skenario 1 blok 8

24
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK 8 PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI SKENARIO 1 PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI MELALUI GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Oleh Kelompok 12: Fiqih Faruz Romadhon (G0009084) David Kurniawan S. (G0009050) Ichsanul Amy Himawan (G0009104) Ahmad Afiyyudin (G0009008) Ariesta Permatasari Hanifah Astrid (G0009100) Fika Khulma S (G0009082) Qonita S. Janani (G0009176) Muvida (G0009144) Gia Noor Pratami 1

Upload: gia-noor-pratami

Post on 08-Aug-2015

105 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 1 Blok 8

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 8 PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI

SKENARIO 1

PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI

MELALUI GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Oleh

Kelompok 12:

Fiqih Faruz Romadhon (G0009084)

David Kurniawan S. (G0009050)

Ichsanul Amy Himawan (G0009104)

Ahmad Afiyyudin (G0009008)

Ariesta Permatasari (G0009028)

Dhiandra Dwi H. (G0009058)

Hanifah Astrid (G0009100)

Fika Khulma S (G0009082)

Qonita S. Janani (G0009176)

Muvida (G0009144)

Gia Noor Pratami (G0009092)

Tutor: Prof. Bambang Suprapto, dr. M.Med.Sci,Nutr,Sp.GK.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2010

1

Page 2: Skenario 1 Blok 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia yang termasuk dalam wilayah tropis mempunyai berbagai

penyakit endemik yang tidak terdapat di negara-negara subtropis atau iklim

sedang lainnya. Penyakit tropis dan infeksi merupakan permasalahan yang

harus dikuasai oleh dokter yang bekerja di tengah-tengah masyarakat

Indonesia.

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:

Seorang mahasiswi, 23 tahun, datang ke RSUD Dr. Muwardi dengan keluhan

sering mual dan muntah selama 1 minggu. Keluhan ini disertai febris 8 hari

yang sifatnya remitten, tetapi tidak sampai menggigil. Hasil pemeriksaan

dokter didapatkan: febris, bradikardi relatif, lidah kotor dan tremor, serta

hepatosplenomegali. Sebelumnya penderita dicurigai infeksi dan sudah diberi

antibiotik oleh dokter Puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Diantara

teman satu kosnya ada yang menderita keluhan yang sama. Lingkungan

rumah kos penderita banyak tikusnya.

Hasil pemeriksaan darah didapatkan: leukopeni, tes serologi Widal

positif, dan IgM Salmonella Typhii meningkat, sedangkan hasil pemeriksaan

apusan darah tebal/tipis malaria negatif. Direncanakan pemeriksaan MAT

(Micro Agglutination Test).

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa pasien mengalami febris?

2. Bagaimana mekanisme agen infeksius menimbulkan kondisi patologis?

3. Bagaimana Differential Diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang ada?

4. Bagaimana penatalaksanaan untuk pasien dalam kasus?

2

Page 3: Skenario 1 Blok 8

C. Tujuan Penulisan

Menjelaskan berbagai macam agen infeksius: morfologi, sifat, daur hidup,

habitat, dan asalnya.

Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit mulai dari masuknya

agen infeksius hingga muncul gejala klinis.

Menjelaskan komplikasi, prognosis, dan penegakan diagnosis penyakit

infeksi.

Menjelaskan penatalaksanaan penyakit infeksi (cara pencegahan,

pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi).

D. Manfaat Penulisan

Mahasiswa mampu menetapkan diagnosis atau Differential Diagnosis

penyakit infeksi berdasarkan pemeriksaan fisik, dan investigasi tambahan

yang sederhana, seperti pemeriksaan laboratorium.

Mahasiswa mampu menjelaskan secara patofisiologi masing-masing

penyakit tropis secara biomedik.

Mahasiswa mampu melakukan pencegahan primer dan sekunder pada

penyakit infeksi.

3

Page 4: Skenario 1 Blok 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan

oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut

hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih ringan. Kedua penyakit di

atas disebut tifoid. Terminologi lain yang sering digunakan adalah typhoid fever,

paratyphoid fever, typhus, paratyphus abdominalis atau demam enterik

(Widoyono 2008).

Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan

demam tifoid, namun cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih

rendah. Ratio Distribusi Penyakit yang disebabkan oleh Salomnella enterica

serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan dengan S. enterica serovarian

Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira 10:1 (Chin 2000).

Salmonella

Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab

bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis sampai dengan demam tifoid

yang berat disertai bakteremia. Oleh Ewing, Salmonella diklasifikasikan dalam 3

spesies, yaitu: Salmonella choleraesuis, Salmonella typhi, Salmonella enteritidis,

dan kuman dengan tipe antigenik yang lain dimasukkan ke dalam serotip dari

Salmonella paratyphi enteritidis bukan sebagai spesies baru lainnya.

a. Morfologi

Kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat

negatif Gram, ukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm,

mempunyai flagel peritrik kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella

gallirum.

b. Fisiologi

Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif aerob, suhu tumbuh 15-41o C

(optimum 37,5o C), dan pH pertumbuhan 6-8. Isolat kuman memiliki sifat-

4

Page 5: Skenario 1 Blok 8

sifat: gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan

memberikanhasil negatif pada reaksi indol, DNAse, Fenilalanin deaminase,

urease, Voges Proskauer, reaksi terhadap sukrosa, laktosa, adonitol, serta

tidak tumbuh dalam larutan KCN. Pada agar SS, Endo, EMB, dan Mc

Conkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil, dan tidak berwarna, pada agar

Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam (Agus, et al 1994).

c. Daya tahan

Kuman mati pada suhu 56o C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa

tahan selama 4 minggu. Hidup subur pada media yang mengandung garam

empedu, tahan terhadap zat warna hijau brillian dan senyawa Natrium

tetraionat, dan Natrium deoksikholat. Senyawa-senyawa ini menghambat

pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapaat

digunakan di dalam media untuk isolasi kuman Salmonella dati tinja (Agus,

et al 1994).

d. Struktur antigen

Antigen Somatik, serupa dengan antigen somatik (O) kumam

Enterobacteriaceae lainnya. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100o C,

alkohol, dan asam. Antibodi yang terbentuk terutama IgM.

Antigen flagel, pada Salmonella antigen ini ditemukan dalam 2 fase,

spesifik dan tidak spesifik. Antigen H ini rusak pada pemanasan di atas 60 o C,

alkohol, dan asam. Antigen yang terbentuk adalah IgG.

Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam, terdapat

pada bagian paling luar dari badan kuman. Dapat dirusak dengan pemanasan

60o C selama 1 jam, pada penambahan fenol dan asam. Kuman yang

mempunyai antigen Vi ternyata lebih virulen baik terhadap binatang maupun

manusia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan kuman terhadap bakteriofag

dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi

yaitu dengan cara tes aglutination slide dengan Vi antiserum (Agus, et al

1994).

5

Page 6: Skenario 1 Blok 8

Patogenesis

Masuknya kuman S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi

melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan

dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang

biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA) usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.

Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag

dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian kelenjar

getah bening mesentrika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus, kuman yang

terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi (mengakibatkan

bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meniggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit

infeksi sistemik (Djoko 2006). Secara skematis patogenesis dan patofisiologis

tifoid terangkum pada flowchart berikut. Dikutip dari Djoko, 2006.

6

Page 7: Skenario 1 Blok 8

Standar Diagnosis (Arif 2001; Djoko 2006; Agus, et al 1994)

a. Gejala klinis

Dalam minggu I : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,

mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan

epistaksis. Pada pemeriksaan fisik : peningkatan suhu badan.

Dalam minggu II : demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,

meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, dan

roseolae.

b. Deteksi agen infeksius

1. Pemeriksaan darah, kultur darah (+) memastikan demam tifoid, (-)

tidak menyingkirkan demam tifoid.

2. Pemeriksaan tinja, (+) menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

3. Pemeriksaan widal

Peningkatan titer uji Widal 4x lipat selama 2 – 3 minggu memastikan

diagnosis demam tifoid. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O

7

Page 8: Skenario 1 Blok 8

1:320 atau titer antibodi 1:640 menyokong diagnosis demam tifoid

pada pasien dengan gambaran klinis khas.

4. Tes aglutination slide dengan Vi antiserum sebagai diagnosis cepat

antigen Vi S. typhi.

c. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leukopenia, limfositosis

relatif. Dapat pula anemia ringan dan trombositopenia.

2. SGOT/SGPT meningkat.

3. LED (Laju Endap Darah) dapat meningkat.

Diagnosis banding (Widoyono 2008)

Pes DBD Influenza Malaria

Etiologi

Yersinia pestis. Hewan reservoir: hewan pengerat, vektor penular: pinjal (kutu) Xenopsylla cheopsis, Culex iritans

Virus Dengue: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.Vektor: nyamuk Aedes aegypti dan A. Albopictus

orthomyxovirus : terdiri atas 3 tipe virus influenza tipe A,B,C

Sporozoa Plasmodium: P. vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovaleVektor: nyamuk anopheles

Gejala

klinik

o Demam tanpa sebab yang jelas (FUO) dan demam bisa tinggio Terdapat bubo pada

o Demam tinggi akut tanpa sebab jelas (2-7 hari)o Manifestasi perdarahan: tes RL (+), petekie (+), mimisan, muntah darah, berak darah hitam, ♀ menorrhagiao Hepatomegalio Syok (akral

o Batuk, pileko Nyeri ototo Sakit kepalao Nyeri menelano Nyeri peruto Mual, muntah

o Trias malaria: demam >2 hari, menggigil, berkeringato Konjungtiva palpebra pucato Hepatosplenomegalio P. falciparum: demam tiap hario P. vivax/ovale: demam selng 1 hari

8

Page 9: Skenario 1 Blok 8

inguinal, femoral, dan kertiako Sesak napas dan batuk

dingin, gelisah, tidak sadar)

o Iritasi matao Demam >38,9oCo Anoreksia

o P. malariae: demam selang 2 hari

Pemeriksa

an lab.

-

Trombositopeni

Hemokonsentrasi

Isolasi virus Serologis: Elisa

Apusan darah tebal/tipis: (+) parasit Imunokromatografi: deteksi antigen malaria Pemeriksaan darah rutin: Hb, Hct, AL, AE, AT.

B. Antibiotik

a. Definisi

Zat – zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri ysng memiliki

khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan

toksisitasnya bagi manusia relatif kecil ( Tjay dan Kirana, 2007)

b. Farmakodinamik

Cara kerjanya yang terpenting adalah perintangan sintesa protein

sehiangga kuman musnah atau tidak berkembang lagi. Selain itu beberapa

antibiotika berkerja terhadap dinding sel seperti pada kelompok betalaktam

atau sitoplasma seperti pada kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid, dan

eritromisin, dan asam nukleat seperti pada kuinolon dan rifampisin (Tjay

dan Kirana, 2007; Nelwan, 2007)

c. Farmakokinetik

Dapat diberikan secara oral perlu dipastikan agar absorpsi berlangsung

baik. Pada infeksi serius atau terjadi mual dan muntah perlu diberikan

terapi parenteral. Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi.

Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi yang dihasilkan

senyawa – senyawa inaktif tetapi kadang – kadang dapat terjadi produk

toksik. Eliminasi umumnya melalui ginjal dan beberapa mengalami

9

Page 10: Skenario 1 Blok 8

eliminasi empedu. Konsentrasi intaluminal dapat meningkat dalam saluran

cerna terutama bila ekskresi secara utuh (Nelwan, 2007)

d. Aktivitas

Pada umumnya aktivitasnya dinyatakan denagn satuan berat (mg), kecuali

zat – zat yang belum dapat diperoleh 100% murni dan terdiri dari

campuran beberapa zat (Tjay dan Kirana, 2007)

e. Penggunaan

Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit infeksi

akibat kuman atau juga prevensi infeksi (Tjay dan Kirana, 2007).

f. Jenis – jenis antibiotik

1. Kelompok penisilin dan sefalospirin

2. Kelompok tetrasiklin

3. Kelompok aminoglikosida

4. Kelompok makrolida dan linkonsin

5. Keklompok polipeptida

6. Kelompok sisa

(Tjay dan Kirana, 2007)

C. Resistensi Antibiotik

a. Klasifikasi antibiotik

Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: resitensi

alami dan resistensi didapat.

Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika tersebut memang kurang

atau tidak aktif terhadap suatu kuman.

Resistensi didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif

terhadap suatu antibiotika kemudian berubah jadi resisten ( Hadi, 2007)

b. Faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya resistensi antibiotika

1. Faktor penggunaan antibiotika

2. Faktor pengendalian infeksi

(Hadi, 2007)

10

Page 11: Skenario 1 Blok 8

c. Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik

1. Selaput bagian luar kuman gram negatif

Bagian ini sedikit menghambat antibiotik masuk ke dalam sitoplasma.

Mutasi pada bagian tersebut meningkatkan tingkat kesulitan antiotik

untuk masuk ke dalam kuman.

2. Inaktivasi antibiotika melalui jalur enzimatik

3. Modifikasi pada target antibiotika

4. Kuman mengembangkan jalur metabolisme lain yang memintas reaksi

yang dihambat oleh antibiotik.

(Hadi, 2007)

11

Page 12: Skenario 1 Blok 8

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang mahasiswi 23 tahun, febris 8 hari remitten, tetapi tidak sampai

menggigil, bradikardi relatif, lidah kotor, dan tremor, hepatosplenomegali,

leukopenia, dan lingkungan banyak tikus dengan teman sekos mengalami keluhan

serupa. Dengan gejala dan tanda yang terjadi pada penderita, mungkin seorang

dokter sudah mulai mencurigai kalau gejala-gejala dan tanda-tanda tersebut adalah

pertanda demam tifoid. Namun, masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

menyingkirkan diferensial diagnosis yang ada.

Mekanisme gejala

Dari gejala yang timbul dapat diketahui penyebabnya. Yang pertama yaitu

mual dan muntah yang merupakan akibat gangguan saluran cerna hingga

gangguan saraf seperti pada motion sickness. Adanya gas serta gerakan peristaltik

usus pun turut berperan dalam timbulnya mual dan muntah. Namun pada pasien,

intinya adalah kerusakan saluran gastrointestinal menimbulkan impuls iritatif

yang merangsang pusat muntah di batang otak yang memerintahkan otot abdomen

dan diafragma untuk berkontraksi sehingga menyebabkan mual dan muntah.

Gejala demam umumnya terjadi akibat adanya rangsangan untuk

meningkatkan suhu tubuh atau adanya gangguan pada pusat pengatur suhu, yaitu

hipotalamus. Pada pasien, demam terjadi akibat adanya rangsangan terhadap

metabolisme asam arachidonat oleh pirogen endogen (IL-1) yang dirangsang oleh

pirogen eksogen yang ada pada toksin bakteri atau agen infeksius lainnya. Sifat

demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius, dalam hal ini bakteri,

dan ritme aktivitas host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore hingga malam

hari karena pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah menurun, sehingga suhu

tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi set point “palsu” yang di

set oleh bakteri dengan mekanisme demam. Sedangkan menggigil adalah salah

satu mekanisme termogenesis dalam usaha meningkatkan suhu. Pada umumnya

menggigil terjadi pada demam yang suhunya jauh dari nilai normal.

12

Page 13: Skenario 1 Blok 8

Dalam hal ini, peranan endotoksin yang dimiliki Salmonella mungkin

merupakan penyebab demam. Endotoksin merangsang pelepasan zat-zat pirogenik

dari sel-sel makrofag dan sel-sel PMN. Ini terjadi saat bakteremia kedua, dimana

sel-sel fagosit telah teraktivasi dan hiperaktif hingga menghasilkan mediator

inflamasi yang selanjutnya timbulah gejala reaksi inflamasi sistemik.

Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Masuknya kuman di

kantong empedu dan plague Peyeri ini menyebabkan kultur tinja positif, dan

invasi ke dalam kantong empedu sendiri dapat menyebabkan terjadinya carier

kronik.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan psikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,

dan gangguan organ lainnya. Sedangkan adanya hepatosplenomegali bermula dari

bakteremia pertama yang menyebabkan kuman Salmonella ini tersebar di seluruh

organ-organ retikuloendotelial terutama di hati. Di organ-organ retikuloendotelial

ini kuman tumbuh dan berkembang biak di ekstraseluler atau sinusoid yang

ujungnya timbul hepatomegali atau splenomegali.

Bradikardi relatif dan lidah kotor tidak dapat dijelaskan penyebabnya yang

lebih spesifik, namun mekanisme tersebut terbukti sebuah tanda patologis.

Sedangkan tremor digunakan tubuh untuk meningkatkan termoregulasi, melalui

peningkatan metabolisme basal. Hal ini juga terjadi akibat tubuh dipaksa untuk

mengikuti set point “palsu” yang di set oleh agen infeksius.

Leukopeni dapat terjadi pada keadaan infeksi tertentu, yaitu demam tifoid,

influenza, tifus abdominalis dan kadang-kadang tuberkulosis. Leukopeni

merupakan hasil yang sering didapatkan pada penderita demam tifoid, namun

13

Page 14: Skenario 1 Blok 8

tidak selalu. Dalam kasus, pasien mengalami leukopenia akibat supresi sumsum

tulang oleh S. typhi.

Penderita sebelumnya dicurigai infeksi, dan sudah diberi antibiotik oleh

dokter puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Hal ini mungkin terjadi akibat

resistensi penderita terhadap jenis antibiotik tertentu. Apabila terjadi resistensi,

sebaiknya dipilihkan obat lain yang belum resisten, atau digunakan kombinasi

minimal dua jenis antibiotik yang mekanisme kerjanya berbeda. Kombinasi

antibiotik seperti ini sering dilakukan untuk terapi tuberculosis yang resisten.

Adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adalah sebagai

penyingkir diferensial diagnosis yang dirumuskan sementara. Pemeriksaan Widal

yang positif dan kultur darah Salmonella yang positif sudah dapat digunakan

untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi, adanya hasil kultur darah

yang negatif belum menyingkirkan diagnosis demam tifoid, karenan mungkin

disebabkan beberapa hal: telah mendapat terapi antibiotik, volume darah kurang

(saat pemeriksaan), adanya riwayat vaksinasi, atau saat pengambilan darah setelah

minggu pertama, pada saat aglutinin meningkat.

Transmisi kuman mungkin ditularkan dari/ke teman satu kos pasien.

Makanan dan minuman yang terkontaminasi khususnya S. Typhi, bisa berada

dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme masuk ke dalam vehicle

yang cocok (daging, kerang, dll) akan berkembang biak hingga mencapai dosis

infektif, carier manusia merupakan sumber infeksi.

Banyaknya tikus belum diketahui adakah hubungannya dengan penyakit

pasien, hanya saja menjadikan Pes yang vektornya adalah rodensia mejadi

diagnosis banding terhadap gejala yang timbul pada pasien, yaitu Leptospirosis.

Walaupun pada leptospirosis ikterus yang terjadi sangat menonjol, dan jarang

terjadi splenomegali, namun untuk memastikan diagnosis, direncanakan

dilaksanakan pemeriksaan MAT.

14

Page 15: Skenario 1 Blok 8

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mahasiswa tersebut kemungkinan menderita demam typhoid berdasarkan

gejala klinis.

2. Hasil pemeriksaan penunjang yang diharapkan; Widal (+), MAT (-).

3. Diagnosis Banding berupa malaria dan leptospirosis dapat disingkirkan

dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.

4. Ketidakberhasilan antibiotik mungkin disebabkan karena pasien resisten

atau kesalahan penggunaan narrow-spectrum antibiotik.

B. Saran

1. Adanya diagnosis yang mengarah ke demam typhoid, maka sebaiknya

pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes Widal.

2. Penggunaan antibiotik spectrum sempit sebaiknya digunakan setelah agen

infeksius diketahui dengan pasti.

3. Pasien dianjurkan untuk lebih menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya

agar tidak terjangkit kuman yang bersarang di tempat-tempat kotor.

15

Page 16: Skenario 1 Blok 8

DAFTAR PUSTAKA

Agus S,[dkk-Staff Pengajar FKUI] 1994, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran,

Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, pp: 168-73.

Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu IW, Wiwiek S,… [et. al.] 2007, Kapita

Selekta Kedokteran, jilid 1, edisi III, Penerbit Media Aesculapius, Jakarta,

pp: .

Chin, James (Ed.) 2000, Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17, editor &

penterjemah: I Nyoman Kandun, hh: 556-67.

Djoko Widodo 2006, Demam Tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

Edisi 4, Jilid III, Penerbit IPD FK UI, Jakarta, pp: 1752-7.

Hadi, Usman. 2007. Resistensi Antibiotik In : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1

Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI.

hal. 1703 – 1706

Nelwan, RHH. 2007. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional di Klinik In : Buku

Ajar Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan

Departemen Penyakit Dalam FK UI. hal. 1700 - 1702

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat – Obat Penting Edisi VI.

Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Widoyono 2008, Penyakit Tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan, dan

pemberantasannya, editor: Amalia S, Rina A, Penerbit Erlangga, Jakarta,

pp: 34-6.

16