resume farmasi fisik

8
RESUME FARMASI FISIK “PREFACE” JUM’AT, 08 FEBRUARI 2012 oleh : Fracilia Arinda R. (112210101015) Binta R. Dikara (112210101023) Yeni N. Cahyani (112210101033) Awalia Annisafira (112210101065) BAGIAN FARMASETIKA FAKULTAS FARMASI

Upload: yeni-nur-cahyani

Post on 16-Feb-2015

138 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Resume Farmasi fisik

RESUME FARMASI FISIK

“PREFACE”

JUM’AT, 08 FEBRUARI 2012

oleh :

Fracilia Arinda R. (112210101015)

Binta R. Dikara (112210101023)

Yeni N. Cahyani (112210101033)

Awalia Annisafira (112210101065)

BAGIAN FARMASETIKA

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: Resume Farmasi fisik

PREFACE

Struktur molekul merupakan penyusun dari molekul. Bobot molekul adalah jumlah Ar

dari penyusun molekul tersebut. HKSA adalah Hubungan Kualitatif dan Kuantitatif antara

Struktur dan Aktifitas. Dari stuktur molekul dapat diketahui sifat-sifat fisik, kimia dan

biologi dari suatu obat. Suatu struktur molekul dapat mempengaruhi berat molekul suatu

molekul atau senyawa, jika stuktur molekul berubah maka bobot molekul juga akan berubah.

Posisi benzene dengan suatu gugus OH pada posisi orto, meta dan para mempengaruhi sifat

fisika kimia. Benzena dengan 1 gugus OH yaitu fenol berbentuk cair, namun jika fenol

ditambah OH akan bebentuk padat.

Berat molekul dapat menentukan suatu sifat fisikokimia dan absorpsi suatu obat. Sifat

fisikokimia terdiri dari :

1. Melting point

Struktur yang dapat membentuk ikatan hydrogen dan memiliki berat molekul besar

akan memiliki melting point lebih tinggi dibandingkan struktur yang tidak dapat

membentuk ikatan hydrogen dan memiliki berat molekul kecil. Suatu rantai yang

berbentuk siklik atau meruah memiliki melting point yang tinggi.

2. Kelarutan

Molekul yang memilki melting point tinggi akan semakin sulit melarut karena lebih

padat dibandingkan dengan molekul yang memilki melting point lebih rendah.

3. pKa

pKa merupakan kemampuan senyawa dalam melepas [H+]. Semakin besar pKa suatu

senyawa, maka sifat ke-non polarannya semakin tinggi.

4. Koefisien partisi

Merupakan perbandingan antara zat non polar dengan polar.

5. Stabilitas pH

PH dapat mempengaruhi stabilitas/kelarutan

Sedangkan absorpsi obat terdiri dari :

1. Therapeutic window

Merupakan rentangan dosis suatu obat, jika obat diberikan dibawah dosisnya maka

tidak akan menimbulkan efek terapetik, sedangkan jika diberikan diatas dosisnya

maka akan menimbulkan efek toxic.

2. Passive / active transport

3. GIT behavior

Perilaku suatu obat dalam atau ketika memasuki saluran pencernaan

4. Farmakokinetik

Page 3: Resume Farmasi fisik

Sistem klasifikasi Biofarmasetika

Sistem klasifikasi ini mengacu pada tingkat kelarutan (solubility) dan permeabilitas

(kemampuan untuk diserap oleh tubuh) yang dimiliki oleh suatu obat. Dimana kelarutan

berhubungan dengan perilaku fisiknya, sedangkan permeabilitas berhubungan perilaku biologi

atau kemampuan untuk diabsorbsi.

Penggolongan obat berdasarkan tingkat kelarutan dan permeabilitasnya :

Kelas 1 :

Obat yang memiliki kelarutan yang tinggi dan pemeabilitasnya tinggi. Obat-obat untuk

kategori kelas I menunjukkan jumlah absorbsinya tinggi serta jumlah disolusi yang

tinggi pula. Kecepatan disolusi obat-obat ini tergantung dari kecepatan pengosongan

lambung.

Contohnya : metroprolol, diltiazem, verapamil, propanolol, Propanolol, Metoprolol,

Parasetamol, Teofilin, Pseudoefedrin sulfat, Metformin hidrokloride, Emtricitabine,

Stavudine, Zidovudine, Levofloxacin, Ofloxacin.

Kelas 2 :

Obat yang memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas tinggi.

Obat-obat untuk kategori kelas II mempunyai jumlah absorbsi yang tinggi tetapi

dengan jumlah disolusi yang rendah. Kecepatan disolusi obat secara in-vivo besar jika

dosis obat ditingkatkan.

Contohnya : fenitoin, danazol, ketokonazol, asam mefenamat, nifedipin, Nisoldipin,

Glibenclamide, Carbamazepine, Griseofulvin, Ketoprofen, Naproxen.

Kelas 3 :

Obat pada kelas ini memiliki kelarutan yang tinggi dan permeabilitas rendah. Obat-obat

untuk kategori kelas III menunjukkan variasi kecepatan dan besarnya absorbsi obat

yang tinggi terhadap permeabilitas. Jika disolusi obat cepat, maka variasi tersebut

dapat disebabkan oleh perubahan fisiologi atau permeabilitas membran yang lebih

baik daripada faktor bentuk dosis. Biasanya berupa sedeiaan transdermal.

Contohnya : acyclovir, neomisin B, captopril, Atenolol, Simetidin, Ranitidin,

Enalaprilate, Alendronate, Cimetidine, Abacavir Sulfate, Lamivudine, Ethambutol,

Isoniazid, Pyrazinamide.

Kelas 4 :

Obat pada kelas ini memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas rendah. Obat-obat

untuk kategori kelas IV menunjukkan banyak masalah untuk metabolisme oral yang

efektif.

Page 4: Resume Farmasi fisik

Contohnya : taxol, sakuinavir, Clorothiazide, Furosemide, Tobramycin, Cefuroxime,

Siklosforin, Itrakonazole, Hydroclorthiaziade.

The Rule of 5 (memiliki permeasi buruk jika memenuhi 5 aturan di bawah ini) :

1. Memiliki lebih dari 5 ikatan H donor (menyatakan jumlah OHs dan NHs).

2. Memiliki lebih dari 10 ikatan H aseptor (menyatakan jumlah Ns dan Hs).

3. Memiliki bobot atau berat molekul lebih dari 500

4. Memiliki perbandingan non polar dan polar (koefisien partisi) lebih dari 5.

5. Kelas bahan yang merupakan substrat biologi seperti enzim tidak berlaku pada aturan ini.

Mengapa air memiliki titik didih yang besar daripada alcohol padahal air memiliki BM yang

lebih rendah?

Semakin besar Mr senyawa maka semakin tinggi pula titik didihnya, tapi tidak untuk

senyawa yang dapat membentuk ikatan Hidrogen. Air memiliki titik didih lebih tinggi

daripada alkohol karena air punya ikatan hidrogen yang lebih banyak daripada alkohol. Ikatan

Hidrogen ialah ikatan antara atom H dan atom N,O atau F karena tiga atom ini memiliki beda

keeloktronegatifan yang besar (hidrogen potensial).

Berdasarkan ikatan hidrogennya air dapat membentuk lebih banyak ikatan hidrogen

dibandingkan dengan etanol. Molekul air dapat membentuk tiga ikatan hidrogen dengan

molekul air yang lain, di mana pada satu molekul air, terdapat dua atom H yang dapat

mengikat dua atom O dari molekul air yang lain dan terdapat satu atom O yang dapat

mengikat satu atom H dari molekul air yang lain. Hal tersebut berbeda dengan etanol yang

hanya dapat membentuk satu ikatan hidrogen antar molekul etanol, sehingga ikatan

hidrogennya lemah atau dengan kata lain tidak sekuat ikatan hidrogen pada air. Itulah yang

menyebabkan titik didih air lebih tinggi daripada etanol. Semakin kuatnya ikatan hidrogen

yang terbentuk menyebabkan terjadinya kenaikan titik didih. Ini disebabkan karena ikatan

hidrogen yang sangat kuat membutuhkan energi yang kuat pula untuk bisa memutuskan

ikatan hidrogen, sehingga untuk bisa membuat air mendidih dibutuhkan suhu yang lebih besar

dibandingkan suhu untuk mendidihkan etanol.

Mr air (H2O) = 18 g/mol, dan alkohol (etanol) = 46 g/mol.

Titik didih air = 100oC, etanol (C2H5OH) = 78,4oC.

Page 5: Resume Farmasi fisik

DAFTAR PUSTAKA

Jagla, E. A. 2004. “The interpretation of water anomalies in terms of core-softened models.” Brazilian journal of physics 34 (1): 17–23.

Kumar, P., S. Han, and H. E. Stanley. 2009. “Anomalies of water and hydrogen bond dynamics in hydrophobic nanoconfinement.” Journal of Physics: Condensed Matter 21 (50): 504108.

Organization(WHO), World Health. 2009. General notes on Biopharmaceutics Classification System (BCS)-based biowaiver applications. Accessed November 23, 2009.

Reddy, B. B. K., and A. Karunakar. 2011. “Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach.” Dissolution Technologies: 31–37.

Sutriyo, Hasan Rachmat, and Mita Rosalina. 2012. “PENGEMBANGAN SEDIAAN DENGAN PELEPASAN DIMODIFIKASI MENGANDUNG FUROSEMID SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF MENGGUNAKAN SISTEM MUKOADHESIF.” Majalah Ilmu Kefarmasian 5 (1) (August 10). http://journal.ui.ac.id/index.php/mik/article/view/1192.

Yu, L. X., G. L. Amidon, J. E. Polli, H. Zhao, M. U. Mehta, D. P. Conner, V. P. Shah, L. J. Lesko, M. L. Chen, and V. H. L. Lee. 2002. “Biopharmaceutics classification system: the scientific basis for biowaiver extensions.” Pharmaceutical research 19 (7): 921–925.