referat tonsilitis difteri

32
BAB I PENDAHULUAN Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau genitalia. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. 1 Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu dengan angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk infeksi ini. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. 2 Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain. 2 Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga penanganan dapat diberikan lebih awal. Pada

Upload: gitaquinzy

Post on 02-Jan-2016

149 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Referat Tonsilitis Difteri Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Tonsilitis Difteri

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,

faring, laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau

genitalia. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit

dan atau mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.1

Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu

dengan angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk

infeksi ini. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi

atau imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri

tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia.2

Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran

yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan.

Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat

peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang

membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain.2

Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga penanganan

dapat diberikan lebih awal. Pada kasus-kasus yang berat ditandai dengan

pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea

secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.1

Makalah ini akan membahas mengenai penyakit tonsillitis difteri yang

diharapkan dapat bermanfaat nantinya bila menemui kasus ini di tempat praktek

sehingga dapat mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat.

Page 2: Referat Tonsilitis Difteri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur

yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar

limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding

posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.3

Gambar 1. Cincin Waldeyer

a. Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di

dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior

(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk

oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus

yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.3

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral : M. konstriktor faring superior

Anterior : M. palatoglosus

Posterior : M. palatofaringeus

Superior : Palatum mole

2

Page 3: Referat Tonsilitis Difteri

Inferior : Tonsil lingual

Gambar 2. Anatomi Tonsil5

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,

folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri

dari jaringan limfoid).4

Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring,

yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding

luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai

bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan

berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke

atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke

arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada

tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior

dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah

bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral

faring.

Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran

jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi

3

Page 4: Referat Tonsilitis Difteri

menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa

kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil

terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang

telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab

kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering

terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis

eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A.

tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan

cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A.

lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian

anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A.

palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.

tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.

palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang

bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di

sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil

4

Page 5: Referat Tonsilitis Difteri

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian

getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di

bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan

akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh

getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V

melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf

glosofaringeus.

Gambar 4. Persarafan Tonsil

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel

limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.

Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di

darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang

terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen

presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel

limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel

5

Page 6: Referat Tonsilitis Difteri

limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan

organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi

limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu

1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai

organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.4

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari

jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau

segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah

ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi

daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang

nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding

atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium

tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada

umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun

kemudian akan mengalami regresi.4

Gambar 5. Adenoid

Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:

T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar

anterior-uvula

6

Page 7: Referat Tonsilitis Difteri

T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½ jarak

pilar anterior-uvula

T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak

pilar anterior-uvula

T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau

lebih.

Gambar 6. Ukuran Tonsil

2.2 Fisiologi Tonsil

Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi

antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga

terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.4

Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.4

7

Page 8: Referat Tonsilitis Difteri

2.3 Tonsilitis Difteri

2.3.1 Definisi

Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring

yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan

pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5

tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian ats

dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin

yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan

lokal.6

2.3.2 Epidemiologi

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun

secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya

masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun

(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi

insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang

sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan

penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas

pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang

belum mendapatkan imunisasi.7

2.3.3 Etiologi

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil

gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk

batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang

mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan

mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae

berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.8

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,

kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu

8

Page 9: Referat Tonsilitis Difteri

hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan

menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah

seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup

memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.8

Gambar 7. Corynebacterium diphteriae

2.3.4 Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berbiak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang

merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui

pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat

molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu

fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan

dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin

yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting

dalam menimbulkan efek toksik pada sel.8

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam

suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses

ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang

mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan

toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan

tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.8

9

Page 10: Referat Tonsilitis Difteri

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan

bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan

inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi

tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,

dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.

Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan

nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi

toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat

fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu

kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran

juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas

membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri

dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous

dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan

perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin

yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,

terutama jantung, saraf dan ginjal.8

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau

yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.

Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum

timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14

hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan

patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada

bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,

infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita

tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak

neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa

disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan

nekrosis tubuler akut pada ginjal.8

10

Page 11: Referat Tonsilitis Difteri

2.3.5 Manifestasi Klinis

Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah

terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan

menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan

berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler

yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai

batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk

diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan

yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang

biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun

antitoksin tidak diberikan.8

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:6

Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh

biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,

serta keluhan nyeri menelan

Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih

kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran

ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan

bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat

pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada

perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher

akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull

neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.

11

Page 12: Referat Tonsilitis Difteri

Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah

Gambar 9. Bull Neck Difteri

Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada

ginjal menimbulkan albuminuria.

12

Page 13: Referat Tonsilitis Difteri

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent

antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti

dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan

dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara

Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri

dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan

lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.8

2.3.7 Penatalaksanaan

a. Isolasi dan Karantina

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah

masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan

berikut terlaksana:8

Biakan hidung dan tenggorok

Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan

toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier

Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

b. Pengobatan

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin

yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit

13

Page 14: Referat Tonsilitis Difteri

yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan

serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.8

Umum

Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan

serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas

tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.

Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang

progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

Khusus

Anti Diphteria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis

diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva

dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya

reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam

semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan

garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit

terjadi indurasi > 10 mm.

Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan

serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali.

Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara

desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,

ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti

diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak

tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000

KI.

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam

larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap

kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian

14

Page 15: Referat Tonsilitis Difteri

antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor

terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

Antimikrobal

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000

KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40

mg/kg/hari.

Koritikosteroid

Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi

saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat

selama 14 hari.

c. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai

Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam

nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100

mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan

selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/

adenoidektomi.9,10,11

d. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh

tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan

jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil

faringeal.8

Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun

terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi

pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik

dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan

15

Page 16: Referat Tonsilitis Difteri

hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology

Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi

terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas

atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi

kardiopulmonal

Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan

drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif

Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak

diberikan pengobatan medik yang adekuat.

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

pengobatan medik.

Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-

laktamase.

3. Kontraindikasi

Gangguan perdarahan

Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

Anemia

Infeksi akut yang berat

Asma

tonus otot yang lemah

sinusitis

albuminuria

hipertensi

rinitis alergika

demam yang tidak diketahui penyebabnya

16

Page 17: Referat Tonsilitis Difteri

Teknik operasi

Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah

sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik

memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi

terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada

morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta

durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan

disamping teknik tonsilektomi standar.

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini

adalah teknik Guillotine dan diseksi

1. Guillotine

Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara

cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan

untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat

sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan

yang hebat.

2. Teknik Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode

diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan

dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem

tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi

tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan

mukosa dari pilar tersebut.

Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan

anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan

merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.

1. Komplikasi anestesi

Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan

pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :

Laringospasme

17

Page 18: Referat Tonsilitis Difteri

Gelisah pasca operasi

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan

henti jantung

Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah

Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah

kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi

atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000

pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan

dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

Nyeri

Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan

serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot

faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut

sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah

operasi

3. Komplikasi lain

Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara

(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi

velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.

2.3.8 Komplikasi

Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke

laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul

komplikasi ini.

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio

kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring

serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan

18

Page 19: Referat Tonsilitis Difteri

kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke

ginjal.6

2.3.9 Prognosis

Prognosis tergantung kepada

Virulensi kuman

Lokasi dan perluasan membrane

Kecepatan terapi

Status kekebalan

Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.

Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita

gizi kurang

Ada atau tidaknya komplikasi

Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang

berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan

bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua

kasus difteri respiratorik.12,13

BAB III

KESIMPULAN

19

Page 20: Referat Tonsilitis Difteri

Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring

yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan

pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5

tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Meskipun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang

masih ada yang terkena penyakit ini.

Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan

kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari terapi ini

adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.

Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.

diphtheria.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan

penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan

diagnosis, dan perawatan umum.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: Referat Tonsilitis Difteri

1. Kadun I Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta. 2006.

2. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC: Jakarta. 1997.

3. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321

4. Drake A. Tonsillectomy. available from: http://www.emedicine.com/ent

5. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition, 1991: 2149-56

6. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. 2007: 222

7. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www.medicalnewstoday.com

8. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.

9. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm

10. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at: http://www.biofarma.co.id/index. php/detil/items/serum-anti-diptheri.html.

11. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at: http://www.rxmed.com

12. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006.

21

Page 22: Referat Tonsilitis Difteri

13. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm

22