referat deirium
DESCRIPTION
Referat DeliriumTRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Seorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal
dapat berada dalam keadaan sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan
oleh rangsangan misalnya rangsangan nyeri, bunti atau gerak. Rangsangan ini disampaikan
pada sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem aktifitas
retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi
di otak, yang terletak diatas hipotalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran,
kecuali bila lesinya luas dan bilateral.1
Penyakit dapat merubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu : meningkatkan atau
menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului
penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus.1
Delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan abnormal dari
aktifitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak
gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktifitas motoriknya meningkat, meronta-ronta.
Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur oleh berbagai obat dan gangguan
metabolik toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan pada malam hari. Penghentian
mendadak obat antidepresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-
tremens. Demikian juga bila pecandu alkohol mendadak menghentikan minum alkohol dapat
mengalami keadaan delirium dengan keadaan gaduh gelisah.1
BAB II
Isi
2.1 Definisi Delirium
1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kata “delirium” berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah
dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai
delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke.
Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit dan memiliki banyak kausa, yang
semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan
gangguan kognitif pasien. Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali
dan jarang di diagnosis.1,2
Dalam revisi DSM-IV TR edisi ke-4, delirium ditandai oleh gangguan kesadaran serta
perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat. Gejala penanda delirium yang utama
adalah hendaya kesadaran, biasanya terjadi pada hendaya fungsi kognitif secara menyeluruh.
Abnormalitas mood, persepsi dan perilaku merupakan gejala psikiatri yang lazim dijumpai.
Tremor, astreksis, nistagmus inkoordinasi dan inkontinensia urin adalah gejala neurologis
yang umum ditemui. Secara klasik, delirium memiiki awitan mendadak ( dalam hitungan ja
atau hari ), perjalanan singkat dan berfluktuasi serta perbaikan cepat bila faktor kausatif
diidentifikasi serta dieliminasi.2
2.2 Epidemilogi
Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Menurut DSM-IV TR prevalensi
delirium pada satu titik waktu populasi umum adalah 0,4 persen untuk orang berusia 18 tahun
ke atas dan 1,1 persen pada usia 55 tahun ke atas.2
- Sekitar 10 sampai 30 persen pasien yang sakit secara medis dan dirawat di rumah sakit
mengalami
- Sekitar 30 persen pasien dirawat di ICU bedah dan ICU jantung.
- Sekitar 40 sampai 50 pasien yang dalam masa penyembuhan dari tindakan bedah pinggul
memiliki episode delirium.
- Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 % pasien dengan sindrom
imunodefisiensi didapat (AIDS)
- Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium, sekitar 30 – 40 persen dari
pasien yang dirawat berusia 65 tahun dan memiliki episode delirium.2
2.3 Etiologi
2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat ( seperti epilepsi ),
penyakit sitemik ( seperti gagal jantung ), serta baik intoksikasi maupun keadaan putus obat
dari zat farmakologis atau toksik. Saat mengevaluasi pasien delirium, klinisi harus
menganggap bahwa obat apapun yang dikonsumsi pasien dapat terkait secara kausatif dengan
deliriumnya.2
Neurotransmitter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta
glutamate. Area yang terutama terkena adalah formatio retikularis.1,3
Faktor predisposisi terjadinya delirium antara lain:
Usia
Kerusakan Otak
Riwayat delirium
Ketergantungan alcohol
Diabetes
Kanker
Gangguan panca indra
Malnutrisi
2.4 Patofisiologi Delirium
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya
melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang
terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan neurotransmiter yang
berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal.
Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating sistem,
korteks, dan hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir
konkrit, dan inattention) dalam delirium.2,3
Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali dopamin yang berkurang
misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan dopamin yang abnormal
ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu
neurotransmiter eksitasi. Adanya gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi
membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.1,3
3
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba,
intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid (LSD)
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran
Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh
gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang
irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multipel
neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional
states dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit
Alzheimer. Pada pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum
anticholonergic meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergic dan dopaminergic.
Pada delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy dan
sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan delirium.
Cortisol dan beta-endorphins: pada delirium yang disebabkan glukokortikoid eksogen
terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena
keterlibatan sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psychososial dan
angguan tisur berperan dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian
kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental
dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan
4
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan
struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat
menyebabkan delirium.
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostic delirium berdasar DSM IV :
Untuk Delirium karena kondisi medis umum:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan
berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gangguan disebabkan oleh pengobatan umum, atau obat-obatan,
atau gejala putus obat.
Untuk Delirium Intoksikasi Zat:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan
berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium (A) atau (B)
A. Gejala dalam kriteria 1 dan 2 berkembang selama intoksikasi zat
B. Pemakaian medikasi secara etiologi berhubungan dengan gangguan.
Untuk Delirium Putus Zat :
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan
berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gejala dalam kriteria (1) dan (2) berkembang selama , atau segera
setelah suatu sindroma putus
Untuk Delirium Karena Penyebab Multiple:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan
berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa delirium telah memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya lebih
dari satu penyebab kondisi medis umum, suatu kondisi medis umum ditambah
intoksikasi zat atau efek samping medikasi).
Untuk Delirium Yang Tidak Ditentukan:
Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi
kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan pada bagian ini.
2.6 Gejala Klinis
Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV
digambarkan sebagai “penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan” dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
Di bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-TR; keempat
kriteria ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium.4
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DeliriumA Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap
lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,mempertahankan dan mengalihkan perhatian
B Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi,gangguan berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidakdapat dimasukkan ke dalam pre-demensia, demensia yang sudah
6
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
ada atau demensia yang sedang muncul.
C Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanyajam sampai beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasiselama berlangsungnya.
D Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik danpenemuan pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikanbahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis darikondisi medis umum.
Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan
kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari dan
kegelisahan. Tampaknya gejala tersebut pada seorang pasien yang berada dalam resiko
delirium harus mengarahkan dokter untuk mengikuti pasien secara cermat.1,3
A. Kesadaran
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu
pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain
ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien delirium yang berhubungan dengan putus zat
seringkali mempunyai delirium hiperaktif yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik,
seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil dilatasi, mual, muntah, dan
hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang
depresi, katatonik, atau mengalami demensia.
B. Orientasi
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium yang ringan.
Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya
dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat. Pasien delirium
jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
C. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa seperti melantur,
tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti
pembicaraan. Tetapi DSM IV tidak lagi memerlukan adanya kelainan bahasa untuk
diagnosis, karena kelainan tersebut tidak mungkin untuk mendiagnosis pasien yang bisu.
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi
ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan, dan mengingat
7
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
kenangan mungkin terganggu, walaupun kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien
delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin
mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.
D. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu mereka. Dengan demikian, pasien seringkali tertarik oleh stimuli yang
tidak relevan atau menjadi teragitasi jika dihadapkan oleh informasi baru. Halusinasi juga
relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris,
walaupun halusinasi juga dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering
pada delirium.
E. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood. Gejala yang
paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan
mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah apati, depresi, dan euforia.
Beberapa pasien dengan cepat berpindah-pindah di antara emosi tersebut dalam perjalanan
sehari.
F. Gejala Penyerta
Gangguan tidur bangun. Tidur pada pasien delirium secara karakteristik terganggu.
Pasien seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat
tidunya atau di ruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat dan
terputus-putus. Seringkali keseluruhan siklus tidur bangun pasien dengan delirium semata-
mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur,
situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di
malam hari dan mimpi yang mengganggu pada pasien delirium terus berlangsung ke keadaan
terjaga sebagai pengalaman halusinasi.
G. Gejala Neurologis
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai gejala neurologis yang menyertai,
termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinesia urin. Tanda neurologis
fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan delirium.1,3,-4
2.7 Diagnosis Banding
8
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Banyak gejala yang menyerupai delirium.Demensia dan depresi sering menunjukkan
gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/ kondisi tersebut acap kali terdapat
bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut informasi dari keluarga dan
pelaku rawat menjadi sangat berarti pada anamnesis.
a. Delirium versus demensia
Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu delirium awitannya
tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan.Meskipun kedua kondisi tersebut
mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih stabil, sedangkan pada delirium
berfluktuasi.
Perbandingan Delirium dan Demensia
Tabel 2. Perbandingan delirium dengan dementia
Gambaran Klinis Delirium Dementia
Gangguan daya ingat + + + + + +
Gangguan proses berpikir + + + + + +
Gangguan daya nilai + + + + + +
Kesadaran berkabut + + + -
Major attention deficits + + + +
Fluktuasi perjalanan penyakit (1 hari) + + + +
Disorientasi + + + + +
Gangguan persepsi jelas + + -
Inkoherensi + + +
Gangguan siklus tidur – bangun + + +
Eksaserbasi nocturnal + + +
Insight/tilikan + + +
Awitan akut/subakut + + -
9
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
b. Delirium versus skizofrenia dan depresi
Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien
yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat
dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap
dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada delirium biasanya gejala berkembang
dalam beberapa jam.
Beberapa pasien dengan skizofrenia atau episode manik mungkin pada satu keadaan
menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan delirium. Secara
umum, halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih konstan dan lebih terorganisasi
dibandingkan dengan kondisi pasien delirium.
2.8 Pemeriksaan Dan Penatalaksanaan Delirium
Pada tiap penderita dengan kesadaran yang menurun atau koma harus dilakukan
pemeriksaan yang sistematis. Pemeriksaan harus mencakup anamnesis, pemeriksaan umum,
neurologis dan laboratorium.1
Anamnesis harus ditanyakan kepada orang yang mengetahui (alloanamnesis), tanyakan seperti :
Trauma kepala
Gangguan konvulsif, epilepsi
Diabetes mellitus, pengobatan dengan obat hipoglikemi, insulin
Penyakit injal, hati, jantun, paru
Perubahan mengenai suasana hati (mood), tingkah laku,pikiran
Pengunaan obat atau penyalahgunaan zat
Alergi, gigitan serangga, syok anafilaktik
Gejala kelumpuhan, demensia, gangguan fungsi luhur
Penyakit terdahulu yang berat serta perawatan di rumah sakit sebelumnya1
10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Segera periksa dan beri tindakan untuk mencegah atau mengatasi 5 H, yaitu :
Hipoksia otak, Hipotensi, Hipoglikemia, Hipertermia dan Herniasi di otak. Pemeriksaan
harus mencakup :1
a. Gejala vital. Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi
b. Kulit. Perhatikan tanda trauma, sigmata penyakit hati, bekas suntikan
c. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulut kepala, hematoma di sekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung
d. Torak, jantung, paru, abdomen dan ekstremitas1
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain :5
1. Darah rutin ; untuk mendiagnosa infeksi dan anemia
2. Elektrolit ; untuk mendiagnosa low atau high elektrolit level
3. Glukosa ; untuk mendiagnosa hipoglikemi,ketoasidosis diabetikum, atau keadaan
hiperosmolar non ketotic
4. Test hati dan ginjal ; untuk mendiagnosa gagal ginjal atau hati
5. Analisis urine ; untuk mendiagnosa URTI
6. Test penggunaan pada urin dan darah
7. HIV test
8. Thiamine dan vit B12 level
9. Sedimentasi urine
10. Test fungsi tiroid
Test neuroimaging :6
1. CT Scan kepala
2. MRI berfungsi untuk mendiagnosa dari stroke,perdarahan, dan lesi structural
Pemeriksaan elektrofisiologi:6
1. Pada delirium,umumnya perlambatan pada ritme dominan posterior dan peningkatan
aktifitas gelombang lambat pada hasil pencatatan EEG.
2. Pada delirium akibat putus obat/alcohol, didapatkan peningkatan aktifitas gelombang
cepat pada pencatatan.
3. Pada pasien dengan hepatic encephalopati, didapatkan peningkatan gelombang difuse.
11
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
4. Pada toksisitas atau gangguan metabolik didapatkan pola gelombang triphasic, pada
epilepsy didapatkan gelombang continuous discharge, pada lesi fokal didapatkan
gelombang delta.
Pengobatan
Dalam mengobati delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab yang
mendasari. Bila kondisi yang mendasari adalah keracunan antikolinergik, dapat diindikasikan
pengunaan fisostigmin salisilat (Antilirium) 1-2 mg secara intravena atau intramuskular,
dengan dosis berulang dalam 15 sampai 30 menit. Tujuan pengobatan lainnya juga yang
penting adalah memberikan dukungan fisik, sensorik dan lingkungan.
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis
adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol.
Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai suatu formula
intravena alternative , walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting pada
pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium karena obat
tersebut disertai dengan aktifitas antikolinergik yang bermakna.Insomnia paling baik diobati
dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine
(Vistaril), 25 sampai 100mg.
1. Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan
identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran.
2. Olanzapine (Zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek
ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang disertai
agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5mg, dan meningkat sampai 20 mg po jika
dibutuhkan. Olanzepine dapat menurunkan ambang kejang, namun sisanya
dapat ditoleransi dengan cukup baik.
3. Risperidone (risperidal), juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik,
dimulai dengan 0,5 mg dua kali sehari atau 1mg sebelum waktu tidur,
meningkat sampai 3 mg 2 kali sehari jika dibutuhkan.
4. Haloperidol (haldol), dpat digunakan dengan dosis yang rendah (0.5 mg
sampai dengan 2 mg 2 kali sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek
samping ekstra pyramidal dapat terjadi, dapat ditambahkan sedative, misalnya
12
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
lorazepam diawali 0,5 mg sampai 1 mg setiap 3 sampai 8 jam jika
dibutuhkan.2
2.9 Prognosis
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya
menghilang dalam periode 3-7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu
sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin
lama pasien mengalami delirium semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Ingatan tentang apa yang dialami selama delirium, jika delirium telah berlalu,
biasanya hilang timbul, dan pasien mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai
pengalaman yang mengerikan yang hanya diingat secara samar-samar.2
BAB III
Penutupan
Kata “delirium” berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Delirium adalah
sindrom, bukan suatu penyakit dan memiliki banyak kausa, yang semuanya mengakibatkan
13
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang di diagnosis.2
Prevalensi delirium pada satu titik waktu populasi umum adalah 0,4 persen untuk
orang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1 persen pada usia 55 tahun ke atas. Kausa utama
delirium adalah penyakit susunan saraf pusat ( seperti epilepsi ), penyakit sitemik ( seperti
gagal jantung ), serta baik intoksikasi maupun keadaan putus obat dari zat farmakologis atau
toksik. Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV
digambarkan sebagai “penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan” dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan,
mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari dan kegelisahan.
Pada tiap penderita dengan kesadaran yang menurun atau koma harus dilakukan
pemeriksaan yang sistematis. Pemeriksaan harus mencakup anamnesis, pemeriksaan umum,
neurologis dan laboratorium. Dalam mengobati delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi
penyebab yang mendasari. Bila kondisi yang mendasari adalah keracunan antikolinergik.
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya
menghilang dalam periode 3-7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu
sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap.
Daftar Pustaka
1. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Edisi pertama.
Jakarta:Balai Penerbit FK-UI. 2003. Hal 7
14
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
2. Sadock Benjamin J, M.D , Sadock Virginia A, M.D. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC ,Jakarta, 2014. Hal 52-57
3. Kusumawardani A, Husain B, Adikusumo A, dkk. Buku ajar psikiatri. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI, 2010.h.455-503
4. Charles E. Damping,dkk. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium
Pasien Giriatri. Diunduh dari : http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CC4QFjAB&u
rl=http%3A%2F%2Findonesia.digitaljournals.org%2Findex.php%2Fidnmed
%2Farticle%2Fdownload%2F526%2F525&ei=4cb9U_2hNtSiugT-
n4Jg&usg=AFQjCNGqWjr7vuf6LahXav72UbIhVC2ZNQ&bvm=bv.74035653,d.c2E
2007. Diunduh tanggal : 27 Agustus 2014
5. Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz RI. Clarifying
confusion: the confusion assessment method. A new method for the detection of
delirium. Ann Intern Med 1990;113:941-8.
6. Alsop DC, Fearing MA, Johnson K, Sperling R, Fong TG, Inouye SK. The role of
neuroimaging in elucidating delirium pathophysiology. J Gerontol A Biol Sci Med
Sci. Dec 2006;61(12):1287-93.
15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana