referat tetanus

45
BAB I PENDAHULUAN Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal (kematian). 1,2 Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan sekitar 800.000 – 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik. 3 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus. 1

Upload: doddy-ronosulistyo

Post on 24-Dec-2015

54 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Referat by UIN

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Tetanus

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan

neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin

kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal

(kematian).1,2

Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun

berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat

mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan

sekitar 800.000 – 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan

penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi

komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik.3

Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan

yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan

penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.

1

Page 2: Referat Tetanus

BAB II

TETANUS

2.1 Definisi

Tetanus merupakan suatu gangguan neuromuskuler akut berupa peningkatan tonus

otot dan spasme yang disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman

anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya

tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1,2

2.2 Mikrobiologi

Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-

mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang

peliharaan dan manusia.1,2,3 Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang

khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash.

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak,

dan merupakan bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan

tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat

bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari,

spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan

pada otoklaf 1200C selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak

jarang ditemukan pada feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi

dalam bentuk vegetatifnya.1,2,3 dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan

pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.

Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk

heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan

reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan

untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari

Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat

homolog. 3

2

Page 3: Referat Tetanus

Gambar 1. Clostridium Tetani4

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin.

Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanoospasmin adalah neurotoksin dan

menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah

satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah

2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.1,2

2.3 Epidemiologi

Tetanus terjadi di seluruh dunia tetapi yang paling sering ditemui di daerah-daerah

padat penduduk, tempat yang panas, iklim lembab dengan tanah kaya akan bahan organik.

Organisme ditemukan terutama di tanah dan usus saluran hewan dan manusia.5

Gambar 2. Penyebaran kasus tetanus di USA (2001-2008)5

3

Page 4: Referat Tetanus

Transmisi terutama oleh luka yang terkontaminasi (dengan atau tanpa gejala), baik

itu luka besar ataupun kecil. Data-data terbaru melaporkan bahwa proporsi yang lebih

tinggi dari pasien memilikiluka ringan, mungkin karena luka berat lebihdikelola dengan

baik. Tetanus bisa didapat oleh tindakan operasi, luka bakar, luka tusukan yang dalam,

luka robek,otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan hewan,aborsi, dan

kehamilan.3

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara

adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,

tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.6

Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua

kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).

Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%

kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100

kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit

7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%

kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.5,6,7

2.4 Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif

bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman

ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah

tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion

spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar

ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal

kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya

menyebar ke SSP. 1,2

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan

saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik

sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga

terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman

4

Page 5: Referat Tetanus

atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi

kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia

timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami

kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,

sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,

saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan

irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf

otonom. 1,2,3,6

Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup

lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai gnada dengan

berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan

(50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah

oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua

rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino

memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik

untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin

yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida

GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika otkisn yang dihasilkan banyak, ia

dpat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf

di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan

saraf spinal.1,2,3

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf

otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan

mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh,

gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi

dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak

jelas. 1,2,3

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang

menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai

ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin

merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang

mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase

5

Page 6: Referat Tetanus

zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegahperlepasan

neurotrnasmiter. 1

Gambar 3. Mekanisme neurotoksin botulinum 7

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin

menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan

neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang

menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik

ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik

preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik

juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah

neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang

mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron

motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat

medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek

konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung

neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada

paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah

pemulihan.1,3

6

Page 7: Referat Tetanus

Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan

menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks

inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis

berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau

ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur

aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer

tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,3

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya

kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma

yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus

berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang

bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di

dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf

terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem

saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf,

serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini

menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus

generalisata. 1,3

Pengaruh terhadap respirasi

Rigiditas otot dan spasme dari dinding dada, diafragma, dan abdomen dapat

mengakibatkan defek restriktif. Spasme faring dan laring juga sebagai penyebab gagal

napas. Penurunan mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk oleh karena rigiditas,

spasme dan efek sedasi memungkinkan terjadi atelektasis dan meningkatnya resiko

pneumonia. Ketidakmampuan menelan dari adanya saliva berlebihan dan sekresi mukus

brochial, adanya spasme laring, penigkatan tekanan intrabdominal, sering menyebabkan

aspirasi. Dapat terjadi ketidakefektifan dari ventilasi sehingga konsekuensinya dapat

terjadi hipoksia sedang hingga berat.3

Pengaruh terhadap kardiovaskular

7

Page 8: Referat Tetanus

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan

gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada

tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :

o Kendala etik

o Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,

infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-

basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

o Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik

mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

Pengaruh terhadap ginjal

Pada kondisi tetanus derajat berat dapat mengakibatkan penurunan dari laju filtrasi

glomerulus dan menurunnya fungsi tubulus ginjal. Penyebab paling sering dari gagal

ginjal dalam hal ini adalah adanya dehisrasi, sepsis, rhabdomiolisis, perubahan dari

aliran darah ginjal oleh katekolamin. Dapat juga terjadi karena poliuri atau oliguria,

oleh adanya instability autonomic. Dari gambaran histologi menunjukkan normal atau

adanya nekrosis tubular akut.3

Gangguan Metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya

kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan

perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat

dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan

adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta

penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak

dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem

pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein

yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme

anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan

8

Page 9: Referat Tetanus

sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak

cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa

pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap

toksin.

2.5 Manifestasi klinis

Tetanus biasanya berhubung dengan adanya fokal luka. Kontaminasi luka terhadap

tanah, pupuk, besi berkarat dapat menimbulkan tetanus. Dapat juga berasal dari luka bakar,

ulkus, ganggren, luka gigitan ular, otitis media, sepsis aborsi, proses kelahiran, injeksi

intramuskular, dan pembedahan. Keadaan ini biasa terjadi pada luka ringan mencapai

lebih dari 50% karena tidak cukup dalam hal penanganan luka tersebut.3

Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,

kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan

masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah

mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka

yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus lokal

tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala

yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus memperhatikan

apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus. Yang paling

sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa oleh pasien

adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus)

selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku

punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena

kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita terganggu dengan proses

menelan. 1,2,8

Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada

umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang

merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena

rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak

terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa

nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan

9

Page 10: Referat Tetanus

anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi

berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang

menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan keseimbagan cairan dan elektrolit.1,2,8

Tetanus generalisata

Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang

ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median

onset setelah trauma adalah 7 hari. 1,2

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi

otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut,

sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus

atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang

menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot

untuk menelan dan menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal

dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas

otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan

gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon

dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan

kesadaran tidak terpengaruh. 1,2

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.

Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,

stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi

berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga

menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus

menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.

Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme

faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya

aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di

seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali

terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh

10

Page 11: Referat Tetanus

tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal

dijmpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah

berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang

berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi

gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum

terjadi dan mortalitasnya tinggi.

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak

nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,

bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat

perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan

kekuatan jantung. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain

mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare,

dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan

gangguan otonomik. 1,2

Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal

apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari

ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan

tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong

umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit

menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum.

Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada

yang bertahan hidup. 1,2

Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas

hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin

pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan

dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.

Namun demikian secara umum prognosismya baik. 1,2

11

Page 12: Referat Tetanus

Tetanus sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi

setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus

dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia

dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1,2

2.6 Perjalanan klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus

neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Periode

inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan

rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)

bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat

keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan

spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari

setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu

tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson

terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4

minggu. 1,2,3

2.7 Derajat Keparahan Tetatus

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Seperti

skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Namun sistem yang paling sering dipakai

adalah sistem yang dilaporkan oleh Ablett.1

Tabel 1. Skoring Tetanus berdasarkan Ablett1

I (ringan ) Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan

pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan

sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi

pernafasan lebih dari 30 x/ menit, disfagia ringan.

III (berat) Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme dan kejang spontan

12

Page 13: Referat Tetanus

berkepajangan, yang berlangsung lama. Gangguan pernapasan dengan

takipnea > 40 x/menit, kadang apnea, disfagia berat dan takikardia >

120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat

dan menetap.

IV

(sangat berat)

Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana

dijumpai hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi

relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Tabel 2. Skoring Tetanus berdasarkan Dakar13

 

Prognostic  Factor Score 1 Score 0

Incubation period < 7 days ≥ 7 days or unknown

Period of onset < 2 days ≥ 2 days

Entry site Umbilicus, burn, uterine,

open fracture, surgical

wound, IM injection

All others plus unknown

Spasms Present Absent

Fever > 38.4oC < 38.4oC

Tachycardia Adult   > 120 beats/min

Neonate > 150 beats/min

Adult   < 120 beats/min

Neonate < 150 beats/min

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut :

Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas <10%

Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas10-20%

Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%

Skor 5-6 :tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%

Tabel 3. Skoring Tetanus berdasarkan Phillips13

13

Page 14: Referat Tetanus

Factor Score

Incubation Time

< 48 hours 5

2-5 days 4

5-10 days 3

10-14 days 2

> 14 days 1

Site of infection

Internal and umbilical 5

Head, neck, and body wall 4

Peripheral proximal 3

Peripheral distal 2

Unknown 1

State of protection

None 10

Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8

Protected > 10 years ago 4

Protected < 10 years ago 2

Complete protection 0

Complicating factors

Injury or life threatening illness 10

Severe injury or illness not immediately life threatening 8

Injury or non life threatening illness 4

Minor injury or illness 2

ASA Grade 1 0

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa

inkubasi, port d entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan

jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi: a) tetanus

ringan (skor < 9), b) tetanus sedang (skor 9-18), dan c) tetanus berat (skor > 18). 8

Tabel 4. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia13

Grade 1 (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada

14

Page 15: Referat Tetanus

distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia

Grade 2 (sedang): Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga

sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥30 kali/menit,

disfagia ringan

Grade 3 (berat): Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan, yang

memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥40

kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥120

kali/menit, keringat berlebih, dan perningkatan salivasi

Grade 4 (sangat

berat):

Keadaan seperti grade 3, ditambah disfugsi otonom berat yang

melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap

(>160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik

<90 mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti

hipotensi.

2.8 Diagnosis Tetanus

Diagnosis tetanus mutlak berdasarkan pada gejala klinis; tidak memerlukan

konfirmasi dari hasil laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa, membutuhkan

setidaknya satu dari tanda-tanda berikut: trismus (ketidakmampuan untuk membukamulut)

atau risus sardonicus (spasme berkelanjutan dari otot-otot wajah); atau kontraksi otot yang

menyakitkan. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayatcedera atau luka, tetanus juga

dapat terjadi pada pasien yang tidak mampu mengingat lukaatau cedera yang spesifik.1,5

Tetanus tidaklah mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah

diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka

baiknya dilakukan kultur, pada kasus yang dicurigai tetanus. Biakan anaerob dari jaringan

luka yang terkontaminasi didapat organisme, tetapi kultur positif bukan merupakan bukti

bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.1,5

Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil normal. Elektromiogram

mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya

interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik

dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat. Kadar

15

Page 16: Referat Tetanus

antitoksi serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tida mungkin

terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pad kadar antitoksin yag protektif.1,5

2.9 Diagnosis Banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sulit. Sekali dijumpai

dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan

pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan serum

aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang

lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran

yang tetap normal.11

1. Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan

cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan

glukosa menurun.

2. Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi

dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,

kejang bersifat klonik.

4. Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat

dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan

biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.

6. Retropharyngeal abses

Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

7. Tonsillitis berat

Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.

8. Efek samping fenotiasin

16

Page 17: Referat Tetanus

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal.

Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.

9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis

leher dan spondilitis leher.

Berikut ini tabel yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus :

Tabel 5. Diagnosis Banding Tetanus11

Penyakit Gambaran differential

Infections

Meningoencephalities

Polio

Rabies

Lesi Oropharyngeal

Peritonitis

Demam, trismus (-), sensorium depresi, CSF abnormal

Trismus (-), paralisis tipe flaccid, CSF abnormal

Gigitan binatang, trismus (-), hanya oropharyngeal spasme

Hanya lokal, rididitas dan spasme seluruh tubuh (-)

Trismus dan spasme seluruh tubuh (-)

Kelainan Metabolik

Tetany

Keracunan strchynne

Reaksi Phenothyazine

Hanya corpocapedal dan laryngeal spasm, hipocalcemia

Relaksasi komplit diantara spasme

Dystonia, respon dgn diphenhidramine

Penyakit CNS

Status epileptikus

Hemmorrage atau tumor

Sensorium depresi

Trismus (-), sensorium depresi

Kelainan Physichiatric

Hysteria Trismus inkonstan, relakasasi penuh diantara spasme

2.10 Pencegahan

1) Imunisasi Aktif

Tetanus Toksoid

17

Page 18: Referat Tetanus

Tetanus toksoid mengandung formaldehyde-treated toxin. Terdapat dua tipe

dari toksoid tetanus yang tersedia; absorbed toxoid (alumunium salt

precipitated) dan fluid toxoid. Meskipun jumlah seroconversi hampir sama,

absorbed toxoid lebih disukai karena respon antitoksin mencapai titer yag lebih

tinggi da memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada fluid toxoid.12

Tetanus toxoid tersedia dalam sediaan tunggal, dikombinasi dengan

diphteria toxoid menjadi pediatric diphteria-tetanus toxoid (DT) atau adult

tetanus-diphteria (Td) juga dikombinasi dengan vaksin pertusis aselular

menjadi DtaP atau Tdap. Tetanus toksoid juga tersedia dalam kombinasi DtaP-

HepB-IPV (Pediatrix) dan DtaP-IPV/Hib (Pentacel). Formulasi pediatri (DT

dan DtaP) mengandung jumlah yang hampir sama dengan dengan toksoid

untuk dewasa, tetapi mengandung 3-4 kali lebih banyak toksoid diphteria.

Individu <7 tahun sebaiknya mendapat DtaP atau DT pediatrik. sedangkan

untuk individu >7 tahun hendaknya menerima Td untuk dewasa. meskipun

mereka memiliki riwayat seri vaksin DtaP atau DT yang tidak lengkap.

Pemberian tunggal tetanus toksoid tidak direkomendasikan. Toksoid tetanus

lebih baik diberikan dalam bentuk kombinasi dengan toksoid diphteria, dimana

dibutuhkan periode booster untuk kedua antigen tersebut. Dua produk dagang

yang tersedia; Boostrix (individu 10-64 tahun) dan Adacel (individu 11-64

tahun). 12

Gambar 4. Rekomendasi Pemberian Tetanus Toxoid12

Setelah pemberian seri vaksin pertama (3 dosis tetanus pada individu >7

tahun dan 4 dosis pada individu <7 tahun) seharusnya semua individu harus

mendapatkan antitoksin agar memiliki titer protektif antibodi tetanus lebih dari

0,1 IU/mL.12

18

Page 19: Referat Tetanus

Level antitoxin menurun seiring berjalannya waktu. Setelah pemberian

dosis terakhir >10 tahun, maka seseorang memiliki level protektif yang

minimal untuk tidak terinfeksi tetanus. Oleh karena itu direkomendasikan

dilakukan booster toksoid setiap 10 tahunnya.12

Pada beberapa individu, kadar antitioksin dalam tubuh dapat menurun

dalam kurun kurang dari 10 tahun. Untuk meyakinkan bahwa seseorang

memiliki level protektif yang adekuat, individu yang mengalami luka baik

yang bersih atau luka kecil baiknya mendapat booster toksoid jika dosis

terakhir yang didapat individu tersebut >5 tahun.12

2) Penatalakasanaan Luka

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1)

Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk

individu >7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat

sedag adalah 250 unit IM yang menghasilkan kadar antibodi serum protektif paling

sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda

adalah 3000-6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang

terpisah dengan spuit injeksi yang berbeda. 1,5

Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya

kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.

Tabel 6. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on

Trauma (ACSCT) 13

Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus

Usia luka >6 jam <6 jam

Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi

Kedalaman >1 cm ≤1 cm

19

Page 20: Referat Tetanus

Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka

bakar, frosbite

Benda tajam (pisau, kaca)

Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada

Jaringan mati Ada Tidak ada

Kontaminana (tanah,

feses, rumput, saliva, dan

lain-lain)

Ada Tidak ada

Jaringan

denervasi/iskemik

Ada Tidak ada

Prinsip dasar penatalaksanaan luka :14

1. Jangan menutup luka yang terinfeksi. Lakukanlah wound toilet and surgical

debridement. Hal yang sama pada luka yang terkontaminasi dan luka bersih

yang lebih dari 6 jam.

2. Pencegahan luka terhadap infeksi :

o Maintenance Airway, breathing and circulation setelah injuri

o Dapat diberi tinggi nutrisi dan penghilang nyeri

o Jangan gunakan torniket

o Lakukan wound toilet and surgical debridement secepat mungkin (jika

memungkinkan kurang dari 8 jam)

o Pemberian profilaksis ( atas indikasi)

3. Pemberian topikal antibiotik dan pencucian luka dengan larutan antibiotik tidak

direkomendasikan pada luka terinfeksi dengan adanya pus dan luka

terkontaminasi berisi benda asing atau material terinfeksi.

3) Tetanus Neonatorum

Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum

mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatka

proporsin kelahiran yang dilakukan di RS dan pelatihan penolong kelahiran nonmedis. 1

Jadwal Vaksinasi dan Penggunaannya

20

Page 21: Referat Tetanus

DtaP (difteri dan tetanus toxoid dan vaksin tetanus) adalah vaksin untuk anak usia

6 minggu hingga 6 tahun. Biasanya jadwalnya pada usia 2,4,6 dan 5-18 bulan. Dosis

DtaP pertama, kedua dan ketigadiberikan dengan jarak minimal 4 minggu. DTaP

keempat tidak kurang 6 minggu setelah dosis ketiga. Dan tidak diberikan sebelum usia

12 bulan.12

Jika anak kontraindikasi vaksin pertusis, maka dapat diberikan vaksin DT sebagai

pelengkap. Jika anak kurang dari 12 bulan ketika dosis pertama diberikan maka anak

harus mendapatkan 4 dosis primer tadi. Jika anak berusia lebih dari 12 bulan pada saat

pemberian maka bisa hanya 3 dosis primer.12

\Jika dosis keempat DTaP, DTP, atau DT diberikan sebelum usia 4 tahun maka

vaksin booster nya direkomendasikan pada usia 4 -6 tahun.12

Jika anak terlambat dalam pemberian vaksin DTP, saat usia 7 tahun belum

diberikan vaksin maka diberikan dengan 3 kali pemberian. Pemberian pertama dan

kedua berjarak minimal 4 minggu dan pemberian ketiga berjarak 6-12 bulan setelah

pemberian kedua. Dan vaksin bosster dapat diberikan tiap 10 tahun.12

Gambar 5. DPT booster 12 Gambar 6. Jadwal Vaksin usia >7 tahun12

Reaksi vaksinasi12

Beberapa reaksi yang didapat akibat vaksinasi DTP :

1. Reaksi lokal ( eritema, indurasi, nyeri pada daerah penyuntikan), reaksi ini

biasanya terjadi dan tidak memerlukan terapi. Dapat timbul nodule pada tempat

penyuntikan, dapat bertahan hingga beberapa minggu dan beberapa dapat

terjadi abses.

21

Page 22: Referat Tetanus

2. Demam

3. Gejala sistemik berat dapat terjadi seperti urtikaria general, anafilaksis, atau

komplikasi neurologik. Beberapa kasus dapat terjadi neuropati perifer dan GBS

Penyimpanan dan perawatan Vaksin

Semua vaksin tetanus harus disimpan dalam suhu 350 – 460 (20-80C). vaksin yang

membeku dapat menghambat dari potensi komponen vaksin dan tidak dapat

diberikan.12

2.11 Tatalaksana

Penatalaksanaan umum: pasien jika mungkin ditempatkan di bangsal/lokasi

yang terpisah,tenang, seperti di ICU. Dimana observasi dan pemantauan

kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sedagkan stimulasi

diminimalisasi. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan

dilakukan debridement secara menyeluruh. 1,5

Imunoterapi: untuk menetralisasi dari toksin yang bebas. Antitoksin

menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi

dan toksin pada luka yang belum terikat, jika tersedia, mengelola manusia TIG

500 unitdengan injeksi intramuscular atau intravena (tergantung pada persiapan

yang tersedia) sesegera mungkin.Paling baik memberikan antitoksin sebelum

memanipulasi luka. Dosis tambahan tidak diperlukan karena masa paruh

antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat menembus sawar darah otak.

Antitoksin tetanus kuda belum ada di Amerika Serikat, tetapi masih digunakan

di tempat lain. harganya lebih murah tetapi waktu paruhnya lebih pendek. Dan

pada pemberiannya sering kali menimbulkan reaksi hipersensitifitas dan serum

sickness syndrome. Di samping itu, dapat diberikan vaksin TT tambahan sesuai

dengan usia, vaksin, 0,5ccdengan injeksi intramuskular ditempat yang terpisah

(penyakit Tetanus tidak menyebabkan kekebalan; pasien tanpa riwayat

vaksinasi TT utama harus menerimadosis kedua1-2 bulan sesudah dosis

pertama dan dosis ketiga6-12 bulan kemudian.1,5

22

Page 23: Referat Tetanus

Antibiotik: diberikan sebagai terapi untuk menyingkirkan sumber infeksi. Jika

ada luka yang jelas maka lakukanlah debridement secara bedah. Walaupun

manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk

mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan

Metronidazolelebih disukai karena tidak menunjukkan aktivitas antagonis

terhadap GABA. Diberikan 500 mg setiap enam jam iv atau secara oral;

PenisilinG (100.000-200.000 IU/kg/hari intravena, diberikan dalam 2-4dosis

terbagi). Penisilin sudah digunakan selama bertahun-tahun tetapi merupakan

antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Tetrasiklin, makrolida,

klindamisin, sefalosporindankloramfenikoljuga efektif. 1,5

Pengendalian Rigiditas dan Spasme: pilihan utama untuk sedasi adalah

benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan

menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA. Untuk orang dewasa,

diazepam intravena dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam

dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk mencapai kontrol kejang tanpa sedasi

berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak, mulai dengan dosis 0.1-0.2mg/kg

setiap 2-6 jam, titrasi atas sesuai kebutuhan). Jumlah besar rmungkin

diperlukan ( sampai 600 mg/hari).5

Sediaan oral dapat digunakan, tetapi harus disertai denganpemantauanketat

untuk menghindari depresi pernafasan atau cardiac arrest. 5 Magnesium sulfat

dapat digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan benzodiazepin

untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom: 5gram (atau 75mg/kg)

diberikan secara loading dose intravena, kemudian 2-3 gram per jam sampai

kejang terkontrol. Untuk menghindari overdosis, pantau refleks patella,

dimanaarefleksia (tidak adanya refleks patella) terjadi pada kisaran terapeutik

mencapai (4 mmol /L). Jika arefleksia terjadi, dosis harus dikurangi. 5 Agen lain

yang digunakan untuk mengendalikan kejang termasuk baclofen, dan trolene

(1-2 mg/kg intra vena atau secara oral setiap 4jam), barbiturat, sebaiknya short-

acting (100-150 mg setiap1-4 m jam pada orang dewasa, 6-10mg/kg pada anak-

anak, pada rute apapun), dan klorpromazin (50-150 mgdengan injeksi

intramuskular setiap4-8 jam pada dewasa; 4-12 mg dengan injeksi

intramuskular setiap 4-8 jam pada anak-anak).5

23

Page 24: Referat Tetanus

Pengendalian Disfungsi Otonomik: berikan magnesium sulfat seperti di atas.

Magnesium sulfat memblokade pelepasan neuromuskular pre-sinaptik, sehingga

memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, mengurangi

responsitivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan

antikonvulsan sekaligus vasodilator. Morfin terutama bermanfaat karena

stabilitas kardiovaskular dapat terjadi tanpa gangguan jantung. Dosis bervariasi

antara 20-180 mg per hari. Mekanisme yag dipertimbangkan adalah penggantian

opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis, dan pelepasan histamin.

Catatan: β-blocker seperti propanolol digunakan di masa lalu, tetapi dapat

menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini

dianjurkan.5

Penatalaksanaan Respirasi: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang

dan memberikan sedasi dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika ventilasi

mekanik tersedia, maka tidak menjadi masalah besar; jika tidak, pasien harus

dipantau dengan cermat dan dosis obat yang diberikanharus disesuaikan untuk

mencegah kejang dan menghindari kegagalan pernapasan. Jika kejang,

termasuk spasme laring, yang menghambat atau mengancam ventilasi, ventilasi

mekanis direkomendasikan bila fasilitas memadai.5

Intubasi atau trakeostomi juga digunakan untuk menghindari aspirasi oleh

pasien dengan trismus, gangguan kemapuan menelan atau disfagia. Kebutuhan

akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara

dini. 1

Cairan dan nutrisi: yang cukup harus disediakan, seperti kejang tetanus

mengakibatkan tuntutan metabolik yang tinggi dan keadaan katabolik akibat

aktivitas muskular. Dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan

bertahan hidup. Penurunan nutrisi juga ditingkatkan oleh keluhan sulit menelan

da peningkatan metabolisme akibat pireksia ataupun keadaan kronis

berkepanjangan. Hidrasi perlu dipantau untuk mengetahui dan mengontrol

kehilangan cairan yag nampak dan kehilangan cairan yag lain, yag mungkin

signifikan.1,5

24

Page 25: Referat Tetanus

Penatalaksanaan lain : meliputi fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan

pemberian heparin dan antikoagulan yag lan untuk mencegah emboli paru.

Fungsi ginjal, kandung kemih, da saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan

gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus

diatasi. 1

2.12 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau

sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma,

aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan

dengan ventilator.1

Tabel 7. Komplikasi-komplikasi Tetanus1

Sistem Komplikasi

Jalan nafas Aspirasi

Laringospasme/obstruksi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif

Respirasi Apnea

Hipoksia

Gagal napas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)

Gagagl napas tipe 2 (spasme laringeal, spasme trunkal

berkepanjangan, sedasi berlebihan)

ARDS

Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)

Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia

Hipotensia, bradikardia

Asistol

Gagal jantung

Ginjal Gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure)

Gagal ginjal oliguria

Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis gaster

25

Page 26: Referat Tetanus

Ileus

Diare

Perdarahan

Lain-lain Penurunan berat badan

Tromboembolus

Sepsis dengan gaal dan organ multipel

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme

2.13 Prognosis

Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis tergantung

pada fasilitas yang tersedia. Tingkat mortalitas <10% dengan terapi optimal. Tonus yag

meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan. Pemulihan biasanya

dapat kembali sempurna tetapi membutuhkan waktu 4-6 minggu. Penggunaan ventilator

jangka panjang mungkin dibutuhkan, umumnya pada tetanus yang berat dan membutuhkan

perawatan ICU sampai 3-5 minggu. Pada beberapa penelitian pengamatan pada pasien

yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis.1,5

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode

awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya

penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan faktor

yang menentukan prognosis dala klasifikasi Cole dan Spooner.1,8

Tabel 8. Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner.8

Kelompok prognostik Periode awal Masa inkubasi

I

II

III

< 36 jam

>36 jam

Tidak diketahui

±6 hari

>6 hari

Tidak diketahui

26

Page 27: Referat Tetanus

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian

lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian

akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang

cukup ternyata juga menurunkan angka kematian.8

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.

27

Page 28: Referat Tetanus

meskioun telah dikenal sejuah peradaban manusia, penyakit ini belum bisa dieradikasi

karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan.

Infeksi tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada seorang individu. pencegahan

dapat dicegah melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higine persalinan yang baik, dan

manajemen perwatan luka yang adekuat. Pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat

menyebabkan penurunan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.

Daftar Pustaka

1. Gatoet Ismanoe. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V.

Interna Publishing: Jakarta.2009; hal. 2911-2923.

28

Page 29: Referat Tetanus

2. Fauci, Braunwald et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition.

McGraw-Hill: United State. 2008. p840-43.

3. Cook T, Protheroe, Handel. Tetanus : a review of the literature. British Journal of

Anaesthesia. 2001 ; p87: 477-87.

4. Clostridium tetani. http://faculty.lacitycollege.edu/hicksdr/clostridumtet4ar.jpg.

Diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 18.00 WIB

5. WHO Technical Note. Current Recommendations for Treatment of Tetanus During

Humanitarian Emergencies. 2010.

http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf

diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 17.00 WIB.

6. Hinfey P. Tetanus. http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview

diperbaharui pada 26 maret 2014. diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 18.00

WIB.

7. Mechanism of action tetanus toxin. http://pixshark.com/tetanus-toxin-mechanism-of-

action.htm di unduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 17.00 WIB

8. Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-24.

9. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. Hal. 322.

10. Ogurin O.Tetanus – A Review of Current Concepts in Management, Journal of

Postgraduate Medicine. 2009; 11(1): p46-61

11. Kiking Ritrawan. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H.

Adam Malik. 2010.

12. CDC. Diphteria, Tetanus, adn Pertusis: Recommendations for Vaccine use and other

preventive measures.

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. Di unduh pada

tanggal 6 januari 2015 pukul 18.00 WIB.

13. Farrar J. Tetanus : Neurological Aspects Of Tropical Disease. J Neurol Neurosurg

Psychiatry2000; p69:292–301.

14. American College of Surgeon Committee on Trauma. Prophylaxis Against Tetanus in

wound management.

https://www.facs.org/~/media/files/quality%20programs/trauma/publications/

tetanus.ashx diunduh pada tanggal 7 januari 2015 pukul 19.00 WIB

15. WHO. Prevention and management of wound infection.

29

Page 30: Referat Tetanus

http://www.who.int/hac/techguidance/tools/

guidelines_prevention_and_management_wound_infection.pdf diunduh pada tanggal

6 januari 2015 pukul 19.00WIB

30