referat fix
DESCRIPTION
fixTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Perubahan itu akan terjadi dari mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya
akan dapat dilihat setelah beberapa menit, jam dan seterusnya. Dalam kasus
tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah membantu penyidik menegakkan
keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu menentukan beberapa hal
seperti saat kematian dan penyebab kematian tersebut. Dari kepustakaan yang ada,
saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda - tanda
dan gejala setelah kematian sangat bervariasi. Hal ini karena tanda atau gejala
yang ditunjukan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya, umur, kondisi
fisik pasien, penyakit sebelumnya, keadaan lingkungan mayat, makanan maupun
penyebab kematian itu sendiri. Saat ini dibutuhkan penentuan saat kematian
secara tepat.1
Dalam dunia medis definisi asfiksia masih menjadi perbincangan, namun
beberapa ahli menyimpulkan bahwa asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen
darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.1,2,3 Korban kematian akibat asfiksia
termasuk yang sering diperiksa oleh dokter. Asfiksia berada di urutan ketiga
sesudah kecelakaan lalu-lintas dan trauma mekanik.4
Etiologi dari asfiksia antara lain alamiah (misalnya penyakit yang
menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan
gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru), mekanik (misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,
sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya.kejadian ini sering dijumpai pada
2
keadaan hanging, drowning, strangulation dan suffocation), keracunan (bahan
yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika).5
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua
golongan, yaitu primer (akibat langsung dari asfiksia di mana kekurangan oksigen
ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia) dan sekunder
(berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh seperti pada
penutupan mulut dan hidung/ pembekapan, obstruksi jalan nafas seperti pada mati
gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau
pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru, gangguan
gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan/ asfiksia traumatik,
penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.4
Mati lemas biasanya digunakan untuk kematian yang disebabkan karena
turunnya konsentrasi oksigen di atmosfer, atau yang disebut “vitiated
atmosphere”. Penurunan dari oksigen di atmosfer bisa terjadi karena berbagai
macam situasi. Dekompresi, seperti kegagalan kabin di pesawat pada saat pesawat
berada terlalu tinggi, yang disebabkan karena penurunan secara drastis tekanan
parsial oksigen dan karena penurunan penetrasi gas melalui dinding alveoli.
Penurunan oksigen di atmosfer juga sering dikarenakan konsentrasi gas lain yang
tinggi, atau perubahan kimia dari gas tersebut seperti pembakaran.6
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah asfiksia sama dengan 'kekurangan oksigen' sedangkan secara
etimologi berarti 'tidak adanya denyut nadi'. Arti yang lebih tepat kematian yang
terkait dengan adanya penekanan di leher, - kemudian terjadi cardiac arrest- yang
mana merupakan sebab utama untuk hilangnya denyut nadi –ini adalah
mekanisme yang fatal, dibandingkan dengan hipoksia.
Kembali pada pengetian umum asfiksia, adalah seluruh gangguan yang
dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Tujuan dasar respirasi adalah untuk
menyampaikan oksigen ke sel-sel jaringan perifer. Apa pun yang mengganggu
penyampaian oksigen dapat disebut asfiksia, atau hipoksia atau anoksia. Kondisi
berikut ini mungkin dapat dianggap sebagai gangguan dalam rantai respirasi dan
dibawah ini adalah contoh dari asfiksia:
(a) Tidak ada atau kekurangan tekanan oksigen di lingkungsn eksternal,
seperti pengurangan tekanan udara atau penggantian oksigen oleh gas
inert, seperti nitrogen atau karbon dioksida
(b) Terhalangnya pernapasan orifisium eksterna, seperti dalam pencekikan
atau tersedak
(c) Penyumbatan pernapasan internal, seperti pada faring, laring, trakea atau
yang berhubungan dengan saluran napas.
(d) Pembatasan gerakan toraks yang mencegah inspirasi udara melalui bagian-
bagian penting pernapasan, seperti yang disebut asfiksia traumatik atau
kelumpuhan dari batang otak atau kerusakan saraf atau penggunaan obat-
obatan.
(e) Penyakit paru-paru yang dapat mencegah atau mengurangi pertukaran
udara. Pneumonia, edema paru, respiratory distress syndrome pada
dewasa, fibrosis dan banyak kondisi lain dapat menyebabkan hipoksia,
tapi hal ini jarang menjadi fokus perhatian di bagian forensik.
4
(f) Penurunan fungsi jantung yang menyebabkan penurunan sirkulasi darah
dapat disebut sebagai jenis dari asfiksia, kadang-kadang disebut anoksia
stagnan. Sekali lagi, kondisi ini jarang ditemui pada masalah forensik.
(g) Berkurangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen dapat juga
menjadi sebab asfiksia alami, seperti anemia yang parah dan penggantian
dari oksigen yang merupakan gabungan dari hemoglobin oleh karbon
monoksida.
(h) Pada akhirnya, kemampuan jaringan perifer sel untuk penyampaian
oksigen ke otak.
Aliran darah dapat dilihat pada kondisi-kondisi seperti keracunan sianida,
yang mana sistem enzim sitokrom-oksidase tidak aktif. Beberapa skema dari
kasifikasi asfiksia sudah di rancang seperti pada McIntyre dan Shapiro (1988).
A. Asfiksia Mekanik
Asfiksia yang biasanya dikaitkan di dalam konteks forensik adalah asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan beberapa kondisi yang telah disebutkan di atas,
yang mana lebih memungkinkan muncul sebagai akibat dari penyakit atau dari
kondisi keracunan.
Jumlah oksigen normal dalam darah bervariasi menurut umur dan keadaan
kesehatan dari subjeknya. Muda sampai usia paruh baya hampir memiliki saturasi
yang lengkap dari darah arterinya dengan oksigen, pada level dari 90- 100mmHg
(12-13,5 kPa), sementara seseorang dengan usia lebih dari 60 dapat turun sampai
60 dan 85mmHg (8-10 kPa) nilai normal pada usia yang lebih muda dapat
berlawanan padah orang-orang yang menderita hipoksia ringan sekitar 60mmHg
(5-3 kPa).
Sayangnya pada patologi, pada pemeriksaan-mayat analisis dari tingkat
oksigen tidak memiliki nilai dalam diagnosa retrospektif untuk hipoksia, yang
dapat berubah segera setelah kematian dapat dengan cepat mengaburkan distribusi
gas dan membuat hasilnya menjadi sia-sia.
5
1. Definisi Istilah
Sejumlah nama-nama yang berbeda telah digunakan untuk
mendeskripsikan beberapa tipe asfiksia mekanik yang mana beberapa
diantaranya masih membingungkan:
a. Suffocation (mati lemas) adalah istilah umum yang digunakan untuk
mengindikasikan mati karena kekurangan oksigen, baik karena
kekurangan udara di lingkungan nafas atau dari obstruksi dari jalur
udara eksternal.
b. Smothering (pembekapan) lebih spesifik, keadaan ini dapat
mengindikasikan adanya penghalangan dari jalur nafas eksternal,
biasanya menggunakan tangan ataupun bahan yang lembut. Variasi dari
Suffocation (mati lemas) dapat di sebut juga ‘gagging’ (tersedak)
dimana bahan kain ataupun plester yang menyumbat mulut untuk
mencegah berbicara ataupun berteriak. Sementara jalur nafas melalui
hidung masih baik, udara dapat masuk, tetapi kemudian terdapat
halangan dari lendir ataupun edema yang dapat menyebabkan kematian.
c. Choking (Tersedak) mengacu pada pemblokiran dari saluran nafas atas
oleh benda asing, tetapi juga dapat digunakan pada pencekikan manual.
d. Throttling mengacu kepada pencekikan, biasanya menggunakan tangan,
tetapi kata tersebut jarang digunakan untuk pencekikan menggunakan
pengikat.
e. Strangulation (Pencekikan) adalah istilah yang paling spesifik,
mengindikasikan menggunakan baik tangan maupun pengikat sebagai
penggunaaan tekanan dari luar kepada leher.’Garotting’ sudah lama
digunakan untuk pencekikan menggunakan alat pengikat, tetapi lebih
akurat lagi mengacu hanya kepada eksekusi judisial dari Spanyol.
Metode yang lain terdapat di beberapa bagian dunia seperti teknik India
yang menekan 2 tongkat yang fleksibel atau ‘lathi’ pada leher.
f. Mugging aslinya digunakan untuk pengaplikasian dari tekanan pada
leher yang disebabkan oleh siku tangan yang dibengkokan di sekitar
leher dari belakang, tetapi belakangan ini penggunaanya di Amerika
6
telah meluas, istilah tersebut digunakan untuk setiap jenis perampokan
dengan kekerasan. Dalam waktu baru-baru ini tetap ‘arm-lock’
(kuncian-tangan) digunakan sebagai artian dari menahan oleh penegak
hukum, terkadang disertai hasil yang fatal.
Disamping itu, pada beberapa kematian selama penahanan, biasanya
dimana terdapat perlawanan menggunakan kekerasan yang terjadi antara
beberapa polisi dengan pemabuk atau pengedar obat-obatan terlarang,
kematian yang terjadi setelahnya terjadi dimana tidak ada penekanan pada
leher maupun dada dapat terlibat. Melalui mekanismenya terdapat kekaburan
dan mustail untuk menunjukan secara objektif dalam autopsi, kejadian
tersebut sementara ini dijelaskan sebagai aritmia jantung yang dipicu oleh
katekolamin dari respon kelenjar adrenal yang berlebihan.
Sebagaimana banyak pada korban yang diberikan resusitasi jantung
paru yang energetik, tanda-tanda dari efek katekolamin ini seperti, kontraksi
band nekrosis pada miokardium, tidak dapat dibedakan dari artefak resusitasi.
2. Tanda-tanda Klasik Asfiksia
Selama bertahun-tahun diagnosis otopsi kematian karena asfiksia
dibuat dengan mengacu pada satu set temuan yang kemudian dikenal sebagai
'tanda-tanda klasik asfiksia'. Sayangnya, sekarang cukup jelas bahwa sebagian
dari tanda ini adalah non-spesifik yang sedikit ketergantungan dapat
ditempatkan pada mereka dalam ketiadaan bukti konfirmasi lainnya. Mereka
yang disebut oleh Lester Adelson sebagai ‘obsolete diagnostic quintet’.
Dalam banyak kasus hipoksia yang fatal, tidak diragukan tanda-tanda
yang hilang dan sebaliknya, mereka sering ada di beberapa derajat dalam
kondisi yang dapat ditampilkan untuk menjadi non-hipoksia berasal.
Kesulitan utama bagi ahli patologi adalah bahwa 'asfiksia' tidak dapat
dipercaya dan disamakan dengan 'hipoksia'. Tidak ada tanda-tanda yang
benar-benar khas otopsi hipoksia murni dan sebagian besar kriteria yang
diduga disebabkan oleh faktor lain selain kekurangan oksigen.
7
Masalah lebih lanjut adalah, di beberapa negara ternyata hipoksia
menyebabkan kematian mendadak atau cepat sebelum ada waktu untuk
kekurangan oksigen untuk mengambil efek, seperti sering terjadi ketika
korban memasuki ruang tanpa oksigen, trakea yang tiba-tiba dihambat oleh
makanan atau kantong plastik yang menarik sampai ke atas kepala. Masing-
masing dari 'fitur klasik' harus dilihat secara mendalam.
a. Pethecial Heamorrhages
Ini adalah pin-point kecil timbunan darah yang terletak di kulit,
konjungtiva dan sklera atau di bawah membran serosa toraks seperti pleura
atau perikardium. Mereka bervariasi dalam ukuran dari sepersepuluh
milimeter sampai sekitar dua milimeter. Jika lebih besar dari ini, lebih tepat
disebut 'ekimosis'.
Ptechiea sering dikenal sebagai ‘Tardieu’s spots’, tapi eponim ini
harus dibatasi untuk bintik perdarahan yang terletak di pleura visera, yang
telah dideskripsikan oleh Profesor Ambroise Tardieu pada tahun 1866,
dalam tubuh bayi baru lahir yang diklaimnya telah ‘mati tertindih.
Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah pada saat menemukan ptechiae
pada pecahnya pembuluh darah kapiler, mengingat pembuluh darah tersebut
berasal dari pembuluh darah vena kecil– perdarahan pembuluh darah kapiler
dapat terlihat dengan mata telanjang.
Timbulnya ptechiae dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan vena
secara akut sehingga menyebabkan overdistensi dan ruptur pada dinding
tipis vena-vena perifer, terutama pada jaringan longgar, seperti pada kelopak
mata, dan pada membran yang tidak terdapat pembuluh darah vena, seperti
pleura dan epikardium. Terdapat dugaan bahwa hipoksia pada dinding vena
merupakan salah satu faktor tambahan timbulnya ptechiae, namun belum
ada bukti eksperimental mengenai dugaan tersebut, tampaknya sulit untuk
memperkirakan pembentukan lesi yang cepat ketika terjadi peningkatan
tekanan vena; sebagai contoh, ptechiae dapat muncul seketika setelah bersin
atau batuk yang keras.
8
Ptechiae sering terlihat pada wajah dan mata akibat tekanan pada
leher atau fiksasi pada dada. Pada strangulasi/pencekikan baik oleh tangan
ataupun oleh suatu ikatan, oklusi vena jugularis dapat menghambat drainase
vena dari kepala, yang memungkinkan suplai darah arteri berlanjut melalui
tempat lebih dalam dan carotis dan arteri-arteri vertebral yang lebih dapat
ditekan. Terdapat peningkatan pesat pada tekanan vena di kepala, sehingga
dapat menyebabkan pembengkakan pada pembuluh darah vena.
Konsekuensi yang terjadi adalah pembengkakan pada jaringan, baik
akibat dari peningkatan volume intravaskuler maupun dari transudasi cairan
ke dalam jaringan secara cepat, yang diikuti munculnya bintik perdarahan
pada area tertentu, seperti kulit pada kelopak mata atas, dahi, kulit di
belakang telinga, serta konjungtiva dan sklera pada mata. Pembengkakan
yang sama juga terjadi pada vena, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
langsung baik dari mukosa hidung maupun meatus auditori eksterna.
Pada organ dan jaringan dalam, ptechiae lebih sering terlihat pada
membrana serosa di rongga dada, dimana adanya rongga dalam tubuh dapat
menyebabkan kurangnya aliran pembuluh darah vena superfisial dan
menjadi faktor predisposisi untuk ruptur akibat peningkatan tekanan vena.
Ptechiae hampir tidak terlihat pada membran serosa peritoneum. Pada
rongga dada, saat terjadi usaha napas pada keadaan jalan napas yang
tertutup, dapat menyebabkan penurunan ekstrim tekanan intrapleura
sehingga menimbulkan ptechiae, sama halnya dengan mekanisme
munculnya bintik perdarahan pada kulit. Seperti yang dideskripsikan oleh
Tardieu, ptechiae pada rongga dada sering terlihat pada pleura viseral,
terutama pada fisura intralobaris dan sekeliling hilum.
Ptechiae juga sering terlihat pada permukaan jantung, terutama pada
epikardium yang berada di sekeliling jalur atrioventrikular, terutama pada
permukaan posterior, hal ini timbul sebagai fenomena post-mortem. Pada
bayi baru lahir dan anak-anak, dapat terlihat beberapa ptechiae pada timus
atau sisa-sisa timus. Pada sindroma kematian bayi yang mendadak, ptechiae
9
yang terlihat hanya sebatas korteks saja, namun pada keadaan asfiksia lain,
ptechiae dapat tersebar di seluruh kelenjar; namun hal ini masih diragukan.
Ptechiae jarang terlihat pada pleura parietal atau pada peritoneum,
kecuali pada perdarahan akibat kondisi medis tertentu (diathesis). Di otak,
ptechiae dapat timbul pada bagian yang putih dan kemungkinan dapat
terjadi bentuk perdarahan yang lebih besar di ruang subaraknoid dimana
pembuluh darah superfisial pecah akibat pembengkakan vena akut. Dengan
mekanisme yang sama, dapat pula menyebabkan munculnya ptechiae dan
ekimosis pada daerah di bawah kulit kepala. Pada pemeriksaan kulit kepala,
penyebabnya harus diamati dengan seksama karena beberapa perdarahan
dapat disebabkan akibat pembukaan kulit kepala selama pemeriksaan otopsi.
Ptechiae juga dapat hilang pada interval post-mortem yang lama.
Betz et al mengemukakan bahwa pada proses pembusukan serta
perendaman di air, ptechiae pada konjungtiva dapat menghilang.
b. The Significance of Petechiae
Terdapat beberapa faktor yang mempersulit identifikasi bintik bintik
perdarahan (ptekiae). Pertama, bahwa baik ptechiae pada kulit maupun
visera, dapat muncul dan membesar sebagai fenomena post-mortem.
Gordon dan Mansfield telah menunjukkan bahwa kemunculan dan jumlah
ptechiae berkaitan dengan interval post-mortem, sama dengan tanda
perdarahan lainnya seperti yang ditemukan di belakang laring oleh Prinsloo
dan Gordon.
Sikap tubuh juga mempengaruhi timbulnya perdarahan. Dimana
sering terlihat bersamaan dengan ekimosis yang besar, di bagian depan atau
belakang mayat yang telah meninggal akibat berbagai penyebab selain
asfiksia mekanik. Perdarahan tersebut juga sering muncul pada post-mortem
dengan hipotasis normal, terutama pada kematian akibat adanya kongesti
pada berbagai jenis penyakit jantung. Munculnya perdarahan tersebut pada
area hipostasis juga berhubungan dengan waktu kematian serta panjangnya
interval post-mortem.
10
Terdapat beberapa keadaan sikap tubuh yang abnormal- seperti
mayat ditemukan merosot dari tempat tidur atau dengan kepala yang lebih
rendah dari tubuh- dapat ditandai dengan adanya kongesti, sianosis dan
bintik-bintik perdarahan.
Terkadang postur yang abnormal dapat terjadi selama hidup, seperti
pada korban overdosis, pemabuk dan orang lanjut usia, yang terjatuh pada
posisi dengan bagian atas tubuh terletak paling bawah. Hal ini dapat
mengganggu pernapasan dan dapat menyebabkan kematian, dan
kemunculan ptechiae kongestif pada komponen ante-mortem sulit bahkan
mustahil untuk dibedakan dari post-mortem.
Masalah lain yang dihadapi dalam interpretasi hasil otopsi adalah
bahwa tidak semua lesi punctata di pleura adalah ptechiae. Zaini dan Knight
menunjukkan bahwa beberapa bentuk ptechiae yang dijumpai baik
merupakan tekanan intravena, mikrobulla pada subpleura, maupun pigment
foci.
Sebagai kesimpulan, bintik perdarahan (ptechiae) tidak dapat
dijadikan sebagai indikator mutlak dalam proses hipoksia atau pada fase
hipoksia. Bintik perdarahan tersebut merupakan efek dari pembengkakan
vena, yang diakibatkan oleh adanya obstruksi mekanis pada aliran darah
balik ke jantung atau rongga dada, akibat upaya inspirasi pada saat terjadi
blokade jalan napas. Ptechiae dan ekimosis merupakan temuan umum otopsi
yang nonspesifik dan banyak ditemukan pada post-mortem, terutama pada
posisi tertentu. Ptechiae dan ekimosis dapat muncul pada beberapa fase non-
asfiksia dan, di paru-paru, beberapa ptechiae dapat dijumpai di fisura
interlobaris dan di sekeliling hilum, serta pada kebanyakan otopsi rutin.
Sebaliknya, pada beberapa jenis kematian yang terjadi akibat
kekurangan oksigen (seperti tenggelam, mati lemas, atau masuk ke dalam
ruangan tanpa oksigen), ptechiae jarang dijumpai.
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah timbulnya ptechiae pada
wajah dan mata, karena timbulnya bintik-bintik perdarahan pada kelopak
11
mata, konjungtiva, sklera dan juga kulit wajah, memerlukan penjelasan
lebih, kecuali pada posisi tubuh dengan wajah atau kepala di bawah.
c. Kongesti dan edema
Tanda khas lainnya dari asfiksia adalah kongesti. Kongesti bahkan
lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptechiae dan merupakan akibat
dari aliran darah balik vena yang terhambat. Ketika terjadi penekanan pada
bagian leher, muka, bibir dan lidah akan menjadi bengkak dan berwarna
kemerahan. Perubahan warna pada kongesti biasanya menjadi lebih gelap
seiring dengan timbulnya sianosis. Organ dalam juga dapat mengalami
kongesti serta pada strangulasi khususnya pada lidah, faring dan laring pada
obstruksi vena. Pada penekanan rongga dada, kegagalan gerak pernapasan
dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena, yang diikuti dengan
sianosis.
Kongesti sering dihubungkan dengan pembengkakan jaringan jika
obstruksi vena masih terus berlanjut. Edema merupakan akibat dari
transudasi cairan yang cepat melewati kapiler dan dinding vena, sekali lagi
dikarenakan fungsi tekanan balik dari sistem vena. Hipoksia dari dinding
vaskuler membuktikan peningkatan permeabilitas, tetapi
menggeneralisasikan hipoksia dari sebab lain tidak menyebabkan
pembengkakan jaringan seperti terlihat pada lilitan (strangulasi).
Cairan jaringan juga keluar dengan cepat ke otak pada keadaan
terlilit yang terus menerus bahkan selama beberapa menit, melalui ini
hipoksia efek hipoksia bisa dijadikan faktor tambahan. Edema paru,
mengakibatkan masuknya cairan ke alveoli, sering ditemukan pada
kematian hipoksia. Mekanismenya lebih kompleks, dimungkinkan karena
kombinasi dari hipoksia dan peningkatan tekanan intrapulmoner. Pada
strangulasi, buih kecil dapat banyak dari mulut dan lubang hidung – namun
bisa saja tidak ditemukan pada cekikan. Edema paru sangat umum dan
merupakan fenomena non spesifik pada keseluruhan kondisi dan
signifikansi diagnostik-nya kecil.
12
d. Sianosis
Warna dari darah bergantung dari kuantitas absolut dari
oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi yang ada pada eritrosit. Warna
merah muda normal dari kulit yang teroksigenasi dengan baik dapat berubah
menjadi keunguan atau kebiruan saat kekurangan oksigen – memang, kata
“cyanosis” semulanya dari bahasa Yunani, yang berarti “biru tua”. Sianosis
kutaneus, bagaimanapun, bergantung dari jumlah absolut dari hemoglobin
tereduksi, dibanding proporsi dari hemoglobin tereduksi dengan
oksihemoglobin. Tidak tampak pada anemia sebelumnya, walaupun
perbandingan oksihemoglobin dengan hemoglobin tereduksi rendah. Paling
tidak 5 g hemoglobin tereduksi per 100 ml darah sebelum sianosis tampak
kasat mata, tanpa melihat jumlah total dari hemoglobin.
Pada kasus forensik umum konstriksi dari leher, sianosis hampir
selalu diikuti kongesti dari wajah, dikarenakan pembuluh darah vena yang
kaya akan hemoglobin tereduksi setelah perfusi dari kepala dan leher
tertahan dan wajah menjadi semakin biru karena darah terakumulasi. Jika
saluran napas terhalang, gangguan oksigenasi di dalam paru memacu
diminusi dari oksigen dalam darah arteri. Kejadian ini akan memacu
penggelapan dari seluruh organ dan jaringan, dan mempercepat sianosis dari
wajah. Hal ini tidak terjadi pada fase pertama dari strangulasi,
bagaimanapun, dan bergantung pada oklusi parsial atau komplit dari
saluran napas, atau restriksi dari pernapasan dada.
Sianosis yang terjadi selama kehidupan dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya oleh karena hipostasis, berupa kebiruan atau keunguan, dan bisa
disalahartikan dengan sianosis – memang, beberapa ahli patologi menolak
menggunakan istilah “sianosis” pada jenazah, karena tidak dapat mewakili
kondisi ante-mortem.
e. Pembengkakan Jantung Sebelah Kanan Dan Pengentalan Darah
Deskripsi dari pengentalan yang abnormal dari darah dalam autopsi
pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitos seputar forensik dan
13
terus didiskusikan. Pengentalan post-mortem di jantung dan sistem
pembuluh darah vena adalah sistem yang sering terjadi, dimana disolusi dari
pembekuan darah karena aksi dari enzim fibrinolitik. Yang tidak relevan
dengan diagnosis asfiksia.
Pembengkakan ruang dari sisi kanan jantung dan pembuluh darah
besar adalah juga pengamatan autopsi non – spesifik yang tidak berguna
sebagai penanda proses asfiksia. Apapun tipe kematian kongestif, termasuk
gagal jantung utama dari banyak penyakit, menyebabkan pembengkakan
terminal ventrikel kanan dan atrium sebagai bagian dari peningkatan umum
dalam vena dan tekanan intrakranial.
3. Diagnosis Autopsi Asfiksia
Tidak ada temuan autopsi khusus untuk asfiksia. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, yang disebut tanda-tanda klasik telah dijelaskan dengan baik oleh
Adelson sebagai “kwintet diagnostik yang tidak digunakan”. Ia melanjutkan
untuk mengamati bahwa koeksistensi dari temuan ini, dalam diri mereka, tidak
membuktikan bahwa kematian dihasilkan dari asfiksia. Semua fenomena
mekanik ini tidak spesifik dan dalam cara yang tidak khas untuk cara kematian
ini. Dari yang mereka amati sering dalam kematian yang timbul dari penyakit
alami yang tidak dipersoalkan, maka tidak ada nilai dalam membuktikan
kematian yang diakibatkan asfiksia mekanik.
Manfaat lain pentingnya tanda-tanda asfiksia dapat ditemukan dalam
publikasi penting dari Gordan dan Turner, Camps dan Hunt, Shapiro dan
Swann dan Brucer.
Adalah mustahil untuk membuat diagnosis pasca - bedah mayat hipoksia
akut dengan mengukur gas darah, perubahan yang cepat setelah kematian dan
memang perubahan sekarat membuat analisis tidak berguna. Hanya dengan
penilaian hati-hati riwayat dan pengecualian suatu keadaan, kematian pada
penyebab lain dan evaluasi hati-hati dari tanda-tanda yang dijelaskan di atas,
dapat dicapai kesimpulan apapun. Yang paling penting adalah temuan dari
penyebab obstruksi jalan napas atau trauma lokal lainnya seperti tekanan yang
14
berkepanjangan pada leher atau dada, obstruksi saluran napas, menyebabkan
postural atau oklusi dari lubang pernapasan eksternal.
Tidak dapat ditekankan terlalu kuat bahwa temuan hanya dari setiap
gambaran khusus, seperti kongesti dan petechiae, tanpa bukti atau lebih fisik
perusahaan dari obstruksi mekanik respirasi adalah cukup untuk menjamin
diagnosis asfiksia spekulatif. Jika bukti agunan tersebut tidak datang, maka
penyebab kematian harus dibiarkan tanpa tentuan.
4. Diagnosis Histologis dan Biomekanik Asfiksia / Anoksia
Banyak usaha telah dilakukan untuk menemukan penanda
hipoksia, anoksia dan asfiksia melalui teknik laboratorium, termasuk histologi,
histokimia, dan berbagai metode biokimia. Meskipun banyak pengakuan telah
dibuat untuk kegunaan mereka, fakta bahwa hal tersebut hampir tidak pernah
diajukan dalam proses pengadilan sipil pidana atau membuatnya jelas bahwa
mereka tidak dapat diandalkan.
Hal ini tidak mengejutkan, mengingat sifat samar dan perdebatan
kondisi asfiksia, dimana mekanisme yang beragam dan bahkan
nomenklaturnya tidak standard. Jika sasaran untuk penelitian dipersempit ke
hipoksia berat pada tingkat jaringan atau sel kemudian terjadi mungkin lebih
diharapkan mampu menunjukkan kerusakan sel oleh satu atau lebih dari teknik
yang sekarang tersedia. Namun, bahkan tujuan ini belum dicapai dengan
tingkat reliabilitas yang dibutuhkan untuk tujuan hukum. Pencekikan,
tenggelam, dan gas dari kawanan hewan kecil telah menghasilkan banyak tesis
dan kertas, tetapi tidak memiliki dampak praktis pada masalah lama di patologi
forensik. Kematian sel, terutama di neuron atau miosit, karena iskemik/
kerusakan hipoksia adalah fokus yang paling umum untuk penelitian, tetapi
masalah dalam konteks forensik adalah bahwa hipoksia memerlukan jangka
waktu yang cukup, minimal beberapa menit atau bahkan jam, sebelum
perubahan dapat dideteksi, bahkan dalam keadaan ekspiremental. Dalam bahan
autopsi manusia, perubahan post-mortem dan sekarat pernah hadir
mengganggu tanda-tanda awal kerusakan hipoksia halus.
15
Perubahan histologi dalam paru-paru dan juga penanda kimia dalam
darah atau vitreous, seperti hipoksantin, telah diklaim untuk menunjukkan
hipoksia umum, tetapi penerapan teknik tersebut dalam praktek rutin belum
berhasil.
5. Tipe-Tipe Asfiksia
Terdapat beberapa istilah tipe asfiksia meaknik dengan penjelasannya
masing-masing, yaitu sebagai berikut :
a. Mati Lemas
Walaupun bukan istilah yang spesifik, mati lemas biasanya
digunakan untuk kematian yang disebabkan karena turunnya konsentrasi
oksigen di atmosfer, atau yang disebut “vitiated atmosphere”. Istilah ini
jarang digunakan untuk pencekikan. Penurunan dari oksigen di atmosfer
bisa terjadi karena berbagai macam situasi. Dekompresi, seperti kegagalan
kabin di pesawat pada saat pesawat berada terlalu tinggi, yang disebabkan
karena penurunan secara drastis tekanan parsial oksigen dan karena
penurunan penetrasi gas melalui dinding alveoli. Faktor lain dapat berupa
efek langsung dari kedap udara sebagian dan trauma mekanik dari ledakan
jarak dekat yang dapat mengakibatkan hipoksia.
Penurunan oksigen di atmosfer juga sering dikarenakan konsentrasi
gas lain yang tinggi, atau perubahan kimia dari gas tersebut seperti
pembakaran. Pada pembakaran, berkurang atau hilangnya udara yang dapat
dihirup untuk respirasi dapat menjadi faktor yang dapat menyebabkan
kematian, atau komplikasi lain, seperti masuknya gas toksik ke dalam tubuh
yang di antaranya karbon monoksida, sianida, dan gas-gas toksik lain yang
disebabkan karena pembakaran plastik, yang dapat menyebabkan kematian
yang lebih cepat dibandingkan hipoksia murni. Karbon dioksida, walaupun
tidak beracun, dapat dihirup dan terakumulasi di api, sumur dan batu kapur.
Pada zaman dulu, gelandangan tidur di dekat perapian agar hangat dan
terkadang terjadi sesak atau mati lemas.
16
Karbon dioksida juga merupakan penyebab kematian pada pertanian
yang lebih modern – gudang penyimpanan makanan. Pada gudang
penyimpanan, berton-ton padi disimpan dengan keadaan kedap udara; biji-
bijian memproduksi karbon dioksida dan terakumulasi di dasar bangunan.
Ketika terjadi penyumbatan, Petani mungkin memasuki gudang untuk
memperbaiki penyumbatan. Walaupun kipas disediakan untuk petani
sebelum memasuki gudang, beberapa petani tetap mengalami kematian
mendadak yang dikarenakan atmosfer yang kaya akan karbon dioksida.
Ancaman yang sama juga terdapat di kapal, tank, atau industri logam
yang lain, dimana oksigen digantikan oleh nitrogen di atmosfer. Hal ini
terjadi karena dinding baja dalam keadaan lembab menjadi berkarat dan
proses ini menggunakan oksigen lebih banyak untuk membentuk ferric
oxides. Pada semua kematian yang disebabkan karena oksigen di udara yang
digantikan oleh gas lain, kematian mendadak sering terjadi sebelum
terjadinya efek fisiologi karena hipoksia. Sebagai contoh, penulis sudah
menemukan dua kematian dimana orang yang suka melakukan perjalanan di
laut memasuki kapal yang tertutup dan terjatuh mati pada saat memasuki
tangga masuk. Kemungkinan mekanismenya, dimana terjadi hipoksia yang
terlalu cepat, mengakibatkan overstimulasi sistem kemoreseptor, yang dapat
menyebabkan parasimpatik “vasovagal” cardiac arrest.
Walaupun kematian tidak dilihat secara langsung sebagai kematian
yang tiba-tiba, tanda-tanda klasik asfiksia hampir selalu tidak ditemukan.
Pada lingkup domestik, kematian dapat dilihat saat alat pemanas
menyebabkan tidak adanya oksigen dalam atmosfer pada keadaan ventilasi
yang tidak ada. Walaupun oksida dari karbon sering terbentuk, kerosin atau
peralatan gas alami dapat membunuh melalui hipoksia murni, khususnya
bila dibiarkan terbakar sepanjang malam pada ruang yang kecil tempat
seseorang yang tinggal ditempat tersebut tidur. Efeknya ditekankan pada
saat korban dalam keadaan pintu dan jendela yang tertutup sehingga
menghalangi jalannya aliran udara. Pada kayu atau batu bara tidak memiliki
bahaya yang sama, tetapi membutuhkan pipa atau ceerobong asap untuk
17
membakarnya. Pada seluruh kasus kematian, keracunan karbon monoksida
harus pertama kali disingkirkan dari analisis darah, walaupun hal ini sering
menyertai keadaan kekurangan oksigen, khususnya berkurangnya
ketersediaan oksigen cenderung mengakibatkan sumber panas menghasilkan
lebih banyak monoksida daripada dioksida secara progresif. Pada jenis lain
kematian hipoksia, seseorang --khususnya anak-anak-- dapat terjadi asfiksia
dengan berada diruangan yang ruang udaranya kurag. Contohnya termasuk
kotak-kotak, kulkas yang sudah tidak terpakai; bahaya dalam hal ini sangan
dikenal dan di Inggris adalah ilegal jika membuang kulkas bekas pada
tempat yang memiliki akses publik, kecuali pada pintu yang terkunci secara
otomatis. Pada semua jenis kematian hipoksia (walaupun beberapa
disebabkan oleh mekanisme penghambat cardio vasovagal) sangan jarang
ditemukan pendarahan berupa ptekia, dimana ini adalah hasil utama
obstruksi vena, yang tidak terjadi pada lingkup ini. Pada keadaan mati
hipoksia yang sebenarnya, banyak terjadi penyumbatan dan sianosis,
walaupun hal tersebut sering tidak diteukn dan hasil penemuan pada autopsi
negatif.
b. Smothering (Pembekapan)
Istilah ini merujuk pada kematian akibat sumbatan pada mulut dan
hidung, meskipun terkadang suffocation (mati lemas) digunakan juga untuk
jenis kematian ini. Benda yang digunakan dapat berupa kain, selimut kedap
air atau tangan, meskipun terkadang (khususnya pada kasus-kasus industri)
benda bergerak padat, seperti pasir, lumpur, gandum atau tepung dapat juga
menyebabkan sumbatan jalan napas. Pada bencana Aberfan tahun 1966 di
South Wales, lebih dari 140 korban –hampir semuanya anak-anak- mati
sesak ketika bubur batubara semicair dari penampungan tambang terjatuh
menyapu sekolah mereka.
Pada pembekapan, kematian dapat terjadi akibat sumbatan benda
yang menekan ke bawah lubang-lubang pada wajah, atau akibat beban pasif
kepala yang menekan hidung dan mulut kedalam sumbatan. Pembunuhan
18
yang disengaja biasanya pada orang tua, orang yang lemah, dan bayi. Sangat
sulit untuk membuktikan adanya pembunuhan dari temuan yang ada.
Masalah yang berhubungan dengan bayi akan dibahas lebih jauh
pada bab sudden infant death syndrome, tetapi penting untuk diketahui
bahwa pembekapan pada bayi, baik disengaja atau kecelakaan, sama-sama
jarang dan sulit dibuktikan. Tanda-tanda klasik yang salah dari asfiksia,
pada apa yang mereka percaya, jarang ada pada kasus mati lemas –
meskipun bintik perdarahan intra thoraks umum ditemukan pada lebam
mayat, tanda-tanda ini tidak dapat diterima secara tunggal sebagai bukti
mati lemas.
Tanda-tanda tekanan pada wajah jarang ditemukan dari perubahan
sikap tubuh setelah mati, dimana pucat pada sekitar mulut dan hidung bisa
disebabkan oleh tekanan pasif dari kepala yang tergantung setelah kematian,
mencegah terjadinya hipostasis akibat gravitasi pada daerah ini. Meskipun
wajah ditemukan telentang, variasi warna tetap ada pada wajah, dengan
bercak putih dan merah muda yang kontras, yang biasanya berubah sejalan
dengan semakin lamanya jarak setelah kematian. Jika tidak ada memar atau
lecet pada pipi, di sekeliling mulut, bibir atau luka pada bibir atau mulut,
berbahaya untuk mengartikannya lebih dari variasi warna akibat perbedaan
jumlah darah di pembuluh kapiler wajah, yang merupakan fenomena yang
hampir selalu ada setelah kematian.
Meskipun kesaksian dari ibu tidak selalu dapat dipercaya –tercatat
beberapa kasus dimana ibu memiliki kesaksian yang salah untuk
pembekapan anaknya untuk merasionalkan kejadian sebenarnya dari sudden
infant death syndrome.
Situasi yang sama pada orang tua, yang mungkin korban dari mercy
killing, istilah halus yang sering digunakan untuk pasien yang telah lama
menderita akibat kekurangan perhatian dari keluarganya. Bantal yang
ditempatkan di atas wajah manula (berusia di atas 80 tahun) yang tertidur
tidak meninggalkan tanda, jika tidak terjadi perlawanan, ketika usaha akhir
19
pada pernapasan melawan sumbatan dapat menyebabkan bendungan,
sianosis, dan terkadang bintik perdarahan pada wajah dan konjungtiva.
c. ‘Overlaying’ Pada Bayi Yang Baru lahir
Dugaan kondisi ini memiliki silsilah kuno, disebutkan pada Old
Testament. Pada Bab III First Book of Kings, Solomon mengadili dua
wanita yang mengakui anak yang sama, karena bayi yang lain telah
meninggal. Kejadian ini, sekitar 3000 tahun yang lalu, telah disebutkan
melalui sejarah, sebagaimana di Wales pada 1188 tahun setelah masehi,
ketika Giraldus Cambrensis mencatat bahwa Raja menghukum wanita yang
melarang suaminya mengikuti Perang Salib Ketiga, dengan menyebabkan
bayi laki-lakinya mati tertindih pada malam hari.
Ketika bayinya ditemukan mati pada pagi hari di tempat tidur ibunya
(pada zaman modern biasa digunakan tempat tidur bayi yang terpisah),
diduga bahwa ibunya telah berbalik ke atas bayinya ketika ia tidur dan
menyebabkan bayinya mati lemas. Ketika bayi mulai diletakan di tempat
tidur bayi yang terpisah, kematian tetap berlanjut dan terlihat bahwa
kebanyakan merupakan korban dari sudden infant death syndrome (SIDS).
Apakah overlaying (mati tertindih) benar-benar ada atau tidak masih
diragukan dan tidak dapat dibuktikan, bila ada bayi yang ditemukan mati di
tempat tidur tanpa tanda fisik pada autopsi, secara definisi dapat disebut
sebagai SIDS.
Untuk mengindari banyaknya SIDS, di Inggris telah disetujui
kampanye untuk melarang ibu meletakan bayinya tidur dengan posisi wajah
di bawah, tetapi, sampai saat ini, tidak ada hubungan sebab akibat yang
ditemukan, sehingga beberapa bukti yang memperkuat hipotesis mati
tertindih tidak dapat dibuktikan.
d. Mati Lemas Dengan Kantung Plastik
Meskipun terjadi peningkatan jenis bunuh diri di Inggris, mati
lemas dengan kantung plastik dapat merupakan pembunuhan atau
20
kecelakaan. Pada semua jenis ini, mekanisme yang penting adalah benda
kedap air yang membungkus kepala hingga leher, biasanya polythene atau
plastik lain, diletakkan menutupi kepala sampai leher. Plastik ini biasanya
berbentuk kantung dengan satu ujung terbuka, bisa kantung bening atau
kantung belanja dari supermarket.
Meskipun beberapa kasus bunuh diri mengikat ujung terbuka
plastic di sekeliling leher mereka dengan kabel atau dasi, hal ini tidak tidak
diperlukan untuk menghasilkan akibat yang fatal. Karena, bahkan lembaran
tipis polythene saja dapat membunuh bayi bila diletakan pada wajahnya.
Mekanisme ini tidak dimengerti, karena sebelumnya keliru dianggap
sebagai akibat dari efek magnet dari kekuatan listrik yang menetap.
Mati lemas dengan kantung plastik dapat terjadi dengan cepat dan
tidak meninggalkan bukti sama sekali. Pada seri penulis mengenai mati
karena kecelakaan, bunuh diri dan tiga kematian pembunuhan dengan
kantung plastik, tidak satupun terdapat bintik perdarahan atau, memang,
beberapa tanda asfiksia pada semuanya, wajah menjadi pucat dan tidak
terbendung. Pada kasus lain, seseorang yang dihukum karena pembunuhan
dengan kantung plastik, akhirnya bebas dengan kesaksian spontan enam
minggu setelah autopsi yang menunjukan tidak ada satupun tanda asfiksia
yang menyebabkan kematian. Seperti hipoksia pada atmosfer, terlihat
bahwa mekanisme kematian dengan kantung plastik yang menyumbat wajah
adalah menghambat kerja jantung, lebih cepat dibanding proses hipoksia
murni. Kesimpulan ini dikuatkan dengan penyebab yang disebutkan di atas,
dimana lembaran plastik saja, bukan kantung, dapat membunuh bayi dengan
melekatkannya di wajah, yang mana merupakan kematian yang cepat.
Pada autopsi, jika pelastik tidak ada lagi, kasus ini akan menjadi
sangat sulit. Faktanya, seperti pada pembunuhan yang dijelaskan di atas,
sangat sedikit pengakuan atau bukti lain didapat, patologis tidak akan tahu
bahwa korban telah mengalami sesak napas. Bila kantung masih di tempat,
pencarian harus diarahkan pada indikasi bunuh diri, seperti analisis obat-
obatan dan luka-luka percobaan, seperti pada pergelangan tangan. Aktifitas
21
masokisme, dijelaskan pada bab lain, kadang-kadang sering terjadi , tapi
tidak sering, diasosiasikan dengan sesak napas akibat kantung plastik.
Kadang terlihat bagian dalam kantung lembab yang mengindikasikan
ini telah diletakkan selama masih hidup, air berasal dari respirasi. Hal ini
jarang menjadi bahasan yang penting, seperti meletakkan kantung pada
kepala terlihat sangat tidak lazim; pada kasus lain tes ini valid, karena
evaporasi dari kulit, hidung, dan mulut dapat menghasilkan bintik-bintik air
di dalam kantung, walaupun korban hidup atau mati.
Tanda Autopsi Pada Sufokasi
Saat diperkiraan terjadi pembekapan, tanda lokal biasanya terlihat
adanya tanda penekanan pada wajah. Tanda-tanda meliputi lebam sekitar
mulut, dagu dan hidung, hal ini jarang terlihat kecuali pada insiden
kekerasan lain. Tekanan bibir pada gigi atau gigi palsu akan mengakibatkan
permukaan bukal menjadi lebam atau abrasi, laserasi jarang terjadi. Harus
diingat bahwa bayi-bayi kecil dan orangtua tidak mempunyai gigi, sehingga
tidak dapat ditemukan. Bahayanya menganggap pucat pada wajah sebagai
tanda penekanan adalah saat wajah menunjukkan hipostatik post mortem
yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada fase awal perubahan warna post
mortem pada kulit, dapat terjadi perubahan warna yang bervariasi mungkin
saja bukan benar-benar akibat hipostatik seperti variasi bercak-bercak
sering terjadi pada vasodilatasi setelah kematian. Hal ini memberikan waktu
pada gravitasi untuk mendorong darah cutaneus turun ke level terendah.
Pembekapan kadang terjadi secara tidak sengaja saat seseorang
karena berbagai sebab menelungkupkan wajah pada suatu permukaan yang
menghalangi masuknya udara. Mabuk, epilepsi, over dosis obat, koma atau
stupor karena penyakit, dapat mengakibatkan hal ini. Telah terbukti terdapat
hubungan dengan “cot death” yang menggunakan kain tenun yang dapat
digunakan untuk menghalangi udara masuk saat diletakkan di sekitar mulut
dan hidung. Kain biasanya bercampur dengan ludah, mukus hidung, atau
22
muntahan. Berat kepala juga membuat hidung dan mulut sulit diangkat dari
kasur dan bantal yang menyebabkan stenosis udara.
Pada hal ini, kongesti dan sianosis sering terjadi, tapi saat
pemeriksaan setelah kematian, beberapa penemuan ini mungkin postural
dan hipostatik yang natural. Selalu diingat, bagaimanapun, harus diingat
bahwa hemoragik kulit sering terlihat pada post mortem pada hipostatik.
e. Gagging
Pembekapan bisa juga terjadi saat benda atau muntah tertahan di
wajah, seperti yang sering terjadi pada perampokan dengan kekerasan.
Korban biasanya dibekap dengan syal, dasi atau kain disekitar wajahnya.
Pada awalnya mungkin korban masih bisa bernapas, tapi saat hal ini
menjadi semakin progresif, korban mungkin bisa tersedak mucus dan
ludahnya sehingga terjadi kematian akibat asfiksia, biasanya tanda adanya
petchie pada wajah dan mata.
Situasi yang sama terjadi saat memasukkan benda ke dalam mulut
agar korban tidak bersuara. Korban masih bisa bernapas melalui hidung
tapi saat sumbatan dari edema dan mucus, atau pergerakan benda yang
bertambah ke dalam nasofaring hal ini akan mengakibatkan kematian tak
terduga dan merubah perampokan menjadi pembunuhan.
f. Choking
Hal ini mengacu pada blokade saluran udara bagian dalam, biasanya
antara faring dan bifurkatio trakea. Kematian dapat disebabkan karena
murni hipoksia dari oklusi jalan napas, saat semua tanda dari kongesti,
sianosis, dan mungkin petechie ada, biasanya saat korban berusaha bernapas
untuk beberapa saat. Seperti yang dijelaskan di bawah, sebagian besar
kematian terjadi sesaat setelah kemungkinan hipoksia menimbulkan efek;
fatalitas ini mungkin disebabkan oleh kardiak arrest, ataupun neurologik,
atau akselerasi oleh pelepasan catecolamin dari respon adrenalin. Penyebab
dari tersedak tertera dibawah ini.
23
1) Benda asing
Objek seperti muntahan, mainan kecil, bola pimpong, dan benda-
benda lain yang dapat diletakkan didalam mulut dan terhirup, biasanya oleh
anak-anak dan kebanyakan mengalami retardasi. Orang dewasa juga bisa
mengalami hal yang sama, tanpa disengaja atau terencana; sebagai contoh
surat mengenai dirinya akan bunuh diri, lalu korban memasukkan botol pil
ke faringnya.
2) Gigi palsu dan Pendarahan
Gigi palsu (khususnya plates parsial), diektraksikan gigi yang besar,
bekuan darah, dan pendaharan yang jelas mengikuti operasi gigi atau
operasi telinga, hidung dan tenggorokan seperti tonsilektomi.
3) Lesi Obstruksi Akut
Lesi pada glottis atau laring, seperti edema pada hipersensitif akut
(termasuk sengatan serangga), uap iritan, terhirup gas, dan kondisi infeksi
akut. Keadaan yang bahaya kedua adalah difteri atau epiglotitis
haemophilus influenza pada anak-anak, yang mana sewaktu-waktu
membutuhkan keadaan emergensi yaitu trakeostomi segera untuk
membebaskan jalan nafas. Pada autopsi, ada penebalan yang besar pada
epiglottis dan lipatan ari-epiglotis oleh jelly seperti edema dan inflamasi
jaringan akan ditemukan sepanjang pintu masuk hingga ke laring.
4) Bahan Makanan
Ini merupakan topik yang penting, sebagai penyebab kematian yaitu
“aspirasi dari muntah” digunakan sangan sering tanpa hukum yang nyata.
Makanan mungkin masuk melalui laring juga seperti masuk ke mulut lalu
ditelan, atau mungkin telah terjadi regurgitasi dari lambung.
Pertama. Jarangnya terjadi interpretasi yang salah, seperti semua
makanan yang tidak tercerna mungkin ditemukan pada aliran udara,
biasanya ada riwayat tempat kematian saat sedang makan. Meskipun paling
24
sering pada pintu masuk pada orang tua dan gangguan mental, ini dapat
terjadi pada semua kelompok umur. Sebuah contoh yang terkenal yang
biasanya disebut “café coronary” syndrome, yang mana paling diterima dan
telah dipublikasikan di United States beberapa tahun lalu. Korban yang
paling sering adalah pengusaha yang gizinya baik, yang mana meninggal
secara tiba-tiba dan tak terduga selama makan dan tidak ada tanda-tanda
gawat nafas ataupun tanda yang klasik dari asfiksia. Pemikiran yang muncul
adalah karena penyakit jantung, otopsi yang mengungkapkan bolus dari
makanan, paling sering irisan daging, tersumbat di laring ataupun faring.
Tersedak makanan, bolus makanan tersebut dapat besar, seperti pancake,
jeruk atau pun massa makanan, buah-buahan ataupun sayuran. Orang lanjut
usia (senile) yang telah pensiun dan tinggal dirumah serta anak-anak
retardasi mental pada suatu institusi merupakan kelompok yang rentan.
Seperti kematian, riwayat dan modus kematian memberikan mekanisme
yang tidak tersembunyi dari sebuah hipoksia. Banyak kasus yang diamati di
mana korban duduk dengan punggung menyandar di kursi, meninggal dan
jelas modusnya karena cardiac arrest, mungkin dari over aktivitas dari
sistem saraf parasimpatis dari stimulasi mukosa laring atau faring yang
biasanya disebut “vagal reflex” atau “reflex cardiac inhibition”.
Kedua. Penemuan isi lambung di aliran udara bukan berarti secara
signifikan tidak adanya makanan segar yang tertelan. Awalnya sulit untuk
membedakan isi lambung dari makanan segar jika pencernaannya tidak
diproses lebih lanjut-di mana tidak selalu fungsi dari waktu sejak makanan
terakhir, sebagai ketidakseimbangan fisik atau psikologis dapat
menghambat atau menghentikan pencernaan. Riwayat jika ada, merupakan
panduan yang lebih baik, kecuali bahannya tentu saja sebagian atau
semuanya telah dicerna. Pada kasus yang ragu, bau dan ph asam lambung
dapat membantu.
Isi lambung biasanya ditemukan di dalam laring, trakea, dan bronkus
pada saat autopsi tidak ada bukti lainnya adanya asfiksia, dan ketika ada
25
penyebab yang pasti dan tidak berhubungan dari penyebab kematian.
Seorang pahlawan yang telah menemukan kurang dari seperempat dari 100
autopsi konsekutif pada dewasa dan anak-anak mengandung beberapa isi
lambung di dalam aliran udara, Pengamatan Pullar merupakan tokoh yang
kurang dibandingkan karyanya. Penemuan ini merupakan penyebab yang
jelas pada kasus besar umumnya saat sekarat atau setelah meninggal.
Gardner menjelaskan penelitiannya yang mana barium yang
diletakkan di lambung pada pasien yang baru saja meninggal dan sementara
masih di bangsal rumah sakit. Ketika di ambil X-ray nya setelahnya mereka
dipindahkan ke kamar mayat atau ruangan autopsi, barium paling banyak
terdapat di batang trakeobronkus, dikonfirmasi pada phenomena setelah
kematian. Bahkan bukti histologi adanya leukosit mengelompok di sekitar
isi lambung di dalam bronkus diperlihatkan oleh Gardner untuk menjadi
sebuah kejadian awal post mortem. Perpindahan leukosit ke kulit sampai 16
jam post mortem diperlihatkan oleh Ali.
Paling sering bukti yang jelas dari aspirasi isi lambung adalah
observasi yang paling diandalkan selama hidup atau penemuan secara
histologi merupakan sebuah kemajuan “rekasi vital” dengan infeksi,
nekrosis, dan reaksi inflamasi yang jelas. Ini merupakan perubahan akhir
dan tidak dapat terlihat dimana kematian terjadi dalam beberapa jam setelah
aspirasi. Penemuan beberapa leukosit disekitar bronkus bukan bukti yang
digunakan karena tidak ada metode yang handal untuk membedakan
kejadian sekarat atau baru saja meninggal karena benar-benar akibat
aspirasi, kecuali adanya bukti klinis dan saksi. Paling banyak suatu instansi,
bukan bagian kebenaran dari aahli patologis ke klaim bahwa kematian
disebabkan oleh terhirupnya isi lambung tanpa bukti yang dapat
dikonfirmasi. Sayangnya lesi yang tidak ada atau tidak jelas pada autopsi,
khusunya pada sindrom kematian tiba-tiba pada neonatus, ahli patologi
menggunakan adanya isi lambung di dalam aliran udara sebagai penyebab
utama dari kematian. Asumsi yang tidak beralasan mungkin dikarenakan
distress pernapasan, keduanya merupakan kelalaian medis, kematian di
26
dalam tahanan dan khususnya syndrome kematian tiba-tiba pada neonatus,
yang mana ibu bayi mungkin salah dalam berpikir bahwa mereka gagal
untuk mengamati bayinya saat muntah, mungkin hal ini merupakan
penyebab dari kematian.
Satu-satunya keadaan dengan alasan yang mungkin lebih kuat adalah
alkoholisme akut, meskipun kepastiannya sulit dipahami. Saat orang yang
tidak diragukan lagi mabuk (biasanya dengan alkohol darah setidaknya 150
mg/100 ml) ditemukan tewas dengan penyumbatan masif pada saluran
nafasnya oleh isi lambung yang copius dan penyebab lain dari kematian
dapat disingkirkan dari otopsi, maka mungkin masuk akal untuk
menganggap regurgitasi yang mungkin saja membunuhnya, terutama jika
ada bukti lain dari muntah eksternal pada pakaian atau lingkungan
sekitarnya. Namun, itu bukanlah diagnosis otopsi yang dibuat dengan
mudah.
B. ASFIKSIA TRAUMATIK
Kondisi ini sayangnya salah penamaan, seperti kata "trauma" sama-sama
dapat diterapkan untuk gantung diri atau mencekik. Hal ini telah diketahui dengan
baik sekarang sebagai fiksasi mekanik dada dan ini amat penting karena
frekuensinya dalam kecelakaan dan karena mendemonstrasikan "tanda klasik"
dari asfiksia paling ekstrim tersebut. Jenis lain dari asfiksia mekanik dapat
menyebabkan obstruksi aliran udara ke paru-paru, "traumatik asfiksia" terjadi
dengan membatasi gerakan pernafasan dan dengan demikian mencegah inspirasi.
Istilah "traumatis" karena kekuatan mekanik dasar biasanya adalah alasan untuk
fiksasi dinding toraks.
Trauma asfiksia terjadi dalam dua kondisi utama:
1. Saat dada dan biasanya perut, dikompresi benda berat, sehingga ekspansi
dada dan diafragma dihambat. Terkubur tanah setelah runtuhnya penggalian
adalah penyebab umum dan dapat membunuh pekerja bahkan jika kepala
27
mereka tetap berada di atas tanah yang jatuh. Demikian pula, terkubur di biji-
bijian, batu bara, pasir, atau mineral, mungkin memiliki efek yang sama, dan
biasanya ditemui di industri, kecelakaan laut atau pertanian. Salju longsor di
Silo, Hopper, atau wadah penyimpanan skala besar mungkin mengubur
pekerja sampai leher dan, kecuali jika proses penyelamatan cepat, asfiksia
akan berakibat fatal. Pembatasan gerakan dada yang sama mungkin
disebabkan oleh korban yang terjebak di bawah kendaraan terbalik, atau kayu
atau batu jatuh. Banyak kematian terjadi pada peternakan, terutama di
pegunungan, karena penurunan traktor, menjepit pengemudi bawahnya.
Perlindungan dalam bentuk "roll bar-" atas posisi mengemudi atau
penyediaan kabin kaku pada traktor dirancang secara khusus untuk
menghindari kecelakaan tersebut.
2. Terjepit dalam kerumunan juga menyebabkan asfiksia traumatis, dan hal ini
telah menyebabkan beberapa bencana massal, yang terbesar adalah di Mekah.
Sebagian besar tragedi footballground seperti Bolton, Ibrox Park (1971),
Lima (1964), Hillsborough (1989) dan Stadion Heisl di Belgia (1986) adalah
tragedi terjepit dalam kerumunan yang di luar kendali. Hal serupa
menyebabkan 173 kematian pada masa perang di London, saat kepanikan di
tangga Stasiun Bawah Tanah Green Bethnal, digunakan sebagai tempat
berlindung dari serangan udara, menyebabkan kerumunan jatuh menimpa
orang-orang di bawahnya.
Bentuk lain terjepitnya dada adalah terperangkap antara kendaraan dan
dinding, atau antara buffer dua truk kereta api. Kasus individual asfiksia traumatik
dapat terjadi ketika seseorang menimpakan seluruh berat tubuhnya jatuh di atas
yang lain untuk jangka waktu tertentu. Ini dapat terjadi hubungan seksual,
terutama bila salah satu atau kedua pihak tidak sadar akibat minuman atau obat-
obatan.
28
1. Tanda-tanda Asfiksia Traumatik
Penampilan yang disebutkan di atas adalah ciri khas asfiksia traumatis
dan tidak seperti kondisi lain, misalnya ketergantungan postural, adalah tingkat
obstruksi dan sianosis begitu jelas. Ketika dada terfiksasi, maka wajah, leher
dan bahu masuk ke cerukan dada yang berubah warna. Kadang-kadang warna
ini lebih merah hingga ungu. Hal ini dapat meluas hingga bagian lebih rendah
klavikula, Polson yang berpendapat bahwa sering mencapai ke tingkat rusuk
ketiga.
Konjungtiva menjadi bengkak dan hemoragik. Dibandingkan petechiae
pada leher terlihat leher, konjungtiva dan sclera lebih membesar akibat darah
dari jaringan hemoragik yang menonjol keluar melalui pinggirannya, menutup
bagian putih mata. Bagian wajah, bibir dan kulit kepala mungkin bengkak dan
padat dengan petechiae dan ecchimoses. Mungkin ada perdarahan berlebihan
dari telinga dan lubang hidung. Seluruh gambaran ini biasanya terlihat pada
kematian yang lambat dari pencekikan manual, tetapi cedera lokal tidak ada
dan tanda meluas ke bawah atau di luar pangkal leher. Bila kompresi
disebabkan oleh jepitan di bawah benda padat - sebagai lawannya adalah tanah,
pasir atau terjepit di tengah keramaian - mungkin ada memar lokal dan abrasio
dari berat kendaraan atau balok berat, tetapi ini tidak berhubungan dengan tepi
zona kongestif-hemoragik.
Dari dalam kongesti kurang terlihat dari pada permukaan, tapi paru-
paru biasanya gelap dan berat dan mungkin telah pendarahan petechial
subpleural, yaitu "Tardieu’s spot". Jantung kanan dan semua vena di atas
atrium melebar nyata. Mungkin ada luka pada dinding dada dari trauma benda
terfiksasi.
Tidak jelas mengapa harus ada kongesti besar vena, tetapi penjelasan
lebih meyakinkan oleh karena kegagalan sirkulasi paru-paru sebagai
konsekuensi atas terhentinya ekspansi normal dan kolapsnya pembuluh darah
paru. Shapiro menyatakan bahwa tekanan di dada memaksa darah kembali ke
pembuluh darah besar dan, sebagai katup vena dalam pembuluh subklavia
29
mencegah perpindahan ke lengan, volume ekstra darah tersebut dipaksa sampai
sistem jugularis yang tidak berkatup sehingga terhimpun di kepala dan leher.
C. Postural Asfiksia
Ketika seseorang tetap dalam posisi tertentu untuk jangka waktu yang
lama, baik karena terjebak, atau sedang dalam keadaan mabuk atau dibius, dapat
terjadi hambatan mekanis pada gerakan pernafasan. Selain itu, aliran balik vena ke
jantung yang normal mungkin terganggu.
Posisi seperti ini biasanya memerlukan inversi, baik seluruh
tubuh atau bagian atas; sindrom dan patofisiologinya telah dijelaskan dengan baik
oleh Madea, meskipun ahli-ahli phatologist forensik akan memiliki
pengalaman dari situasi tersebut dari waktu ke waktu.
Orang-orang yang terperangkap dalam posisi terbalik atau bahkan hanya
dalam posisi ‘jack-knife’, dengan bagian atas tubuh membungkuk ke bawah dari
pinggang, mungkin mengalami kerusakan seperti gerakan pernapasan sehingga
mereka menjadi hipoksia dan menderita gangguan sistem peredaran darah,
terutama aliran balik vena ke jantung.
Penulis telah melihat dua kasus di mana korban telah terjebak sambil
mencoba untuk memanjat melalui bagian atas jendela, satu sebagai pencuri, yang
mencoba masuk ke sebuah rumah tanpa kunci dan yang lain dalam
keadaan mabuk, mereka menyelinap keluar dari tempat tidur, sehingga kepala dan
pundak mereka berada di lantai, dengan kaki dan panggul masih pada tingkat yang
lebih tinggi di tempat tidur.Ini mungkin juga menderita gangguan yang sama pada
gerakan pernapasan, yang bila berkepanjangan dapat menyebabkan kematian.
Inversi juga dapat terjadi selama penyiksaan yaitu pada penyaliban yang memiliki
unsur postural asphyxia.
Pada kasus penyaliban terbalik, seperti dalam kematian St.Peter, itu akan
menjadi faktor utama, karena inspirasi akan terhambat oleh berat visera abdomen
diatas diafragma.
30
BAB III
KESIMPULAN
Secara harfiah asfiksia adalah seluruh gangguan yang dapat
mengakibatkan kekurangan oksigen. Lebih tepatnya asfiksia adalah kematian
yang terkait dengan adanya penekanan di leher, kemudian terjadi cardiac arrest,
yang merupakan sebab utama hilangnya denyut nadi. Hal ini merupakan
mekanisme yang fatal, dibandingkan dengan hipoksia. Terdapat beberapa jenis
asfiksia yaitu asfiksia mekanik, asfiksia traumatik, dan asfiksia postural. Asfiksia
yang lebih berkaitan dengan forensik adalah asfiksia mekanik. Beberapa tipe
asfiksia mekanik yaitu, suffocation (mati lemas), smothering (pembekapan),
choking (tersedak), throttling, strangulation (pencekikan), dan mugging.
Asfiksia traumatik terjadi dengan membatasi gerakan pernafasan dan
dengan demikian mencegah inspirasi. Asfiksia traumatik terjadi dalam dua
kondisi utama, yaitu saat dada dan biasanya perut, dikompresi benda berat,
sehingga ekspansi dada dan diafragma dihambat serta saat terjepit dalam
kerumunan.
Asfiksia postural merupakan keadaan ketika seseorang tetap dalam posisi
tertentu untuk jangka waktu yang lama, baik karena terjebak, atau sedang dalam
keadaan mabuk atau dibius, dapat terjadi hambatan mekanis pada
gerakan pernafasan. Selain itu, aliran balik vena ke jantung yang normal mungkin
terganggu.
Terdapat beberapa tanda klasik asfiksia, yaitu pethecial heamorrhages,
kongesti dan edema, sianosis, serta pembengkakan jantung sebelah kanan dan
pengentalan darah. Akan tetapi, tidak ada temuan autopsi khusus untuk asfiksia
dan sebagian besar tanda klasik tersebut dapat disebabkan oleh faktor lain selain
kekurangan oksigen. Hanya dengan penilaian hati-hati riwayat penyakit tertentu,
kematian dengan penyebab lain, dan evaluasi hati-hati dari tanda-tanda yang
dijelaskan di atas, dapat dicapai kesimpulan yang tepat. Yang terpenting adalah
menemukan penyebab obstruksi jalan napas atau trauma lokal lainnya seperti
31
tekanan yang berkepanjangan pada leher atau dada, obstruksi saluran napas, yang
menyebabkan oklusi lubang pernapasan eksternal. Perubahan histologi paru-paru
dan penanda kimia darah atau vitreous, seperti hipoksantin, dapat menunjukkan
hipoksia umum, tetapi penerapan teknik tersebut dalam praktek rutin belum
berhasil.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Drajat MT. Perubahan Konduksi dan Resistensi Sel dan Jaringan Otak Setelah
Kematian (Studi Pendahuluan Penentuan Saat Kematian). Available from:
http://152.118.80.2/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77157&lokasi=lokal
2. Anonim. Pola Cedera Asfiksia. Available from http://www.freewebs.com/
3. Anonim. Death in General. Available from http://www.dmmoyle.com/
4. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik ed 2. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan: 2007.
5. Budiyanto A, Widiatmika W, Sudiono S, Winardi T, Mun’in A, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. FKUI. Jakarta: 1997.
6. Bernard K. Forensic Pathology Second Edition. Chapter 14 Suffocation an
asphyxia. p 345-360.