penyakit tinea corporis et cruris

24
PENYAKIT TINEA CORPORIS ET CRURIS 1. Definisi Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique.1,2,3,4,5 Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Sinonim untuk penyakit ini adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan ringworm of the groin. 2. Epidemiologi Tinea corporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab membantu penyebaran infeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki insien yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi pada semua usia. Bisa didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan hewan- hewan.5,6 Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.7

Upload: diian-lestari

Post on 15-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

PENYAKIT TINEA CORPORIS ET CRURIS

1. Definisi

Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi

maupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian

muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea

sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique.1,2,3,4,5 

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.

Sinonim untuk penyakit ini adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan

ringworm of the groin.

2. Epidemiologi

Tinea corporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang

panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab

membantu penyebaran infeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki

insien yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi pada semua usia. Bisa

didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan.5,6 Maserasi

dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan

memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu

yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya

handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.7

Pada tinea cruris, onsetnya biasanya pada orang dewasa, laki-laki lebih sering terjangkiti

daripada wanita. Faktor predisposisinya antara lain lingkungan yang hangat dan lembab,

pakaian yang ketat, kegemukan dan penggunaan obat glukokortikoid. 

3. Etiologi

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang

terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun

semua dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah T.

rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.1,2,3,5 

Pada tinea cruris penyebabnya hampir sama dengan tinea corporis. Penyebab tinea cruris

yang tersering yaitu: T. rubrum, T. mentagrophytes, atau E. Floccosum.

Page 2: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

4. Patofisiologi

Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit, penetrasi

melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.

1. Perlekatan. Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada

jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan

sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula

sebasea juga bersifat fungistatik

2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum

korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu

oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk

jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan

didalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit.

Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.

3. Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan

organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity

(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang

belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi

minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema dan

skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa

antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam

limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang

terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier

epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur

hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.2,3,4

5. Gejala Klinis

Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi

kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada

bagian tengah. wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan

skuamasi, menahun.1,2

Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri

atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya

biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang

sering disebut dengan sentral healing1,2

Page 3: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat

secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan

memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.Pada tinea korporis

yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi

pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini

disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.1,2

Pada tinea cruris kelainannya dapat bersifat akut dan menahun, bahkan seumur hidup. Lesi

kulit dapat terbatas tegas pada daerah genito-krural, atau meluas ke sekitar anus, daerah

gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela

paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada didaerah

tengahnya. Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder

(polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit

sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea cruris merupakan salah satu

bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.5

6. Diagnosis

Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita pasien. Dari

gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. Infeksi

dapat terjadi setelah kontak dengan orang yang terinfeksi atau hewan atau objek yang baru

terinfeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri atau pasien dapat merasa sensasi

terbakar.1,5

Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar

ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna

kehijauan. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan

elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan

bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi

larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah

sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk

melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan

basah diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan

dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang

diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat

warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan

Page 4: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan

bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium

agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih

sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan

sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan

langsung.8

7. Diagnosa Banding 

Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada

beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika,

psoriasis, dan pitiriasis rosea.1,5

Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya

dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan

kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.. Kulit kepala berambut

juga sering terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika adalah

skuamanya yang berminyak dan kekuningan. 1

Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada bagian pinggir

sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat tanda-tanda khas

yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin, dan fenomena

auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah

ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. 1

Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian

proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang

dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada pitiriasis rosea

gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus sedangkan pada

tinea korporis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 1,5

8. Penatalaksanaan

Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada. Prinsip

pengobatan pada tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis

Terapi topikal

Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada

jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4%,

asam benzoate 6-12%, sulphur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna

(hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru. Obat-obat baru ini

Page 5: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

diantaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan

alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan

keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu

tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan

perbaikan klinik yang tinggi.Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrimazol 1%, Miconazol 2%

dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada

pembentukan ergosterol membran sel jamur. 

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase

sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu

naftifine 1%, butenafin 1%. Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu

bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan

esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen

topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta

berspektrum luas. 1.2,4,9,10

Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa

obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada

telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien

tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.

1. Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25

mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,

diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. 

2. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,

termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi

hari setelah makan 

3. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun

absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat

fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea.

Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.

5. Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces

nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur,

Page 6: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang

membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

Tinea corporis et cruris

Tinea corporis di punggung

Tinea corporis di perut dan pubis

I.             SINONIM 

Tinea corporis disebut juga tinea sirsinata, tinea globrosa, atau kurap. Sedangkan

tinea cruris disebut juga exzema marginatum, dhobie icth, jockey itch, ringworm of the groin.1

II.           DEFINISI

Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh tidak berambut

(glabrous skin) di daerah muka, lengan, badan, gan glutea.2 Kelainan ini dapat terjadi pada

tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea

corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.

Sedangkan tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha,

genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.2

III.        EPIDEMIOLOGI

Page 7: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

Tinea korporis dan kruris terdapat di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan

insiden meningkat pada kelembaban udara yang tinggi. Penyakit ini masih banyak terdapat di

Indonesia dan masih merupakan salah satu penyakit rakyat.4

Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di

daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Menado, keadaanya kurang

lebih sama, yakni menempati urutan kedua sapai keempat terbanyak dibandingkan golongan

penyakit lainnya.2

Tinea korporis dan cruris dapat menyerang semua umur. Pada tinea korporis dapat

menyerang pria dan wanita, sedangkan tinea kruris lebih banyak terjadi pada laki-laki.

Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar pengaruhnya terhadap

perkembagan  penyakit ini.

Cara penularannya dapat langsung dari tanah, hewan dan manusia ke manusia dan

secara tidak langsung, yaitu kontak dengan benda yang sudah terkontaminasi, misalnya dari

tanaman yang terkena jamur, kateter, pakaian yang lembab, dan air.3,4

IV.         ETIOLOGI

Tinea korporis dan kruris disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang

meneyrang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keartinolisis. Dermatofita

terbagi dalam 3 genus, yaituMicrosporon, Epidermofiton, dan Trikofiton.4

Penyebab tersering tinea korporis adalah T rubrum dan T. mentagrophytes, sedangkan

tinea kruris biasanya disebabkan oleh E. floccosum, namun dapat pula oleh T. rubrum dan T.

mentagrophytes, yang ditulaskan secara langsung atau tidak langsung.2, 3

V.            PATOGENESIS

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan

tubuh non spesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi pejamu, jamur harus mempunyai

kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta menembus jaringan pejamu. Selanjutnya

jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan dan dapat menyesuaiakn diri dengan suhu

serta keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi

jaringan atau radang. Dari berbagai kemampuan tersebut, kemampuan jamur untuk

menyesuaikan diri di dalam lingkungan pejamu, dan kemampuan mengatasi pertahanan

seluler, merupakan dua mekanisme terpenting dalam patogenesis penyakit jamur.

Mekanisme imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi

jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia

Page 8: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan, dan

respon radang.

Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik termasuk asam

laktat dan asam lemak yang mempunyai pH yang rendah untuk menambah potensi anti jamur.

VI.         GEJALA KLINIS

Mula-mula timbul lesi kulit berupa bercak eritematosa yang gatal, terutama bila

berkeringat. Olah karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada daerah

kulit yang lembab.2

Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas

terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi

pada umumnyamer bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula

terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik karena beberapa lesi kulit yang

menjadi satu.1

Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak menunjukkan

tanda-tanda radang yang akut, kelainan ini biasanya terjadi pada bagian tubuh dan tidak

jarang bersama-sama dengan tinea kruris.2

Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, dapat menyebar luas dan kadang

berbentuk lingkaran yang dapat diasumsikan sebagai penampakan granulomatosa.5

 

VII.      DIAGNOSIS

Diagnosis tinea korporis dan kruris ditegakkan berdasarkan klinik dan lokalisasinya,

serta pemeriksaan kerokan kulit dari tepi lesi dengan mikroskop langsung dengan larutan

KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.2 Untuk melihat elemen jamur lebih nyata,

dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchroom blue

black.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung

sedian basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini

adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.1

VIII.   DIAGNOSIS BANDING

1.      Pitiriasis rosea: gambaran makula eritematosa dengan tepi sedikit meninggi, ada papula,

skuama, diameter panjang lesi menuruti garis kulit

Page 9: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

2.      Kandidiasis: lesi relatif lebih basah, berbatas jelas disertai lesi-lesi satelit

3.      Psoriasis: skuama lebih tebal dan berlapis-lapis

4.      Neurodermatitis sirkumskripta: makula eritematosa berbatas tegas terutama pada daerah

tengkuk, lipat lutut dan lipat siku.3

IX.         TERAPI

Terapi anti jamur topikal efektif untuk infeksi pada kulit tubuh yang tidak berambut

dan membran mukosa untuk penyakit yang belum luas dan tidak ada komplikasi.5

Biasanya dipakai salep atau krim antimikotik, seperti salep whitfield, campuran asam

salisilat 5% dengan asam benzoat 10% dan resorsinol 5% dalam spirtus, Castellani’s paint,

imidazol, ketokonazol, dan piroksolamin siklik, yang digunakan selama 2-3 minggu. Pada

tinea kruris, karena lokasinya sangat peka nyeri, maka konsentrasi obat harus lebih rendah

dibandingkan lokasi yang lain.3

Terapi sistemik diindikasikan untuk kasus tinea korporis dan kruris yang berat yang

melibatkan penderitaimmunocompromised, dengan lesi inflamasi atau pada kasus yang tidak

responsif dengan terapi topikal.5

Griseofulvin, terbinafin, ketokonazol, sering digunakan untuk terapi sistemik.

Griseofulvin oral meningkatkan efisiensi dari medikasi topikal. Griseofulvin bersifat

fungsistatik. Secara umum, griseofulvin dapat dibeirkan 0,5 – 1g untuk orang dewasa  dan

0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan

bergantung pada beratnya penyakit. Setelah sembuh klinis, dilanjutkan 2 minggu agar tidak

residif. Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan dengan dosis 250 mg sehari

selama 1 minggu. Obat peroral lain yang dapat diberikan adalah ketokonazol yang bersifat

fungisitatik, dengan dosis 100-200 mg sehari selama 10 hari – 2 minggu.1, 7

Selain dengan terapi dan sistemik, perlu diberikan edukasi pada pasien untuk menjaga

kebersihan kulit dan lingkungan, memakai pakaian dari katun dan tidak ketat, menggunakan

sabun ringan dan menjaga agar kulit yang sakit tetap kering.8

X.            PROGNOSIS

Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.

Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk menghilangkan sumber

penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut.6

Page 10: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

DAFTAR PUSTAKA

1.      Budimulja, U., (2000). Mikosis. Dalam: Djuana, A., (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 90-7

2.      Harahap Marwali, (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Hal: 77-8

3.      Siregar RS., (1996). Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. hal:19-21.

4.      Hartadi, Hardjono, Naoryda. (1991). Dermatomikologi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

hal:9-11

5.      Harahap Marwali. (1997). Diagnosis and Treatment of Skin Infection. London: Blackwell

Science Ltd. p:339-43.

6.      Budimulja, U., (2001). Dermatomikosis Superficialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal: 7-

16, 29-43

7.      Arnold, Harry, L., et al. (1990). Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology.

Philadelphia: WB Saunders Company. p:331-353.

8.      Pendit, Brahm, U., (2001). Dermatologi Praktis. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Hal: 102-6.

TINEA CORPORIS

1.1.           DEFINISI

Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).1 Tinea

corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut,

wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas

dan bawah, dan batang tubuh.2

1.2.            EPIDEMIOLOGI      

T. rubrum adalah agen menular yang paling umum di dunia dan merupakan sumber dari 47%

dari kasus tinea corporis.Trichophyton tonsurans adalah yang paling umum dermatofit

menyebabkan tinea capitis, dan orang-orang dengan infeksi tinea capitis anthropophilic lebih

mungkin untuk mengembangkan terkait tinea corporis. Oleh karena itu, prevalensi tinea

corporis yang disebabkan oleh T. tonsuransmeningkat. Microsporum canis adalah organisme

kausatif ketiga yang paling umum dan terkait dengan 14% dari infeksi tinea corporis.

Page 11: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

Sebuah studi 5 tahun dari Kuwait yang mencakup 2.730 pasien melaporkan bahwa infeksi

jamur kulit tetap lazim di negara itu, khususnya daerah Modal. Dalam pasien dengan

dermatofit, 6 spesies yang terisolasi. Mereka termasuk Trichophyton mentagrophytes  (39%),

M canis (16%), T rubrum (10%), Epidermophyton floccosum (6,2%), Trichophyton

violaceum (2,4%), dan Trichophyton verrucosum (0,4%)

Tinea corporis terjadi baik pada pria maupun wanita. Wanita usia subur lebih mungkin untuk

mengembangkan tinea corporis sebagai hasil dari mereka yang lebih besar frekuensi kontak

dengan anak yang terinfeksi.

Tinea corporis mempengaruhi orang dari semua kelompok umur, tetapi prevalensi tertinggi di

preadolescents. Tinea corporis yang diperoleh dari hewan lebih umum pada anak-anak. Tinea

corporis yang merupakan penyakit sekunder dari tinea capitis biasanya terjadi pada anak-

anak karena tinea capitis lebih umum pada populasi ini.3

1.3.            ETIOLOGI

Berbagai macam organisme dapat menyebabkan infeksi jamur tipe ini. Microsporum canis,

T.rubrum, T.mentagrophytes adalah organisme penyebab yang paling sering. T.

Tonsurans juga merupakan penyebab meningkatnya tinea corporis.2

1.4.            PATOGENESIS

Dermatofit terutama hidup pada daerah yang mati, lapisan korneum  kulit, rambut, dan

kuku,  yang menarik untuk lingkungan yang hangat, lembab kondusif untuk proliferasi jamur.

Jamur dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum

korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya

tidak menyerang secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat

termasuk aktivasi serum faktor inhibitor, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear.

Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit menginvasi perifer  dalam pola sentrifugal.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi, perbatasan aktif memiliki peningkatan proliferasi sel

epidermis dengan skala yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme defensi secara

parsial sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan kulit yang sehat

di bagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi dermatofit dicapai oleh sel imunitas.

Trichophyton rubrum adalah dermatofit umum dan, karena dinding selnya, yang tahan

terhadap eradikasi. Pelindung ini berisi mannan, yang dapat menghambat sel imunitas,

Page 12: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

menghambat proliferasi keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme untuk pertahanan

alami kulit.3

                              

1.5.            GEJALA KLINIS (GAMBARAN LESI)

Kecil hingga besar,  scaling,  plak yang berbatas tegas dengan atau tanpa pustula atau

vesikula, biasanya pada bagian tepi. Gambaran tepi yang lebih aktif disertai bagian tengah

yang lebih tenang menghasilkan konfigurasi cincin konsentris atau lesi arkuata; fusi

menghasilkan pola lesi berputar. Tunggal dan kadang-kadang beberapa tersebar lesi. Bullae.

Lesi granulomatosa (granuloma Majocchi's). Psoriasiform plak. Lesi verukosa. Lesi infeksi

zoophilic (dikontrak dari hewan) lebih inflamasi, dengan vesikulasi ditandai dan krusta pada

tepi, bullae.4

1.6.            DIAGNOSIS

Ditemukannya lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-

kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-

kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-

bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi

dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1

1.7.            PEMBANTU DIAGNOSIS

Diagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop pada kerokan

kulit. Kerokan kulit dapat dikultur dengan menggunakan medium yang cocok. Pertumbuhan

dari jamur pada media kultur paling sering muncul dalam waktu 1 atau 2 minggu.2

1.7.1.     PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS

Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian

yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada

gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada

temperatur kamar selama 2-5 meni, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di

bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.5

1.7.2.     KULTUR BAKTERI

Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasil scrapping) dilanjutkan

dengan kultur bakteri. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan

diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar,

diinkubasi 370C, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Jenis bakteri diidentifikasikan

Page 13: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali

dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji katalase. Bakteri Gram – dan bentuk

batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur

indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar. Dari hasil kultur bakteri dijumpai pada

setiap tinea Staphylococcis aureus, Enterobacter aerogenesdan Staphylococcus

faecalis. Staphylococcus aureus paling banyak dijumpai pada tinea corporis, tinea pedis, dan

tinea kruris. 5

1.7.3.     PCR

Apabila evaluasi klinik tidak dapat disimpulkan, metode molekuler PCR untuk identifikasi

DNA jamur dapat dilakukan.3

1.7.4.     HISTOLOGI

Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea corporis menunjukkan

spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam stratum

korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa percabangan hifa terkadang

dapat terlihat dalam stratum korneum dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin, tetapi

pewarnaan jamur khusus misalnya asam-Schiff, Gomori perak methenamine mungkin

diperlukan.3

1.8.            DIAGNOSIS BANDING

1.8.1.     DERMATITIS SEBOROIKA

Tempat predileksinya di kulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah

nasolabial, dan sebagainya.

1.8.2.     PSORIASIS

Lesi  lebih merah, skuama, lebih banyak dan lamelar. Kelainan kulit pada tempat predileksi

yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering

terkena. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis.

1.8.3.     PITIRIASIS ROSEA

Distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota

badan, sukar dibedakan dengan tinea corporis tanpa herald patch yang dapat membedakan

penyakit ini dengan tinea corporis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat memastikan

diagnosisnya. 1

1.9.            TERAPI

Page 14: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

Pengobatan ini dipilih berdasarkan lokasi infeksi, etiologi dan kemampuan penetrasi

obat.  Kemampuan penetrasi dan retensi di lokasi infeksi menentukan keefektifan dan  berapa

frekuensi yang diperlukan.6  Tujuan utama dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi

morbiditas dan untuk mencegah komplikasi.        Untuk lesi lokal dari tinea corporis,

pengobatan topikal dapat digunakan, untuk lesi yang menyeluruh atau inflamasi (kerion),

termasuk pasien dengan immunocompromise indikasi untuk terapi oral.3

1.9.1.     TOPIKAL

Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit jarang menginvasi ke

jaringan yang hidup. Terapi topikal sebaiknya dioleskan hingga 2 cm diluar dari lesi

sebanyak 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, tergantung agen yang digunakan.Golongan

azole dan allylamine topikal menunjukkan efisiensi yang tinggi. Agen ini menginhibisi

sintesis dari ergosterol, sel membran sterol mayor dari jamur.

·        Topikal azole (contoh : econazole, ketoconazole, clotrimazole, miconazole, oxiconazole,

sulconazole, sertaconazole) menghambat enzim lanosterol 14-alfa-demethylase, sitokrom

P450 yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Inhibisi dari enzim ini menghasilkan

membran sel jamur menjadi tidak stabil dan menyebabkan membran sel menjadi lisis.

Dermatofit yang lemah tidak dapat bereproduksi dan dapt terbunuh perlahan dengan

fungistatik. Sertaconazole nitrat merupakan topikal azole yang terbaru. Kemampuannya dapat

sebagai fungisidal dan anti inflamasi dan bersifat broadspektrum.

·        Allylamine (contoh : naftifine, terbinafine) dan berhubungan dengan benzylamine

butenafine yang menghambat squalene epoxidase, dimana mengubah squalene menjadi

ergosterol.Inhibisi dari enzim ini menyebabkan squalene (substansi toksik bagi sel jamur)

terakumulasi intraseluler dan menyebabkan kematian sel yang cepat. Allylamine mengikat

efektif pada stratum korneum karena bersifat lipofilik. Selain itu dapat juga penetrasi hingga

ke folikel rambut.

- Ciclopirox olamine adalah agen topikal fungisidal. Ini menyebabkan membran

menjadi tidak stabil dengan berakumulasi di dalam sel jamur dan mengganggu

transport asam amino yang melewati membran sel jamur.

- Topikal kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat ditambahkan ke dalam

regimen antifungal topikal untuk menghilangkan gejala. Steroid dapat menghilangkan

komponen inflamasi dari infeksi dengan cepat, tetapi steroid sebaiknya hanya

diberikan untuk terapi awal. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menimbulkan

infeksi yang menetap dan berulang, dapat juga menyebabkan atrofi kulit, striae, dan

teleangiektasis.

Page 15: Penyakit Tinea Corporis Et Cruris

1.9.2.     SISTEMIK

Terapi sistemik diindikasikan untuk tinea corporis yang infeksinya meluas, imunosupresi,

resisten terhadap terapi topikal antijamur, dan komorbid dengan tinea kapitis dan tinea

unguium.

·        Mekanisme kerja dari oral micronized griseofulvin melawan dermatofit yaitu dengan

mengganggu mikrotubulus spindle mitosis pada metafase, menyebabkan mitosis sel jamur

menjadi terhambat. Dosisnya adalah 10 mg/kg/hari selama 4 minggu.

·        Sistemik azole (contoh : fluconazole, itraconazole, ketoconazole) fungsinya sama dengan

agen topikal, yang menyebabkan destruksi dari membran sel.

o       Ketoconazole oral 3-4 mg/kg/hari. Jarang digunakan untuk infeksi dermatofit karena dapat

meningkatkan resiko hepatitis.

o       Fluconazole 50-100 mg/hari atau 150 mg 1 x seminggu untuk 2-4 minggu.

o       Itraconazole oral 100 mg/hari untuk 2 minggu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Dengan

meningkatkan dosis menjadi 200 mg/hari, lamanya terapi dapat dikurangi hingga 1 minggu.

·        Terbinafine oral 250 mg/hari selama 2 minggu.3

1.10.       PROGNOSIS

Untuk tinea corporis yang sifatnya lokal prognosisnya sangat baik