resusitasi pada syok perdarahan akibat trauma edit

33
RESUSITASI PADA SYOK PERDARAHAN AKIBAT TRAUMA Oleh: Benny Arie Pradana 0910710005 Andreas Budi Wijaya 0910710002 Pembimbing: dr. Wiwi Jaya Sp.An LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: thoriq-affandi

Post on 23-Dec-2015

79 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

RESUSITASI PADA SYOK PERDARAHAN AKIBAT TRAUMA

Oleh:

Benny Arie Pradana 0910710005

Andreas Budi Wijaya 0910710002

Pembimbing:

dr. Wiwi Jaya Sp.An

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2015

Page 2: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

BAB I

PENDAHULUAN

Syok hemoragik atau perdarahan merupakan sebuah kondisi dimana terjadi

penurunan perfusi jaringan, menghasilkan hantaran oksigen-nutrien yang inadekuat,

yang dibutuhkan untuk fungsi seluler. Ketika kebutuhan oksigen seluler meningkat

terlalu drastis, sel dan organisme akan berada dalam kondisi syok. Syok hipovolemik

merupakan jenis yang tersering, dimana hal ini dipicu oleh hilangnya sejumlah darah

yang bersirkulasi, misalnya akibat trauma penetrasi maupun benda tajam, perdarahan

gastrointestinal dan juga perdarahan obstetrik. Manusia mampu mengkompensasi

perdarahan yang terjadi melalui berbagai mekanisme neural dan hormonal 1.

Secara umum, respon tubuh terhadap suatu perdarahan akut adalah dengan

mengalihkan volume sirkulasi menuju ke organ-organ vital supaya fungsinya tetap

dipertahankan baik. Perdarahan akut menimbulkan penurunan cardiac output dan juga

pulse pressure. Dengan adanya penurunan volume di sirkulasi, reflek neural

menimbulkan suatu peningkatan stimulasi simpatis ke jantung dan organ lain. Karena

hal ini, maka terjadi peningkatan denyut jantung, vasokonstriksi, redistribusi darah

menuju organ-organ vital. Respon hormonal terhadap terjadinya perdarahan akut

berupa stimulasi corticotropin releasing hormone secara langsung. Hal ini akan

merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorfin 2.

Otak juga memiliki autoregulasi terhadap kejadian perdarahan akut, dimana

aliran CBF (Cerebral Blood Flow) akan dijaga tetap konstan. Ginjal dapat mentoleransi

penurunan aliran darah ke ginjal hingga 90% selama periode yang singkat, saat terjadi

perdarahan akut. Dengan penurunan volume sirkulasi yang signifikan, aliran darah

menuju usus halus juga berkurang oleh karena vasokonstriksi pembuluh darah

splanchnic. Resusitasi yang tepat dan cepat (early resuscitation) dapat meminimalkan

terjadinya kerusakan organ yang bermakna, pasca mekanisme adaptif dari tubuh

terhadap perdarahan akut 1.

Page 3: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

Setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap syok hemoragik,

bergantung pada keadaan fisiologis tubuh dan juga terkait dengan usia pasien. Usia

yang amat muda maupun amat tua sangat rentan untuk mengalami dekompensasi dini

(syok) pasca perdarahan akut. Pasien anak-anak memiliki total volume darah yang

lebih kecil, dan oleh sebab itu, anak-anak sangat berisiko kehilangan darah yang lebih

besar jika dibandingkan dengan pasien dewasa (equivalent volume basis). Ginjal anak

dibawah 2 tahun belum matur, sehingga belum mampu memekatkan cairan secara

optimal 2..

Di sisi lain, pasien, lanjut usia dapat memiliki pre-existing medical condition serta

perubahan secara fisiologis yang dapat mengganggu kemampuan tubuh dalam

mengkompensasi perdarahan akut. Aterosklerosis, penurunan elastin menyebabkan

pembuluh darah arteri kurang elastis sehingga mekanisme kompensasi vaskular tubuh

saat perdarahan akut menjadi tidak optimal. Ginjal pasien lanjut usia juga mulai

mengalami age-related atrophy serta penurunan creatinine clearance (walaupun serum

kreatininnya mendekati normal). Kemampuan memekatkan urin juga menjadi berkurang

akibat insensitivitas relatif terhadap vasopressin (antidiuretik). Perubahan ini semua

dapat memunculkan early decompensation pasca perdarahan akut 2. Fakta ini

menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga medis dalam penanganan pasien geriatri

dengan perdarahan, apalagi bagi yang telah memiliki kondisi komorbid. Karena itu,

masih dibutuhkan optimasi usaha resusitasi yang efektif dan efisien dalam penanganan

syok perdarahan pasca trauma.

Page 4: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemologi

Syok hemoragik atau perdarahan merupakan sebuah kondisi dimana terjadi

penurunan perfusi jaringan, menghasilkan hantaran oksigen-nutrien yang inadekuat,

yang dibutuhkan untuk fungsi seluler. Ketika kebutuhan oksigen seluler meningkat

terlalu drastis, sel dan organisme akan berada dalam kondisi syok. Pada tingkat

multiseluler, definisi syok menjadi lebih sulit karena tidak semua organ dan jaringan

menunjukkan gangguan klinis akibat ketidakseimbangan oksigen. Secara umum,

keadaan syok dibedakan ke dalam 4 kelas: hipovolemik, vasogenik/septik, kardiogenik

dan neurogenik. Syok hipovolemik merupakan jenis yang tersering, dimana hal ini

dipicu oleh hilangnya sejumlah darah yang bersirkulasi, misalnya akibat trauma

penetrasi maupun benda tajam, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan obstetrik.

Manusia mampu mengkompensasi perdarahan yang terjadi melalui berbagai

mekanisme neural dan hormonal 1.

Setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap syok hemoragik,

bergantung pada keadaan fisiologis tubuh dan juga terkait dengan usia pasien. Usia

yang amat muda maupun amat tua sangat rentan untuk mengalami dekompensasi dini

(syok) pasca perdarahan akut. Pasien anak-anak memiliki total volume darah yang

lebih kecil, dan oleh sebab itu, anak-anak sangat berisiko kehilangan darah yang lebih

besar jika dibandingkan dengan pasien dewasa (equivalent volume basis). Ginjal anak

dibawah 2 tahun belum matur, sehingga belum mampu memekatkan cairan secara

optimal.Anak-anak tersebut juga belum memiliki kemampuan pengaturan volume

sirkulasi seefektif orang dewasa.Luas permukaan tubuh yang meningkat relatif terhadap

pertambahan berat badan menyebabkan kemungkinan hilangnya panas secara cepat

dan hipotermia dini, sehingga menginisiasi terjadinya koagulopati 2.

Di sisi lain, pasien, lanjut usia dapat memiliki pre-existing medical condition serta

perubahan secara fisiologis yang dapat mengganggu kemampuan tubuh dalam

mengkompensasi perdarahan akut. Aterosklerosis, penurunan elastin menyebabkan

pembuluh darah arteri kurang elastis sehingga mekanisme kompensasi vaskular tubuh

Page 5: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

saat perdarahan akut menjadi tidak optimal. Selain itu, terjadi penurunan vasodilatasi

arteriol jantung dan angina/infark ketika oxygen demand miokardium meningkat drastis.

Pasien tua lebih sulit memunculkan respon takikardi saat terjadi penurunan volume

sekuncup (stroke volume), dimana hal ini dikarenakan penurunan reseptor beta

adrenergik di jantung dan penurunan volume pacing myocytes yang aktif di nodus

sinoatrial. Penggunaan obat kardiotropik (beta adrenergik blocker, nitrogliserin, calcium

channel blocker, antiaritmia) juga menurunkan respon fisiologis tubuh terhadap syok 2

2.2 Patofisiologi

Secara umum, respon tubuh terhadap suatu perdarahan akut adalah dengan

mengalihkan volume sirkulasi menuju ke organ-organ vital supaya fungsinya tetap

dipertahankan baik. Perdarahan akut menimbulkan penurunan cardiac output dan juga

pulse pressure 1. Perubahan ini akan dideteksi oleh baroreseptor yang terletak pada

arkus aorta dan atrium. Dengan adanya penurunan volume di sirkulasi, reflek neural

menimbulkan suatu peningkatan stimulasi simpatis ke jantung dan organ lain. Karena

hal ini, maka terjadi peningkatan denyut jantung, vasokonstriksi, redistribusi darah

menuju organ-organ vital. Respon hormonal terhadap terjadinya perdarahan akut

berupa stimulasi corticotropin releasing hormone secara langsung. Hal ini akan

merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorfin 2.

Vasopressin dari kelenjar hipofisis anterior akan menyebabkan retensi cairan

pada tubulus distalis. Renin akan dilepaskan oleh kompleks juxtamedullary sebagai

respon terhadap penurunan MAP (Mean Arterial Pressure). Akibatnya, kadar aldosteron

di dalam darah ikut meningkat dan menyebabkan resorpsi air dan natrium. Kondisi

hiperglikemia juga berkaitan dengan perdarahan akut. Glukagon dan hormon

pertumbuhan (GH) akan menginduksi peningkatan glukoneogenesis derta glikogenolisis

saat terjadi perdarahan akut. Katekolamin yang bersirkulasi akan menghambat

pelepasan serta aktivitas insulin, yang juga akan meningkatkan gula darah 2.

Otak juga memiliki autoregulasi terhadap kejadian perdarahan akut, dimana

aliran CBF (Cerebral Blood Flow) akan dijaga tetap konstan. Ginjal dapat mentoleransi

penurunan aliran darah ke ginjal hingga 90% selama periode yang singkat, saat terjadi

perdarahan akut. Dengan penurunan volume sirkulasi yang signifikan, aliran darah

Page 6: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

menuju usus halus juga berkurang oleh karena vasokonstrksi pembuluh darah

splanchnic. Resusitasi yang tepat dan cepat (early resuscitation) dapat meminimalkan

terjadinya kerusakan organ yang bermakna, pasca mekanisme adaptif dari tubuh

terhadap perdarahan akut 1.

Ginjal pasien lanjut usia juga mulai mengalami age-related atrophy serta

penurunan creatinine clearance (walaupun serum kreatininnya mendekati normal).

Kemampuan memekatkan urin juga menjadi berkurang akibat insensitivitas relatif

terhadap vasopressin (antidiuretik). Perubahan ini semua dapat memunculkan early

decompensation pasca perdarahan akut 2.

2.3 Gejala Klinis

Secara umum, tanda dan gejala dari syok perdarahan adalah peningkatan dari

laju pernafasan dan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan keluaran urin,

hingga pada perubahan status mental. Syok perdarahan yang merupakan syok

hipovolemik dapat dikategorikan menjadi beberapa derajat seperti pada tabel dibawah:

Tabel 1. Efek Fisiologis pada Perdarahan Akut3

Beberapa gejala klinis yang lebih spesifik terkait penyebab dari syok perdarahan

dapat diketahui mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan.

Anamnesis harus membahas hal-hal berikut 4:

1. Rincian spesifik mekanisme trauma atau penyebab lain perdarahan.

2. Riwayat gangguan perdarahan dan pembedahan sebelumnya.

3. Intervensi pra-rumah sakit, terutama pemberian cairan, dan perubahan tanda-

tanda vital harus ditentukan.

Page 7: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

Berdasarkan hasil pemeriksaaan fisik 3,4

Untuk pemeriksaan kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan:

1. Sumber perdarahan biasanya terlihat jelas.

2. Pasokan darah kulit kepala sangat kaya dan dapat menghasilkan perdarahan

yang signifikan.

3. Perdarahan intrakranial biasanya tidak cukup untuk menghasilkan syok, kecuali

mungkin pada individu yang sangat muda.

Untuk pemeriksaan thoraks 3,4

1. Perdarahan ke dalam rongga dada (pleural, mediastinum, perikardial) dapat

dikonfirmasi pada pemeriksaan fisik.

2. Tanda-tanda hemothorax mungkin termasuk gangguan pernapasan, penurunan

suara nafas, dan dullness pada perkusi.

3. Tension hemothorax, atau hemothorax dengan kompresi jantung paru,

menghasilkan distensi vena jugularis, instabilitas hemodinamik, dekompensasi

pernapasan.

4. Tamponade perikardial, trias klasik suara jantung yang menurun, distensi vena

jugularis, dan hipotensi sering ada, tetapi tanda-tanda ini mungkin sulit untuk

diperhatikan dalam situasi resusitasi akut.

Untuk pemeriksaan abdomen 3,4

1. Trauma pada hati atau limpa merupakan penyebab umum syok perdarahan.

Pecahnya aneurisma aorta abdominal (AAA) secara spontan juga dapat

menyebabkan perdarahan intra-abdominal yang parah hingga terjadi syok.

2. Darah yang mengiritasi peritoneum menyebabkan kekakuan yang tersebar

keseluruh abdomen, sebagai suatu peritonitis generalisata. Namun, pasien

dengan perubahan status mental atau multipel trauma bersamaan mungkin tidak

memiliki tanda-tanda klasik dan gejala khas pada pemeriksaan fisik.

3. Distensi abdomen progresif dalam syok perdarahan patut dicurigai adanya

perdarahan intra-abdominal.

Untuk pemeriksaan pelvis 3,4

1. Fraktur di daerah pelvis dapat menghasilkan perdarahan masif, dimana

kecurigaan adanya perdarahan retroperitoneal harus tetap dipikirkan.

Page 8: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

2. Adanya flank ecchymoses dapat menunjukkan suatu perdarahan retroperitoneal.

Untuk pemeriksaan ekstremitas 3,4

1. Perdarahan pasca trauma ekstremitas dapat terlihat, dimana adanya jaringan

yang tertutup dapat mengaburkan perdarahan yang signifikan.

2. Fraktur femoralis dapat menghasilkan kehilangan darah yang signifikan.

Untuk pemeriksaan neurologis 3,4

1. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan.

2. Tanda-tanda ini diikuti oleh penurunan progresif tingkat kesadaran akibat

hipoperfusi serebral atau trauma kepala yang terjadi secara bersamaan.

2.4 Manajemen Syok Perdarahan

Terapi dan manajemen dari syok perdarahan meliputi manajemen pra rumah

sakit dan saat dirumha sakit, untuk prinsip-prinsip terapi pra rumah sakit dan di rumah

sakit akan dijelaskan pada poin-poin dibawah ini 3:

1. Perawatan pra-rumah sakit

Perawatan standar terdiri dari penilaian cepat dan transportasi cepat ke

rumah sakit yang sesuai untuk evaluasi dan perawatan definitif. Akses intravena

dan resusitasi cairan harus mulai dilakukan, yang mana hal ini merupakan

tindakan standar. Namun, praktik ini masih menjadi kontroversi, dimana selama

bertahun-tahun, pemberian cairan yang agresif dianjurkan untuk menormalkan

hipotensi yang berhubungan dengan syok perdarahan yang berat. Namun,

penelitian terbaru pada pasien dengan trauma penetrasi telah menunjukkan

adanya kenaikan angka kematian pasca intervensi tersebut. Hal inilah yang

kemudian menimbulkan pertanyaan terhadap langkah tersebut 3.

Perbaikan hipotensi sebelum pencapaian hemostasis dapat meningkatkan

perdarahan, mengeluarkan clot yang telah terbentuk, dan mengencerkan faktor

pembekuan yang ada. Temuan dari studi hewan yang mengalami perdarahan

yang tidak terkendali mendukung teori tersebut. Hasil ini mendukung

kemungkinan bahwa hipotensi secara fisiologis bersifat protektif dan dapat

diterima, sampai perdarahan dapat dikendalikan 3.

Page 9: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

2. Perawatan di IRD Rumah Sakit

Pengelolaan syok perdarahan harus diarahkan untuk mengoptimalkan

perfusi dan pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Diagnosis dan pengobatan

perdarahan yang mendasari harus dilakukan dengan cepat dan bersamaan

dengan manajemen syok. Terapi suportif, termasuk pemberian oksigen,

pemantauan, dan akses intravena (misalnya, 2 jalur vena perifer ataupun, akses

vena sentral), harus dimulai. Volume intravaskular dan kapasitas karier oksigen

harus dioptimalkan 3.

Selain kristaloid, beberapa solusi koloid, larutan hipertonik, dan karier

oksigen (misalnya, hemoglobin-based dan emulsi perfluorokarbon) sedang

ditelusur penggunaannya dalam syok perdarahan. Produk darah sering

diperlukan pada kondisi syok perdarahan berat. Penggantian komponen yang

hilang menggunakan sel darah merah, fresh frozen plasma (FFP), dan trombosit

mungkin penting. Rasio ideal sel darah merah untuk FFP tetap belum

ditentukan.Pengalaman baru-baru ini telah menunjukkan bahwa penggunaan

agresif FFP dapat mengurangi koagulopati dan meningkatkan hasil akhir 5.

Untuk lebih memahami pemilihan komponen resusitasi, meliputi cairan kristaloid,

koloid, hiperosmotik saline, beberapa komponen produk darah serta terapi farmakologis

untuk syok perdarahan, akan lebih dijabarkan seperti pada poin-poin dibawah ini:

1. Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan adalah intervensi terapi pertama pada syok perdarahan akibat

trauma.Terdapat berbagai pilihan jenis cairan untuk resusitasi. Tidak ada bukti dalam

literatur yang mendukung superioritas salah satu jenis cairan dari jenis cairan lainnya

pada pasien trauma. Dua keunggulan dari koloid daripada kristaloid adalah bahwa

koloid dapat menginduksi ekspansi tekanan onkotik plasma yang lebih besar, dan

dengan cepat dapat mencapai target yang ditentukan. Meskipun kristaloid lebih murah,

penelitian menunjukkan tidak ada manfaat yang lebih baik pada kelangsungan hidup

ketika koloid diberikan. Namun, resusitasi dengan volume besar kristaloid telah

dikaitkan dengan edema jaringan, sebuah peningkatan kejadian sindrom kompartemen

abdominal, dan asidosis metabolik hiperkloremik 5.

Page 10: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

Penelitian SAFE menunjukkan bahwa pemberian albumin aman untuk resusitasi

cairan pada pasien ICU dan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kematian pasien yang

diterapi dengan albumin dan salin. Dalam subkelompok pasien trauma, para peneliti

mengamati tren positif dalam manfaat yang lebih dari penggunaan salin atas f

penggunaan albumin. Perbedaan dalam risiko relativekematian ini timbul karena jumlah

yang lebih besar dari pasien, yang memiliki trauma dan trauma otak dan yang

meninggal setelah penggunaan acak pada kelompok terapi albumin dibandingkan

dengan kelompok yang diterapi dengan saline. Tidak ada mekanisme untuk

menjelaskan temuan ini, tetapi hy\ipo-osmolaritas rendah albumin dapat meningkatkan

resiko edema otak. Sebuah tinjauan Cochrane baru-baru ini pada pasien sakit kritis

(pasien dengan trauma, luka bakar, atau setelah operasi) melaporkan tidak ada bukti

akumulasi dari RCT terkait resusitasi dengan koloid yang mengurangi risiko kematian

dibandingkan dengan resusitasi dengan kristaloid. Pada sebuah review studi klinis pada

tahun 2002 dengan data keamanan didokumentasikan pada pasien ICU yang

menerima HES, gelatin, dekstran, atau albumin menunjukkan bahwa gangguan

koagulasi, perdarahan klinis, dan trauma ginjal akut (AKI) yang sering dilaporkan

setelah pemberian HES. Analisis ini sangat dipengaruhi oleh studi VISEP (Volume

Substitusi dan Insulin Terapi dalam penelitian Sepsis berat), di mana generasi lama dari

HES yang digunakan (200 / 0.5) dengan dosis yang melebihi dosis maksimal yang

direkomendasikan. Metaanalisis ini memperhitungkan populasi heterogen pasien

dengan strategi terapi yang berbeda. Mengingat patofisiologi yang berkaitan terkait

aktivasi peradangan antara sepsis dan trauma, penggunaan HES menimbulkan

perhatian serius sehubungan dengan keamanan pada pasien trauma 6.

Dengan demikian, ada kebutuhan penting untuk mempelajari pasien trauma yang

berada dalam kondisi syok perdarahan. Baru-baru ini, sebuah double-blind, studi acak,

terkontrol yang membandingkan 0,9% saline vs HES (HES 130 / 0.4) dilakukan dalam

pasien trauma tumpul yang diperlukan> 3 liter resusitasi cairan. Pada pasien dengan

trauma tembus (n = 67), penggunaan HES (130 / 0.4) dikaitkan dengan klirens laktat

yang lebih baik, sehingga menunjukkan resusitasi dini. Skor SOFA maksimum yang

lebih rendah dan tidak adanya trauma ginjal akut yang diamati pada kelompok HES.

Akan tetapi, pada pasien dengan trauma tumpul (n = 42), tidak ada perbedaan dalam

Page 11: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

kebutuhan cairan, kirens laktat, dan skor SOFA maksimum antara kedua kelompok.

Selain itu, kebutuhan yang lebih besar untuk darah dan produk darah dilaporkan pada

kelompok HES yang mengalamiperubahan besar dalam sistem koagulasi

(thromboelastography). Sulit untuk menarik kesimpulan, karena pasien dalam kelompok

HES mengalami trauma yang lebih parah dibandingkan pasien dalam kelompok saline;

kita harus hati-hati ketika kita menginterpretasikan hasil tersebut, karena penelitian ini

didasarkan pada ukuran sampel yang kecil 6.

Pedoman Eropa terakhir untuk pengelolaan pendarahan setelah trauma parah

merekomendasikan bahwa kristaloid harus diterapkan pada tahap awal untuk

mengobati perdarahan pada pasien trauma dan penambahan koloid harus

dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil .Di antara koloid, HES

atau gelatin yang harus yang digunakan. Pedoman disarankan menggunakan generasi

terbaru dari HES dalam batas yang ditentukan karena risiko AKI dan perubahan dalam

koagulasi 7.

Saline hipertonik (HTS) adalah regimen yang menarik dalam syok perdarahan

akibat taruma. HTS memiliki manfaat mengembangkan volume darah secara pesat

dengan administrasi volume yang reatif kecil, terutama jika digunakan dengan koloid.

HTS dapat digunakan sebagai agen hiperosmolar pada pasien dengan tekanan

intrakranial yang meningkat. Namun, HTS gagal untuk meningkatkan hasil keluaran

akhir pada RCT baru-baru ini. Tingkat kematian yang lebih tinggi diamati pada pasien

yang menerima HTS dalam subkelompok pasien yang tidak menerima transfusi darah

dalam 24 jam pertama. Untuk menjelaskan efek ini, penulis berhipotesis bahwa

administrasi SSH diluar rumah sakit bisa menutupi tanda-tanda hipovolemia dan

menunda diagnosis syok perdarahan. Akhirnya, administrasi SSH diluar rumah sakit

pada pasien dengan trauma otak traumatis yang parah tidak menghasilkan pemulihan

fungsi neurologis 7.

2. Obat Vasoaktif

Resusitasi cairan merupakan strategi pertama untuk mengembalikan tekanan arteri

pada syok perdarahan. Namun, vasopressor juga mungkin diperlukan secara transien

untuk mempertahankan kehidupan dan perfusi jaringan pada sebuah kondisi hipotensi

Page 12: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

yang persisten, bahkan ketika ekspansi fluida berlangsung dan hipovolemia belum

diperbaiki. Hal ini sangat penting, karena perfusi jaringan secara langsung terkait

dengan driving pressure (perbedaan antara tekanan di lokasi masuk dan keluar dari

kapiler), jari-jari pembuluh darah, dan kepadatan kapiler;selain itu, perfusi jaringan

berbanding terbalik dengan viskositas darah. Dengan demikian, tekanan arteri

merupakan penentu utama perfusi jaringan 5.

Norepinefrin (NE), yang sering digunakan untuk mengembalikan tekanan arteri

dalam syok septik dan perdarahan, merupakan agen sekarang direkomendasikan

menjadi pilihan selama septic syok. NE adalah agen simpatomimetik dengan

didominasi efek vasokonstriksi. NE menstimulasi α-adrenergik pada baik arteri dan

vena. Selain efek vasokonstriktor pada arteri, NE menginduksi venoconstriction

(terutama pada tingkat sirkulasi splanknik), yang menginduksi peningkatan tekanan

kapasitansi dalam pembuluh dan secara aktif menggeser volume darah vena ke

sistemik sirkulasi. Selain itu, stimulasi reseptor β2-adrenergik menurunkan resistensi

vena dan meningkatkan aliran balik vena. Dalam sebuah studi hewan selama

perdarahan yang tidak terkendali, menyarankan bahwa infus NE mengurangi jumlah

cairan diperlukan untuk mencapai target tekanan arteri yang diberikan dan

berhubungan untuk menurunkan kehilangan darah dan secara signifikan meningkatkan

kelangsungan hidup 5. Oleh karena itu kita dapat mengusulkan penggunaan awal NE

untuk mengembalikan tekanan darah secepat mungkin dan dan dapat mengurangi

kebutuhan cairan resusitasi dan hemodilusi. Namun, efek dari NE belum secara detail

diselidiki pada manusia yang menderita syok perdarahan. Sebuah analisis yang

dilakukan pada multisenter, prospektif, studi kohort yang dirancang untuk mengevaluasi

hasil akhir paada orang dewasa yang menderita trauma tumpul dan yang berada pada

kondisi syok perdarahan mengindikasikan untuk penggunaan vasopressor sejak awal

untuk memberi dukungan hemodinamik setelah syok perdarahan mungkin merugikan,

dibandingkan dengan.Pemberian cairan resusitasi secara agresif, dan harusdilakukan

dengan hati-hati 8.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini merupakan

analisis sekunder dari studi kohort prospektif dan tidak dirancang untuk menjawab

hipotesis spesifik yang diuji. Kedua, kelompok yang menerima vasopressor memiliki

Page 13: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

insidensi tinggi terhadap dilakukannya torakotomi. Dengan demikian, sebuah studi

prospektif menentukan efek vasopressor digunakan pada pasien dengan syok

perdarahan diperlukan. Kesimpulannya, vasopressor mungkin berguna jika digunakan

secara sementara untuk mempertahankan tekanan arteri dan mempertahankan perfusi

jaringan selama hipotensi persisten, disamping resusitasi cairan. Selain itu,

penggunaan awal NE bisa membatasi resusitasi cairan dan hemodilusi. Jika kita

menggunakan NE pada tahap awal, kita harus memperhatikan target yang

direkomendasikan terkait tekanan arteri (MAP 80-100 mmHg). Dengan demikian, dosis

NE harus dititrasi sampai kita mencapai sasaran MAP. Kemudian, resusitasi cairan

harus dikejar dan dititrasi sesuai dengan indikator respon preload, cardiac output, dan

parameter oksigenasi jaringan 8.

Karena vasopressor dapat meningkatkan afterload jantung ketika ada infus yang

berlebihan atau gangguan fungsi ventrikel kiri, penting untuk menilai fungsi jantung

selama pemeriksaan USG awal. Disfungsi jantung dapat berubah pada pasien trauma

setelah kontusio jantung, efusi perikardial, atau trauma otak sekunder dengan

hipertensi intrakranial. Kehadiran disfungsi miokard membutuhkan perawatan dengan

agen inotropik, seperti dobutamin atau epinefrin. Pada kondisi tidak adanya evaluasi

fungsi jantung atau monitoring cardiac output, yang sering ditemukan pada pasien

dalam fase akut syok perdarahan, kami harus mencurigai disfungsi jantung pada

adanya respon yang buruk terhadap ekspansi cairan dan NE.

3. Transfusi dan Pencegahan Koagulopati Akut Akibat Trauma

Koreksi dan pencegahan koagulopati traumatis (koagulopati trauma akut, ACoT)

telah menjadi tujuan utama dari manajemen resusitasi awal syok perdarahan. Beberapa

mekanisme berkontribusi pada perkembangankoagulopati trauma antara lain 5:

1. "Loss Dilution" fenomena: perdarahan dan hemodilusi sekunder akibat resusitasi

cairan yang menyebabkan hilangnya faktor koagulasi dan trombosit.

2. Aktivasi berlebihan dari koagulasi: adaptasi aktivasi koagulasi dalam

menanggapi perdarahan akibat trauma dapat menjadi sangat berlebihan di

bawah pengaruh fenomena lokal atau umum. Sebagai contoh, jaringan trauma

dapat menyebabkan trauma endotel yang berhubungan dengan reaksi inflamasi

Page 14: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

lokal dan sistematis; ini merupakan reaksi yang penting untuk produksi Faktor

jaringan dan faktor VII, yang bersifat berlebihan dan dapat mengaktifkan

koagulasi.

3. Fibrinolisis: dengan aktivasi berlebihan koagulasi, respon fibrinolitik dapat

melebihi peran fisiologis untuk mengendalikan koagulasi.

4. Hipotermia: hipotermia memudahkan perubahan darifungsi trombosit, faktor

koagulasi, dan fibrinolisis. Hipotermia dapat diinduksi oleh resusitasi cairan yang

agresif.

5. Asidosis: asidosis metabolik memudahkan koagulopati karena penurunan

aktivitas factor koagulasi dan fungsi trombosit serta degradasifibrinogen.

6. Hipokalsemia: hemodilusi disebabkan oleh cairan resusitasi dan sitrat yang

terkandung dalam produk darahsetelah transfusi masif berkontribusi

untukhipokalsemia.

7. Anemia: sel darah merah memiliki pentingperan hemostatik. Arus RBC

mempertahankan trombositdekat dengan sel-sel endotel, dan mereka dapat

mengaktifkanfungsi trombosit.

Risiko koagulopati tergantung pada konteks kondisi. Bila pendarahan terjadi

selama operasi, dokter bedah harus segera mengontrol perdarahan dengan cairan

Page 15: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

yang cepatdan restorasi RBC untuk menghindari atau membatasi koagulopati.Namun,

dalam syok perdarahantraumatis, koagulopati sering terjadi (dari 10% menjadi 34% dari

pasien trauma)dan bersifat multifaktorial, tergantung pada tingkat keparahan syok dan

trauma, dan itu merupakan faktor independen morbiditas dan mortalitas pada pasien

trauma 9.

Hal ini penting untuk menghindari keterlambatan dalam pengiriman darah dan

komponen darah. Resusitasi hemostatik yang optimal membutuhkan tindakan cepat

dengan komunikasi yang baik dan koordinasi antara dokter yang merawat dan penyedia

layanan transfusi. Dua hal utama dalampengelolaan pasien ini adalah: 1) penilaian rutin

manfaat terapi penggantian menggunakan penilaianklinis dan pemantauan parameter

koagulasi,dan 2) penggunaan protokol transfusi sesuai dengan pedoman pelaksanaan

yang tepat 9.

4, Transfusi Sel Darah Merah dan Fresh Frozen Plasma

Pemberian transfusi sel darah merah dan fresh frozen plasma (FFP) merupakan

prioritas untuk mempertahankan penghantaran oksigen arteri dan mengembalikan

koagulasi yang efektif. Kadar hemoglobin optimal tidak mungkin ditentukan pada pasien

dengan syok hemoragik traumatik, karena tidak ada studi yang menilai hubungan

antara kadar hemoglobin dan keluaran (outcome) pasien dengan perdarahan. Selain

itu, target hemoglobin sangat bergantung kepada riwayat kesehatan pasien

sebelumnya (riwayat penyakit jantung dan usia) serta tipe trauma (ada atau tidaknya

trauma otak). Pemberian sel darah merah dianggap tidak tergantikan ketika kadar

hemoglobin <7 g/dL (Gambar 1). Rekomendasi ini didasarkan pada hasil studi

Transfusion Requirements in Critical Care (TRICC). Pada penelitian tersebut, Hebert et

al.melakukan randomisasi pasien-pasien dengan hemodinamik stabil, pasien kritis

dengan liberal transfusion strategy (target hemoglobin 10–12 g/dL), ataupun restrictive

strategy (target hemoglobin 7–9 g/dL). Tingkat mortalitas keduanya sama, dimana hal

ini mengindikasikan bahwa restrictive transfusion strategy sama amannya jika

dibandingkan dengan pendekatan liberal. Pada pasien dengan trauma otak, terdapat

insufisiensi data untuk mendukung pendekatan mana yang terbaik, apakah liberal

ataukah restriktif.Namun, banyak pusat kesehatan yang mentransfusi pasien hingga

Page 16: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

hemoglobin mencapai 10 g/dL. Strategi ini didasarkan pada hasil temuan yang

menunjukkan bahwa pada kadar hemoglobin 8.7 to 10.2 g/dL, terjadi peningkatan

oksigenasi serebral lokal 10.

Pada kasus perdarahan yang mengancam jiwa, seorang pasien dapat ditransfusi

dengan menggunakan O Rh-negative RBC units.Namun, hal ini harus dilakukan hanya

pada kondisi khusus yang merupakan implementasi dari massive transfusion protocol.

Pemberian FFP sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah transfusi sel darah

merah, untuk mengkompensasi defisit faktor koagulasi.Dosis awal yang

direkomendasikan adalah 10-15 ml/kg. Dosis tambahan diberikan bergantung pada

hasil monitoring parameter koagulasinya.FFP direkomendasikan ketika PT atau APTT

mencapai 1.5 kali nilai normal (Gambar 1) 5.

Beberapa studi terbaru yang mengikutsertakan pasien trauma dari kalangan

militersipil mengusulkan pentingnya rasio RBC/FFP mencapai 1:1. Namun, hasil ini

harus diinterpretasikan secara hati-hati mengingat adanya potensi survival bias (pasien

yang meninggal dini memiliki kecenderungan menerima RBC/FFP yang lebih tinggi).

Karena itu, nilai optimal dari rasio RBC:FFP masih kontroversial. Kashuk et al.

melaporkan bahwa pasien dengan RBC:FFPratio yang tinggi (2:1) memiliki

kecenderungan bertahan hidup yang lebih baik, jika dibandingkan dengan penerima

RBC:FFP yang lebih rendah (4:1). Karena itu, belum terdapat batas absolut untuk rasio

RBC: FFP yang optimal. Australia-Selandia Baru menentukan batasan rasio ≤2:1:1

untuk RBC:FFP:platelet. Rasio RBC:FFP merupakan elemen penting untuk resusitasi

RBC dan plasma yang agresif, dimana waktu transfusi menjadi sangat penting, terlebih

lagi penggunaan RBC dan FFP secara dini meningkatkan outcome pasien dengan syok

perdarahan pasca trauma. Dengan demikian, transfusi plasma harus dimulai sesegera

mungkin (idealnya bersamaan dengan transfusi RBC (Gambar 2).Konsep terpenting

dalam upaya ini adalah mengembalikan hemostasis biologis tubuh sesegera mungkin

untuk mengkontrol perdarahan yang terjadi 11.

Monitoring faktor koagulasi merupakan hal yang tidak kalah penting untuk

mengidentifikasi koagulopati yang terjadi pasca trauma, serta untuk memfasilitasi tujuan

langsung dari transfusi. Namun, pemeriksaan faktor koagulasi plasma seperti

prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), international

Page 17: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

normalized ratio (INR), fibrinogen, dan jumlah platelet, hanya merefleksikan inisiasi

proses hemostatik; dimana pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi

penguatan/amplifikasi propagasi ataupun peningkatan fibrinolisis. Whole blood assays,

seperti TEG atau ROTEM, memungkinkan evaluasi cepat dari pembentukan clot,

kekuatan, dan lisisnya, merefleksikan seluruh proses hemostasis. Penggunaan metode

ini telah memodifikasi strategi transfusi di beberapa pusat kesehatan.Sebagai contoh,

Schöchl et al. mengeksplorasi manajemen perbaikan faktor koagulasi berbasis

konsentrat fibrinogen dan prothrombin complex concentrate (PCC), diberikan menurut

hasil pengukuran metode ROTEM.Pada sebuah analisis retrospektif, peneliti

membandingkan bahwa dengan menggunakan manajemen di atas, terjadi penurunan

kebutuhan transfusi RBC maupun konsentrat platelet. Transfusi RBC dihindari pada

29% pasien dengan transfusi fibrinogen-PCC, dibandingkan dengan 3% pasien dengan

transfusi FFP; untuk mengamati resiko potensial dari transfusi dan mortalitasnya.

Transfusi FFP dan konsentrat platelet dikaitkan dengan peningkatan risiko MODS

(Multiple Organ Dysfunction Syndrome) dan ARDS (Acute Respiratory Distress

Syndrome) Namun, peningkatan resiko kejadian tromboembolisme vena dengan

penggunaan fibrinogen concentrate-PCC masih membutuhkan penelitian lebih lanjut 10.

5. Transfusi Platelet dan Konsentrat Fibrinogen

Transfusi platelet direkomendasikan jika jumlah platelets <50.109 L-1(Gambar

1).Jumlah platelet harus dipertahankan pada jumlah yang tinggi pada kejadian trauma

otak pasca trauma, i.e., 100.109 L-1. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam

proses koagulasi. Oleh karena itu, kadar fibrinogen plasma harus dikoreksi untuk

mempertahankan proses koagulasi yang fisiologis. Ambang terbaru untuk penggunaan

konsentrat fibrinogen atau kriopresipitat selama perdarahan akut adalah kadar

fibrinogen plasma kurang dari 1.5-2.0 g/L (Gambar 1). Ambang baru ini didasarkan

pada penelitian eksperimental dan klinis berbasisl TEG, dimana fibrinogen diberikan

selama fase akut syok perdarahan.Namun, penggunaan FFP gagal mengkoreksi

secara cepat hipofibrinogenemia yang terjadi pasca perdarahan. Sebagai contohnya,

pada penelitian sebelumnya, resusitasi dengan 10-15 mL.kg-1 hanya meningkatkan

Page 18: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

kadar fibrinogen plasma 0.4 gL-1. Lebih dari 30 mL.kg-1 FPP diperlukan untuk

meningkatkan kadar fibrinogen plasma mencapai 1 g.L-1 5.

6. Asam Traneksamat

Sebuah studi randomized controlled trial melibatkan 20,211 pasien trauma [28]

menunjukkan bahwa penggunaan rutin asam traneksamat (loading dose 1 g selama 10

menit, dilanjutkan infus 1 g selama 8 jam) pada pasien dengan syok perdarahan

ternyata mampu menurunkan tingkat mortalitas pasien tanpa meningkatkan kejadian

tromboembolisme. Karena itu asam traneksamat sebaiknya diberikan pada manajemen

pasien dengan syok perdarahan pasca trauma (Gambar 1 dan 2). Efek optimal

pemberian terapi ini diamati setelah 3 jam pertama penggunaan 5.

7. Faktor VIIa

Penggunaan rekombinan Faktor VIIa untuk menurunkan tingkat mortalitas pasien

dengan syok perdarahan belumlah terlalu menjanjikan. Oleh karena itu, penggunaan

faktor ini harus didiskusikan lebih lanjut ketika syok perdarahan tidak lagi bisa dikontrol

melalui tindakan pembedahan maupun hemostasis angiografi serta ketika semua

parameter hemostasis fisiologis telah dikoreksi secara adekuat (hematokrit, platelet, PT,

APTT, calcemia, dan pH) Hal ini penting untuk menyeimbangkan penggunaan faktor

VIIa dengan kejadian nyata tromboembolisme 12.

8. Terapi Ajuvan pada Syok Perdarahan

Syok perdarahan pasca trauma seringkali dikaitkan dengan kejadian SIRS

(Systemic Inflammatory Response). Berbagai upaya terapi; seperti recombinant human

activated protein C (APC), IL-1 receptor antagonist, anti-TNF ataupun anti-LPS agents,

kontrol gula darah telah diupayakan untuk penanganan syok perdarahan pasca trauma.

Namun, hasilnya masih belum efektif dan terkadang malah membahayakan nyawa

pasien 5.

Sebuah penelitian multisenter menunjukkan bahwa pemberian hidrokortison

pada pasien trauma dikaitkan dengan penurunan risiko pneumonia yang signifikan

(36% vs. 51%) serta penurunan durasi ventilasi mekanis .Namun, tidak terdapat

Page 19: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

perbedaan tingkat mortalitas di antara dua kelompok yang diteliti. Di sisi lain, CRASH

study, yang meninjau penggunaan kortikosteroid pada lebih dari 10.000 pasien dengan

trauma otak berat, menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada kelompok pasien

yang diberikan kortikosteroid, dan tidak ada beda dalam hal insiden pneumonia 10.

Kesulitan dalam hal suplai dan ketersediaan produk darah seiring dengan

adanya risiko infeksi dan imunomodulasi, telah menginisiasi pengembangan

hemoglobin-based oxygen carriers (HBOCs) yang lebih aman dan efektif. Namun,

generasi pertama HBOCs menimbulkan hipertensi sistemik dan pulmonum, dengan

penurunan cardiac output, kerusakan miokardial, serta efek lain: NO scavenging, stres

oksidatif, dan hiperoksia. Saat ini, HBOCs generasi kedua telah diteliti secara aktif,

dimana agen ini memiliki toleransi yang lebih baik dan komplikasinya minimal terhadap

deplesi NO.Konjugasi hemoglobin dengan polyethylene glycol (PEG) sangat potensial

dan menjanjikan.PEGylation meningkatkan viskositas, dengan cara menginduksi

endothelial shear stress yang lebih kuat dan produksi NO lokal bersamaan dengan

peningkatan densitas kapiler secara fungsional. Selain itu, PEGylation dapat

meningkatkan tekanan onkotik serta ekspansi volume intravaskuler. Dua penelitian fase

III telah menunjukkan bahwa oxygenated PEG-modified hemoglobin (MP4OX) dikaitkan

dengan penurunan insiden hipotensi yang signifikan pada pasien dengan primary hip

arthroplasty-spinal anesthesi. Namun, stuydi lanjutan sedang dilakukan untuk

mengevaluasi keamanan dan efikasi MP4OX pada pasien dengan trauma, yang

mengalami asidosis laktat akibat syok perdarahan berat.HBOCs sangat berpotensi

digunakan sebagai salah satu pilihan bagi klinisi dalam resusitasi pasien dengan syok

perdarahan pasca trauma 10.

2.5 Target Resusitasi Cairan dan Tekanan Darah

Tekanan arteri rata-rata (MAP), yang merepresentasikan tekanan perfusi dari

semua organ (kecuali jantung), merupakan parameter yang mungkinberfungsi sebagai

target yang harus dicapai pada awal pemberian cairan. Elemen penting dari resusitasi

pada pasien dengan syok perdarahan adalah upaya prevensi potensi kenaikan

perdarahan oleh manuver resusitasi yang terlalu agresif. Resusitasi cairan dapat

menginduksikan koagulopati melalui pengenceran faktor koagulasi dan memungkinkan

Page 20: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

hipotermia.Selain itu, MAP yang berlebihan dapat mendukung perdarahan dengan

mencegah terbentuknya bekuan. Dua konsep telah muncul dalam beberapa tahun

terakhir yaitukonsep " resusitasi volume rendah " dan konsep "Resusitasi hipotensif."

Seringkali, kedua konsep ini digabungkan. Beberapa penelitian eksperimental telah

menunjukkan bahwa administrasi terbatas cairan berhubungan dengan rendah tingkat

tekanan darah sebagai titik akhir dapat membatasi pendarahan tanpa peningkatan

risiko kematian. Baru-baru ini, sebuah kohort retrospektif studi pasien dari Amerika

Trauma Data Bank menyarankan bahwa tidak ada manfaat pada kelangsungan hidup

untuk pemberian cairan IV pra-rumah sakit. Konsep inibisa bersifat terbatas oleh faktor-

faktor, seperti pasien yang lebih tua,trauma otak parah, atau waktu transportasi pra-

rumah sakit lebih lama (pedesaan). Penelitian selanjutnya diperlukan untuk

memperjelas volume dan waktu resusitasi cairan sebelum bedahatau embolisasi

angiografik untuk mengontrol perdarahan. Resusitasi volume minimal lebih baik

daripada resusitasi agresif sebelum perdarahan aktif telah dikendalikan. Dengan

demikian, salah satu pesan utama adalah bahwa kita harus mempertimbangkan

transfusi darah seawall mungkin selama manajemen syok perdarahan untuk

meningkatkan pengiriman oksigen mikrovaskuler 5.

Tingkat optimal tekanan darah selama resusitasi padapasien syok perdarahan

masih diperdebatkan. Tujuan awal adalah untuk mengontrol perdarahan sesegera

mungkin dan untuk mempertahankan tekanan arteri minimal untuk membatasi hipoksia

jaringan. Restorasi tekanan arteri dengan perdarahan yang tidak terkontrol

menghadapkan pasien pada risiko meningkat perdarahan atau menghambat

pembetukan bekuan darah.Dutton et al. menemukan bahwa titrasi cairan awal pada

tekanan darah sistolik yang lebih rendah dari normal (70 mmHg) selama perdarahan

aktif tidak mempengaruhiangka kematian.Rendahnya jumlah dan heterogenitaspasien

yang diteliti membatasi kesimpulan dari penelitian ini.Sebagai contoh, rata-rata tekanan

darah sistolik adalah sama 100 ± 17 mmHg pada kelompok 70-mmHg, karena tekanan

darah meningkat secara spontan ke arah yang normal pada beberapa pasien. Strategi

resusitasi hipotensif adalah strategi yang amanyang mengakibatkan penurunan yang

signifikan dalam transfuse produk darah dan pemberian cairan IV secara keseluruhan

dengan penurunan koagulopati pasca operasi. Namun, dalam penelitian ini, tidak ada

Page 21: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

perbedaan MAP antara keduakelompok (64,4 mmHg vs 68,5 mmHg) meskipun berbeda

dalam target MAP 7.

Namun, pedoman Eropa untuk pengelolaanperdarahan pasien trauma

merekomendasikan target tekanan sistolik antara 80 hingga 100 mmHg sampai

pendarahan besar telah berhenti di tahap awal setelah trauma untuk pasien tanpa

trauma otak. Ketika syok perdarahan berhubungan dengan trauma otak parah, tekanan

perfusi serebral harus dipertahankan dengan meningkatkan tekanan arteri untuk

mencegah trauma otak sekunder. Sebelum pemantauan tekanan intrakranial, kita harus

menentukan tingkat optimal tekanan arteri oleh menggunakan Doppler transkranial

untuk menentukan keseimbangan terbaik antara perfusi serebral yang optimal dan

risiko peningkatan perdarahan 5.

Page 22: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manajemen pasien trauma dengan syok perdarahan sangat kompleks dan sulit,

dimana dibutuhkan sebuah trauma center khusus yang mampu menangani kejadian ini

secara adekuat.Tingkat mortalitas pasien dengan syok perdarahan tetap tinggi

walaupun ilmu pengetahuan tentang patofisiologi syok perdarahan terus menerus

berkembang.Peran dari seorang tenaga medis adalah mempertahankan oxygen

delivery, meskipun perdarahan terus berlangsung (ongoingbleeding), serta membatasu

hipoksia jaringan, inflamasi dan disfungsi organ.Pada waktu yang bersamaan, surgical

dan arteriographic control dari perdarahan harus dilakukan, disamping menangani

koagulopati yang terjadi.Upaya resusitasi yang optimal masih kontroversial. Karena itu,

pendekatan terapeutik yang optimal dengan tujuan yang jelas untuk resusitasi cairan,

tekanan darah, serta kadar hemoglobin harus ditetapkan, untuk membatasi risiko

kelebihan cairan (fluid overload) pasca resusitasi dan transfusi.

Page 23: Resusitasi Pada Syok Perdarahan Akibat Trauma Edit

DAFTAR PUSTAKA

1. Krausz MM. 2006. Initial resuscitation of hemorrhagic shock. 2006. World J Emerg Surg. April 27 2006:1(1):142. Orlinsky M, Shoemaker W, Reis ED. 2001. Current controversies in shock and resuscitation. Dec 2001; 81 (6):1217-623. Michael LC, Ernest FJ, Howard GS, John TP. 2004. Shock: An Overview. Surgical Critical Care Service Dept. of Surgical Education Orlando Regional Medical Center.4. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. 2012. Harrison’s PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Eighteenth Edition. Approach to the Patient with Shock. Chapter 270 page 4510-4518. McGraw Hill Companies5. Adrien Bouglé, Anatole Harrois dan Jacques Duranteau. 2013. Resuscitative strategies in traumatic hemorrhagic shock. Bouglé et al. Annals of Intensive Care 2013, 3:1 http://www.annalsofintensivecare.com/content/3/1/16. Groeneveld AB, Navickis RJ, Wilkes MM. 2011. Update on the comparative safety of colloids: a systematic review of clinical studies. Ann Surg, 253:470–483.7. Rossaint R, Bouillon B, Cerny V, Coats TJ, Duranteau J, Fernandez-Mondejar E, Hunt BJ, Komadina R, Nardi G, Neugebauer E. 2010. Management of bleeding following major trauma: an updated European guideline. CritCare 2010, 14:R52.8. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, Reinhart K, Angus DC, Brun-Buisson C, Beale R, et al: Surviving sepsis campaign. 2008. International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 2008, 36:296–327.9. Morrison CA, Carrick MM, Norman MA, Scott BG, Welsh FJ, Tsai P, Liscum KR, Wall MJ Jr, Mattox KL. 2011. Hypotensive resuscitation strategy reduces transfusion requirements and severe postoperative coagulopathy in trauma patients with hemorrhagic shock: preliminary results of a randomized controlled trial. J Trauma 2011, 70:652–663.10. Desjardins P, Turgeon AF, Tremblay M-H, Lauzier F, Zarychanski R, Boutin A, Moore L, McIntyre LA, English SW, Rigamonti A. 2012 Hemoglobin levels and transfusions in neurocritically ill patients: a systematic review of comparative studies. Crit Care 2012, 16:R54.11. Authority NB, Australia. 2011. NBA - patient blood management guidelines: module 1 - critical bleeding massive transfusion. 2011:1–113. www.nhmrc.gov.au.12. Boffard KD, Riou B, Warren B, Choong PI, Rizoli S, Rossaint R, Axelsen M, Kluger Y. 2005. Recombinant factor VIIa as adjunctive therapy for bleeding control in severely injured trauma patients: two parallel randomized, placebo-controlled, double-blind clinical trials. J Trauma 2005, 59:8–15.