referat forensik fix

26
ASPEK MEDIKOLEGAL TERHADAP PENANGANAN KORBAN BENCANA ALAM A. PENDAHULUAN Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, dll, faktor nonalam maupun faktor manusia akibat dari hasil pembangunan dan adanya sosio kultural yang multi dimensi yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan. (1) Definisi bencana sangat bervariasi. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan berdasarkan pedoman penanganan bencana bidang kesehatan 1

Upload: winda-agustin

Post on 25-Nov-2015

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aspek medicolegal

TRANSCRIPT

ASPEK MEDIKOLEGALTERHADAP PENANGANAN KORBAN BENCANA ALAM

A. PENDAHULUANWilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, dll, faktor nonalam maupun faktor manusia akibat dari hasil pembangunan dan adanya sosio kultural yang multi dimensi yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan. (1)Definisi bencana sangat bervariasi. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan berdasarkan pedoman penanganan bencana bidang kesehatan oleh Menteri Kesehatan Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak/tidak terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat dan luar biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta lingkungannya. Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. (1) (2) (3)Bencana juga dapat diklasifikasikan menjadi bencana terbuka dan bencana tertutup. Sebuah bencana yang terbuka adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan kematian sejumlah individu yang tidak diketahui dan tidak ada catatan atau data deskriptif yang tersedia sebelumnya. Sebuah bencana tertutup adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan tewasnya individu suatu kelompok dengan jumlah yang teridentifikasi, (misalnya kecelakaan kecelakaan dengan penumpang yang terdaftar). Perbandingan data ante mortem dapat diperoleh lebih cepat dalam kasus bencana tertutup. Kombinasi dari kedua bentuk ini juga bisa terjadi (misalnya pesawat kecelakaan di daerah residensial). (4)Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya. (5)Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati, perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. (5) .Dalam banyak kasus, pengelolaan jenazah belum diberi perhatian yang layak, dan bahkan telah diabaikan. Padahal kematian merupakan suatu peristiwa yang menciptakan konsekuensi hukum dengan efek mendalam pada kehidupan kerabat korban, emosional, aspek ekonomi, dan keluarga. Hal ini penting untuk memperjelas bahwa prioritas adalah untuk membantu korban bencana dan untuk mempertahankan layanan dasar, tetapi kita tidak bisa mengabaikan pemulihan mayat. Ketidakpastian tentang kelangsungan hidup mereka yang berada di lokasi bencana alam adalah sesuatu yang harus dan dapat dihindari melalui pengelolaan yang baik. (6)Pengelolaan korban yang baik, didasarkan pada proses medikolegal. Dimana prosedur medico-legal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Prosedur medico-legal mengacu pada perundang-undangan yang berlaku serta pada sumpah dokter dan etika kedokteran. (7)Interpol Guide / pedoman Interpol merupakan instrument internasional yang secara spesifik ditujukan untuk teknik identifikasi korban pada situasi bencana. Pedoman ini tidak wajib namun sebagai rekomendasi, dan itu tergantung pada kemauan dan keinginan dari negara-negara anggota atau organisasi untuk mengadopsi mereka. DVI (Disaster Victim Identification) adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. (5) (6)

B. Dasar Identifikasi KorbanAda beberapa instrumen internasional yang menangani pengelolaan mayat. Meskipun mereka memiliki karakteristik dan ruang lingkup yang berbeda, mereka menunjukkan bahwa betapa komunitas internasional mementingkan identifikasi, dan penguburan jenazah yang sesuai dengan ritual agama dan keyakinan budaya. Beberapa instrument mengenai pengelolaan jenazah yaitu Interpol Guides (untuk korban yang meninggal dalam bencana), Guiding Principles on Internal Displacement (untuk para pengungsi korban bencana alam). (6)The Guiding Principles on Internal Displacement disiapkan dan disajikan pada tahun 1998 oleh Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pengungsi menanggapi mandat dari Majelis Umum PBB dan Komisi Hak Asasi Manusia untuk mempersiapkan kerangka hukum bagi perlindungan dan bantuan bagi pengungsi internal. Pada Guiding Principles on Internal Displacement, orang-orang yang terlantar akibat bencana alam memiliki "hak untuk mengetahui nasib dan keberadaan kerabat yang hilang." Juga dinyatakan: "Pihak berwenang yang bersangkutan wajib berusaha untuk mencari informasi tentang keadaan dan keberadaan orang pengungsi yang dilaporkan hilang, dan bekerjasama dengan organisasi internasional yang relevan yang terlibat dalam tugas ini. Mereka harus memberitahu keluarga terdekat pada kemajuan penyelidikan dan memberitahu mereka tentang hasil apapun ... Pihak berwenang yang bersangkutan harus berusaha untuk mengumpulkan dan mengidentifikasi jenazah, dan mencegah perampasan atau mutilasi jenazah, dan memfasilitasi kembalinya mereka pada keluarga terdekat atau memakamkan jenazah dengan hormat. ... tempat pemakaman harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. (6) (8)The International Criminal Police Organization (Interpol) merupakan organisasi internasional yang telah mensponsori program kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi korban bencana. Untuk tujuan ini dipersiapkan Disaster Victim Identifiction Guide / panduan identifikasi korban bencana. Pada Majelis Umum ke-49 Interpol, yang diselenggarakan di Manila pada tahun 1980, Interpol mengadopsi sebuah resolusi yang merekomendasikan identifikasi korban bencana pada negara-negara anggotanya Resolusi ini mengakui hak asasi manusia bahwa setia individu berhak untuk diidentifikasi setelah meninggal, serta pentingnya identifikasi berkaitan dengan penyelidikan polisi dan urusan agama dan budaya. (4) (6)Adapun dasar hukum di Indonesia yang berkaitan dengan penanggulangan korban bencana alam yaitu berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2008 tetntang penyelenggaraan penanggulangan bencana. (3) (9) (10)Disebutkan pada UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan: (9)

Pasal 47Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.

Pasal 48(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:a. pelayanan kesehatan;b. pelayanan kesehatan tradisional;c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;e. kesehatan reproduksi;f. keluarga berencana;g. kesehatan sekolah;h. kesehatan olahraga;i. pelayanan kesehatan pada bencana;j. pelayanan darah;k. kesehatan gigi dan mulut;l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;m. kesehatan matra;n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;o. pengamanan makanan dan minuman;p. pengamanan zat adiktif; dan/atauq. bedah mayat.(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.

Pasal 49(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.

Pada UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, dinyatakan : (2)Pasal 48Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;b. penentuan status keadaan darurat bencana;c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;d. pemenuhan kebutuhan dasar;e. pelindungan terhadap kelompok rentan; danf. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.Pasal 49Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi: a. cakupan lokasi bencana;b. jumlah korban;c. kerusakan prasarana dan sarana; d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dane. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

Pasal 52Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya: a. pencarian dan penyelamatan korban;b. pertolongan darurat; dan/atauc. evakuasi korban.

Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana : (10)

Pasal 69(1) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat.(2) Kegiatan pemulihan kondisi kesehatan masyarakat terkena dampak bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya-upaya :a. membantu perawatan korban bencana yang sakit dan mengalami luka;b. membantu perawatan korban bencana yang meninggal;c. menyediakan obat-obatan;d. menyediakan peralatan kesehatan;e. menyediakan tenaga medis dan paramedis; danf. merujuk ke rumah sakit terdekat.Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. (3)

C. Prosedur IdentifikasiDalam situasi kematian pada umumnya, identifikasi visual dan barang pribadi umumnya dapat diandalkan untuk identifikasi jika jumlah yang meninggal terbatas dan terdapat distorsi minimal terhadap ciri-ciri fisik dari jenazah. Namun, dalam situasi kematian massal, protokol standar dan prosedur yang digunakan untuk identifikasi setelah kematian tunggal sering tidak tepat karena situasi bisa jauh lebih rumit sebagai akibat dari distorsi ciri-ciri fisik dan atau fragmentasi dari tubuh. Faktor-faktor yang akan mempengaruhi kompleksitas proses identifikasi pada situasi kematian massal termasuk jumlah korban jiwa dan ruang lingkup dari populasi yang terlibat dalam peristiwa tersebut, kondisi jenazah manusia, tingkat pemulihan, adanya manifestasi dan ketersediaan data antemortem. (11)Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim Identification) Interpol. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing. (3; 4; 7)Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya. (3; 4; 7)Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol. (3; 4; 7)Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol. (3; 4; 7)Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. (3; 4; 7)Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing. (3; 4; 7)Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI. (3)D. Metode IdentifikasiKorban bencana yang berskala besar diidentifikasi berdasarkan beberapa faktor. Derajat kerusakan tubuh, lamanya tubuh terpapar serta perubahan kondisi tubuh dapat mempengaruhi kualitas data post-mortem dan aplikabilitas metode spesifik dalam identifikasi. Metode identifikasi yang digunakan dalam bencana harus bersifat ilmiah, dapat dipercaya, dan dapat diterapkan di lapangan, serta dapat diimplementasikan dalam jangka waktu yang layak. Metode identifikasi primer yang paling dipercaya adalah analisa sidik jari, perbandingan analisa gigi, dan analisa DNA. Metode identifikasi sekunder termasuk deskripsi personal, penemuan medis serta bukti dan pakaian yang ditemukan pada tubuh. Metode identifikasi ini digunakan untuk mendukung metode identifikasi lainnya dan dan biasanya tidak cukup sebagai satu-satunya alat identifikasi. Semua metode sebaiknya digunakan. Identifikasi yang hanya didasarkan oleh fotografi sangat tidak dapat diandalkan dan sebaiknya dihindari. (4)Identifikasi visual oleh saksi mungkin memberikan indikasi identitas tetapi tidak cukup untuk identifikasi positif dari korban bencana berskala besar. Dalam hal ini korban sering mengalami trauma yang mendalam sehingga perbandingan visual adalah hal yang mustahil dan karena kerabat dari korban sering tidak mampu mengatasi tekanan psikologis yang terlibat dalam konfrontasi dengan para korban meninggal. Semua data post mortem yang diperoleh dari visum tubuh korban dievaluasi dengan mengacu pada informasi orang hilang yang diperoleh. Semua informasi yang tersedia (baik AM dan PM) harus dikumpulkan dan didokumentasikan. Karena tidak mungkin untuk mengetahui terlebih dahulu data apa yang dapat diperoleh dari tubuh korban dan informasi apa yang dapat diperoleh untuk tujuan perbandingan di lokasi bencana. (4)Menurut pedoman Interpol (2008), teknik utama (DNA, sidik jari, analisis odontologi) yang melibatkan perbandingan informasi antemortem (AM) dengan informasi postmortem (PM) untuk memastikan identitas dari orang mati sebaiknya digunakan sebagai teknik identifikasi utama setelah kematian massal dan teknik sekunder (identifikasi visual, barang pribadi, dan implan medis) hanya sebagai data yang benar. (11)

Metode IdentifikasiPrimer

Gambar 1.Metode identifikasi primer. (4)1. Sidik JariSistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding. (5)Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenasah dengan sidik jari antemortem. Sampai saat ini pemeiriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi keepatannya untuk menentukan identitas seseorang. (12)Sidik jari merupakan jejas yang ditimbulkan oleh immpressi dari tonjolan papiler jari-jari. Henry F dan F Gulton dalam penelitiannya meletkkan dua dasar dari identifikasi dengan sidik jari yaitu: (12)1. Susunan dari tonjolan-tonjolan papiler pada setiap jari orang adaah berlainan.2. Susunan tersebut tetap,tidak berubah sepanjang hidup seseorang.Meskipun sidik jari seseorang tidak berubah sepanjang hidupnya tetapi dapat terganggu oleh adanya jaringan parut akibat suatu penyakit atau oleh karena trauma. Meskipun kulit ari sudah hilang karena pembusukan sidik jari masih didapat dari garis-garis yang ada di dermis. (12)Klasifikasi primer sidik jari adalah berdasarkan pada susunan dari garis-garis kulit. Ada 4 tipe primer yaitu: (12)a. Arch. Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di tengah, dan berakhir di ujung yang lain.b. Loop. Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul.c. Whorl. Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat dari jari.d. CompositeUntuk membandingkan sidik jari, sebaiknya dilakukan pemotretan atau diperbesar. Ada 16-20 titik yang harus dibandingkan minimal 12 titik sama. (12)Ada tiga alasan mengapa sidik jari merupakan indikator identitas yang dapat diandalkan: (4) Sidik jari unik: Tidak ada kecocokan mutlak antara papiler ridges pada jari dari dua individu yang berbeda atau pada jari yang berbeda dari orang yang sama. Sidik jari tidak berubah: papiler ridges terbentuk pada bulan keempat kehamilan dan tetap tidak berubah bahkan setelah mati. Sidik jari tumbuh kembali dalam pola yang sama setelah luka ringan. Luka yang lebih parah mengakibatkan jaringan parut permanen. Sidik jari dapat diklasifikasikan: Karena sidik jari dapat diklasifikasikan, maka dapat diidentifikasi dan didata secara sistematis dan dengan demikian dapat diperiksa dengan mudah untuk tujuan perbandingan.2. Odontologi ForensikGigi merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling awet/tahan meskipun jenazah sudah membusuk, terkena api atau bahan kimiawi. (12)Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. (5)Susunan gigi seseorang mempunyai ciri-ciri tersendiri lebih-lebih bila korban pernah berobat ke dokter gigi maka dental data/record dapat dipakai membantu identifikasi. Pemeriksaan gigi pada dasarnya meliputi odontogram pada: (12)a. Gigi alamiah, meliputi: Jumlah gigi yang ada Akar/pototngan akaryang terlihat Ekstraksi baru/lama/sudah sembuh/belum Tambalan, mahkota/bahan yang dipakai Gigi yang rusak Apipectomy Irregularitas Tanda-tanda kebiasaan Kondisi paradontal Posisi partial dental.b. Gigi palsu, meliputi: Gigi buatan siapa Warna dan cetakannya Tipe dan bahan dasarnyaSelain itu pemeriksaan X-Ray dari rahang juga membantu terutama apabila ada fotoX-Ray semasa hidupnya. Dan juga dari gigi bisa ditentukan dengan golongan darah seseorang dengan menggunakan teknologi biomolekular DNA. (12)Struktur dan ciri yang unik dari rahang dan gigi manusia sangat berguna dalam identifikasi dari korban baik yang hidup maupun mati. Data gigi dapat diperoleh dan dicatat pada saat pemeriksaan post-mortem dan dibandingkan dengan data ante mortem yang diperoleh dari dokter gigi yang merawat korban semasa hidupnya. Gigi terlindungi dengan baik di dalam rongga mulut dan dapat bertahan dari pengaruh eksternal yang terjadi pada saat menjelang atau setelah kematian. Gigi tersusun atas komponen yang paling keras dan kokoh. Jadi pada saat jaringan tubuh mulai membusuk, gigi masih tetap bertahan, karakteristik gigi yang sangat bernilai masih bisa digunakan untuk identifikasi. Perawatan gigi seperti tambalan restorative dan estetika dan mahkota ataupun gigi palsu merupakan pengobatan yang khas bagi setiap individu. Meskipun tidak ada perawatan yang khas pada gigi tersebut, identifikasi masih dapat dilakukan melalui perbandingan anatomi dan morfologi. (4)Selain membandingkan antara data ante mortem dengan data post-mortem untuk mengidentifikasi, odontologi juga dapat membuat kesimpulan tentang aspek tertentu dari gaya hidup seseorang melalui pemeriksaan gigi. Contohnya, jika korban diduga seorang dewasa muda, maka criteria pencarian akan dibatasi pada beberapa aspek ante mortem saja. Gigi manusia mengalami beberapa tahap perkembangan dari dalam rahim sampai dewasa, tahap perkembangan serta erupsi ini dapat digunakan untuk memperkirakan umur kronologis korban pada saat meninggal. Gigi dan rahang juga dapat memiliki ciri congenital atau didapat yang berguna untuk memperkirakan ras, kebiasaan makan dan hygiene mulut. (4)Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan: (5)1)Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:a. umurb. jenis kelaminc. rasd. golongan darahe. bentuk wajahf. DNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah. (5)2)Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain: misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya. (5)3.Analisis DNAMetode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit. (5)DNA merupakan sumber yang telah terbukti dapat digunakan untuk identifikasi, sebagai bagian yang signifikan dari informasi genetik yang terkandung dalam sebuah sel yang unik dan berbeda pada setiap individu. Tes DNA dapat dilakukan bahkan pada kasus dimana telah terjadi pembusukan parsial maupun total. Pencocokan DNA adalah cara terbaik untuk mengidentifikasi bagian-bagian tubuh, dapat didasarkan pada profil dari keluarga, sampel pribadi atau barang-barang korban merupakan satu-satunya metode untuk identifikasi primer yang tidak bergantung pada perbandingan langsung (catatan sidik jari, catatan gigi). (4)Untuk profil DNA diperlukan sampel yang diambil dari tubuh atau bagian tubuh almarhum dan dari referensi. Sampel akan dikirim ke laboratorium dan dianalisis sesuai dengan standar internasional dan profil dicocokkan dengan sumber referensi. (4)

Metode identifikasi sekunder

Gambar 12. Metode identifikasi sekunder (4)1. Deskripsi pribadi/temuan medisDeskripsi pribadi terdiri atas data dasar (umur, jenis kelamin, tinggi badan, suku bangsa) dan suatuciri spesifik. Penemuan medias, seperti luka dan operasi pengangkatan organ dapat memberikan informasi yang penting mengenai riwayat medis korban. (contoh, appendektomi). Nomer unik yang ditemukan pada pace-maker jantung serta alat prostetik sangat berguna dalam membantu proses identifikasi. Tattoo, tahi lalat dan adanya cacat juga dapat berfungsi sebagai indicator identitas. (4)2. Metode kepemilikan, seperti pakaian, perhiasan, dokumenKategori ini termasuk semua benda yang ditemukan pada tubuh korban (seperti perhiasan, pakaian, dokumen identitas pribadi, dll.). perhiasan yang diukir dapat memberikan petunjuk penting untuk mengidentifikasi korban. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, namun, perlu diingat bahwa barang-barang bukti tertentu tidak selamanya milik korban (misalnya surat-surat identitas yang terbawa oleh orang yang berbeda, perhiasan atau pakaian yang mungkin telah dipinjamkan ke individu lain, barang yang mungkin tidak sengaja telah ditempatkan dalam satu kantong mayat saat pengambilan). Produk perhiasan memiliki nilai identifikasi yang lebih tinggi jika mereka melekat erat pada tubuh korban (misalnya tindik, atau cincin kawin). (4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan. Menteri Kesehatan, RI. No. 1653/MENKES/SK/XII/2005.2. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007. 3. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan Kenyataan. Henky and Safitry, Oktavinda. [ed.] Hoedayanti and Hariadi A. s.l.: Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia, 2012, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences.4. Disaster Victim Identification Guide. s.l.: Interpol, 2009.5. Penatalaksanaan Identifikasi Korban Bencana. Singh, S. Medan: Instalasi /SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU Dr. Pirngadi Medan - FK USU, 2008, Vol. 41.6. Castiglione, Susanna. Legal Aspects. Management of Dead Bodies in Disaster Situations. Washington D.C.: Pan American Health Organization, 2004.7. Course Material 6th International DVI & Mortuary Management Course. Semarang: JCLEC, 2012.8. OCHA. Guiding Principles on Internal Displacement. s.l.: United Nations, 2004.9. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 10. PP RI tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana. 11. DISASTER VICTIM IDENTIFICATION AFTER MASS FATALITY EVENTS:. Bassendale, M. s.l.: Royal Road University, 2009.12. Yudianto, Ahmad and Kusuma, Soekry Erfan. Identifikasi Medikolegal. [ed.] Hoediyanto and Hariadi A. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi 7. Surabaya: Dep. Forensik dan Medikolegal FK UNAIR, pp. 311-333.

17