referat jiwa fix

30
Referat CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC CANCER Oleh: Oleh: Imanda Husna Silalahi, S.Ked 0405481416098 Ceyka Maduma, S. Ked 0405481416101 Ayu Hasim, S. Ked 0405481416099 Sabrina Sinurat, S. Ked 04111001066 Jim Christover Niq, S.Ked 04111001076 Pembimbing: dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)

Upload: ceyka-maduma

Post on 05-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat jiwa

TRANSCRIPT

Referat

CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC CANCER

Oleh:

Oleh:Imanda Husna Silalahi, S.Ked0405481416098Ceyka Maduma, S. Ked0405481416101Ayu Hasim, S. Ked0405481416099Sabrina Sinurat, S. Ked04111001066Jim Christover Niq, S.Ked04111001076

Pembimbing:dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWARUMAH SAKIT JIWA ERNALDI BAHARFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYAPALEMBANG2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Faktor Predisposisi Gangguan Psikiatrik pada Penderita Kanker.................................2.2 Pengaruh Faktor Psikologis terhadap Gangguan Kejiwaan...........................................2.3 Gangguan Kejiwaan dan Manajemennya.......................................................................2.4 Dukungan Emosional.....................................................................................................2.5 Konseling.......................................................................................................................2.6 Ketersediaan Informasi..................................................................................................2.7 Terapi Psikologis............................................................................................................2.8 Pengobatan Fisik pada Depresi......................................................................................2.9 Terapi Komplementer....................................................................................................BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

ii 1

2 9101212131314141516

BAB IPENDAHULUAN

Kanker menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti dokter untuk disampaikan kepada pasien, meskipun pengobatannya telah banyak mengalami kemajuan. Kebanyakan orang berpikir bahwa keganasan berhubungan dengan rasa sakit berat, kerusakan, kualitas hidup yang terganggu, dan pengurangan harapan hidup secara drastis. Pengobatan berupa operasi seringkali ditakuti karena hasil operasi yang menyebabkan perubahan penampilan dan bentuk tubuh. Kemoterapi dan radioterapi juga sering ditakuti. Kemoterapi ditakuti karena telah terbayang akan rasa mual, muntah, rasa lelah, dan rambut rontok.Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika prevalensi penderita psikiatrik pada pasien keganasan sangat tinggi. Beberapa kanker berhubungan dengan masalah yang melibatkan kehilangan anatomi, kesulitan seksual, dan berkurangnya fertilitas. Literatur menunjukan setengah pasien kanker memiliki gangguan klinis jiwa setiap saat (Cull 1990; McDaniel et al. 1995). Gangguan afektif paling sering terjadi. Fallowfield et a.l (1990) mendapatkan hasil bahwa seperempat pasien wanita mengalami gangguan afektif setelah menjalani pengobatan operasi kanker payudara. Parle et al. (1996) mengadakan studi prospektif terhadap 600 pasien kanker selama 2 tahun dan mendapatkan hasil adanya gangguan afektif pada 20% pasien tersebut. Studi Amerika menggunakan Brief Symptom Inventory memeriksa sampel pasien secara acak pada 12 pusat onkologi dan mendapatkan hasil bahwa 35% diantaranya memiliki gangguan psikiatrik (Zabora et al. 1997). Sharpe et al. (2004) menemukan 8% pasien yang mendatangi pusat kanker nasional memiliki gangguan depresi berat yang kebanyakan tidak mendapakan terapi efektif yang potensial. Banyaknya penderita kanker yang mengalami gangguan kejiwaan menunjukan pentingnya diagnosa dan penatalaksanaan terhadap gangguan tersebut agar tidak semakin memperberat penyakit kanker yang ada dan menimbulkan penyakit lain. Tujuan referat ini adalah untuk membahas gangguan psikiatrik yang terjadi pada penderita kanker, penyebab, dan penatalaksanaannya dari segi kejiwaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Predisposisi Gangguan Psikiatrik Pada Penderita KankerAda beberapa faktor terkait keganasan yang perlu dipertimbangkan oleh seorang dokter dalam memahami perkembangan gejala psikologis, yaitu sebagai berikut. Perjalanan penyakitKanker merupakan penyakit yang meninggalkan stigma. Kanker bukan merupakan penyakit yang mudah diceritakan atau didiskusikan dengan nyaman kepada orang lain bahkan pada keluarga sekalipun. Harapan hidup rendah yang paling menyulitkan pasien terutama pasien usia muda.Kebanyakan pasien hidup dengan rasa cemas akan berulangnya tumor dan takut tidak akan hidup cukup lama untuk melihat anak mereka tumbuh bahkan saat pengobatan mereka telah dianggap sukses. Penyakit kanker berulang sering dikaitkan dengan rasa sakit yang muncul terus-menerus dan kebanyakan pasien takut ketika pengobatan kuratif atau paliatif tidak lagi tersedia. Beberapa jenis kanker memiliki etiologi yang berasal dari faktor gaya hidup. Merokok merupakan predisposisi pasti kanker paru-paru, orofaring, dan saluran pencernaan. Konsumsi alkohol berat jangka lama juga merupakan predisposisi kanker orofaring, kanker kolorektal, dan tumor hati. Kebiasaan seksual juga merupakan etiologi beberapa kanker terutama kanker serviks yang berhubungan dengan gaya hidup seksual yang berganti-ganti pasangan. Sebenarnya, faktor risiko yang paling penting dari kanker serviks adalah jumlah pasangan seksual yang dimiliki wanita. Kebiasaan seksual juga berperan pada tumor yang terjadi setelah AIDS. Sarkoma kaposi dan limfoma non-Hodgkin mengalami peningkatan risiko lebih dari 300 dan 100 kali (Boshoff dan Weis, 2002). Tumor lain yang mengalami peningkatan prevalensi pada pasien AIDS adalah angiosarkoma, penyakit Hodgkin, beberapa jenis leukimia, multipel mieloma, dan tumor otak. Pasien dengan penyakit kanker sering merasa bersalah karena memikirkan kontribusi mereka terhadap penyakitnya sendiri. terdapat rasa penyesalan mendalam terhadap pola kebiasaan yang mereka percaya menyebabkan penyakit kanker tersebut seperti merokok, minum alkohol, kecanduan obat-obatan, dan berganti-ganti pasangan seksual. Rasa bersalah pasien semakin meningkat karena menyadari bahwa perubahan gaya hidup sekalipun tidak akan memperbaiki atau mengubah penyakit kanker yang ada.Walaupun faktor gaya hidup menyebabkan kanker masih belum jelas, namun pasien tetap menyalahkan diri sendiri karena timbulnya penyakit tersebut. Pasien akan bersifat menyalahkan diri sendiri dengan cara tidak mampu mengatasi stress. Sebaliknya, beberapa pasien justru menyalahkan orang lain atas penyakitnya. Pada kasus kanker yang berhubungan dengan pekerjaan, alasan ini mungkin baik. Beberapa kanker, seperti kanker paru-paru, kandung kemih, dan skrotum berhubungan dengan proses bekerja dan penggunaan bahan kimia spesifik saat bekerja. Pekerja dapat meminta pertanggungjawaban jika peringatan terhadap hal tersebut memang tidak adekuat untuk melindungi pekerja terhadap bahan berbahaya tersebut. Pengetahuan akan efek perokok pasif telah meningkat dan pekerja telah mengambil langkah dengan melarang merokok di tempat bekerja karena jika tidak, akan ada kompensasi dalam jumlah besar terhadap penyakit yang diinduksi faktor yang tak bisa dihindari pada tempat kerja.

Efek pengobatanPengobatan keganasan seringkali amat sangat tidak menyenangkan. Intervensi pembedahan dibutuhkan banyak jenis kanker pada beberapa stadium. Kanker payudara sebelumnya diobati dengan mastektomi radikal yang merupakan prosedur mengerikan bagi kebanyakan wanita yang telah menjalaninya. Efek mutilasi dari pembedahan dan perasaan hilangnya feminitas telah banyak dilaporkan. Wanita takut kecantikan seksualnya berkurang dan pasangan menolak mereka. Wanita juga mengeluh berat sebelah atau tidak imbang. Komplikasi lainnya adalah rasa sakit dan rasa malu yang terus berkembang akibat adanya lympoedema pada lengan sebagai efek samping. Morbiditas mastektomi menyebabkan terdapatnya pendekatan pembedahan yang lebih konservatif. Simpel mastektomi atau pengangkatan tumor lokal (lumpektomi) lebih banyak dilakukan. Jika mastektomi dilakukan, wanita dapat segera ditawari pilihan rekonstruksi payudara dengan implan. Bagi mereka yang menjalani radioterapi, maka rekonstruksi dapat ditawarkan setelahnya.Laki-laki biasanya mengalami komplikasi seksual setelah operasi kanker prostat. Prostatektomi menyebabkan inkontinensia urin yang membatasi kehidupan sosial pasien.Kolostomi juga mempengaruhi psikologis. Penampilan tubuh yang berubah sulit diterima. Pasien mungkin merasa menjadi tidak bersih dan kantong stoma mungkin bocor atau mengeluarkan bau yang tidak enak. Ketakutan seperti itu cenderung mengurangi kepercayaan diri dan membatasi kehidupan sosial. Stoma membuat aktivitas seksual menjadi sulit. Penolakan oleh pasangan seksual merupakan kecemasan yang sering terjadi bila operasi merusak potensi seksual karena kerusakan suplai saraf pada pelvis. Prosedur operasi lain yang mengganggu psikologis adalah laringektomi, glosektomi, dan amputasi anggota gerak tubuh. Kemoterapi memiliki banyak efek samping buruk seperti menginduksi gejala psikologis. Kemoterapi dapat menyebabkan kecemasan terus-menerus akibat mual dan muntah yang sering terjadi walaupun obat antiemetik telah mengurangi frekuensinya. Mual dan muntah bisa sangat berat pada pengobatan pertama atau kedua. Pasien menjadi cemas dan mual akibat pengobatan dan menolak untuk berobat kembali walaupun pasien sadar bahwa pengobatan tersebut diperlukan untuk memperbaiki prognosis. Respon cemas akan terbentuk bahkan pada kasus berat, kecemasan dapat terjadi ketika melewati rumah sakit atau ketika disebutkan nama pegawai rumah sakit atau nama rumah sakitnya. Rambut rontok juga sering menjadi sumber stres, terutama pada wanita. Walaupun rontoknya rambut dapat kembali lagi, namun beberapa pasien menjadi terpengaruh terhadap kebutuhan akan rambut palsu untuk mencegah penolakan sosial dan depresi. Obat kemoterapi seperti vincristine dan t-asparaginase memiliki efek langsung pada fungsi serebral yang menyebabkan depresi dan delirium. Steroid sebagai kombinasi dengan kemoterapi juga terkenal memiliki risiko yang menginduksi depresi, mania, atau delirium.Radioterapi lebih dapat ditoleransi dibandingkan kemoterapi. Namun, radioterapi dapat menyebabkan rasa lelah berat sehingga menimbulkan depresi. Iradiasi terhadap otak menyebabkan kelelahan berat dibandingkan iradiasi pada area lain. Atrofi serebral merupakan komplikasi iradiasi otak dan terdapat bukti klinis terjadinya demensia.Transplantasi sumsum tulang belakang digunakan untuk pengobatan leukimia, limfoma, dan tumor padat. Kemoterapi dan radioterapi biasa diberikan untuk menghancurkan sel ganas. Prosedur tersebut melibatkan injeksi intravena sel sumsum tulang yang berada pada sumsum tulang penerima yang menghasilakn sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Transplantasi allogenik menggunakan sumsum tulang sehat atau sel stem dari donor yang cocok. Transplantasi autolog menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang telah dipanen dan dibekukan sebelumnya untuk kemoterapi dan radioterapi. Transplantasi sumsum tulang sendiri telah menyebabkan stres (Baker et al. 1997) karena prosedurnya yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Setelah transplantasi dilakukan, maka pasien harus dirawat di ruang isolasi karena tingginya risiko beberapa infeksi oportunistik seperi herpes simpleks, sitomegalovirus, Pneumocystis carinii, dan variasi infeksi jamur. Pasien harus menunggu secara cemas untuk membuktikan bahwa sistem hematologi mereka kembali pulih. Bagi pasien yang bertahan, hasil transplantasi biasanya bagus dengan perbaikan kualitas hidup akibat perubahan keterbatasan fungsional dan gejala somatik (Broers et al.2000).

Penurunan fertilitasRadioterapi dan kemoterapi memiliki efek berbahaya pada fungsi gonad dan mempengaruhi fungsi seksual dan fertilitas yang menyebabkan stres emosional mendalam sehingga menyebabkan berkembangnya gangguan depresi pada pasien, pasangan, atau keduanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan lagi jika sering terjadi perselisihan dalam perkawinan. Testis paling sering terkena. Efek radioterapi dan kemoterapi pada epitelium germinal menyebabkan berkurangnya spermatogenesis. Terdapat bukti adanya hipogonadisme. Pada beberapa kondisi keganasan, terdapat bukti berkurangnya spermatogenesis sebelum pengobatan dimulai. Selama radioterapi, seluruh pencegahan untuk melindungi testis dari pajanan terhadap radiasi telah dilakukan. Jika kemoterapi yang dipilih, maka dipilih regimen toksik tanpa mengurangi efikasi. Efek pengobatan terhadap fertilitas harus didiskusikan secara penuh dengan pasien saat tahap perencanaan pengobatan kanker. Fungsi testikular dapat kembali lagi, tapi jika tidak kembali maka penyimpanan sperma beku, cryopreservation, sudah tersedia secara luas bagi laki-laki yang ingin menjadi ayah ketika pengobatan telah selesai. Teknik fertilisasi in-vitro dapat memperbaiki kemungkinan fertilitas jika kualitas semen jelek.Fungsi ovarium juga dapat tertekan akibat pengobatan yang menyebabkan hanya sedikitnya jumlah absolut oosit terutama pada wanita dengan usia dekade kedua akhir atau lebih tua saat pengobatan. Wanita perlu diinformasikan secara baik akan berkurangnya fertilitas dan variasi pilihan yang tersedia untuk memperbaiki kemungkinan konsepsi dan kehamilan yang sukses. Konseling seharusnya tersedia untuk memungkinkan wanita berdiskusi tentang pilihan pengobatan agar tidak terburu-buru mengambil keputusan. Amenorea sering terjadi dan biasanya disertai penurunan libido dan manifestasi lain dari prematur, menopause palsu. Terapi pengganti hormon seharusnya dipertimbangkan kecuali jika terdapat kontraindikasi karena alasan medis lain. Oosit dapat dipanen dengan USG (ultrasound guidance) setelah stimulasi ovarium tiruan. Setelah cryopreservation, fertilisasi in-vitro dapat dicoba kemudian. Terdapat laporan terjadinya kehamilan setelah cryopreservation dari jaringan ovarium yang di tanam ulang pada pedikel ovarium.

Faktor organik lainTumor serebral, baik primer maupun sekunder, telah diketahui sebagai predisposisi pada gejala psikiatri dalam sebagian besar kasus. Hal ini dapat berkembang sebelum tanda-tanda fokal neurologi, epilepsi atau kejadian peningkatan tekanan intrakranial bermanifestasi dan pasien akhirnya menemui psikiater. Gejala-gejala psikiatri biasanya berkembang sepanjang perjalanan penyakit, sejak pertama sekali ditegakkannya diagnosis tumor. Perubahan kognitif dapat dikenali dengan baik. Gangguan pada tingkat kesadaran merupakan tanda yang paling sering muncul dan dapat diikuti oleh berbagai gejala untuk memenuhi diagnosis delirium. Perubahan kognitif dapat terjadi tanpa penurunan kesadaran. Jika perubahan mempengaruhi kapasitas intelektual secara keseluruhan, pasien akan tampak mengalami proses demensia. Di sisi lain, kemungkinan dapat terjadi defisit fokal seperti disfasia, dispraksia atau sindrom amnesia. Perubahan kepribadian, tanpa kejadian demensia lain, dapat menunjukkan adanya tumor pada lobus frontalis, terutama saat pertumbuhannya masih lambat dan belum menyebabkan tanda-tanda neurologis yang jelas. Tumor lobus frontalis bisa juga ditunjukkan dengan adanya gejala klasik depresi. Onset gejala psikiatri yang muncul pertama kalinya pada usia pertengahan atau lebih tua, tanpa faktor predisposisi psikologi yang jelas, dapat meningkatkan kecurigaan bahwa terdapat penyebab fisik yang mendasari dan perlu dilakukan penilaian medis secara keseluruhan.Efek jauh dari kanker menyebabkan berkembangnya gangguan neuropsikiatri. Pada beberapa kasus, efek tersebut merupakan komplikasi metabolik seperti hiperkalemia atau hiponatremia. Pada kasus lainnya, etiologi diperkirakan berkaitan dengan immunologi karena produksi antibodi oleh tumor dengan aktivitas antineuronal. Efek klinis ini dikenal sebagai sindrom paraneoplastik. Encephalomyelitis merupakan salah satu komplikasi dan biasanya ditunjukkan dengan gambaran klinis delirium. Kadang kala, patologi terbatas pada sistem limbik dan menyebabkan limbic encephalomyelitis yang ditunjukkan dengan kehilangan memori onset cepat disertai kegelisahan dan depresi.

Stress terdahulu dan gangguan psikiatriGangguan psikiatri padapenderita kanker memiliki hubungan dekat dengan status mental pasien sebelum diagnosis. Sebagaimana telah diketahui bahwa hidup yang penuh stres merupakan predisposisi terjadinya kanker (Ramirez et al. 1989). Peneliti pada studi ini menemukan bahwa peristiwa kehidupan yang sangat mengancam secara signifikan lebih sering dialami oleh wanita dengan kekambuhan kanker payudara yang pertama kalinya dibandingkan dengan wanita dengan kanker yang secara tetap berkurang. Namun, terjadi pertentangan bukti untuk pernyataan tersebut dan penelitian berikutnya yang berasal dari unit sama tidak mengulangi observasi tersebut (Graham et al. 2002). Peristiwa kehidupan yang penuh stres lebih memiliki hubungan dengan penyakit depresi. Jadi, setiap pasien yang menghadapi kesulitan besar lain yang berbeda ketika kankernya mulai bermanifestasi lebih rentan mengalami depresi.Jika pasien sudah mengalami depresi sebelum diagnosis, depresinya akan cenderung kambuh atau menjadi lebih buruk. Ada bukti yang menyatakan bahwa orang yang menderita penyakit jiwa lebih rentan untuk mengalami kanker. Dalam tinjauan ekstensif literatur Harris dan Barraclough (1998) menemukan bahwa angka kematian akibat penyakit alami dua kali lipat dari populasi total lebih dari 50.000 pada seluruh pengobatan psikiatri. Tingkat kematian penderita kanker meningkat secara signifikan tetapi saat dianalisa berdasarkan jenis kelamin, observasi ini berlaku hanya untuk wanita. Alasan untuk observasi ini masih belum dapat dipahami kemungkinan berkaitan dengan gaya hidup. Implikasi dalam praktik klinis adalah bahwa penderita kanker lebih sering mengalami penyakit kejiwaan sebelum penegakan diagnosis. Timbulnya kanker hampir dipastikan akan memperburuk keadaan pada sebagian besar penderita.

Komunikasi dengan staf medisPemberian informasi kepada pasien kanker seringkali melibatkan penyampaian berita buruk, baik itu pada saat diagnosis kanker baru ditegakkan dan saat pemeriksaan klinis atau pemeriksaan khusus yang menunjukkan adanya kekambuhan setelah pengobatan. Penyampaian berita buruk merupakan tugas yang sangat tidak nyaman untuk sebagian besar dokter. Namun, cara penyampaian mempengaruhi tingkat tekanan psikologis yang dialami pasien.Tanggung jawab untuk menyampaikan berita buruk kepada pasien biasanya jatuh kepada dokter, baik dokter pelayanan primer maupun spesialis senior di rumah sakit. Hal ini merupakan praktik yang biasa, tetapi banyak dokter merasa tidak siap untuk menangani jenis konsultasi klinis ini. Dokter merasa sulit dengan alasan: kurangnya pelatihan formal ragu dengan reaksi pasien takut akan meningkatkan penderitaan pasien merusak hubungan dokter-pasien ragu memberi tanggapan terhadap pertanyaan pasienKetika informasi medis tentang penyakit yang disampaikan berupa prognosis buruk, hal ini tidak boleh dipotong pasien. Setiap gagasan melindungi pasien dari berita buruk dianggap merendahkan dan ketinggalan jaman. Namun, dokter harus mempertimbangkan apakah lebih baik untuk memberikan informasi jenis ini dengan kehadiran seorang kerabat. Kemungkinan ini harus digali dengan pasien. Kadang kala dibutuhkan penyampaian informasi secara bertahap, selama lebih dari satu kali konsultasi, terutama jika pasien memiliki pemahaman yang minim mengenai penyakitnya. Kesimpulannya sebagai berikut:a. Persiapan pribadi. Sediakan waktu yang cukup. Pertimbangkan tingkat pengetahuan pasien mengenai penyakitnya dan tingkat sumber daya pasien. Bersiaplah untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh pasien. Bersiaplah untuk berurusan dengan respon emosional pasien.b. Pengaturan fisik. Gunakan ruangan yang memberikan privasi. Jika tidak memungkinkan, jangan menyampaikan berita buruk di tempat terbuka atau koridor atau melalui telepon. Dokter harus duduk sejajar dengan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa dokter tidak terburu-buru dan bersedia untuk menanggapi setiap pertanyaan yang ingin ditanyakan pasien.c. Berbicaralah kepada pasien dan merespondengan penuh perhatian. Lakukan secara perlahan dan tunjukkan rasa empati. Cari tahu apa yang sudah pasien tahu dan juga mengerti apa yang ingin dia ketahui. Berikan informasi secara bertahap dan ringkas maksud dari informasi tersebut. Diskusikan dengan pasien bagaimana pasien mengatasi kesulitan pribadi sebelumnya. Tanamkan harapan yang realistis.d. Rencanakan follow-up. Konsultasi lebih lanjut harus direncanakan untuk memberikan dukungan, mengetahui kecemasan pasien dan untuk mengklarifikasi poin-poin yang belum dimengerti pada saat wawancara pertama.e. Umpan balik untuk kolega. Anggota lain dari tim multidisiplin harus segera diberitahu mengenai konsultasi dengan pasien dan apa yang telah disampaikan kepada pasien dan kerabatnya.

Skrining kankerSkrining penyakit telah menjadi praktik rutin untuk beberapa jenis kanker. Mammography rutin telah terbukti mengurangi angka kematian akibat kanker payudara pada wanita usia lanjut dengan deteksi dini. Pengobatan konservatif juga dimungkinkan untuk dilakukan. Pemeriksaan sitologi dari apusan serviks telah menjadi prosedur standar untuk mendeteksi lesi prakanker serviks dan kolonoskopi digunakan untuk mendeteksi kanker stadium awal pada orang-orang yang berpredisposisi mengalami kanker kolon, sebagai contoh pada mereka dengan riwayat keluarga mengalami polyposis coli. Pengujian DNA prediksi, yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk mengembangkan penyakit tertentu, sedang dilakukan dengan frekuensi yang meningkat, akan tetapi menimbulkan beberapa kesulitan dalam penentuan terapi pada mereka yang memiliki hasil positif. Wanita yang memiliki satu gen untuk kanker payudara, BRCA1 dan 2, dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti mammography rutin atau menjalani tindakan profilaksis mastektomi bilateral. Manfaat skrining harus dibandingkan dengan kemungkinan kerugiannya seperti tekanan psikologis sebelum pengujian dan perburukannya terutama pada mereka dengan hasil yang positif atau samar-samar. Untungnya, bukti menunjukkan bahwa skrining tidak menimbulkan gejala psikologis pada sebagian besar partisipan. Sebuah tinjauan oleh Marteau dan Croyle (1998) mencatat bahwa pengujian genetik jauh lebih berguna apabila pengobatan yang efektif dan strategi preventif sudah tersedia. Orang-orang yang menjalani pemeriksaan biasanya mengharapkan hasil negatif sementara mereka yang sangat yakin berisiko tinggi karena riwayat keluarga akan lebih siap untuk hasil yang positif. Orang yang mendapat hasil positif lebih cenderung tertekan tetapi tekanan ini biasanya tidak sangat parah. Kebanyakan bergantung pada kualitas konseling yang tersedia baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan. Walaupun masih dibutuhkan banyak penelitian untuk mendapatkan bentuk konseling yang tepat, sangat penting untuk merencanakan konseling sebelum pemeriksaan sehingga keterbatasan pemeriksaan dapat didiskusikan bersama dengan implikasi dari hasil yang positif atau negatif. Penelitian tentang dampak emosional dari pemeriksaan genetik prediktif menunjukkan bahwa orang dewasa dengan rasa optimis atau percaya diri yang rendah cenderung mengalami kecemasan secara klinis dan disarankan untuk menargetkan konseling pada orang-orang dengan sumber daya psikologis yang rendah (Michie et al. 2001).

2.2 Pengaruh Faktor Psikologis terhadap Gangguan KejiwaanBanyak klinisi percaya cara orang mengatasi kanker mempengaruhi hasil akhir penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang cemas atau depresi kurang dapat bertahan hidup dibandingkan mereka yang merespon dengan sikap yang lebih positif. Telah ada beberapa studi yang berusaha untuk mendukung hipotesis ini. Greer et al. (1979) mengidentifikasi empat jenis coping stylesyang berbeda dalam sebuah studi prospektif pada wanita dengan kanker payudara. Hal tersebut diberi istilah semangat juang (fighting spirit), penolakan (denial), penerimaan dengan tabah (stoic acceptance), dan tak berdaya/putus asa (helplessness/hopelessness). Coping styles memiliki kaitan yang berarti dengan hasil akhir, kekambuhan-kelangsungan hidup dalam lima tahun memiliki hubungan positif dengan semangat juang dan penolakan. Sebaliknya, mereka yang mengatasi dengan penerimaan tabah atau tak berdaya/putus asa memiliki prognosis yang buruk. Observasi ini dikonfirmasi ketika hasil dinilai lagi setelah delapan tahun. Sebuah studi kontrol terkenalyang dilansir oleh Spiegel et al.(1989) menemukan bahwa lama kelangsungan hidup pasien dengan kanker payudara stadium lanjut meningkat bagi mereka yang menghadiri pertemuan kelompok mingguan yang memberikan dukungan praktis dan pendidikan. Sebuah penemuan serupa dilaporkan oleh Fawzy et al.(1993) pada pasiendengan malignant melanomayang menghadiri kelompokpsychoeducational.Pengamatan ini membuat penasaran tapi mencoba untuk meniru mereka namun belum memberikan kesimpulan yang sama (Goodwin et al. 2001). Sebuah tinjauan oleh Gwikel et al. (1997) menyimpulkan untuk keganasan awal ada bukti yang konsisten bahwa faktor psikologis mempengaruhi perkembangan penyakit, sedangkan untuk keganasan stadium lanjut faktor biologis yang paling penting, dan faktor psikologis kurang penting, dalam menentukan hasil.

2.3 Gangguan Kejiwaan dan ManajemennyaGangguan penilaian mungkin yang paling umum. Dalam sebuah surveipasien yang mendatangi tiga pusat onkologi di Amerika Serikat, Derogatis et al. (1983) menemukan prevalensi gangguan kejiwaan sebesar 47% berdasarkan kriteria operasional. Sindrom klinis didiagnosis pada 43%, sedangkan 3% dianggap memiliki gangguan kepribadian. Gangguan penilaian menyumbang dua-pertiga dari semua diagnosis psikiatri. Reaksi-reaksi ini cenderung berkembang lebih awal selama perjalanan penyakit, ketika pasien mengambil implikasi dari penyakit dan mengantisipasi kebutuhan perawatan. Kemudian dapat berkembang ketika konsultasi ulang dengan dokter diantisipasi atau ketika penyelidikan seperti pemeriksaan darah danMagnetic Resonance Imaging (MRI) scandirencanakan. Insiden delirium pada pasien kanker tidak diketahui, tetapi pengamatan klinis menunjukkan bahwa hal ini sering terjadi. Hal ini sangat sulit untuk dinilai secara standar karena mudah dilupakan, oleh sebab itu beberapa penelitian telah dilakukan. Namun, hal tersebut dapat menjadi sumber utama kesulitan karena pengalaman halusinasi menakutkan dan delusi sekunder merupakan karakteristik kondisi ini. Deteksi akurat ini penting agar pengobatan simptomatik dapat diberikan dan penyebab bisa diperbaiki. Kecemasan bisa menjadi lebih lama dibandingkan dengan diagnosis gangguan penilaian. Hal tersebut cenderung menjalar dan tak henti-henti. Fobia kecemasan spesifik dapat mengembangkan respon terhadap pengobatan, khususnya kemoterapi. Watson et al.(1992) menemukan bahwa 23% daripasien yang menjalani kemoterapi mengalami mual antisipatif. Hal ini bisa menjadi parah sehingga pasien mengembangkan respon fobia dan menolak untuk menyelesaikan pengobatan mereka. Fobia kecemasan dapat dipicu karena berhadapan dengan teknologi medis yang asing seperti mesin radioterapi. Jika masalah tidak diatasi, pasien dapat berhenti dari pengobatan dan kemungkinan untuk sembuh atau remisi menjadi hilang.Kuesioner skrining telah digunakan pada beberapa penelitian untuk mengidentifikasi perkembangan gangguan kejiwaan. Hospital Anxiety and Depresion Scale (HADS; Zigmond & Snaith 1983) adalah salah satu instrumen yang paling umum digunakan. Pinder et al. (1993) telah menilai serangkaian wanita dengan kanker payudara dan menemukan bahwa 25% skor yang diperoleh mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan kasus cemas dan/atau depresi.Oleh karena itu, intervensi psikososial akan lebih bermanfaat. Kecemasan klinis tidak berhubungan dengan faktor-faktor sosiodemografi ataupun penyakit. Depresi klinis lebih sering terjadi pada pasien dengan status sosial ekonomi rendah. Fallowfield et al. (2001) mengatakan bahwa dokter lebih sulit mendiagnosa penyakit jiwa pada pasien kanker. Bunuh diri merupakan suatu resiko yang harus dinilai pada setiap pasien depresi dan pasien kanker yang mengalami depresi. Harris dan Barraclough (1994) mengatakan dari 63 laporan kelainan medis pasien ditemukan peningkatan resiko bunuh diri. Neoplasma ganas, kanker kepala dan leher merupakan kelainan yang sering menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri. Risiko tertinggi terdapat pada pasien yang baru atau belum lama di diagnosis kanker.Sebuah studi yang menunjukkan bahwa 40% kasus bunuh diri terjadi pada tahun pertama setelah pasien didiagnosis. Risiko tertinggi juga terdapat pada pasien dengan progresifitas penyakit yang cepat atau lanjut. Lokasi tumor juga ikut berpengaruh, seperti tumor paru-paru, saluran napas atas, saluran pencernaan, sistem saraf pusat, pankreas dan ginjal. Lokasi-lokasi tersebut menempati posisi tertinggi risiko kasus bunuh diri pada pasien.Disfungsi seksual merupakan hal yang umum terjadi pada pasien kanker. Kehilangan hasrat, impotensi, dan anorgasmia adalah keluhan yang paling sering ditemukan. Selama kemoterapi, banyak pasien mengeluhkan kehilangan libido yang merupakan efek dari pengobatan. Minat seksual biasanya akan kembali ketika pengobatan telah selesai. Masalah-masalah seksual setelah operasi seperti mastektomi atau kolektomi dengan kolostomi biasanya terjadi akibat penurunan daya tarik pada bagian tubuh pasien atau pasangannya. Rujukan kepada seorang terapis yang terlatih dalam pengobatan psikoseksual, sering membantu pasien-pasien ini.

2.4Dukungan EmosionalBanyak kesulitan dapat dihindari jika dokter yang menangani pasien kanker dapat memberikan dukungan emosional sepanjang perjalanan penyakit pasien. Pasien umumnya baru dapat megembangkan kepercayaan dan meyambut hubungan yang terbuka jika mereka percaya bahwa dokter berlaku jujur tentang penyakit, pengobatan, dan prognosis dari penyakit yang mereka derita. Banyak studi telah mengkonfirmasi bahwa pasien ingin sepenuhnya diberitahu sesegera mungkin mengenai penyakitnya. Setelah diagnosis telah ditetapkan dan dibahas dengan pasien, penting untuk membiarkan pasien mengekspresikan tekanan yang diterimanya. Ini adalah sebuah proses yang perlu dilakukan atas sejumlah konsultasi. Pasien sering merasa terhambat dalam mengatakan kekhawatiran emosional mereka, merasa percaya tidak ada yang bisa dilakukan untuk mereka atau dokter dan perawat terlalu sibuk atau tidak cukup tertarik dalam menanggapi permasalahan mereka. Banyak staf profesional yang sering menjauhkan diri dari permasalah emosional, hal ini dilakukan sebagai sarana perlindungan diri atau karena mereka merasa takut tidak mampu mengelola respon emosional pasien. Terdapat juga suatu keyakinan bahwa depresi tidak dapat dihindari pada tahap tertentu dalam pengobatan kanker dan sebagian besar tidak dapat diobati.Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, dokter perlu bertanya secara langsung dan terbuka kepada pasien mengenai pemahaman pasien tentang penyakit yang mereka derita, respon emosional mereka dan kekhawatiran tentang efek dari penyakit terhadap keluarga maupun kehidupan sosial mereka. Ini penting untuk menunjukkan pendekatan empati terhadap pasien.

2.5KonselingBanyak pusat-pusat kanker telah membentuk layanan konseling khusus untuk membantu mengelola masalah emosional pasien yang terkait dengan masalah kanker. Konselor dilatih dalam kemampuan komunikasi dan prinsip-prinsip konseling dalam layanan kanker. Mereka biasanya memiliki latar belakang di bidang keperawatan, psikologi atau psikoterapi. Mereka juga sebaiknya telah memiliki pengetahuan yang luas mengenai kanker dan pelayanan kanker, jika belum, mereka perlu mendapatkan pengetahuan mengenai kanker selama masa pelatihan karena konseling juga penting untuk mengoreksi kesalahpahaman tentang diagnosis, pengobatan, dan prognosis. Konselor tidak boleh digunakan sebagai alasan bagi dokter untuk menghindari penyampaian informasi dan menjelajahi masalah psikologis pasien, tetapi dalam konteks busy-service konselor mempunyai lebih banyak waktu untuk tatap muka dengan pasien. Konselor mampu mendeteksi gangguan mood, kecemasan atau gejala psikotik yang membutuhkan penanganan dan pengobatan psikiater. Oleh karena itu, penting bagi seorang konselor mempunyai akses kepada psikiater dan psikolog yang memiliki pengalaman bekerja di layanan onkologi.

2.6Ketersediaan InformasiKurangnya informasi merupakan keluhan umum pada kebanyakan pasien kanker. Salah satu layanan kanker yang pertama didirikan di Inggris adalah British Association for Cancer United Patients, didirikan oleh seorang dokter, Vicky Clement-Jones, yang dirinya sendiri telah menderita kanker dan terganggu oleh kurangnya ketersedian informasi untuk pasien. Sekarang dikenal sebagai CancerBACUP yang merupakan layanan nasional yang menyediakan informasi, dapat melalui telepon, surat, dan on-line. CancerBACUP dikelola oleh perawat-perawat onkologi terlatih yang memiliki akses informasi yang up-to-date mengenai hal ini. Mereka didukung oleh dewan penasehat medis yang merupakan tempat mereka berkonsultasi dan menanyakan saran. Organisasi ini juga menerbitkan selebaran dan buku yang berisikan saran-saran mengenai diet, kehidupan seksual, terapi komplementer, kontrol gejala-gejala pada pasien kanker. Organisasi-organisasi lain memberikan saran dan dukungan kepada pasien dan keluarga pasien.

2.7Terapi PsikologisPengobatan psikologis yang spesifik diperlukan pada beberapa kasus pasien. Seperti terapi perilaku berdasarkan relaksasi dan desensitisasi terbukti berhasil menangani pasien dengan fobia kecemasan terhadap aspek-aspek tertentu dari perawatan mereka. Fobia ini seperti saat pengambilan darah, kemoterapi, dan radioterapi. Dokter harus mampu merujuk pasien secara cepat kepada seorang psikolog klinis atau perawat yang telah terlatih dalam terapi perilaku. Spiegel et al. (1981) mengevaluasi efek dari dukungan grup atau kelompok terhadap wanita-wanita dengan kanker payudara dan menemukan hasil bahwa, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, mereka yang berpartisipasi dalam pengobatan grup atau kelompok memiliki tingkat gangguan suasana hati dan gejala fobia lebih rendah. Pengobatan difokuskan pada peningkatan hubungan pasien dengan keluarga, teman dan dokter dan hidup semaksimal mungkin dalam menghadapi penyakit terminal. Pasien-pasien ini kemudian diperiksa dan didapatkan hasil bahwa pasien-pasien pada pengobatan grup atau kelompok memiliki hidup lebih lama dibandingakan dengan bukan pengobatan kelompok (Spiegel et al. 1989). Fawzy et al. (1993) juga mendapatkan efek yang sama pada perawatan psikologis pasien dengan melanoma ganas. Pasien yang dirawat dalam grup, memperoleh intervensi yang terdiri dari peningkatan kemampuan memecahkan masalah, manajemen stres, dan dukungan psikologis. Pasien-pasien pada pengobatan grup atau kelompok menunjukkan tingkat depresi dan gangguan suasana hati yang lebih rendah, serta memiliki kelangsungan hidup yang lebih lama. Sebuah pengobatan perilaku kognitif telah dikembangkan secara khusus untuk pasien kanker (Moorey dan Greer 1989). Terapi psikologis tambahan yang berfokus pada makna individu pasien terhadap kanker dan langkah pasien dalam mengatasinya, yang artinya adalah apa yang pasien pikirkan dan lakukan untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh kanker. Pengobatan ini bertujuan mengidentifikasi kekuatan personal dan menghilangkan rasa rendah diri pasien. Mengatasi rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan semangat juang dalam diri pasien dan pasien juga diajarkan untuk mengidentifikasi dan menantang pikiran-pikiran negatif yang mendasari kecemasan dan depresi.

2.8Pengobatan Fisik pada DepresiBeberapa uji coba obat antidepresan telah dilakukan pada pasien kanker (Costa et al 1985; Evans et al. 1988). Obat-obatan ini telah digunakan secara luas dalam praktek klinis. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) telah digunakan sebagai pengganti kelompok trisiklik sebagai obat pilihan pertama. Sangat penting untuk meminimalkan interaksi obat pada pasien kanker. Citalopram dan sertraline adalah yang paling aman digunakan. SSRIs tidak menjadi antidepressan pilihan pada wanita dengan kanker payudara yang mengkonsumsi tamoxifen karena SSRIs dapat mengurangi kadar metabolit tamoxifen (Jin et al. 2005).

2.9Terapi KomplementerSampai saat ini tidak ada jenis terapi komplementer yang efektif dalam uji coba terkontrol, akan tetapi banyak juga pasien yang melaporkan efek yang bermanfaat. Penelitian sangat diperlukan untuk menentukan manfaat spesifik dari terapi komplementer dan bukan hanya efek plasebo semata.

BAB IIIKESIMPULAN

Gangguan psikiatrik pada penderita kanker merupakan gangguan yang melibatkan pikiran dan tubuh. Hal ini menunjukan adanya faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis penderita kanker. Komponen emosional memainkan peranan penting pada ganggun psikosomatis. Kebanyakan gangguan psikiatrik yang terjadi pada penderita kanker adalah gangguan afektif. Penderita kanker mengalami banyak kecemasan akan penyakit yang diderita dan kemungkinan untuk hidup lama yang tinggal sedikit. Efek samping pengobatan dan kemungkinan berulangnya kanker juga menimbulkan kecemasan pada penderita kanker sehingga berakhir pada gangguan psikiatrik.Adanya gangguan psikiatrik pada penderita kanker bisa terjadi sebelum ataupun sesudah kanker tersebut timbul. Penatalaksanaan terhadap gangguan psikiatri pada penderita kanker meliputi konseling dengan dokter umum ataupun psikiater. Obat-obatan antidepresi juga dapat membantu mengatasi gejala depresi yang terjadi. Penanganan penyakit kanker membutuhkan pendekatan multidisiplin antara bidang penyakit kanker dengan kejiwaan sehingga perlu kerjasama antar bagian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, F., Marcellus, D., Zabora, J., et al. (1997). Psychological distress among adult patientsbeing evaluated for bone marrow transplantation. Psychosomatics, 38, 10_19.Boshoff, C. and Weiis, R. (2002). AIDS-related malignancies. National Review of Cancer, 2,373_82.Broers, S., Kaptein, A. A., Le Cessie, S., et al. (2000). Psychological functioning and quality of life following bone marrow transplantation: a 3-year follow-up study. Journal of Psychosomatic Research, 48, 11_21.Cull, A. (1990). Psychological aspects of cancer and chemotherapy. Journal of Psychosomatic Research, 34, 129_40.Derogatis, L. R., Morrow, G. R., Fetting, J., et al. (1983). The prevalence of psychiatric disorders among cancer patients. Journal of the American Medical Association, 249, 751_7.Fallowfield, L., Hall, A., Maguire, G. P., et al. (1990). Psychological outcomes in women with early breast cancer. British Medical Journal, 301, 1394.Fallowfield, L., Ratcliffe, D., Jenkins, V., et al. (2001). Psychiatric morbidity and its recognition by doctors in patients with cancer. British Journal of Cancer, 84, 1011_15.Fawzy, I. F., Fawzy, N. W., Hyun, C. S., et al. (1993). Effects of an early structured psychiatric intervention, coping and affective state on recurrence and survival 6 years later. Archives of General Psychiatry, 50, 681_9.Lloyd, M. and Bor, R. (2004). Communication Skills for Medicine, 2nd edn. Edinburgh: Churchill Livingstone.McDaniel, J. S., Musselman, D. L., Porter, M. R., et al. (1995). Depression in patients withcancer: diagnosis, biology and treatment. Archives of General Psychiatry, 52, 89_99.