romi (skenario 4 blok 18)
DESCRIPTION
ewffefefefeffeeeeeeeeeTRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan Penatalaksanaannya
Romi Andriyana
102013220 / B7
Email : [email protected]
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Pendahuluan
Pada era modern ini, banyak sekali masalah di masyarakat tentang terkenanya penyakit
pernafasan pada paru, karena sekarang banyak sekali faktor resiko yang bisa membuat itu terjadi.
Salah satunya nya ada dari faktor lingkungan dan gaya hidup seseorang. Faktor lingkungan itu
contohnya adalah asap knalpot kendaraan, asap pabrik, dan bahan polutan lainnya, sedangkan
dalam faktor gaya hidup itu contohnya merokok, karena seperti yang kita tahu rokok itu
mempunyai bahan – bahan yang bisa merusak paru contohnya adalah nikotin dan tar, kedua zat
itu salah satu nya bisa melisis suatu dinding pada saluran pernafasan sehingga terjadi
peradangan,lalu nanti akan terjadi penyempitan pada saluran nafas kita, yaitu penyakitnya yang
sering kita sebut adalah penyakit paru obstruksi kronik. Secara umum PPOK ini satu kelompok
penyakit paru dengan terutama terjadi obstruksi menahun, yang termasuk didalam PPOK adalah
asma, bronchitis kronik, dan emfisema.
Isi
Anamnesis
Didefinisikan sebagai sesi wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga
dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan.
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
di wawancarai.1
P a g e 1 | 13
Anamnesis ini meliputi :1
- Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.
- Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan dokter
atau petugas kesehatan lainnya.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak
- Apakah pasien sesak saat istirahat atau beraktivitas ?
- Apakah keadaan tersebut kronis atau muncul secara tiba-tiba ?
- Apakah disertai mengi atau stridor ?
Batuk
- Apakah batuk kering / produktif ? Jika produktif, apa warna sputum ? apakah hijau dan
purulen ?
- Apakah batuk berdarah (hemoptisis) ? Apakah ‘berkarat’ (pneumonia) atau merah muda
dan berbusa (edema paru) ?
- Apakah terjadi pada musim atau merupakan gejala yang baru timbul ?
Nyeri Dada
- Kapan dimulainya ? Seperti apa nyerinya ? Di mana dan menjalar ke mana ? Apakah
diperberat/berkurang dengan bernapas, perubahan posisi, pergerakan ? Adakah nyeri
dada setempat ?
- Adakah demam, menggigil, penurunan berat badan, malaise, keringat malam,
limfadenopati, atau ruam kulit ?
P a g e 2 | 13
- Riwayat Penyakit Dahulu
Penting untuk mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya
dan terapi yang pernah diberikan, seperti adakah tindakan operasi dan anastesi sebelumnya,
kejadian penyakit umum tertentu.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien
karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit.
- Riwayat Pribadi, Sosial-Ekonomi
Secara umum menanyakan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan
pasien seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan hal yang berkaitan. Selain itu, harus
ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal pasien.
Pemeriksaan Fisik
Biasanya hasil pemeriksaan fisik merupakan gabungan dari pemeriksaan fisik yang
didapat dari penderita bronkitis kronis dan emfisema. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan
melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan aukultasi. Tetapi sebelum melakukan itu semua, kita
lakukan lihat keadaan umum pasien, dan melakukan tanda – tanda vital terlebih dahulu. Setelah
itu, baru mulai kita lakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan aukultasi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hasil : Pernafasan 30x/menit, suhu : 36ᴼC, saat inspeksi paru – paru simetris, retraksi
intercostal, palpasi taktil fermitus simetris, perkusi sonor, auskultasi wheezing, ronki basah kasar.
Pemeriksaan Penunjang
- Spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan dengan menghitung Forced Expiratory Volume
(FEV1) dan Forced Vital Capacity (FVC). FEV1 adalah volume ekspirasi maksimal yang
dapat dihembuskan dalam detik pertama. FVC adalah tarikan napas maksimal yang dapat
dihirup dalam satu kali tarikan napas yang dalam. Perhitungan normalnya adalah 70%
FVC keluar pada detik pertama sehingga rasio FEV1/FVC minimal mencapai angka
70%. Pada pasien PPOK rasio akan menurun dibawah 70%.2
- Pemeriksaan Radiologis
Dapat dilakukan dengan x-ray. Biasanya terdapat gambaran seperti hiperinflasi,
hiperlusen, diagfragma mendatar, corakan bronkovaskular meningkat, jantung pendulum.
P a g e 3 | 13
Selain menunjang diagnosis, pemeriksaan ini juga dapat menghilangkan diagnosis
banding terhadap penyakit-penyakit paru lainnya.2
- Elektrokardiografi (EKG)
Untuk membantu menegakan diagnosis hipertropi ventrikel kanan.2
Working Diagnosis
Dari data anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sudah ada, pasien ini terkena penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), yaitu adalah suatu penyakit dengan karakteristik hambatan aliran
udara dan progresif yang disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran nafas
dan paru terhadap partikel yang berbahaya.2
Bronkitis kronis, emfisema paru serta asma bronkhial membentuk suatu kesatuan yang
disebut PPOK. Ada hubungan antara bronkitis kronik dan emfisema namun pada asma tidak ada
hubungan dengan dua penyakit tersebut. hubungan ini sangat nyata sekali dengan etiologi,
pathogenesis serta pengobatannya.2,3
Differential Diagnosis
- Asma Bronkial
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, sesak didada akibat penyumbatan saluran nafas. Ciri khas yang
paling dominan adalah sesak yang episodik, terutama pada malam hari dan dini hari yang
disertai oleh batuk.
Asma ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan,
mengingat pathogenesis nya belum jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu
inflamasi kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
rangsangan.3
P a g e 4 | 13
Tabel 1. Perbedaan Asma dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.5
- Bronkitis Kronik
Merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang
berlebih di daerah bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan
P a g e 5 | 13
Asma PPOK
Timbul pada usia muda ++ -
Sakit mendadak ++ -
Riwayat merokok +/- +++
Riwayat atopi ++ +
Sesak dan mengi berulang +++ +
Batuk kronik berdahak + ++
Hipereaktiviti bronkus +++ +
Reversibiliti obstruksi ++ -
Variabiliti harian ++ +
Eosinofili sputum + -
Neutrofil sputum - +
Makrofag sputum + -
sputum sedikitnya 3 bulan dalam setahun dalam dua tahun berturut-turut. Sputum yang
terbentuk pada bronkitis kronis dapat berupa mukoid atau mukopurulen.2,3
Temuan bronkitis kronik adalah hipertropik pada kelenjar mukosa bronkus dan
peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dengan infiltrasi sel radang dan edema mukosa
bronkus, peningkatan pembentukan mucus mengakibatkan terjadinya batuk produktif,
batuk kronis yang disertai peningkatan sekeresi bronkus mempengaruhi bronkiolus
sehingga dindingnya melebar dan rusak. Penyebab utamanya adalah merokok dan polusi
udara yang lazim terjadi di daerah industry karena menghambat aktifitas silia dan
fagositosis yang membuat pertahanan melemah sedangkan pembentukan mucus
meningkat.
- Emfisema
Merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai dengan
pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang abnormal serta destruksi dinding
alveolar. Bibagi menurut bentuk asinus, ada dua bentuk emfisema yang terpenting yang
berhubungan dengan PPOK yaitu:
Emfisema sentrilobuler (CLE) Secara selektif menyerang bronkus respiratorius dan
duktus alveolaris, dending mulai membesar,berlubang dan bergabung dan cenderung
menjadi ruang sewaktu dinding mengalami integrasi.
Emfisema panlobuler (PLE) Merupakan bentuk yang jarang ditemukan dimana
alveolus yang terletak didistal bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata, bila menyebar ke asinus perifer atau sentral itu berhubungan
dengan perburukan penyakit. PLE mempunyai gambaran khas yaitu menyebar diseluruh
paru.
Pada emfisema tidak diketahui secara pasti etiologinya tetapi sengat familial berkaitan
dengan defisiensi enzim alfa1-antiprotease yang dulu sering disebut sebagai alfa1 – anti-
tripsin. Enzim ini diduga sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang
terbentuk secara alami. Bila kekurangan enzim ini memiliki peranan penting terhadap
P a g e 6 | 13
pathogenesis emfisema. Protease dihasilkan secara alami oleh sel PMN dan Makrofag
dalam proses fagositosis. Enzim tersebut mampu merusak elastin dan makromolekul lain
pada jaringan paru. Maka disitulah fungsi enzim antiprotease tersebut sebagai pelindung.3
- Kor Pulmonal
Kor pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru, atau
pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan dengan
bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi secara
selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonal
adalah peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada
hipertensi arteri pulmonal.
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal
akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering
disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik
umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-pulmonal akut terjadi
dilatasi ventrikel kanan.3
- Aspergillosis
Kelompok kapang oportunis pathogen yang dapat menginfeksi manusia. Kelainan
yang ditimbulkan berupa infeksi yang dapat mengenai kulit, kuku, dan alat pernafasan
dalam terutama paru. Selain infeksi, dapat menyebabkan alergi / kolonisasi dalam paru.
Disebabkan oleh aspergillus, yaitu saprofit yang sangat mudah ditemukan
disekitar kehidupan manusia dan terdiri atas sekelompok spesies yang berbeda. Spesies
yang kerap menyebabkan infeksi adalah Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus,
Aspergillus niger, Aspergillus terreus, spesies yang paling pathogen adalah Aspergillus
fumigatus mampu tumbuh pada suhu 37’C bahkan sampai suhu 50’C.
Biasanya kelainan ini tanpa gejala namun bila telah terjadi hemoptysis dapat
berakibat fatal. Gambaran radiologi biasanya khas dengan masa jamur ditengah kavitas.4
Etiologi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri atas bronkitis
P a g e 7 | 13
kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronis adalah kelainan saluran napas
yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.2,3
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting
dari penyebab lainnya. Penyebab lain adalah riwayat terpajan polusi udara (lingkungan dan
tempat kerja), hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi
alfa-1 anti tripsin, jenis kelamin laki-laki dan ras (kulit putih lebih berisiko). Rokok dapat
menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkhus sehingga drainase lendir
terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.2,3
Epidemiologi
PPOK tersebar di seluruh negara dan mengenai kurang lebih sebanyak 329 juta jiwa di
seluruh dunia dan secara global merupakan penyebab kematian utama ke-6 pada tahun 1990 dan
diprediksikan akan mencapai penyebab kematian utama ke-4 pada tahun 2030 akibat kebiasaan
merokok yang semakin meningkat dan perubahan demografis pada berbagai negara. Penyebab
keempat kematian di Amerika Serikat.2 Diperkirakan bahwa lebih dari 16 juta orang di Amerika
Serikat dan 20% orang di negara-negara industri menderita PPOK sistomatik.3
Patofisiologi
PPOK yang diakibatkan oleh asap rokok terjadi karena di dalam paru-paru yang terpapar
terjadi oxidative stress karena tingginya konsentrasi radikal bebas dalam asap rokok. Partikel
iritan dalam asap rokok juga mengakibatkan pelepasan sitokin yang menimbulkan proses
inflamasi dalam paru. Radikal bebas dalam asap rokok juga mengakibatkan kerusakan enzim
antiprotease seperti alfa-1-antitripsin sehingga mempercepat kerusakan paru akibat enzim
protease dari proses inflamasi. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar
dan kecil disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel squamous akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan P a g e 8 | 13
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini
akan merangsang dan mempertahankan inflamasi dimana CD8 dan limfosit B menginfiltrasi lesi
tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran
nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,
peningkatan otot polos.2,3
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada
bronkitis kronis. Sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan anti
protease serta defisiensi α1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang
melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan
struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan
menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di
paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B,
chemotacticfactors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α,
IL-1ß dan TGFß. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease,
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga
terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi
mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses
ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang
kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan
berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang pada tahap lanjut dapat
berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada
hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor
konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri
pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi
faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.2,3
Manisfestasi Klinik
P a g e 9 | 13
Pasien dengan PPOK memiliki gejala sesuai penyakit yang diderita. Secara umum pasien
akan merasakan sesak napas, batuk produktif, dan terkadang hemoptisis.
Gejala respirasi yang timbul adalah batuk kronik produktif dengan sputum mukoid
terutama pada pagi hari dan dyspnea disertai wheezing. Gejala akut pada saat eksaserbasi adalah
meningkatnya batuk produktif, sputum purulen, demam, sesak, dan wheezing.2,3,7
Penatalaksanaan
- Medikamentosa
Pengobatan farmakologis untuk mengurangi gejala PPOK adalah bronkodilator,
anti kolinergik, golongan metilxantin, dan kortikosteroid. Pengobatan non-farmakologi
adalah dengan memberi edukasi tertang bahaya merokok, terapi oksigen, memberi nutrisi
dan dukungan psikologis.
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pilihan lini pertama terutama dalam sediaan inhalasi
karena kapasitas eksersisenya tinggi menurunkan gejala sesak napas dengan cepat.
Bronkodilator golongan simpatomimetik bekerja sebagai beta - adregenik selektif
yang menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan bronkodilatasi dengan cara
merangsang enzim adenil siklase untuk membentuk cAMP (AMP siklik). Obat ini
juga memperbaiki mukosilia yang dapat diberikan secara inhalasi dengan Metered
Dose Inhaler (MDI).6
Preparat bronkodilator terbagi menjadi short acting (kerja singkat) dan long
acting (kerja lama). Obat-obatan yang tergolong short acting antara lain adalah
albuterol, levabuterol, bitolterol, dan terbutalin. Obat ini bekerja selektifitas beta lebih
besar dan lama kerja lebih panjang dari pada preparat short acting lain seperti
isoproterenol, metaproterenol, dan isoetarin. Lama kerjanya sekitar 4-6 jam dan
hanya digunakan untuk serangan akut. Preparat long acting terdiri dari formoterol dan
salmeterol. Lama kerjanya 12 jam dan tidak boleh diberikan untuk mengatasi gejala
akut. Efek sampingnya antara lain adalah jantung berdebar, takikardi, insomnia, dan
hipertensi. Obat ini juga tidak boleh diberikan pada penderita Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH).6
P a g e 10 | 13
b. Obat golongan anti kolinergik juga dapat digunakan karena obat ini bekerja
menghambat kompetitif reseptor kolinergik pada otot polos bronkus yang akan
menghambat asetilkolin sehingga terjadi penurunan cGMP (GMP siklik) sehingga
terjadi bronkodilatasi. Sediaannya diberikan dalam bentuk inhalasi. Preparat anti
kolinergik yaitu ipratropium bromida dan tiotropium bromida. Ipratropium bromida
memiliki efek bronkodilator yang panjang tetapi mulai kerjanya lebih lambat
dibandingkan dengan beta agonis yang short acting. Efek samping berupa mulut
kering, nausea, rasa metalik, penglihatan kabur, retensi urin, dan takikardi.6
c. Kortikosteroid digunakan karena efek antiinflamasinya. Obat ini akan menurunkan
permeabilitas kapiler sehingga produksi mukus menurun dan menimbulkan hambatan
pelepasan enzim proteolitik dari leukosit dan menghambat prostaglandin. Penggunaan
kronis tidak dianjurkan, indikasi kortikosteroid digunakan hanya pada eksaserbasi
akut untuk terapi jangka pendek. Sediaan yang digunakan adalah dalam bentuk
inhalasi. Efek samping berupa suara serak, nyeri telan, kandidiasis oral dan skin
bruising. Pada keadaan yang parah dapat juga terjadi supresi adrenal, osteoporosis,
dan katarak apabila inhalasi diberikan dalam jangka panjang dan dosis tinggi.6
d. Pengobatan secara simptomatik juga perlu dilakukan terutama apabila eksaserbasi
terjadi akibat infeksi bakteri atau virus. Antibiotik dapat diberikan apabila pasien
mengalami dyspnea dan peningkatan volume sputum yang purulen. Obat yang dapat
digunakan adalah preparat markolid, azitromisin, klaritromisin, sefalosporin generasi
2 atau 3, dan doksisiklin. Apabila kuman penyebab adalah penghasil beta-laktamase
maka digunakan amoksisilin ditambah asam klavulanat, juga dapat diberikan
fluorokuinolon (levofloxasin, gatifloxasin, moxifloxasin, dll).6
- Non-Medikamentosa
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat
dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk berhenti merokok.
Sekali konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok,
konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga melakukan
pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan mengeleminasi atau
menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi polusi indoor berupa
P a g e 11 | 13
pembakaran bahan bakar biomass dan pemanasan atau memasak diruangan yang
ventilasinya buruk, sarankan pasien untuk memperhatikan pengumuman publik tentang
tingkat polusi udara. Semua pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas
fisik dan disarankan untuk selalu aktif.6
Pencegahan
Pencegahan PPOK yang paling utama adalah penghentian kebiasaan merokok dalam
upaya memperlambat progresivitas penyakit. Selain itu perlu juga diperhatikan kesehatan bekerja
terutama pada lingkungan pekerjaan yang berpolutan. Tindakannya berupa pengaturan ventilasi
yang baik, penggunaan respirator, dan upaya mengurangi debu yang beterbangan terutama pada
lingkungan pertambangan.
Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi
paru akan lebih cepat dari pada bila pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka panjang
merupakan satu-satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup.
Kesimpulan
PPOK adalah kelompok penyakit paru dengan terutama terjadi obstruksi menahun.
Kelompok penyakit yang termasuk PPOK adalah bronkitis kronik, emfisema, asma bronkial, dan
bronkiektasis. Faktor predisposisi terutama pada perokok dan gejala umum yang tampak adalah
sesak napas dan batuk persisten. Pengobatannya terutama bertujuan untuk mengurangi
progresivitas penyakit dan menghindari komplikasi yang berat seperti cor pulmonale. Prognosis
kurang baik dan diperberat oleh tingkat keparahan penyakit, eksaserbasi yang sering, dan
kebiasaan merokok yang belum dihentikan.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005. h42-3.
2. Tanto C, Liwang F, Hanifati S . kapita selekta kedokteran jilid 2 edisi ke-4. Jakarta:
Media Aesculapius;2014, h. 824.
3. Price S A, Wilson L M , patofisiologi volume 2 Edisi ke-6 Jakarta: EGC; 2008. h.783-5.
P a g e 12 | 13
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-4.
Jakarta: Departemen Parasitologi FKUI;2008.
5. Di unduh dari http://www.klikparu.com/2013/02/penyakit-paru-obstruktif-kronik-
ppok.html tanggal 04 Juli 2015
6. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56.
P a g e 13 | 13