refrat psikologi

Upload: steven-matuali

Post on 14-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

psikologi

TRANSCRIPT

REFRAT ILMU KEDOKTERAN JIWA

Gangguan Mental dan Perilaku yangBerhubungan dengan Masa Nifas

Disusun Oleh :Steven Matuali (07120110055)Pembimbing :dr. Waskita Roan, Sp KJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaFakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanSanatorium DarmawangsaPeriode : 23 Maret 25 April 2015Jakarta, 2015

Daftar PustakaBAB I3PENDAHULUAN3BAB II4TINJAUAN PUSTAKA42.1 Definisi42.2 Etiologi42.3 Faktor Resiko5Variabel demografik5Faktor psikososial5Riwayat gangguan psikiatrik5Faktor hormonal62.4 Manifestasi Klinis72.5 Diagnosis92.6 Diagnosis Banding142.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis14Daftar Pustaka19

BAB IPENDAHULUAN

Kehamilan, persalinan dan menjadi seorang ibu merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa-peristiwa itu mempunyai makna yang berbeda-beda bagi setiap wanita maupun keluarganya. Bagi banyak wanita peristiwa-peristiwa itu bermakna positf dan merupakan fase transisi yang menyenangkan ke tahap baru dalam siklus kehidupannya. Namun sebagaimana tahap transisi lain dalam fase kehidupan, peristiwa itu dapat pula menimbulkan stres sehingga respons yang terjadi dapat berupa kebahagiaan, maupun sebaliknya, seperti krisi lain dalam kehidupan, dapat juga menimbulkan kekecewaan. (1)Terjadinya perubahan peran, yaitu menjadi orang tua setelah kelahiran anak. Sebenarnya suami dan istri sudah mengalami perubahan peran mereka sejak masa kehamilan. Perubahan peran ini semakin meningkat setelah kelahiran anak. Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam mengahadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, namun tidak semua berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan psikologis.Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar kemudian lepas dari rahim, sampai enam minggu kemudian disertai dengan pulihnya kembali alat-alat kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lainnya yang berkaitan dengan persalinan. (2) Pada masa nifas ini ibu akan mendapati beberapa perubahan pada tubuh maupun emosi. Bagi yang belum mengetahui hal ini tentu akan merasa khawatir akan perubahan yang terjadi. Selama masa nifas 0,1-75 % wanita mengalami suatu tipe dari gangguan jiwa. Pada sebagian besar wanita gejala-gejala itu sementara dan relatif ringan. Namun sebagian kecil mengalami gangguan jiwa yang lebih berat dan persisten. Walaupun gangguan mood selama masa nifas adalah umum, gejala-gejala depresi yang muncul selama masa nifas biasanya terlewatkan oleh pasien dan perawatnya.(3) oleh sebab itu penting bagi ibu memahami apa saja perubahan yang terjadi agar dapat menangani dan mengenali tanda bahaya secara dini. Pengawasan dan asuhan post partum masa nifas sangat diperlukan yang tujuannya adalah menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 DefinisiGangguan jiwa adalah suatu gangguan yang secara klinis bermakna dan menimbulkan disfungsi dalam pekerjaan. Menurut arti dari PPDGJ III gangguan jiwa adalahpola perilaku atau psikologik yang secara klinis bermakna dan secara khas berkaitan dengan gejala, penderitaan (distress) serta hendaya (impairment) dalam fungsi psikososial. Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness /mental desease). Gangguan jiwa dan perilaku yang berhubungan dengan masa nifas adalah klasifikasi yang digunakan untuk gangguan jiwa yang berhubungan dengan masa nifas (timbul dalam 6 minggu setelah persalinan) (4)Gangguan psikiatrik masa nifas biasanya dibagi menjadi 3 kategori :1. Postpartum blues2. Depresi masa nifas non psikotik3. Psikosis puerperalis Pembagian ini sangat membantu konsep bahwa gangguan-gangguan ini terdiri dari suatu fase yang berkesinambungan dan makin lama makin berat. Maka dari itu mungkin terjadi tumpang tindih antara ketiga kategori. Walaupun ketiga kategori ini berbeda dari keparahan penyakitnya, tidak ada bukti nyata bahwa ketiganya adalah 3 gangguan yang berbeda sama sekali.2.2 EtiologiEtiologi tersebut diduga multifaktorial dan beberapa faktor risiko diduga berperan pada terjadinya depresi pasca salin antara lain faktor sosiokultural (dalam hal ini dukungan suami dan keluarga, atau mungkin juga faktor kepercayaan, etnik) faktor obstetrik ginekologik (kondisi bayi dan kondisi fisik ibu), faktor psikososial (adanya stresor psikososial, faktor kepribadian, riwayat mengalami depresi dan problem emosional lainnya), serta faktor hormonal. (5,6,7)Puerperium atau masa nifas adalah periode yang terdapat perubahan-perubahan fisiologis dan psikososial yang bermakna. Terjadinya perubahan hormonal yang cepat telah dipikirkan sebagai penyebab munculnya gangguan afektif. Bagaimanapun juga dampak faktor psikososial terhadap perkembangan gangguan afektif selama masa nifas tidak dapat disepelekan. Karena begitu banyaknya faktor yang berpengaruh dan kompleksnya interaksi antar faktor-faktor ini, membuat sulit untuk menentukan faktor-faktor risiko untuk gangguan psikiatrik masa nifas dan untuk memprediksikan secara tepat orang-orang yang akan mengalami gangguan afektif masa nifas.2.3 Faktor ResikoVariabel demografikBanyak kelompok studi telah meneliti hubungan antara risiko untuk terjadinya postpartum blues dan depresi serta beberapa variabel demografik seperti umur, status pernikahan, paritas, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Bagaimana pun juga terdapat sedikit bukti bahwa beberapa faktor demografik menempatkan seorang wanita pada risiko terjadinya gangguan afektif puerperalis. Walaupun sebagian besar studi tidak menemukan hubungan yang kuat antara umur dan risiko terjadinya gangguan afektif puerperalis, namun terdapat studi yang membuktikan bahwa depresi masa nifas lebih sering terjadi pada ibu usia adolesen. (8)Sangat sulit untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko terjadinya psikosis puerperalis karena sangat rendahnya prevalensi subtipe ini pada gangguan mental masa nifas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa primipara lebih rentan terhadap psikosis puerperalis daripada wanita multipara. Studi lain menunjukkan bahwa komplikasi obstetrik seperti partus lama, seksio sesaria, lahir mati (stillbirth) bisa meningkatkan kecenderungan terjadinya psikosis puerperalis. (9)Faktor psikososial Faktor psikososial nampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan kerentanan gangguan afektif selama masa nifas. Banyak studi yang mencari kaitan antara ciri kepribadian serta mekanisme tertentu namun penemuan-penemuannya masih inkonsisten.(9) Sebaliknya beberapa kelompok studi menemukan bahwa kehidupan yang penuh tekanan selama kehamilan atau dekat pada persalinan cenderung meningkatkan kecenderungan gangguan depresif masa nifas. Salah satu penemuan yang paling konsisten adalah gangguan depresif masa nifas paling umum terdapat pada wanita-wanita yang mendapatkan ketidakpuasan dalam perkawinan atau dukungan sosial yang inadekuat.(10)Riwayat gangguan psikiatrik Walaupun terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi variabel demografik dan psikososial yang spesifik yang secara konsisten dapat memprediksikan risiko gangguan psikiatrik masa nifas, terdapat asosiasi yang antara semua tipe gangguan psikiatrik masa nifas dan adanya riwayat gangguan afektif. (11)Hubungan antara riwayat gangguan depresif mayor yang meningkatkan risiko gangguan masa nifas belum terlalu jelas. Sebagai perbandingan terhadap wanita yang hanya mengalami episode depresif nonpuerperial, wanita yang mempunyai riwayat depresi masa nifas mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan penyakit yang sama. Untuk seluruh wanita (dengan atau tanpa depresi) kemunculan gejala-gejala depresi selama kehamilan meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi masa nifas.Faktor hormonal Masa nifas ditandai dengan pergantian lingkungan hormon secara cepat. Dalam 48 jam pertama setelah melahirkan, kadar estrogen dan progesteron turun secara dramatis dan secara bersamaan kadar kortisol menurun setelah melahirkan. Karena hormon-hormon ini telah dikenal berpengaruh pada gangguan afektif nonpuerperal, banyak peneliti menduga peranan besar dari hormon-hormon ini terhadap kemunculan gangguan afektif selama masa nifas.Progesteron Beberapa laporan telah menduga adanya keterkaitan antara gangguan afektif selama masa nifas dengan menurunnya konsentrasi progesteron dan menyarankan untuk dipakainya terapi hormon (progesteron) pengganti sebagai pengobatan gangguan afektif selama masa nifas. Namun beberapa studi menunjukan hasil hubungan yang lemah antara progesteron dan depresi pasca nifas sehingga The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) tidak memasukan terapi hormon progesteron sebagai pencegahan depresi pasca nifas.Estrogen Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kadar estrogen masa nifas dengan risiko terjadinya postpartum blues dan depresi dan menduga bahwa defisiensi estrogen pascasalin bisa menghasilkan gangguan afektif. Walaupun beberapa studi telah mengobservasi kadar estrogen yang rendah pada wanita yang berkembang menjadi depresi, sebagian besar studi tidak menemukan hubungan yang berarti.Kortisol Konsentrasi kortisol yang tinggi di akhir kehamilan mencapai puncaknya selama proses kelahiran. Konsentrasi kortisol menurun secara mendadak setelah persalinan dan kembali ke kadar semula seperti sebelum kehamilan secara bertahap selama beberapa bulan. Kekacauan dalam sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal bisa memainkan peranan penting dalam minimal beberapa kasus depresi mayor nonpuerperal. Namun beberapa studi terakhir tidak menemukan dukungan yang cukup untuk hubungan antara kadar kortisol dan postpartum blues atau depresi. Hormon tiroidKonsentrasi tiroksin tinggi selama kehamilan dan turun selama periode pascasalin. Tes fungsi tiroid yang abnormal biasa terjadi selama masa nifas. Hipotiroidisme klinis terjadi pada sampai 10% wanita setelah persalinan. Walaupun disfungsi tiroid terutama hipotiroidisme bisa menghasilkan gejala-gejala psikiatrik tidak ada studi yang melaporkan secara konsisten asosiasi antara depresi pascasalin atau blues dengan disfungsi tiroid. (baik hipotiroidisme atau hipertiroidisme)

2.4 Manifestasi KlinisPostpartum Blues Banyak wanita mendapatkan gejala-gejala depresi ringan selama minggu pertama setelah kelahiran anak, yang dikenal sebagai postpartum blues atau baby blues. Menurut kriteria yang dipakai untuk mendiagnosisnya prevalensinya berkisar antara 30-75%. Pada wanita dengan postpartum blues terdapat beberapa gejala termasuk disforia, labilitas mood, iritabilitas, tearfullness, ansietas dan insomnia. Gejala-gejala ini secara khas memuncak pada hari keempat atau kelima setelah persalinan dan sembuh spontan pada hari kesepuluh masa nifas. Postpartum blues relatif ringan dan terbatas waktunya. Beberapa wanita dengan blues akan tetap berlanjut menjadi depresi pasca salin. Wanita dengan riwayat gangguan afektif memerlukan pemantauan ketat, karena beberapa data menunjukkan bahwa blues dapat berkembang menjadi gangguan depresif mayor pada wanita dengan riwayat gangguan afektif. Gejala-gejala blues yang bertahan melebihi minggu kedua pasca salin membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkirkan evolusi menjadi penyakit jiwa yang lebih berat.(12)Depresi Pasca Salin Gangguan depresif mayor relatif sering terjadi selama masa nifas. Bila beberapa wanita dilaporkan menderita gejala-gejala singkat setelah kelahiran anak, depresi berkembang lebih perlahan kira-kira 3 sampai 6 bulan pertama pasca salin. Gejala dan tanda depresi masa nifas biasanya tidak dapat dibedakan dengan gangguan depresif mayor nonpsikotik yang terjadi pada wanita selain pasca salin. Afek disforik, iritabilitas, anhedonia, insomnia, dan fatigue adalah gejala-gejala yang sering dilaporkan. Perasaan ambivalen atau negatif terhadap bayi sering dilaporkan. Wanita dengan depresi pasca salin sering mengemukakan keraguannya terhadap kemampuannya merawat bayinya. Dalam bentuk yang paling parah, depresi pasca salin bisa menghasilkan disfungsi yang sangat berat. Ide bunuh diri sering ditemukan, namun angka bunuh diri relatif rendah pada wanita yang mengalami depresi selama masa nifas. Gejala-gejala ansietas umum, gangguan panik dan gangguan obsesif kompulsif sering didapatkan pada wanita dengan depresi pasca salin. Tabel perbedaan baby blues dan postpartum depression. (3)KarakteristikBaby BluesPostpartum Depression

Insidens30-75% ibu melahirkan10-15% ibu melahirkan

Onset3-5 hari pasca melahirkan3-6 bulan pasca melahirkan

DurasiHarian-mingguanBila tidak dirawat, bulanan-tahunan

StressorTidak terdapatTerdapat, khususnya kurang dukungan

Pengaruh SosiokulturalTidakBerkaitan

Riwayat Gangguan MoodTidakBerkaitan

Riwayat Keluarga TidakBerkaitan

TearfullnessYaYa

Mood yang LabilYaYa, namun cenderung ke arah depressi

AnhedoniaTidak Umum ditemukan

Gangguan TidurTerkadangHampir selalu

Ide untuk Bunuh DiriTidakTerkadang

Pikira untuk membahayakan bayiJarang ditemukanUmum ditemukan

Perasaan BersalahTidak ditemukan atau minimalUmum ditemukan

Psikosis PuerperalisPsikosis puerperalis adalah bentuk yang paling berat dari gangguan jiwa masa nifas. Berbeda dengan postpartum blues atau depresi, psikosis puerperalis lebih jarang terjadi dan angka kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 wanita pasca salin. Sebagian besar wanita yang menderita psikosis puerperalis gejalanya berkembang dalam 2-4 minggu pertama pasca salin. (8)Wanita dengan kelainan ini gejala psikotik dan tingkah laku yang kacau sangat menonjol sehingga menimbulkan disfungsi yang bermakna. Psikosis puerperalis menyerupai psikosis afektif yang berkembang cepat dengan gambaran manik, depresif atau tipe campuran. Tanda paling awal adalah kegelisahan yang tipikal, iritabilitas dan insomnia. Wanita dengan gangguan ini secara khas memperlihatkan pergantian yang cepat antara mood yang depresi dan manik, disorientasi atau depersonalisasi serta tingkah laku aneh. Waham biasanya berkisar pada bayinya termasuk waham bahwa anaknya telah meninggal, anaknya mempunyai kekuatan khusus, atau menganggap anaknya sebagai jelmaan setan atau Tuhan. Halusinasi dengar yang menyuruh ibu tersebut untuk menyakiti atau membunuh dirinya sendiri atau anaknya kadang-kadang dilaporkan. 2.5 DiagnosisPostpartum Blues atau Baby BluesDiagnosis postpartum blues dapat ditegakkan bila terdapat gejala-gejala seperti disforia, labilitas mood, iritabilitas, tearfullness, ansietas dan insomnia. Gejala-gejala ini umumnya memuncak pada hari keempat atau kelima setelah persalinan dan tidak lebih dari 2 minggu pasca salin. Depresi PostpartumDiagnosis postpartum depression dapat ditegakan bila terdapat gejala-gejala depresi seperti disforia, iritabilitas, tidak lagi melakukan hobi yang biasa dilakukan, anhedonia, insomnia, miskin bicara, tearfulness, keraguannya terhadap kemampuannya merawat bayinya, ide bunuh diri dan fatigue. Gejala-gejala ini umumnya berkembang perlahan kira-kira 3 sampai 6 bulan pertama pasca salin. Skrining untuk gangguan mood pasca persalinan Selain berdasar pada kriteria diagnosis, pemeriksaan klinis psikiatrik yang meliputi wawancara dan observasi, untuk keperluan skrining terhadap gangguan depresi pada wanita pasca persalinan yang berada dalam risiko tinggi dapat dilakukan dengan memakai skala penilaian.8 Untuk pemeriksaan skrining rutin dapat dibantu dengan alat pemeriksaan psikiatrik yang telah didisain oleh Cox dan kawan-kawan yaitu Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS).(17)Edinburgh Postnatal Depression Scale merupakan suatu alat skrining yang dilakukan sendiri, yang dapat meningkatkan secara signifikan deteksi depresi pasca persalinan, dibandingkan evaluasi klinik rutin.(18)Nilai skor Prediksi negatif yang tinggi untuk EPDS, merupakan pertimbangan penting sebagai alat screening untuk meniadakan diagnosa bila hasilnya negatif. (18)Edinburgh Postnatal Depression Scale adalah suatu kuesioner untuk mengevaluasi ada tidaknya simtom depresi pada seseorang, yang berupa self report scale terdiri dari kumpulan 10 pertanyaan, masing-masing skala mengukur intensitas simtom depresi dari 0 sampai 3, total skor dari 0 hingga 30. (19)Penerjemahan skala EPDS ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan dan telah divalidasi di Jakarta. Hasil dari studi validasi ini telah membuktikan bahwa instrumen ini dalam bahasa Indonesia lebih sahih dan reliable untuk digunakan pada wanita Indonesia.Validasi EPDS di Indonesia untuk wanita pasca melahirkan dianggap positif bila didapati skor EPDS lebih dari 10.Untuk deteksi dini EPDS dapat digunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan bila hasilnya meragukan pengisian dapat diulangi dua minggu kemudian. Tetapi pada penelitian Alfiben dan kawan-kawan tidak didapati perbedaan yang bermakna dalam jumlah kejadian DPP pada saat 48 jam dan 2 minggu pasca dan disimpulkan bahwa penilaian EPDS untuk mendeteksi adanya sindroma DPP yang dilakukan pada 48 jam pasca persalinan dapat dijadikan tolok ukur untuk melakukan intervensi dalam upaya mengatasi berlanjutnya sindroma DPP sedini mungkin.

Kuesioner Tingkat Depresi Pada Ibu Pasca Bersalin Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)

1

No. responden : Inisial:Umur ibu:Umur bayi:Alamat:Tanggal persalinan :Jenis persalinan : 1. Normal2. Secio cesar3. Vakum ekstraksi4. Cunam5. InduksiMelahirkan anak ke- :Pendidikan terakhir ibu :1. Tidak sekolah/ tidak tamat sd2. Tamat Sd3. Tamat Smp4. Sma5. Perguruan tinggiPekerjaan ibu :Pekerjaan suami :

1. Apakah ibu mendapatkan dukungan suami selama kehamilan?a. Yab. Tidak2. Apakah ibu mendapatkan dukungan suami yang cukup selama masa kehamilan?a. Yab. Tidak3. Apakah suami ibu hadir ketika persalinan?a. Yab. Tidak4. Apakah ibu memperoleh dukungan emosi dari suami?a. Yab. Tidak5. Apakah suami ibu memberikan bantuan selama kehamilan?a. Ya b. Tidak6. Apakah suami ibu dapat diandalkan?a. Yab. Tidak7. Apakah ibu mendapatkan dukungan dari keluarga/kerabat selama kehamilan?a. Yab. Tidak8. Apakah ibu mendapatkan dukungan dari keluarga/kerabat yang cukup selama masa kehamilan?a. Yab. Tidak9. Apakah ibu memperoleh dukungan emosi dari keluarga/kerabat?a. Yab. Tidak10. Apakah dari keluarga/kerabat ibu memberikan bantuan selama kehamilan?a. Ya b. Tidak11. Apakah dari keluarga/kerabat ibu dapat diandalkan?a. Yab. Tidak

Pertanyaan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)

1. Saya sudah dapat tertawa melihat hal-hal yang lucua. Sesering mungkinb. Tidak terlalu seringc. Pasti tidak begitu seringd. Tidak sama sekali2. Saya sudah dapat menemukan hal-hal yang menyenangkana. Selalu menyenangkanb. Agak kurang menyenangkanc. Sudah pasti kurang menyenangkand. Sangat sulit menemukan kesenangan3. Saya menyalahkan diri ketika hal-hal tidak beresa. Ya, setiap saatb. Ya, beberapa kali sajac. Tidak terlalu seringd. Tidak pernah4. Saya selalu cemas atau khawatir tanpa alasana. Tidak sama sekalib. Hampir Tidak pernahc. Ya, kadang-kadangd. Ya, sering5. Saya merasa takut atau panik tanpa alasan yang jelasa. Ya, seringb. Ya, kadang-kadangc. Tidak begitu seringd. Tidak sama sekali6. Hal-hal yang membebaniku mampu diselesaikana. Ya, selalu tidak mampu di atasib. Ya, kadang tidak dapat diatasic. Tidak , kebanyakan dapat di atasid. Tidak, dapat diatasi7. Saya tidak bahagia dan sering sulit tidura. Ya, selalub. Ya, kadang-kadangc. Tidak, seringd. Tidak, sama sekali8. Saya merasa sedih atau sengsaraa. Ya, selalub. Ya, kadang-kadangc. Tidak, seringd. Tidak, sama sekali9. Saya tidak begitu bahagia dan sering menangisa. Ya, setiap saatb. Ya, kadangc. Hanya sekalid. Tidak pernah10. Saya akan melukai diri sendiria. Ya, seringb. Ya, kadang-kadangc. Hampir tidak pernahd. Tidak pernah sama sekali

Soal nomor 1, 2, & 4a = 0b = 1c = 2d = 3

Soal nomor 3, 5-10a = 3b = 2c = 1d = 0

0-8 = Kemungkinan rendah untuk depresi8-12 = Kemungkinan besar baby blues13-14= Kemungkinan depresi postpartum15+= Kemungkinan besar depresi postpartum Psikosis PostpartumDiagnosis psikosis postpartum dapat ditegakan bila terdapat gejala-gejala manik atau depresi atau bipolar disertai dengan halusinasi dan waham. Gejala-gejala ini umumnya berkembang dalam 2-4 minggu pasca salin 2.6 Diagnosis Banding Beberapa penyakit medis dapat menyerupai gangguan psikiatrik selama masa nifas. Hipotiroidisme relatif umum pada wanita pasca salin dan dapat menyebabkan gejala menyerupai gangguan depresif mayor. Wanita dengan gangguan psikiatrik sebelumnya dapat mengalami eksaserbasi selama masa nifas. Lebih jauh lagi gangguan psikiatrik tertentu dapat muncul untuk pertama kalinya pada masa nifas. Skizofrenia atau gangguan skizoafektif terutama bila terdapat gejala positif dapat sulit dibedakan dengan psikosis puerperalis. Gejala ansietas merupakan gejala yang umum selama masa nifas dan bisa timbul dengan atau tanpa gangguan mood. Masa nifas merupakan masa peningkatan risiko gangguan panik dan gangguan obsesif kompulsif.2.7 Perjalanan Penyakit dan PrognosisDurasi gangguan psikiatrik masa nifas bervariasi. Banyak wanita yang menderita gangguan tersebut lebih lama dan beberapa studi menegaskan bahwa episode depresif lebih berat pada orang-orang yang mempunyai riwayat gangguan depresif mayor. (13)Secara umum wanita dengan gangguan mood pasca salin mempunyai prognosis yang baik. Pada kira-kira setengah kasus depresi pasca salin atau psikosis puerperalis merupakan onset gangguan psikiatrik yang pertama. Walaupun diperkirakan adanya subpopulasi wanita yang hanya mempunyai episode puerperal gangguan psikiatrik, mayoritas wanita dengan gangguan gangguan psikiatrik masa nifas akan berlanjut mempunyai episode gangguan psikiatrik nonpuerperal.Kegagalan mengobati bisa berperan dalam timbulnya gangguan psikiatrik jangka panjang dan lebih refrakter terhadap pengobatan. Data-data ini menegaskan bahwa hasil akan lebih baik bagi wanita yang mendapat pengobatan dini.Pada kepustakaan dijelaskan mengenai efek depresi ibu terhadap perkembangan anak. Gangguan mengurus anak merupakan kesulitan yang umum terjadi pada wanita dengan depresi masa nifas atau psikosis. Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa terdapat gangguan tingkah laku pada anak yang ibunya menderita depresi masa nifas. Anak-anak ini pun memperlihatkan kekurangan pada tes kemampuan kognitif yang terstruktur dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya tidak depresi. Salah satu kejadian yang paling berbahaya adalah kekerasan pada anak. Wanita yang menderita gangguan psikiatrik lebih banyak menelantarkan anaknya dan lebih banyak terjadi child abuse. Pembunuhan anak relatif jarang terjadi dan bila terjadi lebih banyak pada wanita penderita psikosis. 2.8 Tatalaksana (14)Seperti halnya penyakit depresif nonpuerperal. Pasien bisa mengalami gejala ringan, sedang atau berat. Pendekatan klinisi terhadap pasien harus didasari jenis dan beratnya gejala serta derajat kemunduran fungsi. Bagaimana pun juga sebelum memulai terapi psikiatrik, penyebab medis dari gangguan mood (seperti disfungsi tiroid, sindroma Sheehan) harus disingkirkan terlebih dahulu. Evaluasi inisial harus mencakup riwayat yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium rutin. Postpartum BluesKarena postpartum blues biasanya gejalanya ringan dan sembuh secara spontan, tidak ada pengobatan spesifik yang diindikasikan kecuali dukungan (support) dan penentraman hati (reassurance). Walaupun gejala-gejala bisa membuat ibu menjadi distress namun secara khas tidak mengganggu kemampuan ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya. Konsultasi psikiatrik biasanya tidak diperlukan, namun dimonitor keadaannya dalam 2 minggu apa bila gejala tidak hilang atau bertambah parah, konsultasi ke psikiatrik disarankan. Depresi Pasca SalinWalaupun depresi pasca salin relatif sering terjadi, hanya sedikit studi yang membahas secara sistematis efektifitas terapi farmakologis dan non farmakologis pada gangguan ini. Bagaimanapun juga tidak ada data yang menunjukkan bahwa pengelolaan depresi pasca salin berbeda dengan gangguan depresif mayor nonpuerperal. Karena tidak adanya data, depresi pasca salin memerlukan pengobatan dengan intensitas yang sama seperti pada waktu yang lain. Makin dini depresi pasca salin diobati makin baik prognosisnya. Terapi NonfarmakologisTerapi nonfarmakologis biasanya dilakukan pada depresi pasca salin, dan merupakan pilihan yang baik bagi wanita dengan depresi ringan atau sedang yang tidak ingin mengkonsumsi obat atau sedang menyusui. Terapi interpersonal terbatas waktunya dan psikoterapi berorientasi interpersonal telah berhasil pada pasien depresi nonpuerperal. Modalitas terapi ini terpusat pada hubungan interpersonal dan telah diadaptasi untuk pengobatan depresi pasca salin. Terapi interpersonal bisa berguna pada keadaan berikut ini : transisi peran gangguan hubungan suami istri dan dukungan sosial lainnya interaksi dengan bayiPertemuan terstruktur terpusat pada tema spesifik pada ibu dengan depresi pasca salin yaitu ketidak mampuan menanggulangi perawatan anaknya merasa kekurangan dukungan, tidak adanya aktivitas yang menyenangkan. Terapi Farmakologis Beberapa studi telah mengukur efikasi medikasi antidepresan pada pengobatan gangguan mood pasca salin. Beberapa studi telah mendemonstrasikan efikasi medikasi antidepresan. (misalnya fluoksetin, sertralin, venlafaksin) pada terapi gangguan depresif mayor pasca salin. Pada seluruh studi, dosis antidepresan standar efektif dan ditoleransi dengan baik.Pilihan obat antidepresan harus dipandu dengan respon pasien terhadap antidepresan sebelumnya dan profil efek samping obat sebelumnya. Fluoksetin dan golongan SSRI lainnya obat pilihan pertama karena adanya efek ansiolitik, biasanya non sedatif, dan bisa ditoleransi dengan baik. Antidepresan trisiklik sering digunakan, karena efek sedatifnya yang kuat dan baik digunakan bagi wanita dengan gangguan tidur. Karena seringnya dijumpai gejala ansietas pada wanita dengan depresi pasca salin, maka tambahan terapi benzodiazepin (diazepam, lorazepam) bisa sangat membantu. (16)-Fluoxetine (Prozac) sediaan 20mg, dosis anjuran 20-40 mg-Amitriptyline (Amitriptyline) sediaan 25mg, dosis anjuran 75-100mg-Diazepam (diazepam) sedian 2-5mg, dosis anjuran 2-3x2-5mgWanita yang akan menyusui anaknya harus diberitahu bahwa semua medikasi psikiatrik termasuk obat antidepresan disekresikan ke dalam air susu ibu. Konsentrasi dalam air susu sangat bervariasi, namun tidak ada data yang menunjukkan bahwa antidepresan yang satu lebih aman dari pada antidepresan yang lain. Data yang ada pada penggunaan obat antidepresan trisiklik, fluoksetin, dan sertralin selama menyusui bayi menunjukkan bahwa komplikasi berat pada neonatus karena paparan air susu yang mengandung psikotropik jarang terjadi. Namun efek pemakaian jangka panjang tidak diketahui.

Perawatan rumah sakitPada depresi pasca salin perawatan rumah sakit diperlukan, terutama bagi pasien yang mempunyai risiko bunuh diri. Electro konvulsif terapi (ECT)Wanita dengan depresi pasca salin yang berat harus dipertimbangkan terapi elektro konvulsif karena efektif dan aman. Pada pemilihan strategi pengobatan, penting untuk mempertimbangkan dampak dari perawatan rumah sakit yang lama terhadap perkembangan bayi dan kedekatan ibu dan bayi.(15) Terapi HormonalPeriode pasca salin berhubungan dengan pergantian lingkungan hormonal yang cepat, terutama turunnya estrogen dan progesteron dengan drastis. Dengan meningkatnya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sistem neurotransmiter yang dimodulasi steroid gonad terlibat dalam patogenesis gangguan mood, banyak peneliti mengusulkan manipulasi hormonal dalam pengobatan gangguan mood pasca salin. Beberapa penulis menyarankan pengobatan esterogen dan progesteron pada pengelolaan depresi pasca salin. Pada kasus depresi sedang sampai berat, pengobatan farmakologi lini pertama haruslah antidepresan. Psikosis Puerperalis (16)Psikosis puerperalis adalah keadaan emergensi psikiatrik yang memerlukan perawatan rumah sakit. Karena hubungan yang erat antara psikosis puerperalis dan gangguan bipolar, beberapa peneliti berargumen bahwa psikosis pasca salin tidak bisa dipisahkan dari psikosis manik dan harus diterapi serupa. Pengobatan jangka pendek dengan antipsikotik sudah cukup bagi penderita gangguan ini. Sebagian besar peneliti telah mencoba pengobatan litium pada psikosis puerperalis. Efikasi stabilisator mood lainnya (asam valproat, karbamazepin) belum terlalu banyak diketahui. Menyusui harus dihindari pada pasien yang menggunakan litium, karena litium diekskresikan ke dalam air susu dalam jumlah tinggi menyebabkan toksisitas pada neonatus. Chlopromazine baik untuk gejala + (Chlopromazine) sediaan 25-100mg, dosis anjuran 150-600mg Haloperidol baik untuk gejala (Haldol) sediaan 2-5mg, dosis anjuran 5-15mg Lithium Carbonate (Frimania) sediaan 200-300-400-500mg, dosis anjuran 250-500mg Carbamazepine (Tegretol) sediaan 200mg, dosis anjuran 400-600mgECT ditoleransi dengan baik dan efektif dengan cepat. Kegagalan mengobati psikosis puerperalis menempatkan ibu dan bayinya ke dalam risiko. Infantisida yang berkaitan dengan psikosis puerperalis yang tidak diobati sebesar kurang lebih 4% dan risiko bunuh diri pada populasi ini juga sangat tinggi.Walaupun beberapa penulis menganjurkan penghentian medikasi psikotropik segera setelah gejala psikosis hilang, beberapa penulis lain menganjurkan pengobatan yang lebih lama dengan alasan wanita tersebut berada pada risiko tinggi untuk mendapat gangguan psikiatrik berat selama 1 tahun setelah kelahiran bayi. Pemakaian jangka panjang antipsikotik konvensional harus diminimalisasi karena risiko diskinesia tardif. Jika medikasi neuroleptik dihentikan harus diturunkan dosis secara bertahap dengan pengawasan ketat untuk memantau kekambuhan yang bisa terjadi. Pengobatan dengan stabilisator mood harus diteruskan sampai hilangnya gejala-gejala aktif untuk mengurangi risiko kambuh. Lamanya terapi yang adekuat dengan stabilisator mood belum ditetapkan secara baku. Pasien psikosis puerperalis harus menerima pengobatan stabilisator mood lanjutan untuk waktu yang tidak ditentukan masih merupakan kontroversi, walaupun beberapa studi menegaskan bahwa gangguan mood rekuren (terutama gangguan bipolar) sering kali terjadi setelah episode psikosis puerperalis.

Daftar Pustaka

1. Elvira ED. Depresi pasca persalinan. Indon Psychiat Quart 2000 : XXXIII . 2 : 109-10.2. Sarwono, P. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Saworno3. Kaplan HI, Saddock BJ. Comprehensive Text Book of Psychiatry, 7th ed. Baltimore, William & Wilkins. 20004. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 1993 5. Buist A, Westley D, Hill C. Antenatal prevention of postnatal depression. Archieves of Womens Mental Health. Springer-Verlag 1999: 167.6. Hagen EH. Is postpartum depression functional? An evolutionary inquiry. A paper presented at the Human Behavior and Evolution Society Annual Meeting, Northwestern University, Evanston Illinois June 1996; 1-2, 9-13.7. Chung-Hey Chen. Etiology of postpartum depression - A review. Kaohsiung J Med Sci 1995; 11:14.8. K.S. Kendler, R.C. Kessler, M.C. Neale, A.C. Heath, L.J. Eaves Am. J. Psychiatry, 150 (1993), pp. 113911489. Agrawal P, Bhatia MS, Malik SC. Post partum psychosis: a clinical study. Int J Soc Psychiatry 1997, 43:3, 217-22.10. Kumar R, Marks M, Wieck A, Hirst D, Campbell I, Checkley S. Neuroendocrine and psychosocial mechanism in post partum psychosis. Prog Neuropsycopharmacol Biol Psychiatry 1993, 17:4, 571-9.11. Glaze R, Chapman G, Murray D. Recurrence of puerperal psychosis during late pregnancy. Br J Psychiatry 1991, 159: 567-9.12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders, 4th ed. Washington DC, American Psychiatric Association. 1994: 296-301.13. Videbech PB, Gouliaev GH. Prognosis of the onset of postpartum psychosis. Demographic, obstetric and psychiatric factors. Ugeskr Laeger 1996, 158:21, 2970-4.14. Pinkofsky HB. Psychosis during pregnancy: treatment considerations. Ann Clin Psychiatry 1997, 9:3, 175-9.15. Berle JO. Severe postpartum depression and psychosis when is electroconvulsive therapy the treatment of choice? Tidsskr Nor Laegeforen 1999, 119:20, 3000-3.16. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, 1st ed. Jakarta: 199817. Norhana SW. Pendekatan Psychiatry Liaison pada Depresi Pasca Partus. Indonesian Psychiatric Quarterly Desember 1995 ; XXVIII ;4:91-818. MacQueen G, Chokka P. Special Issues in the Management of Depression in Women. Can J Psychiatry 2004 ; 49 : 27-40.19. Reid V, Oliver MM. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An Integrative Review of the Literature. Journal of Pediatric Health Care 2007 ; 21 : 289-298