referat anstesi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Setiap tindakan anastesi harus memperhatikan kondisi pasien karena tindakan anastesi ini
bisa menimbulkan efek pada semua sistem tubuh, antara lain terjadinya perubahan hemodinamik
pada tubuh pasien. Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. Salah satu teknik anastesi regional yang sering digunakan pada
operasi sectio caesaria adalah teknik anastesi spinal. Sedangkan preeklampsia itu sendiri adalah
kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20
minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Preeclampsia sendiri
merupakan salah satu kegawatan dalam obstetri dan dapat dijadikan indikasi untuk melakukan
seksio saesaria. Oleh karena itu maka referat ini akan menjelaskan mengenai bagaimana
penatalaksanaan anastesi pada pasien seksio saesaria dengan preeclampsia berat.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan referat ini khususnya yaitu untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
stase anastesi dan selain itu juga untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan anastesi pada
seksio saesaria dengan pasien preeklampsia berat.
BAB II
KASUS
2.1 Status Pasien
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kayu Tinggi
B. Anamnesis
Keluhan Utama : kedua kaki bengkak sejak 2 bulan lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang ibu G2P1A0 hamil 39 minggu datang ke RS. Islam Sukapura dengan keluhan kedua
kaki bengkak sejak 2 bulan lalu. Pasien mengaku kaki bengkak tersebut sudah dirasakan sejak
kehamilan memasuki usia 8 bulan dan terus bertambah bengkak. Hal ini awalnya dirasakan
karena tekanan darah pasien selama kehamilan memasuki bulan ke-8 terus meningkat. Selain itu
pasien juga mengaku sering nyeri dibagian perut bagian bawah dan pusing. Riwayat keluar air –
air atau lendir maupun darah disangkal. Mulas (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat DM (-), HT (-), asma (-), riwayat penyakit jantung (-),
riwayat preeklampsia sebelumnya (+) namun pasien dapat melahirkan secara normal.
Riwayat Alergi : Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat Operasi : Pasien mengaku tidak pernah dioperasi sebelumnya.
Riwayat Kebiasaan : Riwayat merokok dan minum alcohol disangkal.
C. KEADAAN FISIK PRABEDAH
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda – tanda vital : Tekanan darah = 150/90 mmhg
Nadi = 84x/menit
Suhu = 36oC
Respirasi = 18x/menit
Berat badan pasien = 59 kg
Tinggi badan = 150 cm
Status Generalis
Kepala : Rambut hitam, dalam batas normal
Mata: conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung: sekret (-/- )
Mulut: mukosa mulut lembab,
Gigi: karies (-), mikrolesi (- ), gigi palsu (-)
THT: tonsil T1/T1
Leher : KGB tidak teraba membesar, massa (-)
Thoraks
Bentuk dan gerak simetris
VBS ka=ki, sonor, wheezing (-/- ), rhonkhi (-/- )
BJ 1 dan 2 reguler, murmur ( -)
Abdomen
Inspeksi : tampak cembung, striae gravidarum (+)
Palpasi : Teraba keras, his (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus 12x/ menit
Ekstremitas:
Atas : Akral hangat (+/+), udem (-/-), RCT < 2 dtk
Bawah : Akral hangat (+/+), Pitting udem (+/+), RCT > 2 detik
D. Laboratorium
Hemoglobin : 10,8 g/dl
Leukosit : 92/mm3
Hematokrit : 33%
Trombosit : 340 ribu/mm3
Faktor pembekuan : BT = 3’00 CT= 4’30
Protein urine (+)
E. STATUS FISIK
Status fisik Pasien menurut American Society of Anesthesiologists (ASA) = 3 (Pasien dengan
penyakit sistemik berat, aktivitas rutin terbatas.)
F.DIAGNOSIS DAN RENCANA TINDAKAN ANASTESI
Diagnosis pra-bedah : G2P1A0 hamil aterm dengan PEB + Anemia
Jenis pembedahan : Sectio Caesaria
Keadaan Preoperatif :
Pasien mengalami program puasa selama 8 jam. Keadaan pasien tampak baik, kooperatif,
tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 84 x/menit. Hb : 10,8 gr/ dl. Risiko kardiologi
minimal.
Jenis anestesia : Anestesi Regional
Teknik anestesi : Spinal dengan spenkan ,paralumbal 4-5, ventilasi spontan
Medikasi prabedah : Pemasangan intravenous infus line (RL)
Premedikasi : tidak ada
G. TINDAKAN ANASTESI
Peralatan monitor dipasangkan kepada pasien untuk memonitor tekanan darah, nadi dan
pulse oksimeter.
Persiapkan peralatan resusitasi
Persiapkan jarum spinal No. 25, 26, dan no 27, kasa steril, betadin dan spet 5 cc
Pada Pukul 10.05 dilakukan Teknik anastesi :
o Monitoring tanda – tanda vital
o Pasien diminta untuk dalam posisi duduk
o Pasien diminta untuk membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba dengan cara memeluk bantal.
o Tentukan perpotongan garis kedua krista iliaka dengan garis tulang punggung
adalah L4 atau L4-L5
o Tempat tusukan yang dipilih yaitu lumbal 4 – 5
o Tempat tusukan disterilkan dengan povidone iodine secara melingkar
o Jarum spinocan no.27 dipilih dan ditusukkan pada bidang median dengan arah
10-30o terhadap bidang horisontal (ke arah kranial).
o Jarum akan menembus kulit, subkutis, lig. supraspinosus, lig. interspinosus, lig.
flavum, ruang epidural,duramater dan ruang subaraknoid.
o Lalu mandrin atau stilet dicabut dan keluar cairan serebrospinal jernih dan lancar
o Lalu masukkan obat anastesi yaitu Buvanest (bupivacain) 12,5 mg
o Tekanan darah terukur = 160/100mmHg, N= 72x/ menit dan saturasi O2 = 100%
o Pasien dipasang O2 nasal 2 lt/menit
Pada Pukul 10.10 operasi dimulai dan tekann darah terukur 130/ 90 mmhg
Pada Pukul 10.20 bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan dengan BB = 3200 gram,
PB= 48cm dan a/s = 9/10. Tekanan darah terukur 130/80 mmhg, Nadi = 76x/menit dan
saturasi 02= 100% lalu diberikan Uterotonik: Metergin 0,4 mg dan Syntocinon 20 IU.
Pada Pukul 11. 05 tekanan darah terukur 120/80 mmhg, Nadi= 80x/menit dan saturasi
O2=100%. Pasien merasa mual sehingga diberikan ondansentron 4 mg.
Pada pukul 11.40 operasi selesai terukur tekanan darah = 130/80 mmHg, Nadi=
71x/menit dan RR = 20 x/ menit.
Cairan yang digunakan: Ringer laktat 700 cc
Jumlah perdarahan : 400cc
Lama pembedahan : 90 menit
Terapi cairan yang dibutuhkan pasien
Berat badan = 59 kg
EBV = 65cc/kgBB = 65x59 = 3835
Jumlah perdarahan = 400cc, maka jumlah kehilangan perdarahan sekitar 10%
Kebutuhan cairan :
Maintanance = 2cc x BB = 2x59= 118
Defisit puasa = 6xmaintanance = 6x 118 = 708
Stress operasi = 8xBB = 8x59 = 472
Jenis anestesi = besar
Risiko operasi = besar
Maka total kebutuhan cairan durante op (90 menit) adalah :
I II III
Maitanance 118 118 118
Stress operasi 472 472 472
Defisit puasa 300 204 204
890 794 794
1684 2478
H. KEADAAN POST OPERASI
Pasien dipindahkan ke ruang RR pada pukul 11.50
o Tekanan Darah: 132/84 mmHg
o Nadi : 74 x/menit
o Pernafasan : 18 x/menit
o Suhu : 36,2 °C
o Saturasi O2 : 100%
o Komplikasi selama pembedahan : -
o Komplikasi setelah pembedahan : -
ALDRATE SCORE
o Aktivitas = 2
o Respirasi = 2
o Sirkulasi = 2
o Kesadaran = 2
o Warna kulit = 2
total skor = 10
Pada Pukul 13.40 Pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
Instruksi anastesi :
Bila kesakitan : berikan tramadol 50 mg IV
Bila mual/ muntah : berikan ondansentron 4 mg IV
Makan/ minum : pelan – pelan dan bertahap
Cairan : RDT = 1000cc dan RL 500cc selama 24 jam
Bed rest 24 jam dan boleh miring
BAB III
ANALISA KASUS
Pada pasien ini dilakukan anastesi regional dengan teknik anastesi spinal dan diberikan obat
anastetik yaitu bupivakain sebanyak 12,5 mg. Pada pasien ini diberikan obat – obatan anastetik,
analgetik tanpa pemberian pelumpuh otot. Obat – obat lain yang diberikan seperti ondancentron
untuk mencegah muntah dan tramadol agar tidak kesakitan. Dan pada pasien ini tidak diberikan
premedikasi.
3.1. Apa itu seksio saesaria, preeklampsia berat dan anemia pada kehamilan?
Seksio sesarea
Menurut tinjauan pustaka, seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara seksio sesarea yang dikenal
saat ini yaitu seksio sesarea transperitonealis profunda, klasik/corporal, ekstraperitoneal atau
dengan teknik histerektomi. Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik seksio
sesarea transperitonela profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Indikasi seksio sesarea
antara lain 1,7:
Indikasi ibu yaitu panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan obstuksi, stenosis
serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum, disproporsi janin dan panggul, riwayat
ruptur uteri dan preeklampsia.
Indikasi janin yaitu kelainan letak seperti letak sungsang,lintang, dahi, letak muka dengan dagu
di belakang, presentasi ganda dan kelainan letak pada gemelli anak pertama serta adanya gawat
janin.
Indikasi waktu yaitu partu lama atau partus tak maju.
Sedangkan kontra indikasi dari seksio sesarea yaitu adanya infeksi intra uterin, janin mati, syok
atau anemia berat yang belum diatasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada operasi seksio sesarea
diantaranya bisa terjadi pada bayi maupun ibu seperti infeksi, perdarahan, dan lain- lain.
Preeklampsia (PE)
Menurut tinjauan pustaka, Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang
mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama berupa
adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi criteria preeklampsia dan
disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma, maka dikatakan
mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil tersebut tidak menunjukan tanda – tanda kelainan
vascular atau hipertensi sebelumnya.9,1
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut mengenai
berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai peningkatan aktivasi
trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.1
Penyebab preeclampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak teori
dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan. Oleh karena
itu, preeclampsia sering disebut sebagai “the disease of theory”. Teori yang dapat diterima harus
dapat menerangkan hal – hal berikut9 :
- Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion
dan mola hidatidosa.
- Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia kehamilan.
- Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus.
- Penurunan angka kejadian preekampsia pada kehamilan – kehamilan berikutnya.
- Mekanisme terjadinya tanda – tanda preeklampsia, seperti hipertensi, edema, proteinuria,
kejang dan koma.
Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat ini, yaitu :
- Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spiralis sehingga
menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia
plasenta.
- Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL)
- Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh sel – sel
sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantai oleh peningkatan pelepasan sitokin,
enzim proteolitik dan radikal bebas.
- Genetik
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak faktor yang
menyebabkan preeclampsia dan diantara faktor – faktor yang ditemukan tersebut seringkali
sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.9,1
Klasifikasi preeklampsia
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat (PEB) :
a. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeclampsia ringan bila :
- Tekanan darah sistolik antara 140 – 160 mmHg dan tekanan diastolic 90 – 110 mmHg
- Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam ).
- Tidak disertai gangguan fungsi organ.
b. Preeklampsia berat
Dikatakan preeclampsia berat bila :
- Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolic >110 mmHg
- Proteinuria (5g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif.
- Bisa disertai dengan :
Oliguria (urine ≤ 400 mL/24 jam)
Keluhan serebral, gangguan penglihatan
Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
Edema pulmonum, sianosis
Gangguan perkembangan intrauterine
Microangiopathic hemolytic anemia, tombositopenia.
Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori yaitu :
a. PEB tanpa impending eklampsia
b. PEB dengan impending eklampsia dengan gejala – gejala impending diantaranya nyeri
kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri abdomen kuadran
kanan atas.
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh,
maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi
kenaikan tahanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat
badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial
belum diketahui penyebabnya. Beberapa literature menyebutkan bahwa pada preeklampsia
dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi dibandingkaan pada
kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur
retensi air serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein
meningkat.7,9,1
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang
diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya kadar
progesterone di sirkulasi dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II,
adrenalin dan noradrenalin dan atau menurunnya respon terhadap zat – zat vasokonstriktor.
Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau
PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti tekanan
darah sebelum hamil.9
- Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia. Kemampuan untuk
mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat
bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika
dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita
hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu
peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
- Volume darah, hematokrit dan viskositas darah
Rata – rata volume plasma menurun 500ml pada preeklampsia dibandingkan hamil normal,
penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi
lahir rendah (BBLR).
- Aliran darah di organ – organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini berhubungan
dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan suatu faktor penting
dalam terjadinya kejang pada preeclampsia maupun perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering mejadi penanda pada
kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata – rata berkurang 20%
dari 750 ml menjadi 600 ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata – rata 30% dari
170 menjadi 120 ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan
terjadi oligouria uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk rennin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin perfusi plasenta yang
adekuat. Pada kehamilan normal rennin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan
aldosteron meningkat nyata di atas niai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini
merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar progesterone dalam sirkulasi. Pada
kehamilan normal efek progesterone diimbangi oleh renin, angiotensin dan aldosteron
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.9,1
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsia, tetapi
karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, nilai pada
preeklampsia masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam
urat yang menurun, kadang – kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada GFR
dan hiperurisemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan pengeluaran
protein biasanya ringan sampai sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar
sindrom nefrotik pada kehamilan.9
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi
terpenting pada preeklampsia dan mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan.
Namun yang disayangkan adalah belum ada satupun metode pengukuran arus darah yang
memuaskan baik di uterus maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru – paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema paru yang
menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembulh darah orbital. Bila terjadi hal – hal
tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah
ke eklampsia adalah skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
f. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam laktat dan
asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat – zat organic dioksidasi dan
dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan terbentuknya natrium
bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih kembali.
Gejala klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan proteinuria. Gejalala
lainnya yaitu kenaikan berat badan dimana kenaikan berat badan berlebih yang terjadi tiba – tiba
yaitu lebih dari 1kg dalam seminggu atau 3kg dalam sebulan, gejala lainnya yaitu nyeri kepala
dimana gejala ini biasanya terjadi kasus berat dan tidak sembuh dengan pemberian analgesic
biasa, gejala lain seperti nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas biasanya pada
preeklampsia berat, dan gangguan penglihatan9.
Penatalaksanaan PEB
Penanganan khusus pada PEB terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita
hamil dengan PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun
terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan
ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan
meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu. Adapun
terapi medikamentosa yang dberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah 9:
- Tirah baring
- Oksigen
- Kateter menetap
- Cairan intravena, cairan intravena yang dapat diberikan berupa kristaloid maupun kolod
dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada dieresis, insensible water
loss dan central venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.
- Magnesium sufat (MgSO4) diberikan dengan dosis 20cc MgSO4 20% secara intravena loading
dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30cc dalam 500
cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan syarat :
reflex patella normal, frekuensi respirasi >16x/menit, produksi urin dalam 4 jam sebelumnya
>100cc atau 0,5 cc/kgBB/jam, dan tersedia kalsium glukonas 10% dalam 10cc sebagai
antidotum bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas
tersebut diberikan dalam 3 menit.
- Antihipertensi, diberikan bila tekanan darah diastolic >110 mmHg.
- Kortikosteroid,digunakan pada semua wanita usia kehamillan 24-34 minggu yang berisiko
melahirkan premaatur termasuk dengan pasien PEB.
Penanganan aktif PEB yaitu terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu
agar mencegah progresifitas PEB. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu yaitu :
-Kegagalan terapi medikamentosa yaitu setelah 6 jam dan 24 jam sejak mulai pengobatan terjadi
kenaikan darah yang persisten.
-Tanda dan gejala impending eklampsia
-Gangguan fungsi hepar dan ginjal
-Dicurigai terjadi solusio plasenta
-Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini dan perdarahan
-Umur kehamilan ≥37 minggu
-Intra uterine growth restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG timbulnya
oligohidramnion.
Sedangkan penanganan ekspektatif bertujuan untuk mempertahankan kehamilan sehingga
mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan dan meningkatkan
kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
Anemia dalam kehamilan
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12gr%.
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11gr% pada
trimester 1 dan 3 atau kadar hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester 2.9
Penyebab anemia pada umumnya adalah kurang gizi ( malnutrisi), kurang zat besi dalam diit,
malabsorpsi, kehilangan banyak darah misalnya karena perrsalinan dan penyakit – penyakit
kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain – lain. Gejala dan tanda yaitu dilihat ibu
lemah, pucat, mudah pingsan, mata kunang – kunang dan untuk diagnose diperlukan
pemeriksaan kadar Hb.
Klasifikasi anemia dalam kehamilan yaitu :
1. Anemia defisiensi besi
Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Pengobatannya
yaitu, keperluan zat besi dipeuhi dengan pemberian tablet besi.
2. Anemia megaloblastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folat, jarang sekali karena
kekurangan vitamin B12. Pengobatannya yaitu dengan pemberian asam folat 15 – 30 mg
perhari, vitamin B12 3x1 tablet perhari dan sulfas ferrous 3x1 tablet perhari.
3. Anemia hipoplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah
merah baru.
4. Anemia hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah yag
lebih cepat dari pembuatannya.
3.2. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien ini sebelum operasi
Pemeriksaan penunjang yang umum harus dilakukan sebelum dilakukan operasi dan teknik
anastesi adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan
elektrokardiogram pada pasien yang berusia diatas 50 tahun.3 Dan pada pasien ini terdapat
anemia dimana diperlukan adanya pemeriksaan darah yang tujuannya untuk mengetahui kadar
hemoglobin, leujosit, masa perdarahan dan masa pembekuan. Selain itu karena pasien
merupakan pasien PEB maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar albumin dan elektrolit.
Sedangkan untuk pemeriksaan elektrokardiogram dilakukan apabila ada riwayat gangguan irama
jantung, riwayat penyakit jantung dan adanya tekanan darah yang berubah. Oleh karena pada
pasien ini terdapat preeklampsia berat maka diperlukan pemeriksaan elektrokardiogram untuk
memantau adakah kelainan pada jantung pasien6.
3.3. Anastesi regional dan teknik anastesi spinal
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu anestesi umum dan anestesi
regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus pituitary adrenal, sementara
anetesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom
eferen ke adrenal.3
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls saraf
sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible).
Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.3,6
Pembagian anestesi regional yaitu :
a. Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal. Tindakan
ini sering dikerjakan.
Neuroaksial blok akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris
( tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi lokal).
b. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intraven dan lain – lain.
Keuntungan anestesi regional antara lain Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga
biaya relative lebih murah, Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
lambung penuh) karena penderita sadar, Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi, Tidak
ada polusi kamar operasi oleh gas anastesi dan Perawatan post operatif lebih ringan. Sedangkan
kerugian anestesi regional antara lain tidak semua penderita mau dilakukan anastesi secara
regional, membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit diterapkaan pada anak – anak,
tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional dan terdapat kemungkinan kegagalan pada
teknik anestesi regional.8
Persiapan anestesi regional
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk mengantisipasi
terjadinya toksik sistemik reaction yang bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi. Misalnya
obat anestesi spinal/ epidural masuk ke pembuluh darah maka akan terjadi kolaps kardiovaskuler
sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa
dilanjutkan dengan anastesi umum3,6,8.
Anastesi spinal
Anestesi spinal adalah pemberian obat anetetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis –
subkutis – ligamentum supraspinosum – ligamentum interspinosum – ligamentum flavum –
ruang epidural – durameter – ruang subarachnoid.3,6,8
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis diikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus
oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1,
pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/ analgesi spinal dilakukan ruang
subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.3,6,8
Indikasi anastesi spinal antara lain bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan
sekitar rectum perineum, bedah obstetric – ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan
pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum
ringan. Sedangkan kontra indikasinya terdiri atas kontra indikasi absolut dan kontra indikasi
relative. Untuk kontra indikasi absolut antara lain pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia berat (syok), koagulapatia atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial
meningkat, fasilitas resusitasi minim dan kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen
anestesi. Kontra indikasi relative antara lain infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan,
kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri
punggung kronik.3,6,8
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesi umum. Daerah
sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini 3:
- Informed consent : kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anastesi spinal.
- Pemeriksaan fisik : untuk mengetahui adanya kelainan tulang punggung.
- Pemeriksaan laboratorium : Hb,Ht,PT(protrombin time), PPT ( Partial Tromboplastin Time)
Peralatan analgesia spinal
- Peralatansi monitor : tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll
- Peralatan resusitasi
- Jarum spinal yaitu jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing/quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil point whitecare)
Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan serebrospinal pada 37 derajat selsius adalah 1.003 – 1.008. anastetik local
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih
besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.5
Anestetik lokal yang paling sering digunakan :
1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20 – 100mg 92-
5ml).
2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7,5% : berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dosis 20 – 50 mg (1-2ml).
3. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam air : berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5 – 20mg
(1-4ml).
4. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam dextrose 8,25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15 mg (1-3 ml).
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.3,5
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, missal L2-L3,
L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1 – L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira – kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (quincke-babcock) irisan jarum (bevel) harus
sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas dan
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dimasukkan pelan – pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Bila yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,maka putar arah jarum 90
derajat dan biasanya likuor akan keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.
3.4. Premedikasi apa yang seharusnya dilakukan pada pasien
Premedikasi menurut tinjauan pustaka adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya3 :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual – muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah
dilakukan kunjungan prabedah. Maka dari itu ,pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan
harus memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat operasi dan pengobatan yang dapat berpengaruh terhadap
anastesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotic tertentu)5.
Karena pada pasien tersebut, pasien dalam keadaan tenang, tidak cemas dan kooperatif maka
tidak diperlukan pemberian premedikasi untuk menghindari kecemasan. Akan tetapi,menurut
tinjauan pustaka untuk mengurangi mual muntah pasca bedah dapat ditambahkan premedikasi
suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5 – 5mg atau ondansetron 2-4 mg. Maka
sebaiknya pada pasien ini diberikan premedikasi untuk menghindari muntah pasca pembedahan.2
3.5. Pengaruh Anastesi Spinal Pada Pasien Dengan PEB
Komplikasi dari tindakan anestesi spinal ada beberapa macam salah satunya yaitu hipotensi berat
akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infuse
cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan. Namun karena pada pasien ini
terdapat hipertensi dan pitting edema maka pemberian cairan sebelum tindakan tidak dapat
dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya edema paru.7
Komplikasi anestesi spinal lainnya yaitu bradikardia, yang dapat terjadi tanpa disertai hipotensi
atau hipoksia yang terjadi akibat blok sampai torakal 2. Hipoventilasi juga dapat terjadi akibat
paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas. Komplikasi lainnya seperti trauma
pembuluh darah saraf, trauma saraf, mual – muntah, ganguan pendengaran dan blok spinal tinggi
atau spinal total. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pasca tindakan anestesi spinal
diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala karena kebocoran likuor, retensi
urin dan meningitis.3
Menurut tinjauan pustaka, pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi penting.
Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas, diperlukan dosis agen anestesi
yang lebih besar dan ini meningkatkan frekuensi serta intensitas reaksi – reaksi toksik. Serta
menurut pustaka dijelaskan bahwa anestesi regional yang digunakan pada seksio sesarea dengan
preeklampsia dapat menggunakan anestesi epidural atau anastesi spinal karena keduanya
menunjukkan efek hemodinamik yang stabil dan tidak bermakna. Pada wanita dengan
preeklampsia, anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan yaitu menghindari kesulitan
intubasi pada anestesi umum dan mencegah gejolak intubasi, onset yang cepat, lebih mudah
dikerjakan, lebih terpercaya jika dibandingkan dengan anestesi epidural, mempunyai resiko yang
lebih kecil dalam menyebabkan trauma di ruang epidural sehingga menurunkan resiko
hematom.7
Menurut penelitian di perancis pada tahun 2003 menunjukkan bahwa anestesi spinal pada pasien
preeklampsia berat menunjukkan bahwa anastesi spinal pada pasien preeclampsia berat
menunjukkan hipotensi yang lebih rendah daripada anestesi spinal pada pasien seksio sesarea
tanpa preeklampsia. Resiko hipotensi enam kali lebih rendah pada pasien dengan preeclampsia
berat daripada pasien tanpa preeklampsia.7
Ada dua hal yang mengatur tekanan darah yaitu tonus vaskuler yang diperantarai oleh jalur
simpatis dan jalur endothelial. Jalur simpatis menuju pembuluh darah berubah dengan tindakan
anestesi spinal pada pasien preeclampsia berat maupun pada pasien tanpa preeclampsia.
Perhatian tertuju pada jalur endothelial. Akibat kegagalan invasi trophoblast menyebabkan
penurunan perfusi utero plasenta. Plasenta wanita dengan preeklampsia menunjukkan adanya
peningkatan frekuensi infark dan perubahan morfologi karena adanya proliferasi sitotrofoblast
yang abnormal dan adanya peningkatan pembentukan syncytial knots. Jadi pengaruh anestesi
spinal terhadap pasien PEB yaitu adanya perubahan hemodinamik berupa hipotensi akan tetapi
harus tetap membatasi pemberian cairan.10
Pada pasien PEB biasanya pasien sudah diberi MgSO4 oleh spesialis obsgin, dimana obat ini
potensiasi dengan relaksan maka harus mengrangi dosis karena dengan dosis normal akan
berefek lebih panjang kelumpuhan ototnya. Maka dari itu pada pasien ini diberikan dosis
bupivakain sebanyak 12,5 mg.8
Target yang akan dicapai pada anestesi dengan pasien PEB yaitu :
- Mempertahankan stabilitas hemodinamika (mengontrol hipertensi dan menghindari
hipotensi).
- Mencegah komplikasi dari preeclampsia
- Analgesia yang sempurna pada saat kelahiran.
Maka untuk pemberian anestesi spinal perlu dilakukan pemantauan secara hati- hati dan berkala
pada tanda vital terutama tekanan darah karena dengan anestesi spinal, blockade saraf simpatis
terjadi cepat dan hipotensi terjadi cepat.
3.6. Obat – obat apasaja yang diberikan dan harus dihindari pada pasien ini?
Obat yang harus dihindari terutama sebelum dilakukan anestesi yaitu pemberian antihipertensi.
Dimana penggunaan obat – obat antihipertensi menurut tijauan pustaka dapat memperbesar efek
hipotensinya. 6,7
Obat anastesi yang digunakan pada pasien ini diantaranya :
- Bupivakain ( Marcaine, seorcaine)
Bupivakain merupakan obat anestetik lokal kerja panjang yang biasanya digunakan untuk blok
saraf, persalinan dan dalam anestesi regional. Bupivakain merupakan kelompok amino amida
yang merupakan anaestesi lokal yang menghambat generasi dan konduksi impuls saraf.2,3
Indikasi dan penggunaan bupivakain yaitu untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf,
epidural dan intratekal anestesi. Bupivakaine sering diberikan melalui suntikan epidural
sebelum artroplasti pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat
diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya
epinefrin, glukosa dan fentanil untuk epidural.2,8
Kontra indikasi penggunaan bupivakaine yaitu pada pasien dengan alergi terhadap obat
golongan amino amida dan anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan
tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut, hati – hati terhadap pasien dengan
gangguan hati, jantung, ginjal, hipovolemik, hipotensi dan pasien usia lanjut.
Farmakologi
Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi perubahan
ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan
anestesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang
terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik – nyeri – suhu – raba –
propriosepsi- tonus otot skelet. Awitan aksi cepat wajar dan lamanya secara bermakna lebih
panjang daripada dengan anestetik lokal lain yang lazim digunakan. Penambahan epinefrin
memperbaiki kualitas kualitas analgesia tetapi hanya meningkatkan lama efek konsentrasi
bupivakaine ≥0,5% secara marginal. Hipotensi disebabkan oleh hilangnya tonus simpatik
seperti pada anestesi spinal atau epidural. Dibandingkan dengan amida lain contohnya lidokain
atau mepivakain, suntikan intravascular dari bupivakain lebih banyak berkaitan dengan
kardiotoksisitas. Keadaan ini disebabkan oleh pemulihan yang lebih lambat akibat blokade
saluran natrium yang ditimbulkan bupivakaine dan depresi kontraktilitas dan hantaran jantung
yang lebih besar. Pada kadar bupivakain plasma yang tinggi timbul vasokontriksi uterus dan
penurunan aliran darah uterus. Kadar plasma seperti ini ditemukan pada blok paraservikal tetapi
tidak ditemukan pada blok epidural atau spinal8.
Farmakodinamik
Bupivakain adalah anestesi lokal yang sering digunakan untuk injeksi spinal pada tulang
belakang untuk anestesi total bagian pinggul kebawah. Bupivakain bekerja dengan cara
berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel
sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa
nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung myelin, maka
bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan
serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung myelin dan ukuran
serabut saraf lebih tebal. Bupivakain mempunyai lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan
dengan obat anestesi lokal lainnya. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan
toksik pada jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel dan henti jantung
dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi
perifer terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP
mungkin termasuk eksitasi SSP seperti gugup, kesemutan disekitar mulut, tinnitus, tremor,
pusing, penglihatan kabur, kejang dan diikuti oleh mengantuk, hilangnya kesadaran, depresi
pernafasan dan apneu.2,8
Farmakokinetik
Awitan aksi : infiltrasi 2-10 menit, epidural 4-17 menit, spinal.
Efek puncak : infiltrasi dan epidural, 30 – 45 menit ; spinal 15 menit
Lama aksi : infiltrasi/epidural/spinal, 200 – 400 menit (diperpanjang dengan epinefrin);
intrapleura, 12 – 48 jam.
Interaksi/ toksisitas : kejang, depresi pernapasan dan sirkulasi timbul pada kadar plasma yang
tinggi; bersihan yang menurun pada penggunaan obat – obatan penyekat beta dan simettidine
secara bersamaan; benzodiazepine, barbiurat dan anestetik volatil meningkatkan ambang
kejang; pengurangan dosis diperlukan pada pasien hamil; lama anestesi lokal atau regional
diperpanjang oleh obat – obatan vasokontriktor (epinefrin), agonis alfa 2 (klonidin) dan narkotik
(fentanil); alkalinisasi meningkatkan kecepatan awitan dan potensi anestesi lokal atau regional.
Penggunaan kloroprokain epidural sebelumnya mengantagonisir efek bupivakain epidural.
Pedoman / peringatan
- Tidak disarankan untuk blok paraservikal obstetrik. Obat dapat menyebabkan bradikardi atau
kematian janin.
- Gunakan dengan hati – hati untuk anestesi regional IV. kadar plasma yang tinggi dapat terjadi
setelah pelepasan torniket dan menimbulkan henti jantung refrakter dan kematian.
- Konsentrasi di atas 0,5% berkaitan dengan reaksi toksik dan henti jantung refrakter.
Konsentrasi seperti ini merupakan kontraindikasi untuk analgesia dan anesthesia obstetric
- Sindrom kauda ekuina dengan defisit neurologik yang permanen dapat terjadi pada pasien
yang mendapatkan >15mg larutan bupivakaine 0,75% dengan teknik spinal kontinu.
- Akses intravena penting selama blok regional mayor.
- Gunakan dengan hati – hati pada pasien dengan hipovolemia, gagal jantung kongestif berat,
syok dan semua bentuk blok jantung.
- Pada blok intravena regional. Kempeskan manset setelah 40 menit dan tidak kurang 20 menit.
Antara 20 dan 40 menit, manset dapat dikempiskan, dikembungkan dengan segera dan
akhirnya setelah 1 menit dikempiskan untuk mengurangi absorpsi mendadak dari anestetik ke
dalam sirkulasi sistemik.
- Merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap anetetik lokal tipe
amida.
- Volume yang disarankan untuk blok pleksus brakialis konsisten dengan data yang ada
mengenai kadar plasma (subtotik) setelah blok pleksus brakialis. Risiko toksisitas sistemik
dapat dikurangi dengan menambahkan epinefrin pada anestektik lokal dan menghindari
suntikan IV, yang dapat menimbulkan reaksi toksik segera.
- Kadar bupivakaine plasma toksik ( contohnya, akibat suntikan intravascular aksidental/
kecelakaan) dapat menyebabkan kolaps kardiopulmonal dan kejang. Tanda dan gejala
prapemantauan bermanifestasi sebagai rasa tebal dari lidah dan jaringan sirkumoris, rasa
logam, gelisah, tinnitus dan tremor. Dukungan sirkulasi ( cairan IV, vasopresor, natrium
bikarbonat IV 1-2mEq/kg untuk mengobati toksisitas jantung (blockade saluran natrium),
bretilium IV 5mg/kg) kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler) dan
mengamankan saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100%) merupakan hal
yang penting. Thiopental (0,5 – 2 mg/kgBB IV), midazolam (0,02-0,04 mg/kgBB iv) atau
diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan atau pengobatan kejang.
Efek samping
Kardiovaskuler : hipotensi, aritmia, henti jantung
Pulmoner : gangguan, henti pernapasan
SSP : kejang, tinnitus, penglihatan kabur
Alergi : urtikaria, edema angioneurotik, gejala anafilaktoid
Epidural/kaudal/spinal : spinal tinggi, hipotensi, retensi urin, kelemahan dan kelumpuhan
ekstremitas bawah, kehilangan kontrol sfingter, sakit kepala, nyeri punggung, kelumpuhan saraf
cranial, perlambatan persalinan.
Lama kerja obat : 6-8 jam durasi tindakan dipengaruhi oleh konsentrasi volume suntikan
bupivakain yang digunakan.
Dosis dan penggunaan : bentuk sediaan 0,25%, 0,5%, 0,75% inj.
Anestesi lokal : Maksimal 2 mg/kgBB atau 175 mg/dosis, 400mg/24 jam. Onset 2-10 menit,
puncak 30 – 45 menit. Durasi 3 – 6 jam, beberapa konsentrasi pengawet – bebas.
Anastesi regional :Maksimal 2 mg/kgBB atau 175 mg/dosis, 400 mg/24 jam. Untuk blok saraf
perifer dan simpatik dan blok epidural. Onset 2-10 menit. Puncak 30 -45 menit. Durasi 3-6 jam.
Beberapa konsentrasi pengawet bebas.
Anestesi spinal : Onset kurang dari 1 menit, 15 menit puncak, durasi 3-6 jam.
Tramadol
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiate. Tramadol mengikat secara
stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi rasa nyeri dan
respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmitter dari
saraf aferen yang sensitive terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.2
Indikasi untuk mengobati dan mencegah nyeri yang sedang hingga berat seperti pasca bedah.
Kontraindiaksinya yaitu pasien dengan hipersensitivitas, depresi napas akut, peningkatan
tekanan intracranial atau cedera kepala. Dosis pemberian 50 – 100 mg setiap 4-6 jam.
Efek samping yang dapat terjadi yaitu pusing, vertigo, anxietas, agitasi, tremor, gangguan
koordinasi, gangguan tidur, eforia, konstipasi, mual, muntah dan nyeri perut.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada kasus ini yaitu bahwa penatalaksanaan anestesi
pada seksio sesarea dengan pasien PEB dan anemia dapat dilakukan teknik anestesi spinal karena
anestesi spinal lebih aman, walaupun dalam pelaksanaannya efek samping dari anestesi spinal
harus diperhatikan karena anestesi spinal dapat memberi pengaruh terhadap hemodinamik pasien
yaitu penurunan tekanan sistolik dan tekanan diastolik serta peningkatan frekuensi nadi pasien
terutama pada pasien PEB. Oleh karena itu diperlukan adanya persiapan operasi dengan
melakukan pemeriksaan EKG untuk mengetahui keadaan jantung ibu, pemeriksaan darah
lengkap dan pemeriksaan elektrolit. Selain itu, premedikasi dengan memberikan antihiperetnsi
tidak dianjurkan pada pasien ini. Premedikasi sebaiknya diberikan obat antimuntah agar
menghindari mual – muntah akibat pembedahan. Selain itu pada pasien ini pemberian cairan
harus dibatasi karena apabila pemberian cairan dimaksudkan untuk mengatasi efek samping dari
anestesi spinal namun akan menyebabkan efek samping berupa edema paru pada pasien.
Sedangkan untuk pemberian dosis anestesi lokal dosisnya perlu diperkecil karena kemungkinan
pasien dengan PEB telah mendapat pengobatan MgSO4 sebelumnya.