referat devy.doc

24
I. PENDAHULUAN Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan berbagai penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat dan kesehatan anak (Peter G, 2004). Imunisasi rutin pada anak-anak telah menyebabkan penurunan secara bermakna kejadian penyakit infeksi di berbagai negara pada akhir abad ke-20, dan menyelamatkan lebih dari 3 juta jiwa setiap tahun – sekitar 10 ribu jiwa perhari- serta melindungi jutaan anak dari penyakit dan kecacatan menetap (Kane, 2002). Pada umumnya, jadwal vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa kondisi atau keadaan khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau kemungkinan menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan imunisasi. Untuk kondisi khusus ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau memerlukan penundaan bahkan dapat merupakan suatu kontraindikasi pemberian vaksin (Syawitri,2008). Oleh karena itu, perlu diidentifikasi apakah bayi atau anak yang akan dilakukan imunisasi termasuk ke dalam kelompok berisiko atau tidak. Kelompok berisiko dibagi atas bayi berisiko dengan ibu berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi atau anak yang menderita 1

Upload: brahma-putra-juliansyah

Post on 08-Dec-2015

225 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT DEVY.doc

I. PENDAHULUAN

Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan

berbagai penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat dan kesehatan anak (Peter G, 2004).

Imunisasi rutin pada anak-anak telah menyebabkan penurunan secara bermakna

kejadian penyakit infeksi di berbagai negara pada akhir abad ke-20, dan

menyelamatkan lebih dari 3 juta jiwa setiap tahun – sekitar 10 ribu jiwa perhari-

serta melindungi jutaan anak dari penyakit dan kecacatan menetap (Kane, 2002).

Pada umumnya, jadwal vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa

kondisi atau keadaan khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau

kemungkinan menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan

imunisasi. Untuk kondisi khusus ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau

memerlukan penundaan bahkan dapat merupakan suatu kontraindikasi pemberian

vaksin (Syawitri,2008).

Oleh karena itu, perlu diidentifikasi apakah bayi atau anak yang akan

dilakukan imunisasi termasuk ke dalam kelompok berisiko atau tidak. Kelompok

berisiko dibagi atas bayi berisiko dengan ibu berisiko. Pada bayi/anak yang

mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus diperlukan

panduan. Kelompok ini termasuk bayi atau anak yang menderita defisiensi imun

/imunokompromais seperti bayi/ anak yang menderita infeksi HIV, anak dengan

penyakit keganasan, anak yang mendapat pengobatan imunosupresi, radioterapi,

transplantasi sumsum tulang/organ dari splenektomi, dan bayi prematur atau

mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi

(Thomas,2008).

Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita

terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan

diimunisasi seperti pada ibu yang menderita HIV, hepatitis B, dan tuberkulosis.

Dalam kesempatan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi

pada anak dengan kondisi khusus yaitu bayi atau anak dalam keadaan defisiensi

imun dan keadaan khusus lainnya secara garis besar.

1

Page 2: REFERAT DEVY.doc

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi Pada Anak Imunokompromais

1. Imunisasi Pada Bayi Kurang Bulan Dan Berat Lahir Rendah

Usia gestasi dan berat badan lahir tidak membatasi pemberian vaksin

sesuai jadwal bila secara klinis kondisinya stabil. Pada prinsipnya

imunisasi pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah yang telah

mencapai usia kronologis 2 bulan dan masih dirawat di rumah sakit, dapat

dipertimbangkan bila kondisinya stabil sehingga imunitas dan safety

vaksin akan optimal. Kondisi bayi dianggap stabil bila telah tertanganinya

masalah kardiovaskuler, respirasi, infeksi berat, penyulit metabolik dan

adanya kenaikan berat badan yang sesuai (Pickering,2009).

Vaksin Hepatitis B merupakan satu-satunya vaksin yang terbukti

menimbulkan respon lebih rendah pada bayi prematur dan berat badan

lahir rendah, sehingga pada bayi yang lahir dari ibu Hb-Ag negatif

pemberiannya ditunda hingga bayi mencapai berat 2000 gram atau usia 1

bulan. Bayi yang lahir dari ibu seropositif diberikan Imunoglobulin

Hepatitis B (HBIG) dalam 12 jam pertama dan vaksin HBV 0, selanjutnya

2 dosis selanjutnya pada usia kronologis 1 dan 6 bulan. Sedangkan pada

bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2000 gram, vaksin HBV

selanjutnya diberikan 3 kali pada usia kronologis 1, 2-3, dan 6-7 bulan

(Tabel 1) (Esposito,2009).

Tabel 1 Skema imunoprofilaksis Hepatitis B pada bayi kurang bulan dan BBLR

2

Page 3: REFERAT DEVY.doc

Status Ibu Bayi > 2000 gram Bayi < 2000 gramHBs positif HBV + HBIG (12 jam paska

lahir)HBV+HBIG (12 jam paska lahir)

3 dosis HBV (0,1,6 bulan) 4 dosis HBV (0,1,2-3 bulan, 6-7 bulan)

HbsAg dan ant HBs negatif, imunisasi 3 dosis dengan interval 2 bulan kemudian periksa kembali serologi

HbsAg dan ant HBs negatif, imunisasi 3 dosis dengan interval 2 bulan kemudian periksa kembali serologi

HBs tidak diketahui

HBV (12 jam) + HBIG (dalam 7 hari paska lahir) bila ibu seropositif

HBV + HBIG (12 jam paska lahir)

Periksa serologi ibu segera Periksa serologi ibu segera, bila tidak tersedia dalam 12 jam, berikan HBIG

HBs negatif HBV saat lahir HBV 1 pada usia kronologis 30 hari (bila stabil) atau saat keluar dari RS sebelum usia 30 hari

3 dosis HBV (usia kronologis 0-2, 1-4 dan 6-18 bulan)

3 dosis HBV saat usia kronologis 1-2, 2-4 dan 6-18 bulan

HBV kombinasi dapat diberikan mulai usia kronologis 6-8 minggu

HBV kombinasi dapat diberikan mulai usia kronologis 6-8 minggu

Tidak diperlukan pemeriksaan serologis

Tidak diperlukan pemeriksaan serologis

Sumber : Saari, 2003 2. Imunisasi Pada Anak Imunokompromais

Sebelum memberikan vaksinasi pada anak dengan imunokompromais,

harus dilakukan penilaian terlebih dahulu atas hal-hal sebagai berikut,

yaitu:

a. Intensitas dan lama pemberian zat imunosupresan

b. Risiko dan keuntungan yang diperoleh dalam usaha menghindari

tertular suatu penyakit

Kondisi imunokompromais dapat terjadi primer dan sekunder.

Gangguan imunitas primer berkaitan dengan defek bawaan yang

melibatkan defek sel B ,sel T, atau defek pada sistim komplemen dan

fungsi fagosit, sehingga respon imun tidak berjalan sebagaimana mestinya

dan anak menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Kondisi

3

Page 4: REFERAT DEVY.doc

imunokompromais sekunder atau didapat pada penderita infeksi HIV,

keganasan, transplantasi organ atau splenektomi, pengobatan

imunosupresif, antimetabolik atau radiasi dan penyakit lain yang

mengganggu sistem imun seperti malnutrisi berat (Pickering, 2009).

Respon imun pada anak dengan keganasan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yang terkait dengan pemberian kemoterapi dan transfusi komponen

darah. Selama kemoterapi fase intensif, vaksin biasanya tidak efektif.

Kemoterapi menurunkan respons imun sehingga vaksinasi tidak akan

optimal apabila diberikan pada sebelum atau segera setelah kemoterapi,

terapi ,atau terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi/prednison 2

mg/kg/hari selama minimal 14 hari. Seorang anak tidak dianggap

mengalami imunosupresi bila mendapat kortikosteroid sistemik dosis

rendah sampai sedang, termasuk pemberian topikal dan injeksi lokal

(Allen,2007).

Anak dengan keganasan memiliki risiko yang lebih besar untuk

mengalami kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) dibandingkan anak

sehat (Pickerin,2009). Pengaruh obat imunosupresan lebih besar pada

respons imun primer dibandingkan pemberian booster.,13,15 Untuk anak

yang mendapat kortikosteroid dosis tinggi selama lebih dari 2 minggu,

imunisasi ditunda sedikitnya 1 bulan dan bila steroid dosis tinggi diberikan

kurang dari 2 minggu imunisasi hanya ditunda 2 minggu setelah dosis

terakhir (Allen,2007).

Vaksin yang berisi virus/bakteri hidup (MMR, BCG, varisela, tifoid

oral, polio oral, yellow fever, influenza intranasal) merupakan

kontraindikasi pada anak dalam keadaan imunosupresi dan pemberiannya

harus ditunda sampai respons imun kembali normal. Khusus pada anak

penderita leukemia limfoblastik akut (ALL) yang mendapat kemoterapi,

AAP merekomendasikan pemberian vaksin hidup bila penderita telah

remisi selama 1 tahun, hitung limfosit total mencapai 700/mm3 dan

trombosit diatas 100.000/mm3 atau 24 bulan setelah transplantasi sumsum

tulang tanpa penyakit rejeksi jaringan.

4

Page 5: REFERAT DEVY.doc

Transfusi darah turut mempengaruhi respons terhadap vaksin berisi

virus hidup sehingga diperlukan waktu washout, yakni periode waktu

tertentu yang diperlukan oleh tubuh untuk mengembalikan respon imun

setelah diberikan imunoglobulin atau komponen darah sehingga optimal

untuk memberikan respon terhadap vaksin hidup, yang lamanya

tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang diberikan (tabel 2)

(Sung,2001). Vaksin yang berisi bakteri/virus inaktif atau komponen atau

konjugat bukan kontraindikasi bagi anak dengan kondisi imunosupresi.

Vaksinasi DTaP, IPV, HiB, influenza, pneumokokus dan meningokokus

dapat diberikan setelah 3 minggu sampai 1 tahun setelah kemoterapi atau

imunosupresan, dan dengan mempertimbangkan anak telah dalam kondisi

imun yang adekuat, yaitu hitung limfosit total lebih dari 1000/mm.

Vaksinasi dapat pula diberikan selama kemoterapi fase maintainance,

dengan ditambahkan booster setelah 3 bulan kemoterapi selesai ( Esposito,

2009). Perhatian khusus mengenai vaksinasi bagi anak imunokompromais

meliputi pemberian vaksinasi terhadap anggota keluarga/kontak serumah

dan petugas kesehatan terhadap penyakit infeksi yang berpotensi menular.

Anggota keluarga harus mendapat imunisasi varisela, MMR, IPV dan

influenza. Sedangkan OPV tidak disarankan untuk diberikan kepada

anggota keluarga karena berpotensi menjadi sumber penularan bagi anak

imunokompromais (Gedalia,2004).

5

Page 6: REFERAT DEVY.doc

Tabel 2 Periode washout untuk pemberian imunisasi MMR setelah transfusi

komponen darah

Produk Indikasi Dosis Interval (bulan)

Imunoglobulin Hepatitis AProfilaksis KontakInternational travel

0.2 ml/kg0.3 ml/kg

33

Profilaksis CampakKontak normalKontak imunokompromais

0.25 ml/lg0.5ml/kg

56

IVIG Terapi defisinesi antibodi

Terapi ITP atau penyakit Kawsaki

160mg/kg320mg/kg640mg/kg

>1280mg/kg

789

>10 bulanHBIG Profilaksis Hepatitis B 0.06ml.kg 3IG Rabies Profilaksis rabies 20 IU/kg 4IG Tetanus Profilaksis tetanus 250 IU 3IG Varisela Zoster Profilaksis varisela 125 IU/10 kg 5

Washed red cell 10ml/kg 0Packed red cell 10ml/kg 6Whole blood 10ml/kg 6Plasma/ trombosit 10ml/kg 7IG RSV 75mg/kg 10Sumber : Sung dkk,2001

3. Imunisasi Pada Anak Dengan Infeksi Hiv

Imunogenitas dan efektivitas vaksinasi bagi anak dengan infeksi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah banyak dipelajari dan WHO

merekomendasikan pemberian vaksin bagi anak dengan infeksi HIV

meskipun secara umum responnya lebih rendah dibandingkan anak sehat.

Respons imun yang tidak optimal setelah vaksinasi berkaitan dengan defek

respons memori atau tidak adanya sel memori pada anak dengan infeksi

HIV. Komplikasi serius pernah dilaporkan setelah pemberian vaksinasi

BCG dan yellow fever. Panduan vaksinasi yang dikeluarkan WHO untuk

anak yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sedikit berbeda dengan panduan

umum imunisasi, terutama pemberian vaksinasi BCG dan yellow fever

yang tidak dianjurkan bagi anak dengan infeksi HIV simtomatik. Selain itu

imunisasi berpotensi mengaktivasi proliferasi sel T, pelepasan sitokin dan

6

Page 7: REFERAT DEVY.doc

meningkatkan replikasi HIV-1 sehingga menimbulkan gangguan

imunologis (Moss, 2003).

Risiko meningkatnya morbiditas dan mortalitas penyakit yang dapat

dicegah melalui imunisasi pada anak dengan HIV dipertimbangkan lebih

berbahaya dibandingkan efek samping dari vaksinasi tersebut, sehingga

WHO membuat rekomendasi imunisasi rutin yang dimodifikasi untuk anak

dengan infeksi HIV. Anak yang telah diketahui atau dicurigai terinfeksi

HIV namun asimptomatik direkomendasikan untuk mendapat semua

imunisasi rutin dengan modifikasi;

a. Dosis ekstra imunisasi campak pada usia 6 bulan yang ditujukan untuk

mendapatkan perlindungan terhadap penyakit lebih awal dibandingkan

anak yang tidak terinfeksi HIV

b. Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan imunisasi BCG,

hal ini didasarkan pada risiko paparan tuberkulosis.Anak dengan HIV

asimtomatis , bila daerah risiko TBC tinggi maka tetap diberikan BCG

pada saat baru lahir, sesuai jadwal standar pada Expanded Programme

on Immunization. Sebaliknya bila risiko TBC rendah dan maka

pemberian imunisasi BCG tidak diperlukan

c. Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan vaksin hidup

yellow fever (Moss,2003).

Pemberian imunisasi pada anak dengan infeksi HIV dalam

rekomendasi WHO dan Advisory Committee on Immunization Practices

(ACIP) dirangkum dalam tabel 3.

4. Imunisasi Pada Anak Dengan Asplenia/Hiposplenia

Asplenia anatomis maupun fungsional menyebabkan peningkatan

risiko terjadinya bakteriemai fulminan dengan angka kematian yang tinggi.

Pneumokokus dan HiB merupakan mikroorganisme penyebab tersering,

selanjutnya yaitu meningokokus, streptokokus lainnya, serta E. coli.

Pemberian vaksin konjugat pneumokokus dan meningokokus serta HiB

sangat dianjurkan.

Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok

dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik 7

Page 8: REFERAT DEVY.doc

dengan penisilin dianjurkan untuk penderita anemia sickle cell dan

thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125mg

sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 x 250mg sehari untuk anak >

5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg sehari. Harus

dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis

antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain,

sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis

( CDC, 2011).

Tabel 3. Rekomendasi Imunisasi pada anak dengan infeksi HIV

VaksinWHO/ UNICEF ACIP

Asimptomatik Simptomatik Anak dengan HIV/AIDS

BCG Lahir Tidak Tidak

DPT Usia 6,10,14 minggu

Tidak DTaP

OPV Usia 0,6,10,16 minggu

Ya Tidak (gunakan IPV)

Campak(dalam MMR)

Usia 6 dan 9 bulan

Ya (tidak bila imunodefisiensi

berat)

Ya (tidak bila CD4+ < 15%)

Hepatitis B Ya (anak tidak terinfeksi)

Ya Ya

Yellow fever Ya Tidak Ya

Pneumokokus Ya Ya Ya

Hib Ya Ya Ya

Meningokokal Ya Ya Ya

Influenza Setiap tahun Setiap tahun Ya (usia >6 bulan)

Varisela Ya Ya (tidak bila CD4+ <15%)

Bila ada indikasi

Antraks Belum ada rekomendasi Bila ada indikasi

Sumber : Obaro dkk, 2004; Pickering dkk,20065. Imunisasi Pada Anak Yang Menerima Transplantasi

Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi

defisiensi imun disebabkan 4 komponen

a. pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer,

b. kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu

c. reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta

8

Page 9: REFERAT DEVY.doc

d. pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi

dilakukan.

Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otology hanya

komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada

pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 3. Pada TST

alogenik, system imun resipien digantikan oleh system imun pejamu

(IAPCOI,2006).

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan

imunisasi polio dan DPT terlebih dahulu; karena terbukti setelah

transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteri hampir

tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan

imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian

segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang

sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan

dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV

(inactivated polio vaccine).

Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft

dan pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya

infeksi pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi

TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih

dahulu kepada resipien (Succi, 2006).

Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah transplantasi, dan

diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B

diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur di atas 12 tahun

yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih

dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko

tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan.

Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer

antibodi setelah setahun transplantasi sebainya diperiksa. Pada mereka

yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubella

sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglonulin dan bila

9

Page 10: REFERAT DEVY.doc

mungkin titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data

mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai

pengalaman dan cara yang berbeda ( CDC, 2011).

Tabel 4.Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

Vaksin Transplantasi TST alogenik

Transplantasi TST otologus

Keterangan

DPT Ya YaPolio (IPV) Ya YaCampak Epidemik

campakHanya pada penderita anak

Tidak diberikan dalam 24 bulan setelah transplantasi. Tidak pada GVHD.

Rubella Ya Ya Terutama wanitaHib Ya Ya 2 dosis mulai 6-12 bulan

setelah transplantasiHepatitis B Ya Ya 12 bulan setelah

transplantasi. Pneumokok Ya ? Hasil tidak baik pada

GVHD.Varisela Tidak Anak dan

dewasa mudaTidak dalam masa 24 bulan setelah transplantasi. Tidak pada GVHD.

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004Keterangan : TST = Transplantasi Sumsum Tulang, GVHD = Graft Versus Host Disease

6. Imunisasi Sehubungan Dengan Pemberian Produk Darah Yang

Mengandung Antibodi

Vaksin inaktif dapat secara aman diberikan secara simultan pada

tempat yang berbeda dengan jalur pemberian produk darah mengandung

antibodi, tanpa menyebabkan kehilangan imunogenisitas dan efikasinya

(kecuali pemberian RIG 7 hari setelah pemberian vaksin rabies). Vaksin

hidup seperti MMR dan varisela harus dihindari sekurangnya 3 bulan

setelah pemberian produk darah, demikian juga produk darah tersebut

dihindari diberikan sekurangnya 2 minggu setelah pemberian vaksin di

atas. Bila terlanjur terjadi, maka perlu diperiksakan respon serologi dan re-

vaksinasi bila diperlukan. Vaksin tifoid oral, OPV, LAIV, dan yellow fever

vaccine dapat diberikan kapan saja sehubungan dengan pemberian produk

darah yang mengandung antibodi tersebut (IAPCOI, 2006).

10

Page 11: REFERAT DEVY.doc

B. Imunisasi Dalam Keadaan Khusus Lainnya

1. Imunisasi Pada Anak Sakit

Seluruh imunisasi ditunda hanya pada kasus dengan keadaan sakit

yang serius. Vaksinasi boleh diberikan saat anak mengalami infeksi

saluran pernafasan atas yang ringan maupun dengan diare ringan, sehingga

jadwal imunisasi tidak terlewat. Anak yang dirawat dapat melengapi

jadwal imunisasinya segera setelah dipulangkan dari rumah sakit

( IAPCOI, 2006).

2. Imunisasi Pada Anak Dengan Penyakit Kronis

Anak dengan kelainan neurologis, endokrinologis (diabetes), liver,

renal, hematologi, kardiologi, pulmonal dan gaastrointestinal sangat peka

terhadap infeksi, sehingga harus diberikan imunisasi seperti anak sehat,

kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Vaksin hidup dapat

diberikan secara aman pada anak-anak ini. Sangat dianjurkan untuk

imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus. Imunogenisitas dan

efikasi serta durasi proteksi vaksin memang lebih rendah dibandingkan

anak sehat, sehingga penting untuk secara berkala memeriksakan titer

antibodi terhadap vaksin dan dipertimbangkan pemberian boosters

(CDC,2011).

3. Imunisasi Pada Anak Dengan Riwayat Alergi

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius

setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit

dengan pengawasan dokter. Imunisasi pada anak dengan riwayat

hipersensitivitas dan anafilaksis terhadap komponen vaksin tentunya

merupakan kontraindikasi. Produk vaksin harus selalu diperiksa baik

tanggal pembuatan, nomor batch, kandungan pengawet dan antibiotika di

dalamnya. Anak dengan riwayat alergi protein telur sebaiknya tidak

menerima vaksin influenza dan yellow fever, namun dengan aman dapat

menerima vaksin lain termasuk campak dan MMR. Rekasi

hipersensitivitas yang ringan tidak menjadi suatu kontraindikasi terhadap

pemberian vaksin tersebut kembali. Dengan demikian, setelah pemberian 11

Page 12: REFERAT DEVY.doc

vaksin, maka anak perlu dimonitor sekurangnya 15 menit untuk melihat

adanya reaksi alergi. Dengan demikian perlu disiapkan alat resusitasi pada

tempat yang memberikan pelayanan vaksinasi (Succi, 2006).

4. Imunisasi Pada Riwayat Paparan Dengan Penyakit Infeksi Menular

Pemberian vaksinasi setelah terpapar dengan penyakit menular bertujuan

untuk mencegah penyebaran penyakit, sebagai bagian dari sistem

surveilans epidemiologi. Berikut adalah jadwal pemberian imunisasi

setelah paparan dengan penyakit infeksi menular ( Syawitri, 2008).

Tabel 5. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi

Paparan infeksi Inkubasi Pemberian vaksinasiCampak 8-12 hari 0-72 jam paparanVarisela 14-16 hari 0-72 jam paparanRubella 14-23 hari Tidak perluGondongan 12-25 hari Tidak perluHepatitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dalam 12

jamTetanus 24jam – beberapa

bulanPerlu aktif dan pasif

Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

5. Imunisasi Pada Anak Dengan Gangguan Perdarahan Dan Atau

Menerima Terapi Antikoagulan

Bila tidak merupakan kontraindikasi, jalur pemberian vaksinasi yaitu

secara subkutan. Pada vaksin yang mengandung adjuvan alumunium yang

hanya bisa diberikan secara intramuskuler, pemberian ditunda sampai anak

mendapat terapi antikoagulan, dengan menggunakan jarum berukuran

paling kecil, dan setelah disuntik dilakukan penekanan sekurangnya 5

menit untuk membantu pembekuan dan mencegah perdarahan ( IAPCOI,

2006).

6. Imunisasi Pada Ibu Menderita Tuberkulosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum,

sesudah lahir, dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum

melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG. Tindakan

yang dilakukan,

a. Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.

12

Page 13: REFERAT DEVY.doc

b. Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per

oral.

c. Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan

pemeriksaan uji tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.

d. Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi pengobatan

anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.

e. Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan

pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.

f. Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai.

Bila BCG sudah terlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu

setelah pengobatan INH selesai.

g. Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan

bayi tiap 2 minggu.

III KESIMPULAN

Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan

berbagai penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat dan kesehatan anak. Pada umumnya, jadwal

vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa kondisi atau keadaan

13

Page 14: REFERAT DEVY.doc

khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau kemungkinan

menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan imunisasi. Untuk

kondisi khusus ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau memerlukan

penundaan bahkan dapat merupakan suatu kontraindikasi pemberian vaksin.

Pada keadaan khusus, dimana kemungkinan respon vaksinasi tidak adekuat

atau dikhawatirkan terjadi efek samping dari vaksin yang mungkin merugikan,

maka pemberian vaksinasi harus dipertimbangkan secara individual. Dengan

pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengani vaksinasi, maka dapat

dijadwalkan pemberian vaksin yang aman dan dapat memberikan efek proteksi

maksimal bagi setiap anak.

DAFTAR PUSTAKA

Allen U. 2007. Immunizations for children with cancer. Pediatr Blood

Cancer.49:1102-8.

Center for Disease Control. 2009. Immunization programme. (diakses 05

September 2015). Diunduh dari www.cdc.gov.

14

Page 15: REFERAT DEVY.doc

Esposito S, Serra D, Gualtieri L, Cesati L, Principi N.2009. Vaccines and preterm

neonates: why, when and with what. Earl Hum Dev.85:S43-S5.

Gedalia A, Shetty A. 2004. Chronic steroid and immunosuppressant therapy in

children. Ped Rev.25:425-34.

Halsey NA, Asturias EJ.1999. Immunization. Dalam: McMillan JA, DeAngelis

CD, Feigin RD, Warshaw JB, editor. Oski’s pediatrics principles and

practice. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.h.479-91.

IAPCOI.2006. Immunization in special situations. (diakses 05 September 2015).

Diunduh dari www.iapcoi.com

Kane Mark, Lasher H. 2002. The Case for childhood immunization. Washington:

Chidren’s vaccine program.

Moss W, Clements C, Halsey N.2003. Immunization of children at risk of

infection with human immunodeficiency virus. Bull WHO. 81(1):61-70.

Obaro S, Pugatch D, Luzuriaga K.2004. Immunogenicity and efficacy of

childhood vaccines in HIV-1-infected children. Lancet Infect Dis. 4:510-8.

Peter G.2004. Immunization practices. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:

WB Saunders Co.h.1174-84.

Pickering L, Baker C, Kimberlin D, Long S. Red Book Online: 2009 Report of the

Committee on Infectious Diseases.Edisi ke 27. Elk Grove Village: American

Academy of Pediatrics.

Saari TN.2003. Immunization of preterm and low birth weight infants. Pediatrics.

112(1):193-8.

Succi RC, Farhat CK. 2006. Vaccination in special situations. Jour Ped.

82(3):S91-100

Sung L, Heurter H, Zokvic K, Ford-Jones E, Weitzman S, Freedman R, dkk.

2001. Practical vaccination guidelines for chidren with cancer. Pediatr Child

Health.6(6):379-83.

Syawitri P S. 2008. Imunisasi Kelompok Beresiko . Dalam Ranuh IGN, Soeyitno

H, Hadinegoro SR, Kartasasmita C, Ismudiyanto, Soedjatmiko, penyunting .

Buku imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI, 2008:303-314.

15

Page 16: REFERAT DEVY.doc

Tavares E, Ribeiro J, Oliveira L.2005. Active and passive immunization in the

extremely preterm infant. J Pediatr. 81:s89-s94.

Thomas C.m. 2008. Immunization consideration for children receiving

immunosuppressive therapy. (diakses 05 September 2015). Diunduh dari

www.childrenhospital.go.th

16