refrat lengkap
TRANSCRIPT
REFRAT
PENATALAKSANAAN TERMUTAKHIR HEPATITIS VIRUS C
Agung Nopriansah04043100045
Pembimbingdr. H. Syadra Bardiman, SpPD, K-GEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2008
HALAMAN PENGESAHAN
Refrat
Judul
PENATALAKSAAN TEMUTAKHIR HEPATITIS VIRUS C
Oleh:
Agung Nopriansah, S.Ked(040043100045)
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammad
Husein Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 19 Agustus-27
Oktober 2008
Palembang, Oktober 2008
Dr. H. Syadra Bardiman, SpPD, K-GEH
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. dr. Eddy Mart Salim, SpPD,
K-AI selaku koordinator pendidikan di Bagian Peyakit Dalam yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu dan ketrampilan di bagian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan refrat, yang
berjudul “Penatalaksanaan Termutakhir Hepatitis Virus C”, ini kepada dr. H. Syadra
Bardiman, SpPD, K-GEH. Dan terakhir, bagi semua pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, rela maupun tidak rela, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima kasih atas bantuannya hingga refrat ini
dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan imbalan
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam refrat ini masih banyak kekurangan baik itu
dalam penulisan maupun isi refrat. Karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi sempurnanya refrat ini. Penulis berharap refrat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Oktober 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .........................................................................................1
BAB II. HEPATITIS VIRUS C
II.1. Etiologi .........................................................................................................3
II.2. Siklus hidup virus hepatitis C .......................................................................4
II.3. Penularan ......................................................................................................5
II.4. Manifestasi klinis .........................................................................................6
II.5. Diagnosis ......................................................................................................7
BAB III. PENATALAKSANAAN HEPATITIS VIRUS C
III.1. Interferon pegilasi........................................................................................9
III.2. Ribavirin....................................................................................................10
III.3. Respon terapi.............................................................................................11
III.4. Efek samping.............................................................................................12
BAB IV. RINGKASAN............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB IPENDAHULUAN
Hepatitis C adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis C (HVC). Dahulu hepatitis C diklasifikasikan sebagai hepatitis pasca
transfusi (HPT), lalu kemudian dikelompokkan ke dalam hepatitis non-A non-B.
Namun dengan bantuan tehnik kloning molekuler pada tahun 1989, para peneliti dari
Chiron Corporation dari California berhasil mengidentifikasikan Hepatitis Virus C
sebagai penyebab hepatitis non-A non-B. Dan pada saat ini, disepakati untuk
memberi nama Hepatitis Virus C pada HNANB yang transmisinya melalui produk
darah atau secara parenteral. Perkembangan pengetahuan mengenai hepatitis C
sangatlah pesat pada beberapa dekade ini, tidak hanya terbatas pada etiologi virus,
namun juga pada tingkat kronisitas dan progresifitas maupun dari sisi terapi infeksi
virus ini.
Penyebaran hepatitis C adalah melalui darah yang terinfeksi atau secara
parenteral. Penderita hepatitis C pada umumnya disebabkan karena penggunaan obat-
obatan terlarang yang disuntikkan secara bergantian dan penggunaan jarum yang
kotor pada saat membuat tato/tindik. Diperkirakan lebih dari 170 juta orang di dunia
terinfeksi hepatitis C, dan setiap tahun 3 - 4 juta orang terinfeksi. Hepatitis C saat ini
masih berada di tempat kedua sebagai penyebab hepatitis virus kronik di Indonesia,
dengan prevalensi 2,1%. Bila dihitung secara kasar, dari 100 orang yang terinfeksi
hepatitis C, kira-kira ada 25 orang yang mampu membersihkan virus tanpa perlu
pengobatan dalam waktu enam bulan setelah terinfeksi. Namun pada umumnya (kira-
kira 75 orang) infeksi virus akan berkembang menjadi kasus kronik dan memerlukan
pengobatan untuk menyembuhkannya.1 Beberapa orang mungkin tidak mengetahui
kalau mereka terinfeksi dan mengalami kerusakan hati sebelum infeksi terdiagnosis.
Jika tidak diobati, hepatitis C dapat berkembang menjadi sirosis hepatis (pengerasan
hati) atau kanker hati dan mungkin memerlukan transplantasi hati.
Terapi hepatitis C telah berkembang dalam 20 tahun terakhir ini. Saat pertama
kali teridentifikasi dan dokter mulai melakukan pengobatan, mereka hanya mampu
1
mengendalikan/menghilangkan virus pada 10%-20% penderita. Saat ini, terapi baru
memperlihatkan keberhasilan pada 50% - 80% penderita. Pada pengobatan hepatitis
C biasanya diberikan kombinasi interferon injeksi dan ribavirin peroral. Pasien harus
memenuhi beberapa kriteria sebelum mendapat pengobatan. Sebagai contoh terapi
interferon dan ribavirin adalah: peningkatan SGOT dan SGPT, HVC RNA positif,
tidak ada masalah kejiwaan, tiroid, anemia dan beberapa keadaan lain yang bisa
memburuk karena pemberian interferon. Selain itu, genotipe virus, disiplin dan
keteraturan dalam menjalani pengobatan, kesiapan untuk menerima efek samping
pengobatan juga mempengaruhi keberhasilan terapi. Data di Poliklinik Hepatologi
RSCM sepanjang tahun 2001, dari 62 penderita hepatitis C yang berkunjung hanya 2
orang yang memenuhi syarat dan sanggup menjalani terapi interferon.2 Masalah
berikutnya yang harus dihadapi adalah kegagalan pengobatan. Pengobatan hepatitis C
belumlah memberikan hasil yang memuaskan. Pada awalnya interferon merupakan
satu-satunya pilihan dengan keberhasilan terapi (sustained virological responses)
antara 6-16%. Selanjutnya monoterapi dengan interferon mulai ditinggalkan, dan
digunakan kombinasi dengan ribavirin. Kesembuhan yang dicapai meningkat, yaitu
33-41%, namun tidak berarti hal ini telah memenuhi kriteria sempurna, karena setelah
pengobatan masih ada kelompok yang tetap mengidap virus Hepatitis C.
Prognosis hepatitis C lebih buruk dibanding dengan hepatitis tipe lainnya, bila
dilihat dari banyaknya kasus yang berkembang menjadi sirosis, yaitu sebesar 33%
dari pasien yang terinfeksi virus hepatitis C. Oleh karena itu, pengobatan yang lebih
baik tidak terbantahkan lagi sangatlah dibutuhkan. Walau tidak dipungkiri dalam
beberapa dekade ini, semakin banyak pemahaman mengenai hepatitis C yang telah
diketahui sehingga juga turut berpengaruh pada perkembangan terapi. Sehingga
diharapkan di masa yang akan datang akan ditemukan agen antivirus yang mampu
memberikan respon terapi yang lebih baik pada pasien hepatitis C.
2
BAB IIHEPATITIS VIRUS C
II.1. Etiologi
Sampai bertahun-tahun lamanya belum ditemukan macam virus dari HNANB,
dan belum ada petanda serologis yang khas untuk mendeteksinya. Sehingga untuk
membuat diagnosis hanya dengan menyingkirkan kemungkinan infeksi HVA dan
HVB, juga terhadap virus lainnya misalnya terhadap virus Coxsakie B, Ebstein Barr
dan Cytomegalovirus.
Suatu sistem antigen-antibodi yang spesifik dan berbeda dengan antigen-
antibodi HVA dan HVB telah ditemukan oleh Shirachi dan kawan-kawan (1978)
pada penderita hepatitis pasca-transfusi. Oleh beberapa peneliti, antigen-antibodi itu
disebut dengan antigen hepatitis C dan antibodi anti-HVC, meskipun hal ini masih
diperdebatkan. Antigen dapat dideteksi sebelum atau segera sesudah terjadi
peningkatan kadar transaminase dalam serum dan hilang sebelum transamninase
menjadi normal lagi. Antibodi terhadap HNANB tidak lama menetap. Sistem antigen-
antibodi ini kemudian diketahui tidak ditemukan pada semua penderita HNANB.
Sehingga oleh beberapa peneliti lain dianggap bahwa sampai sekarang belum ada
pemeriksaan serologis yang cukup sensitif dan spesifik untuk HNANB. Karena itu
pemeriksaan SGPT lebih banyak dipakai dalam menentukan gambaran HNANB.
Akhirnya pada tahun 1988 para peneliti dari Chiron Corporation di California
telah menemukan virus hepatitis bar, yang disebut hepatitis virus C (HVC),
ditemukan pada penderita HNANB yang transmisinya melalui darah atau produk
darah. Genom virus ini merupakan untaian RNA tunggal, yang panjangnya 10.000
nukleotida. HVC mengandung selubung lipid dengan diameter 50-60 nm dan sensitif
terhadap pelarut organik misalnya kloroform. Antigen virus mengadung 363 asam
amino. Anti HVC telah ditemukan pada serum penderita HNANB pasca-transfusi
sebanyak 60-90%. Dengan demikian sejak saat ini HNANB yang transmisinya
parenteral, disebut HVC. Karena itu terhadap setiap donor darah harus dilakukan uji
saring, tidak hanya terhadap HbsAg saja, tetapi juga pada HVC.3
3
II.2. Siklus hidup virus hepatitis C
Jika masuk ke dalam darah maka HVC akan segera mencari hepatosit dan
kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HVC bisa berkembang biak.
Sulitnya membiakkan HVC pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-
primata, telah menghambat lajunya riste HVC. Namun proses siklus hidup HVC telah
dapat dijelaskan. Pertama, HVC masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu
reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas,
namun protein permukaan sel CD81 adalah suatu HVC binding protein yang berperan
dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein
E2 menempel pada reseptor site di bagian luar hepatosit. Selanjutnya protein inti dari
virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi, dimana selaput lemak
bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan
menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput
virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan kleuarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit
dalam membuat bahan-bahan untuk replikasi. Kemudian virus dapat membuat sel hati
memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup
fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.
Virus lalu membajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi
protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. RNA virus
dipergunakan sebagai cetakan untuk produksi massal poliprotein (proses translasi).
Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis
yaitu protein struktural dan regulatori. Protein reglatori memulai sintesis kopi virus
RNA asli. RNA virus mengkopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali)
untuk menghasilkan bahan dalam membnetuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif lalu bertindak sebagai
cetakan untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan
kopi identik materi genetik virus. Proses ini berlangsung terus dan memberikan
kesempatan untuk terjadinya mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain
baru virus dan subtipe virus hepatitis C. Setiap kopo virus baru akan berintreraksi
4
dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan
kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru.
Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah
menembus membran sel. Replikasi HVC dalam sehari sangatlah berlimpah dan
diperkirakan bahwa seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion
per hari.4
II.3. Penularan
HVC adalah virus yang ditularkan lewat darah (blood-borne). Jalan utama
infeksi meliputi:
Transfusi darah atau produk darah dengan sumber darah yang belum di-
skrining.
Pemakaian berulang jarum, kanula atau alat medis lainnya yang tidak steril.
Saling tukar suntikan oleh pengguna narkoba suntik (Injecting Drug User=
IDU).
Tindik (telinga, hidung, bagian tubuh lain), tato dengan peralatan yang tidak
steril.
Penularan seksual dan perinatal bisa terjadi namun lebih jarang. Resiko tular ibu-ke-
anak relatif rendah (5%). HVC tidak ditularkan melalui: bersin, pelukan, batuk,
makanan, air, penggunaan peralatan makan atau kontak biasa.
Kelompok risiko tinggi (di negara berkembang maupun maju) adalah:
Pemakai narkoba suntik
Penerima darah/produk darah yang belum diskrining HVC pada Bank Darah
(Catatan: Di Amerika, darah pada bank darah wajib diperiksa terhadap HIV
dan HVC)
Penerima organ yang belum diskrining HVC
Pasien hemofilia
Pasien cuci darah/dialisa
Orang dengan mitra seksual yang terinfeksi HVC (tanpa kondom), terutama
laki-laki homoseksual
Tenaga medis yang tertusuk instrumen yang terkontaminasi
5
Pasien yang menjalani prosedur medis atau gigi dengan alat yang tidak steril
Di negara maju diperkirakan 90% pasien yang terinfeksi adalah pengguna atau
mantan pengguna narkoba suntik dan mereka yang pernah menerima transfusi
darah/produk darah yang tidak diskrining.5
Di negara berkembang dimana prosedur skrining HVC untuk darah/produk darah
transfusi belum rutin, transfusi merupakan jalur tular utama. Praktek ritual (sunat,
tindik, tato, dll), terapi alternatif (sedot darah) dan aktivitas lain yang menembus kulit
merupakan jalur tular alternatif.
II.4. Manifestasi klinis
Gejala HVC akut lebih ringan daripada hepatits virus akut lainnya. Masa
inkubasi HVC terletak antara HVA dan HVB, yaitu sekitar 2-26 minggu, dengan rata-
rata 8 minggu. Mempunyai masa prodromal yang tidak khas yang diikuti oleh tanda-
tanda ikterus. Sebagian besar kasus sekitar 40-75% tanpa gejala (asimptomatik).
Umumnya tanda ikterus jarang ditemukan, yaitu hanya sekitar 10%, dan biasanya
bersifat ringan. Kenaikan bilirubin serum tidak terlalu tinggi. Pada hepatitis anikterik
kadar transaminase yang tinggi lebih banyak ditemukan pada hepatitis pasca-transfusi
bila dibandingkan dengan hepatitis ikterik. Naiknya kadar transaminase ini brkisar 6-
8 minggu. Walaupun demikian nilai transaminase tidak sampai setinggi pada HVA
atau HVB, namun dalam perjalanan penyakit terjadi fluktuasi selama beberapa bulan.
Fluktuasi dari transaminase yang bebrbentuk mono, bifasik atau tipe mendatar.
Keadaan ini tidak ditemukan pada hepatitis virus akut lainnya. Pada penderita
hepatitis akut ditemukan anti-HVC positif pada 75,5% HNANB pasca-transfusi, 35%
pada HNANB sporadik dan hanya 2,4% pada HVB. Yang mencolok disini ialah
bahwa sebagian besar penderita yang terserang HVC akan menjurus menjadi kronis.
Dan angka kejadiannya jauh lebih tinggi daripada penderita HVB. Dari hasil
penelitian sekitar 50% kasus bekembang menjadi kronis, dan 20% di antaranya akan
menjadi sirosis hepatis. Dari hasil penelitian ditemukan 54% anti_HVC positif pada
serum penderita fase akut yang diambil 30-60 hari setelah timbulnya gejala, dan 67%
di antaranya memperlihatkan tetap positif dengan tanda-tanda kronis yang diambil 6-
6
36 bulan setelah timbulnya gejala. Selanjutnya waktu rata-rata untuk menjadi sirosis
hati sekitar 17 tahun, dan sekitar 20-25 tahun menjadi karsinoma hati. Diduga faktor
usia dan cara penularan mempunyai peranan penting. Makin tua usia penderita yang
terkena infeksi HVC lebih sering menjurus ke hepatitis kronis. Demikian pula infeksi
yang terjadi melalui transfusi lebih sering dapat mengakibatkan penyakit hati kronik
dan sirosis hati daripada penderita dengan penularan sporadik.6
II.5. Diagnosis
Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvensional untuk medeteksi
keberadaan antigen HVC tidaklah tersedia, sehingga pemeriksaan untuk
mendiagnosis infeksi HVC tergantung pada uji serologi untuk memeriksa antibodi
dan pemeriksaan molekular untuk partikel virus. Uji serologi yang berdasarkan pada
deteksi antibodi telah membantu mengurangi risiko infeksi terkait transfusi. Sekali
seseorang pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan
tetap positif. Namun demikian, kadar antibodi anti-HVCnya akan menurun secara
gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami
resolusi spontan.
a. Pemeriksaan anti-HVC
Antibodi terhadap HVC biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay
yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi ke-3 yang banyak
dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein-protein struktural yang
dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi
anti-HVC masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa
memandang respons terapi yang dialami, sehingga pemeriksaan anti-HVC tidak perlu
dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay, RIBA0 dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif.
Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk
setting populasi low-risk seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode
enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik
saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.
7
b. Pemeriksaan HVC RNA
Dalam beberapa tahun terakhir, pemeriksaan baru yang berdasarkan pada deteksi
molekuler HVC RNA telah diperkenalkan. Pemeriksaan ini dapat memeriksa kadar
HVC RNA secara kualitatif maupun kuantitatif. Mengingat tidak stabilnya RNA
virus, makapemrosesan sampel harus dilakukan secara benar untuk meminimalkan
risiko hasil pemeriksaan yang false negatif, dimana sampel yang akan diperiksa harus
dipisahkan dan dibekukan dalam waktu 3 jam setelah flebotomi. Pemeriksaan untuk
mengukur jumlah HVC RNA merupakan suatu cara yang dapat dipercaya untuk
menunjukkan adanya infeksi HVC dan merupakan pemeriksaan yang paling spesifik.
Pemeriksaan HVC RNA kualitatif didasarkan pada tehnik PCR (polymerase chain
reaction) yang memiliki limit deteksi hingga lebih kecil dari 100 kopi HVC RNA per
mililiter serum (50 IU/ml). Pemeriksaan HVC RNA kualitatif khususnya bermanfaat
pada kasus-kasus dengan kadar transaminase yang normal atau apabila disertai
adanya penyebab penyakit hati lain (misal konsumsi alkohol) atau pasien
imunokompromi (misal penerima cangkok organ, pasien ko-infeksi HIV) dan pada
hepatitis C akut sebelum munculnya antibodi.
c. Biopsi Hati
Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien
dengan infeksi HVC kronis. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya
penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic steatohepatitis
(NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau overload besi.7
BAB IIIPENATALAKSANAAN HEPATITIS VIRUS C
8
Pilihan terapi untuk HVC telah berevolusi selama dekade terakhir sehingga
telah menghasilkan suatu peningkatan dari angka respons keseluruhan. Hingga
pertengahan tahun 90-an, interferon alfa lonvensional masih merupakan satu-satunya
pilihan yang tersedia. Namun monoterapi dengan interferon konvensional jarang
berhasil mengeradikasi HVC. Bagi yang terinfeksi oleh jenis genotip HVC yang sulit
diterapi, respons rata-rata interferon monoterapi biasanya hanya <10%.
Penambahan ribavirin, suatu analog nukleosida , dengan terapi interferon
konvensional telah memperbaiki respons terapi secara subtansial. Secara keseluruhan
sekitar 30-49% pasien diharapkan berhasil sembuh (mencapai SVR) dengan terapi
kombinasi interferon dan ribavirin.
Sejak beberapa tahun terakhir mulai beredar sediaan interferon jenis baru yaitu
interferon alfa pegilasi yang telah dievaluasi sebagai monoterapi maupun kombinasi
terapi dengan ribavirin pada pasien hepatitis C kronik. Semua hasil studi
menunjukkan bahwa interferon alfa pegilasi memiliki efikasi yang lebih superior
dibanding interferon konvensional (standar). Oleh karena itu, hampir semua peneliti
telah menyebutkan interferon alfa pegilasi sebagai standar terapi untuk pasien dengan
infeksi hepatitis C kronik saat ini.
III.1. Interferon pegilasi
Keterbatasan interferon alfa konvensional, dalam hal kestabilan kadar obat
dalam tubuh baik saat digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi terapi
dengan ribavirin, telah menjadi pendorong dikembangkannya suatu bentuk interferon
yang lebih baik oleh para ahli. Hal ini berhasil dicapai dengan melakukan pegilasi
( penambahan molekul PEG, polyethylene glycol) pada interferon alfa konvensional,
dimana molekul PEG membentuk benteng pelindung (protective barrier) di sekitar
interferon sehingga memungkinkan interferon pegilasi memiliki laju bersihan
(clearance rate)yang lebih lambat dan masa paruh yang lebih panjang dibanding
interferon konvensional. Konsentrasi interferon pegilasi yang tetap mampu bertahan
tinggi dalam darah telah mengeliminasi efek peak trough dan membuat obat ini
9
diberikan dengan rejimen sekali seminggu. Dewasa ini terdapat dua jenis interferon
pegilasi di dunia, yaitu interferon α-2a pegilasi. Kedua interferon pegilasi ini berbeda
dalam hal ukuran maupun struktur molekul PEG yang digunakan sehinga
menghasilkan perbedaan dalam profil farmakokinetik maupun farmakokinetik.
Interferon α-2b pegilasi mengandung interferon α-2b yang secara non-covalently
diikatkan dengan rantai PEG linear berukuran 12 KD, sedangkan interferon α-2a
pegilasi diikatkan secara covalently dengan molekul PEG rantai cabang berukuran 40
KD. Selain itu, ikatan kimia yang dipakai pada interferon alfa-2b pegilasi adalah
ikatan urethane yang rentan terhadap hidrolisis sehingga sehingga begitu disuntikkan
interferon α-2b non pegilasi terlepas dari molekul PEG nya dan beredar dalam
sirkulasi. Sebaliknya , ikatan kimia yang dipakai pada interferon α-2a pegilasi adalah
ikatan amida yang tidak mudah terhidrolisis sehingga setelah disuntikkan molekul
utuh interferon α-2a pegilasi yang beredar dalam sirkulasi dan berinteraksi dengan
reseptor, bukan interferon α-2b native.
III.2. Ribavirin
Ribavirin adalah suatu analog nukleosida yang memiliki aktivitas antivirus
berspektrum luas dan dapat dipakai untuk melawan virus RNA maupun DNA,
termasuk virus kelompok flaviviridae. Ribavirin adalah suatu analog guanosin
sintetik yang akan diubah menjadi bentuk aktifnya, ribavirin trifosfat, dengan
fosforilasi intraselular. Apabila dipakai secara tunggal untuk pasien hepatitis C
kronis, meskipun dapat memperbaiki hasil pemeriksaan fungsi hati, ribavirin tidak
memberikan hasil terapi yang memuaskan dan bahkan tidak memperlihatkan efek
antivirus sama sekali. Akan tetapi bila ribavirin dikombinasi dengan interferon, kedua
obat ini akan bekerja secara sinergis dan secara nyata lebih efektif dibanding kedua
obat ini dipakai sendiri-sendiri. Dosis untuk terapi kombinasi dengan interferon
pegilasi memperlihatkan bahwa untuk genotip 1 yang perlu diingat adalah bahwa
ribavirin merupakan obat dengan narrow divide antara toksisitas dan efektivitas dan
bekerja melalui proses akumulasi dalam tubuh.
10
III.3. Respon terapi
Beberapa istilah standar telah disepakati saat ini untuk dipergunakan secara
umum dan membantu dalam mendefinisikan bagaimana respons seorang pasien
terhadap suatu terapi antivirus.
a. Respon virologi
Suatu SVR (sustained virological response), respon virologikal menetap, diartikan
sebagai tidak terdeteksinya HVC RNA dalam serum seorang pasien menggunakan
suatu metode pemeriksaan dengan sensitivitas hingga 100 kopi/ml (50 IU/ml) di 6
bulan setelah terapi selesai. SVR adalah suatu endpoint yang paling dapat dipercaya
dalam mengevaluasi respons dari suatu terapi.7
Meskipun surrogate endpoint (biomarker yang ditujukan untukm menggantikan
endpoint klinis) SVR telah terbukti memiliki kaitan dengan outcomes benefit klinis
jangka panjang yang penting seperti bagaimana perasaan atau fungsi pasien dan
perbaikan fibrosis dan nekroinflamasi hati. Perbaikan kualitas hidup pasien yang
nyata dengan pemeriksaan menggunakan standarized quality of life instruments juga
terjadi pada pasien-pasien dengan SVR. Dalam studi kombinasi interferon α-2a
pegilasi dengan ribavirin, prediktabilitas dari SVR dengan EVR telah dianalisis untuk
pertama kalinya. Suatu EVR (early virological response) diartikan sebagai penurunan
setidaknya 2 log dari kadar HVC RNA baseline di 12 minggu terapi. Paien-pasien
yang mencapai EVR memiliki kesempatan lebih besar untuk mencapai SVR dalam
penelitian menggunakan kombinasi interferon α-sa pegilasi maupun interferon α-2b
pegilasi dengan ribavirin. Selain SVR, kita juga mengenal beberapa pola respons
HVC RNA selama terapi maupun 6 bulan pasca terapi yaitu null response diartikan
sebagai gagalnya seorang pasien untuk mencapai turunnya kadar HVC RNA yang
berarti selama terapi. Partial virological response adalah suatu keadaan dimana
seorang pasien mengalami penurunan muatan virus .2 log dari nilai baseline tetapi
HVC RNA tetap terdeteksi di minggu ke-24 terapi. Sedangkan virological
breakthrough didefinisikan sebagai terdeteksinya kembali HVC RNA pada pasien
yang kadar HVC RNAnya telah negatif selama masa terapi dan relapse didefinisikan
11
sebagai munculnya kembali HVC RNA pada pasien yang kadara HVC RNA nya
telah negatif setelah selesai terapi.
b. Respons non-virologi
Turunnya kadar SGPT hingga rentang normal di akhir masa terapi atau seterusnya
hingga 6 bulan pasca terapi (sustained biochemical response), respon biokimia
menetap, terus dievaluasi dalam berbagai penelitian klinis skala besar, namun hanya
ada beberapa studi yang menunjukkan adanya benefit jangka panjang dari respons
biokomia mnetap pada pasien-pasien yang tidak berhasil mencapai SVR. Respon
histologi secara konvensional diartikan sebagai turunnya nilai inflamasi atau nilai
total sebesar 2 poin atau lebih dibanding hasil biopsi sebelum terapi atau turunnya
nilai fibrosis sebesar 1 poin dibanding hasil biopsi sebelum terapi.7
III.4. Efek samping
Efek samping yang sering terjadi dari penggunaan interferon dan interferon
pegilasi (terjadi pada 10% pasien) meliputi: fatigue, nyeri otot, sakit kepala, mual dan
muntah, iritasi kulit pada daerah suntikan, demam, kehilangan berat badan,
irritabilitas, depresi, supresi ringan sumsum tulang, rontok rambut. Derajat efek
samping berkisar dari yang ringan sampai sedang dan dapat diatasi. Pada minggu-
minggu awal pengobatan tampak efek samping yang terlihat parah, apalagi pada
suntikan pertama. Asetaminophen atau obat anti-inflamsi non steroid (OAINS)
sepereti ibuprofen atau naproxen dapat mengatasi nyeri pada oto dan demam. Fatigue
dan depresi dapat menjadi penyulit sehingga terkadang dosis harus dikurangi bahkan
pengobatan dihentikan lebih awal. Efek samping dari pengobatan ini harus terus
dipantau. Secara umum, efek samping akan segera menghilang 2-4 minggu setelah
kombinasi terapi dihentikan. Ribavirin juga dapat menimbulkan efek samping seperti:
anemia, fatigue dan irritabilitas, gatal-gatal, ruam pada kulit, pilek, sinusitis, dan
batuk. Ribavirin menyebabkan hemolisis sel darah merah yang terkait dosis, dengan
terapi kombinasi, hemoglobin biasanya berkurang 2-3 g/dl dan hematokrit berkurang
5-10 persen. Penurunan ini timbul pada minggu pertama dan keempat dari terapi dan
sering berlanjut. Gejala anemia, fatigue, sesak napas, palpitasi, dan sakit kepala
sering terjadi pada beberapa pasien. Penurunan yang tiba-tiba dari hemoglobin dapat
12
mengakibatkan angina pectoris pada beberapa orang, dan respon yang berbahaya
dilaporkan terjadi pada pasien dengan akut miokard infark dan stroke yang menerima
terapi kombinasi untuk hepatitis C. Karena hal ini, ribavirin tidak boleh diberikan
pada pasien dengan anemia atau pada pasien dengan kelainan kardio-vaskular. Jika
pada pasien tersebut harus mendapatkan terpai hepatitis C, maka yang sebaiknya
diberikan adalah interferon monoterapi. Ribavirin juga dapat menyebabkan gatal-
gatal dan hidung buntu atau pilek. Efek samping ini mirip dengan efek histamin, hal
ini terjadi pada 10-20% pasien dari mulai gejala ringan hingga sedang. Pada beberapa
pasien bahkan timbul gejala sinusitis, bronchitis berulang, dan gejala mirip asma.
Penting untuk diketahui bahwa gejala-gejala tersebut berkaitan dengan ribavirin,
karena modifikasi dosis (200 mg per hari) atau penghentian awal dari pengobatan
dapat segera dilakukan. Efek samping yang jarang terjadi dari pemberian interferon
alpha, interferon pegilasi, ribavirin maupun terapi kombinasi (terjadi pada kurang dari
2% pasien), dapat berupa: penyakit autoimun (khusunya penyakit tiroid), infeksi
bakteri berat, thrombocytopenia, neutropenia, kejang, depresi dan usaha bunuh diri,
serta hilang pendengaran, dan tinnitus. Efek samping yang langka terjadi dapat
berupa gagal jantung kongestif akut, gagal ginjal, hilang lapangan penglihatan,
fibrosis paru atau pneumonitis, dan sepsis. Kematian dapat terjadi pada akut miokard
infark, stroke, bunuh diri, dan sepsis. Efek samping yang unik tapi sangat jarang
adalah terjadinya efek paradox atau berlawanan akan keparahan penyakit. Efek ini
diduga diakibatkan oleh induksi autoimun hepatitis, namun penyebab pastinya
belumlah diketahui. Kadar aminotransferase harus dimonitor karena adanya
kemungkinan ini. Jika kadar ALT meningkat dua kali dari batas normal, maka terapi
harus dihentikan dan keadaan pasien harus diawasi. Beberapa pasien dengan
komplikasi ini harus diberikan kortikosteroid untuk mengontrol hepatitis.8
13
BAB IVRINGKASAN
Pengobatan terbaik untuk hepatitis virus C yang saat ini tersedia adalah
interferon pegilasi dan ribavirin, yang memiliki rata-rata tingkat respon menetap lebih
dari 50% pada semua pasien. Tingkat respon menetap ini bahkan menjadi lebih baik
pada pasien yang terinfeksi hepatitis C selain genotip-1. Namun, penelitian dan
perkembangan yang lebih baik mutlak diperlukan untuk menemukan pengobatan
yang lebih aman, lebih efektif dan lebih murah karena pengobatan yang tersedia saat
ini, seperti interferon pegilasi dan ribavirin, banyak menimbulkan efek samping dan
efektivitasnya hanya pada separuh pasien. Ada beberapa kriteria untuk obat hepatiti
virus C di masa yang akan datang. Pertama, interferon-alpha kerja lama. Interferon
alpha kerja lama yang sekarang telah digunakan adalah interferon pegilasi. Agen aktif
dari interferon pegilasi sebenarnya sama dengan agen aktif pada interferon alpha.
Akan tetapi, proteinnya menempel dengan polyethilen glikol, yaitu senyawa inert
yang memperlambat eliminasi obat dari tubuh. Sehingga kadar interferon alph dlam
tubuh akan tetap konstan dan suntikan dapat diberikan lebih jarang, menjadi satu kali
seminggu. Hal ini meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat dan meningkatkan
respon yang lebih baik dalam melawan aktivitas virus. Kedua, obat yang mampu
meningkatkan respon imun terhadap virus. Beberapa obat immunomodulator yang
dapat mengubah respon imun sedang diuji coba untuk mengatasi hepatitis C. Obat ini
mempengaruhi respon radang terhadap sel hati yang terinfeksi oleh virus, sayangnya
mekanisme dari obat ini masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Vaksin terapi juga
turut dikembangkan untuk mengatasi hepatitis C. Berbeda dengan vaksin preventif,
vaksin ini diberikan pada pasien yang telah terinfeksi dengan tujuan meningkatkan
sistem imun. Ketiga, agen spesifik untuk mengatasi protein virus hepatitis C.
Generasi terbaru dari pengobatan hepatitis C akan didesain secara spesifik untuk
menghambat fungsi dari virus hepatitis C. Target dari obat ini adalah genom virus
hepatitis C. Contoh dari obat ini adalah ribozyme. Ribozyme dapat merusak molekul
RNA dengan cara memotong molekul RNA virus pada daerah yang mengatur
14
kelangsungan hidup virus. Efikasi dari ribozyme sedang diuji dalam tes tabung dan
sekarang obat ini sedang menjalani uji coba klinis. Keempat, obat yang mampu
mempengaruhi respon hati terhadap inflamasi. Hal yang ditakutkan dari hepatitis C
adalah progresifitasnya untuk menjadi sirosis hepatis (pengerasan hati). Dan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa fibrosis dan sirosis yang diketahui sejak awal dapat
diatasi atau reversible. Oleh karena itu beberapa peneliti sedang menguji obat-obatan
yang mampu mencegah terjadi fibrosis dan sirosis pada hati. Kelima, obat yang
mampu menumbuhkan kembali sel hati yang rusak. Pada saat ini yang menjadi
pilihan terapi untuk hati yang telah rusak adalah transplantasi hati. Namun, saat ini
telah dikembangkan suatu tehnologi kedokteran berupa stem sel. Stem sel adalah sel
yang belum berdiferensiasi, sama seperti sel pada fase awal embryo yang dapat
berdiferensiasi menjadi banyak jaringan berbeda di dalam tubuh. Secara teori, stem
sel ini dapat dimasukkan dan ditumbuhkan pada hepatosit dan diharapkan mampu
menumbuhkan sel hati yang telah rusak. Walau masih dalam tahap perkembangan,
namun tehnologi ini sangat menjanjikan.9 Perkembangan terapi hepatitis virus C
terbaru mutlak diperlukan, tidak hanya harus lebih aman dan efektif, terapi di masa
yang akan datang diharapkan dapat lebih murah sehingga dapat digunakan oleh
semua orang yang membutuhkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahardja, Hendra. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi III. Jakarta: pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI:251-256 (1999).
2. Sulaiman, Ali: Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jilid 1.
Jakarta. 211-227.
3. Handojo, Indro. Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Cetakan
Pertama. Jakarta. Airlangga University Press:101-136 (2004).
4. Akbar, Nurul: Kelainan Enzim pada Penyakit Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI:238-242 (1999).
5. Dienstag, Jules. Acute Viral Hepatitis. Dalam: Harrison’s. Principles of Internal
Medicine. 16 Edition:1822-1837 (2005).
6. Lindseth, Glenda. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam:
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume I. Edisi VI. Jakarta: EGC:472-493 (2005).
7. Handojo, David: Biologi Molekuler Virus Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Jilid 1. Jakarta. 245-248.
8. Glue P, dkk: Hepatitis C Treatment Beyond 2000, Schering-Plough Research
Institute, HepNet, Schering Canada Inc., 1995-2000. (http://www.hepnet.com
diakses September 2008).
9. Worman, Howard: New and Future Treatment for Chronic Hepatitis C. American
Liver Foundation. Spring 2001. (http://www.cumc.columbia.edu diakses
September 2008).