referat wibi

45
Referat Bedah Anak Judul : Reduksi Nonoperatif Intussusepsi Sub Divisi : Digestif-Trauma Disusun oleh : Agoes Wibisono Pembimbing : dr. Vita Indriasari, SpBA Penguji : dr. Dikki Drajat Kusmayadi, SpB(K)BA REDUKSI NONOPERATIF INTUSUSEPSI I. Pendahuluan I.1. Definisi Istilah intususepsi berasal dari 2 kata bahasa Latin yaitu “intus” (within) yang berarti berada didalamnya dan “suscipere” (to receive) yang berarti menerima. Intususepsi didefinisikan sebagai invaginasi atau masuknya satu bagian usus ke dalam bagian usus lainnya. Swenson menggambarkan lebih jelas dengan menyebutkan terdapatnya tiga silinder dinding usus yang terlibat di mana silinder dinding usus terdalam (inner) dan di tengah (middle) merupakan bagian usus yang mengalami invaginasi atau disebut intususeptum sedangkan bagian silinder dinding usus yang terluar (outer) adalah yang menerima invaginasi tersebut atau disebut intususepien. 1,2,3 1

Upload: wibizzz

Post on 09-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

intussusepsi

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT WIBI

Referat Bedah Anak

Judul : Reduksi Nonoperatif Intussusepsi

Sub Divisi : Digestif-Trauma

Disusun oleh : Agoes Wibisono

Pembimbing : dr. Vita Indriasari, SpBA

Penguji : dr. Dikki Drajat Kusmayadi, SpB(K)BA

REDUKSI NONOPERATIF INTUSUSEPSI

I. Pendahuluan

I.1. Definisi

Istilah intususepsi berasal dari 2 kata bahasa Latin yaitu “intus” (within)

yang berarti berada didalamnya dan “suscipere” (to receive) yang berarti

menerima. Intususepsi didefinisikan sebagai invaginasi atau masuknya satu

bagian usus ke dalam bagian usus lainnya. Swenson menggambarkan lebih

jelas dengan menyebutkan terdapatnya tiga silinder dinding usus yang terlibat

di mana silinder dinding usus terdalam (inner) dan di tengah (middle)

merupakan bagian usus yang mengalami invaginasi atau disebut intususeptum

sedangkan bagian silinder dinding usus yang terluar (outer) adalah yang

menerima invaginasi tersebut atau disebut intususepien.1,2,3

I.2. Insiden

Intususepsi merupakan penyebab kedua paling sering dari nyeri akut

abdomen pada bayi dan anak pra sekolah setelah konstipasi. Intususepsi juga

sering merupakan penyebab obstruksi akut usus halus pada kelompok umur

tersebut. Insidennya sendiri diperkirakan mencapai 1 dari 2000 bayi atau anak.

Bahkan pada beberapa studi di Inggris dan Skotlandia melaporkan insiden

yang lebih tinggi yaitu antara 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran hidup. Jenis

kelamin laki-laki merupakan predominan dengan rasio berkisar 3:2 sampai

dengan 2:1. Intususepsi dapat ditemukan pada semua kelompok usia anak

1

Page 2: REFERAT WIBI

mulai dari prenatal sampai remaja bahkan pada orang dewasa. 75% kasus

ditemukan pada usia 2 tahun pertama, dimana 40%nya didapatkan pada usia

antara 3 dan 9 bulan. Intususepsi yang terjadi pada saat prenatal dapat

menyebabkan atresia intestinal biasanya atresia ileum.1,2,3

Insiden intususepsi cenderung bervariasi sesuai dengan musim yang sering

dikorelasikan dengan adanya infeksi virus. Dari hasil evaluasi kasus

intususepsi selama 25 tahun di Toronto didapatkan bahwa insiden kelainan ini

mencapai puncaknya pada bulan Mei dan Juni di tahun 1959 sampai 1968

sementara dari tahun 1985 sampai dengan 1990 terdapat dua kali lonjakan

yaitu pada bulan Januari dan Juli. Adanya infeksi virus yang mendahului

kelainan ini ditemukan pada 20% kasus. Pada kebanyakan laporan yang

publikasikan melaporkan peningkatan insiden terjadi di bulan Mei, Juni, dan

Juli.1,3

II. Patogenesis

Setiap intususepsi akan mengikuti kelainan anatomi sebagai berikut:

seiring dengan berkembangnya suatu intususepsi akibat peristaltic usus, bagian

usus proksimal yang mengalami invaginasi (intususeptum) membawa serta

mesenteriumnya ke dalam bagian distal intususepien. Pembuluh darah

mesenterium akan mengalami angulasi, penjepitan, dan terkompresi di antara

lapisan-lapisan intususeptum, yang selanjutnya akan menghasilkan kompresi

vena, kongesti, dan statis sehingga akan diproduksi mucus dan darah dari

bagian intususeptum, sering tapi tidak selalu akan tampak suatu gambaran

klasik kotoran berupa darah dan lendir yang berwarna merah gelap (red

currant jelly stool). Jika proses ini terus berlangsung, kongesti usus dan

peningkatan tekanan akan menyebabkan iskemik pada bagian usus tersebut

yang selanjutnya akan mengalami nekrosis. Dari hasil pengamatan yang

dilakukan oleh Ravitch, lapisan tengah intususepsi akan mengalami kerusakan

terlebih dahulu diikuti oleh lapisan paling dalam, sedangkan lapisan terluar

yang merupakan bagian dari intususepien adalah yang paling terakhir yang

mengalami nekrosis. Namun dari sejumlah kasus yang mengalami perforasi,

2

Page 3: REFERAT WIBI

lokasi perforasinya justru ditemukan pada dinding intususepien dekat

intususeptum. Ukuran perforasi bervariasi mulai dari ukuran pin point sampai

dengan 2cm di daerah kolon yang mengalami nekrosis. Dari hasil pemeriksaan

mikroskopik terlihat suatu iskemik full-thickness pada daerah perforasi.

Diperkirakan proses iskemik dan nekrosis akan terjadi jika intususepsi

berlangsung selama 72 jam. 1,2,4

Intususepsi dapat dikategorikan berdasarkan perbedaan patogenesanya ke

dalam empat tipe, yaitu: tipe umum atau general, spesifik, anatomik, dan tipe

lainnya.1

Gambar 1. Patogenesis IntususepsiSumber : Coran’s Pediatric Surgery

Pada tipe umum dibedakan menjadi permanen dan transien. Kebanyakan

intususepsi (sekitar 80%) bersifat permanen, simptomatik (85%) dan semuanya

membutuhkan penanganan. Sementara pada transien intususepsi yang berkisar

20% dari semua kasus intususepsi mengalami reduksi spontan dengan sempurna.

Lebih dari setengah kasus transien intususepsi bersifat asimptomatik. 3

3

Page 4: REFERAT WIBI

Pada tipe spesifik intususepsi dibedakan menjadi idiopatik, pathologic lead

point (PLP), dan post operatif. 1,2

A. Idiopatik

Idiopatik intususepsi tidak memiliki pathologic lead point. Umumnya

(95%) tipe ini muncul pada daerah ileocolic (ileocolic 85% dan ileoileocolic

10%). Menurut Ein dan Daneman sebenarnya setiap intususepsi mempunyai lead

point tetapi mayoritas (90%) lead pointnya hanya berupa penebalan dinding usus

oleh kelenjar limpoid (Payer’s patches). Bayi dan anak-anak memiliki jumlah

kelenjar limpoid yang cukup banyak pada saluran pernapasan dan pencernaannya.

Pada saat terjadinya infeksi virus kelenjar-kelenjar limpoid ini akan membesar

atau mengalami hipertropi. Pada saluran cerna hipertropi kelenjar limfoid ini akan

banyak ditemukan pada dinding usus bagian distal ileum. Biasanya kelenjar

limfoid ini terletak pada antemesenterik tetapi semakin ke distal ileum kelenjar ini

akan terdapat pada seluruh lingkaran permukaan mukosa dinding usus. Saat

kelenjar-kelenjar limfoid ini mengalami hipertropi dan berlangsungnya gerakan

peristaltic usus maka lumen usus akan semakin menyempit, sehingga dapat

mencetuskan terjadinya intususepsi. Infeksi virus ditemukan pada 20% kasus

mendahului terjadinya intususepsi. Adenovirus dan rotavirus menyebabkan

hyperplasia limfoid dan dihubungkan dengan intususepsi pada anak. Pada tahun

1999 badan pengawas obat dan makanan Amerika (FDA) melarang penggunaan

vaksin rotavirus tetravalent karena berhubungan dengan 20 kasus intususepsi.

Namun perdebatan tentang hal ini masih tetap hangat dibicarakan dalam literature

sampai dengan saat ini. 1,2,3

B. Patologik Lead Point (PLP)

Pada tipe PLP insidennya diperkirakan bervariasi antara 1,5% sampai 12%

dengan rata-rata 8%. Angka kejadian PLP meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, mulai dari 5% pada usia tahun pertama menjadi 60% pada

kelompok usia 5-14 tahun. Terdapat dua tipe PLP yang dapat ditemukan yaitu

berupa lesi fokal (tunggal) atau berupa kelainan difus saluran cerna. Pada

4

Page 5: REFERAT WIBI

kebanyakan literature dalam topic ini menyebutkan divertikulum Meckel

merupakan penyebab PLP yang paling umum, diikuti oleh polip ileal serta

duplikasi ileal dan cekal. Lesi fokal lainnya yang lebih jarang ditemukan namun

pernah dilaporkan sebagai PLP adalah periappendisitis, stump appendix,

appendisial mucocele, local suture line, hyperplasia massif limfoid local, ektopik

pancreas, trauma abdomen, tumor jinak (adenoma, leiomyoma, carcinoid,

neurofibroma, hemangioma), dan tumor ganas (lymphoma, sarcoma, leukemia).

Penyakit yang menyebabkan kelainan difus saluran cerna berupa penebalan

dinding usus atau gangguan motilitas usus ataupun keduanya sehingga

menyebabkan intususepsi meliputi Henoch-Schonlein purpura, cystic fibrosis,

celiac disease, gangguan koagulasi, hemophilia, neutropenic colitis,

Hirschsprung’s enterocolitis, Peutz-Jeghers syndrome, dan familial polyposis. 1,2,3

Intususepsi yang disebabkan oleh PLP masih merupakan tantangan dalam

diagnosis karena variasi dan manifestasi yang sering tidak spesifik serta tipe lesi

yang luas dan melibatkan kelainan difus saluran cerna. Kebanyakan intususepsi

PLP akan memberikan tanda dan gejala yang sama seperti halnya pada tipe

idiopatik ileocolic. Faktor-faktor yang dapat membantu diagnosis intususepsi

akibat PLP menurut Navaro dan Daneman adalah adanya riwayat penyakit yang

dapat mencetuskan terjadinya intususepsi, tipe intususepsi ileoileocolic, usia anak

yang lebih tua, penurunan berat badan yang dihubungkan dengan penyakit kronis,

dan rekuren intususepsi. 1,3

Kebanyakan PLP secara anatomis bermanifestasi sebagai ileoileocolic

intususepsi dengan sejumlah kecil prosentase kasus berlokasi pada jejuno-jenunal,

ileoileal, ileocolic, appendicocolic, cecocolic, dan colocolic. Walaupun

intususepsi ileoileocolic dapat terjadi tanpa PLP namun pada 40% kasus

disebabkan oleh PLP. 1,2,3

Anak yang berusia lebih tua cenderung untuk mengalami intususepsi

karena PLP. Pada penelitian yang dilakukan oleh Blakelock dan Beasley

menunjukan bahwa insiden PLP meningkat seiring dengan bertambahnya usia

5

Page 6: REFERAT WIBI

anak, dimana angka kejadiannya meningkat dari 5% pada usia tahun pertama

menjadi 60% pada saat berusia antara 5-14 tahun. Namun perlu diingat walaupun

kelompok usia ini dapat dijadikan predictor untuk PLP tetapi PLP juga dapat

ditemukan pada kelompok usia bayi dan anak yang merupakan tipikal usia untuk

tipe intususepsi ileocolic atau idiopatik. 1,2,3

Dari studi terhadap 1200 anak di Toronto selama lebih dari 40 tahun

didapatkan 11 kasus lymphoma (tumor ganas pada usus halus) yang

bermanifestasi sebagai intususepsi karena PLP. Umumnya pasien berusia lebih

dari 4,5 tahun, sakit kronis selama beberapa bulan, terdapat massa intraabdomen,

dan mengalami penurunan berat badan, dari semua gejala ini ditujukan karena

proses keganasan.2,4

Insiden PLP yang dilaporkan pada anak sangat bervariasi, secara umum

mencapai 12%, tetapi dari pengalaman yang didapatkan di Toronto menunjukan

angka kejadian PLP yang lebih tinggi khususnya pada pasien dengan rekuren

intususepsi yaitu mencapai 33%. Pemeriksaan radiologis memegang peranan

penting untuk menunjukkan ada tidaknya PLP. Navaro dan kawan-kawan

menunjukkan bahwa PLP didapatkan pada 4-5% pasien yang mengalami rekuren

pertama kali sementara pada pasien yang mengalami lebih dari satu kali rekuren

berkisar antara 14-19%. Walaupun multiple rekurensi menunjukkan adanya PLP,

namun pada umumnya pasien rekuren tidak ditemukan adanya PLP. 1,2,4

C. Post Operatif

Post operatif merupakan penyebab ketiga yang paling umum dari

intususepsi dan bermanifestasi sebagai obstruksi usus halus. Ini biasanya

ditemukan setelah laparotomi yang lama dengan retraksi dan manipulasi usus

yang signifikan, hampir selalu hanya melibatkan usus halus tetapi walaupun

jarang dapat juga ditemukan pada ileocolic. Tipikal post operatif intususepsi tidak

memiliki PLP namun pada 40% kasus didapatkan adanya PLP. Diperkirakan tipe

intususepsi ini berkisar antara 5-10% dari semua post operatif obstruksi usus

halus. Resiko terjadinya adhesi usus halus setelah laparotomi untuk alasan apapun

6

Page 7: REFERAT WIBI

sekitar 5% dimana 80%nya menunjukkan gejala obstruksi usus halus dalam waktu

2 tahun pertama setelah laparotomi. Mayoritas obstruksi usus halus terjadi setelah

retroperitoneal diseksi (Wilms’ tumor, neuroblastoma) atau setelah ektensif

prosedur pada usus (abdominoperineal pull-through, Ladd prosedur). Pada

kebanyakan laparotomi, saat operasi berlangsung tidaklah aneh jika ditemukan

satu atau beberapa intususepsi kecil (<2cm) yang melibatkan usus halus yang

selanjutnya akan terkoreksi spontan saat observasi. Hal ini bukanlah sesuatu yang

patologik dan tidak merupakan predictor untuk terjadinya intususepsi dikemudian

hari. 1,2,5

Sejumlah penulis melaporkan terjadinya intususepsi setelah operasi yang

dilakukan pada struktur di luar abdomen. Diduga sebagai implikasi dari abnormal

peristaltic akibat banyak faktor seperti elektrolit imbalance, chemotherapy,

radiotherapy, anesthesia, obat-obatan, dan faktor neurogenik. Dasar diagnosis dari

“true” post operatif intususepsi yang harus diingat adalah tipe ini dapat terjadi dan

sungguh dapat ditemukan khususnya setelah suatu major laparotomi.

Manifestasinya dapat ditemukan pada waktu awal setelah operasi berupa obstruksi

usus halus dan mungkin hanya berupa gejala adinamik ileus setelah operasi. 1,3

Tipe ileocolic merupakan tipe yang paling umum meliputi 85% dari

seluruh kasus intususepsi dan merupakan tipe anatomic utama dari idiopatik

intususepsi. 1,2,3

Tipe kedua yang paling umum adalah ileoileocolic (4%). Tipe ini

mempunyai dua komponen, yang pertama adalah bagian ileoileal yang kemudian

mengalami invaginasi ke dalam cecum dan colon sehingga menjadi ileoileocolic.

Pada beberapa laporan lainnya menyebutkan insiden tipe ini sekitar 5-12%.

Intususepsi ileoileocolic ditandai dengan obstruksi komplit usus halus sehingga

semakin sulit untuk direduksi. Tipe ini dapat ditemukan pada idiopatik intususepsi

tetapi 40%nya memiliki PLP sebagai penyebabnya. 1,2,3

Tipe Appendicocolic, cecocolic, dan colocolic jarang didapatkan dan

hanya berkisar 2,5%. Biasanya berhubungan dengan PLP. 1,2,3

7

Page 8: REFERAT WIBI

Tipe jejunojejunal dan ileoileal juga jarang ditemukan berkisar 2,5% dan

biasanya mempunyai PLP kecuali jika ditemukan pada post operatif intususepsi. 1

Tipe yang terakhir adalah around tube intususepsi. Tipe ini mulai menjadi

permasalahan seiring dengan semakin banyak digunakannya tube untuk

dekompresi dan feeding selama decade terakhir. Hughes dan Connonly

melaporkan intususepsi terjadi pada 16% gastrojejunostomy tube. Komplikasi ini

terjadi pada semua jenis tube dan kateter yang ditempatkan pada jejunum.

Intususepsi bersifat antegrade (prograde), biasanya terjadi pada sepanjang atau

pada akhir gastrojejunostomy. Hal ini akan menyebabkan obstruksi tinggi usus

halus dengan muntah bilious tetapi tanpa disertai kolik ataupun nyeri. Diagnosis

ditegakkan dengan mudah melalui pemeriksaan USG dan masalah ini akan dapat

diatasi dengan mengeluarkan, memindahkan, menarik keluar, atau merubah tube

menjadi gastrostomy atau nasogastric tube. Jarang dibutuhkan tindakan

pembedahan tetapi dapat terjadi rekuren. Kebanyakan intususepsi ini bersifat

transient dan dapat mengalami reduksi spontan sehingga prevalensi sebenarnya

dari kelainan ini kurang diperhitungkan. Bukanlah suatu hal yang aneh jika

intususepsi yang diinduksi oleh tube ditemukan secara incidental dan

asimptomatik dimana terapi yang mungkin diberikan hanya berupa konservatif

klinikal monitoring. Retrograde jejunoduodenogastric intususepsi terjadi ketika

gastrostomy tube berpindah ke dalam duodenum atau jejunum ataupun keduanya

akibat peristaltic gaster. Kelainan ini berkembang tanpa disertai nyeri dengan tube

yang masih berfungsi baik, disertai obstruksi tinggi usus halus berupa muntah

bilious dan tidak disertai dengan feeding yang diberikan. Penyebab terjadinya hal

ini adalah pada waktu menarik gastrostomy tube yang masuk ke dalam tanpa

mengempeskan dahulu balon tube yang masih mengembang. Diagnosis dengan

mudah dilakukan melalui pemeriksaan USG dan tindakan pembedahan mungkin

diperlukan. Intususepsi yang terjadi akibat gastroenterostomi dengan manifestasi

gastric outlet obstruction hampir selalu memerlukan tindakan pembedahan. 2,3

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Toronto pada tahun 1968, angka

rekurensi secara keseluruhan adalah 5%. 11% diantaranya setelah reduksi barium

8

Page 9: REFERAT WIBI

enema (BE), 3% setelah operasi dengan reduksi manual, dan 0% setelah operasi

dengan reseksi segmen intususepsi. Laporan lainnya menunjukkan angka 8-15%.

Pada tahun 1998, dari hasil evaluasi selama 17 tahun di Toronto masih

menunjukkan gambaran yang sama dengan penelitian sebelumnya di tahun 1968. 1

Pola rekurensi yang ditunjukkan oleh 68% pasien anak hanya

menunjukkan satu kali rekurensi dan pada umumnya muncul pada beberapa hari

setelah inisial intususepsi. Beberapa pasien mengalami rekurensi dalam beberapa

jam setelah komplit reduksi berhasil dilakukan. Semakin dekat waktu rekurensi

terjadi dari waktu inisial intususepsi semakin besar kemungkinan tidak

komplitnya inisial reduksi atau bukan merupakan rekurensi. Sementara 32%

pasien anak lainnya mengalami multiple rekurensi yang muncul dalam beberapa

waktu tertentu baik dalam hitungan hari, minggu, bulan ataupun tahun. 2,4,5

Pada tahun 2000, Lin dan kawan-kawan menggunakan premedikasi

dexamethazone intramuskuler sebelum procedure pneumatic air enema (AE)

untuk menurunkan angka rekurensi awal dengan tujuan meminimalkan

hyperplasia kelenjar limfoid. Dari 122 pasien yang menerima steroid selama 6

bulan follow-up hanya satu pasien yang mengalami rekurensi. Tetapi validasi

lebih lanjut mengenai keuntungan penggunaan steroid dalam mencegah rekurensi

belum dipublikasikan. 2,4

Pada sejumlah serial penelitian menunjukkan angka reduktibilitas yang

sangat tinggi untuk intususepsi inisial dan rekuren, masing-masing mencapai

angka 90% dan 95% tanpa adanya perforasi. Tingginya angka ini karena beberapa

faktor seperti: waktu antara munculnya tanda dan gejala rekurensi dan saat tiba di

rumah sakit tergolong singkat rata-rata 8 jam. Hal ini dimungkinkan karena

tingginya tingkat kepedulian orang tua pasien. Semakin dini diagnosis ditegakkan

semakin besar kemungkinan berhasilnya reduksi. Faktor lainnya yang berperan

adalah perfusi pada rekuren intususepsi lebih baik sehingga akan lebih mudah

untuk direduksi, namun hal ini juga akan memperbesar kemungkinan terjadinya

rekurensi. 2,3

9

Page 10: REFERAT WIBI

Disarankan bahwa tindakan pembedahan sebaiknya hanya dilakukan pada

rekuren intususepsi yang tidak tereduksi setelah beberapa kali percobaan reduksi,

jika terdapat perforasi dari enema, atau jika terdapat PLP yang didokumentasikan

lewat pemeriksaan radiologis. 2,4,6

IV. Gambaran Klinis dan Diagnosis

IV.1. Gejala

Gejala klasik yang paling umum (85%) dari pediatrik intususepsi adalah

nyeri perut yang sifatnya muncul secara tiba-tiba, kolik, intermiten,

berlangsung hanya selama beberapa menit, dan pada bayi sering terlihat kedua

kakinya terangkat pada saat berlangsungnya gejala. Setelah episode nyeri

tersebut, bayi akan kelihatan tenang, pucat, dan berkeringat, kemudian untuk

sementara mereka akan kembali pada aktivitas normalnya. Pada anak yang

berusia lebih tua dapat mengeluhkan nyeri perut dan menentukan lokasinya.

Fakta terpenting adalah pada 15% bayi dan anak tidak menunjukkan gejala

nyeri yang jelas. Tidak ditemukannya nyeri perut tetapi disertai dengan

muntah, massa di abdomen, dan perdarahan perektal akan menyebabkan

tertundanya diagnosis (51 jam) hampir dua kali lipat dari waktu rata-rata

dalam penegakkan diagnosis intususepsi. Ravitch menyatakan bahwa

didapatkannya nyeri perut lebih umum pada anak yang berusia di atas 2 tahun.

Tetapi tidak didapatkannya nyeri perut tidak akan mengesampingkan

intususepsi. 2,4,5,6

Ravitch dan Young mendapatkan gambaran klinis intususepsi yang serupa

pada kebanyakan negara, tetapi yang menarik adalah muntah menjadi gejala

inisial yang paling umum (44%) melampaui gejala klasik nyeri perut. Pada

penelitian serial di Toronto selama 25 tahun didapatkan bahwa muntah adalah

gejala kedua yang paling umum setelah nyeri perut. Muntah cenderung

didapatkan pada bayi daripada anak yang berusia lebih tua. Tidak adanya

muntah belum dapat mengeluarkan intususepsi dari kemungkinan diagnosis. 2

10

Page 11: REFERAT WIBI

IV.2. Tanda

Dua tanda klasik intususepsi yaitu massa di abdomen dan perdarahan

perektal ditemukan dengan frekuensi yang hampir sama. Massa abdomen,

yang sering disebut seperti sosis (sausage-like), paling sering teraba pada

bagian kanan atas abdomen dan dapat memanjang ke kiri (epigastrium)

sapanjang lokasi colon transversum. Pada kebanyakan penelitian dilaporkan

tanda ini didapatkan pada 65% kasus tetapi pada penelitian di Toronto tahun

1997 menurun menjadi 22% tanpa penjelasan yang jelas. Massa tersebut

teraba sedikit tegang dan hanya mungkin didapatkan bila bayi atau anak

berbaring terlentang dan tenang di antara dua periode nyeri. Dapat dimengerti

mengapa pada pasien pediatrik dengan intususepsi tanpa nyeri baru dapat

terdiagnosis setelah beberapa waktu kemudian dimana pasien telah terlihat

dalam keadaan syok, pucat dan sakit berat. Pada saat ini massa abdomen dapat

dilihat tanpa harus dipalpasi. Tanda ini juga dikenal sebagai ”signe de Dance”

dimana tidak teraba usus pada kuadran kanan bawah abdomen. Pada beberapa

kasus bagian usus yang mengalami invaginasi masuk sampai jauh ke distal

dan 5% kasus dapat teraba pada pemeriksaan rektum. Pada sebagian kecil

kasus intususeptum dapat mengalami prolaps keluar dari rektum sehingga

sering disalah diagnosis dengan prolaps rekti. Ravitch melaporkan hal ini

ditemukan pada sekitar 3% kasus. Tidak ditemukannya massa abdomen yang

dapat dipalpasi belum dapat menyingkirkan suatu intususepsi. 2,4,5

Tanda kedua yaitu perdarahan perektal, menurut Ravitch didapatkan lebih

sering daripada terabanya massa abdomen (95% pada bayi dan 65% pada anak

yang berusia lebih tua). Pada serial penelitian di Toronto, perdarahan perektal

didapatkan pada 60% kasus di tahun 1968 dan 43% pada tahun 1997.

Perdarahan perektal digambarkan secara klasik sebagai ”a currant jelly

appearance” yaitu BAB darah bercampur lendir. Tanda ini merupakan alasan

utama bagi orang tua setelah nyeri perut untuk datang ke rumah sakit. Perlu

diingat bahwa tanda ini merupakan tanda yang paling terakhir muncul dari

11

Page 12: REFERAT WIBI

suatu intususepsi sehingga tidak ditemukannya perdarahan perektal tidak

menyingkirkan kemungkinan terjadinya intususepsi. 2,4,5,6

IV.3. Diagnosis Klinis

Dengan didapatkannya dua gejala klasik yaitu nyeri abdomen dan muntah

disertai dengan dua tanda klasik yaitu massa abdomen dan perdarahan perektal

akan membantu menegakkan diagnosis intususepsi pada bayi atau anak. Waktu

rata-rata yang diperlukan sebelum kombinasi dari keempat gejala dan tanda ini

membawa kita pada diagnosis sekitar 24 jam (42% dalam 12 jam dan 70% dalam

24 jam). Dari hasil evaluasi terhadap 300 lebih kasus intususepsi dari tahun 1985

sampai 1990 di Toronto waktu rata-rata yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis adalah 36 jam. Namun hanya dibutuhkan 8 jam untuk menegakkan

diagnosis rekuren intususepsi. 2,3,4

Gejala dan tanda klinis intususepsi tidaklah sulit untuk dikenali selama

seorang pemeriksa mengenali dan menyadari kemungkinan terjadinya suatu

intususepsi. Walaupun demikian riwayat nyeri kolik abdomen sangat dibutuhkan

terlebih pada bayi. Biasanya satu, dua, atau tiga dari gejala dan tanda klasik

(muntah, perdarahan perektal, dan massa abdomen) dapat ditemukan untuk

membantu diagnosis. Jika kita menunggu untuk ditemukannya keempat gejala dan

tanda klasik (hanya ditemukan pada 30% kasus) tersebut sebelum menegakkan

diagnosis maka akan terlambat. Tiga dari empat gejala dan tanda klasik tersebut

hanya ditemukan pada 40% kasus, dua dari empat pada 20% kasus, dan satu dari

empat pada 10% kasus. Pada 20% pasien pediatrik dengan intususepsi didahului

dengan diare akibat infeksi virus sebelum munculnya gejala dan tanda klasik,

sehingga menyebabkan penundaan dalam diagnosis. Tidak jarang bayi atau anak

dengan diare tersebut dipulangkan atau dirawat di unit penyakit infeksi dengan

diagnosis yang keliru yaitu gastroenteritis. Penundaan ini dapat menyebabkan

konsekuensi yang serius. Tidak diragukan bahwa diagnosis intususepsi dapat

ditegakkan secara klinis tetapi secara keseluruhan tingkat akurasi diagnosis yang

hanya didasarkan pada klinis hanya mencapai 50%.2,4,5

12

Page 13: REFERAT WIBI

Lima prinsip diagnosis menurut Wansbrough dari hasil penelitiannya pada

lebih dari 600 kasus selama 35 tahun di Toronto tahun 1953 masih dapat

diterapkan yaitu: adalah kewajiban seorang dokter untuk menyingkirkan

kemungkinan intususepsi pada bayi yang menolak untuk makan dan minum atau

muntah selama beberapa jam; pada bayi dengan keadaan demikian harus dicari

ada tidaknya perdarahan perektal atau massa pada abdomen; adanya diare tidak

menyingkirkan kemungkinan intususepsi; anak yang berusia lebih tua dengan

tanda-tanda obstruksi intestinal dapat disebabkan oleh intususepsi; intususepsi

harus dipertimbangkan pada setiap bayi dengan keluhan keluarnya darah melalui

rektum. Perlu ditambahkan juga tentang riwayat nyeri kolik abdomen agar jangan

sampai terlupakan. 2,4,5

V. Diagnosis Radiologis1-7

V.1. Foto Polos Abdomen

Peranan foto polos abdomen dalam membantu mendiagnosis intususepsi

pada pasien anak masih tetap diperdebatkan. Pada tahun 1999 dilakukan

survey pada sejumlah anggota European Society of Pediatric Radiology dan

didapatkan data bahwa 73% radiologis masih menggunakan pemeriksaan foto

polos abdomen secara rutin. 4,5,6

Dari sejumlah data penelitian disimpulkan bahwa peranan foto polos

abdomen sering tidak dapat membantu diagnosis intususepsi dimana tingkat

akurasinya hanya berkisar antara 25-50%. Walaupun demikian terdapat

beberapa tanda karakteristik intususepsi yang bisa didapatkan pada foto polos

abdomen yaitu ”meniscus sign” dan ”target sign”. Disamping itu foto polos

abdomen dapat membantu untuk melihat adanya udara bebas intraperitoneal

sebelum dilakukan reduksi enema. 4,5,7

Di negara-negara maju foto polos abdomen tidak lagi disarankan untuk

mendiagnosis intususepsi pada bayi dan anak. Hal ini dimungkinkan karena

penggunaan USG sebagai sarana diagnostik dan kondisi pasien saat datang

pada umunya masih dalam tahap awal. Sebaliknya di negara-negara

13

Page 14: REFERAT WIBI

berkembang kebutuhan akan foto polos abdomen masih sangat besar karena

kemungkinan ditemukannya peritonitis dan perforasi masih sangat besar

karena tertundanya diagnosis. 4,5,6

V.2. Ultrasonografi (USG)

Pada tahun1987, Pracros dan kawan-kawan melaporkan tingkat akurasi

USG dalam mendiagnosis intususepsi mencapai 100%. Hal yang senada juga

telah dilaporkan oleh sejumlah penelitian lainnya. 4,7,8

Intususepsi mempunyai karakteristik dalam gambaran ultrasonografi

sehingga membuat diagnosisnya sangatlah mudah. Gambaran tersebut adalah

gambaran massa seperti donut atau target berdiameter 3-5cm biasanya ditemukan

pada bagian kanan abdomen. Selain itu keunggulan USG adalah bersifat non-

invasif dan bebas radiasi. Namun yang perlu diingat bahwa USG bersifat operator

dependent sehingga tingkat akurasinya dapat menurun jika dilakukan oleh

radiologis yang kurang berpengalaman. 4,7,8

Keunggulan USG lainnya adalah sangat efektif dalam

mendokumentasikan adanya PLP. Navarro dan kawan-kawan melaporkan USG

mampu menunjukkan adanya PLP pada 66% kasus dimana 26% lebih banyak dari

yang dapat ditunjukkan oleh BE dan 55% lebih banyak dari AE. 4,7,9

Kelebihan USG telah dievaluasi dalam memperkirakan reduksibilitas

suatu intususepsi melalui enema dan adanya nekrosis usus. Tanda-tandanya

meliputi penebalan peripheral hypoechoic rim dari intususepsi, cairan bebas

intraperitoneal, cairan yang terperangkap dalam intususeptum, pembesaran KGB

mesenterium yang tertarik bersama ke dalam intususepsi, PLP, dan yang paling

penting adalah tidak adanya aliran darah pada intususepsi pada pemeriksaan

dengan USG Doppler. 4,6,8

V.3. Kontras Enema

Pemeriksaan colon dengan barium enema (BE) telah menjadi gold standar

untuk diagnosis ataupun untuk menyingkirkan kemungkinan intususepsi di

14

Page 15: REFERAT WIBI

banyak tempat di dunia sampai dengan pertengahan 1980-an, dimana pada saat itu

peranan USG mulai dikenali. Namun di beberapa institusi masih

merekomendasikan kontras barium enema sebagai metode yang tercepat dan

paling murah. Keunggulan teknik ini adalah tingkat akurasinya yang mencapai

100% dan prosedur diagnostik ini sekaligus juga untuk terapi. Kekurangan

metode ini adalah bersifat invasif dan membutuhkan dosis kecil radiasi. Di

samping itu teknik ini tidak dapat menunjukkan ada tidaknya kelainan

intraperitoneal lainnya ataupun keberadaan PLP. 4,7,8

VI. Penatalaksanaan1-7

Penatalaksanaan intususepsi pada bayi dan anak harus dimulai pada saat

pasien tiba di unit gawat darurat dan seorang ahli bedah sudah harus dilibatkan

mulai dari saat itu juga. Resusitasi cairan dan pemasangan NGT harus dilakukan

terlebih pada pasien dengan muntah-muntah. Pemberian antibiotic (termasuk

untuk bakteri anaerobic) perlu dilakukan mengingat kemungkinan diperlukannya

tindakan pembedahan yang membutuhkan reseksi usus. Persiapan darah harus

segera disiapkan untuk kemungkinan transfusi. Sementara hal-hal di atas

dikerjakan permintaan pemeriksaan radiologis harus segera dikonfirmasi sekaligus

untuk keperluan reduksi. Persiapan kamar operasi secara bersamaan harus

disiapkan sehingga pada saat tindakan non operatif tidak berhasil, pasien dapat

dengan segera dilakukan tindakan pembedahan. 1,4,7,9

Pilihan penatalaksanaan cukup sederhana meliputi medikasi (pada situasi

yang jarang dan sangat spesifik), reduksi radiologis (hidrostatik barium enema

atau pneumatic air enema), ataupun pembedahan (reduksi, reseksi, penutupan

perforasi enema, ataupun eksisi PLP secara laparotomi ataupun laparoskopi).

Selama 25 tahun terakhir terjadi perubahan besar pada penatalaksanaa intususepsi

dimana terjadi peningkatan dalam percobaan reduksi radiologis. Jika pada tahun

1968 di Toronto hanya sekitar 75% pasien intususepsi yang menerima percobaan

reduksi hidrostatik dengan barium enema maka pada saat sekarang ini semua

15

Page 16: REFERAT WIBI

pasien intususepsi tanpa melihat riwayat lamanya perlangsungan penyakit

dilakukan percobaan reduksi radiologis baik reduksi hidrostatik menggunakan

barium enema atau kontras water-soluble maupun dengan reduksi pneumatic

menggunakan udara. 4,11

VI.1. Medikal

Pada situasi yang sangat spesifik beberapa kasus intususepsi yang

disebabkan oleh PLP tipe penebalan difus dinding abdomen diterapi dengan

pemberian steroid sebelum, atau bersamaan, dan atau setelah percobaan reduksi

radiologis baik itu gagal atau berhasil. Sejauh ini telah dilaporkan dua jenis

kelainan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi yaitu dua kasus limpoid

hyperplasia dengan keberhasilan 100% dan 7 kasus Henoch-Schonlein Purpura

(HSP) dengan tingkat keberhasilan 50%.1,4,7,8

Mekanisme kerja steroid pada limpoid hyperplasia masih belum jelas.

Kokkonen dan Karttunen berspekulasi bahwa pemberian steroid dapat menekan

reaksi imunologik intestinal terhadap antigen makanan sehingga dapat

menurunkan limpoid hyperplasia. 1,4,7,8

Kebanyakan pasien dengan HSP memiliki gejala gastrointestinal yang

pada inisialnya diterapi secara konservatif, tetapi jumlah laparotomi yang

dilakukan karena komplikasi yang mengancam nyawa sekitar 5-22%. Komplikasi

yang paling sering adalah intususepsi, didapatkan pada 3% pasien HSP. Walaupun

dilaporkan jenis intususepsi ileoileal dan ileocolic sebanding pada HSP tetapi 6

dari 7 pasien memiliki tipe ileoileal. Hanya ileocolic intususepsi yang

memungkinkan untuk dilakukannya percobaan reduksi enema. 1,4,5,12

Kegunaan steroid pada terapi HSP secara umum masih controversial.

Sebuah studi yang membandingkan pasien HSP yang diberikan steroid dan yang

tidak mengungkapkan bahwa morbiditas seperti nyeri gastrointestinal akan

menghilang pada pasien HSP yang diberikan steroid dalam waktu singkat (24-48

jam). Namun dari literature dikatakan bahwa keuntungan penggunaan steroid

adalah untuk menghilangkan gejala yang disebabkan oleh HSP tetapi tidak untuk

16

Page 17: REFERAT WIBI

menyembuhkannya. Efek steroid pada gejala gastrointestinal ini dimungkinkan

oleh kemampuannya untuk mengurangi edema dinding usus. Tetapi tidak

diketahui apakah dengan kelebihannya ini steroid dapat mencegah intususepsi

pada HSP. 1,4,7,8

Bila steroid diberikan sebagai terapi inisiasi pada pasien HSP dengan

intususepsi dan tetap tidak tereduksi maka pasien tersebut harus diobservasi ketat.

Menurut Sonmez dan kawan-kawan terapi konservatif mungkin dilakukan pada

pasien HSP dengan intususepsi usus halus yang kecil selama onsetnya diketahui

dan diagnosisnya telah dikonfirmasi dengan USG dan x-ray, fasilitas operasi

emergensi tersedia serta tim ahli bedah anak yang berpengalaman mengawasi

pasien tersebut. 1,2,8

VI.2. Reduksi Radiologis

Sangatlah penting untuk menyeleksi bayi dan anak sebagai kandidat yang

tepat untuk dilakukannya percobaan reduksi hidostatik atau pneumatic enema,

disamping sangat jarang pasien yang memerlukan pembedahan segera. Seleksi ini

dapat dilakukan sementara resusitasi cairan berlangsung dan pasien berada dalam

kondisi yang cukup stabil. Beberapa ahli berpendapat bahwa kontraindikasi

dilakukannya reduksi enema bila ditemukan adanya peritonitis dan udara bebas

dalam intraperitoneum. Namun kondisi tersebut sangat tidak lazim ditemukan

pada pasien-pasien intususepsi dari pengalaman di Toronto. Beberapa faktor yang

dapat menjadi indicator terjadinya perforasi dengan barium enema yaitu, usia

kurang dari 6 bulan, riwayat gejala selama 72 jam, dan obstruksi komplit usus

halus. 7,8,10

Saat ini dikenal empat teknik reduksi radiologis non-operatif yang telah

digunakan secara luas yaitu: reduksi pneumatic dengan bimbingan fluoroscopic,

reduksi pneumatic dengan bimbingan USG, reduksi hidrostatik dengan bimbingan

fluoroscopic, dan reduksi hidrostatik dengan bimbingan USG. Selama beberapa

tahun terakhir terdapat trend perubahan dari reduksi hidrostatik ke teknik

17

Page 18: REFERAT WIBI

pneumatic dengan bimbingan USG. Jelasnya keuntungan penggunaan USG yang

dapat menghindarkan paparan radiasi, menyediakan informasi yang lebih banyak

daripada yang bisa diberikan oleh teknik fluoroscopic, tingkat akurasi yang tinggi

untuk memonitor proses reduksi, mampu memvisualisasikan semua komponen

intususepsi termasuk udem katup ileocecal post reduksi, dan dapat dengan mudah

mengenali PLP, menjadikan USG sebagai pilihan pertama. Kekurangan utamanya

adalah diperlukannya seorang radiologis yang benar-benar berpengalaman dalam

menggunakan USG dalam membimbing reduksi. Selain itu pengalaman teknik

reduksi dengan bimbingan USG untuk mengenali perforasi masih kurang.7,8,10

Gambar 2. Reduksi RadiologiSumber : Coran’s Pediatric Surgery

a. Hidrostatik Barium Enema

Keunggulan utama penggunaan teknik reduksi hidrostatik barium enema

adalah sebagian besar radiologis sangat familiar dan memiliki banyak pengalaman

dengan penggunaan bahan kontrasnya serta teknik fluoroscopic untuk metode ini.

Teknik ini sederhana, aman, dan effisien. Kerugian dari penggunaan barium dan

media cair lainnya adalah pengunaannya yang “messy”, jika perforasi terjadi akan

menyebabkan peningkatan kontaminasi intraperitoneum khususnya untuk barium. 7,8,10,11

Teknik ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 dengan

menggunakan larutan saline. Cairan dimasukkan melalui rectum menggunakan

18

Page 19: REFERAT WIBI

rectal tube dari ketinggian 3 kaki (91,44 cm) di atas meja radiologi selama 3 menit

kemudian dapat dicoba sampai dengan 3 kali. 7,8,10

Teknik hidrostatik barium enema yang digunakan di Toronto adalah

modifikasi Ravitch. Larutan Barium yang masukkan dimulai pada ketinggian 3

kaki, tetapi secara perlahan dapat dinaikkan ketinggiannya jika diperlukan.

Ravitch menyarankan untuk melanjutkan BE walaupun dalam waktu 10 menit

tidak terjadi perubahan, namun tidak melebihi 45 menit. Terdapat variasi

kecepatan yang sangat besar pada saat reduksi tercapai, dimana ada reduksi yang

prosesnya berlangsung cepat sebaliknya ada pula yang memakan waktu yang

cukup lama. Biasanya terdapat perhentian saat barium mencapai lokasi

intususepsi. Secara tipikal kolum barium yang awalnya berbentuk lonjong

berubah menjadi konkaf dan berbentuk meniscus di sekitar ujung distal

intususepsi. Ketika intususepsi bergeser, bentuk meniscus akan berubah mendatar.

Karena intususeptum mengisi lumen intususipien yang relative lebih besar maka

barium akan merembes masuk di antara lapisan keduanya dan memberikan

gambaran karakteristik “coiled spring appearance”. Pengisian kontras dalam

cecum kadangkala berlangsung lambat sehingga akan terjadi distensi untuk

sementara waktu sebelum secara tiba-tiba terjadi pengaliran cepat barium ke

dalam distal ileum yang menandakan telah tereduksi. Jika ileum tidak terisi

dengan bebas sepanjang beberapa kaki maka reduksi belum dapat dikatakan

komplit. Proses ini mungkin perlu dilakukan kembali jika barium keluar kembali

melalui rectum atau rectal tube yang digunakan posisinya terdorong keluar atau

tercabut. Pada saat reduksi berhasil bayi atau anak akan terbebas dari rasa nyeri

dan umumnya akan tertidur. 7,8,10

b. Pneumatik Air Enema

Teknik reduksi pneumatik dengan fluoroscopi telah diterima secara luas

karena beberapa keuntungan yaitu: mudah dan cepat dikerjakan, kurang ”messy”,

paparan radiasi yang lebih sedikit, lebih nyaman, angka perforasi yang lebih kecil

serta kontaminasi peritoneal yang lebih sedikit. Kekurangan metode ini adalah

19

Page 20: REFERAT WIBI

udara dapat memasuki terminal ileum tanpa menghasilkan reduksi komplit dari

intususepsi ileocolic. Radiologis di Toronto memulai prosedur ini dengan

memberikan tekanan pneumatik rendah, 50 mmHg yang terkadang bisa berhasil

mereduksi, bila tidak tekanan dinaikkan secara perlahan-lahan sesuai kebutuhan

tetapi tidak melebihi 110-120 mmHg. 7,8,10

VI.3. Metode Untuk Meningkatkan Angka Reduksi1,5,6

Beberapa penulis menyarankan beberapa praktek tertentu yang oleh

mereka diyakini dapat meningkatkan angka reduksi enema.

a. Medikal

Beberapa ahli merekomendasi penggunaan steroid sebelum dan atau pada

saat reduksi dilakukan. Penjelasan mengenai hal ini telah diuraikan di bagian

medikal sebelumnya. 7,8,11

Sejumlah ahli lainnya menyarankan penggunaan relaxan otot polos

(khususnya glukagon) dan sedasi untuk membantu percobaan reduksi. Tetapi hasil

yang didapatkan sangat bervariasi dan belum dapat dimengerti secara jelas. 8,9,10

Pada tahun 1992, Mayer melakukan survey dan mendapatkan bahwa

glukagon dan sedasi tidak banyak digunakan oleh para ahli pediatrik radiologi di

Amerika Utara. Hasil yang serupa juga didapatkan pada survey tahun 1999 yang

dilakukan oleh European Pediatric Radiologists, dimana hanya 35% sedasi

digunakan secara rutin. Secara umum masih sedikit bukti klinis yang mendukung

penggunaan sedasi dalam reduksi intususepsi. 8,9,10

b. Delayed Repeat Enema

Pada masa lalu, intervensi operasi segera merupakan standard praktek jika

intususepsi tidak berhasil direduksi dengan teknik enema. Tetapi pada saat

pembedahan didapatkan 10% kasus yang telah tereduksi dan 40% lainnya dapat

dengan mudah direduksi manual. Sehingga secara spekulatif dapat dikatakan

bahwa tindakan pembedahan dapat dihindarkan pada 50% kasus jika dilakukan

20

Page 21: REFERAT WIBI

pendekatan yang berbeda pada teknik enema yang dilakukan oleh radiologis.

Dengan pertimbangan ini maka suatu tindakan pembedahan hanya diperlukan

pada kasus-kasus yang sulit untuk direduksi manual atau intususepsinya telah

mengalami nekrosis, perforasi akibat enema, atau adanya PLP. Guo dan Collins

melaporkan prosedur delayed repeat enema sebelum pasien dibawa ke kamar

operasi. Namun dari laporan mereka dan sejumlah laporan lainnya tidak secara

jelas menyatakan interval waktu di antara prosedur ulangan tersebut. Walaupun

delayed repeat enema banyak dibicarakan dalam literatur namun prosedur ini

telah berhasil diterapkan di Toronto dan di beberapa institusi lainnya selama

bertahun-tahun. Dari angka keberhasilan teknik enema radiologik saat ini yang

mencapai 90% hanya sekitar 12% yang merupakan kontribusi dari delayed repeat

enema. Reduksi parsial dan interval waktu antara delayed repeat enema

memungkinkan penurunan kongesti vena dan edema dinding usus sehingga

memfasilitasi reduksi residual intususepsi yang telah berkurang kongesti pada saat

prosedur ulangan. 8,9,10

Guideline untuk delayed repeat enema telah dibuat oleh Toronto Study

berdasarkan pengalamannya sebagai berikut:

1. Durasi gejala dan tanda kurang dari 36 jam

2. Suhu badan pasien kurang dari 38°C

3. Nadi kurang dari 150 per menit

4. Intususepsi bergerak (lebih dekat ke katup ileocecal lebih baik)

5. Pasien menjadi asimptomatik

6. Interval antara percobaan reduksi 2-4 jam kelihatannya sesuai dan aman

walaupun interval yang lebih lama mungkin untuk dicoba selama kondisi

pasien stabil.

Pendekatan ini membutuhkan kerjasama yang baik antara pediatrik radiologis

yang berpengalaman dan ahli bedah anak. Resiko akan melampaui keuntungannya

kecuali jika bayi dan anak dimonitor secara ketat di antara percobaan delayed

repeat enema. 8,9,10,11

c. Perawatan Pasca Reduksi

21

Page 22: REFERAT WIBI

Setelah percobaan reduksi enema bayi atau anak harus diobservasi ketat

minimal 24-48 jam, tergantung pada keadaan umum pasien dan keberhasilan

reduksi enema. Jika intususepsi dikenali pada tahap awal, anak belum

menunjukkan gejala muntah, reduksi enema berhasil dengan mudah, orang tua

dapat diandalkan, dan bertempat tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari

rumah sakit maka pasien dapat dipulangkan. Pada umumnya pasien dirawat inap

untuk obeservasi dan terapi lebih lanjut. 8,9,10

VI.4. Pembedahan (Laparotomy)1-4,7

Bila semua penanganan non-operatif yang telah disebutkan sebelumnya

tidak berhasil maka tindakan pembedahan diperlukan. Dari pengalaman di

Toronto didapatkan sekitar 10% kasus yang harus dilakukan pembedahan.

Insisi pilihan yang biasanya dilakukan adalah insisi transverse pada sisi

kanan abdomen dapat di atas ataupun di bawah umbilicus. Saat penderita di

anestesi massa intususepsi biasanya teraba dan hal ini dapat mempengaruhi lokasi

insisi yang dilakukan oleh operator. Lokasi insisi alternative adalah insisi midline

atas dengan fleksibilitas tergantung pada apa yang ditemukan dan apa yang harus

dikerjakan, insisi dapat diperlebar ke bawah melingkari umbilicus. Ukuran dan

posisi insisi harus memungkinkan operator menjangkau intususepsi yang biasanya

berada di bagian kanan abdomen, terkadang di bagian epigastrium, dan yang

paling jarang dapat berada dibagian kiri abdomen. Semakin distal suatu

intususepsi semakin sukar untuk direduksi. Sekum pada bayi biasanya tidak

terfiksasi dengan baik sehingga dengan setiap jenis insisi yang disebutkan di atas

dapat dijangkau dengan mudah. 8,9,10,11

Pada saat memasuki rongga abdomen, usus yang nekrosis dapat

terdiagnosis melalui warna cairan peritoneum yang berwarna serosanguineus.

Massa intususepsi biasanya dapat dengan mudah dikeluarkan dari tempat insisi.

Selanjutnya kunci keberhasilan dari reduksi manual adalah pinching (menekan

dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk) secara konstan dan perlahan-lahan,

squeezing (seperti menekan tube untuk mengeluarkan isinya), atau milking ke arah

22

Page 23: REFERAT WIBI

proximal pada bagian distal intususepsi melalui dinding intususepien. Ini dapat

dibantu oleh asisten dengan menarik intususepsi secara perlahan dan hati-hati

keluar dari intususepien. Ravitch berpendapat bahwa tindakan menarik intususepsi

tidak boleh dilakukan sementara Gross mengatakan hal itu dapat saja dilakukan

dengan sangat hati-hati. Kombinasi manuver di atas (secara primer pinching,

squeezing, atau milking) merupakan bagian esensial dari reduksi manual dan

harus dilakukan secara perlahan-lahan dan terus-menerus tanpa interupsi. Efek

teknik ini adalah meningkatkan tekanan intralumen seperti halnya pada enema.

Ravitch menyarankan pemberian injeksi minyak mineral steril secara hati-hati di

antara intususeptum dan intususepien karena dapat membantu reduksi. Namun

Ravitch menolak memasukkan jari atau klem Kelly pada celah ini untuk

mengevakuasi cairan edema. Dengan cara yang serupa jari telunjuk dapat

dimasukkan di antara intususepsi dan intususepien untuk membuat celah yang

lebih lebar di antara keduanya, teknik ini dikenal dengan modified Hutchinson’s

maneuver. 8,9,10,12

Banyak ahli bedah yang melakukan appendektomi setelah reduksi manual

berhasil diikuti dengan beberapa buah jahitan sero-serosal dari ileum terminalis ke

colon ascenden dengan tujuan mencegah terjadinya rekurensi. Namun hal ini

masih hangat diperdebatkan. 8,9,10

Gross mengatakan hanya dengan melalui pengalaman, seorang operator

akan tahu berapa lama percobaan reduksi manual dilakukan. Kadang-kadang lebih

baik meluangkan waktu 20 menit daripada langsung melakukan reseksi. Akan

tetapi percobaan reduksi yang berlangsung terlalu lama dan tidak berhasil akan

memperberatkan kondisi anak. Beberapa ahli bedah lainnya berpendapat adanya

“serosal tear” pada saat percobaan reduksi manual merupakan indikasi

dilakukannya reseksi karena usus yang belum tereduksi telah mengalami nekrosis.

Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Gross menulis bahwa tear yang berukuran

kecil di dalam lapisan serosa usus tidak berbahaya, tetapi ini merupakan tanda

peringatan bagi operator bahwa lapisan muskularis dan mukosa tidak dapat lagi

bertahan jika diberikan tekanan. Jika peritoneal tear terlihat panjang dan dalam,

23

Page 24: REFERAT WIBI

maka penempatan beberapa jahitan segera akan cukup untuk memperbaikinya.

Bila reduksi intususepsi masih berlangsung sekalipun didapatkan serosal tear,

operator harus tetap terus melanjutkan reduksi manual. Tetapi jika didapatkan

serosal tear dan tidak ada kemajuan dalam reduksi maka reseksi intususespsi

yang tidak tereduksi harus dilakukan biasanya hemikolektomi kanan. Bila

didapatkan intususepsi ileoileocolic, maka reduksi akan selalu berlangsung dalam

dua tahap, pertama komponen ileocolic kemudian setelah melewati katup

ileocecal diikuti oleh komponen ileoileal. Setelah tereduksi bagian usus yang

menjadi leading area intususeptum dapat berwarna kebiruan, kongesti, dan

viabilitasnya mungkin meragukan. Tetapi dengan kesabaran dan menempatkan

kassa yang dibasahi dengan larutan saline hangat untuk membungkus bagian usus

tersebut maka dalam waktu 5-10 menit hampir selalu usus tersebut akan kembali

berwarna merah muda. Namun jika viabilitas usus yang mengalami intususepsi

(biasanya distal ileum) tetap meragukan maka harus direseksi. Konsep yang

menyatakan bahwa tidak mungkin mereduksi usus nekrotik pada pasien anak

tidaklah selalu benar. Ein dan Stephens mendapatkan 50% dari non-viabel

intususepsi dapat direduksi manual sebelum direseksi. Pada saat reduksi operator

harus mempertimbangkan keuntungan prosedur tersebut dengan resiko perforasi

dan kontaminasi dibandingkan dengan reduksi yang berhasil dan hanya

membutuhkan reseksi usus yang lebih kecil pada bagian yang mengalami nekrosis

saja dimana jauh lebih kecil daripada melakukan reseksi massa intususepsi

ileocolic atau hemicolectomi kanan. 8,9,10,12

Operasi untuk perforasi yang terjadi pada saat reduksi enema (<1%)

memiliki permasalahannya sendiri. Biasanya perforasi terjadi sebelum intususepsi

tereduksi dan sering terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Walaupun

kebanyakan dari intususepsi ini memiliki bagian usus yang nekrotik namun 50%

dapat direduksi manual setelah perforasinya di tutup dengan klem usus sehingga

dapat mengurangi panjang usus yang harus direseksi. Tetapi jika reduksi tidak

berhasil dilakukan maka reseksi dilakukan mulai dari dekat lokasi perforasi

bersama seluruh massa intususepsi. Perforasi akibat cairan hidrostatik enema

24

Page 25: REFERAT WIBI

biasanya menyebabkan colon tear yang besar, dan jika barium yang digunakan

maka mixture barium akan tetap berada dalam rongga peritoneum dan akan

terlihat gambaran permanent pada pemeriksaan radiologis seperti “snowstorm”.

Barium merupakan activator kuat untuk sel-sel fagositik yang dapat menyebabkan

melemahnya respons fagositik terhadap bakteri sehingga dapat menyebabkan

memanjangnya efek samping akibat kontaminasi fecal barium. 8,9,1,11

Perforasi yang terjadi pada penggunaan kontras water-soluble saat reduksi

enema akan menyebabkan masuknya banyak cairan dan fecal material ke dalam

cavum peritoneum sehingga meningkatkan resiko fecal kontaminasi walaupun

tidak seberat barium. Sebaliknya perforasi yang terjadi dengan penggunaan

pneumatic AE akan menyebabkan ukuran lubang perforasi yang lebih kecil dan

kontaminasi peritoneum yang lebih sedikit sehingga mudah untuk dievakuasi.

Udara bebas dalam peritoneum lebih mudah dikenali dengan peralatan

fluoroscopic modern.

Kadang, segera setelah perforasi terjadi pada saat masih berada di meja

radiologi dapat ditemukan adanya tension pneumoperitoneum yang biasanya

simptomatik dan membutuhkan aspirasi jarum secepatnya (paling baik dilakukan

pada midline di atas umbilicus dengan jarum 18 G). Hal ini dapat dihindarkan

dengan segera menghentikan prosedur pada saat udara bebas dalam peritoneum

terdeteksi dan membuka rectal enema tube untuk dekompresi colon. Jika tidak

dibutuhkan reseksi maka lubang perforasi biasanya cukup dilakukan local

trimming kemudian ditutup primer. 8,9,10

Bila reseksi dari bagian yang tidak tereduksi atau usus yang nekrosis

dibutuhkan maka anastomosis primer end to end dapat dilakukan pada

kebanyakan kasus. Jika bayi atau anak berada dalam keadaan sakit berat, setelah

dilakukan reseksi kedua ujung usus dieksteriorisasikan sebagai temporer stoma.

Di saat sekarang ini hal ini tidak biasa ditemukan. 8,9,10

Jika reduksi manual berhasil dilakukan khususnya pada intususepsi

ileoileocolic harus dicek ada tidaknya PLP, yang biasanya adalah divertikulum

25

Page 26: REFERAT WIBI

Meckel atau polip ileal distal, bila ditemukan harus direseksi. Pada intususepsi

yang disebabkan oleh PLP dan berhasil direduksi dengan enema akan terlihat

gambaran residual filling defect yang tidak menghilang setelah beberapa hari

seperti halnya edema katup ileocecal pada pemeriksaan enema atau USG. PLP

harus direseksi melalui operasi elektif. 8,9,10

VII. Komplikasi1-7

a. Radiologik

Komplikasi utama dari percobaan reduksi enema adalah perforasi. Angka

kejadian perforasi dari keseluruhan teknik enema sangat rendah jika dilakukan

oleh ahli yang berpengalaman yaitu kurang dari 1%.8,9,10,12

b. Pembedahan

Komplikasi pembedahan yang dapat ditemukan adalah seperti halnya pada

komplikasi laparotomi umumnya seperti sepsis, infeksi luka operasi dan wound

dehiscence. Komplikasi yang dapat timbul kemudian (late complication)

umumnya dalam kurun waktu 2 tahun post operasi adalah obstruksi usus halus

akibat adhesi didapatkan pada sekitar 5% kasus. 1,5

26

Page 27: REFERAT WIBI

DAFTAR PUSTAKA

1. Ein SH & Daneman A. Intussusception. Dalam: Grosfeld JL, O’Neill JA,

Coran AG, Fonkalsrud EW, Pediatric Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia:

Mosby Elsevier; 2006. h. 1313-41.

2. Fallat ME. Intussusception. Dalam: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP,

Pediatric Surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h.

533-42.

3. Waag KL. Intussusception. Dalam: Puri P, Hollwarth M, Pediatric Surgery.

Berlin: Springer-Verlag; 2006. h. 313-20.

4. Berrocal T & Del Pozo G. Imaging in Pediatric Gastrointestinal Emergencies.

Dalam: Devos AS & Blickman JG, Radiological Imaging of the Digestive

Tract in Infants and Children. Berlin: Springer-Verlag; 2008. h. 36-45.

5. Digant, Shastri M, Seth R, Dessai E. "Ultrasound guided reduction of an

ileocolic intussusception by a hydrostatic method by using normal saline

enema in paediatric patients: a study of 30 cases." Journal of clinical and

diagnostic research: JCDR 6.10 (2012): 1722.

6. Abraham, Mohan K., et al. "A simple and safe technique for pneumatic

reduction of intussusception." Asian Journal of Surgery 29.3 (2006): 170.

7. Gilmore, Andrea W, Martin R, Milton T. "Management of childhood

intussusception after reduction by enema." The American journal of

emergency medicine 29.9 (2011): 1136-40.

8. Karadağ, Çetin Ali, et al. "Ultrasound-guided hydrostatic reduction of

intussusception with saline: Safe and effective." Journal of pediatric

surgery (2015).

9. Fallon, Sara C., et al. "Risk factors for surgery in pediatric intussusception in

the era of pneumatic reduction." Journal of pediatric surgery 48.5 (2013):

1032-6.

10. Bai, Yu Zuo, et al. "Ultrasound-guided hydrostatic reduction of

intussusceptions by saline enema: a review of 5218 cases in 17 years." The

American journal of surgery 192.3 (2006): 273-5.

27

Page 28: REFERAT WIBI

11. Fragoso, Ana C, et al. "Pneumatic reduction of childhood intussusception. Is

prediction of failure important?." Journal of pediatric surgery 42.9 (2007):

1504-8.

12. Fike, Frankie B., et al. "Predictors of failed enema reduction in childhood

intussusception." Journal of pediatric surgery 47.5 (2012): 925-7.

28