referat forensik22
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Perkiraan waktu kematian oleh seorang ahli patologi atau forensik biasanya dapat
dilakukan dalam 72 jam pertama setelah kematian. Perkiraan waktu kematian ini
dilakukan berdasarkan kondisi jasad dan beberapa kondisi lain seperti penurunan suhu
tubuh. Lewat dari waktu tersebut, hanya sedikit informasi medis yang dapat
dikorelasikan dengan interval post mortem (PMI)1. Lewat dari 72 jam, pembuktian waktu
kematian menggunakan serangga seringkali lebih akurat dan bahkan hanya metode ini
yang dapat memperkirakan waktu kematian secara lebih tepat1,2. Aplikasi ilmu serangga
dalam kasus-kasus hukum disebut sebagai entomologi forensik1-5.
Saat ini istilah entomologi forensik telah lebih diperluas, bukan hanya mengenai
serangga namun juga artropoda lainnya1,4. Peran artropoda dalam hubungannya dengan
ilmu forensik adalah adanya aktivitas konsumsi tubuh bangkai, termasuk jasad manusia3.
Serangga dapat digunakan untuk investigasi kasus-kasus kriminal, baik di darat maupun
di air1.
Meskipun entomologi forensik dapat meliputi pembunuhan yang disengaja atau
kekerasan menggunakan serangga, kasus-kasus kematian yang tidak dapat dijelaskan
(misalnya anafilaksis akibat sengatan lebah) atau penyebab kecelakaan lalu lintas
(misalnya kecelakaan karena menghindari lebah yang ada di dalam mobil), pertanyaan
khas yang diajukan kepada ahli entomologi forensik meliputi perkiraan waktu kematian
(interval post-mortem), serta yang agak jarang lokasi dimana kematian tersebut terjadi2,4,5-
7. Ilmu mengenai serangga ini juga dapat membantu menentukan lokasi geografis
kematian dalam kasus jasad yang telah dipindahkan dan membantu identifikasi lokasi
trauma pada jasad7. Bukti entomologik juga dapat digunakan sebagai sampel toksikologi
alternatif. Serangga-serangga yang dapat membantu investigasi entomologi forensik
adalah blowflies, flesh flies, cheese skippers, rove beetles, clownbeetles, dan sejenisnya1,4.
1. Sejarah Entomologi Forensik
Serangga diketahui telah lama digunakan dalam mendeteksi kasus-kasus
kriminal1. Catatan pertama mengenai entomologi forensik berasal dari abad ke-13 di
Cina1,2,4,5,6,8. Seorang ahli kriminal berkebangsaan Cina Sung Tzu melakukan suatu
penyidikan terhadap pembunuhan seorang petani. Saat seluruh penduduk desa
diinstruksikan untuk mengumpulkan semua sabitnya, lalat hanya berkumpul pada
salah satu sabit oleh karena sisa darah dan jaringan tertinggal pada sabit tersebut.
Berdasarkan bukti tersebut, pelaku pembunuhan tersebut mengakui perbuatannya1,4,5.
Sebagai tambahan untuk meyimpulkan kasus pertama tersebut, Sung Tzu juga
mencatat kemunculan belatung yang cepat pada jasad saat musim panas dan luka
antemortem sebagai lokasi yang paling potensial sebagai tempat infestasi belatung5.
Entomologi forensik masih jarang digunakan hingga abad ke-19 tetapi
berperan penting dalam beberapa kasus besar saat itu2. Antara abad ke-13 dan abad
ke-19, beberapa ilmuwan dalam bidang biologi berupaya membuat yayasan untuk
entomologi forensik agar menjadi sebuah cabang ilmu1. Pada tahun 1996, beberapa
peneliti mengembangkan dewan Amerika untuk entomologi forensik yang
mengeluarkan sertifikat untuk seorang ahli entomologi yang pada dasarnya setara
dengan yang dikeluarkan untuk seorang odontologist dan antropologist2. Sejak
dibangunnya lembaga tersebut, determinasi lamanya tahapan-tahapan dalam siklus
hidup serangga dapat dilakukan dan indikator waktu saat kematian seseorang dapat
dikembangkan2.
Suatu kasus hukum yang penting yang membantu membuktikan bahwa
entomologi forensik merupakan alat yang penting dalam investigasi kasus criminal
adalah pembunuhan seorang bayi. Tubuh bayi yang telah mengalami mumifikasi
terbungkus dalam sebuah cerobong asap ditemukan di balik sebuah potongan papan
di atas tungku dalam sebuah asrama ketika dilakukan pekerjaan renovasi pada tahun
1850. Dr. Marcel Bergeret melakukan autopsi terhadap jasad tersebut dan
menemukan larva dari sebuah fleshfly, Sarcophaga carnaria (Linnaeus) dan
beberapa ngengat. Ia menyimpulkan bahwa tubuh bayi tersebut telah ditutup/
disembunyikan sejak tahun 1848 dan ngengat-ngengat tersebut mulai mendapat jalan
masuk ke jasad tersebut sejak tahun 1849. Berdasarkan hasil dari perkiraan interval
post mortem, pemilik dari rumah tersebut sebelum tahun 1848 dijadikan tersangka1,4.
Hal penting lainnya dalam sejarah entomologi forensik adalah hasil observasi
dan kesimpulan yang dibuat oleh Meignin (1894). Ia menghubungkan delapan
tahapan dekomposisi tubuh manusia dengan rangkaian kolonisasi serangka pada
tubuh manusia yang telah meninggal. Ia mempublikasikan temuannya pada La
Faune des Cadavres: Applcation de l’Entomologiea la Medicine Legale. Tahapan-
tahapan dekompsisi kemudian secara lanjut bervariasi dalam hal kecepatan dan
dipengaruhi oleh temperatur. Pengetahuan tentang rangkain kehidupan serangga di
dalam jasad menjadi dasar ahli entomologi forensic dalam memperkiraan waktu
kematian seseorang1.
Pada abad ke-20, serangga juga menjadi sangat penting dalam kasus
peradilan dengan melibatkan kolonisasi serangga pada bagian tubuh yang ditemukan
di dalam air. Pada tanggal 29 september 1935, beberapa bagian tubuh teridentifikasi
sebagai mayat dua orang wanita ditemukan di sungai Scottish. Keberadaan larva
blowfly mengindikasikan bahwa telur blowfly telah ditelurkan sebelum jasad tersebut
ditenggelamkan ke dalam sungai. Berdasarkan informasi ini dabukti lainnya, suami
salah satu jasad tersebut menjadi tersangka pembunuhan. Diterimanya entomologi
forensik tergantung dari akademikus dan pekerja lapangan yang bekerja
berdampingan dengan dengan kepolisian dan hukum untuk meneguhkan dan
membangun entomologi forensik sebagai suatu cabang ilmu1.
2. Entomologi
a. Ciri-Ciri Serangga
Serangga termasuk dalam filum Artropoda, kelas Insekta yang merupakan
kelas terbesar dilihat dari segi jumlah spesies untuk semua filum dalam kerajaan
binatang. Ciri-ciri khas dari bentuk dewasa kelas Insekta (Heksapoda) adalah
sebagai berikut :9
1. Bagian luar tubuh tertutup oleh lapisan keras disebut integumen atau
eksoskeleton.
2. Tubuh terdiri dari tiga segmen, yaitu kepala (caput), dada (thoraks), dan perut
(abdomen).
3. Kepala biasanya memiliki satu pasang antena, satu pasang mandibel,
memiliki maksila dan labium, serta biasanya mempunyai satu pasang mata
majemuk.
4. Pada bagian dada terdapat tiga pasang tungkai dan satu atau dua pasang
sayap; sering tanpa sayap.
5. Abdomen atau perut biasanya tidak memiliki tungkai, kecuali pada bentuk
pradewasa terutama anggota-anggota dari ordo Lepidoptera ada yang
bertungkai semu.
6. Struktur dari sistem pencernaan makanan berbentuk tabung.
7. Sistem peredaran darah terbuka.
8. Sistem pernapasan melalui trakea dan terbuka pada bagian luar melalui
spirakel.
9. Biasanya mengalami proses metamorfosis.
Dapat disimpulkan bahwa serangga adalah organisme yang mempunyai
eksoskeleton, enam kaki, tiga segmen tubuh, satu pasang antena, dan satu pasang
mata majemuk5. Alat-alat mulut serangga sangat bervariasi, tetapi pada dasarnya
terdiri dari (1) sepasang mandibel, (2) maksila, dan (3) labium. Pada lalat rumah
tipe alat mulut mempunyai bentuk yang khusus yaitu tipe menyerap. Pada saat
makan, probosis yang terdiri dari labium diturunkan dan kelenjar ludah
dipompakan ke makanan. Makanan yang sudah dicairkan dipindahkan oleh
kapiler melalui sejumlah pseudotrakea ke penampungan median dalam labelum.
Beberapa jenis lalat yang bersifat parasit seperti lalat tsetse memiliki gigi yang
besar dan tajam pada labelum untuk memotong jaringan dan makanan. Pompa
penyerap menarik campuran makanan melalui tabung labral-hypopharyngeal ke
dalam tabung pencernaan makanan9.
b. Siklus Hidup Serangga pada Tubuh Mayat
Dalam perkembangannya dari telur hingga mencapai serangga dewasa,
serangga-serangga mempunyai tahapan metamorfosis baik itu yang sempurna
maupun yang tidak sempurna2,6. Dalam metamorfosis yang tidak sempurna,
serangga muda dihasilkan dari telur serangga yang menetas hingga akhirnya
menjadi bentuk serangga yang dewasa. Pada metamorfosis sempurna,
sekumpulan telur serangga dilepaskan pada tubuh mayat yang kemudian akan
menetas dalam periode waktu tertentu menjadi larva tahap pertama. Larva
kemudian melanjutkan hidup dengan memakan tubuh mayat dan berkembang
menjadi bentuk larva tahap kedua. Larva tersebut kemudian melanjutkan hidup
dan membentuk larva tahap ketiga. Stadium pembentukan larva ini bergantung
pada ukuran dan jumlah dari spirakel (lubang pernapasan). Saat dalam bentuk
larva tahap ketiga ini, larva tetap memakan tubuh mayat sampai akhirnya akan
berhenti dan mulai meninggalkan tubuh mayat ke pakaian atau tanah untuk
mencari tempat yang aman untuk menjadi kepompong2,3,8. Stadium dimana tidak
ada proses makan disebut pra kepompong. Larva kemudian melepaskan kulit
luarnya tetapi kulit bagian dalamnya tidak dilepaskan. Lapisan kulit yang luar
adalah bentuk yang keras, atau seperti cambuk, sampai bentuk yang lebih keras
untuk protektif diri di lapisan yang lebih luar, atau kantong kepompong, dimana
melindungi serangga dalam proses metamorfosis sampai ke bentuk yang dewasa.
Kepompong yang baru terbentuk berwarna pucat, tetapi gelap di bagian
dalamnya selama beberapa jam. Setelah beberapa hari, lalat dewasa berasal dari
kepompong dan akan mengulang kembali siklus seperti yang sudah dijelaskan di
atas. Saat sudah menjadi lalat dewasa, kantong kepompong akan kosong dan ini
menjadi bukti bahwa lalat telah berkembang secara sempurna. Setiap tahap
perkembangan ini dilewati berdasarkan waktu tertentu. Periode ini didasarkan
pada suhu lingkungan dan ketersediaan makanan. Tingkat metabolik akan
meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, dimana hal ini akan
membuat semakin cepatnya perkembangan serangga dan membuat durasi waktu
dari perkembangannya semakin berkurang. Makanan tidak selalu menjadi faktor
yang membatasi perkembangan serangga2,3.
Bergantung pada saat terjadinya kematian dan spesies serangga yang
berperan, serangga akan mengalami fase istirahat dalam tubuh mayat dan
beberapa saat setelah itu barulah dimulai proses memakan tubuh mayat. Selama
tubuh mengalami pembusukan, serangga akan tetap berada dalam fase tenang
dalam tubuh mayat. Faktor-faktor lain seperti tingkat pembusukan mayat,
penguburan, pencelupan dalam air, mummifikasi dan geografis, akan
mempengaruhi kecepatan dan banyaknya tipe dan gerombolan serangga yang
akan menyerang mayat. Suhu dan kelembaban lingkungan adalah faktor utama
yang mengontrol pelepasan telur dan tingkat perkembangan dari serangga
necrophagous spesies. Pada suhu yang ekstrim mungkin akan merusak,
menghambat, atau menyebabkan terhentinya perkembangan serangga dalam
tubuh mayat. Sebenarnya suhu dan kelembaban terkait pada musim yang terjadi
pada tahun tersebut, dimana juga akan mengontrol serangga jenis apa yang akan
bertahan. Penyimpanan tubuh mayat sementara di suatu area dimana tidak
terdapat akses untuk serangga akan menghambat proses pelepasan telur dalam
tubuh mayat yang kemudian akan mengganggu perkiraan waktu kematian.
Sebagai tambahan, perpindahan tubuh mayat dari suatu area ke area yang lain
mungkin akan mengganggu siklus dari perkembangan serangga dan mungkin
akan membuat munculnya spesies baru6.
Lalat adalah bentuk serangga yang paling dihubungkan dengan proses
pembusukan tubuh mayat. Mereka cenderung melepaskan telurnya di dalam
orifisium dari tubuh mayat seperti hidung, mata, telinga, anus, dan vagina serta
pada luka yang terbuka3,6,10. Hal ini yang kemudian akan mempengaruhi
penampakkan dari luka terbuka tersebut, apakah akan berubah atau bertambah
rusak. Pada umumnya telur disimpan segera setelah proses kematian. Blowflies
secara normal tidak melepaskan telur pada malam hari. Jika tubuh mayat tidak
dipindahkan ke tempat yang lain dan hanya telur yang terdapat pada tubuh mayat
maka dapat diasumsikan bahwa durasi kematian sekitar 1-2 hari. Ini menjadi
suatu variabel yang pasti walaupun masih bergantung pada suhu dan kelembaban
serta spesies dari lalat. Setelah menetas, belatung tumbuh secara progresif sampai
mencapai stadium pupa. Hal ini dapat berlangsung sekitar 6-10 hari di bawah
kondisi normal. Serangga dewasa muncul dalam 12-18 hari. Semua gambaran
tersebut terjadi secara pasti tergantung pada spesies yang terlibat dan suhu dari
lingkungan6.
1) Siklus hidup Diptera (Lalat)
Gambar 1. Siklus Hidup Diptera (Lalat)
Telur
Telur Diptera biasanya dalam bentuk kumpulan dan ditelurkan pada tempat-
tempat yang terlindung, lembab, dan tersedia makanan. Pada umumnya,
jumlah telur yang ditelurkan sekitar 150-200. Telur lalat blowfly biasanya
berwarna putih mengkilat dan ukurannya bervariasi dengan panjang 0,9-1,50
mm dan lebar 0,3-0,4 mm. Bagian terluar yang membungkus telur dinamakan
chorion. Struktur luarnya yang kadang berbintik-bintik dapat digunakan untuk
membantu identifikasi. Pada ujung telur terdapat lubang yang disebut
micropyle dan merupakan lubang fertilisasi. Terdapat sebuah alur yang disebut
plastron sepanjang salah satu sisi lalat.
Tahap Larva
Larva lalat mempunyai 12 segmen dan sebuah ujung pada bagian anterior.
Ujung posterior larva tumpul dan terdapat dua area kecoklatan berbentuk
lingkaran pada segemen paling akhir yang merupakan spirakel anterior. Pada
lalat, ada tiga tahapan larva atau instar. Tahapan spesifik larva tersebut dapat
diidentifikasi melalui jumlah celah yang tampak pada setiap spirakel anterior.
Pada instar pertama terdapat sebuah celah, pada instar kedua terdapat dua buah
celah, dan pada instar ketiga terdapat tiga buah celah. Pada blowflies, biasanya
ada perbedaan ukuran larva pada setiap tahapan larva. Instar pertama
cenderung berukuran panjang 2 mm, instar kedua 2-9 mm, dan instar ketiga 9-
22 mm. Namun, ukuran larva tidak selalu menjadi indikator usia larva karena
bergantung pada jumlah dan kualitas makanan yang tersedia bagi larva.
Penonjolan yang disebut tuberkel di sekitar tepi segmen posterior larva. Jarak
antar tuberkel memegang peranan penting dalam identifikasi spesies larva.
Sebagai contoh, pada larva Lucilla sericata, jarak antar tuberkel sama satu
sama lainnya. Larva pada instar ketiga merupakan larva terbesar dan pada
separuh dari tahapan ini, larva-larva tersebut berhenti makan dan mulai
bermigrasi, mencari tempat untuk pupariasi (tahapan akhir metamorfosis untuk
menjadi tahapan dewasa). Larva bergerak meninggalkan tubuh mayat menuju
ke area yang gelap dan lebih dingin. Pada tahapan ini, larva dapat ditemukan
hingga 30 meter dari jasad atau pada kedalaman tanah 2-3 cm. Kecendrungan
untuk bermigrasi ini tidak ditemukan pada semua spesies. Beberapa spesies
tertentu seperti Prophormia terraenovae ditemukan dalam bentuk pupa pada
tubuh mayat.
The puparial case changes colour over time, becoming an oval object resemblingan uncut cigar, coloured somewhere between reddish-brown and a dark mahoganybrown or black (Figure 4.6). This case maintains all of the features of the thirdinstar, so there is some possibility of identifying this stage to species, using keys forthe identification of third instar dipteran larvae. Some attempts have been made torelate the state of colouration development of the puparium to post mortem interval,but to date the methods have not shown great accuracy beyond the first 24 hours(Greenberg, 1991).Emergence of the adult, at the end of the life cycle, is achieved by its pushingthe cap (operculum) off the puparium, using a blood-inflated region on the headcalled a ptilinum. This is like an ‘airbag’ which projects from the anterior-dorsalregion of the head as the fly emerges (Figure 4.7). It later sinks back into thefacial structure, generating the crease, or ptilinal suture, just above the antennae.The mouth hooks (cephalopharyngeal skeleton) remain inside the broken puparialcase and can be used to confirm identification if you can find them.The adult pushes out of the puparial case and up through the soil, responding,according to Fraenkel (1935), to light intensity. Once above the soil surface, the flyevacuates the waste products of pupation as a greenish-black liquid. This material is
called the meconium (the same term is used for the first stool of the
human infant).
2) Siklus hidup Coleoptera (Kumbang)
Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Kumbang)
c. Gelombang Kelompok Serangga pada Tahap Dekomposisi Mayat
Ada tiga proses yang dikenal dalam dekomposisi mayat, yaitu: autolisis,
putrefaksion, dan dekomposisi tulang (diagenesis). Dalam proses autolisis, terjadi
penghancuran secara alami dimana sel-sel yang ada pada tubuh dicerna oleh enzim-
enzim seperti lipase, protease, dan karbohidrase. Proses ini paling cepat terjadi
pada organ-organ seperti otak dan hati. Nutrisi sel dari hasil penghancuran tersebut
akan dilepaskan dan menjadi sumber makanan bagi bakteri. Putrefaksion adalah
penghancuran jaringan oleh bakteri. Akibat dari proses tersebut, gas-gas seperti
hydrogen sulfide, sulfur dioksida, karbon dioksida, metana, ammonia, hydrogen
dan karbon dioksida dilepaskan. Bersamaan dengan itu, terjadi fermentasi secara
anaerobik sehingga terbentuk volatile propionik dan asam butirat. Mayat akan
mengalami pembusukan secara aktif, dimana sumber-sumber protein tersebut akan
dihancurkan menjadi asam lemak oleh bakteri. Selain asam lemak, komponen lain
yang dihasilkan dari proses dekomposisi ini adalah asstakole, putrescine, dan
cadaverin. Setelah jaringan lunak telah terlepas, material kerangka baik organik
maupun anorganik yang tersisa akan dihancurkan oleh kondisi lingkungan dan
pada akhirnya akan menjadi komponen tanah. Kecepatan dekomposisi bergantung
dari temperatur lingkungan1.
Tahapan Pembusukan pada Tanah
Pada tubuh, dikenal lima kondisi post mortem yang dapat dihubungkan
dengan delapan gelombang kolonisasi artropoda yang dikemukakan oleh Megnin
(1894). Tahapan-tahapan perubahan post mortem yang terjadi antara lain1:
1. Tahap Pertama: Tahapan ”Fresh” (Segar)
Tahapan ini dimulai dari waktu terjadinya kematian hingga munculnya tanda
pertama pembengkakan tubuh. Organisme pertama yang hinggap pada tubuh
adalah blowflies (Calliphoridae). Di Britania biasanya ditemukan Callipora
vicina atau Calliphora vomitoria Linnaeus, atau pada awal musim semi dapat
ditemukan Protophormia terraenovae1.
2. Tahap Kedua: Tahap “Bloated” (Menggelembung)
Penghancuran tubuh berlanjut akibat aktivitas bacterial atau purefaksion dan
tahapan ini merupakan tahapan yang paling mudah dikenali. Gas
menyebabkan jasad menggembung dihasilkan lewat metabolisme nutrisi oleh
bakteri anaerobik. Awalnya, abdomen yang akan menggembung namun
kemudian seluruh tubuh juga ikut menggembung dan teregang seperti balon
berisi udara. Pada tahapan ini banyak blowflies yang tertarik pada jasad,
mungkin sebagai respon terhadap bau gas yang dihasilkan. Kumbang rove
(Staphylinidae) biasanya tertarik pada jasad yang sedang ada pada tahapan ini
sebab terdapat makanan berupa telur dan belatung1.
3. Tahapan Ketiga: Tahapan Pembusukan Aktif
Tahapan ini dapat dikenali dengan dimulainya pengelupasan kulit dari tubuh.
Pengelupasan ini menyebabkan gas-gas dekomposisi keluar sehingga
penggembungan pada tubuh menghilang perlahan-lahan dan berlanjut dengan
purtefaksion. Pada tahap lanjut dari putrefaction mulai terjadi fermentasi
yang menghasilkan asam kasein dan butirat. Kondisi ini diikuti dengan
periode Putrefacton yang lebih lanjut yang meliputi fermentasi amoniak
tubuh sehingga kelompok serangga lainnya tertarik. Serangga-serangga
tersebut adalah kumbang shilpid Nicrophorous humator (Gleditsch), histerids
Hister cadaverinus (Hoffman) dan Saprinus rotundatus Kugelann serta lalat
muscid Hydrotaeacapensis Wiedeman1.
4. Tahap Keempat: Tahap Setelah Pembusukan
Pada tahap lanjut pembusukan, yang tertinggal pada tubuh jasad adalah kulit
kartilago, dan tulang dengan sebagian sisa dari otot dan juga intestinal.
Indikator terbesar pada tahap ini adalah penigkatan keberadaan kumbang dan
berkurangnya dominasi lalat (Diptera) pada tubuh1.
5. Tahap Kelima: Skeletonisasi
Pada tahap ini, jaringan tubuh yang tersisa hanya rambut dan tulang. Tidak
ada kelompok serangga yang spesifik pada tahapan ini. Kadang dapat
ditemukan kumbang family Nitidulidae. Pada tahap ini, jasad telah mencapai
tahap akhir pembusukan1.
Tabel 1. Rangkaian Atropoda Dewasa pada Mayat Manusia
Famili SeranggaTahapan Dekomposisi
Fresh Bloated Pembusukan Kering
Calliphoridae (blow flies)
Muscidae (lalat muscid)
Silphidae (kumbang carrion)
Sarcophagidae (lalat flesh)
Histeridae (kumbang clown)
Staphylinidae (kumbang rove)
Nitidulidae (kumbang sap)
Cleridae (kumbang checkered)
Dermestidae (kumbang dermestid)
Scarabaeidae (kumbang lamellicorn)
: Organisme dalam jumlah kecil
: Organisme dalam jumlah sedang
: Organisme dalam jumlah besar
Tabel 2. Rangkaian Larva Artropoda pada Mayat Manusia
Famili SeranggaTahapan Dekomposisi
Fresh Bloated Pembusukan Kering
Calliphoridae (blow flies)
Muscidae (lalat muscid)
Silphidae (kumbang carrion)
Sarcophagidae (lalat flesh)
Staphylinidae (kumbang rove)
Dermestidae (kumbang dermestid)
Scarabaeidae (kumbang lamellicorn)
: Organisme dalam jumlah kecil
: Organisme dalam jumlah sedang
: Organisme dalam jumlah besar
Tahap Pembusukan di bawah Permukaan Air
Di dalam air, tetap terjadi lima tahap pembusukan dengan suatu tahapan
tambahan. Tahapan tambahan ini adalah tahapan pembusukan terapung, dimana
jasad naik ke atas permukaan air. Pada tahapan ini, di samping serangga-serangga
aquatik seperti larva midge dan invertebrate seperti siput air serta spesies
serangga-serangga darat juga ikut mengklonisasi jasad. Tahapan ini merupakan
tahapan yang sangat jelas dan cenderung merupakan tahapan dimana jasad
tersebut ditemukan. Periode waktu setelah kematian pada kondisi ini tergantung
dari temperature air. Hubungan antara waktu kematian dan penghancuran jasad
telah dilteliti oleh Giertsen (1977). Ia mengemukakan Diktum Casper dalam
untuk mendeterminasi interval post mortem. Hukum ini menyebutkan bahwa:
pada temperatur rata-rata yang sama dapat ditoleransi, derajat pembusukan pada
jasad yang mengambang pada udara terbuka selama satu minggu memiliki
hubungan dengan pembusukan yang ditemukan pada jasad yang mengambang di
dalam air selama dua minggu, atau jasad pada permukaan tanah selama delapan
minggu. Perbedaan kecepatan pembusukan tersebut terjadi karena kehilangan
panas tubuh di dalam air dua kali lebih cepat dibanding kehilangan panas tubuh
pada udara1.
3. Peranan Serangga dalam Forensik
a. Penentuan Interval Post Mortem
Kasus yang paling sering ditemukan yang melibatkan entomologi forensik
biasanya yang sudah lebih dari 72 jam. Sementara itu, dalam 72 jam pertama
setelah kematian, ahli patologi biasanya dapat menentukan waktu kematian yang
akurat dan sesuai berdasarkan kondisi jasad tersebut dan beberapa kondisi lain
seperti penurunan suhu tubuh. Lewat dari waktu tersebut, hanya sedikit informasi
medis yang dapat korelasikan dengan interval post mortem (PMI)1. Lewat dari 72
jam, pembuktian menggunakan serangga seringkali lebih akurat dan bahkan
hanya metode ini yang dapat memperkirakan waktu kematian secara lebih tepat1,2.
Dua prinsip utama yang dapat digunakan untuk menentukan interval postmortem
adalah berdasarkan gelombang kelompok serangga pada jasad dan tahapan siklus
hidup dari spesies serangga yang ditemukan dari jasad1,2,4,5,6,8,10. Perkiraan ini
dapat dilakukan lebih dari beberapa periode hari, minggu, atau pun tahun1.
Metode dipilih berdasarkan keadaan tiap kasus yang ditemukan. Pada
umumnya, metode pertama digunakan untuk tubuh mayat yang telah mati selama
satu bulan sampai satu tahun atau lebih, sedangkan metode yang kedua digunakan
saat kematian terjadi kurang dari satu bulan setelah ditemukan2.
Metode pertama didasarkan pada fakta bahwa tubuh manusia atau bangkai
lainnnya dengan didukung perubahan ekosistem yang cepat akan mengalami
pembusukan mulai dari tahapan fresh (segar) sampai tahapan pengeringan tulang
baik selama berminggu-minggu maupun berbulan-bulan tergantung faktor
geografis. Selama proses pembusukan, sisa tubuh mayat yang berubah cepat
baik secara fisik, biologis dan kimiawi, serta tahapan dekomposisi yang berbeda-
beda menjadi daya tarik untuk berbagai spesies serangga. Spesies tertentu akan
menjadi bukti secara pasti yang dapat digunakan dalam penyelidikan. Serangga-
serangga tersebut biasanya berada 24 jam setelah kematian apabila musim
mendukung untuk hal tersebut, sebagai contohnya musim semi, musim panas,
atau musim gugur di Kanada dimana serangga dapat berada pada darah dan cairan
tubuh lainnya pada mayat beberapa menit setelah kematian2,3. Serangga yang
masuk pada kelompok ini adalah Calliphoridae (blowflies) dan Sarcophagidae
(fleshflies)2-4. Spesies lain tidak tertarik pada tubuh mayat yang masih segar, tetapi
tertarik pada pada tubuh mayat yang sudah lama seperti Piophilidae atau Cheese
skippers selama proses fermentasi protein terjadi. Beberapa serangga tidak
tertarik pada tubuh mayat secara langsung, tetapi berada pada tubuh mayat untuk
memakan serangga yang sudah ada sebelumnya. Banyak spesies yang terlibat
dalam setiap stadium pembusukan mayat dan setiap kelompok serangga saling
membutuhkan demi kelangsungan hidupnya. Selain itu dengan mengetahui
serangga yang hidup secara regional dan waktu kolonisasinya maka serangga
tersebut dapat dihubungkan dengan sisa tubuh mayat yang ditemukan untuk
menganalisa waktu dimana tubuh mayat diletakkan2. Metode ini digunakan pada
orang yang telah meninggal beberapa minggu atau bahkan digunakan pada
beberapa kasus yang sampai bertahun-tahun dengan berestimasi pada periode
waktu kematian yang terus berjalan2,4. Salah satu keuntungan dari metodologi ini
adalah metode ini mampu dihubungkan dengan musim sehingga dapat
memperkirakan sejak kapan kolonisasi terjadi lebih dari beberapa musim atau
tahun4. Hal ini dapat dijadikan indikasi untuk musim yang terjadi pada waktu
kematian terjadi, contohnya seperti awal musim panas. Pengetahuan tentang
rangkaian jenis seranggga, kehidupan serangga secara regional, musim, habitat
dan variasi iklim dibutuhkan dalam metode ini untuk bisa berhasil dalam
penyelidikan2. Kerugian dari metode ini adalah data dapat dikumpulkan hingga
bertahun-tahun dan aplikasinya terbatas pada kasus-kasus dengan area geografis
yang sama dengan lokasi yang pernah dikumpulkan data gelombang kelompok
serangganya4.
Metode kedua dengan menggunakan pendekatan waktu dimulainya
kolonisasi dan perkembangan serangga sehingga dapat memberikan gambaran
waktu kematian yang lebih akurat yang digambarkan dalam suatu hari tertentu
atau dengan interval hari dan dapat digunakan pada minggu pertama setelah
kematian2,4. Belatung adalah bentuk larva atau stadium yang belum dewasa dari
golongan Diptera atau lalat bersayap dua. Serangga yang digunakan pada metode
yang kedua ini adalah serangga yang langsung berada pada tubuh mayat sesaat
setelah kematian yaitu Calliphoridae atau blowflies. Lalat jenis ini melepaskan
telurnya pada tubuh mayat biasanya pada luka terbuka atau orifisium pada mayat.
Perkembangan serangga tersebut mengikuti alur, prediksi dan siklus yang sudah
ditentukan2. Dimulainya interval post mortem diperkirakan bertepatan dengan
saat dimana lalat pertama kali menelurkan telurnya ke jasad1,2,10. Bila serangga
dewasa berumur 7 hari berarti tubuh mayat tersebut sudah meninggal dari 7 hari
sebelumnya. Metode ini dapat digunakan sampai serangga dewasa yang pertama
mulai terbentuk, setelah itu tidak mungkin untuk menentukan periode
perkembangan yang terjadi pada tubuh mayat. Berarti bila sudah terjadi
perkembangan blowflies yang lengkap maka waktu kematian dapat ditentukan
menggunakan metode yang pertama, berdasarkan rangkaian perkembangan
serangga2.
b. Penentuan Lokasi Kematian
Entomologi tidak hanya terbatas untuk mengidentifikasi interval
postmortem. Pengetahuan ahli entomologi tentang distribusi geografik berbagai
spesies dapat membantu inevestigator menentukan lokasi kematian. Hal ini dapat
dilakukan karena beberapa spesies hanya terbatas pada sebagian lokasi geografik.
Sebagai contoh, jika suatu spesies serangga yang ditemukan pada tubuh korban
dan mobil tesangka hanya ditemukan pada area tertentu, serangga tersebut dapat
menghubungkan tubuh jasad tersebut, mobil, dan tersangka4. Setelah meninggal,
beberapa rangkaian kelompok jamur, bakteri, dan hewan akan berkolonisasi pada
tubuh yang telah mati. Substrat dimana jasad tersebut berada juga akan terus
berubah. Ada perubahan kelompok-kelompok serangga yang berkolonisasi.
Entomologi forensik dapat melihat berapa lama jasad tersebut telah ada di lokasi
tersebut dengan melihat fauna yang ada pada tubuh dan juga dapat
memperkirakan berapa lama mayat tersebut telah berada pada lokasi tersebut
melalui sampel serangga yang berada pada tanah di bawah tubuh mayat.
Entomologi forensik dapat mengetahui berapa lama tubuh mayat berada di
suatu tempat dengan menemukan serangga pada tubuh mayat tersebut, dan juga
dapat mengestimasikan sudah berapa lama tubuh mayat tersebut telah dilepaskan
telur oleh serangga. Jika terdapat perbedaan dalam mengestimasikan waktu
kematian dimana analisis tanah mengindikasikan waktu kematian mayat tersebut
belum lama sementara analisis terhadap serangga mengindikasikan waktu
kematian mayat tersebut sudah lama, maka satu hal yang dapat diperkirakan yaitu
bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Selain itu dapat juga dilihat apakah tubuh mayat tersebut telah berada pada suatu
tempat yang lama sebelumnya yaitu dengan menggunakan ilmu botanikal dan
analisis hewan lain yang ditemukan pada tanah3.
c. Indikator Penelantaran Fisik
Serangga juga bernilai sebagai indikator forensik dalam kasus
penelantaran1,5. Beberapa jenis serangga tertentu, sebagai contoh greenbottle
Lucilia sericata (Meigen) tertarik pada bau-bauan seperti ammonia yang
dihasilkan oeh kontaminasi urin atau feses. Lalat dewasa spesies tersebut
cenderung tertarik pada individu inikontinensia, misalnya pada bayi atau orang
tua dengan inkontinensia yang tidak mendapat pendampingan dalam hal
higienitas. Pada kondisi ini, lalat akan bertelur pada pakaian atau kulit. Telur-telur
ini, jika tidak ditemukan, akan menetas menjadi larva yang mendapatkan
makanannya dari luka, ulkus, atau lubang masuk lainnya pada permukaan tubuh.
Lama-kelamaan, jaringan tubuh akan dimakan dan region tersebut kemudian
mulai diinfeksi oleh bakteri dan diinvasi oleh serangga lainnya. Rangkaian kasus
penganiayaan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah bila korban tidak dapat
memindahkan telur atau belatung sendiri1.
d. Larva Serangga sebagai Alat Investigasi Konsumsi Obat-Obatan
Tahapan siklus hidup serangga yang memakan mayat merupakan reservoir
potensial sebab pada beberapa keadaan, jaringan jasad mengandung beberapa
jenis obat-obatan tertentu yang pernah dikonsumsi oleh korban sebelum ia
meninggal dan dapat menjadi penyebab kematian. Obat-obatan ini dapat
ditemukan dengan analisis serangga. Obat-obatan yang dapat ditemukan adalah
opiat, barbiturat fenobarbital, benzodiazepine dan metabolitnya seperti oxazepam,
triazolam, antihistamin, alimemazine, dan chlorimipramine, suatu anti depresan
trisiklik. Musvaska, dkk (2001) memeriksa efek konsumsi hati yang mengandung
barbiturate (sodium methohexital) atau suatu steroid (hydrocortisone) pada proses
perkembangan fleshfly, Sarcopha tibialis Macquart. Penelitian ini menunjukkan
bahwa, jika dibandingkan dengan kontrol, panjang tahapan larva meningkat
sementara tahap pupa berlangsung lebih singkat. Pada eksperimen laboratorium
mengenai efek heroin yang dilakukan oleh Arnaldos, dkk (2005), didapatkan
bahwa panjang waktu yang dibutuhkan untuk suatu tahapan larva lengkap dari
Sarcophaga tibialis lebih panjang dibanding larva yang tidak diberi makan
heroin. Heroin juga meningkatkan kecepatan pertumbuhan belatung spesies
lainnya (misalnya Boettcherisca peregrine Robineau-Desvoidy) dan juga
meningkatkan durasi pembentukan pupa. Kokain dan salah satu produknya juga
pernah ditemukan dalam jumlah kecil di dalam puparium Calliphoridae (Nolte,
dkk, 1992), sehingga disimpulkan bahwa kokain disekuestrasi secara lengkap di
dalam tubuh larva dan tetap tertahan di dalam tubuh ada tahapan kehidupan
selanjutnya. Kasus bunuh diri juga dapat diinvestigasi dengan menggunakan
entomologi forensik dengan cara melalukan analisis terhadap larva yang telah
diberi makan jasad yang dicurigai bunuh diri tersebut dan membuktikan adanya
malathion (insektisida organofosfat) di dalam tubuh1.
Serangga yang diumpulkan bersama dengan material tanaman dapat
mengindikasikan dari mana tanaman tersebut berasal1,3. Informasi ini memiliki
nilai forensik untuk petugas pajak dan bea cukai. Sebagai contoh, cannabis
merupakan tanaman yang disukai oleh delapan spesies kumbang Asia, seperti
halnya tabuhan dan semut. Kumbang-kumbang tersebut diidentifikasi oleh dr.
Trevor Crosby sebagai famili Carabidae, Bruchidae, dan Tenebrionodae.
Berdasarkan distribusi geografis semua jenis serangga tersebut, ahli entomologi
mrnyimpulkan bahwa Canabis datang dari region Tenasserim, antara laut
Andaman dan Thailand1.
e. Komtaminasi Serangga pada Makanan
Banyak masyarakat yang mengkonsumsi serangga sebagai bagian dari
makanannya. Sebagai contoh, kumbang air seperti kumbang air raksasa,
Lethocerus indicus Lepeletier Serville dimakan oleh masyarakat Asia Tenggara.
Lebah berlapis cokelat telah banyak dijual di toko-toko di Amerika Serikat,
sementara di Amerika Utara beberapa toko menjual belalang goreng atau belalang
yang dikalengkan. Namun, keberadaan makanan berupa serangga yang dimakan
baik secara tidak sengaja atau dimakan bersama jenis makanan lainnya dianggap
tidak dapat diterima dan dapat menjadi sumber kontaminasi. Sebagai contoh,
kumbang padi gigi gergaji, suatu produk hama yang dipasarkan dapat ditemui
pada kemasan sereal. Cacing kawat biasanya dijual dengan campuran selada segar
atau diproses menjadi sandwich selada dan tomat. Sementara itu, di sebagian
negara, ikan dan daging yang dikeringkan biasanya diinfestasi oleh kumbang atau
pun lalat, baik saat dikeringkan maupun saat sudah dijual di pasar. Apabila
dimakan, jenis makanan tersebut dapat menjadi sumber penyakit. Oleh karena
itu, ahli entomologi forensik dapat ditanyakan pendapatnya untuk menjadi
keterangan ahli di dalam kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan industri
makanan, apabila suatu makanan telah terkontaminasi oleh serangga yang hidup
dalam hubungan yang dekat dengan manusia (synanthropic)1.
4. Pengumpulan Bukti Entomologi pada Kasus Kematian
Secara umum, pengumpulan bukti entomologik dapat dibagi menjadi
beberapa, yaitu4,5:
a. Observasi visual pada lokasi kejadian. Harus dilakukan pencatatan mengenai
tipe habitat, kondisi cuaca, lokasi, dan orientasi tubuh mayat.
b. Pengumpulan data meteorologik lokasi kejadian. Data ini meliputi temperatur
lingkungan, kelembaban, dan paparan sinar matahari.
c. Pengumpulan spesimen dari tubuh mayat. Spesimen ini meliputi dua sampel
dari tiap lokasi kolonisasi, dimana satu sampel spesimen serangga tetap
dicagarkan sementara sampel yang lainnya diperiksa di laboratorium.
d. Pengumpulan spesimen dari lingkungan di sekitar tubuh mayat, 20-30 kaki
dari tubuh mayat. Spesimen ini meliputi dua sampel dari setiap area aktivitas
serangga, dimana satu sampel spesimen serangga tetap dicagarkan sementara
sampel yang lainnya diperiksa di laboratorium.
e. Pengumpulan spesimen dari area yang di bawah tubuh mayat segera setelah
tubuh mayat dipindahkan dari lokasi. Paling kurang diambil tiga sampel tanah
yang diambil dari bawah kepala, dada, dan regio pelvis.
f. Pengumpulan spesimen selama autopsi. Inspeksi lengkap pakaian dan objek
lain yang kontak dengan tubuh mayat untuk mencari serangga yang tidak
ditemukan pada lokasi kejadian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gennard DE. The Breadth of Forensic. Dalam: Gennard DE, editor. Forensic
Etomology. An introduction. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. 2007: 1-18.
2. Anderson GS. Forensic Entomology: The Use of Insect in Death Investigation.
Available at: http://www.sfu.ca/∼ganderso/forensicentomology.htm, diakses 26
Desember 2012.
3. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tanatologi. Dalam: Budiyanto, dkk, editor. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: bagian
Kedojteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia. 1997: 31-32.
4. Byrd JH. Forensic Entomology. Dalam: Cina SJ, editor. Medscape Reference: Part
Forensic Entomology. Available at: http://emedicine.medscape.com, diakses 26
Agustus 2012.
5. Hall RD, Huntington TE. Introduction: Perceptions and Status of Forensic
Entomology. Dalam: Byrd JH, Castner JL, editor. Forensic Entomology. The Utility
of Arthropods in Legal Investigation. Edisi II. New York: Taylor and Francis Group.
2010: 17-38.
6. DiMaio VJ, DiMaio D. Time of Death. Dalam: DiMaio VJ, DiMaio D, editor.
Forensic Pathology. Edisi II. 2001: 39-40
7. Swift B. The Timing of Death. Dalam: Rutty GN, editor. Essential of Autopsy
Practice. London: Springer-Verlag. 2006:196-197.
8. Stærkeby M. Forensic Forensic Entomology Overview. Dalam: Forensic Science: Part
Forensic Entomology. Available at: http://www.cienciaforense.com/ pages/
entomology/overview.htm, diakses: 26 Desember 2012.
9. Sembel DT. Ciri-ciri Umum Serangga. Dalam: Widiyatmoko J, editor. Entomologi
Kedokteran. Yogyakarta: Andi.2009: 7-8.
10. Raut S. Forensic Entomology. Available at: http://www.santoshraut.com/
forensic/entomology.htm, diakses:27 Desember 2012.