css tetanus
DESCRIPTION
sipTRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSIONTETANUS
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Al-Ihsan
Program Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung
Presentan:Serly Sri Wahyuni 12100114001Galih Trissekti 12100114002
Partisipan:Adjie Kurnia M. 121001140xxAdhitya Rizky P. 1210011400xxIva Reina 1210011400xxSekar Asmara D 1210011400xxFauziyah Karimah 1210011400xxAyu Niendar 1210011400xx
Preseptor:Asep Saefulloh, dr. Sp.S
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RS ISLAM AL IHSAN BANDUNG2014
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan masalah serius bagi manusia tetapi dapat dicegah. Tetanus
menjadi masalah serius pada masa industrial, terlebih akibat manifestasi klinisnya
yang mengerikan dan dapat menimbulkan kematian.
Secara klinis tetanus merupakan suatu gangguan neurologis, dikarakteristikan
oleh adanya peningkatan tonus otot dan spasme otot, yang disebabkan oleh
tetanospasmin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani. Sifatnya akut dan seringkali
fatal. Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang (lock jaw), dan leher, kemudian
menjadi umum.
Deskripsi tentang tetanus telah dikenal sejak abad ke-5 sebelum masehi, yang
kemudian lebih jelas dideskripsikan oleh Hippocrates pada laporan kontemporernya
Aretaeus. Sejak tahun 1903, Morax dan Marie menyatakan teorinya bahwa migrasi
toksin tetanus menyebar ke sistem saraf melalui sisten saraf perifer, sifatnya naik pada
aksis lembar perineural. Studi modern menunjukkan toksinnya juga disebarkan
melalui darah dan aliran limfe, yang memungkinkan terjadinya tetanus secara umum.
Pada tahun 1884 Carle dan Ratton menyatakan menemukan pertama kali tetanus pada
hewan.
BAB II
NEUROMUSCULAR JUNCTION
Anatomi Sinaps
Neuron motorik terdiri atas 3 bagian utama, yaitu soma, akson tunggal, dan
dendrite. Di permukaan dendrite dan soma neuron motorik terdapat sebanyak 10.000
sampai 200.000 tombol sinaps kecil yang disebut terminal presinaps. Daerah inilah
yang menjadi pusat apakah akan mudah dirangsang (artinya, suatu transmitter yang
merangsang neuron postsinaps), atau apakah nantinya menghambat (suatu transmitter
yang dapat menghambat neuron postsinaps).
Penelitian menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan pada ujung
presinaps memiliki bermacam-macam bentuk anatominya, namun kebanyakan
bentuknya menyerupai tombol bulat atau bujur telur sehingga kadang disebut sebagai
tombol ujung (terminal knobs), atau tombol sinaps (synaptic knobs).
Mekanisme aksi potensial yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter
(peran ion Ca2+)
Mekanisme yang dipakai oleh ion Ca2+ untuk terjadinya pelepasan
neurotransmitter adalah sebagai berikut:
Ion Ca2+ masuk ujung presinaps pada bagian membrane plasma-nya
Menyebabkan vesikel (biasanya berisikan 2000-10.000 asetilcholine) yang
berisi transmitter akan melakukan eksositosis karena ada aksi potensial akibat
kalsium tadi.
Eksositosis neurotransmitter ini memasuki synaptic cleft dan berikatan dengan
reseptornya
Ikatan ini menyebabkan gerbang Na+ channel terbuka dan masuknya Na+
tersebut kedalam postsynaps untuk menghasilkan depolarisasi sampai
terbentuknya aksi dari postsynaps-nya
Pengaturan Kanal Ion setelah dihasilkannya transmitter
Kanal ion membrane postsinaps terdiri atas dua jenis
Kanal kation, sebagian besar memungkinkan ion natrium lewat ketika terbuka.
Hal ini akan menghasilkan eksitasi sehingga disebut kanal eksitasi atau
transmitter eksitator.
Eksitasi meliputi:
Pembukaan kanal natrium, natrium masuk ke intracellular
Penekanan hantaran kanal klorida atau kalium, atau keduanya
Membentuk potensial aksi
Perubahan metabolisme sel
Kanal anion, memungkinkan ion klorida untuk lewat dan juga sedikit sekali
anion yang lain. Kanal ini menyebabkan masuknya muatan listrik negative
yang menghambat neuron sehingga disebut kanal inhibitor atau transmitter
inhibitor.
Inhibisi meliputi:
Pembukaan kanal ion klorida di postsinaps
Meningkatkan hantaran ion kalium yang keluar dari neuron
Ion kalium berdifusi kebagian eksterior yang menyebabkan peningkatan
kenegatifan di dalam neuron, yang bersifat inhibisi
Aktivasi enzim reseptor hambat aktivitas metabolik selular dan
menurunkan jumlah reseptor eksitasi
BAB III
TETANUS
I. Definisi
Tetanus adalah suatu gangguan neurologis yang dikarakteristikan oleh adanya
peningkatan tonus otot dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin yang
dikeluarkan oleh Clostridium tetani. Gejala khas tetanus adalah spasme tonik
persisten yang berulang. Spasme yang terjadi di leher, rahang menyebabkan rahang
yang terkunci (trismus, atau lockjaw), kemudian ke otot tubuh dan ekstremitas. Selalu
bersifat akut dan sering menyebabkan kematian.
II. Epidemiologi
Tetanus sering didapatkan pada negara sedang berkembang (banyak
kemiskinan, kurang pendidikan, buruknya sanitasi, pelayanan kesehatan yang
kurang). Insidensi berdasarkan jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan adalah
3-4:1. Pada negara berkembang, tetanus sering mengenai neonatus, anak-anak, dan
dewasa muda, sedangkan pada negara maju, tetanus lebih banyak mengenai usia tua.
Dilaporkan bahwa pada beberapa negara di dunia untuk kasus tetanus adalah
di Afrika Selatan terdapat 300 kasus setiap tahun, di Inggris terdapat 12-15 kasus tiap
tahun, di Amerika terdapat 50-70 kasus tiap tahun. Menurut WHO pada tahun 1992,
terdapat 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia. Angka ini meliputi
580.000 kematian dari tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di
Afrika.
III. Faktor Risiko
a. Luka terbuka ataupun riwayat luka sebelum
b. Luka yang terkontaminasi oleh tanah (pada petani)
c. Terluka oleh benda berkarat
IV. Etiologi
Disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini mempunyai sifat
anerobik, motil, batang gram positif. Bentuknya oval dan tidak berwarna. Mempunyai
terminal berisi spora like ‘drumstick'. Pada umumnya banyak ditemukan di tanah,
feses hewan (kuda), dan feses manusia. Dalam keadaan anerob bakteri ini berubah
menjadi bentuk vegetatif. Spora dapat hidup dalam bentuk vegetatif beberapa tahun.
Bakteri ini memiliki resistensi terhadap desinfektan. Clostridium tetani menghasilkan
2 jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Eksotosin tetanolisin dapat
merusak jaringan sekitar infeksi dan mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi.
Eksotosin tetanospasmin sebagai inhibisi pembebasan neurotransmiter dan bakterial
protease akan menyebabkan tetanospasmin membentuk 2 rantai yang dihubungkan
oleh ikatan disulfida:
a) Rantai ringan (50kDa) - inhibisi transmisi sinaps
b) Rantai berat (100kDa) - mediator internalisasi intraneuronal
V. Patogenesis
Clostridium tetani memasuki tubuh melalui luka.
Spora dapat tumbuh pada keadaan yang anaerob. Jaringan nekrosis, benda asing,
infeksi aktif juga merupakan tempat yang baik untuk perkembangan spora &
perlepasan toksin.
Tetanospasmin merupakan substansi asam amino rantai polipeptida yang
dilepaskan didalam luka. Toksin terikat pada ujung terminal motor neuron
perifer, kemudian memasuki akson & ditransport secara retrograd secara
intraneural. Toksin ini berkerja pada sistem saraf, termasuk motor end plate
perifer, medula spinalis, otak, dan sistem saraf otonom. Toksin juga dapat
menyebar secara hematogen.
Tetanospasmin menghambat perlepasan neuron inhibitor yang berfungsi
mengatur kontraksi otot yaitu GABA & glisin sehingga terjadi kegagalan inhibisi.
Penghambatan ini disebabkan karena pemecahan protein yang berfungsi pada
perlepasan vesikel, yaitu synaptobrevin. Hal ini mengurangi fungsi inhibisi &
meningkatkan kecepatan istirahat pada motor neuron serta bertanggungjawab
pada rigiditas otot sehingga pada saraf perifer terpendek.
Menimbulkan gejala awal berupa gangguan pada wajah, kekakuan punggung, dan
leher. Hal ini merupakan manifestasi klinis khas yang terjadi ketika toxin tetanus
menganggu perlepasan neurotransmitter dan menghambat impuls inhibitor.
Keadaan ini mengakibatkan kontraksi dan spasme otot, juga dapat terjadi kejang
bahkan mengenai sisten saraf otonom yang disebabkan inhibisi pada neuron
preganglion simpatis di substantia grisea lateral medualla spinalis.
Tetanospasmin dapat menghambat perlepasan neurotransmitter pada
neuromuscular junction yang akan mengakibatkan kelemahan dan paralisis.
VI. Patofisiologi
Luka yang nekrosis, terkontaminasi oleh tanah, terluka oleh benda berkarat
benda asing menjadi tempat yang baik untuk masuknya bakteri Clostridium tetani.
Bakteri ini akan menghasilkan toksin tetanus yaitu, tetanolisin dan tetanospasmin.
Toksin tersebut akan berikatan pada reseptor saraf terminal di otot, kemudian toksin
akan berjalan mengikuti serabut saraf secara asending melalui axon sampai ke badan
sel alpha motor neuron ke dalam medula spinalis dan batang otak.
Toksin tetanus tersebut melewati celah sinaps dan mencapai terminal saraf
inhibisi, selanjutnya toksin akan terikat pada reseptor membran presinaptik dan
menginhibisi neurotransmitter Gama Amino Butiric Acid (GABA) dan glycine. Hal ini
mengakibatkan kontraksi otot agonis dan antagonis terjadi secara bersamaan,
akibatnya akan terjadi spasme otot dan akan mengakibatkan rigiditas. Pada
preganglion simpatetik neuron di lateral greymatter pada medula spinalis akan
menyebabkan simpatis hiperaktivitas dan peningkatan sirkulasi katekolamin.
SPASME
Bisa efek preganglionic lateral gray matter pada
Medulla spinalis↓
peningkatan sirkulasi catecholamine
RIGIDITY
Skema Patofisiologi
Luka yang nekrosis, terkontaminasi oleh tanah, terlukaoleh benda berkarat; benda asing
↓Clostridium tetani masuk melalui reseptor saraf terminal pada neuromuscular junction
via non-coated vesicle↓
Tetanospasmin; tetanolysin growth, disrupt channel& lipid.↓
Toksin menyebar secara ascending melalui axon (retrograde transport to cell body)ke badan sel alpha motor neuron lalu ke medula spinalis dan batang otak
↓Transinaps dan mencapai terminal saraf inhibitor
↓Toksin terikat pada reseptor membran terminal presinaps inhibitor
↓Inhibisi neurotransmiter GABA dan glycine
kontraksi otot agonis dan resting firing rate antagonis secara bersamaan pada alpha motor(seharusnya inhibisi) neuron
↓ ↓
VII. Manifestasi Klinis
Muncul setelah ada riwayat luka sebelumnya (luka yg nekrosis, terkontaminasi
oleh tanah, terluka oleh benda berkarat atau benda asing). Masa inkubasi 6-14 hari.
Gejala umum:
Kekakuan otot (rigiditas)
. Trismus (lockjaw): kekakuan otot masseter, biasanya manifestasi pertama.
. Risus sardonicus: kontraksi berterusan dari otot wajah (grimace/sneer).
. Kekakuan otot-otot leher yang menimbulkan retraksi kepala.
. Kekakuan otot-otot faring dan laring sehingga timbul disfagia dan vocal cord
paralysis.
. Kekakuan otot-otot pernafasan dapat menyebabkan sianosis dan threatening
ventilation, bahkan apnea.
. Abdominal rigidity: Kaku otot-otot abdomen.
. Opisthotonus : kontraksi otot-otot punggung.
Pasien dapat febris
Spasme (kejang)
. Kejang tonik yang timbul secara episodik, bisa didapatkan retraksi kepala,
opistotonus yang menghebat dan fleksi dari lengan. Pasien sadar dan
merasakan sangat nyeri.
. Timbul spontan atau dipicu oleh rangsangan berupa rangsangan sentuhan,
auditori, visual, atau emosional
Gangguan otonom (sering didapatkan pada tetanus derajat berat)
. Peningkatan aktivitas simpatis: sinus takikardi >150x/min, keringat yang
berlebihan, peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik aritmia
supraventrikuler transient.
. Peningkatan aktivitas parasimpatis : salivasi berlebihan, peningkatan tonus
vagal yang berefek ke sistem kardiovaskuler
Klasifikasi tetanus
Tetanus local (localized tetanus)
Merupakan tetanus yang paling ringan. Gejala awal berupa kekakuan,
pengencangan dan nyeri pada otot-otot disekitar luka diikuti dengan "twitching" dan
spasme singkat. Tetanus lokal terjadi terutama akibat luka pada lengan dan tangan
atau pada otot-otot abdominal atau paravertebral dan berhubungan dengan luka
sesudah operasi. Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut terjadi spasme terus-
menerus involunter (disebut sebagai rigiditas) dan kontraksi hipertonik atau tetanik.
Trismus ringan dapat terjadi pada tetanus lokal yang ringan sekalipun dan ini
dapat membantu menegakkan diagnosis. Gejala tetanus lokal dapat menetap sampai
beberapa minggu atau bulan dan dapat sembuh sempurna tanpa gejala sisa.
Tetanus sefalik (cephalic tetanus)
Merupakan bentuk tetanus lokal akibat adanya luka pada wajah dan kepala
terutama telinga. Periode inkubasinya singkat, 1 sampai 2 hari. Otot-otot yang terkena
(biasanya okuler dan fasial) menjadi lemah atau paralisis. Walaupun demikian, jika
terjadi spasme umum, otot yang paralisis ini ikut berkontraksi. Kontraksi otot lidah
dan tenggorokan mengakibatkan disartria, disfonia dan disfagia. Gejala berupa
trismus dan opthalmoplegic tetanus. Tetanus sefalik dapat menjadi tetanus general
dan pada keadaan ini banyak kasus terbukti fatal.
Tetanus neonatorum (neonatal tetanus)
Merupakan tetanus yang sangat berat dengan angka mortalitas yang sangat
tinggi. Didapat riwayat tindakan teknik obstetrik yang tidak steril dan kotor di mana
potongan umbilikus terkontaminasi dengan spora tetanus. Masa inkubasi bervariasi
antara 1 hari sampai 3-4 minggu. Pada umumnya gejala pertama timbul pada minggu
pertama kehidupan anak. Gejala dini berupa kesulitan menelan akibat kekakuan pada
bibir, otot rahang serta faring. Trismus jelas dengan sisi badan opistotonus berat,
fleksi ekstremitas atas dengan hiperekstensi anggota badan bawah. Kesulitan
pernafasan diikuti sianosis. Kematian akibat kegagalan pernafasan, hipoksia dan
pneumonia baik akibat aspirasi maupun infeksi bakteri. Gangguan otonom hampir
selalu dijumpai dengan akibat kegagalan fungsi kardiorespirasi
Tetanus umum (generalized tetanus)
Merupakan jenis tetanus tersering, dapat mulai sebagai tetanus lokal yang
setelah beberapa hari menjadi umum. Gejala yang dapat ditemukan antara lain:
Trismus.
Risus sardonicus.
Rigiditas otot-otot rahang dan leher kemudian secara gradual ke otot-otot aksial
(opisthotonus), spasme otot-otot abdomen dan anggota badan.
Spasme tonik otot-otot dapat terjadi spontan atau karena rangsangan.
Spasme otot-otot faring, laring dan otot-otot pernapasan merupakan ancaman
terjadinya gagal napas.
Kesadaran pasien tetap baik kecuali jika terjadi hipoksia serebral akibat gagal napas.
Peningkatan suhu tubuh biasanya terjadi oleh karena komplikasi infeksi.
Kematian biasanya terjadi oleh karena gagal napas akibat spasme berat yang
mengarah kepada obstruksi jalan nafas, atau karena gagal jantung akibat gangguan
sirkulasi.
VIII. Diagnosis
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan Fisik
3. Penunjang
IX. Diagnosis Banding
X. Penatalaksanaan
XI. Prognosis
XII. Pencegahan
XIII.
ANAMNESA :
Riwayat luka sebelumnya. Luka (punctum, laserasi & abrasi) mengalami nekrosis,
terkontaminasi oleh tanah, terluka oleh benda berkarat/benda asing.
GEJALA KLINIS :
Kekakuan otot (rigiditas)
Trismus
Risus sardonicus
Kekakuan otot leher
Kekakuan otot faring
Kekakuan otot dada
Perut papan
Opitotonus
Spasme
Gangguan otonom
XIII. DERAJAT TETANUS
(Berat ringannya derajat penyakit tetanus dapat ditentukan dengan beberapa criteria)
DERAJAT TETANUS MENURUT PATEL & JOAG
KRITERIA 1 : trismus
KRITERIA 2 : spasme
KRITERIA 3 : masa inkubasi 7 hari/ kurang
KRITERIA 4 : periode onset 48 jam / kurang
KRITERIA 5 : kenaikan suhu rectal sampai 100oF / aksila sampai 99oF (37,6oC) pada
saat ≤ 24 jam MRS
BERDASARKAN KRITERIA DIATAS DIBUAT SUATU GRADASI PENYAKIT :
DERAJAT 1 : didapatkan 1 dari 5 kriteria
DERAJAT 2 : didapatkan 2 dari 5 kriteria, mortalitas 10%
DERAJAT 3 : didapatkan 3 dari 5 kriteria, mortalitas 32%
DERAJAT 4 : didapatkan 4 dari 5 kriteria, mortalitas 60%
DERAJAT 5 : didapatkan 5 kriteria, mortalitas 84%
Sebagian besar tetanus neonatorum & tetanus puerperium
DERAJAT TETANUS MENURUT ABIETT'S yg dimodifikasi:
DERAJAT 1 : MILD
Trismus ringan sampai sedang
Spastisitas umum
Tidak ada gangguan pernafasan
Tidak ada kejang
Tanpa disfagia atau disfagia minimal
DERAJAT 2 : MODERATE
Trismus sedang
Rigiditas jelas
Gangguan pernafasan sednag dengan tachypnea 30-35x/menit
Spasme otot atau kejang ringan-sedang tapi singkat
Disfagia ringan
DERAJAT 3 : SEVERE
Trismus berat
Spastisitas umum
Gangguan pernafasan dengan tachypnea >40x/menit, dengan fase apneustik
Spasme atau kejang rangsang tapi sering disertai kejang spontan dan memanjang
Disfagia berat
Takikardia > 120x/menit
Disotonomi sedang dan meningkat
DERAJAT 4 : VERY SEVERE
grade 3 dan gangguan saraf otonom sangat berat (autonomic storms): hipertensi dan
takikardi kemudian diselingi hipotensi dan bradikardi, atau dapat terjadi hipertensi
berat persisten atau hipotensi berat persisten. Hipotensi tidak disebabkan karena
hipovolemi, sepsis, atau iatrogenik.
XIII. DIAGNOSIS BANDING
Trismus : Dental abscess, peritonsilar abscess, pharyngeal diphtheria, fraktur
mandibula, dan mumps
Bakterial meningitis
Subarachnoid haemorrhaging
Epilepsi
Cerebral malaria
Rabies
* Keterangan :
2 & 3 - Memiliki kekakuan otot leher tapi gejala lain tidak ada.
4 - Pasien tidak sadar saat kejang,
ada riwayat kejang berulang
5 - Ada gejala demam yang khas
6 - Hidrofobia,
gejala gangguan batang otak,
saraf kranial dapat terganggu juga
XIII. MANAGEMENT
Prinsip terapi untuk tetanus :
- Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran tetanospasmin
lebih lanjut
- Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum terikat
dengan sistem saraf pusat)
- Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan sistem
saraf pusat
- Mengobati spasme otot
Terapi umum untuk tetanus :
Dirawat di ruangan tenang & dimonitor ketat.
Cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
Debridement luka.
Berikan hTIG dan terapi antibiotika.
Oksigenasi
Diet tinggi kalori tinggi protein
Terapi Khusus untuk tetanus :
Human Tetanus Imunoglobulin (hTIG 3000-6000 IU i.m) : untuk menetralisir
tetanospasmin bebas. Diberikan secepat mungkin setelah diagnosis klinis tetanus
ditegakkan. Dosis efektif yang direkomendasikan adalah 3000-10.000 IU iv/im,
dengan kadar puncak dalam darah dicapai dalam 48-72 jam. Sebagai pengobatan
secara aktif 1500-3000 IU diinfiltrasikan pada sekeliling luka. Di Indonesia umumnya
masih memakai Anti Tetanus Serum, termasuk juga di RSHS. HTIG dianggap lebih
baik daripada equine antiserum karena lebih sedikit menimbulkan reaksi
hipersentivitas.
Serum ATS yang dianjurkan 10.000 U i.v satu kali. Sebelum pemberian harus
dilakukan skin tes. Untuk imunisasi aktif dipakai TT. Apabila luka kecil, tidak
terinfeksi, tetapi riwayat imunisasi tidak jelas, diberikan dosis TT 0,5 ml. Dosis yang
sama mutlak diberikan apabila luka besar, terinfeksi, dan riwayat imunisasi terakhir
lewat 5 tahun.
Antibiotik : untuk menghilangkan sumber tetanospasmin.
DOC :
Metronidazole 500 mg p.o tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam selama 10-14
hari, aktif menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa.
Penicillin prokain 1,2 juta unit i.m/6 jam selama 10 hari.(bila alergi
terhadap penicillin dapat diberikan eritromisin dan tetrasiklin.)
Benzodiazepine : untuk meminimalisasi spasme otot dan rigiditas karena bersifat
GABA enhancer.
DOC :
*Diazepam karena dapat mengurangi ansietas, menyebabkan sedasi dan
relaksasi otot. Dosis pemberian berdasarkan derajat keparahan spasme
otot.
Pada orang dewasa :
Spasme ringan : 5-10 mg p.o tiap 4-6 jam
Spasme sedang : 5-10 mg i.v
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, infuskan dengan kecepatan 10-15
mg/jam
Bila refrakter terhadap benzodiazepine, berikan neuromuscular blocking agents
(vecuronium)
*Magnesium sulfat: digunakan untuk mengontrol spasme dan mengurangi
gangguan otonom. Obat ini memiliki efek pelemas otot yang poten,
memiliki kemampuan menghambat pelepasan katekolamin neuronal dan
adrenal, menurunkan respon reseptor terhadap katekolamin, memiliki efek
antikonvulsan dan bersifat vasodilator.Dosis pemberian:
dosis muatan 70mg/kgbb selama 30 menit dilanjutkan dosis pemeliharaaan 2 gr/jam
(usia < 60th) atau 1gr/jam (usia > 60th).
Dosis titrasi sesuai kebutuhan: 0,5gr/jam (usia <60th) atau 0,25gr/jam (usia
>60th)hingga tercapai dosis efektif minimum.
ß-adrenergik blocking agents (Labetolol 0,25-1 mg/menit melalui infus i.v setelah
dititrasi) untuk mengontrol disfungsi otonom yang didominasi aktivitas simpatis,
yakni menurunkan tekanan darah tanpa memperberat takikardi.
Intubasi endotrakeal atau trakeostomi pada tetanus berat (stadium III-IV) untuk atasi
gangguan napas. Hendaknya trakeostomi dilakukan pada pasien yang memerlukan
intubasi lebih dari 10 hari, disamping itu trakeostomi juga direkomendasikan setelah
onset kejang umum yang pertama.
Walaupun imunisasi aktif tidak 100% efektif mencegah tetanus, namun imunisasi
tetanus telah memperlihatkan sebagai salah satu yang paling efektif sebagai
pencegahan terhadap kejadian tetanus. Pemberian imunisasi dan penanganan luka
yang baik diketahui merupakan komponen yang penting dalam mencegah penyakit
ini. Pada pasien dengan tetanus, imunisasi aktif dengan TT harus mulai diberikan atau
dilanjutkan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Vaksinasi tetanus dengan
tetanus toxoid diberikan pada semua pasien pada masa penyembuhan.booster
diberikan 4-6 minggu sesudahnya, dosis ketiga diberikan 4 minggu sesudah dosis
kedua.
Induksi paralysis (pancuronium 24mg atau vencuronium 6-8mg/jam) disertai
penggunaan ventilator di ICU.
Terapi standar pasien tetanus di RSHS:
- ATS 10.000 IU i.m
- TT 0,5 cc i.m diulang 1 bulan kemudian
- Tetrasiklin 2 g/hari dan metronidazole 1500 mg/hr
- Diazepam 10 mg i.v
- Pemasangan NGT, trakeostomi, perawatan luka, dll
- Masuk ICU atas indikasi: apabila spasme tidak dapat diatasi atau terjadi
disotonomia
XIII. KOMPLIKASI
Pada pasien tetanus, komplikasi yang terjadi dapat mengenai hampir semua
organ tubuh, dengan yang paling sering mengenai sistem respirasi, kardiovaskular,
dan sistem otonom, serta komplikasi sistemik lain.
Body system Complication
Airway
Respiratory
Aspiration*
Laryngospasm/obstruction*
Sedative associated obstruction*
Apnoea*
Hypoxia*
Type I* (atelectasis, aspiration, pneumonia) and
Type II* respiratory failure (laryngeal spasm, prolonged
Cardiovascular
Renal
Gastrointestinal
Miscellaneous
truncal spasm, excessive sedation)
ARDS*
Complication of prolonged assisted ventilation (e.g.
pneumonia)
Tachycardia*, hypertension*, ischaemia*
Hypotension*, bradycardia*
Tachyarrhythmias, bradyarrhythmias*
Asystole*
Cardiac failure*
High output renal failure*
Oliguric renal failure*
Urinary stasis and infection
Gastric stasis
Ileus
Diarrhoea
Haemorrhage*
Weight loss*
Thromboembolus*
Sepsis and mutiple organ failure*
Fractures of vertebrae during spasms
Tendon avulsions during spasms
* Komplikasi yang mengancam jiwa
XIV. PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
Komplikasi Respirasi
Keadaan hipoksia, hipoventilasi dapat dicegah dan diatasi dengan pemberian
oksigen dan penggunaan ventilator. Di tempat yang tidak memiliki ventilator,
harus diberikan O2 sebanyak 6-8 liter/menit. Bila adanya pneumonia akibat
aspirasi sekret dapat diatasi dengan antibiotika yang tepat, dan bila ada spasme
laring dapat diatasi dengan pemberian chlorpromazine 50 mg iv atau diazepam
10-20 mg iv.
Komplikasi Kardiovaskular otonom
Untuk keadaan hipersimpatis dapat dipergunakan penghambat α dan β, yaitu
labetolol, atau penghambat β (propanolo dan esmolol) dan magnesium sulfat
Komplikasi otonom lain
Aktivitas parasimpatis yang berlebihan (sekresi saliva, trakeobronkial berlebihan
atau brokospasme) dapat dikontrol dengan bolus atropin intravena namun harus
dipantau agar denyut janutng tidak melebihi 150-170x/menit pada anak-anak atau
120-130x.menit pada dewasa
Komplikasi sistemik lain
Sepsis, dapat diberikan antibiotik kombinasi sefalosporin generasi ke-3,
aminoglikosid, vankomisin, dan metronidazol
Rhobdomiolisis, dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut, bila kadar CK >
5000 U/lt atau dideteksi mioglobin dalam urin, harus dilakukan hidrasi dengan
NaCl 0,9% dan alkalinisasi urin dengan Na bikarbonat
Komplikasi saluran cerna, sering dijumpai perdarahan saluran cerna bagian atas
sehingga dianjurkan pemberian antasida secara reguler atau dapat diberikan
antihistamin 2 antagonis.
XV. PENCEGAHAN TETANUS
Imunisasi aktif :
- Imunisasi aktif ini perlu diberikan pada ank-anak sejak dini dan juga pada ibu
hamil.
Sejak bayi sebaiknya sudah diberikan imunisasi dengan jadwal seperti pada tabel 1.
Namun jika belum diimunisasi, anak-anak ≥ 7 tahun dapat pula diimunisasi
dengan interval seperti pada tabel 2.
TABEL 1:
Imunisasi Usia /Interval pemberian Produk
Primer 1
Primer 2
Primer 3
Primer 4
Booster
≥ 6 minggu
4-8 minggu setelah primer 1
4-8 minggu setelah primer 2
6-12 minggu setelah primer 3
4-6 tahun
DPT
DPT
DPT
DPT
DPT
Booster
Tambahan
Setiap 10 tahun setelah booster terakhir Td
TABEL 2:
Imunisasi Interal Pemberian Produk
Primer 1
Primer 2
Primer 3
Booster
-
4 minggu
6-12 minggu
Setiap 10 tahun setelah booster terakhir
Td
Td
Td
Td
Pada ibu hamil dapat diberikan 2 kali injeksi Td toxoid pada trimester ke-2 atau ke-3.
Imunisasi Td toxoid pada ibu hamil ini diperlukan untuk mencegah terjadinya tetanus
neonatorum. Selain itu persalinan yang bersih juga berperan penting dalam
pencegahan tetanus neonatorum.
Imunisasi setelah mengalami luka :
- Pada seseorang yang mengalami luka, dapat dilakukan pencegahan tetanus dengan
membersihkan luka (irigasi), menghilangkan benda asing yang ada, debridement,
penggunaan antibiotik jika diperlukan.
(a) Pada luka minor, tidak terinfeksi
-Diberikan TT dengan dosis 5 Lf (0,5 cc) pada penderita dengan indikasi: status
imunisasi yang tidak diketahui, belum pernah diimunisasi atau terimunisasi
parsial,
lebih dari 10 tahun tidak mendapat booster.
(b) Pada luka mayor, terinfeksi
-Indikasi pemberian TT sama seperti pada luka minor, namun dengan dosis
booster
TT. Diberikan imunisasi pasif pada penderita tersebut, baik dengan HTIG 250-
500
U i.m ataupun dengan ATS 5000 U.
TABEL 3:
Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan Tetanus
> 6 jam
Kedalaman (> 1 cm)
Terkontaminasi
Stellate, avulsi, remuk
Denervasi, iskemik
Infeksi sekunder (+)
< 6 jam
Superfisial (< 1 cm)
Bersih
Liner, tapi tajam
Saraf/vaskuler intak
Infeksi sekunder (-)
Diambil dari Udwadia F.E., Tetanus, Bombay 1994
XVI. PROGNOSIS
Prognosis & mortalitas tergantung dari beratnya gejala klinik. Penggunaan cara
induksi paralisis dengan pemakaian Vt disertai penanganan intensive care yang
prima terbukti lebih unggul dibanding pemakaian sedative & obat relaksasi otot
dalam penurunan angka kematian. Faktor2 yang mempengaruhi angka kematian
adalah :
(a) masa inkubasi & waktu onset - semakin pendek masa inkubasi dan period onset,
semakin tinggi angka kematian
(b) berat gejala klinik - angka kematian tinggi pada penderita tetanus berat. 2 gejala
klinik yang berperan dalam prognosis adalah spasme & disotonomia. Semakin
berat dan kuat spasme otot dan disotonomia, semakin buruk prognosis.
(c) usia - prognosis buruk dan angka kematian tinggi pada neonatus dan penderita
yang berusia >50 tahun.
(d) gizi buruk - prognosis kurang baik pada penderita tetanus dgn gizi buruk.
Penyembuhan akan lebih baik dan cepat apabila diberi diet kalori tinggi (3500-
4000kal/hari)
(e) Penanganan komplikasi - apabila komplikasi tetanus yang timbul ditangani dengan
optimal, maka angka kematian rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Seymour I. Schwartz, MD., F.A.C.S. Schwartz's, Principles of Surgery. 8 th Edition.
McGraw-Hill. 2005.
Sjamsuhidajat, R.,De Jong, Wim.1997. "Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi". Penerbit
EGC : Jakarta.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani Wi, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. 2
ed. Jakarta: Media Aesculapius Universitas Indonesia; 2000.