resusitasi awal pada syok hemoragik

16
WORLD JOURNAL OF EMERGENCY SURGERY Review Resusitasi Awal Pada Syok Hemoragik Michael M Krausz Dipublikasikan : 27 April 2006 World Journal of Emergency Surgery 2006, I:14 doi:10.1186/1749-7922- 1-14 Artikel ini terdapat pada : http://www.wjes.org/content/1/1/14 Abstrak Tindakan pertama dari syok hemoragik adalah dengan mengontrol sumber perdarahan secepat mungkin dan mengganti cairan yang hilang. Pada syok hemoragik yang terkontrol dimana sumber perdarahan telah ditekan, penggantian cairan bertujuan untuk mencapai hemodinamik normal. Pada syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana perdarahan untuk sementara waktu terhenti akibat terjadinya hipotensi, vasokonstriksi, dan pembekuan darah, penggantian cairan bertujuan untuk pemulihan denyut nadi radialis atau pemulihan kesadaran atau memperoleh tekanan darah 80 mmHg dengan memberikan 250 ml cairan Ringer laktat ( resusitasi hipotensi ). Jika waktu evakuasi kurang dari 1 jam (biasanya pada kecelakaan di daerah perkotaan), diindikasikan untuk melakukan evakuasi yang segera ke tempat dengan fasilitas operasi setelah airway dan breathing ( A, B ) ditangani. Waktu yang berharga tidak dibuang dengan memasang infus intravena. Jika waktu evakuasi melebihi 1 jam, pasang infus intravena dan mulai terapi cairan sebelum melakukan evakuasi. Cairan kristaloid dan transfusi darah merupakan terapi utama pre-hospital dan in-hospital pada syok hemoragik. Pada pre-hospital, terdapat empat jenis cairan yang saat ini

Upload: wiwidhipw18

Post on 25-Sep-2015

20 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

syok

TRANSCRIPT

Abstrak

WORLD JOURNAL OF EMERGENCY

SURGERY

Review

Resusitasi Awal Pada Syok Hemoragik

Michael M Krausz

Dipublikasikan : 27 April 2006

World Journal of Emergency Surgery 2006, I:14 doi:10.1186/1749-7922-1-14

Artikel ini terdapat pada : http://www.wjes.org/content/1/1/14

Abstrak

Tindakan pertama dari syok hemoragik adalah dengan mengontrol sumber perdarahan secepat mungkin dan mengganti cairan yang hilang. Pada syok hemoragik yang terkontrol dimana sumber perdarahan telah ditekan, penggantian cairan bertujuan untuk mencapai hemodinamik normal. Pada syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana perdarahan untuk sementara waktu terhenti akibat terjadinya hipotensi, vasokonstriksi, dan pembekuan darah, penggantian cairan bertujuan untuk pemulihan denyut nadi radialis atau pemulihan kesadaran atau memperoleh tekanan darah 80 mmHg dengan memberikan 250 ml cairan Ringer laktat ( resusitasi hipotensi ). Jika waktu evakuasi kurang dari 1 jam (biasanya pada kecelakaan di daerah perkotaan), diindikasikan untuk melakukan evakuasi yang segera ke tempat dengan fasilitas operasi setelah airway dan breathing ( A, B ) ditangani. Waktu yang berharga tidak dibuang dengan memasang infus intravena. Jika waktu evakuasi melebihi 1 jam, pasang infus intravena dan mulai terapi cairan sebelum melakukan evakuasi.

Cairan kristaloid dan transfusi darah merupakan terapi utama pre-hospital dan in-hospital pada syok hemoragik. Pada pre-hospital, terdapat empat jenis cairan yang saat ini direkomendasikan : cairan kristaloid, cairan koloid, hipertonik salin, pengganti darah pengangkut oksigen. Pada syok hemoragik yang tidak stabil dan tidak berespon, terapi pembedahan harus dilakukan secepat mungkin untuk mengontrol sumber perdarahan.

Syok hemoragik didefinisikan sebagai suatu kondisi berkurangnya perfusi ke organ vital yang mengarah ke transpor oksigen dan nutrisi yang tidak adekuat yang dibutuhkan untuk fungsi sel dan jaringan normal. Pemahaman terhadap patofisiologi syok telah mengalami peningkatan yang signifikan pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Claude Bernard mengatakan bahwa makhluk hidup mencoba untuk mempertahankan milieu interie ( homeostasis ) dari tekanan/serangan luar yang mencoba untuk mengganggunya.

Walter B. Cannon memperkenalkan istilah homeostasis untuk menggambarkan dipertahankannya keseimbangan di dalam lingkungan internal, dan menyebabkan hipotensi terkontrol dengan tujuan untuk mengurangi perdarahan internal pada perdarahan tidak terkontrol sebelum mengontrol pembuluh darah.

Alfred Blalock pada tahun 1934 mengusulkan empat kategori syok : hipovolemik, vasogenik (septik), kardiogenik, dan neurogenik. Syok hipovolemik merupakan tipe yang paling sering ditemui merupakan hasil dari hilangnya volume darah sirkulasi akibat hilangnya whole blood (syok hemoragik), plasma, cairan interstisial, atau kombinasi.

Pada tahun 1947 Wiggers mengembangkan syok hemoragik terkontrol bertingkat pada model hewan dengan cara mengambil kumpulan darah ke dalam reservoir untuk mempertahankan tingkat hipotensi yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Model klasik ini digunakan oleh G. Tom Shires pada tahun 1960 dan 1970 untuk mendemonstrasikan kekurangan cairan ekstraseluler yang besar terjadi pada syok hemoragik berat yang berkepanjangan dimana hal ini lebih berat dari yang bisa diisikan pada vaskuler. Hanya infus dari darah dan RL yang menggantikan defisit cairan ekstraseluler, sel darah merah, volume plasma. Berdasarkan data ini,dibahas bahwa adalah lebih penting untuk meningkatkan curah jantung dan pengangkutan O2 untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi mikrovaskuler daripada memperhatikan resiko perdarahan. Oleh karena itu penderita trauma dengan perdarahan hipotensi sebaiknya menerima jumlah cairan yang besar dalam waktu singkat.

Resusitasi cairan secara agresif selama perang vietnam dengan sel darah merah,plasma dan cairan kristaloid menjadikan beberapa korban yang sebelumnya hampir dipastikan mati akibat syok hemoragik dapat bertahan hidup. Gagal ginjal menjadi masalah klinik yang lebih jarang terjadi, fungsi organ vital menjadi lebih baik, tetapi kegagalan paru fulminan atau yang disebut DaNang Lung atau Sindrom distres pernapasan akut nampaknya menjadi penyebab kematian tercepat setelah pendarahan berat.

Studi tambahan pada grup ini menunjukkan bahwa pemanjangan waktu hipotensi pada perdarahan berhubungan dengan cedera mikrovaskuler yang ditandai dengan defisit cairan ekstraseluler yang hanya dapat dikoreksi dengan pemberian kristaloid isotonik dengan jumlah 2 3 kali dari perkiraan kehilangan darah untuk dapat mempertahankan hidup. Hal ini merupakan dasar dari dogma yang dikenal pada saat ini 3 to 1 rule dalam penatalaksanaan syok hemoragik, yang diadopsi dari ATLS dalam penatalaksanaan trauma. Disarankan penatalaksanaan awal syok hemoragik meliputi pengawasan primer perdarahan luar dan pemberian cairan intravena kristaloid sebanyak 2000 ml melalui kateter berdiameter besar.

Namun demikian pada praktek ini telah dilakukan percobaan klinik dan eksperimen pada hewan dengan syok hemoragik yang tidak terkontrol. Dilakukan pengawasan bahwa usaha untuk meningkatkan tekanan ke normal dengan cara resusitasi cairan secara agresif pada syok hemoragik tidak terkontrol menghasilkan peningkatan perdarahan dari pembuluh darah yang terluka, dekompensasi hemodinamik, dan peningkatan kematian jika dibandingkan dengan tidak dilakukan resusitasi cairan atau dengan resusitasi hipotensi

Perbedaan pokok pada respon hemodinamik antara syok hemoragik yang terkontrol dimana sumber perdarahan telah ditekan dengan syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana perdarahan untuk sementara waktu berhenti akibat hipotensi, vasokonstriksi, dan pembentukan trombus, merupakan dasar pedoman kita untuk resusitasi cairan pada kecelakaan militer maupun sipil.

Pada syok hemoragik yang terkontrol dimana sumber perdarahan eksternal telah dihambat, seperti pada syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana perdarahan untuk sementara waktu berhenti akibat hipotensi, jika waktu evakuasi diperkirakan kurang dari satu jam ( biasanya pada kecelakaan di daerah perkotaan ), diindikasikan melakukan evakuasi yang cepat ke tempat dengan fasilitas operasi setelah airway dan breathing ditangani. Waktu yang berharga tidak dibuang dengan memasang infus sebelum evakuasi tetapi dapat dipasang pada perjalanan menuju fasilitas medis.

Jika waktu evakuasi lebih lama dari satu jam, pemasangan infus dan resusitasi cairan dimulai sebelum evakuasi.

Resusitasi cairan pada syok hemoragik yang terkontrol ditujukan ke arah tercapainya hemodinamik normal, berbeda dengan syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana hemostasis tidak dapat dicapai dengan aman, evakuasi yang cepat ke tempat dengan fasilitas operasi merupakan langkah penanganan yang paling penting setelah airway dan breathing diamankan. Jika trasportasi telah tersedia, terapi cairan dapat dimulai selama evakuasi.

Berdasarkan pedoman Israeli Defense Forces (IDF) resusitasi cairan pada syok hemoragik yang terkontrol bertujuan kepada normalisasi hemodinamik, berbeda dengan syok hemoragik yang tidak terkontrol dimana resusitasi hipotensi yang utama adalah operasi dan pengobatan dimulai jika satu dari ketiga parameter ini didapatkan :

1. Perubahan kesadaran

2. Denyut radialis tidak dapat dipalpasi

3. Tekanan darah sistolik turun di bawah 80 mmHg

Terapi cairan tidak termasuk pemberian awal cairan Ringer Laktat 2000 ml secara otomatis seperti yang direkomendasikan oleh pedoman ATLS, melainkan pemberian 250 ml berulang dengan pemantauan berkelanjutan, menghasilkan tekanan darah sistolik 80 mmHg, terabanya denyut radialis, atau sadar kembali. Pada beberapa studi telah didemonstrasikan bahwa prognosis dari cedera otak secara primer tergantung pada perfusi serebral. Oleh karena itu direkomendasikan pada cedera sistem saraf pusat dengan syok hemoragik, terapi cairan bertujuan untuk mencapai tekanan darah sistolik 100 mmHg.

Infus cairan secara agresif untuk mencapai hemodinamik normal tidak dibenarkan pada syok hemoragik yang tidak terkontrol karena dapat memperbarui perdarahan internal. Resusitasi cairan masif tidak diberikan hingga waktunya dilakukan pembedahan. Jika waktu transportasi ke tempat dengan fasilitas kesehatan melebihi satu jam, evaluasi hemodinamik diulang setiap 15 menit, dan jika tekanan darah sistolik turun di bawah 80 mmHg, denyut radialis tidak dapat dipalpasi, atau penurunan kesadaran, diberikan infus Ringer laktat 250 ml dengan tujuan untuk mempertahankan tekanan darah ini.

Jenis cairan infus

Infus cairan kristaloid dan transfusi darah merupakan jalur utama perawatan pre hospital dan in-hospital pada syok hemoragik berat. Darah diperlukan untuk memenuhi kapasitas oksigen transpor, tetapi biasanya tidak langsung tersedia di pre-hospital karena memerlukan pendinginan dan penggolongan. Pada pre-hospital terdapat empat jenis cairan yang direkomendasikan untuk penanganan syok hemoragik.

1. Kristaloid

Cairan Ringer Laktat adalah cairan isotonis yang paling sering dan banyak digunakan untuk resusitasi cairan pada syok hemoragik. Ringer laktat sangat aman dan murah, dengan cepat menyeimbangkan seluruh kompartemen ekstraseluler, mengganti kekurangan cairan ekstraseluler akibat kehilangan darah. Karena cepat dalam menyeimbangkan cairan ekstraseluler, maka dibutuhkan jumlah yang lebih besar dalam resusitasi, menghasilkan penurunan tekanan onkotik intravaskuler. Meskipun penggunaan kristaloid sering diberikan untuk resusitasi pada pasien dengan kehilangan darah akut, beberapa studi mempertanyakan hubungan antara efek regimen resusitasi pada aspek respon imun dengan syok hemoragik. Rhee telah meneliti bahwa Ringer Laktat mengeksaserbasi aktifitas superoksid neutrofil dan meningkatkan sifat adheren neutrofil. Selain itu, resusitasi kristaloid secara agresif diikuti dengan meningkatnya aktifitas sitokin termasuk IL-1, IL-6, dan TNF. Keuntungan dari penggunaan RL yaitu dengan adanya bikarbonat sebagai hasil metabolisme laktat terhadap CO2 dan H2O, tidak seperti bikarbonat cairan RL tidak mempresipitasi kalsium ketika ditambahkan ke dalam cairan intravena.

2. Cairan koloid

Penggunaan cairan koloid yang bertahan pada kompartemen intravaskuler telah disarankan untuk syok hemoragik. Banyak cairan koloid telah dipelajari dalam praktek klinik termasuk human albumin, HES dan dextran . Karena cairan koloid menetap pada kompartemen intravaskuler, volume yang dibutuhkan juga sedikit dalam meresusitasi cairan untuk menstabilkan hemodinamik dibanding cairan kristaloid. Namun demikian koloid lebih mahal, dapat mengikat dan menurunkan kalsium serum, menurunkan tingkat imunoglobulin sirkulasi, dan lebih berkompromi terhadap kekurangan volume cairan ekstraseluler dibanding menggantinya. Beberapa studi klinik dan eksperimen telah membandingkan cairan koloid dan kristaloid. Tidak ada bukti klinik yang dapat menunjukkan bahwa dengan resusitasi cairan isotonis berhubungan dengan efek yang berbahaya pada fungsi paru ketika dituntun dengan parameter hemodinamik. Tidak ada efek protektif koloid pada fungsi paru setelah resusitasi, namun koloid menghasilkan ekspansi intravaskuler lebih baik dibandingkan cairan kristaloid. Cairan koloid direkomendasikan dalam situasi-situasi militer terutama untuk resusitasi dalam penanganan perdarahan. Sedangkan cairan kristaloid harus dibatasi berat dan volumenya ketika petugas kesehatan membawanya ke lapangan. Dengan itu jumlah RL yang ditransportasikan ke garis depan tidak mencukupi dan mempengaruhi keberhasilan resusitasi di garis depan. Selain itu, pada medan peperangan, pasien dengan syok hemoragik mengalami dehidrasi, sehingga menjadi salah satu masalah tambahan untuk keberhasilan resusitasi.

3. Cairan hipertonis

Studi klinik dan eksperimen menunjukkan sejumlah kecil hipertonik salin(5ml/kg NaCl 7,5%) dengan atau tanpa dextran dapat menjadi cairan resusitasi awal yang efektif. Cairan hipertonik meningkatkan aliran mikrovaskuler, mengontrol tekanan intrakranial, menstabilkan tekanan arteri dan cardiac output dengan jumlah kecil infus tanpa efek merusak fungsi imun.Berdasarkan keamanan dan kemanjuran hipertonik salin, dengan kebutuhan yang sederhana,volume yang terbatas yang dapat dibawa di lapangan khususnya pada bidang militer dan biaya yang relatif murah, komite Fluid Resuscitation for Combat Casualties of thr Institute of Medicine menyimpulkan bahwa resusitasi cairan awal untuk perdarahan pada korban peperangan adalah 250 cc salin 7,5 % bolus dengan cepat melalui infus. Akses sistemik dapat dicapai melalui jarum intraosseus atau dengan akses intravena. Akan tetapi praktek ini baru saja deperdebatkan dalam percobaan klinik seperti pada studi laboratorium untuk syok hemoragik tidak terkontrol. Meta analisis dari studi klinik perawatan dengan hipertonik salin pada syok perdarahan menunjukkan peningkatan tekanan darah dan cardiac output tetapi tidak ada perkembangan yang signifikan dalam meningkatkan pertahanan hidup. Studi pada hewan dengan pemberian salin hipertonik pada syok hemoragik yang tidak terkontrol menghasilkan cedera sekunder pembuluh darah besar dan menyebabkan peningkatan perdarahan dari cedera pembuluh darah, dekompensasi hemodinamik, dan meningkatkan kematian. Pada syok hemoragik yang tidak terkontrol sebagai akibat sekunder dari trauma organ padat ( cedera limpa masif ), infus hipertonik salin meningkatkan hemodinamik tetapi tidak meningkatkan perdarahan dari organ yang cedera..

4. Pengganti darah pengangkut oksigen

Merupakan resusitasi cairan yang efektif yang dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen tanpa masalah penyimpanan, kecocokan dan penularan penyakit yang berhubungan dengan transfusi darah standar. Penggantian darah yang mengangkut oksigen secara umum dibagi dalam dua tipe : pengangkut oksigen sintetik berdasarkan fluorokarbon dan produk hemoglobin human atau non human berikatan silang bebas stroma. Emulsi fluorokarbon mudah dihasilkan, memiliki daya tahan lama, dan sedikit efek infeksi serta imunologik yang minimal. Kerugian potensial termasuk kebutuhan FiO2 yang tinggi dan klirens plasma yang cepat. Pengangkut oksigen berdasar hemoglobin memiliki kemampuan mengangkut oksigen yang tinggi, efek onkotik yang cukup besar dan pemanjangan daya tahan. Kerugiannya adalah waktu paruh plasma yang pendek, potensial keracunan pada ginjal, efek hipertensi dan potensial dalam efek imunologik. Percobaan lebih jauh untuk menentukan dosis yang optimal, kemanjuran, keamanan dan efek samping harus menjadi perhatian sebelum pengganti darah pembawa oksigen diberikan pada praktek klinik.

Setelah oksigenasi dan volume sirkulasi diperbaiki, maka perlu dilakukan reevaluasi pada situasi klinik. Tanda vital, status mental, pengeluaran urin dan pengisian kapiler sebaiknya dinilai secara teratur selama resusitasi. Permulaan monitoring sentral diindikasikan jika respon resusitasi awal kurang dari yang diharapkan atau kehilangan darah terus berlanjut. Darah seharusnya digambarkan untuk menilai status hematologi, koagulasi, elektrolit dan metabolik. Gangguan elektrolit dan metabolik serta koagulasi harus dikoreksi. Gas darah arterial harus diperiksa untuk menentukan keberhasilan oksigenasi. Penatalaksanaan dalam oksigenasi, ventilasi, pH dan keseimbangan elektrolit harus didasarkan pada evaluasi klinik dan pemeriksaan laboratorium. Komponen darah dapat juga digunakan pada tingkat ini untuk mengganti defisiensi yang teridentifikasi.

Kebanyakan kasus syok hemoragik yang tidak berespon terhadap terapi cairan pada pasien trauma diakibatkan kehilangan darah yang terus berlanjut atau karena disfungsi miokard. Selagi dilakukan stabilisasi pada sirkulasi, seharusnya juga segera dilakukan penghentian perdarahan. Pemulihan tekanan darah normal yang agresif tanpa menghentikan perdarahan internal dapat meningkatkan kehilangan darah lebih banyak lagi dengan meningkatnya aliran darah dan mengganggu koagulasi pada tempat luka. Hipotensi ringan sampai sedang menyebabkan pembentukan bekuan darah dan memperlambat perdarahan dari pembuluh darah yang terluka. Korban kecelakaan dengan hemodinamik yang tidak stabil sebaiknya dibawa ke tempat operasi secepat mungkin dan sumber perdarahan diidentifikasi dengan tepat dan ditekan.