laporan kasus kulit-ria-tinea corporis (3)

21
LAPORAN KASUS DERMATO-VENEREOLOGI TINEA CORPORIS OLEH : Oktaria Safitri (H1A 008 029) PEMBIMBING : dr. I. W. Hendrawan, M. Biomed, Sp.KK

Upload: shaktisila

Post on 15-May-2017

263 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

LAPORAN KASUS DERMATO-VENEREOLOGI

TINEA CORPORIS

OLEH :

Oktaria Safitri

(H1A 008 029)

PEMBIMBING :

dr. I. W. Hendrawan, M. Biomed, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2014

Page 2: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

PENDAHULUAN

Tinea corporis adalah suatu penyakit kulit menular yang menyerang daerah

kulit tidak berambut yang disebabkan jamur dermatofita spesies Trichophyton,

Microsporus, Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering

penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari

semua kasus tinea corporis. Tinea corporis merupakan infeksi yang umum terjadi

pada daerah dengan iklim tropis seperti negara Indonesia dan dapat menyerang

semua usia terutama dewasa.1,2,3

Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status

lokalis dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan penderita biasanya

gatal terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memicu pasien untuk

menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di

daerah yang lembab. Kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong,

berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan

papul di tepi. Daerah tengahnya terdapat central healing. Pada pemeriksaan

mikroskopis kerokan lesi dengan larutan kalium hidroksida (KOH) 10%

didapatkan hifa. 1,2

Penegakan diagnosis penting untuk memberikan terapi yang adekuat agar

tidak terjadi penyulit berupa kekambuhan, reaksi alergi, hiperpigmentasi, maupun

infeksi sekunder yang membuat penderita menjadi tidak kunjung sembuh. Berikut

ini dilaporkan satu kasus tinea corporis. Pembahasan akan menekankan pada

penegakan diagnosis pasien.1,2,3

2

Page 3: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Umur : 47 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Lombok Tengah

Agama : Islam

Waktu Pemeriksaan : 08 Maret 2014

Anamnesis

Keluhan Utama :

Gatal di paha kanan dan kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli Kulit RSUP NTB pada tanggal 08 Maret 2014

dengan keluhan gatal di paha sejak ± 2 bulan yang dirasakan semakin

memberat. Gatal pada bagian tubuh lain disangkal oleh pasien. Keluhan ini

awalnya berupa bintik-bintik kemerahan pada kulit (daerah paha) yang

semakin lama semakin meluas dan terasa gatal. Gatal dirasakan memberat

terutama saat berkeringat. Pasien sering menggaruk daerah paha kemudian

lama kelamaan kulit terasa bersisik dan muncul bercak keputihan. Pasien

sudah berobat ke prakter dokter swasta sejak 2 bulan yang lalu namun

tidak sembuh. Diberikan obat berupa dua buah salep yang dioleskan 2 x

sehari dan 3 macam obat minum namun pasien lupa nama obatnya. Rasa

gatal sedikit berkurang setalah dioleskan salep. Sehari-hari pasien bekerja

sebagai ibu rumah tangga. Mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci

piring dan pakaian sendiri. Pasien tidak memiliki binatang peliharaan

seperti kucing atau anjing. Pasien tidak memiliki hobi bercocok tanam.

3

Page 4: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien

menyangkal adanya riwayat alergi baik pada makanan ataupun obat-

obatan. Riwayat asma ataupun sering bersin di pagi hari tidak ada.

Riwayat kencing manis, sakit jantung dan darah tinggi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat suami dengan keluhan gatal serupa (+), sejak 1 tahun yang lalu.

Sudah berobat ke poli kulit, namun sekarang gatal muncul kembali.

Riwayat asma (-), sering bersin dipagi hari (-), alergi makanan dan obat-

obatan (-).

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien mandi 2x sehari dengan air sumur dan menggunakan sabun. Pasien

mengganti pakaian tiap hari, menggunakan handuk bersamaan dengan

anggota keluarga lain yaitu suaminya yang memiliki keluhan gatal-gatal

pada kulit. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, sehari-hari melakukan

pekerjaan rumah tangga sendiri seperti mencuci piring, dan pakaian.

Pasien tidak memiliki hewan peliharan seperti kucing atau anjing. Hobi

bercocok tanam (-).

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : baik

Kesadaran : compos mentis

GCS : E4V5M6

Vital sign :

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 82x/menit

Suhu : 36,20 C

RR : 20 x/menit

4

Page 5: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

Kepala-Leher :

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikteris -/-

Telinga : sekret -.

Hidung : sekret -.

Mulut : mukosa bibir lembab +.

Leher : pembesaran KGB -.

Thorax

Inspeksi : bentuk dada simetris kiri dan kanan

Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki +/-

: S1, S2 tunggal regular, murmur -, gallop -

Abdomen

Inspeksi : sikatrik-, massa -.

Auskultasi : bising usus +, normal

Ekstremitas

Atas : hangat -/-, edema -/-

Bawah : hangat -/-, edema -/-

Status Dermatologis

Regio : femur dextra et sinistra bagian medial dan lateral.

UKK : tampak plak eritema berbatas tegas, bentuk geografika, ukuran 2 x 3 cm

sampai 2 x 6 cm, diskret, tepi polisklik, bilateral dengan dikelilingi papul eritema

multiple (tepi aktif) dan tertutup skuama tipis, central healing (+), pada beberapa

tempat terdapat pustul, erosi (+).

Diagnosis Banding

1. Tinea corporis

2. Dermatitis kontak alergi

3. Candidiasis kutis

5

Page 6: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

Pemeriksaan Penunjang

1. Kerokan kulit dengan KOH 10%

2. Biakan pada Sabouroud Dextrose Agar

Diagnosis Kerja

Tinea corporis

Tatalaksana

1. Antihistamin: cetirizine 10 mg 1x/hari

2. Ketokonazole tablet 200 mg 1x/hari selama 2 minggu

3. Ketokonazole 2% krim dioleskan 2x/hari yaitu pagi dan sore hari setelah

mandi selama 2 minggu

Edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang dialami ini adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur.

2. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan

tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.

3. Memeliharan dan menjaga kebersihan.

4. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, tidak ketat, dan

menghindari kulit lembab

5. Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bergantian atau bersama-

sama dengan anggota keluarga lain.

Prognosis

1. Qua ad Vitam : bonam

2. Qua ad Sanationam : bonam

3. Qua ad Kosmetikam : bonam

6

Page 7: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

7

Page 8: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

8

Gambar : Lesi Kulit Pada Daerah Ekstremitas Bawah

Gambar : Lesi Kulit Pada Daerah Ekstremitas Bawah

Gambaran Mikroskopis Pemeriksaan KOH 10%

Page 9: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

PEMBAHASAN

Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut

(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki dan daerah selangkangan.

Predileksi biasanya pada daerah wajah, anggota gerak atas, dada, punggung dan

anggota gerak bawah. Keluhan yang dirasakan penderita biasanya gatal dengan

kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas

eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Dengan central

healing. Kadang-kadang dapat terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan

kulit dapat pula terlihat sebagai lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena

beberapa lesi kulit yang bergabung menjadi satu.1,2,3

9

Page 10: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini,

didapatkan gejala dan tanda yang mengarahkan diagnosis kepada tinea corporis.

Pada pasien ini dikeluhan rasa gatal yang memberat ketika berkeringat.Tampakan

lesi kulit juga khas seperti lesi tinea corporis dimana pada pasien didapatkan

gambaran plak eritema berbatas tegas dengan tepi bentuk polisiklik yang

dikelilingi papul eritema multipel, tepi terlihat lebih aktif dan terdapat pula

skuama tipis di atasnya. Faktor lain yang mendukung yaitu higienitas pasien yang

kurang baik yaitu bertukar handuk dengan anggota keluarga lain. Yang perlu

diperhatikan yaitu sumber penularan pada pasien ini. Dari anamnesis yang

mengarahkan sumber infeksi zoophilic dan geophilic disangkal. Meskipun pada

kemungkinan kontak langsung dari manusia. Kemungkinan juga sumbernya yaitu

autoinokulasi dari reservoir jamur di kaki yaitu T. rubrum. Dari hasil anamnesis

pada pasien ini, tidak ditemukan kemungkinan sumber infeksi dari luar, jadi

kemungkinan besar berasal dari autoinokulasi.2

Beberapa diagnosis banding yang mungkin pada pasien ini yaitu dermatitis

kontak alergi. Pada dermatitis kontak alergi didapatkan keluhan gatal yang serupa

dengan pasien. Lesi kulit berupa bercak eritomatosa, batas jelas, diikuti edem,

papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula dapat pecah menimbulkan erosi

dan eksudasi. Pada dermatitis kontak alergi yang kronik, lesi terlihat kering,

berskuama, papul, likenifikasi, fisura dan batas tidak jelas. Dermatitis di daerah

pada kemungkinan disebabkan karena tekstil atau penggunaan obat topikal. Pada

pasien ini dari anamnesis hanya ditemukan keluhan berupa gatal. Riwayat

penggunaan obat salep (+), tapi diberikan setelah lesi muncul. Jadi kemungkinan

untuk sumber alergi dari obat-obatan bisa disingkirkan. Untuk penggunaan tekstil,

pasien tidak mengeluhkan lesi muncul setelah menggunkan bahan tekstil tertentu.

Dari lesi kulit juga hanya ditemukan plak eritematosa dan papul. Sehingga

kemungkinan diagnosis dermatitis kontak alergi bisa disingkirkan.4

Diagnosis candidiasis kutis. Keluhan utama biasanya rasa gatal, disertai

lesi berupa kulit berupa bercak, batas tegas, bersisik, basah dan eritema. Lesi

dikelilingi oleh lesi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustule-pustul kecil atau

bula yang bila pecah dapat meninggalkan daerah yang erosi. Pada pasien memang

10

Page 11: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

ditemukan keluhan berupa gatal. Namun lesi pada pasien tidak ditemukan adanya

lesi satelit dan daerah predileksi untuk candidiasis adalah daerah intertriginosa

seperti lipatan ketiak, lipatan paha, intergluteal, lipatan payudara. Sedangkan pada

pasien tidak ditemukan didaerah lipatan.3,5,6

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sediaan

langsung kerokan kulit yang ditetesi larutan KOH 10% maka untuk Tinea corporis

yang merupakan infeksi oleh dermatosis akan tampak hifa, sebagai gambaran dua

garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet

(artrospora) pada kelainan kulit yang lama dan/atau sudah diobati. Pada pasien ini

didapatkan adanya hifa dan spora pada pemeriksaan KOH 10%, sehingga dapat

menegakkan adanya Tinea corporis. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan

untuk menyokong pemeriksaan mikroskopis dan untuk menentukan spesies jamur.

Pemeriksan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan

yaitu medium agar dextrosa sabouraud.1,2,3

Pemilihan terapi ini dengan memandang efikasi, keamanan dan harga obat

yang tepat untuk pasien. Untuk keluhan gatal dapat diberikan agen antihistamin.

Histamine ini sebagai stimulant yang kuat bagi ujung saraf sensorik uantuk

menimbulkan rasa gatal. Didapatkan beberapa reseptor histamine ditubuh salah

satunya yaitu reseptor H1 yang terletak pada membrane pasca sinaps.

Antihistamin bekerja sebagai antagonis kompetitif terhadap reseptor H1 sehingga

mencegah pengeluaran histamin, adhesi molekul sel radang serta influks sel

radang lain. Antihistamin sistemik generasi 1 (sedating antihistamines) dan

generasi 2 (nonsedating antihistamines). Sehingga lebih dipilih yang generasi

kedua agar tidak menyebabkan sedasi pada pasien karena pasien memiliki

aktivitas yang tinggi pada pagi hari sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, untuk

antihistamin generasi kedua ini dilepaskan secara lambat dari ikatannya sehingga

bekerja lebih lama yang berakibat pada penurunan frekuensi minum obat dalam

sehari dan meningkatkan kepatuhan minum obat pada pasien. Antihistamin

generasi kedua yang sering digunakan yaitu cetirizine dan loratadin. Loratadin

dimetabolisme dihepar melalui enzim hepar dan dapat berinteraksi dengan obat

lain yang dimetabolisme dihepar salah satunya obat antijamur golongan azole.

11

Page 12: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

Sedangkan cetirizine efek metabolism dihepar lebih minimal, sehingga lebih

dipilih penggunaan ceterizine pada pasien. Dari segi harga, kedua obat ini tidak

berbeda terlalu jauh.7,8,9

Pengobatan untuk tinea corporis secara topikal dapat diberikan salah satu

dari golongan allilamin dan imidazol. Imidazole ini bekerja dengan cara

menghambat 14-α-dimetilase pada pembentukan ergosterol membrane jamur

sehingga menyebabkan instabilitas dan hiperpremeabilitas sel jamur. Obat ini juga

memiliki efek anti inflamasi seperti inhibisi kemotaksis, aktivitas calmodulin serta

pelepasa histamine dari sel mast. Juga memiliki sedikit efek antibacterial terhadap

bakteri gram positif. Sedangkan allilamin bekerja dengan cara menghambat

ergosterol sehingga mengganggu stabilitas membrane sel jamur dan menyebabkan

hipersensitivitas sehingga terjadi kematian sel. Obat ini juga memiliki efek anti

inflamasi seperti imidazole yaitu menghambat adhesi sel PMN, mencegah

kemotaksis dan menghambat agen proinflamasi. Namun karena sedikitnya data

mengenai penggunaan obat topical golongan allilamin maka lebih dipilih obat

golongan imidazol. Obat antijamur topikal ini memiliki beberapa efek samping

seperti dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergi, dan urtikaria. Dari

golongan imidazol ini, obat ketokonazol dan mikonazol yang banyak tersedia

dalam bentuk generik. Dengan cara kerja yang sama, maka perlu dipertimbangkan

harga obat. Karena harga sediaan ketokonazol lebih murah dari mikonazol maka

lebih dipilih ketokonazol krim 2%. 10

Sedangkan untuk sistemik yang biasanya digunakan yaitu triazole,

imidazole atau griseofulvin. Griseofulvin berinteraksi dengan mikrotubulus dalam

jamur yang merusak serat mitotik dan menghambat mitosis. Obat ini

berakumulasi di daerah yang terinfeksi, disintesis kembali dalam jaringan yang

mengandung keratin sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu.

Griseofulvin tidak digunakan sebgai terapi pertama pada infeksi jamur.

Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut

dalam air pada pH asam. Itrakonazole bekerja dengan cara menghambat 14-α-

dimetilase pada pembentukan ergosterol membrane jamur. Itrakonazole ini

12

Page 13: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

digunakan sebagai terapi pertama untuk candida dan spesies nondermatofita.

Flukonazole merupakan golongan triazole bekerja sebagai terapi pertama untuk

candidiasis mukokutan. Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofita

atau candida. Sehingga dipilih ketokonazol untuk terapi oral pada pasien ini.

Selain itu pertimbangannya adalah ketokonazol memiliki harga yang lebih murah

dibandingkan itrakonazol dan flukonazol.9,11

Prognosis untuk pasien ini baik jika diberikan terapi yang sesuai dan

pasien memiliki kepatuhan yang tinggi untuk menjalankan terapinya. Kemudian

dilakukan KIE kepada pasien agar pasien tahu dan mengerti mengenai

penyakitnya, pengobatan dan pencegahan penyakitnya. Pasien dijelaskan bahwa

penyakitnya ini disebabkan infeksi jamur akibat kurang menjaga kebersihan.

Sehingga pasien perlu diberitahukan agar menjaga kebersihan, menggunakan

pakaian berbahan katun agar mudah menyerap keringat dan tidak lembab serta

tidak menggunakan handuk atau pakaian secara bersamaan dengan anggota

keluarga lain secara bergantian. Menjelaskan bahwa pasien diberikan 2 jenis obat

minum, yaitu obat menghilangkan atau mengurangi rasa gatal, kemudian obat

untuk menghilangkan jamur yang diminum selama 2 minggu serta obat yang

dioleskan pada paha, dioleskan 2 kali sehari setelah mandi.

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang sederhana

dengan pemeriksaan mikroskopis didapatkan diagnosis Tinea corporis. Untuk

mengetahui jenis spesies jamur dapat dilakukan biakan agar Sabouraud Dextrose

Agar. Pengobatan pada pasien ini didasarkan pada terapi simptomatis berupa

antihistamin generasi kedua yang memiliki efek sedative lebih ringan

dibandingakan generasi kedua. Serta terapi etiologis dengan pemberian antijamur

baik oral maupun topical dengan pemberian ketokonazol karena efektifitas dan

harga yang murah.

13

Page 14: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima, Cetakan Keempat. Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2009. Hal.89-103.

2. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,

Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, et al. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New

York; 2008.p.1807-1822

3. Siregar. Penyakit Jamur Kulit. Edisi Kedua. EGC : Jakarta; 2004. Hal. 8-43.

14

Page 15: Laporan Kasus Kulit-ria-tinea Corporis (3)

4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima, Cetakan Keempat. Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2009. Hal.129-

138.

5. Kuswadiji. Kandidosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima, Cetakan Keempat. Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2009. Hal.106-109.

6. Murtiastutik D, dkk. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kedua.

Dep./SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSUD Dr.Soetomo:

Surabaya; 2009. Hal. 65-93.

7. Sjabana D, dkk. Histamine, Serotonin dan Alkaloida Ergot : Katzung BG,

Julius DJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi Pertama. Salemba Medica :

Jakarta; 2001. Hal.467-482.

8. Limb SL, Wood RA. Chapter 230: Antihistamine. In: Wolff K, et al.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-

Hill : New York. 2008. p.2186-2193.

9. Menkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

302/Menkes/SK/III/2008 Tentang Harga Obat Generik. Menkes RI. 2008.

10. High WA, Fitzpatrick JE. Chapter 219: Topical Antifungal Agents. In: Wolff

K, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition.

McGraw-Hill : New York. 2008. p.2116-2121.

11. Bellantoni MS, Konnikov N. Chapter 233: Oral Antifungal Agents. In: Wolff

K, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition.

McGraw-Hill : New York. 2008. p.2211-2217.

15