referat forensik22

44
PENDAHULUAN Perkiraan waktu kematian oleh seorang ahli patologi atau forensik biasanya dapat dilakukan dalam 72 jam pertama setelah kematian. Perkiraan waktu kematian ini dilakukan berdasarkan kondisi jasad dan beberapa kondisi lain seperti penurunan suhu tubuh. Lewat dari waktu tersebut, hanya sedikit informasi medis yang dapat dikorelasikan dengan interval post mortem (PMI) 1 . Lewat dari 72 jam, pembuktian waktu kematian menggunakan serangga seringkali lebih akurat dan bahkan hanya metode ini yang dapat memperkirakan waktu kematian secara lebih tepat 1,2 . Aplikasi ilmu serangga dalam kasus-kasus hukum disebut sebagai entomologi forensik 1-5 . Saat ini istilah entomologi forensik telah lebih diperluas, bukan hanya mengenai serangga namun juga artropoda lainnya 1,4 . Peran artropoda dalam hubungannya dengan ilmu forensik adalah adanya aktivitas konsumsi tubuh bangkai, termasuk jasad manusia 3 . Serangga dapat digunakan

Upload: margaretha-sono

Post on 26-Nov-2015

82 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT FORENSIK22

PENDAHULUAN

Perkiraan waktu kematian oleh seorang ahli patologi atau forensik biasanya dapat

dilakukan dalam 72 jam pertama setelah kematian. Perkiraan waktu kematian ini

dilakukan berdasarkan kondisi jasad dan beberapa kondisi lain seperti penurunan suhu

tubuh. Lewat dari waktu tersebut, hanya sedikit informasi medis yang dapat

dikorelasikan dengan interval post mortem (PMI)1. Lewat dari 72 jam, pembuktian waktu

kematian menggunakan serangga seringkali lebih akurat dan bahkan hanya metode ini

yang dapat memperkirakan waktu kematian secara lebih tepat1,2. Aplikasi ilmu serangga

dalam kasus-kasus hukum disebut sebagai entomologi forensik1-5.

Saat ini istilah entomologi forensik telah lebih diperluas, bukan hanya mengenai

serangga namun juga artropoda lainnya1,4. Peran artropoda dalam hubungannya dengan

ilmu forensik adalah adanya aktivitas konsumsi tubuh bangkai, termasuk jasad manusia3.

Serangga dapat digunakan untuk investigasi kasus-kasus kriminal, baik di darat maupun

di air1.

Meskipun entomologi forensik dapat meliputi pembunuhan yang disengaja atau

kekerasan menggunakan serangga, kasus-kasus kematian yang tidak dapat dijelaskan

(misalnya anafilaksis akibat sengatan lebah) atau penyebab kecelakaan lalu lintas

(misalnya kecelakaan karena menghindari lebah yang ada di dalam mobil), pertanyaan

khas yang diajukan kepada ahli entomologi forensik meliputi perkiraan waktu kematian

(interval post-mortem), serta yang agak jarang lokasi dimana kematian tersebut terjadi2,4,5-

7. Ilmu mengenai serangga ini juga dapat membantu menentukan lokasi geografis

Page 2: REFERAT FORENSIK22

kematian dalam kasus jasad yang telah dipindahkan dan membantu identifikasi lokasi

trauma pada jasad7. Bukti entomologik juga dapat digunakan sebagai sampel toksikologi

alternatif. Serangga-serangga yang dapat membantu investigasi entomologi forensik

adalah blowflies, flesh flies, cheese skippers, rove beetles, clownbeetles, dan sejenisnya1,4.

1. Sejarah Entomologi Forensik

Serangga diketahui telah lama digunakan dalam mendeteksi kasus-kasus

kriminal1. Catatan pertama mengenai entomologi forensik berasal dari abad ke-13 di

Cina1,2,4,5,6,8. Seorang ahli kriminal berkebangsaan Cina Sung Tzu melakukan suatu

penyidikan terhadap pembunuhan seorang petani. Saat seluruh penduduk desa

diinstruksikan untuk mengumpulkan semua sabitnya, lalat hanya berkumpul pada

salah satu sabit oleh karena sisa darah dan jaringan tertinggal pada sabit tersebut.

Berdasarkan bukti tersebut, pelaku pembunuhan tersebut mengakui perbuatannya1,4,5.

Sebagai tambahan untuk meyimpulkan kasus pertama tersebut, Sung Tzu juga

mencatat kemunculan belatung yang cepat pada jasad saat musim panas dan luka

antemortem sebagai lokasi yang paling potensial sebagai tempat infestasi belatung5.

Entomologi forensik masih jarang digunakan hingga abad ke-19 tetapi

berperan penting dalam beberapa kasus besar saat itu2. Antara abad ke-13 dan abad

ke-19, beberapa ilmuwan dalam bidang biologi berupaya membuat yayasan untuk

entomologi forensik agar menjadi sebuah cabang ilmu1. Pada tahun 1996, beberapa

peneliti mengembangkan dewan Amerika untuk entomologi forensik yang

mengeluarkan sertifikat untuk seorang ahli entomologi yang pada dasarnya setara

dengan yang dikeluarkan untuk seorang odontologist dan antropologist2. Sejak

Page 3: REFERAT FORENSIK22

dibangunnya lembaga tersebut, determinasi lamanya tahapan-tahapan dalam siklus

hidup serangga dapat dilakukan dan indikator waktu saat kematian seseorang dapat

dikembangkan2.

Suatu kasus hukum yang penting yang membantu membuktikan bahwa

entomologi forensik merupakan alat yang penting dalam investigasi kasus criminal

adalah pembunuhan seorang bayi. Tubuh bayi yang telah mengalami mumifikasi

terbungkus dalam sebuah cerobong asap ditemukan di balik sebuah potongan papan

di atas tungku dalam sebuah asrama ketika dilakukan pekerjaan renovasi pada tahun

1850. Dr. Marcel Bergeret melakukan autopsi terhadap jasad tersebut dan

menemukan larva dari sebuah fleshfly, Sarcophaga carnaria (Linnaeus) dan

beberapa ngengat. Ia menyimpulkan bahwa tubuh bayi tersebut telah ditutup/

disembunyikan sejak tahun 1848 dan ngengat-ngengat tersebut mulai mendapat jalan

masuk ke jasad tersebut sejak tahun 1849. Berdasarkan hasil dari perkiraan interval

post mortem, pemilik dari rumah tersebut sebelum tahun 1848 dijadikan tersangka1,4.

Hal penting lainnya dalam sejarah entomologi forensik adalah hasil observasi

dan kesimpulan yang dibuat oleh Meignin (1894). Ia menghubungkan delapan

tahapan dekomposisi tubuh manusia dengan rangkaian kolonisasi serangka pada

tubuh manusia yang telah meninggal. Ia mempublikasikan temuannya pada La

Faune des Cadavres: Applcation de l’Entomologiea la Medicine Legale. Tahapan-

tahapan dekompsisi kemudian secara lanjut bervariasi dalam hal kecepatan dan

dipengaruhi oleh temperatur. Pengetahuan tentang rangkain kehidupan serangga di

Page 4: REFERAT FORENSIK22

dalam jasad menjadi dasar ahli entomologi forensic dalam memperkiraan waktu

kematian seseorang1.

Pada abad ke-20, serangga juga menjadi sangat penting dalam kasus

peradilan dengan melibatkan kolonisasi serangga pada bagian tubuh yang ditemukan

di dalam air. Pada tanggal 29 september 1935, beberapa bagian tubuh teridentifikasi

sebagai mayat dua orang wanita ditemukan di sungai Scottish. Keberadaan larva

blowfly mengindikasikan bahwa telur blowfly telah ditelurkan sebelum jasad tersebut

ditenggelamkan ke dalam sungai. Berdasarkan informasi ini dabukti lainnya, suami

salah satu jasad tersebut menjadi tersangka pembunuhan. Diterimanya entomologi

forensik tergantung dari akademikus dan pekerja lapangan yang bekerja

berdampingan dengan dengan kepolisian dan hukum untuk meneguhkan dan

membangun entomologi forensik sebagai suatu cabang ilmu1.

2. Entomologi

a. Ciri-Ciri Serangga

Serangga termasuk dalam filum Artropoda, kelas Insekta yang merupakan

kelas terbesar dilihat dari segi jumlah spesies untuk semua filum dalam kerajaan

binatang. Ciri-ciri khas dari bentuk dewasa kelas Insekta (Heksapoda) adalah

sebagai berikut :9

1. Bagian luar tubuh tertutup oleh lapisan keras disebut integumen atau

eksoskeleton.

Page 5: REFERAT FORENSIK22

2. Tubuh terdiri dari tiga segmen, yaitu kepala (caput), dada (thoraks), dan perut

(abdomen).

3. Kepala biasanya memiliki satu pasang antena, satu pasang mandibel,

memiliki maksila dan labium, serta biasanya mempunyai satu pasang mata

majemuk.

4. Pada bagian dada terdapat tiga pasang tungkai dan satu atau dua pasang

sayap; sering tanpa sayap.

5. Abdomen atau perut biasanya tidak memiliki tungkai, kecuali pada bentuk

pradewasa terutama anggota-anggota dari ordo Lepidoptera ada yang

bertungkai semu.

6. Struktur dari sistem pencernaan makanan berbentuk tabung.

7. Sistem peredaran darah terbuka.

8. Sistem pernapasan melalui trakea dan terbuka pada bagian luar melalui

spirakel.

9. Biasanya mengalami proses metamorfosis.

Dapat disimpulkan bahwa serangga adalah organisme yang mempunyai

eksoskeleton, enam kaki, tiga segmen tubuh, satu pasang antena, dan satu pasang

mata majemuk5. Alat-alat mulut serangga sangat bervariasi, tetapi pada dasarnya

terdiri dari (1) sepasang mandibel, (2) maksila, dan (3) labium. Pada lalat rumah

tipe alat mulut mempunyai bentuk yang khusus yaitu tipe menyerap. Pada saat

makan, probosis yang terdiri dari labium diturunkan dan kelenjar ludah

dipompakan ke makanan. Makanan yang sudah dicairkan dipindahkan oleh

Page 6: REFERAT FORENSIK22

kapiler melalui sejumlah pseudotrakea ke penampungan median dalam labelum.

Beberapa jenis lalat yang bersifat parasit seperti lalat tsetse memiliki gigi yang

besar dan tajam pada labelum untuk memotong jaringan dan makanan. Pompa

penyerap menarik campuran makanan melalui tabung labral-hypopharyngeal ke

dalam tabung pencernaan makanan9.

b. Siklus Hidup Serangga pada Tubuh Mayat

Dalam perkembangannya dari telur hingga mencapai serangga dewasa,

serangga-serangga mempunyai tahapan metamorfosis baik itu yang sempurna

maupun yang tidak sempurna2,6. Dalam metamorfosis yang tidak sempurna,

serangga muda dihasilkan dari telur serangga yang menetas hingga akhirnya

menjadi bentuk serangga yang dewasa. Pada metamorfosis sempurna,

sekumpulan telur serangga dilepaskan pada tubuh mayat yang kemudian akan

menetas dalam periode waktu tertentu menjadi larva tahap pertama. Larva

kemudian melanjutkan hidup dengan memakan tubuh mayat dan berkembang

menjadi bentuk larva tahap kedua. Larva tersebut kemudian melanjutkan hidup

dan membentuk larva tahap ketiga. Stadium pembentukan larva ini bergantung

pada ukuran dan jumlah dari spirakel (lubang pernapasan). Saat dalam bentuk

larva tahap ketiga ini, larva tetap memakan tubuh mayat sampai akhirnya akan

berhenti dan mulai meninggalkan tubuh mayat ke pakaian atau tanah untuk

mencari tempat yang aman untuk menjadi kepompong2,3,8. Stadium dimana tidak

ada proses makan disebut pra kepompong. Larva kemudian melepaskan kulit

Page 7: REFERAT FORENSIK22

luarnya tetapi kulit bagian dalamnya tidak dilepaskan. Lapisan kulit yang luar

adalah bentuk yang keras, atau seperti cambuk, sampai bentuk yang lebih keras

untuk protektif diri di lapisan yang lebih luar, atau kantong kepompong, dimana

melindungi serangga dalam proses metamorfosis sampai ke bentuk yang dewasa.

Kepompong yang baru terbentuk berwarna pucat, tetapi gelap di bagian

dalamnya selama beberapa jam. Setelah beberapa hari, lalat dewasa berasal dari

kepompong dan akan mengulang kembali siklus seperti yang sudah dijelaskan di

atas. Saat sudah menjadi lalat dewasa, kantong kepompong akan kosong dan ini

menjadi bukti bahwa lalat telah berkembang secara sempurna. Setiap tahap

perkembangan ini dilewati berdasarkan waktu tertentu. Periode ini didasarkan

pada suhu lingkungan dan ketersediaan makanan. Tingkat metabolik akan

meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, dimana hal ini akan

membuat semakin cepatnya perkembangan serangga dan membuat durasi waktu

dari perkembangannya semakin berkurang. Makanan tidak selalu menjadi faktor

yang membatasi perkembangan serangga2,3.

Bergantung pada saat terjadinya kematian dan spesies serangga yang

berperan, serangga akan mengalami fase istirahat dalam tubuh mayat dan

beberapa saat setelah itu barulah dimulai proses memakan tubuh mayat. Selama

tubuh mengalami pembusukan, serangga akan tetap berada dalam fase tenang

dalam tubuh mayat. Faktor-faktor lain seperti tingkat pembusukan mayat,

penguburan, pencelupan dalam air, mummifikasi dan geografis, akan

mempengaruhi kecepatan dan banyaknya tipe dan gerombolan serangga yang

Page 8: REFERAT FORENSIK22

akan menyerang mayat. Suhu dan kelembaban lingkungan adalah faktor utama

yang mengontrol pelepasan telur dan tingkat perkembangan dari serangga

necrophagous spesies. Pada suhu yang ekstrim mungkin akan merusak,

menghambat, atau menyebabkan terhentinya perkembangan serangga dalam

tubuh mayat. Sebenarnya suhu dan kelembaban terkait pada musim yang terjadi

pada tahun tersebut, dimana juga akan mengontrol serangga jenis apa yang akan

bertahan. Penyimpanan tubuh mayat sementara di suatu area dimana tidak

terdapat akses untuk serangga akan menghambat proses pelepasan telur dalam

tubuh mayat yang kemudian akan mengganggu perkiraan waktu kematian.

Sebagai tambahan, perpindahan tubuh mayat dari suatu area ke area yang lain

mungkin akan mengganggu siklus dari perkembangan serangga dan mungkin

akan membuat munculnya spesies baru6.

Lalat adalah bentuk serangga yang paling dihubungkan dengan proses

pembusukan tubuh mayat. Mereka cenderung melepaskan telurnya di dalam

orifisium dari tubuh mayat seperti hidung, mata, telinga, anus, dan vagina serta

pada luka yang terbuka3,6,10. Hal ini yang kemudian akan mempengaruhi

penampakkan dari luka terbuka tersebut, apakah akan berubah atau bertambah

rusak. Pada umumnya telur disimpan segera setelah proses kematian. Blowflies

secara normal tidak melepaskan telur pada malam hari. Jika tubuh mayat tidak

dipindahkan ke tempat yang lain dan hanya telur yang terdapat pada tubuh mayat

maka dapat diasumsikan bahwa durasi kematian sekitar 1-2 hari. Ini menjadi

suatu variabel yang pasti walaupun masih bergantung pada suhu dan kelembaban

Page 9: REFERAT FORENSIK22

serta spesies dari lalat. Setelah menetas, belatung tumbuh secara progresif sampai

mencapai stadium pupa. Hal ini dapat berlangsung sekitar 6-10 hari di bawah

kondisi normal. Serangga dewasa muncul dalam 12-18 hari. Semua gambaran

tersebut terjadi secara pasti tergantung pada spesies yang terlibat dan suhu dari

lingkungan6.

1) Siklus hidup Diptera (Lalat)

Gambar 1. Siklus Hidup Diptera (Lalat)

Telur

Telur Diptera biasanya dalam bentuk kumpulan dan ditelurkan pada tempat-

tempat yang terlindung, lembab, dan tersedia makanan. Pada umumnya,

Page 10: REFERAT FORENSIK22

jumlah telur yang ditelurkan sekitar 150-200. Telur lalat blowfly biasanya

berwarna putih mengkilat dan ukurannya bervariasi dengan panjang 0,9-1,50

mm dan lebar 0,3-0,4 mm. Bagian terluar yang membungkus telur dinamakan

chorion. Struktur luarnya yang kadang berbintik-bintik dapat digunakan untuk

membantu identifikasi. Pada ujung telur terdapat lubang yang disebut

micropyle dan merupakan lubang fertilisasi. Terdapat sebuah alur yang disebut

plastron sepanjang salah satu sisi lalat.

Tahap Larva

Larva lalat mempunyai 12 segmen dan sebuah ujung pada bagian anterior.

Ujung posterior larva tumpul dan terdapat dua area kecoklatan berbentuk

lingkaran pada segemen paling akhir yang merupakan spirakel anterior. Pada

lalat, ada tiga tahapan larva atau instar. Tahapan spesifik larva tersebut dapat

diidentifikasi melalui jumlah celah yang tampak pada setiap spirakel anterior.

Pada instar pertama terdapat sebuah celah, pada instar kedua terdapat dua buah

celah, dan pada instar ketiga terdapat tiga buah celah. Pada blowflies, biasanya

ada perbedaan ukuran larva pada setiap tahapan larva. Instar pertama

cenderung berukuran panjang 2 mm, instar kedua 2-9 mm, dan instar ketiga 9-

22 mm. Namun, ukuran larva tidak selalu menjadi indikator usia larva karena

bergantung pada jumlah dan kualitas makanan yang tersedia bagi larva.

Penonjolan yang disebut tuberkel di sekitar tepi segmen posterior larva. Jarak

antar tuberkel memegang peranan penting dalam identifikasi spesies larva.

Page 11: REFERAT FORENSIK22

Sebagai contoh, pada larva Lucilla sericata, jarak antar tuberkel sama satu

sama lainnya. Larva pada instar ketiga merupakan larva terbesar dan pada

separuh dari tahapan ini, larva-larva tersebut berhenti makan dan mulai

bermigrasi, mencari tempat untuk pupariasi (tahapan akhir metamorfosis untuk

menjadi tahapan dewasa). Larva bergerak meninggalkan tubuh mayat menuju

ke area yang gelap dan lebih dingin. Pada tahapan ini, larva dapat ditemukan

hingga 30 meter dari jasad atau pada kedalaman tanah 2-3 cm. Kecendrungan

untuk bermigrasi ini tidak ditemukan pada semua spesies. Beberapa spesies

tertentu seperti Prophormia terraenovae ditemukan dalam bentuk pupa pada

tubuh mayat.

The puparial case changes colour over time, becoming an oval object resemblingan uncut cigar, coloured somewhere between reddish-brown and a dark mahoganybrown or black (Figure 4.6). This case maintains all of the features of the thirdinstar, so there is some possibility of identifying this stage to species, using keys forthe identification of third instar dipteran larvae. Some attempts have been made torelate the state of colouration development of the puparium to post mortem interval,but to date the methods have not shown great accuracy beyond the first 24 hours(Greenberg, 1991).Emergence of the adult, at the end of the life cycle, is achieved by its pushingthe cap (operculum) off the puparium, using a blood-inflated region on the headcalled a ptilinum. This is like an ‘airbag’ which projects from the anterior-dorsalregion of the head as the fly emerges (Figure 4.7). It later sinks back into thefacial structure, generating the crease, or ptilinal suture, just above the antennae.The mouth hooks (cephalopharyngeal skeleton) remain inside the broken puparialcase and can be used to confirm identification if you can find them.The adult pushes out of the puparial case and up through the soil, responding,according to Fraenkel (1935), to light intensity. Once above the soil surface, the flyevacuates the waste products of pupation as a greenish-black liquid. This material is

Page 12: REFERAT FORENSIK22

called the meconium (the same term is used for the first stool of the

human infant).

2) Siklus hidup Coleoptera (Kumbang)

Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Kumbang)

c. Gelombang Kelompok Serangga pada Tahap Dekomposisi Mayat

Ada tiga proses yang dikenal dalam dekomposisi mayat, yaitu: autolisis,

putrefaksion, dan dekomposisi tulang (diagenesis). Dalam proses autolisis, terjadi

penghancuran secara alami dimana sel-sel yang ada pada tubuh dicerna oleh enzim-

enzim seperti lipase, protease, dan karbohidrase. Proses ini paling cepat terjadi

pada organ-organ seperti otak dan hati. Nutrisi sel dari hasil penghancuran tersebut

akan dilepaskan dan menjadi sumber makanan bagi bakteri. Putrefaksion adalah

penghancuran jaringan oleh bakteri. Akibat dari proses tersebut, gas-gas seperti

hydrogen sulfide, sulfur dioksida, karbon dioksida, metana, ammonia, hydrogen

dan karbon dioksida dilepaskan. Bersamaan dengan itu, terjadi fermentasi secara

Page 13: REFERAT FORENSIK22

anaerobik sehingga terbentuk volatile propionik dan asam butirat. Mayat akan

mengalami pembusukan secara aktif, dimana sumber-sumber protein tersebut akan

dihancurkan menjadi asam lemak oleh bakteri. Selain asam lemak, komponen lain

yang dihasilkan dari proses dekomposisi ini adalah asstakole, putrescine, dan

cadaverin. Setelah jaringan lunak telah terlepas, material kerangka baik organik

maupun anorganik yang tersisa akan dihancurkan oleh kondisi lingkungan dan

pada akhirnya akan menjadi komponen tanah. Kecepatan dekomposisi bergantung

dari temperatur lingkungan1.

Tahapan Pembusukan pada Tanah

Pada tubuh, dikenal lima kondisi post mortem yang dapat dihubungkan

dengan delapan gelombang kolonisasi artropoda yang dikemukakan oleh Megnin

(1894). Tahapan-tahapan perubahan post mortem yang terjadi antara lain1:

1. Tahap Pertama: Tahapan ”Fresh” (Segar)

Tahapan ini dimulai dari waktu terjadinya kematian hingga munculnya tanda

pertama pembengkakan tubuh. Organisme pertama yang hinggap pada tubuh

adalah blowflies (Calliphoridae). Di Britania biasanya ditemukan Callipora

vicina atau Calliphora vomitoria Linnaeus, atau pada awal musim semi dapat

ditemukan Protophormia terraenovae1.

2. Tahap Kedua: Tahap “Bloated” (Menggelembung)

Penghancuran tubuh berlanjut akibat aktivitas bacterial atau purefaksion dan

tahapan ini merupakan tahapan yang paling mudah dikenali. Gas

menyebabkan jasad menggembung dihasilkan lewat metabolisme nutrisi oleh

Page 14: REFERAT FORENSIK22

bakteri anaerobik. Awalnya, abdomen yang akan menggembung namun

kemudian seluruh tubuh juga ikut menggembung dan teregang seperti balon

berisi udara. Pada tahapan ini banyak blowflies yang tertarik pada jasad,

mungkin sebagai respon terhadap bau gas yang dihasilkan. Kumbang rove

(Staphylinidae) biasanya tertarik pada jasad yang sedang ada pada tahapan ini

sebab terdapat makanan berupa telur dan belatung1.

3. Tahapan Ketiga: Tahapan Pembusukan Aktif

Tahapan ini dapat dikenali dengan dimulainya pengelupasan kulit dari tubuh.

Pengelupasan ini menyebabkan gas-gas dekomposisi keluar sehingga

penggembungan pada tubuh menghilang perlahan-lahan dan berlanjut dengan

purtefaksion. Pada tahap lanjut dari putrefaction mulai terjadi fermentasi

yang menghasilkan asam kasein dan butirat. Kondisi ini diikuti dengan

periode Putrefacton yang lebih lanjut yang meliputi fermentasi amoniak

tubuh sehingga kelompok serangga lainnya tertarik. Serangga-serangga

tersebut adalah kumbang shilpid Nicrophorous humator (Gleditsch), histerids

Hister cadaverinus (Hoffman) dan Saprinus rotundatus Kugelann serta lalat

muscid Hydrotaeacapensis Wiedeman1.

4. Tahap Keempat: Tahap Setelah Pembusukan

Pada tahap lanjut pembusukan, yang tertinggal pada tubuh jasad adalah kulit

kartilago, dan tulang dengan sebagian sisa dari otot dan juga intestinal.

Page 15: REFERAT FORENSIK22

Indikator terbesar pada tahap ini adalah penigkatan keberadaan kumbang dan

berkurangnya dominasi lalat (Diptera) pada tubuh1.

5. Tahap Kelima: Skeletonisasi

Pada tahap ini, jaringan tubuh yang tersisa hanya rambut dan tulang. Tidak

ada kelompok serangga yang spesifik pada tahapan ini. Kadang dapat

ditemukan kumbang family Nitidulidae. Pada tahap ini, jasad telah mencapai

tahap akhir pembusukan1.

Tabel 1. Rangkaian Atropoda Dewasa pada Mayat Manusia

Famili SeranggaTahapan Dekomposisi

Fresh Bloated Pembusukan Kering

Calliphoridae (blow flies)

Muscidae (lalat muscid)

Silphidae (kumbang carrion)

Sarcophagidae (lalat flesh)

Histeridae (kumbang clown)

Staphylinidae (kumbang rove)

Nitidulidae (kumbang sap)

Cleridae (kumbang checkered)

Dermestidae (kumbang dermestid)

Scarabaeidae (kumbang lamellicorn)

: Organisme dalam jumlah kecil

: Organisme dalam jumlah sedang

: Organisme dalam jumlah besar

Tabel 2. Rangkaian Larva Artropoda pada Mayat Manusia

Famili SeranggaTahapan Dekomposisi

Fresh Bloated Pembusukan Kering

Page 16: REFERAT FORENSIK22

Calliphoridae (blow flies)

Muscidae (lalat muscid)

Silphidae (kumbang carrion)

Sarcophagidae (lalat flesh)

Staphylinidae (kumbang rove)

Dermestidae (kumbang dermestid)

Scarabaeidae (kumbang lamellicorn)

: Organisme dalam jumlah kecil

: Organisme dalam jumlah sedang

: Organisme dalam jumlah besar

Tahap Pembusukan di bawah Permukaan Air

Di dalam air, tetap terjadi lima tahap pembusukan dengan suatu tahapan

tambahan. Tahapan tambahan ini adalah tahapan pembusukan terapung, dimana

jasad naik ke atas permukaan air. Pada tahapan ini, di samping serangga-serangga

aquatik seperti larva midge dan invertebrate seperti siput air serta spesies

serangga-serangga darat juga ikut mengklonisasi jasad. Tahapan ini merupakan

tahapan yang sangat jelas dan cenderung merupakan tahapan dimana jasad

tersebut ditemukan. Periode waktu setelah kematian pada kondisi ini tergantung

dari temperature air. Hubungan antara waktu kematian dan penghancuran jasad

telah dilteliti oleh Giertsen (1977). Ia mengemukakan Diktum Casper dalam

untuk mendeterminasi interval post mortem. Hukum ini menyebutkan bahwa:

pada temperatur rata-rata yang sama dapat ditoleransi, derajat pembusukan pada

jasad yang mengambang pada udara terbuka selama satu minggu memiliki

hubungan dengan pembusukan yang ditemukan pada jasad yang mengambang di

Page 17: REFERAT FORENSIK22

dalam air selama dua minggu, atau jasad pada permukaan tanah selama delapan

minggu. Perbedaan kecepatan pembusukan tersebut terjadi karena kehilangan

panas tubuh di dalam air dua kali lebih cepat dibanding kehilangan panas tubuh

pada udara1.

3. Peranan Serangga dalam Forensik

a. Penentuan Interval Post Mortem

Kasus yang paling sering ditemukan yang melibatkan entomologi forensik

biasanya yang sudah lebih dari 72 jam. Sementara itu, dalam 72 jam pertama

setelah kematian, ahli patologi biasanya dapat menentukan waktu kematian yang

akurat dan sesuai berdasarkan kondisi jasad tersebut dan beberapa kondisi lain

seperti penurunan suhu tubuh. Lewat dari waktu tersebut, hanya sedikit informasi

medis yang dapat korelasikan dengan interval post mortem (PMI)1. Lewat dari 72

jam, pembuktian menggunakan serangga seringkali lebih akurat dan bahkan

hanya metode ini yang dapat memperkirakan waktu kematian secara lebih tepat1,2.

Dua prinsip utama yang dapat digunakan untuk menentukan interval postmortem

adalah berdasarkan gelombang kelompok serangga pada jasad dan tahapan siklus

hidup dari spesies serangga yang ditemukan dari jasad1,2,4,5,6,8,10. Perkiraan ini

dapat dilakukan lebih dari beberapa periode hari, minggu, atau pun tahun1.

Metode dipilih berdasarkan keadaan tiap kasus yang ditemukan. Pada

umumnya, metode pertama digunakan untuk tubuh mayat yang telah mati selama

Page 18: REFERAT FORENSIK22

satu bulan sampai satu tahun atau lebih, sedangkan metode yang kedua digunakan

saat kematian terjadi kurang dari satu bulan setelah ditemukan2.

Metode pertama didasarkan pada fakta bahwa tubuh manusia atau bangkai

lainnnya dengan didukung perubahan ekosistem yang cepat akan mengalami

pembusukan mulai dari tahapan fresh (segar) sampai tahapan pengeringan tulang

baik selama berminggu-minggu maupun berbulan-bulan tergantung faktor

geografis. Selama proses pembusukan, sisa tubuh mayat yang berubah cepat

baik secara fisik, biologis dan kimiawi, serta tahapan dekomposisi yang berbeda-

beda menjadi daya tarik untuk berbagai spesies serangga. Spesies tertentu akan

menjadi bukti secara pasti yang dapat digunakan dalam penyelidikan. Serangga-

serangga tersebut biasanya berada 24 jam setelah kematian apabila musim

mendukung untuk hal tersebut, sebagai contohnya musim semi, musim panas,

atau musim gugur di Kanada dimana serangga dapat berada pada darah dan cairan

tubuh lainnya pada mayat beberapa menit setelah kematian2,3. Serangga yang

masuk pada kelompok ini adalah Calliphoridae (blowflies) dan Sarcophagidae

(fleshflies)2-4. Spesies lain tidak tertarik pada tubuh mayat yang masih segar, tetapi

tertarik pada pada tubuh mayat yang sudah lama seperti Piophilidae atau Cheese

skippers selama proses fermentasi protein terjadi. Beberapa serangga tidak

tertarik pada tubuh mayat secara langsung, tetapi berada pada tubuh mayat untuk

memakan serangga yang sudah ada sebelumnya. Banyak spesies yang terlibat

dalam setiap stadium pembusukan mayat dan setiap kelompok serangga saling

membutuhkan demi kelangsungan hidupnya. Selain itu dengan mengetahui

Page 19: REFERAT FORENSIK22

serangga yang hidup secara regional dan waktu kolonisasinya maka serangga

tersebut dapat dihubungkan dengan sisa tubuh mayat yang ditemukan untuk

menganalisa waktu dimana tubuh mayat diletakkan2. Metode ini digunakan pada

orang yang telah meninggal beberapa minggu atau bahkan digunakan pada

beberapa kasus yang sampai bertahun-tahun dengan berestimasi pada periode

waktu kematian yang terus berjalan2,4. Salah satu keuntungan dari metodologi ini

adalah metode ini mampu dihubungkan dengan musim sehingga dapat

memperkirakan sejak kapan kolonisasi terjadi lebih dari beberapa musim atau

tahun4. Hal ini dapat dijadikan indikasi untuk musim yang terjadi pada waktu

kematian terjadi, contohnya seperti awal musim panas. Pengetahuan tentang

rangkaian jenis seranggga, kehidupan serangga secara regional, musim, habitat

dan variasi iklim dibutuhkan dalam metode ini untuk bisa berhasil dalam

penyelidikan2. Kerugian dari metode ini adalah data dapat dikumpulkan hingga

bertahun-tahun dan aplikasinya terbatas pada kasus-kasus dengan area geografis

yang sama dengan lokasi yang pernah dikumpulkan data gelombang kelompok

serangganya4.

Metode kedua dengan menggunakan pendekatan waktu dimulainya

kolonisasi dan perkembangan serangga sehingga dapat memberikan gambaran

waktu kematian yang lebih akurat yang digambarkan dalam suatu hari tertentu

atau dengan interval hari dan dapat digunakan pada minggu pertama setelah

kematian2,4. Belatung adalah bentuk larva atau stadium yang belum dewasa dari

golongan Diptera atau lalat bersayap dua. Serangga yang digunakan pada metode

Page 20: REFERAT FORENSIK22

yang kedua ini adalah serangga yang langsung berada pada tubuh mayat sesaat

setelah kematian yaitu Calliphoridae atau blowflies. Lalat jenis ini melepaskan

telurnya pada tubuh mayat biasanya pada luka terbuka atau orifisium pada mayat.

Perkembangan serangga tersebut mengikuti alur, prediksi dan siklus yang sudah

ditentukan2. Dimulainya interval post mortem diperkirakan bertepatan dengan

saat dimana lalat pertama kali menelurkan telurnya ke jasad1,2,10. Bila serangga

dewasa berumur 7 hari berarti tubuh mayat tersebut sudah meninggal dari 7 hari

sebelumnya. Metode ini dapat digunakan sampai serangga dewasa yang pertama

mulai terbentuk, setelah itu tidak mungkin untuk menentukan periode

perkembangan yang terjadi pada tubuh mayat. Berarti bila sudah terjadi

perkembangan blowflies yang lengkap maka waktu kematian dapat ditentukan

menggunakan metode yang pertama, berdasarkan rangkaian perkembangan

serangga2.

b. Penentuan Lokasi Kematian

Entomologi tidak hanya terbatas untuk mengidentifikasi interval

postmortem. Pengetahuan ahli entomologi tentang distribusi geografik berbagai

spesies dapat membantu inevestigator menentukan lokasi kematian. Hal ini dapat

dilakukan karena beberapa spesies hanya terbatas pada sebagian lokasi geografik.

Sebagai contoh, jika suatu spesies serangga yang ditemukan pada tubuh korban

dan mobil tesangka hanya ditemukan pada area tertentu, serangga tersebut dapat

menghubungkan tubuh jasad tersebut, mobil, dan tersangka4. Setelah meninggal,

Page 21: REFERAT FORENSIK22

beberapa rangkaian kelompok jamur, bakteri, dan hewan akan berkolonisasi pada

tubuh yang telah mati. Substrat dimana jasad tersebut berada juga akan terus

berubah. Ada perubahan kelompok-kelompok serangga yang berkolonisasi.

Entomologi forensik dapat melihat berapa lama jasad tersebut telah ada di lokasi

tersebut dengan melihat fauna yang ada pada tubuh dan juga dapat

memperkirakan berapa lama mayat tersebut telah berada pada lokasi tersebut

melalui sampel serangga yang berada pada tanah di bawah tubuh mayat.

Entomologi forensik dapat mengetahui berapa lama tubuh mayat berada di

suatu tempat dengan menemukan serangga pada tubuh mayat tersebut, dan juga

dapat mengestimasikan sudah berapa lama tubuh mayat tersebut telah dilepaskan

telur oleh serangga. Jika terdapat perbedaan dalam mengestimasikan waktu

kematian dimana analisis tanah mengindikasikan waktu kematian mayat tersebut

belum lama sementara analisis terhadap serangga mengindikasikan waktu

kematian mayat tersebut sudah lama, maka satu hal yang dapat diperkirakan yaitu

bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Selain itu dapat juga dilihat apakah tubuh mayat tersebut telah berada pada suatu

tempat yang lama sebelumnya yaitu dengan menggunakan ilmu botanikal dan

analisis hewan lain yang ditemukan pada tanah3.

c. Indikator Penelantaran Fisik

Page 22: REFERAT FORENSIK22

Serangga juga bernilai sebagai indikator forensik dalam kasus

penelantaran1,5. Beberapa jenis serangga tertentu, sebagai contoh greenbottle

Lucilia sericata (Meigen) tertarik pada bau-bauan seperti ammonia yang

dihasilkan oeh kontaminasi urin atau feses. Lalat dewasa spesies tersebut

cenderung tertarik pada individu inikontinensia, misalnya pada bayi atau orang

tua dengan inkontinensia yang tidak mendapat pendampingan dalam hal

higienitas. Pada kondisi ini, lalat akan bertelur pada pakaian atau kulit. Telur-telur

ini, jika tidak ditemukan, akan menetas menjadi larva yang mendapatkan

makanannya dari luka, ulkus, atau lubang masuk lainnya pada permukaan tubuh.

Lama-kelamaan, jaringan tubuh akan dimakan dan region tersebut kemudian

mulai diinfeksi oleh bakteri dan diinvasi oleh serangga lainnya. Rangkaian kasus

penganiayaan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah bila korban tidak dapat

memindahkan telur atau belatung sendiri1.

d. Larva Serangga sebagai Alat Investigasi Konsumsi Obat-Obatan

Tahapan siklus hidup serangga yang memakan mayat merupakan reservoir

potensial sebab pada beberapa keadaan, jaringan jasad mengandung beberapa

jenis obat-obatan tertentu yang pernah dikonsumsi oleh korban sebelum ia

meninggal dan dapat menjadi penyebab kematian. Obat-obatan ini dapat

ditemukan dengan analisis serangga. Obat-obatan yang dapat ditemukan adalah

opiat, barbiturat fenobarbital, benzodiazepine dan metabolitnya seperti oxazepam,

triazolam, antihistamin, alimemazine, dan chlorimipramine, suatu anti depresan

Page 23: REFERAT FORENSIK22

trisiklik. Musvaska, dkk (2001) memeriksa efek konsumsi hati yang mengandung

barbiturate (sodium methohexital) atau suatu steroid (hydrocortisone) pada proses

perkembangan fleshfly, Sarcopha tibialis Macquart. Penelitian ini menunjukkan

bahwa, jika dibandingkan dengan kontrol, panjang tahapan larva meningkat

sementara tahap pupa berlangsung lebih singkat. Pada eksperimen laboratorium

mengenai efek heroin yang dilakukan oleh Arnaldos, dkk (2005), didapatkan

bahwa panjang waktu yang dibutuhkan untuk suatu tahapan larva lengkap dari

Sarcophaga tibialis lebih panjang dibanding larva yang tidak diberi makan

heroin. Heroin juga meningkatkan kecepatan pertumbuhan belatung spesies

lainnya (misalnya Boettcherisca peregrine Robineau-Desvoidy) dan juga

meningkatkan durasi pembentukan pupa. Kokain dan salah satu produknya juga

pernah ditemukan dalam jumlah kecil di dalam puparium Calliphoridae (Nolte,

dkk, 1992), sehingga disimpulkan bahwa kokain disekuestrasi secara lengkap di

dalam tubuh larva dan tetap tertahan di dalam tubuh ada tahapan kehidupan

selanjutnya. Kasus bunuh diri juga dapat diinvestigasi dengan menggunakan

entomologi forensik dengan cara melalukan analisis terhadap larva yang telah

diberi makan jasad yang dicurigai bunuh diri tersebut dan membuktikan adanya

malathion (insektisida organofosfat) di dalam tubuh1.

Serangga yang diumpulkan bersama dengan material tanaman dapat

mengindikasikan dari mana tanaman tersebut berasal1,3. Informasi ini memiliki

nilai forensik untuk petugas pajak dan bea cukai. Sebagai contoh, cannabis

merupakan tanaman yang disukai oleh delapan spesies kumbang Asia, seperti

Page 24: REFERAT FORENSIK22

halnya tabuhan dan semut. Kumbang-kumbang tersebut diidentifikasi oleh dr.

Trevor Crosby sebagai famili Carabidae, Bruchidae, dan Tenebrionodae.

Berdasarkan distribusi geografis semua jenis serangga tersebut, ahli entomologi

mrnyimpulkan bahwa Canabis datang dari region Tenasserim, antara laut

Andaman dan Thailand1.

e. Komtaminasi Serangga pada Makanan

Banyak masyarakat yang mengkonsumsi serangga sebagai bagian dari

makanannya. Sebagai contoh, kumbang air seperti kumbang air raksasa,

Lethocerus indicus Lepeletier Serville dimakan oleh masyarakat Asia Tenggara.

Lebah berlapis cokelat telah banyak dijual di toko-toko di Amerika Serikat,

sementara di Amerika Utara beberapa toko menjual belalang goreng atau belalang

yang dikalengkan. Namun, keberadaan makanan berupa serangga yang dimakan

baik secara tidak sengaja atau dimakan bersama jenis makanan lainnya dianggap

tidak dapat diterima dan dapat menjadi sumber kontaminasi. Sebagai contoh,

kumbang padi gigi gergaji, suatu produk hama yang dipasarkan dapat ditemui

pada kemasan sereal. Cacing kawat biasanya dijual dengan campuran selada segar

atau diproses menjadi sandwich selada dan tomat. Sementara itu, di sebagian

negara, ikan dan daging yang dikeringkan biasanya diinfestasi oleh kumbang atau

pun lalat, baik saat dikeringkan maupun saat sudah dijual di pasar. Apabila

dimakan, jenis makanan tersebut dapat menjadi sumber penyakit. Oleh karena

itu, ahli entomologi forensik dapat ditanyakan pendapatnya untuk menjadi

Page 25: REFERAT FORENSIK22

keterangan ahli di dalam kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan industri

makanan, apabila suatu makanan telah terkontaminasi oleh serangga yang hidup

dalam hubungan yang dekat dengan manusia (synanthropic)1.

4. Pengumpulan Bukti Entomologi pada Kasus Kematian

Secara umum, pengumpulan bukti entomologik dapat dibagi menjadi

beberapa, yaitu4,5:

a. Observasi visual pada lokasi kejadian. Harus dilakukan pencatatan mengenai

tipe habitat, kondisi cuaca, lokasi, dan orientasi tubuh mayat.

b. Pengumpulan data meteorologik lokasi kejadian. Data ini meliputi temperatur

lingkungan, kelembaban, dan paparan sinar matahari.

c. Pengumpulan spesimen dari tubuh mayat. Spesimen ini meliputi dua sampel

dari tiap lokasi kolonisasi, dimana satu sampel spesimen serangga tetap

dicagarkan sementara sampel yang lainnya diperiksa di laboratorium.

d. Pengumpulan spesimen dari lingkungan di sekitar tubuh mayat, 20-30 kaki

dari tubuh mayat. Spesimen ini meliputi dua sampel dari setiap area aktivitas

serangga, dimana satu sampel spesimen serangga tetap dicagarkan sementara

sampel yang lainnya diperiksa di laboratorium.

e. Pengumpulan spesimen dari area yang di bawah tubuh mayat segera setelah

tubuh mayat dipindahkan dari lokasi. Paling kurang diambil tiga sampel tanah

yang diambil dari bawah kepala, dada, dan regio pelvis.

Page 26: REFERAT FORENSIK22

f. Pengumpulan spesimen selama autopsi. Inspeksi lengkap pakaian dan objek

lain yang kontak dengan tubuh mayat untuk mencari serangga yang tidak

ditemukan pada lokasi kejadian.

Page 27: REFERAT FORENSIK22

DAFTAR PUSTAKA

1. Gennard DE. The Breadth of Forensic. Dalam: Gennard DE, editor. Forensic

Etomology. An introduction. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. 2007: 1-18.

2. Anderson GS. Forensic Entomology: The Use of Insect in Death Investigation.

Available at: http://www.sfu.ca/∼ganderso/forensicentomology.htm, diakses 26

Desember 2012.

3. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tanatologi. Dalam: Budiyanto, dkk, editor. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: bagian

Kedojteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia. 1997: 31-32.

4. Byrd JH. Forensic Entomology. Dalam: Cina SJ, editor. Medscape Reference: Part

Forensic Entomology. Available at: http://emedicine.medscape.com, diakses 26

Agustus 2012.

5. Hall RD, Huntington TE. Introduction: Perceptions and Status of Forensic

Entomology. Dalam: Byrd JH, Castner JL, editor. Forensic Entomology. The Utility

of Arthropods in Legal Investigation. Edisi II. New York: Taylor and Francis Group.

2010: 17-38.

6. DiMaio VJ, DiMaio D. Time of Death. Dalam: DiMaio VJ, DiMaio D, editor.

Forensic Pathology. Edisi II. 2001: 39-40

7. Swift B. The Timing of Death. Dalam: Rutty GN, editor. Essential of Autopsy

Practice. London: Springer-Verlag. 2006:196-197.

Page 28: REFERAT FORENSIK22

8. Stærkeby M. Forensic Forensic Entomology Overview. Dalam: Forensic Science: Part

Forensic Entomology. Available at: http://www.cienciaforense.com/ pages/

entomology/overview.htm, diakses: 26 Desember 2012.

9. Sembel DT. Ciri-ciri Umum Serangga. Dalam: Widiyatmoko J, editor. Entomologi

Kedokteran. Yogyakarta: Andi.2009: 7-8.

10. Raut S. Forensic Entomology. Available at: http://www.santoshraut.com/

forensic/entomology.htm, diakses:27 Desember 2012.