi tunggal berdasarkan ranah

pemakaiannya, pemilihan kode tutur juga dapat berupa alih kode (code-mixing)

dan (code switcing). Dalam satu peristiwa tutur, seorang penutur melakukan

pemilihan kode tutur terhadap salah satu kode tutur karena mempertimbangkan

beberapa hal yang dalam penelitian ini dipandang sebagai faktor-faktor penentu

pemilihan kode tutur.

Pemilihan kode tutur yang dilakukan dalam penelitian ini berkaitan dengan

keseluruhan kode tutur yang terdapat dalam suatu masyarakat. Kode-kode tutur

tersebut dipakai sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung. Situasi tutur

kadangkala berubah dengan cepat sehingga memunculkan peristiwa alih kode.

Selain itu, tidak jarang para penutur mengambil serpihan-serpihan kode tutur lain

dalam suatu peristiwa tutur, hal ini merupakan bentuk peristiwa campur kode.

Fenomena-fenomena semacam ini rentan terjadi dalam masyarakat bilingual atau

multilingual. Masyarakat bilingual atau multilingual muncul dari latar belakang

kebudayaan atau etnik yang berbeda. Beragam etnik yang hidup dalam satu

masyarakat tutur cukup menarik dikaji dalam rangka melihat pemilihan kode tutur

yang dilakukan. Gambaran fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Desa Sako

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

6

Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.Desa Sako

merupakan desa pemekaran yang baru menjadi desa pada tahun 2010, sebelumnya

desa ini merupakan sebuah dusun dengan nama yang sama. Luas Desa Sako lebih

kurang 35 KM², yakni sekitar 24 % dari luas wilayah Kecamatan Pangean yang

luasnya lebih kurang 145,32 KM². Jumlah penduduk Desa Sako adalah 1.760 jiwa

dengan 525 Kepala Keluarga (KK) (Pangean dalam Angka 2013). Masyarakat

Desa Sako merupakan masyarakat dengan kombinasi empat etnik yang berbeda,

yakni (1) Melayu Kuantan (60 %), (2) Jawa (20 %), (3) Minangkabau (15 %), dan

(4) Batak (5 %). Etnik Melayu Kuantan merupakan penduduk asli, sementara tiga

etnik lainnya adalah etnik pendatang.

Untuk mengetahui bagaimana terbentuknya kombinasi masyarakat

multietnik tersebut, perlu dipaparkan secara ringkas mengenai sejarah Desa Sako.

Dalam buku Sejarah Kebudayaan Pangean (Said, 2002: 16) dijelaskan bahwa

pada abad XIV, Sako sebagai bagian dari daerah Pangean masih merupakan hutan

belantara karena belum ada penduduk yang menetap di daerah itu. Penduduk yang

tinggal di wilayah Kenegerian Pangean (sekarang Kecamatan Pangean) lebih

memilih tinggal di daerah pinggir sungai Kuantan, karena sungai Kuantan sangat

menunjang perekonomian penduduk Kenegerian Pangean (Daerah Sako jauh dari

pinggir sungai Kuantan). Awal abad XIX, daerah Sako mulai dirambah oleh

penduduk Kenegerian Pangean untuk membuka lahan perkebunan karet. Sejak itu

Sako mulai dihuni oleh etnis Melayu Kuantan yang berada di wilayah Kenegerian

Pangean.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

7

Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan transmigrasi yang dikeluarkan

oleh pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan banyaknya penduduk pulau

Jawa yang dipindahkan ke pulau Sumatera. Salah satu daerah transmigrasi adalah

daerah PT-PT dan Sungai Langsat yang berada di barat daerah Sako (daerah PT-

PT dan Sungai Langsat masih berupa hutan sebelum adanya program

transmigrasi). Para transmigran yang awalnya mengolah jatah dari pemerintah,

banyak yang kemudian pindah ke daerah Sako dengan membeli lahan sendiri.

Bahkan tidak jarang yang menjual lahan di daerah transmigrasi untuk kemudian

menetap di daerah Sako. Para transmigran yang merupakan etnis Jawa mulai

melakukan interaksi dengan etnik Melayu Kuantan dalam memenuhi berbagai

kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu, di bidang pariwisata, tradisi pacu jalur yang

merupakan pesta tahunan masyarakat Melayu Kuantan banyak mendatangkan

pedagang-pedagang dari Sumatera Barat. Etnis Minangkabau yang terkenal

senang merantau dan berdagang ini awalnya merupakan pedagang musiman yang

datang ketika musim pacu jalur berlangsung, lambat laun etnis Minangkabau ini

mulai menetap dan menjadi penduduk Kuantan Singingi, termasuk di Desa Sako.

Dilihat dari perkembangan di bidang pertanian, peralihan perkebunan karet

menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran oleh penduduk Kuantan Singingi

khususnya dan Riau pada umumnya telah menjadikan daerah ini sebagai daerah

penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia (riaubisnis.com). Banyak perusahaan

sawit yang mulai mengembangkan usahanya dengan membangun pabrik

pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO (crude palm oil) ‘minyak sawit

mentah’, salah satunya di PT-PT dan daerah-daerah lainnya. Banyaknya pabrik

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

8

yang membuka lapangan pekerjaan juga berdampak pada banyaknya penduduk

yang pindah ke daerah-daerah kawasan atau daerah yang berdekatan dengan

kawasan pabrik. Di Desa Sako, banyak berdatangan masyarakat etnis Batak yang

berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kebanyakan dari mereka bekerja

sebagai buruh di perusahaan, dan juga di perkebunan-perkebunan sawit milik

warga. Sebagaimana halnya etnis Jawa, banyak di antara etnis Batak yang

akhirnya memiliki lahan perkebunan sendiri dan menetap di Desa Sako.

Demikianlah, keempat etnik yang ada di Desa Sako hidup saling

berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan tidak jarang yang

melakukan pernikahan antaretnik. Interaksi sosial yang sedemikian rupa tentu saja

melibatkan bahasa. Keberagaman etnik yang terdapat dalam masyarakat tentu

menghadapkan penutur pada pemilihan kode tutur yang sesuai dengan situasi tutur

dalam berbagai ranah . Pemilihan kode tutur yangemakaian. Pemilihan kode tutur

yang menjadi fokus kajian dalam hal ini berkaitan dengan kode tutur apa saja

yang dipakai oleh masyarakat multietnik di Desa Sako, bagaimana pola pemilihan

kode tutur, dan faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur tersebut.

Untuk memahami hal tersebut, berikut ini dapat diperhatikan peristiwa tutur 1

dalam ranah keluarga.

Peristiwa Tutur 1

Ranah : KeluargaKode Tutur : Bahasa Jawa dan Bahasa IndonesiaLokasi : RumahPartisipan : A (40 tahun / Perempuan) dan B (18 tahun /Laki-laki)

A : Sib, jemput adikmu, kono!Wis jam semene.‘Sib, jemput adikmu, sana! Sudah jam berapa ini’.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

9

B : Paling rung metu.‘Paling belum keluar’.

A : Ini kan hari Jumat!B : Oh, ya, lali, Bu.

‘Oh, ya, lupa, Bu’A : Makane.

‘Makanya..’B : Ya,tak mangkat saiki.

‘Ya, (saya) berangkat sekarang’Data Pemilihan Kode Tutur 14

....................................................................................................................................

Peristiwa tutur 1 di atas menunjukkan pemilihan dua macam kode tutur

yang dilakukan dalam ranah keluarga. Kedua kode tutur yang dimaksud adalah

bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penutur A yang merupakan ibu dari penutur B

berbicara memakai bahasa Jawa kepada anaknya, begitu pun penutur B kepada

penutur A, atau anak kepada ibunya. Namun kemudian, penutur A beralih kode ke

bahasa Indonesia untuk mempertegas perintah yang disampaikan kepada anaknya,

yakni menjemput adiknya di sekolah. Hal itu dilakukan karena pada kalimat

sebelumnya, penutur B terkesan tidak menghiraukan perkataan penutur A untuk

segera melakukan apa yang diminta. Dalam hal ini, pemakaian kode tutur bahasa

Indonesia terkesan dapat mempertegas perintah yang disampaikan, sehingga

perintah tersebut langsung dipenuhi oleh penutur B. Dengan melihat peristiwa

tutur 1 tersebut, dapat dikatakan terdapat dua kode tutur yang dipakai, yakni

bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Keduanya memakai kode tutur bahasa Jawa,

kemudian penutur A beralih kode ke bahasa Indonesia. Selanjutnya kembali

memakai kode tutur bahasa Jawa. Dalam hal ini, faktor penentu alih kode yang

dilakukan adalah faktor tujuan dan kehendak tutur, yakni mempertegas perintah.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

10

Selanjutnya, pola pemilihan yang melibatkan tiga kode tutur dapat dilihat

pada peristiwa tutur 2 yang terjadi dalam ranah jual-beli berikut ini.

Peristiwa Tutur 2

Ranah : Jual-beliKode Tutur : Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak, dan Bahasa IndonesiaLokasi : PasarPartisipan : A (30 tahun/Laki-laki/Penjual I), B (35 tahun/Perempuan/

Pembeli I), C (50 tahun/Perempuan/ Pembeli II), dan D (32tahun/Perempuan/ Penjual II)

A : Lima belas, lima belas, lima belas, sarung bantal, yang bantal tidur, bantalguling, tinggal pilih, macam model, macam warna, macam ukuran!

B : Berapa?A : Lima belas, Bu, kasih murah aja. Dipilih aja, Bu, banyak modelnya!C : Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua!

‘Mahal harganya, coba kurang dua puluh, dua!’B : Olo, Mak.

‘Ya, Bu’.Sepuluh, ya?

A : Uni, ibu ko minta sapuluah ciek, ba a?‘Kak, ibu ini minta sepuluh satu, bagaimana?’

D : Agiehlah!‘Kasihlah!’

A : Ambil berapa, Bu?B : Kalau mau, empat’.A : Ya, ambillah.

Data Pemilihan Kode Tutur 77....................................................................................................................................

Peristiwa tutur 2 memperlihatkan pemilihan tiga kode tutur, yakni bahasa

Indonesia, bahasa Batak, dan bahasa Minangkabau yang dilakukan oleh penutur A

dan D yang beretnik Minangkabau, dan penutur B dan C yang beretnik Batak.

Penutur A sebagai penjual memakai bahasa Indonesia untuk menawarkan

barangnya kepada calon pembeli. Dua orang pembeli kemudian menghampiri

dagangan yang ditawarkan, kemudian berkomunikasi dengan penjual memakai

kode tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini terlihat penutur B menanyakan harga

memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penjual A kemudian menginformasikan

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

11

harga barang yang dijualnya juga memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penutur

C yang pada saat yang sama ikut bersama penutur B sebagai pembeli merasa

bahwa barang yang akan dibeli tersebut cukup mahal, sehingga ia menyarankan

kepada penutur B agar menawar harga tersebut. Agar tidak diketahui oleh penutur

A atau D, penutur C memakai kode tutur bahasa Batak. Ia menyarankan harga

yang pantas untuk menawar barang yang dibeli, yakni dengan mengutarakan

tuturan Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua!

Penutur B menangapi saran dari penutur C dengan beralih kode ke bahasa

Batak juga, yakni dengan menjawab Olo, Mak, kemudian kembali memakai kode

tutur bahasa Indonesia untuk menawar barang kepada penutur A. Apa yang

dilakukan oleh penutur C kepada penutur B juga dilakuan oleh penutur A kepada

penutur D, penutur A memakai kode tutur bahasa Minangkabau untuk meminta

pendapat penutur D sebagai penjual kedua mengenai tawaran harga yang

disampaikan oleh penutur B, yakni dengan mengungkapkan tuturan Uni, ibu ko

minta sapuluah ciek, ba a?. Hal itu dilakukan agar kedua pembeli tidak mengetahui jika

terjadi diskusi antara kedua penjual mengenai harga barang yang dijual. Penutur D

ternyata menanggapi dengan memberikan persetujuan, dengan mengutarakan

tuturan Agiehlah!. Mendapat persetujuan tersebut penutur A kemudian beralih kode

kembali ke bahasa Indonesia untuk melakukan jual-beli dengan pembeli. Selanjutnya,

percakapan berlangsung hingga akhir dengan tetap memakai kode tutur bahasa Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sako yang

multilingual melakukan pemilihan terhadap kode-kode bahasa yang ada.

Pemilihan kode dengan pola-pola tertentu ini dapat diamati dalam berbagai ranah

pemakaian. Selain itu, pemilihan terhadap kode-kode tersebut dilatar belakangi

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

12

oleh berbagai fakto penentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dikaji

mengenai kode-kode tutur apa, bagaimana pola-pola pemilihan kode tutur, dan

faktor apa saja yang menentukan pemilihan terhadap kode-kode tersebut. Lebih

lanjut, ketiga fokus kajian ini dituangkan dalam subbab rumusan masalah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah-masalah dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Kode tutur apa saja yang terdapat dalam masyarakat multietnik di Desa Sako

Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau?

2. Bagaimana pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat

multietnik di Desa Sako?

3. Faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh

masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan

Singingi Provinsi Riau?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi kode-kode tutur yang terdapat dalam masyarakat multietnik

di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.

2. Mendeskripsikan pola-pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh

masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan

Singingi Provinsi Riau.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

13

3. Menjelaskan faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh

masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan

Singingi Provinsi Riau.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis

dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

sumbangan untuk kemajuan ilmu bahasa, yakni bidang sosiolinguistik, khususnya

mengenai pemilihan kode tutur. Penelitian ini merupakan sebagian deskripsi

pemilihan kode tutur dalam masyarakat multilingual yang ada di Indonesia.

Dengan adanya penelitian-penelitian yang menunjang konsep pemilihan kode

tutur, ilmu sosiolinguistik ini dapat berkembang di Indonesia. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan sumber pustaka bagi penelitian

selanjutnya yang mengangkat kajian mengenai masyarakat dan bahasa, atau kajian

mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat multietnik.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan model analisis

dengan pendekatan etnografi komunikasi dalam masyarakat multietnik.

Pendekatan etnografi komunikasi dapat dikembangkan pada masyarakat tutur

yang lain. Selain itu, dengan mengetahui gambaran kebahasaan pada masyarakat

multietnik di Desa Sako diharapkan dapat memudahkan peneliti-peneliti lain yang

tertarik untuk mengkaji bahasa dan masyarakat di daerah ini. Manfaat praktis

lainnya, penelitian ini dapat membantu upaya pembinaan dan pengembangan

bahasa, baik bahasa Melayu Kuantan, maupun bahasa-bahasa lain yang ada di

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

14

daerah penelitian. Dalam bidang pembelajaran bahasa, penelitian ini diharapkan

dapat bermakna bagi pengembangan kemampuan komunikatif.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa cukup

mendapat perhatian oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh

perkembangan masyarakat dan budaya yang di dalamnya termasuk bahasa.

Bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk berinteraksi dalam semua aspek

kehidupan merupakan wujud pemakaian bahasa yang nyata. Oleh karena itu,

penelitian-penelitian mengenai bahasa dan masyarakat cukup diminati dari waktu

ke waktu. Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa di

Indonesia dilakukan di berbagai daerah. Penelitian-penelitian tersebut antara lain

di Brebes oleh Tommi Yuniawan (2002), di Banyumas oleh Fathur Rokhman

(2003), di Kalimantan Selatan oleh Alimuddin (2003), di Banyuwangi oleh Agus

Sariono (2007), dan di Lombok oleh Selamat Riadi (2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Tommi Yuniawan (2002) terkait dengan

pemilihan bahasa dalam ranah pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat

etnik Jawa-Sunda yang tinggal di Kabupaten Brebes.Masyarakat yang diteliti

merupakan masyarakat multilingual yang mampu menguasai bahasa Sunda,

bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Dalam berbagai peristiwa tutur dalam ranah

pemerintahan, masyarakat etnik Jawa Sunda ini sering melakukan alih kode atau

campur kode karena dihadapkan pada situasi tertentu. Di Banyumas, Fathur

Rokhman (2003) melakukan penelitian terhadap masyarakat bilingual yang

menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode dan campur

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

15

kode dipaparkan dalam berbagai peristiwa tutur yang terjadi hampir dalam setiap

ranah pemakaian bahasa.

Penelitian mengenai pemilihan bahasa juga dilakukan oleh Alimuddin

(2003) yang melakukan penelitian terhadap masyarakat Mandar yang ada di

Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.

Dalam penelitian ini, masyarakat Mandar juga merupakan masyarakat

multilingual yang mampu menguasai bahasa Mandar, bahasa Banjar, dan bahasa

Indonesia. Kajian pemilihan bahasa yang dilakukan dibatasi pada ranah keluarga

dan ranah jual-beli. Deskripsi wujud kode tutur, pola pemilihan bahasa dan faktor

penentunya merupakan fokus kajian. Di Banyuwangi, Agus Sariono (2007)

melakukan penelitian terhadap masyarakat Using di Banyuwangi. Masyarakat ini

juga merupakan masyarakat multilingual karena menguasai beberapa kode tutur,

baik berupa bahasa, ragam, maupun tingkat tutur. Deskripsi mengenai varietas-

varietas bahasa, pola pemilihan, dan faktor yang mendasari pemilihan bahasa

menjadi fokus kajian yang dilakukan.

Pada tahun 2008, kajian mengenai pemilihan bahasa kembali dilakukan oleh

Selamet Riadi yang mengkaji pemilihan bahasa di Kabupaten Lombok Timur,

yakni pemilihan bahasa Bajo dan bahasa Sasak yang dilakukan oleh masyarakat

Tanjung Luar. Masyarakat Tanjung Luar melakukan pemilihan bahasa antara

bahasa Bajo, bahasa Sasak, atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain

itu, alih kode dan campur kode juga terjadi antara ketiga bahasa tersebut.

Penelitian ini mengkaji pemilihan bahasa dalam ranah keluarga, lingkungan, dan

jual-beli. Kemudian pada tahun 2011, Rosiana Kristanti melakukan penelitian

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

16

mengenai pemilihan bahasa dalam ranah pendidikan dan ranah kerja di Pusat

Bahasa, Budaya, dan Agama UIN Sunan Kalijaga. Deskripsi mengenai wujud

kode tutur, alih kode dan campur kode dan fungsi keduanya, serta faktor-faktor

penentu pemilihan bahasa merupakan fokus kajian yang dilakukan.

Setelah memperhatikan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian mengenai

pemilihan kode tutur dalam masyarakat multietnik di Desa Sako inimemiliki

persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian di atas. Sebagaimana

penelitian-penelitian di atas, penelitian ini juga mengkaji bahasa dalam kaitannya

dengan masyarakat. Penelitian yang dilakukan berusaha memerikan pemakaian

bahasa oleh masyarakat multilingual secara nyata. Hal itu dapat dilihat dari

berbagai peristiwa tutur yang diamati dalam berbagai pemakaian. Berkaitan

dengan cakupan ranah yang diteliti, penelitian ini meneliti semua ranah

sebagaimana yang dilakukan oleh Rohkman (2003) dan Sariono (2007). Akan

tetapi, penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut terkait

dengan kombinasi kode tutur yang diteliti, yakni bahasa Indonesia, Jawa, Melayu

Kuantan, Minangkabau, dan Batak. Hal itu pulalah yang membedakan dengan

penelitian-penelitian lainnya yang telah disebutkan di atas.

1.6 Landasan Teori

Teori-teori yang dipakai untuk mendekati rumusan masalah dalam

penelitian ini dimulai dengan teori kajian sosiolinguistik. Dalam kajian

sosiolinguistik ditemukan istilah masyarakat tutur, situasi tutur, komponen tutur,

dan pemilihan kode tutur. Istilah pemilihan kode tutur tidak dapat dilepaskan

dengan bilingualisme dan multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

17

kode. Berikut ini secara runtut akan dijelaskan mengenai teori-teori yang

berkaitan dengan penelitian ini.

1.6.1 Kajian Sosiolinguistik

Bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain dapat

dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal, bahasa dikaji berdasarkan

struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, dan

sintaksis. Kajian semacam ini dapat dilakukan dalam disiplin linguistik tanpa

melibatkan faktor-faktor di luar bahasa. Berbeda dengan kajian internal, kajian

bahasa secara eksternal turut melibatkan faktor-faktor lain yang berada di luar

bahasa dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa oleh penutur dalam kelompok

sosial masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004: 1). Kajian secara eksternal ini tentu

saja tidak hanya melibatkan teori dan prosedur linguistik semata, melainkan juga

melibatkan teori dan prosedur ilmu lain. Dalam kaitannya dengan masyarakat,

kajian bahasa dapat dikaitkan dengan ilmu sosiologi, sehingga menghasilkan

gabungan ilmu sosiolinguistik.

Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara

ilmu sosiologi dan linguistik. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat,

sedangkan objek linguistik adalah bahasa. Oleh karena itu, ilmu yang menggarap

masalah-masalah kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial,

situasional, dan kultural dinamakan sosiolinguistik (Wijana, 2011: 8). Istilah

sosiolinguistik pertama kali dikemukakan Harver C. Currie dalam karangannya

yang menyarankan agar adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran

dengan status sosial pada tahun 1952 (Chaer dan Agustina, 2004: 5). Istilah

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

18

sosiolinguistik ini sering disamakan dengan sosiologi bahasa. Mengenai hal itu,

J.A. Fishman membedakan dengan mengatakan bahwa sosiolinguistik bersifat

kualitatif, yakni mementingkan pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam

konteks sosialnya, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif, yakni

mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat adanya tingkatan sosial dalam

masyarakat (Pateda, 1987:2).

Holmes (1992: 1) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi yang

mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal ini dapat

mengungkapkan mengapa seseorang berbicara dengan cara yang berbeda sesuai

dengan konteks sosial saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, Holmes

menambahkan, sosiolinguistik berusaha mengidentifikasi fungsi-fungsi sosial dari

pemakaian bahasa, dan mengidentifikasi bagaimana bahasa dipakai untuk

menyampaikan makna sosial. Lebih lanjut, Holmes dan Pride (dalam Sumarsono,

2009: 2) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian

dari kebudayaan dan masyarakat. Sumarsono mengartikan hal ini sebagai

penegasan bahwa bahasa tidak dapat berdiri sendiri, bahasa adalah bagian dari

kebudayaan (language and culture). Senada dengan pendapat Holmes,

Wardhaugh (1986: 4) mengemukakan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan

antara bahasa dan masyarakat, kedua hal ini dikaji oleh dua disiplin ilmu yakni

linguistik dan sosiologi.

Masalah-masalah sosiolinguistik yang berkaitan dengan bahasa dan

masyarakat cukup luas, dalam konferensi sosiolinguistik pertama di University of

California, Los Angeles, tahun 1964 dirumuskan tujuh dimensi masalah dalam

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

19

sosiolinguistik. Tujuh dimensi yang dirumuskan tersebut yaitu: (1) identitas sosial

dari penutur; (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses

komunikasi; (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi; (4) analisis

sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial; (5) penilaian sosial yang

berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-bentuk ujaran; (6) tingkatan variasi

dalam ragam linguistik; dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik

(Dittmar dalam Chaer dan Agustina, 2004: 5).

Ditinjau dari ruang lingkup kajiannya, sosiolinguistik dapat dibedakan

menjadi mikro-sosiolinguistik dan makro-sosiolinguistik (Pateda, 1987: 5). Kajian

mikro linguistik berhubungan dengan kelompok kecil pemakaian bahasa,

misalnya tegur sapa. Dalam hal ini, fokus kajiannya adalah individu yakni pada

tindak tutur (speech act) yang terjadi dalam kelompok-kelompok primair menurut

ilmu sosiologi, tindak tutur itu dimodifikasi oleh berbagai variabel, seperti status

keakraban, pertalian keluarga, sikap, dan tujuan setiap anggota kelompok.

Sementara itu, kajian makro linguistik berhubungan dengan masalah perilaku

bahasa dan struktur sosial.

Sumarsono (2009: 14-16) membedakan ruang lingkup kajian sosiolinguistik

dengan memakai istilah sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro.

Sosiolinguistik mikro berkaitan dengan kajian mengenai masalah-masalah “kecil

dan sempit”, sedangkan sosiolinguistik makro mengenai masalah-masalah “besar

dan luas”. Lebih lanjut, Sumarsono mengutip pendapat Roger Bell mengenai

kedua hal ini, sosiolinguistik mikro menekankan perhatian pada interaksi bahasa

antarpenutur dalam satu kelompok guyup tutur (intragroup interaction),

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

20

sedangkan sosiolinguistik makro mengambil fokus pada interaksi antarpenutur

dalam konteks antarkelompok (intergroup interaction).

Kajian sosiolinguistik tentu saja memberikan manfaat dalam studi bahasa,

mengenai hal ini, Suwito (1982: 4-5) mengemukakan bahwa sosiolinguistik yang

mengkaji bahasa dalam konteks sosio-kultural dan situasi pemakaiannya tidak

hanya melihat bahasa dari segi penuturnya saja. Dalam proses interaksi, penutur

dan dan mitra tutur sama-sama mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara,

kapan, mengenai masalah apa, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya. Lebih

lanjut, Chaer dan Agustina (2004: 5) juga mengungkapkan dua manfaat kajian

sosiolinguistik. Pertama, kajian sosiolinguistik bermanfaat dalam memberikan

pengetahuan bagaimana cara memakai bahasa. Manfaat ini sejalan dengan yang

dirumuskan oleh Fishman mengenai sosiolinguistik, yakni “who speak, what

language, to whom, when, and to what end”. Pengetahuan bahasa yang dimiliki

seseorang dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.

Sosiolinguistik memberikan pemahaman dengan menunjukkan bahasa, ragam

bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus dipakai ketika berbicara dengan orang

tertentu. Kedua, sosiolinguistik bermanfaat dalam pengajaran bahasa. Pengajaran

bahasa yang memanfaatkan buku-buku hasil kajian deskriptif dapat menimbulkan

kesulitan dalam mengajarkan ragam bahasa baku karena dalam buku tersebut juga

terdapat contoh-contoh ragam nonbaku. Dengan bantuan sosiolinguistik, para

pengajar dapat menjelaskan bahwa dalam berbahasa terdapat ragam baku dan

nonbaku.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

21

1.6.2 Masyarakat Tutur

Dalam kajian sosiolinguistik, masyarakat dan bahasa merupakan kajian

utama yang dikaji dalam rangka mengidentifikasi pemakaian bahasa oleh penutur

dalam masyarakat tutur. Masyarakat tutur (speech community) adalah sekelompok

orang yang mempunyai kemampuan komunikatif (verbal repertoire) yang relatif

sama, dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian

bahasa yang berlaku dalam lingkup masyarakat tersebut (Suwito, 1982: 18).

Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan bahwa batasan

masyarakat tutur itu tidak hanya sekelompok orang yang menuturkan bahasa yang

sama, tetapi juga sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam

memakai bentuk-bentuk bahasa. Masyarakat tutur juga dapat didefinisikan

sebagai sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi

dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur

yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan (Wijana, 2011: 46).

Saville-Troike (2003: 14) mengemukakan bahwa sebuah masyarakat tutur

tidak bisa persis disamakan dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang

sama, misalnya penutur bahasa Spanyol yang ada di Texas dan di Argentina tidak

dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur meskipun mereka memakai bahasa

(kode) yang sama, dan beberapa pasangan suami istri pada beberapa masyarakat

tutur di Pasifik Selatan memakai bahasa yang berbeda ketika berkomunikasi satu

sama lain. Saville-Troike (2003: 19) membedakan masyarakat yang hard shelled

dengan soft shelled. Masyarakat hard shelled merupakan masyarakat dengan

jaringan sosial tertutup, yang ditandai dengan minimnya interaksi dengan orang

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

22

luar (outsiders) dan pemeliharaan maksimum pada bahasa dan kebudayaan.

Masyarakat Mongolia, dan Jepang pada masa lalu merupakan contoh masyarakat

hard shelled. Pada masyarakat demikian, pemakaian bahasa cenderung seragam.

Perubahan unsur kebahasaan terjadi melalui proses internal karena kontak bahasa

relatif tidak pernah terjadi, sehingga jumlah perubahan kebahasaannya cenderung

kecil. Sebaliknya, masyarakat soft shelled merupakan masyarakat dengan jaringan

sosial terbuka, yang ditandai dengan interaksi dengan orang luar yang bersifat

timbal balik dan leluasa.

Masyarakat tutur yang memakai bahasa dunia, seperti bahasa Inggris,

Perancis, Portugis cenderung soft shelled. Pada masyarakat tutur demikian,

interaksi yang melintas batas bangsa atau suku bangsa dapat terjadi dengan mudah

dan bersifat dua arah. Masyarakat Inggris, Belanda, dan Jerman dapat dimasukkan

sebagai masyarakat yang soft shelled karena interaksi antarketiga bangsa itu

terjadi melalui bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat tutur

Indonesia, yakni masyarakat tutur yang ditandai dengan pemakaian bahasa

Indonesia. Pada masyarakat soft shelled, pemakaian bahasa cenderung heterogen.

Bahasa Indonesia memiliki berbagai variasi berdasar suku bangsa yang

memakainya. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang Jawa berbeda dari bahasa

Indonesia yang dipakai oleh orang Bali, Minangkabau, Madura, dan sebagainya.

Masyarakat Desa Sako yang sebagai masyarakat yang diteliti dalam

penelitian ini merupakan masyarakat yang shoft shelled yang ditandai dengan

pemakaian kode tutur bahasa Indonesia, bahasa Melayu Kuantan, bahasa Jawa,

bahasa Minangkabau, dan bahasa Batak. Kode-kode tutur itu masing-masing

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

23

masih dipertahankan oleh etnik pendukungnya, namun dalam berinteraksi dengan

etnik lain, tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh kode tutur yang dipakai

oleh etnik lain.

1.6.3 Situasi Tutur

Situasi tutur merupakan situasi yang berkaitan dengan tuturan, baik yang

bersifat komunikatif maupun yang tidak komunikatif (Hymes, 1972: 56). Situasi

komunikatif merupakan konteks bagi terjadinya peristiwa komunikatif dan tidak

komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 319-320). Sebagai konteks, kaidah-

kaidah pertuturan mengacu pada situasi komunikatif itu. Situasi masjid misalnya,

memberikan konteks yang berbeda dengan situasi kantor pemerintahan, pesta

pernikahan, dan sebagainya. Peristiwa percakapan (satu tipe peristiwa tutur) yang

terjadi dalam pesta pernikahan misalnya, berbeda dengan peristiwa percakapan

yang terjadi dalam rapat di kantor pemerintah. Dalam situasi shalat Jumat,

percakapan bahkan tidak boleh dilakukan.

Situasi tutur membatasi isi pesan (topik). Di pesta pernikahan misalnya, isi

pesan tentunya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pesta itu: pengantinnya,

tamu-tamunya yang hadir, jamuannya, dekorasinya, dan sebagainya. Isi pesan

bisnis tentu saja tidak terkait dengan situasi pesta. Artinya, manakala ada

partisipan pesta yang terlibat percakapan bisnis, maka partisipan itu sedang tidak

berada dalam situasi pesta. Hal yang sama juga terjadi pada seorang dosen yang

harus menjawab panggilan telepon pada saat ia sedang memberi kuliah. Meskipun

ia tidak meninggalkan ruang kuliah (latarnya tetap), ia sebenarnya sudah

meninggalkan situasi kuliah pada saat ia menjawab telepon, dan sebagai gantinya

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

24

ia telah berpindah pada situasi tertentu yang diacu oleh percakapan telepon itu.

Situasi itu bisa berupa situasi bisnis, persahabatan, atau yang lain.

Di pesta pernikahan, percakapan terikat pada norma-norma sopan santun

pesta yang berbeda dengan norma sopan santun pada situasi menonton bersama

pertandingan sepak bola di lapangan terbuka. Orang boleh bercakap-cakap dengan

keras di lapangan sepak bola. Jika hal yang sama dilakukan di pesta pernikahan,

percakapan itu akan dinilai sebagai percakapan yang dilakukan oleh orang-orang

yang tidak tahu adat dan sopan santun. Mereka tidak memiliki kompetensi

komunikatif, khususnya yang berlaku pada pesta pernikahan itu.

Situasi tutur dapat disejajarkan dengan konsep ranah. Fishman (1972: 24)

membatasi ranah sebagai konteks institusional serta peristiwa-peristiwa tingkah

laku yang sesuai yang terjadi bersama-sama. Ranah disejajarkan dengan spheres

of activity (lingkup aktivitas) yang dikembangkan oleh linguis yang

mengkhususkan diri pada proses akulturasi. Sebuah catatan perlu dikemukakan

sebagai berikut. Lingkup situasi tutur cenderung lebih sempit dan kongkret

daripada lingkup ranah yang bersifat institusional. Ranah keagamaan misalnya,

jauh lebih luas cakupannya daripada situasi tutur shalat Jumat, tetapi ranah

persahabatan dapat disamakan dengan situasi persahabatan.

1.6.4 Komponen Tutur

Komponen tutur merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam

sebuah peristiwa tutur, karena dalam sebuah peristiwa tutur, ada komponen-

komponen yang mempengaruhinya. Sebelum membicarakan komponen tutur,

berikut akan diuraikan mengenai peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

25

keseluruhan perangkat komponen (tutur) yang utuh, yang dimulai dengan tujuan

umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang sama,

yang secara umum memakai varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone

yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam latar yang sama

(Saville-Troike, 2003: 36). Batasan itu dengan jelas mengungkapkan bahwa yang

menyatukan peristiwa-peristiwa tutur itu adalah komponen tutur. Artinya, jika

terjadi perubahan atau terdapat perbedaan dalam salah satu atau lebih komponen

tutur, maka peristiwa tutur itu sudah berbeda dan berubah. Peristiwa tutur

berwatak komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 320). Oleh karena itu,

peristiwa tutur dianggap sebagai unit dasar untuk tujuan deskriptif (Saville-

Troike, 2003 27). Artinya, deskripsi etnografi komunikasi bekerja berdasarkan

satuan-satuan analisis yang berupa peristiwa tutur. Situasi tutur bermanfaat dalam

menyusun klasifikasi data, karena dalam tiap situasi tutur dimungkinkan untuk

mendapatkan kekhasan deskripsi etnografis pada situasi tutur yang lain.

Pembicaraan mengenai komponen tutur sudah banyak dibicarakan oleh

beberapa ahli, Salah satunya adalah J.A. Fishman (Chaer dan Agustina, 2004: 5)

yang merumuskan komponen tutur dengan istilah “who speak, what language, to

whom, when, and to what end”. Komponen-komponen tutur menurut Fishman,

yaitu (1) partisipan (who speak dan to whom), atau orang-orang yang terlibat

dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur, (2) instrumen (what

language) atau alat, yaitu berkaitan dengan bahasa yang dipakai dalam peristiwa

tutur, (3) latar (when), yaitu waktu peristiwa tutur tersebut terjadi, dan (4) topik,

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

26

tema, atau tujuan (to what end), yaitu maksud yang ingin dicapai dalam peristiwa

tutur.

Selain Fishman, salah satu ahli yang terkenal dengan komponen tuturnya

adalah Dell Hymes dalam tulisan berjudul Models of Interaction of Language and

Social Life (Sumarsono, 2009: 335). Hymes merumuskan delapan komponen tutur

yang selanjutnya disingkat dengan akronim bahasa Inggris, yaitu SPEAKING.

Delapan komponen tutur tersebut adalah.

1. S (setting and scene), berkaitan dengan latar waktu dan tempat atau situasi

tempat dan waktu ketika peristiwa tutur itu terjadi. Setting dapat diartikan

sebagai waktu atau tempat sebuah peristiwa tutur berlangsung. Sementara itu,

scene berkaitan dengan waktu dan tempat atau situasi psikologis penutur pada

saat peristiwa tutur berlangsung.

2. P (participants), berkaitan dengan pelaku yang berperan dalam peristiwa

tutur, bisa pembicara dan pendengar, pengirim dan penerima pesan, atau

penyapa dan orang yang disapa. Hal itu tergantung kepada bentuk

pembicaraan atau instrumen yang dipakai dalam sebuah peristiwa tutur.

3. E (ends: purposes and goal), ends dapat dibedakan menjadi dua, yakni

outcomes atau purposes yang berkaitan dengan hasil, dan goals berkaitan

dengan tujuan yang ingin dicapai.

4. A (act sequence), berkaitan dengan bentuk dan isi pesan (messege form and

content). Misalnya, bagaimana kata-kata dipakai, bagaimana pemakaiannya,

dan bagaimana hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik

pembicaraan.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

27

5. K (key: tone or spirit of act), berkaitan dengan cara menyampaikan pesan.

Cara tersebut dapat berupa nada pada saat menghasilkan tuturan, atau gerak

tubuh dan isyarat. Misalnya, penyampaian materi seminar yang kaku dan

monoton, pidato yang berapi-api, dan sebagainya.

6. I (instrumentalities), berkaitan dengan alat atau media yang dipakai dalam

berkomunikasi. Alat yang dipakai berkenaan dengan bahasa, dialek, ragam,

atau register apa yang dipakai dalam peristiwa tutur. Adapun media dapat

berupa lisan atau tertulis, seperti telepon atau surat.

7. N (norms of interaction and interpretation), berkaitan dengan aturan atau

norma yang berlaku dalam interaksi dan interpretasi di masyarakat.

8. G (genre), berkaitan dengan jenis penyampaian, yakni dapat berupa narasi,

puisi, pepatah, dan sebagainya.

Rumusan komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes di atas

menunjukkan bahwa dalam sebuah peristiwa tutur, ada banyak faktor yang

mempengaruhinya. Sebuah peristiwa tutur yang biasa terjadi dalam kehidupan

sehari-hari merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Rumusan komponen tutur

yang terkenal dengan SPEAKING yang bermakna ‘wicara’ ini juga mempunyai

padanan dalam bahasa Perancis, yaitu PARLANT (Sumarsono, 2009: 334-335).

Komponen tutur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. P (participant), berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam sebuah

peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur.

2. A (actes), berkaitan dengan pesan (messege form) atau isi pesan (messege

content)

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

28

3. R (raison), berkaitan dengan maksud hasil (purpose outcome) dan maksud

tujuan (purpose goal) yang ingin dicapai dalam peristiwa tutur.

4. L (locale), berkaitan dengan latar (setting) dan suasana (scene) peristiwa tutur

berlangsung.

5. A (agents), berkaitan dengan saluran (chanel) dan bentuk tuturan (form of

speech).

6. N (normes), berkaitan dengan norma interaksi dan norma interpretasi.

7. T (types), berkaitan dengan jenis penyampaian atau genre.

Komponen-komponen tutur pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah

dirumuskan oleh Dell Hymes, seperti komponen tutur yang dirumuskan oleh

Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001: 35-50) yang merumuskan komponen tutur

berdasarkan pandangannya terhadap peristiwa tutur yang ada di Indonesia. Lebih

lanjut, komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (dalam Nadar,

2009:8-10) dikenal dengan memoteknik OOE MAU BICARA, dengan penjelasan

sebagai berikut:

1. O1 adalah orang ke-1 yang meliputi pribadi penutur. Latar belakang

penutur meliputi: jenis kelamin, asal daerah, golongan masyarakat, umur,

profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.

2. O2 merupakan orang ke-2 (lawan tutur orang ke-1). Faktor kedua yang

menentukan bentuk tutur yang keluar dari mulut seseorang penutur ialah

orang kedua atau lawan berbicara penutur itu. Hal yang perlu diperhatikan

adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang kedua

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

29

(O2) dan seberapa akrab hubungan antara keduanya. Keintiman relasi O1

dan O2 menentukan corak bahasa yang dituturkan.

3. E adalah emosi O1 (warna emosi), yaitu suasana emosi O1 pada waktu

yang bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi O1 akan sangat

mempengaruhi bentuk tuturannya.

4. M adalah Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 juga

menentukan bentuk tuturan.

5. A adalah adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar peristiwa tutur.

Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi

apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur.

6. U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas

menentukan bentuk tuturannya dari pada lawan tuturnya.

7. B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan. Pokok

pembicaraan akan mempengaruhi suasana pembicaraan. Jika seseorang

sedang membicarakan masalah-masalah ilmiah akan memakai bahasa yang

lebih formal.

8. I adalah instrumen atau sarana penutur. Sarana penutur ini meliputi

bagaimana percakapan itu terjadi apakah melalui surat, telegram, email,

atau telepon. Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul

dalam percakapan.

9. C adalah cita rasa tutur. Cita rasa tutur ini meliputi kapan akan dipakai

ragam bahasa santai, formal, dan ragam bahasa indah.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

30

10. A adalah adegan tutur yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan

waktu peristiwa tutur

11. R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk

wacana pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, yaitu

diawali dengan sapaan, salam introduksi, kemudian isi dan penutup.

12. A adalah aturan atau norma kebahasaan. Ada sejumlah norma yang harus

dipatuhi, misalnya kejelasan dalam berbicara. Adapun aturan dalam

percakapan seperti anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur,

status, dan yang lainnya yang bersifat pribadi sehingga hal ini dapat

menentukan bentuk tuturan yang muncul.

1.6.5 Pemilihan Kode Tutur

Pemilihan kode tutur (speech code choice) bisa disamakan dengan istilah

pemilihan bahasa (language choice). Pemakaian istilah “kode tutur” dilakukan

agar mendapatkan istilah netral untuk merujuk pada kode yang berupa bahasa,

dialek, atau ragam. Hal itu dilakukan mengingat kode-kode tutur yang diteliti

dalam penelitian ini belum dibuktikan secara ilmiah sebagai bahasa yang berbeda.

Misalnya antara bahasa Melayu Kuantan dan bahasa Minangkabau, banyak

terdapat kosakata yang sama atau hanya berbeda satu fonem. Ibrahim (1993: 59)

mengatakan bahwa kajian sosiolinguistik ada karena adanya pemilihan dalam

pemakaian bahasa. Pemilihan kode tutur berkaitan dengan asumsi bahwa

masyarakat yang diteliti merupakan masyarakat bilingual atau multilingual.

Artinya, ketika kode tutur yang dipakai dalam masyarakat itu hanya satu bahasa,

tidak akan dilakukan pemilihan kode tutur.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

31

Sumarsono (2009: 201-204) mengungkapkan munculnya pemilihan kode

tutur berkaitan dengan kondisi kebahasaan yang diglosik sehingga memungkinkan

masyarakat menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan

(multilingual). Seorang penutur mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur

yang ketika berkomunikasi dengan orang lain, ia akan melakukan pemilihan kode

tutur yang sesuai. Pada situasi ini, seorang penutur dapat melakukan alih kode

sesuai dengan situasi saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, hal-hal yang

berkaitan dengan pemilihan kode tutur berupa bilingualisme dan

multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur kode akan diuraikan sebagai

berikut.

1.6.5.1 Bilingualisme dan Multilingualisme

Dua hal yang yang tidak dapat dilepaskan dalam pemilihan kode tutur

adalah bilingualisme dan multilingualisme. Pemilihan kode tutur terjadi pada

masyarakat yang bilingual dan multilingual. Bilingualisme dan multilingualisme

terjadi karena adanya kontak bahasa. Pada masyarakat terbuka, para anggota

masyarakat dengan mudah menerima orang lain ke dalam kelompoknya. Dengan

begitu, terjadilah kontak antarkedua kebudayaan yang tentunya diwujudkan dalam

kontak bahasa. Kontak antardua kebudayaan yang berbeda merupakan awal dari

lahirnya masyarakat yang bilingual.

Mengenai bilingualisme, Suhardi dan Sembiring (2005: 58-59) mengulas

beberapa pendapat para ahli, Leonard Bloomfied (1933) mengatakan bahwa

bilingualisme adalah penguasaan seseorang terhadap dua bahasa. Sementara itu,

Weinreich (1968) berpendapat bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

32

untuk memakai dua bahasa secara bergantian. Einar Haugen (1966) kemampuan

seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain.

Suhardi dan Sembiring mengemukakan bahwa perbedaan pendapat tersebut

disebabkan oleh sulitnya menentukan batasan seorang yang dapat disebut sebagai

penutur bilingual atau dwibahasawan.

Dewasa ini, istilah bilingualisme dan multilingualisme mempunyai batasan

yang luas, bilingualisme dapat diartikan sebagai kemampuan kebahasaan

seseorang terhadap dua bahasa. Kemampuan tersebut dapat berupa pengetahuan

terhadap dua bahasa tanpa melihat tingkat kemampuannya sama atau tidak.

Dalam hal ini, seorang penutur bisa saja lebih tinggi kemampuannya dalam

bahasa A daripada bahasa B, atau sebaliknya. Pengetahuan terhadap bahasa satu

lebih rendah dari bahasa kedua tidak mempengaruhi status seseorang sebagai

dwibahasawan, atau penutur bilingual. Adapun konsep multilingual hampir sama

dengan bilingual, jika bilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap dua

bahasa, multilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap lebih dari dua bahasa.

1.6.5.2 Diglosia

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diglosia merupakan salah

satu dampak dari adanya kontak bahasa. Diglosia dapat didefinisikan sebagai

situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa mempunyai ranah

pemakaian atau menjalankan fungsinya secara proporsional (Wijana, 2011: 34).

Istilah diglosia pernah dipakai oleh seorang Perancis bernama Marcais, namun

istilah diglosia baru populer ketika Ferguson pada tahun 1958 menggunakannya

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

33

dalam simposium mengenai urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang

diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington D.C.

Istilah itu juga kemudian yang dipakai oleh Ferguson dalam tulisannya yang

berjudul Diglosia (Chaer dan Agustina, 2004: 92).

Dalam interaksi sosial, diglosia akan muncul jika ada dua kode berbeda

yang keduanya secara jelas menunjukkan fungsi yang berbeda. Ferguson (dalam

Wardhaugh, 1986: 87) mengemukakan bahwa diglosia berkaitan dengan beberapa

hal, yakni (1) dalam masyarakat diglosia terdapat dialek utama (ragam tinggi),

ragam rendah, atau dialek lain, (2) dialek utama (ragam R) dapat berupa dialek

standar atau dialek standar regional, (3) dialek yang bukan dialek utama memiliki

ciri-ciri: terkodifikasi, tata bahasanya lebih lengkap, berupa wahana kesusastraan

tertulis, dipelajari pada pendidikan formal, dan tidak dipakai dalam percakapan

sehari-hari. Batasan yang diberikan Wardhaugh di atas sejalan dengan yang

diungkapkan oleh Holmes (1992: 32), yaitu (1) dua variasi dari satu bahasa yang

sama, yang satu merupakan variasi L (low), dan yang lainnya merupakan variasi

H (high), (2) masing-masing variasi mempunyai fungsi yang berbeda, dan (3)

variasi H tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari.

Batasan yang diungkapkan oleh kedua tokoh di atas dirasakan sempit untuk

menjelaskan diglosia, oleh karena itu, Fasold (Chaer dan Agustina, 2004: 101)

memberikan batasan yang lebih luas. Menurutnya, diglosia tidak hanya terbatas

pada perbedaan fungsi variasi atau dialek dalam satu bahasa, tetapi juga dapat

mencakup dua bahasa atau lebih. Perluasan konsep diglosia oleh Fasold ini

disebut diglosia luas (broad diglosia). Konsep ini memunculkan istilah diglosia

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

34

ganda dalam bentuk yang disebut double operlapping diglosia, double nested

diglosia, dan linear polyglosia. Istilah double operlapping diglosia berkaitan

dengan sebuah bahasa yang memiliki fungsi ganda, pada satu situasi berfungsi

sebagai H, dan pada situasi yang lain berfungsi sebagai L. Double nested diglosia

berkaitan dengan situasi ketika pada masyarakat bilingual terdapat dua bahasa

yang keduanya dapat berfungsi sebagai H atau L, tetapi variasi-variasi pada ragam

itu juga berstatus sebagai H dan L. Istilah linear polyglosia berkaitan dengan

verbal repertoir dari masyarakat tutur yang kemudian pola statusnya diurutkan

berdasarkan sikap para penuturnya.

1.6.5.3 Alih Kode dan Campur Kode

Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, penutur sering kali dihadapkan

dengan pemilihan kode-kode yang sesuai diterapkan dalam sebuah peristiwa tutur.

Pemilihan kode-kode tersebut kadang terjadi secara spontan berdasarkan verbal

repertoir seorang penutur. Secara umum, terdapat dua bentuk pemilihan kode

dalam pemakaian bahasa, yakni alih kode (code switching) dan campur kode

(code mixing). “Kode” merupakan istilah netral untuk menyebutkan bahasa,

dialek, atau ragam bahasa. Pemakaian istilah “kode” lebih tepat karena peristiwa

alih code dan campur kode tidak hanya terjadi pada dua bahasa yang berbeda,

tetapi juga dapat terjadi pada dua dialek atau dua ragam yang berbeda dalam satu

bahasa. Kode dapat diartikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapannya khas

sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan

situasi tutur. Poedjosoedarmo mengatakan bahwa kode biasanya berbentuk varian

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

35

bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh suatu masyarakat bahasa

(Rahardi, 2001: 23).

Bentuk pemilihan kode tersebut dapat berupa variasi tunggal, alih kode, atau

campur kode sebagaimana pendapat Sumarsono (2009: 201-204) yang membagi

pemilihan bahasa ke dalam tiga bentuk, yakni (1) alih kode (code-mixing), (2)

campur kode (code switcing), dan (3) variasi dalam bahasa yang sama (variation

within the same language). Ketiga pemilihan bahasa tersebut merupakan

mempunyai konsekuensi berupa terjadinya pergeseran, bahkan kepunahan suatu

bahasa. Batas yang tegas antara peristiwa alih kode dengan campur kode sulit

ditetapkan. Masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan sosiolinguis tentang

batas alih kode dengan campur kode. Ada yang mengidentifikasikan alih kode dan

campur kode berdasar kriteria intrabahasa, yakni jenis satuan lingual yang

dilibatkan dalam masing-masing peristiwa kebahasaan itu, dan ada pula yang

mengidentifikasi berdasar kriteria ekstrabahasa. Dari segi intrabahasa terdapat

satu persoalan lagi, yakni campur kode atau peralihan seringkali sulit dibedakan

dengan variasi intrabahasa (intra-language). Menurut Fasold (1984:185),

peristiwa campur kode juga melibatkan satuan lingual klausa dan kalimat, dua

satuan lingual yang seharusnya merupakan tempat terjadinya peristiwa alih kode.

Dari segi ekstrabahasa Wardhaugh (1986:104) menyebutkan bahwa campur kode

merupakan percampuran dua bahasa yang disengaja tanpa membuat perubahan isi

pesan yang berkaitan. Wardhaugh tidak memberikan rincian dan penjelasan

tentang kriteria disengaja dan tidak disengaja dalam peristiwa alih kode.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

36

Dalam penelitian ini, definisi alih kode dan campur kode mengacu definisi

sebagai berikut. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau

lebih, beberapa variasi dalam bahasa yang sama, atau beberapa gaya bahasa dalam

masyarakat tutur bilingual (Hymes dalam Rahardi, 2001: 21). Sementara itu,

Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) mendefinisikan alih kode sebagai

gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Appel (dalam

Pateda, 1987: 86) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan peralihan kode,

yaitu (1) siapa yang berbicara dan pendengar, (2) pokok pembicaraan, (3) konteks

verbal, (4) bagaimana bahasa dihasilkan, dan (5) lokasi. Misalnya, A dan B adalah

dua orang mahasiswa dengan bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Sunda.

Keduanya datang paling awal dan bercakap-cakap memakai bahasa Sunda,

kecuali dalam membicarakan materi perkuliahan, keduanya memakai bahasa

Indonesia, itu pun dilakukan dengan ragam santai. Ketika C yang berasal dari

Sumatera datang, keduanya langsung berbahasa Indonesia ragam santai, begitu

juga ketika teman-teman yang lain datang. Akan tetapi, ketika dosen masuk,

percakapan hanya dilakukan dengan bahasa Indonesia ragam formal. Ilustrasi ini

dapat menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh A dan B karena

perubahan situasi tutur.

Sementara itu, campur kode (code mixing) dapat didefinisikan sebagai

pengambilan atau penyelipan unsur-unsur bahasa ketika memakai bahasa tertentu

(Sumarsono, 2009: 202). Peristiwa campur kode dapat disamakan dengan

interferensi, misalnya ketika seseorang berbahasa Bali, ia memasukkan unsur-

unsur bahasa Indonesia, atau seseorang yang memakai bahasa Indonesia

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

37

memasukkan unsur-unsur bahasa Inggris. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa

lain itu umumnya berupa kata, tetapi dapat juga berupa kelompok kata atau frasa.

Jika wujud pengambilan unsur itu berupa kata, gejala itu bisa disebut

peminjaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara alih kode

dan campur kode adalah ada tidaknya tujuan atau keperluan yang ingin dicapai

oleh penutur.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang mencoba mengkaji

bahasa dalam hubungannya dengan aspek-aspek kemasyarakatan (Chaer dan

Agustina, 2004: 3). Sumber data penelitian ini adalah berbagai peristiwa tutur

yang terjadi dalam masyarakat tutur Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten

Kuantan Singingi Provinsi Riau. Kombinasi masyarakat Desa Sako yang terdiri

atas berbagai etnik melahirkan masyarakat yang multilingual. Wujud interaksi

yang terjadi dalam masyarakat multilingual itu dapat dilihat dalam berbagai

berbagai peristiwa tutur. Oleh karena itu populasi penelitian ini adalah semua

peristiwa tutur yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Sako yang tersebar

di tiga dusun yakni dusun I, dusun II, dan dusun III. Sampel penelitian ini adalah

peristiwa-peristiwa tutur yang dapat mewakili berbagai ranah.

Berkaitan dengan data penelitian, berbagai peristiwa tutur tersebut dijadikan

sebagai data utama untuk mengetahui kondisi kebahasaan masyarakat Desa Sako.

Di samping itu, data dalam penelitian ini juga diambil dengan metode cakap atau

wawancara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tiga tahap

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

38

pelaksanaan penelitian sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993: 5)

yakni: (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data; (2) tahap analisis data; dan

(3) tahap penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Pengumpulan Data

Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data di lapangan,

yaitu berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam berbagai ranah dalam

masyarakat Desa Sako. Data dikumpulkan dengan metode simak dan metode

cakap sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahsun (2012: 242). Metode simak

dilakukan untuk menyimak pemakaian bahasa berupa peristiwa-peristiwa tutur

yang terjadi dalam kehidupan masyarakat multietnik di Desa Sako. Karena

penelitian ini berusaha mendapatkan data yang sesuai dengan situasi sebenarnya

dengan konteks yang lengkap, teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik simak

bebas libat cakap. Dalam hal ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat, tanpa

terlibat secara langsung dalam peristiwa tutur. Pengamatan yang dilakukan juga

disertai dengan merekam dan mencatat hal-hal yang relevan seperti perilaku

partisipan dalam peristiwa tutur. Pencatatan hal-hal yang relevan ini juga

merupakan pelaksanaan teknik lanjutan dari metode simak, yakni teknik catat.

Dalam pelaksanaannya, data-data yang dikumpulkan dituliskan ke dalam lembar

pengamatan, seperti yang terlihat pada gambar 1 berikut ini.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

39

Gambar 1. Contoh Lembar Pengamatan

Peristiwa Tutur ...

Ranah :Kode Tutur :Lokasi :Partisipan :

A : ........................B : ........................A : ........................B : ........................

Data pemilihan kode tutur ......

Dengan memperhatikan lembar pengamatan di atas, data-data berupa

berbagai peristiwa tutur juga yang dikumpulkan dilengkapi dengan nomor data

peristiwa tutur, ranah dan lokasi terjadinya peristiwa tutur, dan partisipan yang

terlibat dalam peristiwa tutur yang meliputi informasi jenis kelamin dan usia.

Penyertaan informasi-informasi tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam

proses pengklasifikasian data. Data berupa berbagai peristiwa tutur dalam bahasa

Melayu Kuantan, Jawa, Minangkabau, dan Batak yang telah dituliskan ke dalam

lembar pengamatan, kemudian divalidasi dengan cara mengecek kembali kepada

penutur asli keempat kode tutur tersebut.

Adapun pengumpulan data dengan metode cakap dilakukan dengan

melakukan wawancara dengan para penutur yang ada di Desa Sako. Wawancara

tersebut bertujuan untuk mendukung data-data yang telah dikumpulkan lewat

metode simak. Data-data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan

rumusan masalah, untuk kemudian dianalisis.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

40

1.7.2 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan bentuk analisis

kualitatif yang analisis datanya dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan

pengumpulan data. Dalam hal ini, analisis yang dilakukan berupa

pengklasifikasian data yang sesuai dengan rumusan masalah. Analisis data juga

dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data selesai dilakukan. Kegiatan analisis

data yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif yang berusaha memerikan

fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat multietnik di daerah

penelitian.

Data-data berupa berbagai peristiwa tutur yang telah dikumpulkan dan

diklasifikasikan berdasarkan ranah-ranah pemakaian bahasa, kemudian dianalisis

dengan metode komparatif konstan atau yang dikenal dengan metode padan

(Mahsun, 2012: 259). Metode padan adalah metode analisis yang menghubung-

bandingkan antarunsur lingual (padan intralingual) atau antara unsur lingual

dengan unsur ekstralingual (padan ekstralingual). Dalam penelitian ini, metode

padan yang dipakai untuk menganalisis data berupa berbagai peristiwa tutur

dalam masyarakat multietnik Desa Sako adalah metode padan ekstralingual

karena tuturan-tuturan yang diamati dihubungkan dengan konteks sosial. Namun

demikian, dalam penelitian ini juga tidak mengabaikan metode padan intralingual.

Metode padan intralingual dipakai untuk menganalisis data yang berkaitan dengan

alih kode dan campur kode.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71331/potongan/S2-2014-336671-chapter1.pdfyang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi

41

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis

Penyajian hasil analisis data dilakukan sejalan dengan dilakukannya analisis

data. Dalam penelitian ini, analisis data disajikan secara formal dan informal

sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:145). Penyajian data

secara formal adalah penyajian hasil analisis dengan memakai gambar, tabel,

grafik, dan sebagainya. Sementara itu, penyajian hasil analisis secara informal

adalah penyajian hasil analisis data memakai kata-kata. Lebih lanjut mengenai

penyajian hasil analisis dapat diperhatikan pada bagian sistematika penyajian.

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, masing-masing bab

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat

latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi deskripsi situasi kebahasaan masyarakat multietnik Desa Sako

Kecamatan yang meliputi gambaran historis, gambaran sosial-budaya, dan situasi

kebahasaan. Bab III berisi deskripsi pola-pola pemilihan kode tutur dalam

masyarakat multietnik Desa Sako. Bab IV berisi deskripsi peristiwa alih kode dan

campur kode dalam masyarakat multietnik Desa Sako. Bab V berisi deskripsi

faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur. Bab VI berisi kesimpulan dan saran.

PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/