referat dermatofitosis.docx
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit yang
disebabkan oleh jamur dapat dibagi berdasarkan penyerangannya, yaitu
mikosis profunda, mikosis intermediate dan mikosis superfisialis. Mikosis
profunda menunjukkan gejala klinis tertentu di bawah kulit misalnya traktus
intestinalis, traktus respiratorius, traktus urogenital, susunan kardiovaskular,
susunan saraf sentral, otot, tulang, dan kadang kulit. Mikosis jenis ini jarang
ditemukan karena biasanya terlihat dalam klinik sebagai penyakit kronik dan
residif. Manisfestasi klinis morfologik dapat berupa tumor, infiltrasi
peradangan vegetatif, fistel, ulkus, atau sinus, tersendiri maupun bersamaan
(Siregar, 2004).
Mikosis intermediate adalah penyakit jamur yang mengenai lapisan
kulit (stratum korneum, rambut, dan kuku ), dan alat-alat dalam seperti
vagina, kulit, kuku, bronkus, atau paru yang disebabkan oleh jamur
golongan Candida sp. (Budimulja, 2013). Sedangkan mikosis superfisialis
merupakan infeksi yang disebakan oleh jamur yang menyerang pada daerah
superfisial, yaitukulit, rambut, kuku. Insidens mikosis superficialis cukup
tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas. Hal tersebut
disebabkan Indonesia merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab,
hygiene sebagian masyarakat masih kurang, adanya sumber penularan di
sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid, dan sitostatika yang
meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya (Adiguna,
2001).
Mikosis superfisialis dapat dibagi menjadi dua menurut
penyebabnya, yaitu dermatofitosis dan non dermatofitosis. Dermatofitosis
adalah mikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofita
(Budimulja, 2013). Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh
karena mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi
jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneurm
1
sampai dengan stratum basalis. Ada pula beberapa golongan jamur ini yang
dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif
seperti Mikrosporon audoinii dan Trikofiton rubrum (Jawetz, Melnick &
Adelberg, 1996).
Manifestasi klinis dermatofitosis bervariasi dapat menyerupai
penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan
kegagalan dalam penatalaksanaannya. Oleh karena itu pada referat ini akan
dipaparkan dari gambaran klinis hingga penatalaksanaannya.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan referat ini, yaitu :
1. Mengetahui jenis-jenis penyakit dermatofitosis
2. Mengetahui gambaran klinis dari masing-masing penyakit dermatofitosis
3. Mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan dari penyakit dermatofitosis.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung
zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku
yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Radiono, 2001;
Budimulja, 2013).
B. ETIOLOGI
Dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Golongan jamur ini bersifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas
fungi imperfecti yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. 41 spesies dermatofita telah
ditemukan, masing-masing adalah 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies
Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Dematofita dimasukkan
dalam famili Gymnoascaceae (Jawetz, Melnick & Adelberg, 1996).
3
C. KLASIFIKASI
Simons dan Gohar membagi dermatofitosis menjadi
dermatomikosis, trikomikosis dan onikomikosis yang didasarkan pada
bagian tubuh manusia yang terserang. Klasifikasi dari dermatofitosis dapat
dibagi berdasarkan lokasi, antara lain :
1. Tinea kapitis
Dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea barbae
Dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea cruris
Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong dan
kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea pedis et manum
Dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium
Dermatofitosis pada kuku tangan dan kaki
6. Tinea korporis
Dermatofitosis pada tempat lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea
yang telah disebutkan.
Enam bentuk tinea lainnya yang mempunyai arti khusus, yaitu
(Budimulja, 2013):
1. Tinea imbrikata
Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan Trichophyton concentricum
2. Tinea favosa atau favus
Dermatofitosis terutama disebabkan Trichophyton schoenleini : secara
klinis terbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor)
3. Tinea fasialis, tinea aksilaris
4. Tinea sirsinata, arkuata
4
5. Tinea inkognito
Dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah
diobati dengan steroid topikal kuat.
D. DERMATOFITOSIS
1. Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala
yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai
dengan kulit bersisik, kemerah-merahan, alopesia dan kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion (Madani, 2000;
Budimulja, 2013).
Di dalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk
yang jelas:
a. Grey patch ringworm
1) Tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak.
2) Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar
rambut
3) Papul melebar dan membentuk bercak , yang menjadi pucat
dan bersisik
4) Keluhan penderita adalah rasa gatal
5) Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi
6) Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga
mudah dicabut tanpa rasa nyeri
7) Semua rambut di daerah tersebut terserang jamur sehingga
dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat
sebagai grey patch
8) Grey patch secara klinis tidak menunjukkan batas-batas daerah
sakit dengan pasti
5
9) Pemeriksaan menggunakan lampu Wood menunjukkan
fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit
melampaui batas-batas grey patch tersebut
10) Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouini
biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sesekali
dapat terbentuk kerion.
b. Kerion
1) Reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan
sel radang yang padat di sekitarnya
2) Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum
gypseum, pembentukkan kerion ini lebih sering dilihat, adak
kurang terlihat bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan
sedikit sekali terlihat apabila penyebabnya Trichophyton
violaceum
3) Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat
alopesia yang menetap
4) Jaringan parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk
c. Black dot ringworm
1) Terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum
2) Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai
kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum
3) Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel,
dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
4) Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut ini
memberikan gambaran khas, yaitu black dot
5) Ujung rambut yang patah, bila tumbuh kadang-kadang masuk
ke bawah permukaan kulit, dalam hal ini perlu dilakukan irisan
kulit untuk mendapatkan bahan biakan jamur
6
Tinea kapitis juga akan menunjukkan reaksi peradangan yang
lebih berat, bila disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Trichophyton verrucosum yang keduanya bersifat zoofilik.
Trichophyton rubrum sangat jarang menyebabkan tinea kapitis.
Walaupun demikian, bentuk klinis granuloma, kerion, alopesia, dan
black dot yang disebabkan Trichophyton rubrum pernah ditulis
(Audring et al., 2006; Budimulja, 2013).
Diagnosis banding tinea kapitis antara lain :
a. Alopesia areata
b. Dermatitis seboroika
c. Psoriasis pada kulit kepala
d. Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis
e. Karbunkel
f. Trikotilomania
g. Lupus eritomatosus
2. Tinea cruris
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dari keluhan
tambahan rasa gatal hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat
perineum, bokong dan dapat ke genitalia, ruam kulit berbatas tegas,
eritematosa dan bersisisk, semakin hebat jika banyak berkeringat
(Siregar, 2005).
Pemeriksaan kulit
Lokalisasi : regio inguinalis bilateral , simetris . Meluas ke
perineum sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula
meluas ke suprapubis dan abdomen bagian bawah.
7
Efloresensi : makula eritematosa numular sampai geografis ,
berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari pustula atau papula.
Jika kronik makula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya.
Diagnosis banding tinea cruris antara lain :
a. Eritrasma
b. Kandidiasis
c. Psoariasis intertriginosa
3. Tinea pedis
Tinea pedis terdapat beberapa tipe yang manifestasi klinisnya
sebagai berikut :
a. Tipe papulo skuamosa hiperkeratotik kronik :
Jarang didapat vesikel dan pustul, sering pada tumit dan tepi kaki,
kadang- kadang sampai ke punggung kaki. Eritema dan plak
hiperkeratotik diatas daerah lasi yang mengalami likenifikasi.
Biasanya simetris, jarang dikeluarkan, dan kadang kadang tak
begitu dihiraukan oleh penderita.
b. Tipe intertriginosa kronik
Manifestasi klinis berupa fisura pada jari – jari, tersering pada sela-
sela jari kaki ke 4 dan ke 5, basah dan maserasi disertai bau yang
tidak enak.
c. Tipe subakut
Lesi intertriginosa berupa vesikel atau pustula. Dapat sampai ke
punggung kaki dan tumit dengan eksudat yang jernih, kecuali jika
mengalami infeksi sekunder. Proses subakut dapat diikuti selulitis,
limfangitis, limfadeniti dan erisepelas.
8
d. Tipe akut
Gambaran lesi akut, eritema,edema, berbau. Lebih sering
menyerang pria. Kondisi hiperhidrosis dan maserasi pada kaki,
statis vaskular, bentuk sepatu yang kurang baik terutama
merupakan predisposisi untuk mengalami infeksi (Siregar, 2005).
Apabila dilakukan pemeriksaan fisik pada kulit yang terdapat
lesi, dapat dilihat ciri khasnya yaitu
a. Lokalisasi : interdigilitas, antara jari ke 3, 4 dan 5 serta telapak
kaki
b. Efloresensi : fisura pada sisi kaki, beberapa milimeter sampai 0,5
cm. Sisik halus putih kecoklatan. Vesikula miliar dan dalam.
Vesikopustula miliar sampai lentikular pada telapak kaki dan sela
jari. Hiperkeratotik biasanya pada telapak kaki.
Diagnosis banding tinea pedis antara lain (Siregar, 2005) :
a. Kandidiasis
b. Akrodermatitis perstans
c. Pustular bacterid
d. Dermatitis
4. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh
jamur dermatofita (Siregar, 2004). ZAIAS membaginya dalam 3
bentuk klinis:
a. Bentuk subungual distalis
1) Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku
2) Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk
sisa kuku yang rapuh
3) Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian
distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang
menyerupai kapur
9
b. Leukonikia trikofita / leukonikia mikotika
1) Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau
keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk
dibuktikan adanya elemen jamur
2) Kelainan ini dihubungkan dengan Trichophyton
mentagrophytes sebagai penyebabnya
c. Bentuk subungual proksimalis
1) Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama
menyerang kuku
2) Gambaran klinis khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak
3) Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis
di tempat lain yang sudah sembuh maupun yang belum
4) Kuku kaki lebih sering terserang daripada kuku tangan
5) Tinea unguium merupakan dermatofitosis yang paling sukar
dan lama disembuhkan. Kelainan kuku kaki lebih sukar
disembuhkan daripada kuku tangan
6) Di Indonesia, tinea unguium ada namun tidak banyak (Siregar,
2005).
5. Tinea korporis
Tinea korporis adalah penyakit karena infeksi jamur
dermatofita (berbagai spesies Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton) pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin)
yaitu di kulit daerah selain kulit kepala, selangkangan, telapak tangan
dan telapak kaki (Djuanda et al., 2008).
Efloresensi yang terdapat pada tinea corporis merupakan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya
lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan
10
lebih jelas) yang sering disebut dengan central healing. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan
tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi
baru pertama kali. Pada tinea corporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada
tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha.
Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea
cruris et corporis (Budimulja, 2013).
Gambar 2. Tinea Corporis
Diagnosis Banding pada tinea corporis antara lain :
a. Dermatitis seboroik
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika walaupun
menyerupai tinea corporis, biasanya dapat terlihat pada tempat
predileksi lain, seperti kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit
11
(contoh: belakang telinga), daerah nasolabial, dan
sebagainya.Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika
adalah skuamanya yang berminyak dan kekuningan (Budimulja,
2013).
b. Psoriasis
Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan
gambaran eritema pada bagian pinggi rsehingga menyerupai tinea.
Perbedaannya adalah pada psoriasis terdapa ttanda-tanda khas
seperti skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena
tetes lilin, dan fenomena auspitz. Psoriasis jugamemiliki tempa
tpredileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
punggung (Budimulja, 2013).
c. Ptiriasis rosea
Pitiriasis rosea memiliki distribusi kelainan kulit yang
simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota
badan. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu
berat seperti pada tinea korporis dan skuamanya halus, sedangkan
pada tinea corporis skuamanya kasar. Pitiriasis rosea dapat sulit
dibedakan dengan tinea korporis apabila tidak ditemukan herald
patch pada pitiriasis rosea. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
memastikan diagnosisnya (Budimulja, 2013).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan
lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan
imunologik tidak diperlukan.
12
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan
unuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut:
terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%,
kemudian untuk:
1. Kulit tidak berambut (glaborous skin): dari bagian tepi kelainan
sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit
dikerok dengan pisau tumpul steril.
2. Kulit berambut: rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami
kelainan; kulit di daerah terserbut dikerok untuk mengumpulkan sisik
kelit, pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum
pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena
infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus
tinea kapitis tertentu.
3. Kuku: bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong
sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di
bawah kuku diambil pula.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan
(Madani, 2000; Radiono, 2001).
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas,
kemudian ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH
untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah
sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses
pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada
saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasansudah cukup. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan
13
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata
dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker
superchroom blue black (Siregar, 2004; Siregar, 2005).
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. Pada sediaan
rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar
(makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ekrotriks) atau di
dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada
sediaan rambut (Djuanda et al., 2008).
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Saboraoud (Siregar, 2004; Siregar, 2005).
F. PENGOBATAN
Dermatofitosis umumnya dapat diatasi dengan pemberian
griseofulvin yang bersifat fungistatik. Secara umum, griseofulvin dalam
bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 gram untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 gram untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per
kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Untuk mempertinggi absorpsi obat
dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama-sama makanan yang banyak
mengandung lemak. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-
kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan
(Siregar, 2005; Budimulja, 2013).
14
Pada pengobatan kerion stadium dini, diberikan kortikosteroid
sistemik sebagai anti-inflamasi, yakni prednisone 3x5mg atau prednisolon
3 x 4mg sehari selama 2 minggu. Obat tersebut diberikan bersama-sama
dengan griseofulvin. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah
sembuh klinis. Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan
sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5mg –
250mg sehari bergantung pada berat badan.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan
keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek
samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea,
vomitus dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar (Siregar, 2005; Budimulja, 2013).
Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita,
yang tersering adalah gangguan gastrointestinal diantaranya nausea,
vomitus, nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping
lain dapat berupa gangguan pengecapan yang bersifat sementara. Sefalgia
ringan juga dapat terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 –
7% (Siregar, 2005; Budimulja, 2013).
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus resisten griseofulvin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200mg per hari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Obst tersebut kontraindikasi untuk
penderita kelainan hepar (Siregar, 2005; Budimulja, 2013).
Pada masa kini, selain obat-obat topikal konvensional, misalnya
asam salisil 2-4%, asam benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam
undesilenat 2-5%, dan zat warna (hijau brilian1% dalam cat castellani)
dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat
2%, tolsiklat, haloprogin, derivate-derivat imidazol, siklopiroksamin, dan
naftiline masing-masing 1% (Siregar, 2005; Budimulja, 2013).
15
III. KESIMPULAN
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Klasifikasi dari dermatofitosis dapat
dibagi berdasarkan lokasi tinea kapitis, tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et
manum, tinea unguium dan tinea korporis. Umumnya dermatofitosis pada kulit
memberikan morfologi yang khas yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai
efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan kelainan-kelainan yang
polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah
tampak tenang. Pemeriksaan mikologik dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis melalui bahan berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku.
Dermatofitosis umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang
bersifat fungistatik. Namun pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat ketokonazol atau terbinafin. Lama pengobatan bergantung pada
lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita
16
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, MS. 2001. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Pustaka FKUI.
Audring, et.al., 2006. Fungal Diseases. In: Sterry, W, Paus, R, and Burgdorf, W.(eds). Dermatologi. New York : Thieme Medical Pub.
Budimulja, U. 2013. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, A.,et al. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5 . Jakarta: FK UI.
Jawetz, Melnick & Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC : Jakarta.
Madani, A.F., 2000. Infeksi Jamur Kulit. Dalam: Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Radiono, S., 2001. Dermatomikosis Superfisialis Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: FK UI.
Siregar, 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Siregar, R.S., 2004. Penyakit Jamur Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
17