askep difteri bu yuli

23
BAB I PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

Upload: operator-warnet-vast-raha

Post on 21-Jul-2015

151 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious

disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium

diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian

tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.

Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang

tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan

bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan

10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.

Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum

dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah

padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga

kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak

diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri

mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk

meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.

Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap

penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal di atas, maka dalam pembahasan makalah ini selanjutnya

akan kami bahas lebih dalam dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Konsep medis difteri pada anak

2. Asuhan keperawatan DIFTERI pada anak

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Pengertian

Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheriae. Difteri dikenal sebagai suatu sindroe klinis oleh Bretonneau pada awal

abad ke-19. Basil penyebabnya yaitu Corynebacterium diphtheriae, ditemukan oleh

Klebs pada tahun 1884.

Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang

terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya

pseudomembran (Ngastiyah, 2005).

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae

(Rampengan, 1993). Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh

corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO).

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil

racun (Detik Health). Difteri adalah suatu infeksi yang akut yang disebabkan oleh

bakteri penghasil toksik corynebacterium diphteriae (Medicas).

Difteri ditandai dengan infeksi pseudoembran setempat pada saluran

pernapasan atas, yang dapat menimbulkan penyumbatan dan oleh kerusakan yang

bersifat tiksik pada organ viseral dan sistem saraf.

B. Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bacteri yang diberi nama

Cornyebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak

bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru

metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari

lesi.

Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati

pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,

air susu, dan lendir yang telah menngering.

Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar

perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium

terlarut.

Basil dapat membentuk :

Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih

keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan

basil.

Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa

jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas

terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml

toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai

untuk uji Schick.

C. Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan

mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes

ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe

dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000

dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A

(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan

disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang

teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting

dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam

suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses

ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang

mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan

toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan

tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari

pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino

lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan

proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA

+ dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini

memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase melalui proses :

NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-

ribosil-EF2 yang inaktif .

Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak

terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati.

Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi

inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak

eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah

infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu

membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah

darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,

eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.

Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya

Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat

jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit

ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan

dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung,

saraf dan ginjal.

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau

yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.

Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi

sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi

dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.

Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin

pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,

kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila

penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. pada saraf

tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis

hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal

dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

D. Manifestasi Klinik

Gejala umum yang timbul berupa:

Demam tidak terlalu tinggi

Lesu dan lemah

Pucat

Anoreksia

Gejala khas yang menyertai:

Nyeri menelan

Sesak nafas

Serak

Gejala local : nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengakakan pada

kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit sudah pada

stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung bagian yang terkene,

misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf

terjadi kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah

pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur

darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini

akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.

E. Klasifikasi

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :

⁻ Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung

dengan gejala hanya nyeri menelan.

⁻ Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring

(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan

pada laring.

⁻ Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan

gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis

(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :

⁻ Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa

atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi

serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada

nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada

daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik

yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

⁻ Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam

1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat

menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle

atau ke distal ke laring dan trachea.

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat

terjadi lymphadenitis servikalis dan submandibularis bila bersamaan

dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck.

Selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas embran. Bila

kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat

terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai

kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi

dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan

terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis

atau neuritis. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari;

biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

⁻ Diphtheria Laring

Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria

laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala

obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe

infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif,

suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat

retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi

pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian

mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan

tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan

daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi

dan toksemia.

⁻ Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat

membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada

mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan

membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis

eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

F. Pemeriksaan Penunjang

a) Schick test

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini

tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari

kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan

intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila

orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas

suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung

titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan

timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila

tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang

dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat

terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang

dalam 72 jam.

b) Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin

terdapat albumin ringan.

c) Moloney test

Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes dilakukan

dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara suntikan

intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti

bahwa :

Pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi

hipersensitivitas.

Pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang

berbahaya.

G. Penularan

Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.

Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan

bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang

membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga

ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.

Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang

sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita

difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.

H. Pencegahan

Isolasi penderita

Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan

kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.

Pencegahan terhadap kontak

Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila

dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus

diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.

Imunisasi

Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi.

Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster

dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi

sesuai PPI dilakukan pada usia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada

usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2

bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena

imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai

kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap

kali pemberian.

Cara Pencegahan :

1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada

masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari

difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-

anak.

2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan

imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).

Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang

mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular

pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin

yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang

mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole

cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat

ini juga telah tersedia.

3) Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di

Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan

tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).

a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis

pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama

diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-

12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu

diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam

pelaksanaan jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk

sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah

mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis

dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat

diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat

dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia

di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan

konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.

Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah

diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis

vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan

dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2.

data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal

pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat

perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh

karena itu perlu diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu

dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan

penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara

memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali

diberikan dosis booster Td kepada mereka.

5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan

sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang

terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan

jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada

orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria

faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap

kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung

(dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif

tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak

kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah

penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin

dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah

pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang

dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang

tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan

pencucihamaan menyeluruh.

Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang

pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan

(khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan

anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus

diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka

telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan

pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan

carrier.

Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus

dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan,

diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin

(IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau

dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan

untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah

dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi

mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani

anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari

pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis

menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya

sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan

dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka

terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak

yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka

imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau

DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier

dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari

hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier

dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap

kontak yang sangat dekat.

I. Komplikasi

Aluran Pernafasan

Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopnemonia atelaktasio

Kardiovaskuler

Miokarditir akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini

Urogenital

Dapat terjadi Nefritis

Susunan daraf

Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang

mengenai system susunan saraf terutama system motorik

Paralisis / parese dapat berupa :

1. Paralasis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran

menelan sifatnya reversible dan terjadi pada minggu ke satu dan kedua.

2. Paralisis / paresis otot-otot mutu, sehingga dapat mengakibatkan

strabisinus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang setelah

minggu ke tiga.

3. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke 4, kelainan dapat

mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling penting dan

berbahaya bila mengenai otot pernafasan.

J. Prognosa

Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-

50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi

5-10%. Prognosa tergantung pada:

1. Usia

Makin rendah makin jelek prognosa.

2. Waktu pengobatan antitoksin

Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. Nelson (1959)

menyebutkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama sakit

mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari keempat 12%; dan

hari kelima dan seterusnya mortalitasnya 25%.

K. Penatalaksaan

1. Penatalaksanaan medis

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan

EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan

minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan

pengobatan spesifik.

Pengobatan spesifik untuk difter :

ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut

dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.

Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3

hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi

ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis

yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison

2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas

yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada

pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat

diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10

hari.

Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria

didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah

sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil

pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin

yang berasal dari kuda).

Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational

product”. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk

mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya

negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit

tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian

IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat

menggantikan pemberian antitoksin.

Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB

untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi

dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg

BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah

bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi

dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat

kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten

terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide

generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk

strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.

Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal

penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2

juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin

oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak

dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.

2. Penatalaksanaan keperawatan

Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus

memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap

pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai

malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek

tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan

perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selalu

kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam

alat makan yang diisi dengan desinfektan.

Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.

Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit

karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang

disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh

basil difteri tersebut.

Sumbatan jalan napas.

Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta

adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan

stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis,

tampak retraksi otot, kedengaran stridor :

a. Berikan O2

b. Baringkan setengah duduk.

c. Hubungi dokter.

d. Pasang infus (bila belum dipasang).

e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang

dapat terjadi.

Miokarditis.

Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh

janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya

kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk

mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS

sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu

observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3

minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama

dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam

perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :

o Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap

jam dan dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan

kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera

menghubungi dokter.

Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :

a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya

harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah

terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).

b. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi

dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh

bangun).

Komplikasi yang mengenai saraf.

Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua.

Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum

air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :

a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.

b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit

demi sedikit.

Komplikasi pada ginjal.

Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan

warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.

Gangguan masukan nutrisi.

Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit

menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia

mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan

berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya

sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3

hari kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba

makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan

minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu

kelancaran eliminasi