responsi tinea corporis

30
RESPONSI TINEA CORPORIS Disusun Oleh: Fitria Rahma N / G99141151 Pembimbing: Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K)

Upload: ekko-wiyono

Post on 18-Jul-2016

85 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tinea corporis

TRANSCRIPT

Page 1: Responsi Tinea Corporis

RESPONSI

TINEA CORPORIS

Disusun Oleh:

Fitria Rahma N / G99141151

Pembimbing:

Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

Page 2: Responsi Tinea Corporis

2014STATUS RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K)

Nama Mahasiswa : Fitria Rahma Nurharyani

No. Mahasiswa : G99141151

TINEA CORPORIS

I. DEFINISI

Dermatofita berkemampuan menginfeksi struktur kulit yang

berkeratinisasi, yaitu stratum korneum, kuku, dan rambut. Istilah dermatofitosis

berarti infeksi yang disebabkan oleh dermatofita. Lebih jauh lagi, dermatofitosis

diklasifikasikan berdasarkan jaringan utama yang terlibat, yaitu

epidermomycosis/ringworm (dermatofitosis epidermal/superfisial), trichomycosis

(dermatofitosis rambut dan folikel rambut), dan onychomycosis (dermatofitosis

pada kuku). Karena struktur anatomi yang terlibat berbeda, epidermomycosis,

trichomycosis, dan onychomycosis juga berbeda secara klinis. Istilah tinea

digunakan pada dermatofitosis dan dimodifikasi sesuai dari bagian tubuh yang

terinfeksi, misalnya tinea kapitis (dermatofitosis pada kepala), tinea fasialis

(dermatofitosis pada wajah), atau tinea pedis (dermatofitosis pada kaki).1,2

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial dengan karakteristik

lesi inflamatorik atau noninflamatorik pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous

skin).

Jamur penyebab dermatofitosis terdiri atas 3 genus, yaitu Trichopyhton,

Mikrosporum, dan Epidermophyton.1 Jamur ini dapat bertahan hidup di stratum

korneum epidermis kulit dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan

melekat pada keratinosit.4 Jamur ini mampu menggunakan keratin sebagai sumber

nutrisinya karena memiliki enzim keratinase.3,4

Page 3: Responsi Tinea Corporis

II. EPIDEMIOLOGI

Tinea corporis terdapat di seluruh belahan dunia. Namun insidensinya

meningkat pada daerah tropis yang memiliki kelembaban udara yang tinggi.

Penyakit ini masih banyak terdapat di Indonesia dan masih merupakan salah satu

penyakit yang sering dijumpai di masyarakat.

Tinea corporis dapat menyerang semua usia, namun lebih sering dijumpai

pada orang dewasa daripada anak-anak. Selain itu tinea corporis juga lebih sering

menyerang laki-laki daripada wanita.

Cara penularan tinea corporis dapat langsung melalui fomitis, epitel, atau

rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah,

sedangkan penularan secara tak langsung dapat melalui kontak dengan benda

yang sudah terkontaminasi, misalnya pakaian atau air.6 Kebersihan badan dan

lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit ini.5

III. ETIOLOGI

Tinea corporis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang

menyerang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keratinolisis.

Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu Tricophyton, Epidermophyton, dan

Microsporum.1

Fungi yang biasanya menyebabkan tinea kruris adalah jenis E. Flocosum.

Namun, tinea corporis dapat pula disebabkan oleh T. Rubrum atau T.

Mentagrophytes.8

IV. PATOGENESIS

Jamur dermatofita dapat tumbuh dan bertahan hidup pada stratum

korneum epidermis manusia, yang merupakan sumber nutrisi bagi dermatofita dan

media pertumbuhan mycelia jamur. Tumbuhnya jamur pada kulit bergantung pada

faktor host dan juga adaptasi jamur terhadap kondisi kulit. Infeksi dimulai dengan

adanya deposisi arthrospora atau hifa pada permukaan keratinosit. Infeksi

dermatofita mencakup tiga tahap penting antaralain perlekatan ke keratinosit kulit

(adherence), penetrasi ke dalam sel (penetration), dan pembentukan respon host

(host response).3,4

Page 4: Responsi Tinea Corporis

1. Perlekatan ke keratinosit kulit (adherence)

Untuk melakukan perlekatan pada kulit, arthrokonidia yang merupakan

elemen infeksius pada dermatofita perlu berkompetisi dengan flora normal

kulit dan bertahan terhadap berbagai pajanan faktor fisik (sinar UV, suhu,

kelembaban), sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit, dan asam lemak

dari kelenjar sebasea yang bekerja secara fungistatik. Dermatofita mensekresi

protease dan carbohydrate-spesific adhesins yang akan memfasilitasi proses

perlekatan secara efektif. Pada permukaan kulit, fibril panjang dan tipis

menghubungkan arthrokonidia dengan keratinosit satu sama lain.4

2. Penetrasi ke dalam sel (penetration)

Pada proses penetrasi, spora akan berkembang dan menembus stratum

korneum dengan kecepatan yang melebihi deskuamasi epidermis. Hifa jamur

tersebut menginvasi stratum korneum dan keratin serta menyebar sentrifugal

ke arah luar. Dermatofita mulai memproduksi berbagai enzim yang berperan

sebagai keratolitik seperti proteinase, lipase, keratinase, dan enzim yang akan

memberi nutrien pada jamur itu sendiri yaitu mukolitik.4 Trauma dan maserasi

juga dapat membantu penetrasi jamur ke dalam epidermis.3,7 Selain itu,

beberapa penelitian menyebutkan bahwa suatu molekul pada permukaan

dinding jamur yang disebut dengan fungal mannans memiliki efek

penghambat imun. T. rubrum cell wall mannans (TRM) memperlihatkan

fenomena imunosupresi yang menghambat respon limfoproliferatif dari

monosit dan menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. 4

3. Pembentukan respon host (host response)

Produk metabolisme jamur berdifusi menuju lapisan malpighi dan

menyebabkan eritema, vesikel, pustula, dan juga pruritus.4 Derajat inflamasi

yang timbul pada tinea corporis bergantung pada status imun host dan juga

jenis organisme yang terlibat. Terdapat beberapa mekanisme yang dapat

mencetuskan proses inflamasi tersebut. Beberapa jamur memproduksi faktor

kemotaksis dengan berat molekul rendah, sedangkan jamur lain mengaktivasi

komplemen melalui alternative pathway. Formasi antibodi pada proses

inflamasi tinea corporis tidak terlalu berpengaruh dan bersifat protektif

sehingga tidak terdapat peningkatan titer antibodi secara signifikan.3

Page 5: Responsi Tinea Corporis

Reaksi hipersensitifitas tipe IV (delayed-type hypersensitivity)

memegang peran utama dalam timbulnya inflamasi pada tinea corporis.

Antigen pada permukaan jamur akan dikenali dan dipresentasikan oleh sel

Langerhans pada limfosit T di nodus limfe lokal. Limfosit T berproliferasi

menjadi T helper 1 (Th1) dan bermigrasi ke area yang terinfeksi. Th1

mensekresikan sitokin pro-inflamasi yaitu interferon γ (IF- γ). Berbagai proses

inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan permeabilitas epidermis terhadap

transferin dan migrasi sel. Transferin berfungsi untuk mencegah pertumbuhan

jamur dengan cara mengikat hifa dan menurunkan ketersediaan zat besi yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur.4

Secara umum, spesies zoofilik menimbulkan proses inflamasi yang

lebih akut tetapi dapat sembuh secara spontan dan resisten terhadap reinfeksi.

Sedangkan spesies antropofilik menyebabkan proses yang lebih kronis dengan

rendahnya resistensi terhadap timbulnya infeksi berikutnya.4

V. GEJALA KLINIS

Lesi klasik yang sering muncul pada tinea corporis adalah adanya lesi

anular, dengan tepi eritem agak meninggi, berbatas tegas karena terjadi konfluensi

beberapa lesi. Lesi nampak eritem dengan skuama, kadang dengan papul dan

vesikel di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang (central healing). Kadang

terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Pada tinea corporis yang menahun, tanda-

tanda radang aktif biasanya tidak terlihat lagi.1,2,3,6

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Diagnosis tinea corporis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan

laboratorium. Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis

terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan kultur.

Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan

klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil

dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan

dengan spiritus 70%, kemudian dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian

sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.1

Page 6: Responsi Tinea Corporis

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-

mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45.

Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.1

Sediaan basah dengan meletakkan bahan di atas gelas objek. Kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH 10%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH,

ditunggu 15-20 menit, hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk

memepercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas

api kecil. Pada saat keluar asap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila

terjadi penguapan, maka akan terbebtuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang

diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat

ditambahkan zat pewarna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchroom

blue black.1

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis

sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artospora) pada

kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong

pemeriksaan langsung dengan sediaan basah dan untuk menentukan spesies

jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media

buatan. Pembiakan dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap

merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan jamur. Media ini dibubuhi

antibiotik kloramfenikol atau ditambah pula klorheksimid untuk menghindarkan

kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Media ini lalu disimpan pada

suhu kamar. Spesies jamur ditentukan oleh sifat koloni, hifa, dan spora yang

dibentuk.1

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis tinea corporis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi

klinik, lokalisasi, kultur, serta pemeriksaan kerokan kulit dari tepi lesi dengan

Page 7: Responsi Tinea Corporis

mikroskop langsung menggunakan larutan KOH 10% untuk melihat hifa atau

spora jamur.7

Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh gatal pada bagian perut,

punggung, daerah lipat paha, lipat perineum, bokong, dan di sekitar genitalia.

Ruam kulit dapat berbatas tegas, eritematosa, dan bersisik. Gatal dirasakan

bertambah bila pasien berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi

yaitu berupa makula eritematosa numular sampai geografis, berbatas tegas dengan

tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Pada perjalanan penyakit yang

kronik dapat dijumpai makula hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya.8

Sediaan dapat diambil dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian

sedikit di luar kelainan sisik kulit, dengan cara dikerok atau disikat menggunakan

pisau tumpul steril, kemudian diletakkan pada medium dermatofita. Untuk

melihat elemen jamur lebih nyata, dapat ditambahkan zat warna pada sediaan

KOH, misalnya tinta parker superchrome blue black.1,7 Hasil positif menunjukkan

gambaran hifa bersekat pada mikroskop.

Pemeriksaan dengan kultur diperlukan untuk menyokong pemeriksaan

langsung sedian basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Medium yang

dianggap paling baik pada saat ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.

Kloramfenikol ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan

cycloheximide untuk menghambat pertumbuhan jamur saprofit.7

VIII. DIAGNOSIS BANDING3,5

1. Eritrasma5

Eritrasma merupakan suatu infeksi dangkal kronik yang biasanya

menyerang daerah yang banyak berkeringat.

Penyebabnya adalah Corynebacterium minutissimum.

Dimulai dengan daerah eritema miliar, selanjutnya meluas ke seluruh

region, menjadi merah, terasa panas seperti habis terkena cabai.

Penyinaran dengan sinar Wood memperlihatkan fluoresensi warna merah

bata.

2. Kandidiasis5

Page 8: Responsi Tinea Corporis

Pasien mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas seperti terbakar,

terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder

Lokasi biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat ketiak, lipat paha,

lipat bawah payudara, sekitar umbilicus, garis-garis kaki dan tangan. Kuku.

Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif, kadang dengan papul

dan skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi,

hiperpigmentasi, hyperkeratosis, dan kadang berfisura.

Pada tes KOH ditemukan pseudohifa

Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat,

permukaannya basah.

3. Psoriasis5

Dimulai dengan macula dan papula eritematosa dengan ukuran lentikular

sampai nummular, menyebar secara sentrifugal

Lokasi biasanya pada siku, lutut, kulit kepala, telapak kaki dan tangan,

punggung, tungkai atas dan bawah, serta kuku.

Efloresensi berupa macula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar

sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,

sirsinar, polisiklis, dan geografis. Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh

skuama yang kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan

benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan

maka akan timbul titik-titik perdarahan yang disebut sebagai Auspitz sign.

Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu

timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma atau garukan.

IX. PENATALAKSANAAN

1. Non medikamentosa1

a. Menghilangkan faktor predisposisi dan pencetus

1) Menjaga kulit agar tetap bersih dan kering

2) Mandi secara teratur dengan air bersih

Page 9: Responsi Tinea Corporis

3) Memakai pakaian yang kering, bersih, dan menyerap keringat,

misalnya yang berbahan katun dan tidak terlalu tebal atau ketat

b. Menghilangkan sumber penularan

1) Melarang pasien menggaruk lesi

2) Memotong kuku agar tetap pendek

3) Mencuci tangan dengan air mengalir

4) Tidak berbagi handuk dan lap tangan

2. Medikamentosa

Terapi medikamentosa tinea corporis melibatkan terapi topikal maupun

sistemik. Pada tinea corporis dengan lesi terbatas, cukup diberikan obat

topikal. Lama pengobatan bervariasi antara satu hingga empat minggu

bergantung pada jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal

diperlukan pada tinea corporis yang luas, kronik rekurens, atau tidak berespon

pada pengobatan topikal.3

Pada keadaan inflamasi menonjol dan dengan rasa gatal berat, kombinasi

antimikotik dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan

klinis dan mengurangi keluhan pasien.

a. Obat topikal3

Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat

topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja, viskositas, hidrofobisitas dan

asidisitas formulasi obat tersebut. Variasi obat topikal dapat berupa krim,

gel, lotion, dan formulasi sampo.

Agen antimikotik utama yang digunakan untuk mengatasi masalah

tinea corporis adalah obat-obat derivat azole (mikonazol, ketokenazol,

tiokonazol) dan alilalamin (terbinafin, naftifin). Kedua derivat ini

memiliki efektivitas obat yang tinggi. Pemberian obat dianjurkan satu atau

dua kali sehari selama dua hingga empat minggu atau sampai hasil kultur

negatif. Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama

tujuh hingga sepuluh hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis

dengan maksud untuk mengurangi kekambuhan.

Infeksi sekunder juga dapat terjadi pada tinea corporis. Apabila

ditemukan kondisi ini, dapat dilakukan pemberian obat dengan kombinasi

Page 10: Responsi Tinea Corporis

antimikotik dan antibiotik. Beberapa agen topikal juga memiliki campuran

kandungan anti-inflamasi unutuk mengatasi inflamasi akut pada tinea

corporis.

1) Konvensional9

Pengobatan dengan agen topikal lama kurang efektif dan memerlukan

waktu yang lama.

a) Salep 2-4: asam salisilat dan sulfur

Asam salisilat bersifat keratolitik. Untuk lesi yang sangat superficial

asam salisilat mungkin sudah cukup efektif, namun untuk lesi yang

kebih dalam maka asam salisilat akan mempermudah penetrasi

antijamur lain yang lebih poten

b) Salep Whitfield dan modifikasinya (AAV-I dan AAV-II): as.benzoat

5%, as.salisilat 5%, dalam lanolin-vaselin ana

Merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam

Dosis biasa berefek sebagai fungistatik maupun bakteriostatis,

namun dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama berefek

fungisidal

Aktif terhadap Epidermophyton, Tricophyton, dan Microsporum

Tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5%

undesilenat dan 20% seng undesilenat

Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat dengan

20% seng undesilenat (seng berfungsi untuk menekan luasnya

peradangan)

Dapat menyebabkan iritasi mukosa

Bila dikombinasi dengan obat lain, misalnya kortikosteroida,

asam salisilat meningkatkan penetrasinya kedalam kulit

2) Baru9

a) Tolnaftat, tolsiklat

Suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar

dermatofitosis

Tidak efektif terhadap kandida

Page 11: Responsi Tinea Corporis

Reaksi alergi atau toksik belumpernah dilaporkan

Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerososl atau

larutan topikal dengan kadar 1%

Diberikan topikal 2-3 kali sehari

Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam

Pada lesi dengan hiperkeratosis sebaiknya diberikan bergantian

dengan salep asam salisilat 10%

Beberapa kasus membutuhkan waktu 4-6 minggu, jarang yang

melebihi 10 minggu

b) Haloprogin

Antijamur sintetik berbentuk kristal putih kekuningan

Larut dalam alkohol, tidak larut air

Efektif terhadap dermatofita, Malassezia furfur, dan Kandida

Dapat timbul iritasi, rasa terbakar, vesikulasi, meluasnya maserasi

dan sensitisasi

Tersedia dalam bentuk krim dengan kadar 1%

c) Derivat Imidazole (mikonazole, tiokonazole, ketokonazole)

d) Siklopiroksolamin

Antijamur topical berspektrum luas

Untuk dermatofitosis, kandidiasis, dan tinea versikolor

Tersedia dalam bentuk krim 1%

Iritasi jarang terjadi

e) Derivat alilamin (naftifinl, terbinafin)

b. Obat sistemik3

Terapi sistemik diindikasikan untuk kasus tinea corporis yang berat

yang melibatkan penderita immunocompromised, dengan lesi inflamasi

atau pada kasus yang tidak responsif dengan terapi topikal. Terapi sistemik

antimikotik sering dikaitkan dengan hepatotoksisitas, reaksi kulit serius

seperti Steven Johson Syndrome, dan reaksi obat melalui system P-450

Page 12: Responsi Tinea Corporis

sitokrom. Oleh karena itu penggunaan terpai secara sistemik harus

mempertimbangkan indikasi dan juga kontraindikasi obat. Terdapat lima

agen sistemik utama, antaralain:

1) Griseofulvin

Merupakan obat sistemik pilihan pertama. Griseofulvin adalah

suatu antibiotika fungistatik yang dibuat dari biakan spesies

penisillium. Griseofulvin diserap lebih cepat oleh saluran pencernaan

apabila diberi bersama-sama dengan makanan yang banyak

mengandung lemak, tetapi absorpsi total setelah 24 jam tetap dan tidak

dipengaruhi apakah griseofulvin diminum bersamaan waktu makan

atau diantara waktu makan. Pemantauan berkala terhadap fungsi ginjal,

hepar, dan hemopoiesis perlu dilakukan pada pengkonsumsian jangka

lama.

Anak-anak : 10-20 mg/kg BB/hari selama 6 minggu

Dewasa : 500 mg /hari selama 2-4 minggu

2) Itrakonazol

Berkhasiat fungistatik luas terhadap dermatofita dengan

menghambat enzim lanosterol 14-α demethyilase sehingga terjadi

defisiensi ergosterol. Tetapi itrakonazol dikontraindikasikan pada

pasien dengan peningkatan enzim liver abnormal dan riwayat

gangguan hepar.

Anak-anak : 5 mg/kg BB/hari selama 1 minggu

Dewasa : 100 mg/hari (2 minggu) atau 200mg/hari (1 minggu)

3) Ketokonazol

Digunakan untuk mengobati tinea corporis yang resisten terhadap

griseofulvin atau terapi topikal. Bersifat fungistatik dan fungisidal

(dosis tinggi).

Anak-anak : 3 mg/kg BB/hari

Page 13: Responsi Tinea Corporis

Dewasa : 200 mg/hari selama 2 minggu

4) Flukonazol

Resorpsinya dari saluran pencernaan baik dan cepat. Toksisitas rendah,

tidak bersifat hepatotoksik dan tidak menekan sintesis steroid adrenal.

Berkhasiat fungistatik luas terhadap dermatofita dengan menghambat

enzim lanosterol 14-α demethyilase sehingga terjadi defisiensi

ergosterol.

Dewasa : 150-300 mg/minggu selama 2 sampai 4 minggu

5) Terbinafine

Bersifat fungistatik dengan menghambat enzim squalene

epoxidase untuk produksi ergosterol dan juga fungisid dengan

menghambat akumulasi squalene.

Anak-anak : 3-6 mg/kg BB/hari selama 2 minggu

Dewasa : 250 mg/hari selama 2 sampai 4 minggu

X. PROGNOSIS

Dengan tatalaksana yang benar, tinea corporis akan menunjukkan

prognosis yang baik. Menghilangkan sumber penularan penting dilakukan untuk

mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut.1,2,3,6

Page 14: Responsi Tinea Corporis

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. 2005. Mikosis. Dalam: Djuana, A., (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 90-7

2. Mansjoer A., et al. 2000. Mikosis Superfisialis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran.

Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Hal: 93-9

3. Schieke SM., Garg A. 2012. Superficial Fungal Infection. In: Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol. I. Mc Graw Hill. New York. P:

3238-3267

4. Tainwala R., Sharma Y.K. 2011. Pathogenesis of dermatophytosis. Indian Journal

of Dermatology. 56(3): 259-61.

5. Siregar R.S. 1996. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal: 19-21.

6. Boel Trimulya., 2003. Mikosis Superfisialis.

http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf

7. Shy, Rosemary. 2007. Pediatrics in Review: Tinea Corporis and Tinea Capitis.

http://pedsinreview.aappublications.org/misc/terms.dtl

8. Siregar, R S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal: 29 –

31

9. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Dermatophytosis

[online]. 2005 [cited 2011 April 13]. Available from: URL:

www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/dermatophytosis.pdf

10. Hainer BL. Dermatophyte infections. American Family Physician 2003; 67: 103,5.

11. Thomas B. Clear choices in managing epidermal tinea infections. The Journal of

Family Practice 2003; 52(11): 853-4.

Page 15: Responsi Tinea Corporis
Page 16: Responsi Tinea Corporis

LAPORAN KASUS

TINEA CORPORIS

A. ANAMNESIS

1. Identitas Penderita

Nama : Ny. SH

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Plupuh, Sragen

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Tanggal pemeriksaan : 21 November 2014

No RM : 0127726

2. Keluhan Utama : Gatal di ketiak, perut, dan pantat

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 9 hari yang lalu pasien dirawat inap di RS dr. Moewardi oleh

bagian paru dengan diagnosa TB paru kasus baru BTA negatif. Pasien

dikonsulkan ke bagian kulit dan kelamin RS dr. Moewardi dengan keluhan

gatal-gatal di ketiak, perut, dan pantat sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu.

Gatal terasa memberat saat cuaca panas dan pasien berkeringat. Pasien belum

memberikan obat untuk gatal-gatalnya. Selain gatal, juga terdapat bercak

kecoklatan pada daerah yang gatal, awalnya di daerah ketiak, kemudian

muncul bercak kecoklatan di daerah perut dan pantat. Ukuran bercak

kecoklatan tersebut awalnya kecil, lama kelamaan semakin membesar.

Munculnya bercak kecoklatan bersamaan dengan munculnya gatal.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal

- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

- Riwayat penyakit gula : disangkal

Page 17: Responsi Tinea Corporis

- Riwayat penyakit serupa : disangkal

- Riwayat penyakit asma : disangkal

- Riwayat bersin-bersin di pagi hari : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal

- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

- Riwayat penyakit gula : disangkal

- Riwayat penyakit serupa : disangkal

- Riwayat penyakit asma : disangkal

- Riwayat bersin-bersin di pagi hari : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan sedang dirawat inap di

RSUD dr. Moewardi sejak 9 hari yang lalu. Keadaan bangsal pengap dan

panas. Pasien berganti pakaian setiap 2 hari sekali. Biasanya tubuh pasien

hanya dilap dengan handuk basah sehari 1 kali. Handuk yang digunakan untuk

membersihkan tubuh penderita biasanya dijemur di balkon lantai 2 setelah

digunakan.

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis :

Keadaan umum : Compos mentis, gizi kesan berlebih, tampak sakit

sedang

Tanda vital : Tensi : 130/80 mmHg

Respirasi : 18x/menit

Suhu : afebril

Nadi : 80 x/menit

Kepala : Mesocephal

Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)

Hidung : Sekret (-) Darah (-)

Mulut : Sianosis (-) Mukosa Basah (+)

Page 18: Responsi Tinea Corporis

Telinga : Normotia, Discharge (-)

Leher : Kelenjar getah bening tidak membesar

Thorax : Retraksi (-)

Abdomen : Dinding dada sejajar dengan dinding perut, supel

Inguinal : Dalam batas normal

Genital : Dalam batas normal

Gluteal : Melihat status dermatologi pasien

Ekstremitas superior : Dalam batas normal

Ekstremitas inferior : Dalam batas normal

2. Status Lokalis Dermatologis :

Page 19: Responsi Tinea Corporis

Regio truncus anterior, inguinal, gluteal

Tampak patch hiperpigmentasi dengan batas tegas dan

skuama tipis di antaranya, tepi aktif.

Page 20: Responsi Tinea Corporis

C. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Tinea corporis

2. Kandidiasis kutis

3. Dermatitis seboroik

4. Pitiriasis rosea

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kerokan kulit daerah lesi dengan KOH 10% : ditemukan hifa jamur

bersekat

.

E. DIAGNOSIS KERJA

1. Tinea corporis

F. PENGOBATAN

1. Medikamentosa

R/ Ketokonazol tab mg 200 No. XIV

S 1 dd tab I

R/ Miconazole 2% cream tube no. I

Page 21: Responsi Tinea Corporis

S 2 dd ue

R/ Cetirizine tab

S 1-0-0

2. Non medikamentosa

Menjaga daerah yang terinfeksi jamur agar selalu kering

Mengganti pakaian tiap hari

Pakaian yang sudah dipakai hendaknya langsung dicuci.

Menurunkan berat badan

Pasien dilarang menggaruk lesi

G. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad Sanam : bonam

Ad fungsionam : bonam

Ad kosmetikum : bonam