referat suksinilkolin
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan anestesi umum inhalasi, blokade saraf regional,
dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi
trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada
prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction.
membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut
sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium
akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang
akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan
asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan
dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot yaitu motor
end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin
dengan permukaan yang berlipat-lipat.
Gambar A.1
Neuromuscular Junction
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular
junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε.
Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat
pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak
akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium
dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki
asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran
perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Gambar A.2
Struktur reseptor asetilkolin
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan
memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal
natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa
lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan
pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi
asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
Obat pelumpuh otot yang digunakan untuk memudahkan intubasi saat ini sudah banyak
diteliti sebagai pengganti suksinilkolin tetapi dalam hal Rapid Sequens Intubation (RSI) dan
kemudahan intubasi masih belum ada yang dapat menyamai suksinilkolin.1
Suksinilkolin masih merupakan satu-satunya obat penghambat neuromuskular yang
mempunyai karakteristik dari suatu obat pelumpuh otot ideal, yaitu (1) mulakerja obat cepat, (2)
kelumpuhan yang lengkap dan dapat diperkirakan, (3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4)
tidak membutuhkan obat pembalik. Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang
dilakukan untuk menggantikan suksinilkolin denganobat pelumpuh otot yang lebih baru, tapi
tidak ada yang dapat menyerupai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Suksinilkolin
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali disintesa di
laboratorium kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai Institusi Kesehatan
Nasional. Reid Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan asistennya, Renee de M. Taveau,
menghasilkan 17 dari 19 kumpulan derivat kolin yang dipergunakan dalam percobaan mereka,
satu diantaranya adalah suksinilkolin.1
Awal tahun 1950, segera setelah ditemukannya keberadaan penghambat neuromuskular,
uji klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang tercatat di Amerika dilakukan
oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai untuk memperkenalkan suksinilkolin kedalam
praktek klinis di Amerika. Dalam laporan dari uji coba klinis suksinilkolin pertama, Foldes
menjelaskan kriteria dari perelaksasi otot yang baik, dan menyimpulkan bahwa suksinilkolin
adalah obat penghambat neuromuskular yang paling mendekati kriteria itu.1
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu, suksinilkolin adalah satu
satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan di Amerika. Saat ini pun, suksinilkolin
masih satu-satunya obat penghambat neuromuskular yang mempunyai karakteristik dari suatu
perelaksasi otot ideal, termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan yang lengkap dan dapat
diperkirakan, (3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak membutuhkan obat pembalik.
Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang dilakukan untuk menggantikan
suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi tidak ada yang dapat lebih menyamai
karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1
Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu perelaksasi otot ideal
yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada tahun 1990, Rapacuronium dan
Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek klinis. Kedua obat ini memberikan harapan
bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan dapat digantikan. Rokuronium tertinggal dalam
penggunaan klinis saat ini, bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset secepat
suksinilkolin, dan jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan penggunaan dari
suatu obat pembalik.1
B. Rumus Kimia
Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium – memiliki 2
acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2 molekul
asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah C14H30N204. Struktur yang
menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja dari
suksinilkolin, efek sampingnya dan metabolismenya.4,5,6
C. Farmakologi Suksinilkolin
Suksinilkolin bekerja di neuromuskular junction, meningkatkan transmisi neuromuskular.
Mekanisme kerja ini membuat postjunctional dan prejunctional memberikan efek yang
menyebabkan peningkatan depolarisasi obat. Struktur kimiawi suksinilkolin membuat proses
eliminasi yang unik, yang memenuhi kriteria muscle relaxan yang ideal.1
Efek postjunctional Suksinilkolin dapat dibagi menjadi 2 fase, fase I dan fase II. Inilah
yang dianggap sebagai akibat dari uniknya struktur kimia asetilkolin. Seperti asetilkolin,
suksinilkolin terikat ke subunit α di posjunctional nikotinik asetilkolin reseptor, menyebabkan
reseptor terbuka dan ion sodium masuk sebanyak keluarnya potassium dan menyebabkan ion
kalsium masuk. Sehingga suksinilkolin menyebabkan depolarisasi end plate dan menjadi
pendepolarisasi neuromuskular blok disebut blok fase I,sementara blok fase II yaitu dengan
paparan suksinilkolin yang kontiniu maka depolarisasi end plate berkurang dan membran akan
mengalami repolarisasi tetapi membran menjadi tidak mudah mengalami depolarisasi kembali
sehingga terjadi desensitasi. Tidak seperti Asetilkolin, suksinilkolin menjadi aktif di
neuromuskular junction untuk waktu yang lama. Ini mencegah repolarisasi endplate dan
timbulnya paralisa. Pemberian suksinilkolin menyebabkan efek agonis di reseptor asetil
nikotinik, menyebabkan peningkatan pelepasan dari asetilkolin.1,3,4,5
Banyak karekteristik suksinilkolin dapat melengkapi bagaimana obat ini tereleminasi.
Studi ini memberi konstribusi penjelasan bagaimana tubuh mengeliminasi suksinilkolin, ini
dimulai di awal tahun 1950. Pada tahun 1951, Whittaker, menemukan bahwa suksinilkolin di
hidrolisa melalui 2 langkah oleh horse kolinesterase. Pertama sekali suksinilkolin dipecah
menjadi suksinilmonokolin dan kolin, dan kemudian hidrolisa berkelanjutan menghasilkan asam
suksinat dan kolin. Penelitian lebih lanjut tahun 1953 dan 1955 mendukung fakta bahwa
suksinilkolin juga dapat dihidrolisa di plasma manusia oleh kolinesterase. Ini digambarkan
bahwa kira-kira 150 mg suksinilkolin dapat dihidrolisa dalam waktu 1 menit. Bagaimanapun,
sesuai dengan cepatnya difusi obat dari plasma ke neuromuskular junction, bagian kecil obatnya,
kurang dari 10 % masih dapat mencapai neuromuskular junction, dan menyebabkan kelumpuhan
saat konsentrasi di sinaps meningkat. Bentuk kimia suksinilkolin yang unik tidak langsung
menyebabkan hidrolisa oleh asetilkolinesterase yang terdapat di neuromuscular junction. Efek
paralisa suksinilkolin berkurang sejalan dengan obat yang masuk ke jaringan dan plasma, dimana
butir kolinesterase meenghidrolisa dalam 2 langkah untuk mencapai hasil akhir asam suksinat
dan kolin. Hidrolisa cepat ini terjadi di dalam plasma, mengusahakan distribusi yang cepat,
memperlama kerja obat.1,3,4,5
D. Farmakokinetik
Awitan aksi : IV 30 – 60 menit, IM 2 – 3 menit.
Efek puncak : IV 60 menit.
Lama aksi : IV 4 – 6 menit, IM 10 – 30 menit.
E. Metabolisme dan Ekskresl
Mengalami hidrolisis menjadi suksinilmonokolin lalu menjadi kolin dan asam sukssinat
oleb kolin esterase plasma yang diekskresi melalui ginjal. Kadar pseudokolinesterase yang
rendah misalnya pada kehamilan, penyakit hati, akibat obat-obat tertentu, hipertensi dan kelainan
genetik dapat memperpanjang lama kerja suksinilkolin.
F. Indikasi dan kontraindikasi
Suksinilkolin digunakan untuk fasilitas intubasi cepat tenitama pada pasien dengen resiko
aspirasi, juga diindikasikan untuk pengelolaan spasme laring serta tindakan singkat seperti
kejang listrik dan bronkoskopi.
Kontraindikasi pada trauma tembus mata, miotonia dan progressive bulbar palsy . Obat
mi tidak dianjurkan digunakan pada pasien luka bakar, trauma masif, infeksi intra abdomen
berat, cedera korda spinalis, ensefalitis, stroke, sindroma Guillan - Barre. Parkinson dan tetanus.
G. Dosis Suksinilkolin
Penggunaan suksinilkolin adalah untuk intubasi trachea. Dosisnya adalah 1 mg/kgBB dan
dapat ditingkatkan sampai dengan 1,5 – 2.0 mg/kgBB. Intubasi dilakukan pada saat optimal yaitu
1 – 1,5 menit setelah pemberian obat.
Suksinilkolin dapat digunakan untuk rumatan relaksasi sampai 3 jam. Dalam bentuk
infusan sampai blockade 90 -95 % digunakan dosis 50 – 100 mg/kgBB/menit dan dapat dapat
dinaikan setelah 30 – 60 menit.
Untuk anak kecil dosis 1 – 2 mg/kgBB, pada infan dosis 2 – 3 mg/kgBB. Precurarization
tidak diperlukan pada anak <10 tahun karena fasikulasi jarang terjadi, bradikardi sering terjadi
pada anak-anak, dan tidak terjadi bila diberikan atropine.
Relaksasi otot skelet :
Dosis : IV 0,7 – 1 mg/kgBB (1,5mg/kg dengan pra pengobatan non depolarisator)
Neonatus dan bayi : 2 – 3 mg/kgBB
Anak – anak : 1 – 2 mg/kgBB
IM : 2,5 – 4 mg/kgBB
H. Interaksi Obat
Blokade neuromuskuler dapat diperpanjang terjadi pada pasien dengan hipokalemia atau
hipokalsemia, pseudo kolinesterase plasma yang rendah dan pasien yang mendapat fenelzin,
penyekat beta, prokainamid, metoklopramid, lidokain, magnesium, oksitosin, trimetafan,
anastetik volatil, dan antikolinesterase. Blokade diperpanjang oleh pra pengobatan dengan
pankuronium. Pada miastenia gravis respon tidak dapat diramalkan, bradikardi setelah suntikan
IV kedua. Suksinil kolin tidak kompatibel dengan larutan alkali dan akan mengendapkan natrium
tiopental.
I. Efek Suksinilkolin
Efek samping suksinilkolin yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
Fasikulasi otot
Lebih dari 50 tahun sejak memperkenalkan suksinilkolin dalam praktek klinik, fasikulasi
otot dicatat sebagai efek samping pemberian suksinilkolin. Walaupun percobaan klinik pertama
kali tahun 1950an, adanya gerakan otot atau kontraksi yang direkam muncul setelah pemberian
suksinilkolin. Dalam beberapa laporan, faskulisasi digambarkan sebagai kesakitan, menyebabkan
ketidaknyamanan dalam pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun 2005, Schreirber
melaporkan hasil dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun 1971-2003. Percobaan ini
menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi otot. Secara keseluruhan hasilnya adalah
95% peserta mengalami faskulisasi, dimana peserta ini tidak mendapatkan obat anti faskulisasi.
Faskulisasi ini menjadi topik pembicaraan utama para klinisi dengan tujuannya adalah
menurunkan insiden faskulisasi.7
Fisiologi Fasikulasi
Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin dapat
menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah ikatan prejunctional
dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing reseptor asetilkolin nikotinik.1,3,4,5
Mekanisme dari faskulisasi dilengkapi asetilkolin seperti efek suksinilkolin saat
menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini menyebabkan channel ion sodium
terbuka, dan otot memulai depolarisasinya, dimana jika ambang batas dicapai, hasil dari
potensial aksi ini menyebabkan kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena
suksinilkolin tidak didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan mengikat
reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun otot paralisa.1,3,4,5
Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan molekul
suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps neuromuskular junction
yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf yang berulang. Pengulangan aktifitas ini
disebabkan oleh impuls saraf yang berjalan ke arah berlawanan dari normalnya (refleks akson
antidromik) dari terminal saraf motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat motor unit lainnya.
Kecepatan dari blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional adalah berbanding
terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip dapat terjadi pada reseptor
prejunctional.1,3,4,5
Berdasarkan studi topografi, otot-otot skeltal yang terlibat dalam fasikulasi dapat dibagi
menjadi tiga kelompok ;
Kelompok otot yang sensitif suksinilkolin (98-100% mengalami fasikulasi ), yaitu
biseps brakhii, deltoid, ibu jari, gastroknemius, fleksor digiti brevis, otot mata.
Kelompok otot yang resisten suksinilkolin (0- 10% mengalami fasikulasi ), yaitu
obliqua ekternal, pektoralis mayor, rektus abdominis , latisimus dorsi dan rektus
femoralis.
Kelompok otot intermediate ( 50- 63% mengalami fasikulasi ), yaitu triseps brakhii,
trapezius ,biseps femoralis dan tibialis anterioir.34
Ada banyak laporan mengenai prejunctional dan postjunctional yang menyebabkan
faskulisasi, apapun mekanismenya, faskulisasi tetap menjadi masalah terhadap pasien dan klinisi
anastesi di klinik.1
Pencegahan dari Fasikulasi
Antagonisme dari blokade depolarisasi dihasilkan dari aksi kompetitif non depolarisasi
muskular blok dengan Suksinilkolin pada post junctional reseptor kolinergik nikotik subunit α.17
Pada penelitian Susan C Harvey dkk, fasikulasi adalah hasil dari depolarisasi konduksi
aksonal yang antidromic diinisiasi dengan ikatan suksinilkolin pada reseptor prejunctional
nicotinic cholinergic. Kemungkinan mencegah fasikulasi dihubungkan dengan besarnya afinitas
obat tersebut pada prejunctional colinergic. 1,17
Meta-analisis lengkap oleh Schreiber dan kolega-koleganya juga termasuk data yang
dikumpulkan dari beberapa studi yang secara total berisikan fasikulasi dari 12 regimen
pretreatment fasikulasi. Meta analisa dari uji coba pretreatment fasikulasi ini mengindikasikan
bahwa 4 pretreatment yang memberi keuntungan lebih adalah d-tubocurarin, atracurium,
recuronium dan channel sodium bloker (lidokain, phenytoin). 1,7
Mialgia postoperasi
Selama ujicoba klinis Suksinilkolin pertama pada tahun 1950, peneliti mengungkapkan
fenomena dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien post operasi.
Kejadian pertama yang dilaporkan terhadap mialgia post operasi adalah pada tahun 1952, ketika
Bourne fokus terhadap nyeri otot yang dianggap “ kaku otot ” yang disebabkan oleh kontraksi
otot yang kuat karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun kemudian, tahun 1954, Churchill
– Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom mialgia postopearasi pada studi pertama
yang mengkhususkan tentang mialgia, dimana dilaporkan bahwa nyeri otot yang dirasakan oleh
pasien adalah hasil dari pemberian Suksinilkolin. Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat
efek yang disebabkan oleh mialgia postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur
tersebut. Gejala yang sering dikeluhkan pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu
( flu – likesymptom ), nyeri otot seperti telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti ditendang
kuda, terinjak oleh gajah atau pun terlibat dalam pertandingan.1
Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh mengalami
mialgia akibat suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak berturut turut berlikasi
pada leher (54%), dada (28%), bahu (17% ),punggung (16 %)dan anggota tubuh (6 %).34
Tingginya insidensi dari mialgia postoperasi dengan berbagai tingkat keparahannya yang
telah dikeluhkan oleh pasien menjadikan efek samping ini sebagai prioritas utama bagi dokter
untuk menemukan suatu cara, baik untuk meniadakan atau paling sedikit mengurangi persentase
dari insiden tersebut.1,6,15
Kardiovaskular
Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak mengejutkan bahwa
mereka mempengaruhi reseptor kolinergik selain mempengaruhi junction neuromuskular. Sistem
parasimpatis secara keseluruhan dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula
adrenal, dan kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai neurotransmiter.
Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada junction
neuromuskular, ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh karena itu, kerja
suksinilkolin pada kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi reseptor nikotinik pada ganglia
saraf parasimpatis dan simpatis dan reseptor muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa
meningkatkan atau menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah
suksinilkolin bisa menimbulkan efek kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang lebih
tinggi biasanya meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas dan meningkatkan
kadar katekolamin yang beredar dalam sirkulasi.
Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah pemberian
suksinilkolin. Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya jika bolus suksinilkolin
yang kedua diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis pertama. Suatu metabolit suksinilkolin,
suksinilmonokolin, muncul untuk mensensitisasi reseptor kolinergik muskarinik pada nodus
sinoatrial terhadap bolus kedua suksinilkolin, mengakibatkan bradikardia. Atropin intravena
(0,02mg/kg pada anak-anak, 0,4 mg pada orang dewasa) biasanya diberikan sebagai profilaksis
pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu sebelum dosis yang kedua. Aritmia lain seperti
bradikardi nodus dan ektopik ventrikel telah dilaporkan.3,4,5
Hiperkalemia
Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang disebabkan suksinilkolin
untuk meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L. Walaupun hal ini biasanya tidak
signifikan pada pasien-pasien dengan kadar kalium dasar normal, hal ini bisa mengancam jiwa
pada pasien-pasien dengan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau pasien dengan luka
bakar, trauma masif, kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya. Henti jantung yang
mengikuti bisa terbukti menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi kardiopulmonar rutin,
membutuhkan kalsium, insulin, glukosa, bikarbonat, epinefrin, kation-pertukaran resin,
dantrolene, dan bahkan bypass kardiopulmonar untuk menurunkan asidosis metabolik dan kadar
kalium serum.3,4,5
Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa diekspresikan didalam
dan diluar junction neuromuskular (up-regulation). Reseptor extrajunctional ini membiarkan
suksinilkolin untuk menimbulkan efek depolarisasi yang luas dan pelepasan kalium yang
ekstensif. Pelepasan kalium yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan terapi awal
menggunakan relaksan non depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak memuncak dalam
7-10 hari setelah cedera, namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko bervariasi.3,4,5
Peningkatan Tekanan Intragastrik
Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang diimbangi
dengan peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu, resiko refluk lambung atau
aspirasi pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh suksinilkolin. Walaupun terapi awal dengan
relaksan non depolarisasi meniadakan peningkatan tekanan lambung, ia juga mencegah
peningkatan tonus sfingter esofagus.3,4,5
Peningkatan Tekanan Intraokular
Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki motor end-plate
multipel pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang dan kontraksi otot ekstra-okular
setelah pemberian suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokular sementara dan bisa
membahayakan mata yang cedera. Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu dicegah
dengan terapi awal dengan relaksan non-depolarisasi.3,4,5
Kekuatan otot Masetter
Suksinilkolin sementara meningkatkan tonus otot masetter. Beberapa kesulitan bisa pada
awalnya dijumpai pada pembukaan rongga mulut karena relaksasi rahang yang tidak lengkap.
Suatu peningkatan bermakna pada tonus yang mencegah laringoskopi tidak normal dan bisa
merupakan tanda awal hipertermia maligna.3,4,5
Hipertensi Maligna
Suksinilkolin merupakan obat perangsang yang poten pada pasien-pasien yang rentan
terhadap malignan hipertemia, suatu kelainan hipermetabolik otot skeletal. Walaupun tanda dan
gejala sindroma neurolepti malignan (NMS) menyerupai hipertermia maligna, patogenesisnya
berbeda secara keseluruhan dan tidak perlu menghindari penggunaan suksinilkolin pada pasien-
pasien dengan NMS.3,4,5
Paralisis yang memanjang
Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah
menimbulkan durasi kerja yang lebih lama, dimana pasien dengan pseudokolinesterase atipikal
akan mengalami paralisis memanjang yang bermakna.3,4,5
Tekanan Intrakranial
Suksinilkolin bisa menimbulkan aktivasi pada elektroensefalograf dan sedikit
meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial pada beberapa pasien. Fasikulasi
otot meningkatkan reseptor otot yang selanjutnya meningkatkan aktivitas serebral. Peningkatan
tekanan intrakranial bisa dilemahkan dengan menjaga kontrol jalan nafas yang baik dan
memberikan hiperventilasi. Hal ini bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan
relaksan otot non depolarisasi dan memberikan lidokain intravena (1,5-2.0 mg/kg) 2-3 menit
sebelum intubasi. Efek intubasi pada tekanan intrakranial jauh lebih penting daripada
peningkatan akibat suksinilkolin.3,4,5
Pelepasan Histamin
Sedikit pelepasan histamin bisa terlihat setelah pemberian suksinilkolin pada beberapa
pasien.3,4,5
DAFTAR PUSTAKA
1. Overdiek Ronda M. A Comparison of the Incidence and Degree of Postoperative Mialgia
and Muscle Fasciculations Associated with Dose and Duration of Suksinilkolin
Administration, An Abstract of a Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the
Requirement for the Degree of Masters of Science in Biological Sciences. New Britain:
Department of Biology Central Connecticut State University; 2008.
2. Kantor Gareth S. Anaesthesia and Muscle Pain in Wellness (Consumer Health
Information). University of Cincinnati. 2008.
3. Miller RD. Pharmacology of Muscle Relaxant and Their Antagonist. In Miller’s
Anesthesia. 5th ed; 2000. p. 412-90.
4. Morgan GE, Mikhail M, Murray MJ. Muscular Blocking agent in Clinical
Anesthesiology. 4 th ed. A lange medical book; 2006. p. 205-26.
5. Stoelting K Robert et al. Neuromuscular Blocking drugs. Pharmacology and Physiology.
In: Stoelting RK, Hiller SC, editors. Pharmakology and phisiology in Anaesthetic
Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006; p. 208-44.
6. Katzung G. Bertram, Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-8. Jakarta: Salemba
Medika; 2002; 179.
7. Melnick Brian, et al. Decreasing Post-Suksinilkolin Mialgia in Outpatients, Can J
Anaesth. 1987; p 238-41.
8. Omo b Omoigui, Sota : Buku Saku Obat-obatan Anestesi.EGC.1997