referat obsgy

27
1 BAB I PENDAHULUAN Sindrom antibodi antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome = APS) adalah gangguan yang ditandai antibodi multipel yang berbeda yang timbul bersama antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS dikenal juga sebagai sindrom Hughes 1 . Sindroma antifosfolipid pertama kali dijelaskan pada tahun 1986 oleh Hughes, Harris, dan Gharavi 2 . Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan trombofilia yang didapat. Pada sindroma ini ditemukan autoantibodi yang dihasilkan oleh fosfolipid dan protein yang terikat fosfolipid 3 . Semua organ dapat terkena sebagai akibat trombosis pada pembuluh darah besar atau mikrosirkulasi. Pada sindroma antifosfolipid, trombosis vena dilaporkan sebanyak 50%, trombosis arteri 28% , trombosis baik pada vena maupun arteri sebanyak 13% 2 . Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam tingginya angka kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam kehamilan yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam

Upload: didi-ok

Post on 13-Sep-2015

225 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jj

TRANSCRIPT

1

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom antibodi antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome = APS) adalah gangguan yang ditandai antibodi multipel yang berbeda yang timbul bersama antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS dikenal juga sebagai sindrom Hughes 1.Sindroma antifosfolipid pertama kali dijelaskan pada tahun 1986 oleh Hughes, Harris, dan Gharavi 2. Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan trombofilia yang didapat. Pada sindroma ini ditemukan autoantibodi yang dihasilkan oleh fosfolipid dan protein yang terikat fosfolipid 3. Semua organ dapat terkena sebagai akibat trombosis pada pembuluh darah besar atau mikrosirkulasi. Pada sindroma antifosfolipid, trombosis vena dilaporkan sebanyak 50%, trombosis arteri 28% , trombosis baik pada vena maupun arteri sebanyak 13% 2.Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam tingginya angka kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam kehamilan yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam rahim, persalinan preterm dan bahkan gangguan proses implantasi embrio ke dalam endometrium 4.Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu Lupus Anticoagulant (LA), dan Anticardiolipin Antibody (ACA). Sedangkan klasifikasi APS terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut sebagai APS primer, sedangkan APS karena penyakit lain seperti SLE dinamakan APS sekunder 1,5.Kehamilan dengan segala konsekuensinya merupakan masalah pada kebanyakan pasien dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Kehamilan normal memberikan beberapa perubahan tubuh pada pasien. Perubahan-perubahan ini dapat mencetus aktivitas penyakit SLE terutama yang terdapat gangguan fungsi jantung dan ginjal, serta adanya autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta dan bahkan mempengaruhi pertumbuhan plasenta 6. Kejadian meningkat 60% pada pasien dengan kehamilan dibandingkan tanpa kehamilan. Fertilisasi pada pasien SLE tetap sama dengan perempuan tanpa SLE, kecuali fertilisasi dapat menurun pada pasien yang pernah mendapat kortikosteroid dosis tinggi, sklofosfamid dosis tinggi atau sudah menderita gagal ginjal terminal. Pada ibu hamil yang dicurigai menderita SLE, harus dicermati karena keterlambatan diagnosis dan terapi dapat menyebabkan kematian. Komplikasi dan outcome fatal pada janin pada penderita SLE juga tinggi, sehingga pengobatan SLE pada kehamilan merupakan tantangan 1,6.Kehamilan pada SLE merupakan kehamilan dengan risiko tinggi. Risiko pada ibu antara lain memberatnya penyakit SLE, sedangkan pada janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian janin intra uterin, gangguan pertumbuhan serta lupus eritematosus neonatal walaupun kejadiannya jarang ditemukan dimana 1 : 20.000 kelahiran hidup 6,7,8.Frekuensi pada populasi umum tidak diketahui, namun antibodi-antibodi APS dapat ditemukan ( 50 % pada penderita SLE dan sekitar 1 5 % pada populasi orang sehat. Pada penelitian lain. frekuensi ACA cenderung meningkat pada orang tua. Pada literatur yang terbaru didapatkan APS pada penderita SLE 34 42 %. Pada penelitian 100 pasien dengan trombosis vena dan tidak menderita riwayat SLE, 24 % memiliki ACA dan 4 % mempunyai LA 9.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindroma antifosfolipid merupakan sindroma dengan karakteristik adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan/atau morbiditas kehamilan yang berhubungan dengan tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid aPL) 8. Sindroma antifosfolipid merupakan penyakit autoimun non inflamasi ditandai adanya antibodi antifosfolipid pada plasma pendertia dengan trombosis vena dan/atau arteri dan/atau komplikasi kehamilan berulang. Sebenarnya autoantibodi yang timbul bukan suatu antibodi terhadap fosfolipid, tetapi suatu antibodi terhadap protein plasma yang mempunyai afinitas untuk fosfolipid anion 10.B. Patogenesis dan PatofisiologiDalam kehamilan, morbiditas dan mortalitas yang dihubungkan dengan APS terutama disebabkan olegh reaksi autoimun (trombosis) pada jaringan pembuluh darah plasenta. Manifestasi kinik APS terjadi akibat adanya trombosis dan emboli yang tersebar pada pembululuh darah besar dan kecil yang menyebabkan kelainan multidimensi berupa iskemia dan infark jaringan, stroke, penyakit jantung koroner pada sisi maternal dan ancaman abortus, gangguan tumbuh kembang janin hingga kematian maternal 11.Mekanisme trombosis karena antibodi antifosfolipid dalam kehamilan belum diketahui secara pasti, namun yang jelas membran fosfolipid mempunyai banyak fungsi dan bekerja setiap saat sehingga tidak mengherankan bila suatu waktu dapat menjadi antigen. Istilah sindrom masih dipakai untuk kondisi klinik tersebut dan bukan disease 12,13.Ada beberapa mekanisme yang diduga dapat menyebabkan trombosis tersebut, antara lain penurunan produksi prostasiklin. Pada sel endotel pembuluh darah terjadi metabolisme asam arakidonat melalui cyclooxigenase pathway untuk menghasilkan prostasiklin. Sebaliknya terjadi metabolisme asam arakidonat untuk menghasilkan tromboksan A2 (TXA2), pada sel-sel platelet. Prostasiklin merupakan vasodilator yang poten dan menghambat agregasi platelet, sedangkan tromboksan berefek sebaliknya. Dengan demikian penurunan prostasikin oleh karena kerusakan endotel berpotensi menimbulkan trombosis melalui agregasi platelet dan vasokontriksi pembuluh darah 12,13.Berbagai mekanisme yang dapat diduga adalah antara lain penurunan protein C yang teraktivasi, peningkatan pelepasan tissue factor, penurunan anti trombin III, penurunan fibrinolisis dan peningkatan agregasi platelet 12.Protein C diaktivasi pada membran endotel oleh kompleks trombin dan suatu glikoprotein yaitu trombomodulin. Reaksi ini termasuk reaksi yang tergantung dari adanya fosfolipid dan kalsium. Diduga antibodi antifosfilipid merintang reaksi ini. Protein C teraktivasi ini dan dibantu dengan adanya protein S sebagai ko faktor akan menghambat kerja dari faktor VIIIa dan Va dalam sistim pembekuan darah sehingga akan menurunkan pembentukan trombin. Dengan demikian bila terjadi penurunan protein C teraktivasi maka akan menimbulkan trombosis 12,13.Hipotesis mutakhir mengaitkan antibodi antifosfolipid dengan annexin V atau placental anticoagulant protein-1, suatu regulator dan inhibitor koagulasi alamiah di plasenta. Anneksin V berikatan dengan fosfolipid di permukaan membran sel yang bermuatan negatif (anion), sehingga mencegah terikatnya faktor-faktor pembekuan darah yang tergantung fosfolipid anionik. Namun pada sindrom antibodi antifosfolipid, antibodi antifosfolipid menggantikan anneksin V di permukaan membran sehingga jalur koagulasi tidak tercegah dan terjadilah trombosis 13.Tabel 1.Patogenesis dan Patofisiologi Sindroma antifosfolipid dalam KehamilanKondisi SelReaksi ImunologiEfek Biologi SelGejala Klinik

Ag-AbAktifasiSistemMolekulFungsi

Sel cedera(-GPI

Antibodi aPL

Fosfatidil-serin

Annexin-VTrombofilik

Non-trombotik (inflamasi)Koagulasi intravaskuler

Sitokin

Eiscosanoid

Adhesi molekulX-ase Protrombonase

IL-3, VEGF

Prostaglandin, tromboxan

Integrins, CadherinsFormasi trombosis

Proliferasi trofoblas

Invasi trofoblas

Vasospasme vaskulerKegagalan implantasi, Abortus dini,

Kematian janin,Pertumbuhan janin terhambat,Preeklampsia,Solusio plasenta,Asfiksia neonatorum,Lahir hidup normal

Sel sehat(2-GPI

Antibodi aPL

Annexin-V

Fosfatidil- serinNon-trombotik (normal/ inflamasi)---Lahir hidup normal

Sumber: Witjaksono (2004)C. Manifestasi Klinis

Secara klinis, sindroma antifosfolipid terdiri dari 2 jenis, antara lain: 1. Sindroma antifosfolipid primer

Adanya antibodi antifosfolipid pada penderita dengan trombosis idiopatik tanpa adanya penyakit autoimun atau faktor lain seperti infeksi, keganasan, hemodialisis atau antibodi antifosfolipid yang diinduksi oleh obat-obatan 2.2. Sindroma antifosfolipid sekunder

Adanya antibodi antifosfolipid dan trombosis pada penderita dengan penyakit autoimun, terutama SLE dan artritis rematoid 2.Dari 1000 kasus sindroma antifosfolipid, presentasi klinis yang ditemukan sebagai berikut 10.a. Trombosis vena dalam (32%)

b. Trombositopenia (22%)

c. Livido retikularis (20%)

d. Stroke (13%)

e. Tromboflebitis superfisialis (9%)

f. Emboli pulmonal (9%)

g. Kematian fetus (8%)

h. Transient ischemic attack (7%)

i. Anemia hemolitik (7%)

Catastrophic APS, sebagian kecil (0.8%) penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami trombosis luas dengan gagal organ mltiple pada 3 atau lebih organ/sistem. Catastrophic APS sering berakibat fatal dengan angka mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi antikoagulan dan imunosupresif 10.Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma antifosfolipid sebagai berikut.1. Trombosis pada pembuluh darah besar 2.a. Neurologik

Transient ischemic attack, stroke iskemi, chorea, kejang, dementia, myelitis transversa, ensefalopati, migren, pseudotumor serebri, thrombosis vena serebral, mononeuritis multipleks

b. Optalmik

Trombosis arteri/vena retina, amaurosis fugax

c. Kulit

Flebitis superfisial, ulkus di kaki, iskemi distal, blue toe syndrome

d. Jantung

Infark miokardial, vegetasi valvular, trombi intrakardiak, aterosklerosis

e. Paru-paru

Emboli paru, hipertensi pulmonal, trombosis arteri pulmonal, perdarahan alveolar

f. Arteri

Trombosis aorta, trombosis arteri besar dan kecil

g. Ginjal

Trombosis vena/arteri renalis, infark ginjal, gagal ginjal akut, proteinuria, hematuria, sindroma nefrotik

h. Gastrointestinal

Sindroma Budd-Chiari, infark hati, infark kandung empedu, infark usus, infark limpa, pankreatitis, asites, perforasi esofagus, kolitis iskemi

i. Endokrin

Infark dan kegagalan fungsi adrenal, infark testis, infark prostat, infark dan kegagalan fungsi pituitari

j. Vena

Trombosis vena ekstremitas, adrenal, hepatik, mesenterik, lien, vena cava.

k. Komplikasi obstetrik

Keguguran, gangguan pertumbuhan janin intrauterin; anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, trombositopeni (sindroma HELLP); oligohidramnion, preeklampsi

l. Hematologi

Trombositopenia, anemia hemolitik, sindroma hemolitik uremik, purpura trombotik trombositopeni

m. Lain-lain

Perforasi septum nasal, nekrosis avaskular tulang

2. Trombosis mikrovaskuler 2.a. Mata

Retinitis

b. Kulit

Livido retikularis, gangren superfisial, purpura, ekimosis, nodul subkutan

c. Jantung

Infark miokardial, mikrotombi miokardial, miokarditis, abnormalitas katup

d. Paru-paru

Acute respiratory distress syndrome, perdarahan alveoler

e. Ginjal

Gagal ginjal akut, mikroangiopati trombotik, hipertensi

f. Gastrointestinal

Infark atau gangren usus, hati, limpa

g. HematologiKoagulasi intravaskuler diseminata (pada sindroma antifosfolipid katastropik)

h. Lain-lain

Mikrotrombi, mikroinfark

Bick mengklasifikasikan sindroma trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid menjadi 6 tipe sindroma, yaitu 14,15:1. Sindroma tipe I

Trombosis vena dalam dengan atau tanpa emboli paru

2. Sindroma tipe II

a. Trombosis arteri koroner

b. Trombosis arteri perifer

c. Trombosis aorta

d. Trombosis arteri karotis

3. Sindroma tipe III

a. Trombosis arteri retina

b. Trombosis vena retina

c. Trombosis serebrovaskuler

d. Transient cerebral ischemic attacks

4. Sindroma tipe IV

Campuran sindroma tipe I, II, dan III

5. Sindroma tipe V (Fetal wastage sndrome)

a. Trombosis vaskuler plasenta

b. Fetal wastage (sering pada trimester 1, dapat pada trimester 2 dan 3)c. Trombositopeni maternal

6. Sindroma tipe VI

Antibodi antifosfolipid tanpa manifestasi klinis

Keadaan-keadaan lain yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid:

1. Sistemik eritematosis lupus

Lupus antikoagulan didapatkan pada 31% penderita lupus, pada 23-47% didapatkan antikardiolipin antibodi dan 20% didapatkan b2-glikoprotein antibodi 10.2. Lupus antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat ditemukan pada penyakit penyakit autoimun dan rematik lainnya yaitu 10:a. Anemi hemolitik

b. Trombositopeni purpura imun (30%)

c. Juvenile arthritis

d. Artritis rematoid (7-50%)

e. Artritis psoriatik (28%)

f. Skleroderma (25%)

g. Sindroma Behcet (7-20%)

h. Sindroma Sjogren (25-42%)

i. Mixed connective tissue disease (22%)

j. Polimiositis dan dermatomiositis

k. Polimialgia rematika (20%)

l. Osteoartritis (< 14%)

m. Gout

n. Mltipel sklerosis

o. Vaskulitis

p. Penyakit tiroid autoimun

3. Infeksi 10Pada infeksi tertentu dapat ditemukan antifosfolipid antibodi, biasanya IgM Acl dan kadang-kadang menyebabkan trombosis.

a. Bakteri: septikemi, leptospirosis, sfilis, lyme disease (borreliosis), tuberkulosis, lepra, endokarditis infektif, demam rematik post infeksi streptokokus, infeksi klebsiella

b. Virus: hepatitis A, B dan C, mumps, HIV, HTLV-1, sitomegalovirus, varicella-zoster, Epstein-Barr, adenovirus, parvovitus, rubela.

c. Parasit: malaria, pneumocystic carinii, leishmaniasis

d. NeoplasmaAntifosfolipid antibodi dilaporkan ditemukan pada kanker paru, kolon, seviks, prostat, ginjal, ovarium, payudara, tulang, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, mielofibrosis, polisitemia vera, leukemia mieloid dan limfositik

e. Keadaan-keadaan lain

Antifosfolipid antibodi juga ditemukan pada sickle cell anemia, anemia pernisiosa, diabetes melitus, inflammatory bowel disease, terapi pengganti ginjal dialisis dan sindroma Klinefelter.Gejala klinik pada APS adalah 9,16:1. Kematian janin, didefinisikan sebagai abortus spontan tiga kali atau lebih dengan tidak lebih dari satu kelahiran hidup, atau kematian janin trimester II atau III yang tidak jelas penyebabnya.

2. Trombosis arteri atau vena, strok dan insufisiensi arteri yang tidak jelas penyebabnya.

3. Autoimmun trombositopenia.

4. Manifestasi pada kulit seperti sianosis perifer, livido retikularis, ulkus kaki, gangren jari-jari.

5. Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer dengan penyebab yang tidak jelas.

6. Serositis, dapat berupa pleuritis atau efusi pleura, perikarditis atau efusi perikrdial, yang penyebabnya tidak jelas.

7. Kelainan ginjal, berupa proteinuri 0,5 gr/hari.

8. Kelainan neurologik, termasuk kejang dan psikosis yang tidak diketahui penyebabnya.

9. Kelainan hematologi berupa Anemia hemolitik dengan retikulosis, Leukopeni kurang dari 4000/mm minimal dua kali pemeriksaan, limfopeni kurang dari 1500/mm, trombositopeni kurang dari 100.000/mm, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yang dapat membantu menegakkan diagnosis APS sebagai berikut 17,18.1. IgG dan IgM antikardiolipin antibodi.2. IgG dan IgM anti-2-glikoprotein3. Test Lupus Antikoagulan.E. Kriteria Diagnostik

Sindroma antifosfolipid definit adalah bila didapatkan minimal 1 kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium.

Kriteria klinis: 1 atau lebih episode trombosis vena, arterial atau pembuluh darah kecil dan /atau morbiditas kehamilan.1. trombosis : dibuktikan dengan pemeriksaan imaging atau histologi

b. morbiditas kehamilan : satu atau lebih kematian fetus dengan morfologi normal pada usia > 10 minggu kehamilan, atau satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia 34 minggu karena eklampsi, preeklamsi atau insufisiensi plasenta, atau tiga atau lebih kematian embrio (< 10 minggu), tanpa adanya kelainan kromosom ayah dan ibu atau kelainan anatomi ibu atau penyebab hormonal.Kriteria laboratorium: adanya aPL pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan jarak minimal 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis.1. IgG dan/atau IgM anticardiolipin antibodi dengan titer moderat atau tinggi

(>40 unit GPL atau MPL atau >99th persentil)

2. Antibodi 2- glikoprotein 1 IgG atau IgM isotipe dengan titer > 99th persentil

3. Adanya aktivitas lupus antikoagulanF. Penatalaksanaan

Hingga kini etiologi APS belum diketahui, sehingga dasar pengobatan semata berdasarkan upaya mengatasi simtomatik yang terjadi akibat kelainan autoimun ini. Berbagai variasi pengobatan telah dilakukan termasuk penggunaan kortikosteroid dosis tinggi, heparin (baik unfractionized maupun low molecular weight /LMV heparin) maupun imunoglobulin intravena (IVIG). Pengobatan tersebut sering dikombinasikan dengan asam salisilat dosis rendah (low dose aspirin / LDA). Pengamatan metaanalisis dari variasi pengobatan tersebut telah dikaji atas aspek keberhasilan mengatasi berbagai komplikasi obstetrik seperti keberhasilan memperoleh bayi lahir hidup, risiko pertumbuhan janin terhambat, preeklamsia berat, kematian janin intrauteri, risiko perawatan neonatal intensif dan frekuensi persalinan dengan bedah sesaria 10.

Penatalaksanaan kehamilan dengan APS pada dasarnya meliputi penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan dan masa nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya trombosis, gangguan sirkulasi utero plasenter dan penentuan saat persalinan yang adekuat 19,20. Penatalaksanaan secara profesional dan adekuat memerlukan penanganan tim multidisiplin yang meliputi bidang spesialisasi penyakit dalam (khususnya konsultan hematologi), spesialis obsteri (khususnya konsultan fetomaternal), dan spesialis pediatri (khususnya konsultan perinatologi) 19.1. Kunjungan Antenatal

Setiap wanita dengan APS, idealnya memperoleh konseling prakonsepsi terhadap risiko yang akan diperoleh selama kehamilan dan persalinan. Konseling juga meningatkan risiko kelainan kongenital janin akibat pemberian obat-abatan selama kehamilan bagi dan janin maupun masa perinatal 19.Pemeriksaan kehamilan dalam trimester pertama dan kedua dilakukan setiap dua minggu, dan setelah itu setiap minggu mulai kehamilan 32-34 minggu, dimana terjadi peningkatan risiko terjadinya trombosis pada pengobatan yang tidak adekuat 19,20. Kesejahteraan dan pertumbuhan janin diamati dengan melakukan pengukuran tinggi fundus uteri, deteksi denyut jantung janin maupun pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi adanya pertumbuhan janin terhambat, kelainian kongenital yang didapat oleh perjalanan penyakit maupun akibat prosedur pengobatan yang diberikan 19.Penilaian kesejahteraan janin dilakukan dengan pengukuran nilai profil biofisik, dimana pada APS tanpa komplikasi dimulai pada usia gestasi 32 34 minggu, sedangkan dengan komplikasi pada umur kehamilan 24 25 minggu 19.2. Pengobatan Medikamentosa

a. Heparin

Heparin tidak melewati sawar plasenta, sehingga digunakan pada kehamilan untuk pencegahan proses pembentukan tromboemboli vaskuler. Dosis heparin disesuaikan hingga dicapai keadaan tidak terjadi kekambuhan proses trombosis, yaitu apabila ditemukan nilai INR (the International Normalized Ratio) 2,6 atau antara 2,0 3,0 19,20.Ada dua jenis heparin yaitu 19,21:a. Unfractionated heparin (UHF)

b. Low molecular weight heparin (LMWH)

Penggunaan UHF diketahui berkaitan dengan risiko terjadinya osteporosis sebesar 5 15 %, dibandingkan kasus osteoporosis dengan pemakaian LMWH sebesar 0,2 % dalam kehamilan. Penggunaan heparin dapat meningkatkan tercapainya persalinan pada kehamilan aterm yaitu 73 % pada pemakaian UHF dan 88 % pada pemakaian LMWH 19,20.b. Aspirin

Dosis rendah aspirin 60 100 mg/hari efektif untuk pengobatan sindrom antibodi antifosfilipid melalui penurunan rasio tromboksan-prostasiklin dan penurunan resistensi protein C 19,20.Kombinasi heparin (UFH) dosis 10.000-26.000 U/hari dan aspirin 81 mg/hari meningkatkan keberhasilan kehamilan mencapai 70-80%, bahkan mencapai lebih dari 90% pada pemakaian LMWH dan aspirin 19,20.c. Glukokortikoid

Pemberian kortikosteroid prednison dengan / tanpa heparin dalam jagka panjang dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas maternal, dimana terdapat peningkatan kejadian preeklampsia, ketuba pecah dini 19.Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dibatasi pada pemakaian jangka pendek, misalnya untuk perangsangan pematangan alveoli dan vaskuler paru apabila pemeriksaan kesejahteraan janin mempertimbangkan janin untuk terminasi persalinan pada usia preterm, atau apabila ditemukan komplikasi lain seperti ketuban pecah, dengan memberikan glukokortikoid betametason dosis sekali 12 mg/hari/im atau deksametason 2 x 6 mg/hari/oral selama 4 hari 19.d. Pengobatan lainnya

Penggunaan Imunoglobulin intravena (IVIG) digunakan untuk pencegahan perburukan janin melalui penekanan kadar ACA dan LA. Dosisnya adalah 400mg/kg selama 5 hari setiap bulan (Spinnato dkk, 1995) menunjukkan keberhasilan kehamilan 62-79% 1,19.Suplemen kalsium (kalsium karbonat dosis 2000mg/hari) serta vitamin D disertai senam ringan, sebaiknya tetap diberikan selama pengobatan dengan heparin. Demikian pula pemberian asam folat 5-10mg/hari dianjurkan untuk pencegahan neural tube defect 19.Anti malaria, gold-terapi dan kemoterapi (seperti metotrexate) hanya diberikan bila dijumpai penyerta SLE pada kehamilan dengan sindrom antibodi antifosfolipid yang tidak responsif pada pengobatan diatas 19.3. Persalinan dan Pengawasan Masa Nifas pada Sindrom Antibodi Antifosfilipid

Segera setelah inpartu, pemberian heparin harus dihentikan, dan proses persalinan diawasi. Apabila ada indikasi terminasi kehamilan perabdominam, maka pemberian LMWH harus diganti dua hari sebelumnya dengan UFH dosis 5000-10.000 unit yang dihentikan 6-8 jam sebelum tindakan pembedahan. Apabila hanya digunakan LMWH, tindakan pembedahan dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis terakhir 20.Pada masa post partum, Heparinisasi dilanjutkan sampai 4-6 jam lagi untuk mencegah terjadinya sindrom post partum (flare-up) yang dapat memicu terjadinya trombosis sistemik dengan penyulit kegagalan organ multiple. Pemberian antikoagulan dihentikan secara bertahap untuk mencegah risiko tromboemboli dalam tiga bulan pertama post partum 20. BAB IIIRINGKASAN

Sindroma antifosfolipid merupakan sindroma dengan karakteristik adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan/atau morbiditas kehamilan yang berhubungan dengan tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid aPL).

Dalam kehamilan, morbiditas dan mortalitas yang dihubungkan dengan APS terutama disebabkan olegh reaksi autoimun (trombosis) pada jaringan pembuluh darah plasenta. Manifestasi kinik APS terjadi akibat adanya trombosis dan emboli yang tersebar pada pembululuh darah besar dan kecil yang menyebabkan kelainan multidimensi berupa iskemia dan infark jaringan, stroke, penyakit jantung koroner pada sisi maternal dan ancaman abortus, gangguan tumbuh kembang janin hingga kematian maternal.Sindroma antifosfolipid definit adalah bila didapatkan minimal 1 kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium. Kriteria klinis dimana 1 atau lebih episode trombosis vena, arterial atau pembuluh darah kecil dan /atau morbiditas kehamilan. Kriteria laboratorium dimana adanya aPL pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan jarak minimal 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis.

Pemahaman konsep patofisiologi antifosfolipid dalam kehamilan merupakan pedoman untuk melakukan pendekatan diagnosis, prevensi dan terapeutik secara komprehensif sehingga penatalaksanaan kehamilan risiko tinggi ini dapat memberikan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manchanda, N. 2001. Antiphospholipid Antibody Syndrome. Carle Cancer Center, Univesity of Illninois, Urbana/Champaign. Diunduh dari: http://www.med.illinois.edu/hematology/PtAPS.htm/. Diakses pada tanggal 1 Juni 2012.2. Baker, WF., Bick, RL. 2008. The Clinical Spectrum of Antiphospholipid Syndrome. Hemato l Oncol Clin N Am (22): 33-52.3. Levine, JS., Branch, DW., Rauch, J. 2002. The Antiphospholipid Syndrome. N Engl J Med (346): 752-63.4. Atmakusuma, DJ. 2001. Pathophysiology of Trombosis and Anti-phospholipid Syndrome (APS). Dalam: Simposium Thrombosis in Pregnancy. Jakarta, Indonesia.5. Cunninghan, FG., Gant, NF., Levono, KJ., Gilstrap, LC., Hauth, JC., Wenstrom, KD. 2001. Connective Tissue Disorders. Dalam: Williams Obstetrics. 21th ed. Mc Graw Hill, New York, United States of America. Hal. 1383-94.6. Yuliasih. 2007. Kehamilan pada Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.7. Soeroso, J. 2004. Pengelolaan Ibu Hamil dengan Sistemik Lupus Eritematosus. Dalam: Setiyohadi, B., Kasjmir, YI. (ed), Makalah Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi dan Kursus Nyeri IRA. Jakarta, Indonesia. Hal 77-81.8. Ritonga, P., Jacoed, TZ. 1996. Lupus Eritematosus Sistemik dalam Obstetri dan Ginekologi. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia (4): 241-242.

9. Belilos, E., Carsons, S. 2012. Antiphospholipid Syndrome. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/333221/. Diakses 1 Mei 2012.10. Bermas B., Erkan, D., Schur, PH. 2007. Clinical Manifestations and Diagnosis of Antiphospholipid Syndrome. Diunduh dari: http://www.uptodate.com/. Diakses 28 Mei 2012.11. Witjaksono, J. 2004. Patofisiologi Sindroma Antifosfolipid dalam Kehamilan: Dasar Patogenesis dan Prinsip Pngobatan. Dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI XIV, Bandung, Indonesia.12. Putra, IGND., Suwiyoga, K. 2000. Abortus Berulang pada Sindrom Antifosfilipid Antibodi. SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar, Indonesia. 13. Wibowo, N. 2001. Pathogenesis of Anti-Phospholipid Syndrome in Pregnancy. Dalam: Simposium Thrombosis in Pregnancy. Jakarta, Indonesia.14. Bick, RL. 2002. Disorder of Trombosis and Hemostatsis Clinical and Laboratory Practice. 3rd ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, United States of America.

15. Bick, RL., Baker, WF. 2008. Treatment Options for Patiens Who Have Antiphospholipid Syndromes. Hematol Oncol Clin N Am (22): 145-53.16. Berg, TG., Meyer, BA. 2011. Antiphospholipid Antibody Syndrome and Pregnancy. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/261691/. Diakses 2 Juni 2012.17. Miyakis, S., Lockshin, MD., Atsumi, T., Branch, DW., Brey, RL., Cervera, R., et. al. 2006. International Concensus Statement on an Up todate of the Classification Criteria fore Definite Antiphospholipid Syndrome (APS). Journal of Thrombosis and Hemostasis (4): 295-306.18. Pengo, W. 2006. Anti-b2-glycoprotein I Antibody Testing in the Laboratory Diagnosis of Antiphospholipid Syndrome. J Thromb Haemost (3): 1158-9.19. Witjaksono, J. Atmakusuma, DJ., Surjana, EJ., Tambunan, KL. 2001. Penatalaksanaan Kehamilan dengan Sindroma APS. Dalam: Simposium Thrombosis in Pregnancy. Palembang, Indonesia.20. Witjaksono, J. 2001. Management of Anti-phospholipid Syndrome in Pregnancy. Dalam: Simposium Thombosis in Pregnancy. Jakarta, Indonesia.21. Boda, Z., Laszlo, P., Pfliegler, G., Tornai, I., Rejto, L., Schlammadinger, A. 1998. Thrombophilia, Anticoagulant Therapy and Pregnancy. Dalam: Orvosi hertilap. Markusovszki, Springer (52): 3113-6.