referat dr tri yuli sp pd

31
1 REFERAT MANAJEMEN PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN ENSEFALOPATI HEPATIKUM Oleh: Luqman Hakim G99122067 Maria Goretti Novianty G99121071 Qonita Sakinatul J G99122097 Ruben Stevanus G99122104 Pembimbing: dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM

Upload: maria-goretti-novianty-hutauruk

Post on 27-Nov-2015

111 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

1

REFERAT

MANAJEMEN PEMBERIAN NUTRISI

PADA PASIEN ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Oleh:

Luqman Hakim G99122067

Maria Goretti Novianty G99121071

Qonita Sakinatul J G99122097

Ruben Stevanus G99122104

Pembimbing:

dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2013

Page 2: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

2

HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. Referat ini telah disetujui dan dipresentasikan pada :

Hari :

Tanggal :

Oleh:

Luqman Hakim G99122067

Maria Goretti Novianty G99121071

Qonita Sakinatul J G99122097

Ruben Stevanus G99122104

Mengetahui dan menyetujui

Pembimbing Referat :

dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM

Page 3: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

3

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II NUTRISI PADA PASIEN ENSEFALOPATI HEPATIKUM...................3

A. Penilaian Status Gizi Pasien EH.......................................................................4

B. Pola Diet Pasien EH..........................................................................................7

C. Diet Nitrogen Pada Pasien EH..........................................................................7

D. L-ornitin L-aspartat (LOLA)..........................................................................12

BAB III RINGKASAN..........................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

Page 4: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

4

BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalopati hepatikum adalah komplikasi dari penyakit hati yang umum

terjadi pada 20-30% pasien dengan sirosis. Patogenesis ensefalopati hepatikum

belum sepenuhnya dimengerti, tetapi ammonia dipertimbangkan memainkan

peranan penting di dalamnya (Takuma et al., 2010). Ensefalopati hepatik (EH)

merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien sirosis hepar. EH

tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan

prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian

penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas

independen pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus

yang berat dapat menjadi koma atau meninggal (Fichet et al., 2009). Ensefalopati

hepatikum (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri yang ditandai

oleh kekacauan mental, tremor otot, dan dapat berlanjut hingga kematian akibat

koma (Chung dan Podolsky, 2005).

Ensefalopati hepatikum disebabkan oleh akumulasi neurotoksik di aliran

darah yang seharusnya dieliminasi oleh hati, termasuk ammonia, yang disebabkan

karena gangguan fungsi hepar akibat penyakit hepar kronis atau sirosis hepatis.

Neurotoksik beredar dalam aliran darah sistemik yang konsentrasinya meningkat

dan mencapai otak melalui sawar darah otak dan merusak fungsi otak yang

mendasari penurunan fungsi yang lebih berat dan gangguan kesadaran (Plauth,

2000).

Diagnosis EH dapat ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit

pemeriksaan fisik dan laboratorium (Juneau, 2012). Anamnesis (Cordoba dan

Minguez, 2008) perlu ditanyakan riwayat penyakit hati, riwayat kemungkinan

adanya faktor-faktor pencetus dan adakah kelainan neuropsikiatri. Pada

pemeriksaan fisik perlu dinilai (McPhail et al., 2010) : tingkat kesadaran / tingkat

ensefalopati, adanya kelainan neurologik, kejang, gejala infeksi berat, tanda-tanda

dehidrasi dan adanya pendarahan gastrointestinal. Pada pemeriksaan laboratorium

(Gerber dan Schomerus, 2010) akan ditemukan fosfotase alkali naik, gamma GT

Page 5: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

5

naik, serum alfa-feto protein lebih besar dari 15 µg/ml, hiperkolesterolemi,

bilirubin total naik.

Penatalaksanaan dan pencegahan koma hepatikum meliputi upaya-upaya

:mengobati penyakit dasar jika memungkinakan, mengidentifikasi dan

menghilangkan fakto-faktor yang merupakan pencetus, mencegah atau

mengurangi pembentukan atau influx toksin-toksin nitrogen ke dalam otak dan

upaya suportif dengan menjaga kecukupan masukan kalori dan mengobati

komplikasi kegagalan hati seperti hipoglikemi, perdarahan saluran cerna, aturan

keseimbangan elektrolit (Zubir, 2006).

Hepar merupakan organ utama dalam proses metabolisme tubub, yaitu

proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesisi protein,

pembentukan glukosa, serta proses katabolisme dengan melakukan detoksifikasi

bahan-bahan seperti ammonia, berbagai jenis hormone, obat-obatan dan

sebagainya. (Zubir, 2006). Kerusakan pada hepar akan mempengaruhi proses

metabolism nutrisi yang malah membuat dampak yang berbahaya pada tubuh.

Kebutuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan hepar diperlukan

pengawasan agar tidak terjadi kelebihan nutrisi tertentu yang menyebebakan

bertambah parahanya patogenesis penyakit. Penangan pasien ensefalopati

hepatikum perlu pengaturuan nutrisi yang ketat dengan mengubah ketersediaan

nutrisi, menggunakan jenis nutrisi yang khusus atau memanipulasi pengaturan

metabolism agar pathogenesis penyakit tidak memburuk (Plauth et al., 2009).

Page 6: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

6

BAB II

NUTRISI PADA ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui

produksi asam empedu dan fungsinya sebagai perantara metabolisme protein,

karbohidrat, lemak dan vitamin sehingga penderita panyakit hati sangat mungkin

terjadi gangguan metabolisme zat makanan dengan segala akibatnya (Setiawan,

2007; Balbino dan Silva, 2012). Malnutrisi pada SH terutama ditandai dengan

penurunan protein viseral (kadar albumin serum yang lebih rendah) maupun

defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa

otot dan sel tubuh dan disertai kelemahan otot dan gangguan kualitas hidup.

Sarkopenia atau hilangnya massa otot, penurunan massa lemak dan kurangnya

kedua hal tersebut baik massa otot dan lemak atau kaheksia telah dilaporkan pada

pasien SH. (Dasarathy at al, 2011; Norman dan Pirlich, 2010).

Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang

penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap

komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari

malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas

dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan

nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup,

mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati.

(Tsiaousi et al, 2008; McCullough, 2006).

Metabolisme nitrogen memainkan peran utama dalam pengembangan EH pada

pasien dengan sirosis. Patofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai

sekarang, namun ada beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme

perkembangan penyakit sirosis menjadi EH adalah :

1. Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk

metabolit yang toksik bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan

menjadi produk ammonia yang melalui aliran darah akan menembus sawar

darah otak dan mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di SSP.

Page 7: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

7

2. Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor

neurotransmitter yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat

mengalami peningkatan  jumlah dalam darah pada pasien dengan sirosis

hati.

3. Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak,

hal ini mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter 

(seperti octopamine dan phenylephrine, dan menurunnya produksi

dopamine dan norepinephrine) (Goldman, 2007).

Hubungan ini adalah kunci untuk manajemen HE, tetapi bukan satu-

satunya masalah gizi yang perlu ditangani. Penilaian status gizi pada pasien

dengan sirosis yang bermasalah. Selain itu, ada perbedaan signifikan yang

berhubungan dengan jenis kelamin dalam komposisi tubuh dan karakteristik

kehilangan jaringan, yang membatasi kegunaan teknik berdasarkan ukuran massa

otot dan fungsi pada perempuan. Teknik yang menggabungkan variabel subyektif

dan obyektif memberikan cukup informasi yang akurat dan direkomendasikan.

Energi dan nitrogen yang diperlukan pada pasien dengan HE tidak berbeda secara

substansial dari yang direkomendasikan pada pasien dengan sirosis yaitu 35-45

kkal / g dan protein 1.2-1.5g/kg setiap hari. Selain makronutrisen yang perlu

diawasi pemberiaanya, pengaturan mikronutrien seperti kalium juga diperlukan

karena terjadinya hipokalemia yang menyebabkan ginjal mengeluarkan ammonia

(Hirlan, 2013).

A. Penilaian Status Gizi Pasien EH

Penilaian status nutrisi berguna untuk mengidentifikasi pasien beresiko

kekurangan gizi dan untuk mengevaluasi kebutuhan, dan intervensi gizi.

Salah satu penilaian status nutrisi pada pasien sirosis adalah Royal Free

Hospital global Assessment (RFH - GA). (Morgan et al., 2006) (Gambar 1).

Dalam skema ini, pengukuran BMI, dihitung menggunakan perkiraan berat

badan kering, dan mid arm muscle circumference (MAMC) yang digunakan,

bersama dengan rincian dari asupan makanan dalam membangun algoritmik

terstruktur.

Page 8: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

8

MAMC = AC - (0.314 x TSF)

MAMC = Lingkar otot lengan (cm)

AC = Lingkar Lengan Atas (cm)

TSF = Ketebalan otot tricep (cm)

Pengukuran triceps skinfold diukur dengan cubitan dengan ibu jari dan

jari telunjuk tangan kiri pada sisi posterior mid acromiale-radiale line.

Cubitan dilakukan pada permukaan paling posterior dari lengan atas pada

daerah m. triceps brachii pada penampakan dari samping. Saat pengukuran

lengan dalam keadaan relaksasi dengan sendi bahu sedikit eksorotasi dan

sendi siku ekstensi di samping badan (Morgan, 2006)

Namun, staf ahli diperlukan untuk melaksanakan penilaian, yang bisa

memakan waktu hingga 1 jam untuk menyelesaikan . Oleh karena itu, teknik

yang lebih sederhana dan tidak memakan waktu lama dibutuhkan untuk

skrining gizi rutin, tetapi harus divalidasi dan cocok untuk tujuan. The Royal

Free Hospital-Nutritional Prioritizing Tool (RFH-NPT) baru-baru ini

mengembangkan penilaian status nutrisi tersebut (Gambar 2 ) . Skema ini

memakan waktu kurang dari 3 menit dan dapat digunakan oleh staf

Page 9: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

9

nonspesialis. Skema ini juga telah divalidasi dalam multicenter trial Inggris.

(Arora et al., 2012)

Page 10: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

10

B. Pola Diet Pasien EH

Waktu konsumsi kalori penting dalam mempengaruhi perubahan substrat

dan karenanya menghindari pemanfaatan yang tidak semestinya dari

glukoneogenesis untuk mempertahankan produksi glukosa. Hal ini sangat

penting pada pasien dengan HE karena pemanfaatan asam amino untuk

produksi glukosa menghabiskannya protein jaringan dan menghasilkan

ammonia (Kabadi, 1997). Pasien harus menghindari puasa lebih lama dari 3-6

jam pada siang hari, sering makan merata sepanjang hari. Bukti

menunjukkan bahwa isi kalori harus mengandung setidaknya 50 g

karbohidrat kompleks (Tsien et al., 2012). Kepatuhan mungkin menjadi

masalah (Plank et al, 2008), tapi pasien tetap harus didorong untuk mengikuti

pola diet tersebut.

C. Diet Nitrogen Pasien EH

Jenis protein tertelan mungkin penting karena pasien dengan sirosis

menunjukkan variasi dalam toleransi terhadap protein diet, tergantung pada

sumbernya. Penelitian menunjukkan bahwa protein susu lebih baik ditoleransi

daripada protein dari berbagai sumber dan bahwa protein nabati lebih baik

ditoleransi daripada protein daging (Greenberger et al, 1977). Diet protein

nabati lebih mengandung serat makanan daripada protein daging, serat

memiliki sifat prebiotik yang mengurangi pH intralumina, dan meningkatkan

eksresi amonia (Vester et al, 2011). Mengkonsumsi serat nabati juga dapat

mengakibatkan perubahan menguntungkan di microbiota (MacFarlane, 2011).

Selain itu, protein nabati rendah asam amino sulfat, metionin dan sistein,

yang merupakan prekursor dari merkaptan dan senyawa indole / oxindole,

yang terlibat dalam asal-usul HE (Zieve et al, 1994). Sebaliknya, mereka

tinggi di ornithine dan arginin, yang dapat mempermudah pembuangan

amonia melalui urea cycle. Pasien dengan HE berulang atau persisten HE

harus mengambil diet kaya dalam sayuran dan protein susu daripada protein

daging dan ikan. Namun, tolerabilitas diet kaya protein nabati sangat

bervariasi, tergantung pada isi serat makanan dari makanan pokok. Secara

Page 11: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

11

umum, pasien harus didorong untuk mengambil persentase dari protein nabati

sebanyak mereka bisa, dan dengan ketentuan bahwa mereka juga tidak

dibatasi garam, yang membuat diet enak, sehingga setiap hari asupan 30-40 g

protein nabati biasanya dapat dicapai. Sayuran protein diet juga bermanfaat

dalam pasien kelebihan berat badan dengan sirosis yang mencoba untuk

menurunkan berat badan. The branched-chain amino acids (BCAA), valin,

leusin, dan isoleusin, adalah asam amino esensial, yang tidak seperti yang

lain, tidak dimetabolisme oleh hati, tetapi dengan otot rangka. Konsentrasi

BCAA Plasma berkurang pada pasien dengan sirosis, sedangkan konsentrasi

dari salah satu atau kedua asam amino aromatik, fenilalanin dan tirosin

meningkat, bersama-sama dengan metionin (Morgan et al., 1998). Perubahan

ini hasil dari kombinasi dari gangguan fungsi hati, Portal-sistemik shunting,

hiperinsulinemia, hyperglucagonemia, dan hiperamonemia. Diduga bahwa

suplemen BCAA akan bermanfaat bagi pasien dengan HE karena akan (1)

memfasilitasi detoksifikasi amonia dengan mendukung sintesis glutamine

dalam otot rangka dan otak dan (2) menurunkan masuknya kelebihan asam

amino aromatik pada otak, yang bersaing dengan BCAA untuk bagian di

seluruh blood-brain barrier (Fischer et al, 2001). Namun ada sedikit

meyakinkan bukti, saat ini, bahwa asumsi suplementasi BCAA benar atau

yang memiliki efek signfikan menguntungkan pada EH (Les et al, 2011).

Penggunaan suplemen BCAA, dosis harian terbagi, dapat memfasilitasi

penyediaan asupan nitrogen yang memadai pada pasien yang benar-benar

intoleransi protein (Dam et al, 2013) Ada bukti terkumpul bahwa jangka

panjang suplementasi BCAA mungkin memberi manfaat nutrisi, dan

meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan cirrhosis (Nakaya et

al, 2007). Penyesuaian yang berkaitan dengan waktu pemberian dan sumber

makanan nitrogen mungkin bermanfaat pada pasien dengan sirosis dan HE

dan karena itu direkomendasikan pada table (Nielsen et al, 2005).

Page 12: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

12

Diet dengan pembatasan asupan protein disarankan pada ESPEN (The

European Society for Parenteral and Enteral Nutrition) guideline 1997 untuk

mencegah terjadinya ensefalopati hepatikum karena dengan demikian dapat

mengurangi masuknya nitrogen ke dalam usus, sehingga mengurangi

produksi dan absorbsi NH4. Pasien dengan ensefalopati hepatikum grade 1-2

mendapat diet protein diinisiasi mulai dengan 0.5-0.6 gr/kgBB/hari dan bisa

ditambahkan 0.25-0.50 dr/kgBB/hari sampai dicapai target level untuk

kebutuhan proteinnya terpenuhi atau terjadi progresi dari ensefalopati

hepatikum grade 2. Dosis target 1.0-1.5 gr/kgBB/hari diberikan pada pasien

yang hiperkatabolik. Pada pasien dengan ensefalopati hepatikum grade 3-4,

lebih disarankan untuk memodifikasi jenis protein yang diberikan, daripada

harus membatasi protein lagi, sehingga dosis untuk proteinnya sama dengan

pasien ensefalopati hepatikum grade 1-2 (Mizock BA, 1999).

Akan tetapi, peningkatan katabolisme protein pada pasien dengan

penyakit liver mungkin membutuhkan intake yang lebih tinggi. Pasien

sirosis membutuhkan rata-rata 0.8-1.4 g protein/kgBB/hari untuk menjaga

keseimbangan nitrogen dibandingkan dengan orang sehat yang hanya

membutuhkan 0.6 g protein/kgBB/hari untuk tujuan ini (Kondrup et al,

Page 13: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

13

1997). Cordoba et al (2004) telah melakukan penelitian RCT pada 20 pasien

ensefalopati hepatikum dengan diet protein terbatas dan diet protein normal,

hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok

tersebut pada penyakitnya, akan tetapi pemecahan protein ditemukan lebih

tinggi pada kelompok dengan diet protein yang dibatasi. Peneliti mengambil

kesimpulan bahwa tidak ada manfaat dari pembatasan protein. Di samping

itu, justru pembatasan protein memiliki dampak yang signifikan pada status

nutrisi pasien, sedangkan pada pasien sirosis, status nutrisi yang buruk

merupakan faktor risiko mayor terjadinya mortalitas (6). Ketika kebutuhan

protein tidak memenuhi kebutuhan karena pembatasan protein, maka terjadi

peningkatan pemecahan protein otot sehingga mengeluarkan nitrogen yang

mengandung asam amino yang berkontribusi dalam pembentukan amonia

yang dapat memperburuk terjadinya ensefalopati. Karena alasan terseut,

pembatasan protein tidak lagi direkomendasikan dalam tatalaksana

ensefalopati hepatikum. Pasien diberi diet protein dalam jumlah normal dan

ditatalaksana dengan terapi medis yang sesuai untuk ensefalopati hepatikum.

ESPEN Consensus Group merekomendasikan pemberian protein 1-1.5

g/kgBB pada pasien sirosis untuk mencegah terjadinya malnutisi, sedangkan

untuk ensefalopati hepatikum bila terjadi intoleransi protein, ESPEN

merekomendasikan mengurangi protein hewani dan menggunaan protein

nabati maupun BCAA sebagai sumber proteinnya, di samping juga harus

memaksimalkan pengobatan (Plauth et al, 2006). Efek dari BCAA tidak

berhubungan dengan dosis atau durasi dari pemberian BCAA, penggunaan

isonitrogen atau kontrol nonnitrogen, atau jumlah dari infus

glukosa/dekstrosa (Als Nielson dkk, 2009). Lebih jelasnya, dapat dilihat

pada gambar 2.

:

Page 14: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

14

Dari guidelines tersebut menunjukkan bahwa ensefalopati hepatikum

minimal harus diobati dengan diet tanpa pembatasan protein. Pada pasien

dengan ensefalopati hepatikum berat, penatalaksanaan difokuskan pada

manajemen medis dan ESPEN tetap tidak merekomendasikan untuk

pembatasan protein, tetapi mengganti sumber alternatif protein. Pembatasan

protein temporer mungkin baru perlu dilakukan pada pasien dengan

ensefalopati hepatikum yang refrakter meski telah mendapatkan pengobatan

yang cukup (Chadalavada et al, 2010). Di samping itu, perlu untuk

dipertimbangkan jalur pemberian nutrisi pada ensefalopati hepatikum

apakah secara enteral atau parenteral. Plauth et al (2000) menunjukkan

bahwa pemberian protein parenteral dapat mengurangi risiko terjadinya

ensefalopati hepatikum. Protein akan diubah menjadi amonia oleh bakteri

usus, sehingga pemberian protein parenteral tentu tidak mningkatkan

pembentukan amonia di usus.

Page 15: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

15

D. L-ornitin L-aspartat (LOLA)

Salah satu fungsi utama hati adalah detoksifikasi zat-zat toksik dan

metabolisme obat. Amonia merupakan salah satu zat toksik yang berperan

pada ensefalopati hepatik. Amonia diproduksi dari mukosa usus oleh bakteri

sebagai degradasi dari amin, asam amino, purin, dan urea. Dalam keadaan

normal amonia ditranspor ke dalam hati melalui sistem vena porta dan

didetoksifikasi di hati dengan cara diubah menjadi urea melalui siklus urea.

Amonia di dalam tubuh terutama dihasilkan oleh flora usus. Hepar

yang normal mampu melakukan metabolisme 90% amonia, dan

mengubahnya dalam bentuk urea yang selanjutnya di keluarkan melalui

urin. Pada kondisi sirosis hepatis, kegagalan metabolisme amonia dapat

menyebabkan hiperamonemia (Shawcross dan Jalan, 2005). Amonia yang

tinggi dapat menyebabkan perubahan fungsi otak terutama terkait dengan

kegagalan energi serebral dan perubahan neurotransmisi melalui beberapa

Page 16: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

16

mekanisme termasuk efek agonis transmisi GABA-ergik sehingga

menyebabkan inhibisi neurotransmisi (Sonnewald et al, 2006). Pada

penderita gagal hati akut diketahui bahwa amonia dapat menyebabkan

peningkatan glutamin otak dan cairan otak sehingga meningkatkan aliran

darah ke otak dan selanjutnya meningkatkan tekanan intra kranial.

Peranan amonia terhadap kejadian EH telah diteliti sejak 100 tahun lalu dan

lebih dari 1200 paper dipublikasikan yang mendukung fenomena ini

(Shawcross & Jalan, 2005).

Amonia dalam cairan biologis berada dalam dua bentuk yaitu bentuk

ion (NH4+) dan dalam bentuk non ion atau gas (NH3). Pada kondisi

fisiologis yaitu pada pH 7,4, 98% amonia berbentuk ion amonia dan 2 %

sisanya berbentuk gas. Pada membrana biologis, amonia yang bebentuk

gas dapat secara bebas menembus sawar darah otak (Kraemer dan

Ratamess, 2000). Tekanan parsial amonia (pNH3) yang berbentuk gas ini

dapat diukur dengan rumus berdasarkan amonia total dan meningkat

bersamaan dengan perubahan pHnya. Tekanan parsial amonia (pNH3)

memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar total

amonia darah.

Meskipun amonia bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya EH,

namun penanganan penderita EH lebih banyak mendasarkan pada

patologenesis amonia. Di samping itu juga perlu menangani sebab-sebab

lain yang turut memperberat derajat EH seperti infeksi, gangguan elektrolit

dan asam basa (Shwacross dan Jalan, 2005). Berdasarkan teori amonia,

pengobatan EH ditujukan terutama untuk menurunkan kadar amonia.

Menurunkan amonia dapat dilakukan antara lain dengan pemberian

antibiotika non absorable, laktulosa, dan pembatasan diet protein. Hal ini

berdasarkan pada patologenesis di mana sumber amonia adalah flora usus

dan asupan protein.

Saat ini diketahui bahwa amonia darah dapat diturunkan dengan

pemberian asam amino L-ornitin L-aspartat (LOLA). L-ornitin L-

aspartat berperan sebagai substrat perantara metabolisme amonia

Page 17: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

17

menjadi glutamin dalam otot, di mana dalam metabolisme tersebut

dibutuhkan substrat glutamat yang berasal dari asam amino LOLA,

yang terdapat dalam bentuk sediaan oral dan injeksi intravena (Stauch et

al., 1998) Pemberian LOLA akan meningkatkan kadar glutamin dalam

darah perifer namun tidak demikian halnya didalam otak. Sebaliknya

glutamin yang terbentuk dalam otak hanya sedikit dan oleh karena itu

hanya sedikit pula amonia yang dapat mencapai astrocyte, yang selanjutnya

akan memperbaiki sindrom EH.

Stauch et al. (1998), dalam suatu penelitian randomized controlled

trial (RCT) telah membuktikan bahwa pemberian LOLA intravena 20

gram per hari selama 7 hari berturut turut mampu menurunkan amonia

sebesar 30% dibandingkan pada kelompok plasebo yaitu sebesar 9%.

Pada penelitian tersebut pemberian LOLA telah menunjukkan perbedaan

kadar amonia yang bermakna dibanding dengan plasebo yang diukur

pada pada hari ke-2 dan ke-4 setelah pemberian LOLA. Sementara itu pada

penelitian Chen et al.(2005) didapatkan bahwa pemberian LOLA dapat

memberikan perbaikan kesadaran dalam waktu 7 sampai 24 jam,

dengan rata-rata 15,2 jam pada kelompok terapai dan perbaikan

kesadaran pada kelompok palsebo dalam waktu 24-120 jam dengan rata-

rata 56 jam yang berbeda secara (p<0.05).

Page 18: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

18

BAB III

RINGKASAN

Ensefalopati hepatikum adalah komplikasi berat dari penyakit hepar kronis

yang didefinisikan sebagai perubahan status mental dan fungsi kognitif yang

terjadi karena adanya kegagalan fungsi hepar. Hepar merupakan organ utama

dalam proses metabolisme tubub, yaitu proses anabolisme atau sintesis bahan-

bahan yang penting seperti sintesisi protein, pembentukan glukosa, serta proses

katabolisme dengan melakukan detoksifikasi bahan-bahan seperti ammonia,

berbagai jenis hormone, obat-obatan dan sebagainya sehingga adanya kerusakan

pada hepar akan mempengaruhi proses metabolism nutrisi. Manajemen nutrisi

pada pasien ensefalopati hepatikum didasari pada patofisiologi perjalanan

penyakit yang disebabkan adanya penumpukan metabolit amonia yang berbahaya.

Diet makronutrien yang paling perlu diperhatikan adalah protein. ESPEN

Consensus Group merekomendasikan pemberian protein 1-1.5 g/kgBB pada

pasien sirosis untuk mencegah terjadinya malnutisi, sedangkan untuk ensefalopati

hepatikum bila terjadi intoleransi protein, ESPEN merekomendasikan mengurangi

protein hewani dan menggunaan protein nabati maupun BCAA sebagai sumber

proteinnya, di samping juga harus memaksimalkan pengobatan. Pembatasan

protein temporer mungkin baru perlu dilakukan pada pasien dengan ensefalopati

hepatikum yang refrakter meski telah mendapatkan pengobatan yang cukup.

Selain makronutrisen yang perlu diawasi pemberiaanya, pengaturan mikronutrien

seperti kalium juga diperlukan karena terjadinya hipokalemia yang menyebabkan

ginjal mengeluarkan ammonia. Suplementasi LOLA juga diperlukan pada pasien

ensefalopati hepatikum karena pemberian LOLA akan meningkatkan kadar

glutamin dalam darah perifer namun glutamin yang terbentuk dalam otak

hanya sedikit dan oleh karena itu hanya sedikit pula amonia yang dapat mencapai

astrocyte, yang selanjutnya akan memperbaiki EH.

Page 19: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

19

DAFTAR PUSTAKA

Takuma Y, Nuoso K, Makino Y, Hayashi M, Takahashi H. Clinical trial: oral, zinc in hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther 2010: 32: 1080-1090

Fichet J, Mercier E, Genee O. 2009. Prognosis and 1-year mortality of intensive care unit patients with severe hepatic encephalopathy. Journal of Critical Care. 24(3):364-370

Editor Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on Encephalopaties-A Second Look. Europe: InTech. 2010

(Goldman L, Ausiello D, eds Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elseviaer, 2007:chap 181)

Morgan MY, Madden AM, Soulsby CT, Morris RW. Derivation andvalidation of a new global method for assessing nutritional status inpatients with cirrhosis. HEPATOLOGY 2006;44:823-835.

Arora S, Mattina C, McAnenny C, O’Sullivan N, McGeeney L, Calder N, et al. The development and validation of a nutritional prioritizing tool for use in patients with chronic liver disease. J Hepatol2012;56(Suppl 2):S241.

Muller MJ, Bottcher J, Selberg O, Weselmann S, Boker KH, von zur Muhlen A, et al. Hypermetabolism in clinically stable patients withliver cirrhosis. Am J Clin Nutr 1999;69:1194-1201.

McCullough AJ, Raguso C. Effect of cirrhosis on energy expenditure.Am J Clin Nutr 1999;69:1066-1068.

Petrides AS, Groop LC, Riely CA, DeFronzo RA. Effect of physiologichyperinsulinemia on glucose and lipid metabolism in cirrhosis. J ClinInvest 1991;88:561-570.

Krahenbuhl L, Lang C, Ludes S, Seiler C, Schafer M, Zimmermann A,et al. Reduced hepatic glycogen stores in patients with liver cirrhosis.Liver Int 2003;23:101-109.

Owen OE, Reichle FA, Mozzoli MA, Kreulen T, Patel MS, ElfenbeinIB, et al. Hepatic, gut, and renal substrate flux rates in patients withhepatic cirrhosis. J Clin Invest 1981;68:240-252.

Page 20: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

20

Owen OE, Trapp VE, Reichard GA, Jr., Mozzoli MA, Moctezuma J,Paul P, et al. Nature and quantity of fuels consumed in patients withalcoholic cirrhosis. J Clin Invest 1983;72:1821-1832.

Plauth M, Cabr_e E, Riggio O, Assis-Camilo M, Pirlich M, Kondrup J,et al. ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: Liver disease. Clin Nutr2006;25:285-294.

McCullough AJ, Tavill AS. Disordered energy and protein metabolismin liver disease. Semin Liver Dis 1991;11:265-277.

Kabadi UM. The association of hepatic glycogen depletion with hyperammonemia in cirrhosis. HEPATOLOGY 1997;7:821-824.

Marchesini G, Moscatiello S, Di DS, Forlani G. Obesity-associatedliver disease. J Clin Endocrinol Metab 2008;93(11 Suppl 1):S74-S80.

Nielsen K, Kondrup J, Martinsen L, D_ssing H, Larsson B, Stilling B,et al. Long-term oral refeeding of patients with cirrhosis of the liver. Br J Nutr 2005;74:557-567.

Tsien CD, Arthur J McCullough AJ, Dasarathy S. Late evening snack:exploiting a period of anabolic opportunity in cirrhosis. J GastroenterolHepatol 2012;27:430-441.

Plank LD, Gane EJ, Peng S, Muthu C, Mathur S, Gillanders L, et al.Nocturnal nutritional supplementation improves total body protein statusof patients with liver cirrhosis: a randomized 12-month trial. HEPATOLOGY2008;48:557-566.

Greenberger NJ, Carley J, Schenker S, Bettinger I, Stamnes C, Beyer P.Effect of vegetable and animal protein diets in chronic hepatic encephalopathy.Am J Dig Dis 1977;22:845-855.

Vester Boler BM, Rossoni Serao MC, Bauer LL, Staeger MA, BoileauTW, Swanson KS, et al. Digestive physiological outcomes related topolydextrose and soluble maize fibre consumption by healthy adultmen. Br J Nutr 2011;31:1-8.

MacFarlane GT, MacFarlane S. Fermentation in the human large intestine:its physiologic consequences and the potential contribution of prebiotics.J Clin Gastroenterol 2011;45(Suppl):S120-S127.

Zieve L, Doizaki WM, Zieve J. Synergism between mercaptans andammonia or fatty acids in the production of coma: a possible role formercaptans in the pathogenesis of hepatic coma. J Lab Clin Med 1994;83:16-28.

Page 21: Referat Dr Tri Yuli Sp PD

21

Morgan MY, Milsom JP, Sherlock S. Plasma ratio of valine, leucineand isoleucine to phenylalanine and tyrosine in liver disease. Gut 1998;19:1068-1073.

Fischer JE, Baldessarini RJ. False neurotransmitters and hepatic failure. Lancet 2001;2:75-80.

Les I, Doval E, Garc_ıa-Mart_ınez R, Planas M, C_ardenas G, G_omez P,et al. Effects of branched-chain amino acids supplementation inpatients with cirrhosis and a previous episode of hepatic encephalopathy:a randomized study. Am J Gastroenterol 2011;106:1081-1088.

Dam G, Ott P, Aagaard NK, Vilstrup H. Branched-chain amino acidsand muscle ammonia detoxification in cirrhosis. Metab Brain Dis 2013Jan 15. doi: 10.1007/s11011-013-9377-3.

Nakaya Y, Okita K, Suzuki K, Moriwaki H, Kato A, Miwa Y, et al.BCAA-enriched snack improves nutritional state of cirrhosis. Nutrition2007;23:113-120.