bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh
satu individu dengan individu lain untuk berinteraksi. Interaksi yang dilakukan
dapat secara lisan atau tulisan, tergantung kepada apa yang ingin disampaikan.
Dalam hal ini, bahasa dipandang sebagai media untuk menyalurkan pesan,
gagasan, ide, dan konsep yang sebelumnya berada di dalam pikiran seseorang
yang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi bahasa yang
dapat didengar atau diterima oleh lawan tutur. Ketika dibahasakan, lawan tutur
dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang penutur. Proses tersebut
merupakan salah satu bukti pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia.
Pentingnya peran bahasa juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986: 3-8) yang
mengatakan bahwa semua aspek kehidupan manusia dikomunikasikan dengan
bahasa. Sebagai alat interaksi antarindividu, bahasa berkaitan erat dengan
pemakainya. Perilaku berbahasa seorang individu juga tidak dapat dilepaskan dari
perilaku sosialnya. Tidak hanya itu, status sosial seseorang dapat dilihat dari
bahasa yang dipakai. Selain itu, pemakaian bahasa atau pola-pola bahasa juga
dapat mencerminkan pendidikan, agama, etnik, dan lain sebagainya.
Pateda (1987: 11) menyatakan bahwa bahasa dipakai sebagai media untuk
menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial. Perbenturan terjadi apabila
keinginan seorang individu tidak sesuai dengan kenyataan. Gambaran perbenturan
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
itu misalnya ketika seseorang ingin membeli beberapa macam barang, tetapi
jumlah uang yang dibawa tidak mencukupi. Ada banyak solusi yang bisa diambil,
misalnya dengan hanya membeli beberapa barang sesuai dengan jumlah uang,
kembali ke rumah untuk mengambil uang, meminjam uang kepada teman,
meminta keringanan agar dapat membayar keesokan harinya, atau memberikan
jaminan kepada penjual. Kesemua solusi tersebut dapat diambil dengan
memanfaatkan bahasa, sehingga tampaklah bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat, bahasa dapat menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial.
Interaksi sosial yang melibatkan penutur-penutur dengan kebudayaan yang
berbeda menyebabkan adanya kontak bahasa. Berkaitan dengan hal ini, Foley
(1997: 384) mengatakan bahwa kontak antardua kebudayaan atau lebih
mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa. Perubahan itu dapat berupa adaptasi
ciri-ciri kebahasaan satu bahasa oleh bahasa yang lain atau keduanya saling
melakukan adaptasi. Dalam ilmu sosial, kondisi ini dinamakan asosiatif, yaitu
apabila salah satu komunitas melakukan adaptasi terhadap komunitas lain, atau
kedua komunitas saling melakukan adaptasi, salah satu adaptasi itu berupa
adaptasi bahasa (Soekanto, 2005: 70).
Kontak bahasa yang terjadi secara terus menerus dapat membentuk
masyarakat bilingual atau multilingual. Kondisi ini ditunjang oleh faktor sosial
atau ekonomi masyarakat yang menuntut untuk melakukan interaksi dengan
frekuensi yang tinggi. Di samping itu, sikap keterbukaan terhadap bahasa lain
juga menjadi faktor terbentuknya masyarakat bilingual atau multilingual. Di
Indonesia yang mempunyai bahasa nasional dan bahasa daerah, masyarakat
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
umumnya merupakan bilingual, dan tidak jarang yang multilingual. Seorang
individu tidak hanya dapat menguasai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) saja,
tetapi juga dapat menguasai bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua (B2). Bahkan, tidak jarang masyarakat suatu daerah yang di
samping menguasai bahasa etniknya juga dapat menguasai bahasa etnik lain yang
hidup berdampingan dalam satu masyarakat.
Dalam keadaan normal, keberadaan bahasa-bahasa, dialek-dialek, atau
ragam-ragam yang berdampingan tersebut mempunyai ranah pemakaian masing-
masing, situasi ini disebut juga dengan situasi diglosik. Lebih lanjut,
Poedjosoedarmo (2008: 8) mengatakan bahwa pada situasi diglosik terlihat
adanya pemilahan fungsi yang jelas antara bahasa High (H) dan Low (L). Bahasa
High dipakai untuk memperbincangkan hal-hal yang bersifat standar, resmi, dinas,
nasional, antarsuku, atau bisnis, sedangkan bahasa Low dipakai untuk
memperbincangkan hal-hal yang bersifat informal, tidak dinas, atau kedaerahan.
Karena adanya kontak bahasa yang terjadi secara terus-menerus, pemilahan fungsi
tersebut menjadi kabur, misalnya ditandai dengan penggantian fungsi bahasa L
oleh bahasa H. Situasi ini dikenal dengan kebocoran diglosia.
Permasalahan dalam masyarakat bilingual atau multilingual tidak hanya
berkaitan dengan keberadaan bahasa dengan fungsi pemakaiannya, hal lain yang
tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat tersebut memakai bahasa untuk
berkomunikasi. Dalam masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih etnik yang
berbeda, ada beberapa bahasa etnik yang hidup berdampingan, selain bahasa
nasional yang juga dikuasai oleh kedua etnik. Sikap keterbukaan yang dimiliki
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
oleh anggota etnik terhadap etnik lain dapat menyebabkan terjadinya transfer
kebudayaan, yang di dalamnya termasuk bahasa. Hal itu pulalah yang menjadikan
masyarakat menjadi bilingual atau multilingual.
Kajian mengenai kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik
merupakan kajian etnografi, misalnya kajian mengenai adat-istiadat, kebiasaan,
hukum, seni, religi, atau bahasa. Etnografi yang mengambil fokus pada bahasa
sering disebut etnografi komunikasi (etnography of communication, etnografi
wicara atau etnografi pertuturan (etnography of speaking) (Sumarsono, 2009:
309). Sudut pandang etnografi komunikasi selalu menginterpretasikan pemakaian
bahasa sebagai pemakaian kode tutur dalam kehidupan sosial. Jika terdapat lebih
dari satu kode tutur, seorang penutur akan melakukan pemilihan kode tutur yang
sesuai dengan situasi pada saat tuturan diutarakan. Pemilihan kode tutur ini dapat
dipandang sebagai perilaku kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku
berbahasa. Pemilihan kode tutur (speech code choice) atau yang umum dikenal
dengan pemilihan bahasa (language choice) muncul pada situasi diglosia yang
memungkinkan masyarakat menjadi dwibahasawan, baik secara aktif maupun
pasif. Kondisi ini mendukung masyarakat secara umum atau seorang penutur
secara khusus mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur, sehingga dalam
berkomunikasi dengan orang lain, ia melakukan pemilihan kode tutur, terutama
pada mitra tutur yang berbeda bahasa pertamanya (Sumarsono, 2009: 201-204).
Pemilihan kode tutur sebagai bagian dari perilaku sosial penutur tidak lepas
dari pertimbangan ranah pemakaian masing-masing kode tutur yang tentunya
sudah diketahui oleh penutur yang bersangkutan. Misalnya, penutur secara sadar
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
memakai kode tutur bahasa Indonesia dalam kegiatan rapat, dan memakai bahasa
ibu untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarganya. Dalam hal ini, penutur
menyadari bahwa pada ranah pemerintahan, kode tutur yang harus dipakai adalah
bahasa nasional, dan pada ranah keluarga, kode tutur yang dipakai adalah bahasa
ibu. Selain kedua ranah yang telah disebutkan tersebut, terdapat ranah-ranah
lainnya yang diperhatikan oleh penutur ketika melakukan pemilihan kode tutur.
Selain melakukan pemilihan kode tutur berupa variasi tunggal berdasarkan ranah
pemakaiannya, pemilihan kode tutur juga dapat berupa alih kode (code-mixing)
dan (code switcing). Dalam satu peristiwa tutur, seorang penutur melakukan
pemilihan kode tutur terhadap salah satu kode tutur karena mempertimbangkan
beberapa hal yang dalam penelitian ini dipandang sebagai faktor-faktor penentu
pemilihan kode tutur.
Pemilihan kode tutur yang dilakukan dalam penelitian ini berkaitan dengan
keseluruhan kode tutur yang terdapat dalam suatu masyarakat. Kode-kode tutur
tersebut dipakai sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung. Situasi tutur
kadangkala berubah dengan cepat sehingga memunculkan peristiwa alih kode.
Selain itu, tidak jarang para penutur mengambil serpihan-serpihan kode tutur lain
dalam suatu peristiwa tutur, hal ini merupakan bentuk peristiwa campur kode.
Fenomena-fenomena semacam ini rentan terjadi dalam masyarakat bilingual atau
multilingual. Masyarakat bilingual atau multilingual muncul dari latar belakang
kebudayaan atau etnik yang berbeda. Beragam etnik yang hidup dalam satu
masyarakat tutur cukup menarik dikaji dalam rangka melihat pemilihan kode tutur
yang dilakukan. Gambaran fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Desa Sako
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.Desa Sako
merupakan desa pemekaran yang baru menjadi desa pada tahun 2010, sebelumnya
desa ini merupakan sebuah dusun dengan nama yang sama. Luas Desa Sako lebih
kurang 35 KM², yakni sekitar 24 % dari luas wilayah Kecamatan Pangean yang
luasnya lebih kurang 145,32 KM². Jumlah penduduk Desa Sako adalah 1.760 jiwa
dengan 525 Kepala Keluarga (KK) (Pangean dalam Angka 2013). Masyarakat
Desa Sako merupakan masyarakat dengan kombinasi empat etnik yang berbeda,
yakni (1) Melayu Kuantan (60 %), (2) Jawa (20 %), (3) Minangkabau (15 %), dan
(4) Batak (5 %). Etnik Melayu Kuantan merupakan penduduk asli, sementara tiga
etnik lainnya adalah etnik pendatang.
Untuk mengetahui bagaimana terbentuknya kombinasi masyarakat
multietnik tersebut, perlu dipaparkan secara ringkas mengenai sejarah Desa Sako.
Dalam buku Sejarah Kebudayaan Pangean (Said, 2002: 16) dijelaskan bahwa
pada abad XIV, Sako sebagai bagian dari daerah Pangean masih merupakan hutan
belantara karena belum ada penduduk yang menetap di daerah itu. Penduduk yang
tinggal di wilayah Kenegerian Pangean (sekarang Kecamatan Pangean) lebih
memilih tinggal di daerah pinggir sungai Kuantan, karena sungai Kuantan sangat
menunjang perekonomian penduduk Kenegerian Pangean (Daerah Sako jauh dari
pinggir sungai Kuantan). Awal abad XIX, daerah Sako mulai dirambah oleh
penduduk Kenegerian Pangean untuk membuka lahan perkebunan karet. Sejak itu
Sako mulai dihuni oleh etnis Melayu Kuantan yang berada di wilayah Kenegerian
Pangean.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan transmigrasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan banyaknya penduduk pulau
Jawa yang dipindahkan ke pulau Sumatera. Salah satu daerah transmigrasi adalah
daerah PT-PT dan Sungai Langsat yang berada di barat daerah Sako (daerah PT-
PT dan Sungai Langsat masih berupa hutan sebelum adanya program
transmigrasi). Para transmigran yang awalnya mengolah jatah dari pemerintah,
banyak yang kemudian pindah ke daerah Sako dengan membeli lahan sendiri.
Bahkan tidak jarang yang menjual lahan di daerah transmigrasi untuk kemudian
menetap di daerah Sako. Para transmigran yang merupakan etnis Jawa mulai
melakukan interaksi dengan etnik Melayu Kuantan dalam memenuhi berbagai
kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu, di bidang pariwisata, tradisi pacu jalur yang
merupakan pesta tahunan masyarakat Melayu Kuantan banyak mendatangkan
pedagang-pedagang dari Sumatera Barat. Etnis Minangkabau yang terkenal
senang merantau dan berdagang ini awalnya merupakan pedagang musiman yang
datang ketika musim pacu jalur berlangsung, lambat laun etnis Minangkabau ini
mulai menetap dan menjadi penduduk Kuantan Singingi, termasuk di Desa Sako.
Dilihat dari perkembangan di bidang pertanian, peralihan perkebunan karet
menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran oleh penduduk Kuantan Singingi
khususnya dan Riau pada umumnya telah menjadikan daerah ini sebagai daerah
penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia (riaubisnis.com). Banyak perusahaan
sawit yang mulai mengembangkan usahanya dengan membangun pabrik
pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO (crude palm oil) ‘minyak sawit
mentah’, salah satunya di PT-PT dan daerah-daerah lainnya. Banyaknya pabrik
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
yang membuka lapangan pekerjaan juga berdampak pada banyaknya penduduk
yang pindah ke daerah-daerah kawasan atau daerah yang berdekatan dengan
kawasan pabrik. Di Desa Sako, banyak berdatangan masyarakat etnis Batak yang
berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kebanyakan dari mereka bekerja
sebagai buruh di perusahaan, dan juga di perkebunan-perkebunan sawit milik
warga. Sebagaimana halnya etnis Jawa, banyak di antara etnis Batak yang
akhirnya memiliki lahan perkebunan sendiri dan menetap di Desa Sako.
Demikianlah, keempat etnik yang ada di Desa Sako hidup saling
berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan tidak jarang yang
melakukan pernikahan antaretnik. Interaksi sosial yang sedemikian rupa tentu saja
melibatkan bahasa. Keberagaman etnik yang terdapat dalam masyarakat tentu
menghadapkan penutur pada pemilihan kode tutur yang sesuai dengan situasi tutur
dalam berbagai ranah . Pemilihan kode tutur yangemakaian. Pemilihan kode tutur
yang menjadi fokus kajian dalam hal ini berkaitan dengan kode tutur apa saja
yang dipakai oleh masyarakat multietnik di Desa Sako, bagaimana pola pemilihan
kode tutur, dan faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur tersebut.
Untuk memahami hal tersebut, berikut ini dapat diperhatikan peristiwa tutur 1
dalam ranah keluarga.
Peristiwa Tutur 1
Ranah : KeluargaKode Tutur : Bahasa Jawa dan Bahasa IndonesiaLokasi : RumahPartisipan : A (40 tahun / Perempuan) dan B (18 tahun /Laki-laki)
A : Sib, jemput adikmu, kono!Wis jam semene.‘Sib, jemput adikmu, sana! Sudah jam berapa ini’.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
B : Paling rung metu.‘Paling belum keluar’.
A : Ini kan hari Jumat!B : Oh, ya, lali, Bu.
‘Oh, ya, lupa, Bu’A : Makane.
‘Makanya..’B : Ya,tak mangkat saiki.
‘Ya, (saya) berangkat sekarang’Data Pemilihan Kode Tutur 14
....................................................................................................................................
Peristiwa tutur 1 di atas menunjukkan pemilihan dua macam kode tutur
yang dilakukan dalam ranah keluarga. Kedua kode tutur yang dimaksud adalah
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penutur A yang merupakan ibu dari penutur B
berbicara memakai bahasa Jawa kepada anaknya, begitu pun penutur B kepada
penutur A, atau anak kepada ibunya. Namun kemudian, penutur A beralih kode ke
bahasa Indonesia untuk mempertegas perintah yang disampaikan kepada anaknya,
yakni menjemput adiknya di sekolah. Hal itu dilakukan karena pada kalimat
sebelumnya, penutur B terkesan tidak menghiraukan perkataan penutur A untuk
segera melakukan apa yang diminta. Dalam hal ini, pemakaian kode tutur bahasa
Indonesia terkesan dapat mempertegas perintah yang disampaikan, sehingga
perintah tersebut langsung dipenuhi oleh penutur B. Dengan melihat peristiwa
tutur 1 tersebut, dapat dikatakan terdapat dua kode tutur yang dipakai, yakni
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Keduanya memakai kode tutur bahasa Jawa,
kemudian penutur A beralih kode ke bahasa Indonesia. Selanjutnya kembali
memakai kode tutur bahasa Jawa. Dalam hal ini, faktor penentu alih kode yang
dilakukan adalah faktor tujuan dan kehendak tutur, yakni mempertegas perintah.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Selanjutnya, pola pemilihan yang melibatkan tiga kode tutur dapat dilihat
pada peristiwa tutur 2 yang terjadi dalam ranah jual-beli berikut ini.
Peristiwa Tutur 2
Ranah : Jual-beliKode Tutur : Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak, dan Bahasa IndonesiaLokasi : PasarPartisipan : A (30 tahun/Laki-laki/Penjual I), B (35 tahun/Perempuan/
Pembeli I), C (50 tahun/Perempuan/ Pembeli II), dan D (32tahun/Perempuan/ Penjual II)
A : Lima belas, lima belas, lima belas, sarung bantal, yang bantal tidur, bantalguling, tinggal pilih, macam model, macam warna, macam ukuran!
B : Berapa?A : Lima belas, Bu, kasih murah aja. Dipilih aja, Bu, banyak modelnya!C : Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua!
‘Mahal harganya, coba kurang dua puluh, dua!’B : Olo, Mak.
‘Ya, Bu’.Sepuluh, ya?
A : Uni, ibu ko minta sapuluah ciek, ba a?‘Kak, ibu ini minta sepuluh satu, bagaimana?’
D : Agiehlah!‘Kasihlah!’
A : Ambil berapa, Bu?B : Kalau mau, empat’.A : Ya, ambillah.
Data Pemilihan Kode Tutur 77....................................................................................................................................
Peristiwa tutur 2 memperlihatkan pemilihan tiga kode tutur, yakni bahasa
Indonesia, bahasa Batak, dan bahasa Minangkabau yang dilakukan oleh penutur A
dan D yang beretnik Minangkabau, dan penutur B dan C yang beretnik Batak.
Penutur A sebagai penjual memakai bahasa Indonesia untuk menawarkan
barangnya kepada calon pembeli. Dua orang pembeli kemudian menghampiri
dagangan yang ditawarkan, kemudian berkomunikasi dengan penjual memakai
kode tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini terlihat penutur B menanyakan harga
memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penjual A kemudian menginformasikan
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
harga barang yang dijualnya juga memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penutur
C yang pada saat yang sama ikut bersama penutur B sebagai pembeli merasa
bahwa barang yang akan dibeli tersebut cukup mahal, sehingga ia menyarankan
kepada penutur B agar menawar harga tersebut. Agar tidak diketahui oleh penutur
A atau D, penutur C memakai kode tutur bahasa Batak. Ia menyarankan harga
yang pantas untuk menawar barang yang dibeli, yakni dengan mengutarakan
tuturan Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua!
Penutur B menangapi saran dari penutur C dengan beralih kode ke bahasa
Batak juga, yakni dengan menjawab Olo, Mak, kemudian kembali memakai kode
tutur bahasa Indonesia untuk menawar barang kepada penutur A. Apa yang
dilakukan oleh penutur C kepada penutur B juga dilakuan oleh penutur A kepada
penutur D, penutur A memakai kode tutur bahasa Minangkabau untuk meminta
pendapat penutur D sebagai penjual kedua mengenai tawaran harga yang
disampaikan oleh penutur B, yakni dengan mengungkapkan tuturan Uni, ibu ko
minta sapuluah ciek, ba a?. Hal itu dilakukan agar kedua pembeli tidak mengetahui jika
terjadi diskusi antara kedua penjual mengenai harga barang yang dijual. Penutur D
ternyata menanggapi dengan memberikan persetujuan, dengan mengutarakan
tuturan Agiehlah!. Mendapat persetujuan tersebut penutur A kemudian beralih kode
kembali ke bahasa Indonesia untuk melakukan jual-beli dengan pembeli. Selanjutnya,
percakapan berlangsung hingga akhir dengan tetap memakai kode tutur bahasa Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sako yang
multilingual melakukan pemilihan terhadap kode-kode bahasa yang ada.
Pemilihan kode dengan pola-pola tertentu ini dapat diamati dalam berbagai ranah
pemakaian. Selain itu, pemilihan terhadap kode-kode tersebut dilatar belakangi
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
oleh berbagai fakto penentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dikaji
mengenai kode-kode tutur apa, bagaimana pola-pola pemilihan kode tutur, dan
faktor apa saja yang menentukan pemilihan terhadap kode-kode tersebut. Lebih
lanjut, ketiga fokus kajian ini dituangkan dalam subbab rumusan masalah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah-masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Kode tutur apa saja yang terdapat dalam masyarakat multietnik di Desa Sako
Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau?
2. Bagaimana pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat
multietnik di Desa Sako?
3. Faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh
masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan
Singingi Provinsi Riau?
1.3 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi kode-kode tutur yang terdapat dalam masyarakat multietnik
di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.
2. Mendeskripsikan pola-pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh
masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan
Singingi Provinsi Riau.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
3. Menjelaskan faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh
masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan
Singingi Provinsi Riau.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis
dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
sumbangan untuk kemajuan ilmu bahasa, yakni bidang sosiolinguistik, khususnya
mengenai pemilihan kode tutur. Penelitian ini merupakan sebagian deskripsi
pemilihan kode tutur dalam masyarakat multilingual yang ada di Indonesia.
Dengan adanya penelitian-penelitian yang menunjang konsep pemilihan kode
tutur, ilmu sosiolinguistik ini dapat berkembang di Indonesia. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan sumber pustaka bagi penelitian
selanjutnya yang mengangkat kajian mengenai masyarakat dan bahasa, atau kajian
mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat multietnik.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan model analisis
dengan pendekatan etnografi komunikasi dalam masyarakat multietnik.
Pendekatan etnografi komunikasi dapat dikembangkan pada masyarakat tutur
yang lain. Selain itu, dengan mengetahui gambaran kebahasaan pada masyarakat
multietnik di Desa Sako diharapkan dapat memudahkan peneliti-peneliti lain yang
tertarik untuk mengkaji bahasa dan masyarakat di daerah ini. Manfaat praktis
lainnya, penelitian ini dapat membantu upaya pembinaan dan pengembangan
bahasa, baik bahasa Melayu Kuantan, maupun bahasa-bahasa lain yang ada di
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
daerah penelitian. Dalam bidang pembelajaran bahasa, penelitian ini diharapkan
dapat bermakna bagi pengembangan kemampuan komunikatif.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa cukup
mendapat perhatian oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh
perkembangan masyarakat dan budaya yang di dalamnya termasuk bahasa.
Bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk berinteraksi dalam semua aspek
kehidupan merupakan wujud pemakaian bahasa yang nyata. Oleh karena itu,
penelitian-penelitian mengenai bahasa dan masyarakat cukup diminati dari waktu
ke waktu. Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa di
Indonesia dilakukan di berbagai daerah. Penelitian-penelitian tersebut antara lain
di Brebes oleh Tommi Yuniawan (2002), di Banyumas oleh Fathur Rokhman
(2003), di Kalimantan Selatan oleh Alimuddin (2003), di Banyuwangi oleh Agus
Sariono (2007), dan di Lombok oleh Selamat Riadi (2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Tommi Yuniawan (2002) terkait dengan
pemilihan bahasa dalam ranah pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat
etnik Jawa-Sunda yang tinggal di Kabupaten Brebes.Masyarakat yang diteliti
merupakan masyarakat multilingual yang mampu menguasai bahasa Sunda,
bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Dalam berbagai peristiwa tutur dalam ranah
pemerintahan, masyarakat etnik Jawa Sunda ini sering melakukan alih kode atau
campur kode karena dihadapkan pada situasi tertentu. Di Banyumas, Fathur
Rokhman (2003) melakukan penelitian terhadap masyarakat bilingual yang
menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode dan campur
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
kode dipaparkan dalam berbagai peristiwa tutur yang terjadi hampir dalam setiap
ranah pemakaian bahasa.
Penelitian mengenai pemilihan bahasa juga dilakukan oleh Alimuddin
(2003) yang melakukan penelitian terhadap masyarakat Mandar yang ada di
Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam penelitian ini, masyarakat Mandar juga merupakan masyarakat
multilingual yang mampu menguasai bahasa Mandar, bahasa Banjar, dan bahasa
Indonesia. Kajian pemilihan bahasa yang dilakukan dibatasi pada ranah keluarga
dan ranah jual-beli. Deskripsi wujud kode tutur, pola pemilihan bahasa dan faktor
penentunya merupakan fokus kajian. Di Banyuwangi, Agus Sariono (2007)
melakukan penelitian terhadap masyarakat Using di Banyuwangi. Masyarakat ini
juga merupakan masyarakat multilingual karena menguasai beberapa kode tutur,
baik berupa bahasa, ragam, maupun tingkat tutur. Deskripsi mengenai varietas-
varietas bahasa, pola pemilihan, dan faktor yang mendasari pemilihan bahasa
menjadi fokus kajian yang dilakukan.
Pada tahun 2008, kajian mengenai pemilihan bahasa kembali dilakukan oleh
Selamet Riadi yang mengkaji pemilihan bahasa di Kabupaten Lombok Timur,
yakni pemilihan bahasa Bajo dan bahasa Sasak yang dilakukan oleh masyarakat
Tanjung Luar. Masyarakat Tanjung Luar melakukan pemilihan bahasa antara
bahasa Bajo, bahasa Sasak, atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain
itu, alih kode dan campur kode juga terjadi antara ketiga bahasa tersebut.
Penelitian ini mengkaji pemilihan bahasa dalam ranah keluarga, lingkungan, dan
jual-beli. Kemudian pada tahun 2011, Rosiana Kristanti melakukan penelitian
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
mengenai pemilihan bahasa dalam ranah pendidikan dan ranah kerja di Pusat
Bahasa, Budaya, dan Agama UIN Sunan Kalijaga. Deskripsi mengenai wujud
kode tutur, alih kode dan campur kode dan fungsi keduanya, serta faktor-faktor
penentu pemilihan bahasa merupakan fokus kajian yang dilakukan.
Setelah memperhatikan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian mengenai
pemilihan kode tutur dalam masyarakat multietnik di Desa Sako inimemiliki
persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian di atas. Sebagaimana
penelitian-penelitian di atas, penelitian ini juga mengkaji bahasa dalam kaitannya
dengan masyarakat. Penelitian yang dilakukan berusaha memerikan pemakaian
bahasa oleh masyarakat multilingual secara nyata. Hal itu dapat dilihat dari
berbagai peristiwa tutur yang diamati dalam berbagai pemakaian. Berkaitan
dengan cakupan ranah yang diteliti, penelitian ini meneliti semua ranah
sebagaimana yang dilakukan oleh Rohkman (2003) dan Sariono (2007). Akan
tetapi, penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut terkait
dengan kombinasi kode tutur yang diteliti, yakni bahasa Indonesia, Jawa, Melayu
Kuantan, Minangkabau, dan Batak. Hal itu pulalah yang membedakan dengan
penelitian-penelitian lainnya yang telah disebutkan di atas.
1.6 Landasan Teori
Teori-teori yang dipakai untuk mendekati rumusan masalah dalam
penelitian ini dimulai dengan teori kajian sosiolinguistik. Dalam kajian
sosiolinguistik ditemukan istilah masyarakat tutur, situasi tutur, komponen tutur,
dan pemilihan kode tutur. Istilah pemilihan kode tutur tidak dapat dilepaskan
dengan bilingualisme dan multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
kode. Berikut ini secara runtut akan dijelaskan mengenai teori-teori yang
berkaitan dengan penelitian ini.
1.6.1 Kajian Sosiolinguistik
Bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain dapat
dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal, bahasa dikaji berdasarkan
struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, dan
sintaksis. Kajian semacam ini dapat dilakukan dalam disiplin linguistik tanpa
melibatkan faktor-faktor di luar bahasa. Berbeda dengan kajian internal, kajian
bahasa secara eksternal turut melibatkan faktor-faktor lain yang berada di luar
bahasa dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa oleh penutur dalam kelompok
sosial masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004: 1). Kajian secara eksternal ini tentu
saja tidak hanya melibatkan teori dan prosedur linguistik semata, melainkan juga
melibatkan teori dan prosedur ilmu lain. Dalam kaitannya dengan masyarakat,
kajian bahasa dapat dikaitkan dengan ilmu sosiologi, sehingga menghasilkan
gabungan ilmu sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara
ilmu sosiologi dan linguistik. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat,
sedangkan objek linguistik adalah bahasa. Oleh karena itu, ilmu yang menggarap
masalah-masalah kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial,
situasional, dan kultural dinamakan sosiolinguistik (Wijana, 2011: 8). Istilah
sosiolinguistik pertama kali dikemukakan Harver C. Currie dalam karangannya
yang menyarankan agar adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran
dengan status sosial pada tahun 1952 (Chaer dan Agustina, 2004: 5). Istilah
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
sosiolinguistik ini sering disamakan dengan sosiologi bahasa. Mengenai hal itu,
J.A. Fishman membedakan dengan mengatakan bahwa sosiolinguistik bersifat
kualitatif, yakni mementingkan pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam
konteks sosialnya, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif, yakni
mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat adanya tingkatan sosial dalam
masyarakat (Pateda, 1987:2).
Holmes (1992: 1) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi yang
mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal ini dapat
mengungkapkan mengapa seseorang berbicara dengan cara yang berbeda sesuai
dengan konteks sosial saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, Holmes
menambahkan, sosiolinguistik berusaha mengidentifikasi fungsi-fungsi sosial dari
pemakaian bahasa, dan mengidentifikasi bagaimana bahasa dipakai untuk
menyampaikan makna sosial. Lebih lanjut, Holmes dan Pride (dalam Sumarsono,
2009: 2) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian
dari kebudayaan dan masyarakat. Sumarsono mengartikan hal ini sebagai
penegasan bahwa bahasa tidak dapat berdiri sendiri, bahasa adalah bagian dari
kebudayaan (language and culture). Senada dengan pendapat Holmes,
Wardhaugh (1986: 4) mengemukakan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan
antara bahasa dan masyarakat, kedua hal ini dikaji oleh dua disiplin ilmu yakni
linguistik dan sosiologi.
Masalah-masalah sosiolinguistik yang berkaitan dengan bahasa dan
masyarakat cukup luas, dalam konferensi sosiolinguistik pertama di University of
California, Los Angeles, tahun 1964 dirumuskan tujuh dimensi masalah dalam
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
sosiolinguistik. Tujuh dimensi yang dirumuskan tersebut yaitu: (1) identitas sosial
dari penutur; (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses
komunikasi; (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi; (4) analisis
sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial; (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-bentuk ujaran; (6) tingkatan variasi
dalam ragam linguistik; dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik
(Dittmar dalam Chaer dan Agustina, 2004: 5).
Ditinjau dari ruang lingkup kajiannya, sosiolinguistik dapat dibedakan
menjadi mikro-sosiolinguistik dan makro-sosiolinguistik (Pateda, 1987: 5). Kajian
mikro linguistik berhubungan dengan kelompok kecil pemakaian bahasa,
misalnya tegur sapa. Dalam hal ini, fokus kajiannya adalah individu yakni pada
tindak tutur (speech act) yang terjadi dalam kelompok-kelompok primair menurut
ilmu sosiologi, tindak tutur itu dimodifikasi oleh berbagai variabel, seperti status
keakraban, pertalian keluarga, sikap, dan tujuan setiap anggota kelompok.
Sementara itu, kajian makro linguistik berhubungan dengan masalah perilaku
bahasa dan struktur sosial.
Sumarsono (2009: 14-16) membedakan ruang lingkup kajian sosiolinguistik
dengan memakai istilah sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro.
Sosiolinguistik mikro berkaitan dengan kajian mengenai masalah-masalah “kecil
dan sempit”, sedangkan sosiolinguistik makro mengenai masalah-masalah “besar
dan luas”. Lebih lanjut, Sumarsono mengutip pendapat Roger Bell mengenai
kedua hal ini, sosiolinguistik mikro menekankan perhatian pada interaksi bahasa
antarpenutur dalam satu kelompok guyup tutur (intragroup interaction),
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
sedangkan sosiolinguistik makro mengambil fokus pada interaksi antarpenutur
dalam konteks antarkelompok (intergroup interaction).
Kajian sosiolinguistik tentu saja memberikan manfaat dalam studi bahasa,
mengenai hal ini, Suwito (1982: 4-5) mengemukakan bahwa sosiolinguistik yang
mengkaji bahasa dalam konteks sosio-kultural dan situasi pemakaiannya tidak
hanya melihat bahasa dari segi penuturnya saja. Dalam proses interaksi, penutur
dan dan mitra tutur sama-sama mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara,
kapan, mengenai masalah apa, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya. Lebih
lanjut, Chaer dan Agustina (2004: 5) juga mengungkapkan dua manfaat kajian
sosiolinguistik. Pertama, kajian sosiolinguistik bermanfaat dalam memberikan
pengetahuan bagaimana cara memakai bahasa. Manfaat ini sejalan dengan yang
dirumuskan oleh Fishman mengenai sosiolinguistik, yakni “who speak, what
language, to whom, when, and to what end”. Pengetahuan bahasa yang dimiliki
seseorang dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik memberikan pemahaman dengan menunjukkan bahasa, ragam
bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus dipakai ketika berbicara dengan orang
tertentu. Kedua, sosiolinguistik bermanfaat dalam pengajaran bahasa. Pengajaran
bahasa yang memanfaatkan buku-buku hasil kajian deskriptif dapat menimbulkan
kesulitan dalam mengajarkan ragam bahasa baku karena dalam buku tersebut juga
terdapat contoh-contoh ragam nonbaku. Dengan bantuan sosiolinguistik, para
pengajar dapat menjelaskan bahwa dalam berbahasa terdapat ragam baku dan
nonbaku.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
1.6.2 Masyarakat Tutur
Dalam kajian sosiolinguistik, masyarakat dan bahasa merupakan kajian
utama yang dikaji dalam rangka mengidentifikasi pemakaian bahasa oleh penutur
dalam masyarakat tutur. Masyarakat tutur (speech community) adalah sekelompok
orang yang mempunyai kemampuan komunikatif (verbal repertoire) yang relatif
sama, dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa yang berlaku dalam lingkup masyarakat tersebut (Suwito, 1982: 18).
Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan bahwa batasan
masyarakat tutur itu tidak hanya sekelompok orang yang menuturkan bahasa yang
sama, tetapi juga sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
memakai bentuk-bentuk bahasa. Masyarakat tutur juga dapat didefinisikan
sebagai sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi
dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur
yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan (Wijana, 2011: 46).
Saville-Troike (2003: 14) mengemukakan bahwa sebuah masyarakat tutur
tidak bisa persis disamakan dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang
sama, misalnya penutur bahasa Spanyol yang ada di Texas dan di Argentina tidak
dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur meskipun mereka memakai bahasa
(kode) yang sama, dan beberapa pasangan suami istri pada beberapa masyarakat
tutur di Pasifik Selatan memakai bahasa yang berbeda ketika berkomunikasi satu
sama lain. Saville-Troike (2003: 19) membedakan masyarakat yang hard shelled
dengan soft shelled. Masyarakat hard shelled merupakan masyarakat dengan
jaringan sosial tertutup, yang ditandai dengan minimnya interaksi dengan orang
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
luar (outsiders) dan pemeliharaan maksimum pada bahasa dan kebudayaan.
Masyarakat Mongolia, dan Jepang pada masa lalu merupakan contoh masyarakat
hard shelled. Pada masyarakat demikian, pemakaian bahasa cenderung seragam.
Perubahan unsur kebahasaan terjadi melalui proses internal karena kontak bahasa
relatif tidak pernah terjadi, sehingga jumlah perubahan kebahasaannya cenderung
kecil. Sebaliknya, masyarakat soft shelled merupakan masyarakat dengan jaringan
sosial terbuka, yang ditandai dengan interaksi dengan orang luar yang bersifat
timbal balik dan leluasa.
Masyarakat tutur yang memakai bahasa dunia, seperti bahasa Inggris,
Perancis, Portugis cenderung soft shelled. Pada masyarakat tutur demikian,
interaksi yang melintas batas bangsa atau suku bangsa dapat terjadi dengan mudah
dan bersifat dua arah. Masyarakat Inggris, Belanda, dan Jerman dapat dimasukkan
sebagai masyarakat yang soft shelled karena interaksi antarketiga bangsa itu
terjadi melalui bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat tutur
Indonesia, yakni masyarakat tutur yang ditandai dengan pemakaian bahasa
Indonesia. Pada masyarakat soft shelled, pemakaian bahasa cenderung heterogen.
Bahasa Indonesia memiliki berbagai variasi berdasar suku bangsa yang
memakainya. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang Jawa berbeda dari bahasa
Indonesia yang dipakai oleh orang Bali, Minangkabau, Madura, dan sebagainya.
Masyarakat Desa Sako yang sebagai masyarakat yang diteliti dalam
penelitian ini merupakan masyarakat yang shoft shelled yang ditandai dengan
pemakaian kode tutur bahasa Indonesia, bahasa Melayu Kuantan, bahasa Jawa,
bahasa Minangkabau, dan bahasa Batak. Kode-kode tutur itu masing-masing
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
masih dipertahankan oleh etnik pendukungnya, namun dalam berinteraksi dengan
etnik lain, tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh kode tutur yang dipakai
oleh etnik lain.
1.6.3 Situasi Tutur
Situasi tutur merupakan situasi yang berkaitan dengan tuturan, baik yang
bersifat komunikatif maupun yang tidak komunikatif (Hymes, 1972: 56). Situasi
komunikatif merupakan konteks bagi terjadinya peristiwa komunikatif dan tidak
komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 319-320). Sebagai konteks, kaidah-
kaidah pertuturan mengacu pada situasi komunikatif itu. Situasi masjid misalnya,
memberikan konteks yang berbeda dengan situasi kantor pemerintahan, pesta
pernikahan, dan sebagainya. Peristiwa percakapan (satu tipe peristiwa tutur) yang
terjadi dalam pesta pernikahan misalnya, berbeda dengan peristiwa percakapan
yang terjadi dalam rapat di kantor pemerintah. Dalam situasi shalat Jumat,
percakapan bahkan tidak boleh dilakukan.
Situasi tutur membatasi isi pesan (topik). Di pesta pernikahan misalnya, isi
pesan tentunya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pesta itu: pengantinnya,
tamu-tamunya yang hadir, jamuannya, dekorasinya, dan sebagainya. Isi pesan
bisnis tentu saja tidak terkait dengan situasi pesta. Artinya, manakala ada
partisipan pesta yang terlibat percakapan bisnis, maka partisipan itu sedang tidak
berada dalam situasi pesta. Hal yang sama juga terjadi pada seorang dosen yang
harus menjawab panggilan telepon pada saat ia sedang memberi kuliah. Meskipun
ia tidak meninggalkan ruang kuliah (latarnya tetap), ia sebenarnya sudah
meninggalkan situasi kuliah pada saat ia menjawab telepon, dan sebagai gantinya
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
ia telah berpindah pada situasi tertentu yang diacu oleh percakapan telepon itu.
Situasi itu bisa berupa situasi bisnis, persahabatan, atau yang lain.
Di pesta pernikahan, percakapan terikat pada norma-norma sopan santun
pesta yang berbeda dengan norma sopan santun pada situasi menonton bersama
pertandingan sepak bola di lapangan terbuka. Orang boleh bercakap-cakap dengan
keras di lapangan sepak bola. Jika hal yang sama dilakukan di pesta pernikahan,
percakapan itu akan dinilai sebagai percakapan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak tahu adat dan sopan santun. Mereka tidak memiliki kompetensi
komunikatif, khususnya yang berlaku pada pesta pernikahan itu.
Situasi tutur dapat disejajarkan dengan konsep ranah. Fishman (1972: 24)
membatasi ranah sebagai konteks institusional serta peristiwa-peristiwa tingkah
laku yang sesuai yang terjadi bersama-sama. Ranah disejajarkan dengan spheres
of activity (lingkup aktivitas) yang dikembangkan oleh linguis yang
mengkhususkan diri pada proses akulturasi. Sebuah catatan perlu dikemukakan
sebagai berikut. Lingkup situasi tutur cenderung lebih sempit dan kongkret
daripada lingkup ranah yang bersifat institusional. Ranah keagamaan misalnya,
jauh lebih luas cakupannya daripada situasi tutur shalat Jumat, tetapi ranah
persahabatan dapat disamakan dengan situasi persahabatan.
1.6.4 Komponen Tutur
Komponen tutur merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
sebuah peristiwa tutur, karena dalam sebuah peristiwa tutur, ada komponen-
komponen yang mempengaruhinya. Sebelum membicarakan komponen tutur,
berikut akan diuraikan mengenai peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
keseluruhan perangkat komponen (tutur) yang utuh, yang dimulai dengan tujuan
umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang sama,
yang secara umum memakai varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone
yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam latar yang sama
(Saville-Troike, 2003: 36). Batasan itu dengan jelas mengungkapkan bahwa yang
menyatukan peristiwa-peristiwa tutur itu adalah komponen tutur. Artinya, jika
terjadi perubahan atau terdapat perbedaan dalam salah satu atau lebih komponen
tutur, maka peristiwa tutur itu sudah berbeda dan berubah. Peristiwa tutur
berwatak komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 320). Oleh karena itu,
peristiwa tutur dianggap sebagai unit dasar untuk tujuan deskriptif (Saville-
Troike, 2003 27). Artinya, deskripsi etnografi komunikasi bekerja berdasarkan
satuan-satuan analisis yang berupa peristiwa tutur. Situasi tutur bermanfaat dalam
menyusun klasifikasi data, karena dalam tiap situasi tutur dimungkinkan untuk
mendapatkan kekhasan deskripsi etnografis pada situasi tutur yang lain.
Pembicaraan mengenai komponen tutur sudah banyak dibicarakan oleh
beberapa ahli, Salah satunya adalah J.A. Fishman (Chaer dan Agustina, 2004: 5)
yang merumuskan komponen tutur dengan istilah “who speak, what language, to
whom, when, and to what end”. Komponen-komponen tutur menurut Fishman,
yaitu (1) partisipan (who speak dan to whom), atau orang-orang yang terlibat
dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur, (2) instrumen (what
language) atau alat, yaitu berkaitan dengan bahasa yang dipakai dalam peristiwa
tutur, (3) latar (when), yaitu waktu peristiwa tutur tersebut terjadi, dan (4) topik,
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
tema, atau tujuan (to what end), yaitu maksud yang ingin dicapai dalam peristiwa
tutur.
Selain Fishman, salah satu ahli yang terkenal dengan komponen tuturnya
adalah Dell Hymes dalam tulisan berjudul Models of Interaction of Language and
Social Life (Sumarsono, 2009: 335). Hymes merumuskan delapan komponen tutur
yang selanjutnya disingkat dengan akronim bahasa Inggris, yaitu SPEAKING.
Delapan komponen tutur tersebut adalah.
1. S (setting and scene), berkaitan dengan latar waktu dan tempat atau situasi
tempat dan waktu ketika peristiwa tutur itu terjadi. Setting dapat diartikan
sebagai waktu atau tempat sebuah peristiwa tutur berlangsung. Sementara itu,
scene berkaitan dengan waktu dan tempat atau situasi psikologis penutur pada
saat peristiwa tutur berlangsung.
2. P (participants), berkaitan dengan pelaku yang berperan dalam peristiwa
tutur, bisa pembicara dan pendengar, pengirim dan penerima pesan, atau
penyapa dan orang yang disapa. Hal itu tergantung kepada bentuk
pembicaraan atau instrumen yang dipakai dalam sebuah peristiwa tutur.
3. E (ends: purposes and goal), ends dapat dibedakan menjadi dua, yakni
outcomes atau purposes yang berkaitan dengan hasil, dan goals berkaitan
dengan tujuan yang ingin dicapai.
4. A (act sequence), berkaitan dengan bentuk dan isi pesan (messege form and
content). Misalnya, bagaimana kata-kata dipakai, bagaimana pemakaiannya,
dan bagaimana hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik
pembicaraan.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
5. K (key: tone or spirit of act), berkaitan dengan cara menyampaikan pesan.
Cara tersebut dapat berupa nada pada saat menghasilkan tuturan, atau gerak
tubuh dan isyarat. Misalnya, penyampaian materi seminar yang kaku dan
monoton, pidato yang berapi-api, dan sebagainya.
6. I (instrumentalities), berkaitan dengan alat atau media yang dipakai dalam
berkomunikasi. Alat yang dipakai berkenaan dengan bahasa, dialek, ragam,
atau register apa yang dipakai dalam peristiwa tutur. Adapun media dapat
berupa lisan atau tertulis, seperti telepon atau surat.
7. N (norms of interaction and interpretation), berkaitan dengan aturan atau
norma yang berlaku dalam interaksi dan interpretasi di masyarakat.
8. G (genre), berkaitan dengan jenis penyampaian, yakni dapat berupa narasi,
puisi, pepatah, dan sebagainya.
Rumusan komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes di atas
menunjukkan bahwa dalam sebuah peristiwa tutur, ada banyak faktor yang
mempengaruhinya. Sebuah peristiwa tutur yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Rumusan komponen tutur
yang terkenal dengan SPEAKING yang bermakna ‘wicara’ ini juga mempunyai
padanan dalam bahasa Perancis, yaitu PARLANT (Sumarsono, 2009: 334-335).
Komponen tutur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. P (participant), berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam sebuah
peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur.
2. A (actes), berkaitan dengan pesan (messege form) atau isi pesan (messege
content)
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
3. R (raison), berkaitan dengan maksud hasil (purpose outcome) dan maksud
tujuan (purpose goal) yang ingin dicapai dalam peristiwa tutur.
4. L (locale), berkaitan dengan latar (setting) dan suasana (scene) peristiwa tutur
berlangsung.
5. A (agents), berkaitan dengan saluran (chanel) dan bentuk tuturan (form of
speech).
6. N (normes), berkaitan dengan norma interaksi dan norma interpretasi.
7. T (types), berkaitan dengan jenis penyampaian atau genre.
Komponen-komponen tutur pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah
dirumuskan oleh Dell Hymes, seperti komponen tutur yang dirumuskan oleh
Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001: 35-50) yang merumuskan komponen tutur
berdasarkan pandangannya terhadap peristiwa tutur yang ada di Indonesia. Lebih
lanjut, komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (dalam Nadar,
2009:8-10) dikenal dengan memoteknik OOE MAU BICARA, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. O1 adalah orang ke-1 yang meliputi pribadi penutur. Latar belakang
penutur meliputi: jenis kelamin, asal daerah, golongan masyarakat, umur,
profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.
2. O2 merupakan orang ke-2 (lawan tutur orang ke-1). Faktor kedua yang
menentukan bentuk tutur yang keluar dari mulut seseorang penutur ialah
orang kedua atau lawan berbicara penutur itu. Hal yang perlu diperhatikan
adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang kedua
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
(O2) dan seberapa akrab hubungan antara keduanya. Keintiman relasi O1
dan O2 menentukan corak bahasa yang dituturkan.
3. E adalah emosi O1 (warna emosi), yaitu suasana emosi O1 pada waktu
yang bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi O1 akan sangat
mempengaruhi bentuk tuturannya.
4. M adalah Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 juga
menentukan bentuk tuturan.
5. A adalah adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar peristiwa tutur.
Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi
apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur.
6. U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas
menentukan bentuk tuturannya dari pada lawan tuturnya.
7. B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan. Pokok
pembicaraan akan mempengaruhi suasana pembicaraan. Jika seseorang
sedang membicarakan masalah-masalah ilmiah akan memakai bahasa yang
lebih formal.
8. I adalah instrumen atau sarana penutur. Sarana penutur ini meliputi
bagaimana percakapan itu terjadi apakah melalui surat, telegram, email,
atau telepon. Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul
dalam percakapan.
9. C adalah cita rasa tutur. Cita rasa tutur ini meliputi kapan akan dipakai
ragam bahasa santai, formal, dan ragam bahasa indah.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
10. A adalah adegan tutur yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan
waktu peristiwa tutur
11. R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk
wacana pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, yaitu
diawali dengan sapaan, salam introduksi, kemudian isi dan penutup.
12. A adalah aturan atau norma kebahasaan. Ada sejumlah norma yang harus
dipatuhi, misalnya kejelasan dalam berbicara. Adapun aturan dalam
percakapan seperti anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur,
status, dan yang lainnya yang bersifat pribadi sehingga hal ini dapat
menentukan bentuk tuturan yang muncul.
1.6.5 Pemilihan Kode Tutur
Pemilihan kode tutur (speech code choice) bisa disamakan dengan istilah
pemilihan bahasa (language choice). Pemakaian istilah “kode tutur” dilakukan
agar mendapatkan istilah netral untuk merujuk pada kode yang berupa bahasa,
dialek, atau ragam. Hal itu dilakukan mengingat kode-kode tutur yang diteliti
dalam penelitian ini belum dibuktikan secara ilmiah sebagai bahasa yang berbeda.
Misalnya antara bahasa Melayu Kuantan dan bahasa Minangkabau, banyak
terdapat kosakata yang sama atau hanya berbeda satu fonem. Ibrahim (1993: 59)
mengatakan bahwa kajian sosiolinguistik ada karena adanya pemilihan dalam
pemakaian bahasa. Pemilihan kode tutur berkaitan dengan asumsi bahwa
masyarakat yang diteliti merupakan masyarakat bilingual atau multilingual.
Artinya, ketika kode tutur yang dipakai dalam masyarakat itu hanya satu bahasa,
tidak akan dilakukan pemilihan kode tutur.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Sumarsono (2009: 201-204) mengungkapkan munculnya pemilihan kode
tutur berkaitan dengan kondisi kebahasaan yang diglosik sehingga memungkinkan
masyarakat menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan
(multilingual). Seorang penutur mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur
yang ketika berkomunikasi dengan orang lain, ia akan melakukan pemilihan kode
tutur yang sesuai. Pada situasi ini, seorang penutur dapat melakukan alih kode
sesuai dengan situasi saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, hal-hal yang
berkaitan dengan pemilihan kode tutur berupa bilingualisme dan
multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur kode akan diuraikan sebagai
berikut.
1.6.5.1 Bilingualisme dan Multilingualisme
Dua hal yang yang tidak dapat dilepaskan dalam pemilihan kode tutur
adalah bilingualisme dan multilingualisme. Pemilihan kode tutur terjadi pada
masyarakat yang bilingual dan multilingual. Bilingualisme dan multilingualisme
terjadi karena adanya kontak bahasa. Pada masyarakat terbuka, para anggota
masyarakat dengan mudah menerima orang lain ke dalam kelompoknya. Dengan
begitu, terjadilah kontak antarkedua kebudayaan yang tentunya diwujudkan dalam
kontak bahasa. Kontak antardua kebudayaan yang berbeda merupakan awal dari
lahirnya masyarakat yang bilingual.
Mengenai bilingualisme, Suhardi dan Sembiring (2005: 58-59) mengulas
beberapa pendapat para ahli, Leonard Bloomfied (1933) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah penguasaan seseorang terhadap dua bahasa. Sementara itu,
Weinreich (1968) berpendapat bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
untuk memakai dua bahasa secara bergantian. Einar Haugen (1966) kemampuan
seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain.
Suhardi dan Sembiring mengemukakan bahwa perbedaan pendapat tersebut
disebabkan oleh sulitnya menentukan batasan seorang yang dapat disebut sebagai
penutur bilingual atau dwibahasawan.
Dewasa ini, istilah bilingualisme dan multilingualisme mempunyai batasan
yang luas, bilingualisme dapat diartikan sebagai kemampuan kebahasaan
seseorang terhadap dua bahasa. Kemampuan tersebut dapat berupa pengetahuan
terhadap dua bahasa tanpa melihat tingkat kemampuannya sama atau tidak.
Dalam hal ini, seorang penutur bisa saja lebih tinggi kemampuannya dalam
bahasa A daripada bahasa B, atau sebaliknya. Pengetahuan terhadap bahasa satu
lebih rendah dari bahasa kedua tidak mempengaruhi status seseorang sebagai
dwibahasawan, atau penutur bilingual. Adapun konsep multilingual hampir sama
dengan bilingual, jika bilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap dua
bahasa, multilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap lebih dari dua bahasa.
1.6.5.2 Diglosia
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diglosia merupakan salah
satu dampak dari adanya kontak bahasa. Diglosia dapat didefinisikan sebagai
situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa mempunyai ranah
pemakaian atau menjalankan fungsinya secara proporsional (Wijana, 2011: 34).
Istilah diglosia pernah dipakai oleh seorang Perancis bernama Marcais, namun
istilah diglosia baru populer ketika Ferguson pada tahun 1958 menggunakannya
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
dalam simposium mengenai urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang
diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington D.C.
Istilah itu juga kemudian yang dipakai oleh Ferguson dalam tulisannya yang
berjudul Diglosia (Chaer dan Agustina, 2004: 92).
Dalam interaksi sosial, diglosia akan muncul jika ada dua kode berbeda
yang keduanya secara jelas menunjukkan fungsi yang berbeda. Ferguson (dalam
Wardhaugh, 1986: 87) mengemukakan bahwa diglosia berkaitan dengan beberapa
hal, yakni (1) dalam masyarakat diglosia terdapat dialek utama (ragam tinggi),
ragam rendah, atau dialek lain, (2) dialek utama (ragam R) dapat berupa dialek
standar atau dialek standar regional, (3) dialek yang bukan dialek utama memiliki
ciri-ciri: terkodifikasi, tata bahasanya lebih lengkap, berupa wahana kesusastraan
tertulis, dipelajari pada pendidikan formal, dan tidak dipakai dalam percakapan
sehari-hari. Batasan yang diberikan Wardhaugh di atas sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Holmes (1992: 32), yaitu (1) dua variasi dari satu bahasa yang
sama, yang satu merupakan variasi L (low), dan yang lainnya merupakan variasi
H (high), (2) masing-masing variasi mempunyai fungsi yang berbeda, dan (3)
variasi H tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari.
Batasan yang diungkapkan oleh kedua tokoh di atas dirasakan sempit untuk
menjelaskan diglosia, oleh karena itu, Fasold (Chaer dan Agustina, 2004: 101)
memberikan batasan yang lebih luas. Menurutnya, diglosia tidak hanya terbatas
pada perbedaan fungsi variasi atau dialek dalam satu bahasa, tetapi juga dapat
mencakup dua bahasa atau lebih. Perluasan konsep diglosia oleh Fasold ini
disebut diglosia luas (broad diglosia). Konsep ini memunculkan istilah diglosia
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
ganda dalam bentuk yang disebut double operlapping diglosia, double nested
diglosia, dan linear polyglosia. Istilah double operlapping diglosia berkaitan
dengan sebuah bahasa yang memiliki fungsi ganda, pada satu situasi berfungsi
sebagai H, dan pada situasi yang lain berfungsi sebagai L. Double nested diglosia
berkaitan dengan situasi ketika pada masyarakat bilingual terdapat dua bahasa
yang keduanya dapat berfungsi sebagai H atau L, tetapi variasi-variasi pada ragam
itu juga berstatus sebagai H dan L. Istilah linear polyglosia berkaitan dengan
verbal repertoir dari masyarakat tutur yang kemudian pola statusnya diurutkan
berdasarkan sikap para penuturnya.
1.6.5.3 Alih Kode dan Campur Kode
Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, penutur sering kali dihadapkan
dengan pemilihan kode-kode yang sesuai diterapkan dalam sebuah peristiwa tutur.
Pemilihan kode-kode tersebut kadang terjadi secara spontan berdasarkan verbal
repertoir seorang penutur. Secara umum, terdapat dua bentuk pemilihan kode
dalam pemakaian bahasa, yakni alih kode (code switching) dan campur kode
(code mixing). “Kode” merupakan istilah netral untuk menyebutkan bahasa,
dialek, atau ragam bahasa. Pemakaian istilah “kode” lebih tepat karena peristiwa
alih code dan campur kode tidak hanya terjadi pada dua bahasa yang berbeda,
tetapi juga dapat terjadi pada dua dialek atau dua ragam yang berbeda dalam satu
bahasa. Kode dapat diartikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapannya khas
sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan
situasi tutur. Poedjosoedarmo mengatakan bahwa kode biasanya berbentuk varian
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh suatu masyarakat bahasa
(Rahardi, 2001: 23).
Bentuk pemilihan kode tersebut dapat berupa variasi tunggal, alih kode, atau
campur kode sebagaimana pendapat Sumarsono (2009: 201-204) yang membagi
pemilihan bahasa ke dalam tiga bentuk, yakni (1) alih kode (code-mixing), (2)
campur kode (code switcing), dan (3) variasi dalam bahasa yang sama (variation
within the same language). Ketiga pemilihan bahasa tersebut merupakan
mempunyai konsekuensi berupa terjadinya pergeseran, bahkan kepunahan suatu
bahasa. Batas yang tegas antara peristiwa alih kode dengan campur kode sulit
ditetapkan. Masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan sosiolinguis tentang
batas alih kode dengan campur kode. Ada yang mengidentifikasikan alih kode dan
campur kode berdasar kriteria intrabahasa, yakni jenis satuan lingual yang
dilibatkan dalam masing-masing peristiwa kebahasaan itu, dan ada pula yang
mengidentifikasi berdasar kriteria ekstrabahasa. Dari segi intrabahasa terdapat
satu persoalan lagi, yakni campur kode atau peralihan seringkali sulit dibedakan
dengan variasi intrabahasa (intra-language). Menurut Fasold (1984:185),
peristiwa campur kode juga melibatkan satuan lingual klausa dan kalimat, dua
satuan lingual yang seharusnya merupakan tempat terjadinya peristiwa alih kode.
Dari segi ekstrabahasa Wardhaugh (1986:104) menyebutkan bahwa campur kode
merupakan percampuran dua bahasa yang disengaja tanpa membuat perubahan isi
pesan yang berkaitan. Wardhaugh tidak memberikan rincian dan penjelasan
tentang kriteria disengaja dan tidak disengaja dalam peristiwa alih kode.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Dalam penelitian ini, definisi alih kode dan campur kode mengacu definisi
sebagai berikut. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau
lebih, beberapa variasi dalam bahasa yang sama, atau beberapa gaya bahasa dalam
masyarakat tutur bilingual (Hymes dalam Rahardi, 2001: 21). Sementara itu,
Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) mendefinisikan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Appel (dalam
Pateda, 1987: 86) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan peralihan kode,
yaitu (1) siapa yang berbicara dan pendengar, (2) pokok pembicaraan, (3) konteks
verbal, (4) bagaimana bahasa dihasilkan, dan (5) lokasi. Misalnya, A dan B adalah
dua orang mahasiswa dengan bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Sunda.
Keduanya datang paling awal dan bercakap-cakap memakai bahasa Sunda,
kecuali dalam membicarakan materi perkuliahan, keduanya memakai bahasa
Indonesia, itu pun dilakukan dengan ragam santai. Ketika C yang berasal dari
Sumatera datang, keduanya langsung berbahasa Indonesia ragam santai, begitu
juga ketika teman-teman yang lain datang. Akan tetapi, ketika dosen masuk,
percakapan hanya dilakukan dengan bahasa Indonesia ragam formal. Ilustrasi ini
dapat menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh A dan B karena
perubahan situasi tutur.
Sementara itu, campur kode (code mixing) dapat didefinisikan sebagai
pengambilan atau penyelipan unsur-unsur bahasa ketika memakai bahasa tertentu
(Sumarsono, 2009: 202). Peristiwa campur kode dapat disamakan dengan
interferensi, misalnya ketika seseorang berbahasa Bali, ia memasukkan unsur-
unsur bahasa Indonesia, atau seseorang yang memakai bahasa Indonesia
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
memasukkan unsur-unsur bahasa Inggris. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa
lain itu umumnya berupa kata, tetapi dapat juga berupa kelompok kata atau frasa.
Jika wujud pengambilan unsur itu berupa kata, gejala itu bisa disebut
peminjaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara alih kode
dan campur kode adalah ada tidaknya tujuan atau keperluan yang ingin dicapai
oleh penutur.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang mencoba mengkaji
bahasa dalam hubungannya dengan aspek-aspek kemasyarakatan (Chaer dan
Agustina, 2004: 3). Sumber data penelitian ini adalah berbagai peristiwa tutur
yang terjadi dalam masyarakat tutur Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten
Kuantan Singingi Provinsi Riau. Kombinasi masyarakat Desa Sako yang terdiri
atas berbagai etnik melahirkan masyarakat yang multilingual. Wujud interaksi
yang terjadi dalam masyarakat multilingual itu dapat dilihat dalam berbagai
berbagai peristiwa tutur. Oleh karena itu populasi penelitian ini adalah semua
peristiwa tutur yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Sako yang tersebar
di tiga dusun yakni dusun I, dusun II, dan dusun III. Sampel penelitian ini adalah
peristiwa-peristiwa tutur yang dapat mewakili berbagai ranah.
Berkaitan dengan data penelitian, berbagai peristiwa tutur tersebut dijadikan
sebagai data utama untuk mengetahui kondisi kebahasaan masyarakat Desa Sako.
Di samping itu, data dalam penelitian ini juga diambil dengan metode cakap atau
wawancara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tiga tahap
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
pelaksanaan penelitian sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993: 5)
yakni: (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data; (2) tahap analisis data; dan
(3) tahap penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Pengumpulan Data
Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data di lapangan,
yaitu berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam berbagai ranah dalam
masyarakat Desa Sako. Data dikumpulkan dengan metode simak dan metode
cakap sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahsun (2012: 242). Metode simak
dilakukan untuk menyimak pemakaian bahasa berupa peristiwa-peristiwa tutur
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat multietnik di Desa Sako. Karena
penelitian ini berusaha mendapatkan data yang sesuai dengan situasi sebenarnya
dengan konteks yang lengkap, teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik simak
bebas libat cakap. Dalam hal ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat, tanpa
terlibat secara langsung dalam peristiwa tutur. Pengamatan yang dilakukan juga
disertai dengan merekam dan mencatat hal-hal yang relevan seperti perilaku
partisipan dalam peristiwa tutur. Pencatatan hal-hal yang relevan ini juga
merupakan pelaksanaan teknik lanjutan dari metode simak, yakni teknik catat.
Dalam pelaksanaannya, data-data yang dikumpulkan dituliskan ke dalam lembar
pengamatan, seperti yang terlihat pada gambar 1 berikut ini.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
Gambar 1. Contoh Lembar Pengamatan
Peristiwa Tutur ...
Ranah :Kode Tutur :Lokasi :Partisipan :
A : ........................B : ........................A : ........................B : ........................
Data pemilihan kode tutur ......
Dengan memperhatikan lembar pengamatan di atas, data-data berupa
berbagai peristiwa tutur juga yang dikumpulkan dilengkapi dengan nomor data
peristiwa tutur, ranah dan lokasi terjadinya peristiwa tutur, dan partisipan yang
terlibat dalam peristiwa tutur yang meliputi informasi jenis kelamin dan usia.
Penyertaan informasi-informasi tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam
proses pengklasifikasian data. Data berupa berbagai peristiwa tutur dalam bahasa
Melayu Kuantan, Jawa, Minangkabau, dan Batak yang telah dituliskan ke dalam
lembar pengamatan, kemudian divalidasi dengan cara mengecek kembali kepada
penutur asli keempat kode tutur tersebut.
Adapun pengumpulan data dengan metode cakap dilakukan dengan
melakukan wawancara dengan para penutur yang ada di Desa Sako. Wawancara
tersebut bertujuan untuk mendukung data-data yang telah dikumpulkan lewat
metode simak. Data-data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan
rumusan masalah, untuk kemudian dianalisis.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
1.7.2 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan bentuk analisis
kualitatif yang analisis datanya dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan
pengumpulan data. Dalam hal ini, analisis yang dilakukan berupa
pengklasifikasian data yang sesuai dengan rumusan masalah. Analisis data juga
dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data selesai dilakukan. Kegiatan analisis
data yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif yang berusaha memerikan
fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat multietnik di daerah
penelitian.
Data-data berupa berbagai peristiwa tutur yang telah dikumpulkan dan
diklasifikasikan berdasarkan ranah-ranah pemakaian bahasa, kemudian dianalisis
dengan metode komparatif konstan atau yang dikenal dengan metode padan
(Mahsun, 2012: 259). Metode padan adalah metode analisis yang menghubung-
bandingkan antarunsur lingual (padan intralingual) atau antara unsur lingual
dengan unsur ekstralingual (padan ekstralingual). Dalam penelitian ini, metode
padan yang dipakai untuk menganalisis data berupa berbagai peristiwa tutur
dalam masyarakat multietnik Desa Sako adalah metode padan ekstralingual
karena tuturan-tuturan yang diamati dihubungkan dengan konteks sosial. Namun
demikian, dalam penelitian ini juga tidak mengabaikan metode padan intralingual.
Metode padan intralingual dipakai untuk menganalisis data yang berkaitan dengan
alih kode dan campur kode.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis
Penyajian hasil analisis data dilakukan sejalan dengan dilakukannya analisis
data. Dalam penelitian ini, analisis data disajikan secara formal dan informal
sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:145). Penyajian data
secara formal adalah penyajian hasil analisis dengan memakai gambar, tabel,
grafik, dan sebagainya. Sementara itu, penyajian hasil analisis secara informal
adalah penyajian hasil analisis data memakai kata-kata. Lebih lanjut mengenai
penyajian hasil analisis dapat diperhatikan pada bagian sistematika penyajian.
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, masing-masing bab
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi deskripsi situasi kebahasaan masyarakat multietnik Desa Sako
Kecamatan yang meliputi gambaran historis, gambaran sosial-budaya, dan situasi
kebahasaan. Bab III berisi deskripsi pola-pola pemilihan kode tutur dalam
masyarakat multietnik Desa Sako. Bab IV berisi deskripsi peristiwa alih kode dan
campur kode dalam masyarakat multietnik Desa Sako. Bab V berisi deskripsi
faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur. Bab VI berisi kesimpulan dan saran.
PEMILIHAN KODE TUTUR DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau)TASLIATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/