askep difteri bu yuli
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal di atas, maka dalam pembahasan makalah ini selanjutnya
akan kami bahas lebih dalam dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Konsep medis difteri pada anak
2. Asuhan keperawatan DIFTERI pada anak
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Difteri dikenal sebagai suatu sindroe klinis oleh Bretonneau pada awal
abad ke-19. Basil penyebabnya yaitu Corynebacterium diphtheriae, ditemukan oleh
Klebs pada tahun 1884.
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang
terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya
pseudomembran (Ngastiyah, 2005).
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae
(Rampengan, 1993). Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh
corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil
racun (Detik Health). Difteri adalah suatu infeksi yang akut yang disebabkan oleh
bakteri penghasil toksik corynebacterium diphteriae (Medicas).
Difteri ditandai dengan infeksi pseudoembran setempat pada saluran
pernapasan atas, yang dapat menimbulkan penyumbatan dan oleh kerusakan yang
bersifat tiksik pada organ viseral dan sistem saraf.
B. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bacteri yang diberi nama
Cornyebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru
metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,
air susu, dan lendir yang telah menngering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium
terlarut.
Basil dapat membentuk :
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih
keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
basil.
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai
untuk uji Schick.
C. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes
ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan
disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang
teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari
pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino
lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan
proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA
+ dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini
memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi
inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah
darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung,
saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi
dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.
Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis
hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
D. Manifestasi Klinik
Gejala umum yang timbul berupa:
Demam tidak terlalu tinggi
Lesu dan lemah
Pucat
Anoreksia
Gejala khas yang menyertai:
Nyeri menelan
Sesak nafas
Serak
Gejala local : nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengakakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit sudah pada
stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung bagian yang terkene,
misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf
terjadi kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah
pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur
darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini
akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
E. Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
⁻ Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
⁻ Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
⁻ Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
⁻ Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada
nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada
daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
⁻ Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam
1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle
atau ke distal ke laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat
terjadi lymphadenitis servikalis dan submandibularis bila bersamaan
dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck.
Selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas embran. Bila
kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis
atau neuritis. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari;
biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
⁻ Diphtheria Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria
laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe
infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif,
suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan
daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia.
⁻ Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
F. Pemeriksaan Penunjang
a) Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini
tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila
orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas
suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung
titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan
timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila
tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat
terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang
dalam 72 jam.
b) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin
terdapat albumin ringan.
c) Moloney test
Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes dilakukan
dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti
bahwa :
Pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
Pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
G. Penularan
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan
bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga
ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang
sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita
difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.
H. Pencegahan
Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila
dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus
diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi.
Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster
dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi
sesuai PPI dilakukan pada usia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada
usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2
bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena
imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap
kali pemberian.
Cara Pencegahan :
1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari
difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-
anak.
2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan
imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular
pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin
yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang
mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole
cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat
ini juga telah tersedia.
3) Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di
Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan
tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis
pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama
diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-
12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu
diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam
pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk
sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah
mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis
dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat
diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat
dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia
di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan
konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah
diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis
vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan
dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2.
data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal
pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat
perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh
karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu
dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara
memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali
diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang
terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan
jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada
orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria
faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap
kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung
(dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif
tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak
kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin
dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah
pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang
dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang
tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan
pencucihamaan menyeluruh.
Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang
pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan
(khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan
anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus
diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka
telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan
pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan
carrier.
Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus
dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan,
diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin
(IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau
dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan
untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah
dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi
mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani
anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari
pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis
menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan
dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka
terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak
yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka
imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau
DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier
dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari
hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier
dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap
kontak yang sangat dekat.
I. Komplikasi
Aluran Pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopnemonia atelaktasio
Kardiovaskuler
Miokarditir akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini
Urogenital
Dapat terjadi Nefritis
Susunan daraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang
mengenai system susunan saraf terutama system motorik
Paralisis / parese dapat berupa :
1. Paralasis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran
menelan sifatnya reversible dan terjadi pada minggu ke satu dan kedua.
2. Paralisis / paresis otot-otot mutu, sehingga dapat mengakibatkan
strabisinus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang setelah
minggu ke tiga.
3. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke 4, kelainan dapat
mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling penting dan
berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
J. Prognosa
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-
50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi
5-10%. Prognosa tergantung pada:
1. Usia
Makin rendah makin jelek prognosa.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. Nelson (1959)
menyebutkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama sakit
mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari keempat 12%; dan
hari kelima dan seterusnya mortalitasnya 25%.
K. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan
EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan
minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan
pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difter :
ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3
hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi
ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis
yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison
2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas
yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada
pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat
diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10
hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria
didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah
sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil
pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin
yang berasal dari kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational
product”. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk
mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya
negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit
tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian
IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB
untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi
dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg
BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah
bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi
dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat
kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten
terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide
generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk
strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal
penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2
juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin
oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak
dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap
pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai
malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek
tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan
perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selalu
kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam
alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit
karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang
disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh
basil difteri tersebut.
Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan
stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis,
tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang
dapat terjadi.
Miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh
janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya
kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk
mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS
sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu
observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3
minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama
dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam
perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
o Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap
jam dan dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan
kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera
menghubungi dokter.
Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :
a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya
harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah
terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
b. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi
dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh
bangun).
Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua.
Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum
air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit
demi sedikit.
Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan
warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit
menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia
mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan
berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya
sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3
hari kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba
makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan
minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu
kelancaran eliminasi