refrat jadiiii
TRANSCRIPT
REFERAT BEDAH
PENYEMBUHAN LUKA
Oleh:
Katia Amada Sinoel (G9911112084)
Margareta Grace (G9911112091)
Pembimbing:
H. Anang, dr., Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD PANDANARANG
BOYOLALI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari timbulnya luka
antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan
dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga kematian sel. Tubuh yang sehat
mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan
aliran darah ke daerah yang rusak, pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan
awal seluler, merupakan bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi
secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan (Monaco and Lawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa yang
kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis dan subkutis. Proses
yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi
dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling jaringan yang
bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya
(Sjamsuhidayat et al., 2010).
BAB II
PENYEMBUHAN LUKA
A. Fase Penyembuhan Luka
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi dimulai saat terjadinya luka, bertahan 2 hingga 3 hari.Pada fase
inflamasi, jaringan yang luka melepaskan eikosanoid secara lokal yang mengatur
respon awal pada terjadinya luka. Eikosanoid adalah metabolit asam arakhidonat
yang merupakan derivat dari asam lemak membran sel. Phospolipase A yang
teraktifasi akan mengkatalisasi pembentukan prostaglandin dan tromboxane dari
asam arakhidonat. Substansi ini memegang peran utama dalam regulasi vasomotor
dan aktifitas trombosit setelah terjadi luka. Tromboxane A2 membantu hemostasis
dengan menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit.
Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan, sehingga terjadi
deposisi fibrin. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor (TGF-) dari granula yang menarik sel-sel inflamasi,
terutama makrofag. Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas
pembuluh darah meningkat (akibat histamin, platelet-activating factor, bradikinin,
prostaglandin I2(PG1), prostaglandin E2(PGE2), dan nitrit oksida), membantu
infiltrasi sel-sel inflamasi ke daerah luka.
Aktivitas seluler yang terjadi pada fase inflamasi adalah pergerakan leukosit
menembus dinding pembuluh darah menuju luka karena daya kemotaksis. Jumlah
netrofil mencapai puncak pada 24 jam dan membantu debridement. Monosit
memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari.
Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF-, akan menarik fibroblas dan merangsang
pembentukan kolagen. Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjadi jelas berupa
warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor),
dan pembengkaan (tumor)( Sjamsuhidayat et al., 2010).
2. Fase Proliferasi
Fase kedua dalam proses penyembuhan luka adalah fase proliferatif. Fase ini
disebut juga fase fibroplasi karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast.
Epithelisasi, angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi dan deposisis kolagen
adalah dasar dari proses anabolik penyembuhan luka. Fase proliferasi ini dimulai
pada hari ke-3, setelah fibroblast datang, dan bertahan hingga minggu 3.
Fibroblast ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF b, memasuki luka pada hari ke-
3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7. Fibroblast bermigrasi dari tepi luka
melalui fibrin-based matriks yang dibentuk selama fase inflamasi. Dalam minggu
pertama terjadinya luka, fibroblast, sebagai akibat dari makrofag-derived bFGF, TGf-
beta, dan PDGF, mempengaruhi terjadinya proliferasi dan sintesis glikosaminoglikan
dan proteoglikan sebagai matriks ekstraseluler baru dari jaringan granulasi dan
kolagen. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe III), angiogenesis, dan epitelisasi.
Jumlah kolagen total meningkat selama 3 minggu, hingga produksi dan pemecahan
kolagen mencapai keseimbangan, yang menandai dimulainya fase remodelling.
Pembuluh darah dibangun melalui dua proses : vasculogenesis, yang jaringan
pembuluh darah primitifya dibentuk dari angioblas (prekursor sel endotel) selama
perkembangan embrionik; dan angiogenesis, atau neovaskularisasi, yaitu proses saat
pembuluh darah yang telah ada sebelumnya akan mengeluarkan tunas kapiler untuk
menghasilkan pembuluh darah baru. Angiogenesis dipicu oleh TNF-alpha, ditandai
dengan adanya migrasi dari sel endothelial dan pembentukan kapiler. Kapiler yang
baru mengantarkan nutrisi ke dalam luka dan membantu mempercepat pembentukan
jaringan granulasi (Cotrans dan Robbins, 2007).
Epitelisasi dipicu oleh EGF yang dilepaskan oleh makrofag dan platelet. Epitel
tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar.
Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan
pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan
dalam fase remodelling.
3. Fase Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali
jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya
perupaan ulang jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan
dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap kembali,kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
besarnya regangan. Selama proses ini berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang
pucat, tipis dan lentur serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan
maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan
regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan
setelah penyembuhan (Sjamsuhidayat et al., 2010).
B. Penutupan Luka
1. Penutupan primer: luka ditutup segera setelah ada luka
2. Penutupan primer tertunda
a. Luka dibiarkan terbuka beberapa hari (sampai 3 hari) sebelum ditutup
b. Mengurangi resiko infeksi pada luka yang terkontaminasi berat, pada luka
yang tidak mampu dilakukan debridement dengan baik, atau karena
perdarahan yang tidak dapat dikuasai
3. Penutupan sekunder
4. Penutupan pada kehilangan epitel kulit misalnya pada luka bakar derajat 2.
5. Penutupan luka dari 1 sampai 4 dikenali dengan keringnya bekas luka, karena
telah ada epitel yang menutupi luka tersebut.
6. Luka telah benar-benar sembuh apabila dijumpai hal-hal sebagai berikut:
a. Gatal sangat berkurang
b. Warna kemerahan tidak ada lagi
c. Lebih rata dan menipis
d. Bila ditekan teraba lunak
(Sudjatmiko G, 2011)
C. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Beberapa faktor dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Secara umum,
faktor yang mempengaruhi perbaikan dapat dikategorikan ke dalam lokal dan sistemik.
Faktor lokal adalah mereka yang secara langsung mempengaruhi karakteristik dari luka
itu sendiri, sedangkan faktor sistemik adalah kesehatan secara keseluruhan atau
keadaan penyakit individu yang mempengaruhinya atau kemampuannya untuk
menyembuhkan. Banyak faktor-faktor ini terkait, dan faktor-faktor sistemik bertindak
melalui efek lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka (Guo et al, 2010)
1. LOKAL
a. Oksigenasi
Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, terutama produksi energi
melalui ATP, dan sangat penting untuk hampir semua proses penyembuhan luka.
Ini mencegah luka dari infeksi, menginduksi angiogenesis, meningkatkan
diferensiasi keratinosit, migrasi, dan re-epitelisasi, meningkatkan proliferasi
fibroblas dan sintesis kolagen, dan meningkatkan kontraksi luka (Sen, 2009).
Dalam luka, dimana oksigenasi tidak dikembalikan, penyembuhan
terganggu. Sementara hipoksia setelah terjadi cedera memicu penyembuhan luka,
tapi jika terdapat hipoksia yang lama atau kronis, penyembuhan luka dapat
terhambat. Pada luka akut, hipoksia berfungsi sebagai sinyal yang merangsang
banyak aspek dari proses penyembuhan luka. Hipoksia dapat menginduksi
sitokin dan faktor pertumbuhan produksi dari makrofag, keratinosit, dan
fibroblas. Sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap hipoksia termasuk
PDGF, TGF-β, VEGF, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan endotelin-1, dan
promotor penting dari proliferasi sel, migrasi dan kemotaksis, dan angiogenesis
dalam penyembuhan luka(Sen, 2009).
b. Infeksi
Setelah kulit terluka, mikro-organisme yang biasanya berada pada
permukaan kulit mendapatkan akses ke jaringan di bawahnya. Keadaan infeksi
dan status replikasi dari mikroorganisme menentukan apakah luka
diklasifikasikan sebagai luka kontaminasi, kolonisasi, infeksi lokal / kolonisasi
kritis, dan / atau penyebaran infeksi invasif.
Infeksi invasif didefinisikan sebagai kehadiran organisme replikasi dalam
luka dengan cedera jaringan setelahnya. Peradangan adalah bagian normal dari
proses penyembuhan luka, dan penting untuk menghilangkan kontaminasi mikro-
organisme (Khanna et al, 2010).
2. SISTEMIK
a. Umur
Populasi lanjut usia (orang di atas 60 tahun) tumbuh lebih cepat daripada
kelompok usia lainnya dan usia yang meningkat merupakan faktor risiko utama
untuk gangguan penyembuhan luka. Hal ini biasanya diketahui bahwa, pada
orang dewasa tua yang sehat, efek penuaan menyebabkan penundaan sementara
pada penyembuhan luka, tetapi tidak adanya penurunan nyata dalam hal kualitas
penyembuhan. Penyembuhan luka yang tertunda di usia tua dikaitkan dengan
respon inflamasi yang berubah, seperti keterlambatan T-sel infiltrasi ke daerah
luka dengan perubahan dalam produksi kemokin dan mengurangi kapasitas
makrofag fagositosis (Mirastschijski dkk, 2010).
b. Stress
Stres adalah akibat gangguan keseimbangan neuroendokrin kekebalan tubuh
yang merupakan konsekuensial untuk kesehatan. Patofisiologi hasil stress dalam
deregulasi dari sistem kekebalan tubuh, yang dimediasi terutama melalui aksis
hipotalamus-meduler pituitaryadrenal (HPA) dan simpatik-adrenal atau sistem
saraf simpatik (SNS). Studi pada manusia dan hewan telah menunjukkan bahwa
stres psikologis menyebabkan keterlambatan besar dalam penyembuhan luka
(Sivamani, 2009).
c. Hormon Seksual
Hormon seks memainkan peran dalam terganggunya penyembuhan luka
terkait dengan usia. Dibandingkan dengan perempuan tua, laki-laki usia tua telah
terbukti memiliki keterlambatan penyembuhan luka akut. Penjelasan parsial
untuk ini adalah bahwa estrogen perempuan (estrone dan estradiol 17β-),
androgen pria (testosteron dan 5α-dihidrotestosteron, DHT), dan prekursor
steroid mereka dehydroepiandrosterone (DHEA) tampaknya memiliki efek yang
signifikan pada proses penyembuhan luka. Estrogen mempengaruhi
penyembuhan luka dengan mengatur berbagai gen yang terkait dengan
regenerasi, produksi matriks, penghambatan protease, fungsi epidermis, dan gen
terutama terkait dengan peradangan. Estrogen dapat meningkatkan penurunan
penyembuhan luka yang berkaitan dengan perubahan usia baik pada pria dan
wanita, sedangkan androgen mempengaruhi penyembuhan luka kulit secara
negatif (Sroussi dkk, 2009).
d. Diabetes
Individu diabetes menunjukkan penurunan dalam penyembuhan luka akut.
Selain itu, populasi ini adalah beresiko menderita ulkus kaki diabetik (DFUs),
yang diperkirakan terjadi pada 15% dari semua orang dengan diabetes. DFUs
adalah komplikasi serius diabetes, dan mendahului 84% dari semua kasus
amputasi tungkai bawah yang terkait diabetes. Gangguan penyembuhan luka baik
DFUs dan luka kulit akut pada orang dengan diabetes melibatkan beberapa
mekanisme patofisiologi yang kompleks. DFUs, seperti penyakit stasis vena dan
luka kronis terkait tekanan, selalu disertai hipoksia. Situasi hipoksia yang
berkepanjangan, yang dapat berasal dari dua hal, perfusi tidak cukup dan
angiogenesis yang tidak baik, mengganggu penyembuhan luka. Hipoksia dapat
memperkuat respon inflamasi awal, sehingga memperpanjang cedera dengan
meningkatkan kadar radikal oksigen (Khanna, 2010).
e. Obat-obatan
Banyak obat-obatan, seperti yang akan disebutkan di bawah ini berinterferensi
dengan proses clotting, fungsi trombosit atau respon inflamasi dan proliferasi sel
sehingga berefek pada penyembuhan luka. Berikut akan dipaparkan beberapa
jenis obat yang sering digunakan dan dapat mengganggu penyembuhan luka,
misalnya steroid glukokortikoid, NSAID, dan obat-obatan kemoterapi (Sen,
2009).
f. Obesitas
Pada pasien dengan obesitas lebih banyak ditemukan infeksi pada luka.
Banyak dari komplikasi ini merupakan hasil dari hipoperfusi dan iskemia yang
terjadi di jaringan adiposa subkutan. Situasi ini mungkin diakibatkan karena
menurunnya penyebaran antibiotik pada pasien obesitas. Pada luka operasi,
peningkatan tension pada tepi luka juga sering menyebabkan luka tidak menutup
secara sempurna (Sen, 2009).
Peningkatan tekanan pada ulkus pada pasien obesitas juga dikaitkan dengan
hipovaskuler, perfusi yang buruk membuat jaringan pasien obesitas lebih rentan
terhadap luka ini. Kesulitan atau ketidakmampuan pasien obesitas untuk
memindahkan posisi tubuhnya memperburuk kondisi dan hipoperfusi jaringan.
Hal ini diperburuk dengan lipatan-lipatan tubuh yang ditumbuhi mikroorganisme,
serta terjadi luka gesek antara lapisan kulit sehingga mengakibatkan infeksi.
Semua ini mengakibatkan gangguan pada penutupan luka (Sen, 2009).
g. Alkohol
Paparan alkohol menganggu resistensi host, dan intoksikasi etanol pada saat
terjadinya luka meningkatkan risiko terjadinya infeksi.
h. Merokok
Pada fase inflamasi, merokok menganggu migrasi leukosit, menurunkan
jumlah monosit dan makrofag pada lokasi luka, menurunkan efek baterisidal
netrofil. Fungsi limfosit, sitotoksisitas sel NK, dan produksi IL 1 semua
mengalami kelainan pada pasien yang terpapar rokok. Semua ini berakibat pada
penyembuhan luka yang buruk dan peningkatan risiko infeksi oportunitik(Martin
et al, 2010).
Pada fase proliferasi dari penyembuhan luka, paparan rokok memperlambat
migrasi fibroblas dan proliferasi. Menurunkan kontrasi luka, epitel regenerasi,
dan penurunan produksi matriks ekstraseluler, dan ketidakseimbangan protease
(Martin et al, 2010).
i. Nutrisi
Lebih dari 100 tahun, nutrisi telah dikenal sebagai aspek yang sangat penting
dalam penyembuhan luka. Yang paling nyata adalah pasien dengan malnutrisi
atau kekurangan nutrien tertentu dapat mengalami gangguan mendasar dalam
penyembuhan luka post trauma atau pembedahan. Pasien dengan luka kronis dan
luka yang belum sembuh serta mengalami defisiensi nutrien memerlukan nutrien
khusus. Energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral semua dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka (Sen, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Cotrans dan Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC. Pp : 76-77.
Guo S., DiPietro LA. 2010. Factor Affecting Wound Healing. J Dent Res. 89: 219-229
Khanna S., Biswas S., Shang Y., Collard E., Azad A., Kauh C., Bhasker V., Gordillo GM., Sen CK., Roy S. 2010. Marcrophage Disfunction Impairs Resolution of Inflamation in th Wounds of Diabetic Mice. NIH. 5: 1-12
Martin JL., Koodie L., Krishnan AG., Charboneau R., Barke RA., Roy S .2010. Chronic Morphine Andministration Delays Wound Healing by Inhibitting Immune Cell Reqruitment to the Wound Site. The Am Journ of Palology. 2: 786-799
Mirastschijski U., Schanbel R., Claes J., Schneider W., Agren M., Haaksma C., Tomasek JT. 2010. Matrix Metaloproteinase Inhibition Delays Wound Healing and Block Latent Transforming Growth Factor β1 Promoted Myofibroblast Formation and Function. Wound Repair Regen. 18: 223-224
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin Plastic Surg. 30:1-12.
Sen CK. 2009. Wound Healing Essential. Wound Repair Regen. 17: 1-18
Sivamani RK., Pullar CE., Hidalgo CGM., Rocke DM., Carlen RC., Greenhalgh DG., Isserrov RV. 2009. Stress Mediated Increases in Systemic and Local Epinephrine Impair Skin Wound Healing: Potential New Indication for Beta Blockers. PloS Med. 6: 105-115
Sjamsuhidayat et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. Pp : 95-97.
Sudjatmiko, G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta, Yayasan
Khasanah Kebajikan.