referat anstesi

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Setiap tindakan anastesi harus memperhatikan kondisi pasien karena tindakan anastesi ini bisa menimbulkan efek pada semua sistem tubuh, antara lain terjadinya perubahan hemodinamik pada tubuh pasien. Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Salah satu teknik anastesi regional yang sering digunakan pada operasi sectio caesaria adalah teknik anastesi spinal. Sedangkan preeklampsia itu sendiri adalah kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Preeclampsia sendiri merupakan salah satu kegawatan dalam obstetri dan dapat dijadikan indikasi untuk melakukan seksio saesaria. Oleh karena itu maka referat ini akan menjelaskan mengenai bagaimana penatalaksanaan anastesi pada pasien seksio saesaria dengan preeclampsia berat. 1.2 Tujuan Tujuan penulisan laporan referat ini khususnya yaitu untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik stase anastesi dan selain itu juga untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan anastesi pada seksio saesaria dengan pasien preeklampsia berat.

Upload: gayuh-prastya

Post on 02-Jan-2016

74 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: referat anstesi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Setiap tindakan anastesi harus memperhatikan kondisi pasien karena tindakan anastesi ini

bisa menimbulkan efek pada semua sistem tubuh, antara lain terjadinya perubahan hemodinamik

pada tubuh pasien. Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka

dinding perut dan dinding uterus. Salah satu teknik anastesi regional yang sering digunakan pada

operasi sectio caesaria adalah teknik anastesi spinal. Sedangkan preeklampsia itu sendiri adalah

kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20

minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Preeclampsia sendiri

merupakan salah satu kegawatan dalam obstetri dan dapat dijadikan indikasi untuk melakukan

seksio saesaria. Oleh karena itu maka referat ini akan menjelaskan mengenai bagaimana

penatalaksanaan anastesi pada pasien seksio saesaria dengan preeclampsia berat.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan laporan referat ini khususnya yaitu untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik

stase anastesi dan selain itu juga untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan anastesi pada

seksio saesaria dengan pasien preeklampsia berat.

Page 2: referat anstesi

BAB II

KASUS

2.1 Status Pasien

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Umur : 32 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Kayu Tinggi

B. Anamnesis

Keluhan Utama : kedua kaki bengkak sejak 2 bulan lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang ibu G2P1A0 hamil 39 minggu datang ke RS. Islam Sukapura dengan keluhan kedua

kaki bengkak sejak 2 bulan lalu. Pasien mengaku kaki bengkak tersebut sudah dirasakan sejak

kehamilan memasuki usia 8 bulan dan terus bertambah bengkak. Hal ini awalnya dirasakan

karena tekanan darah pasien selama kehamilan memasuki bulan ke-8 terus meningkat. Selain itu

pasien juga mengaku sering nyeri dibagian perut bagian bawah dan pusing. Riwayat keluar air –

air atau lendir maupun darah disangkal. Mulas (-).

Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat DM (-), HT (-), asma (-), riwayat penyakit jantung (-),

riwayat preeklampsia sebelumnya (+) namun pasien dapat melahirkan secara normal.

Riwayat Alergi : Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Operasi : Pasien mengaku tidak pernah dioperasi sebelumnya.

Riwayat Kebiasaan : Riwayat merokok dan minum alcohol disangkal.

Page 3: referat anstesi

C. KEADAAN FISIK PRABEDAH

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda – tanda vital : Tekanan darah = 150/90 mmhg

Nadi = 84x/menit

Suhu = 36oC

Respirasi = 18x/menit

Berat badan pasien = 59 kg

Tinggi badan = 150 cm

Status Generalis

Kepala : Rambut hitam, dalam batas normal

Mata: conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Hidung: sekret (-/- )

Mulut: mukosa mulut lembab,

Gigi: karies (-), mikrolesi (- ), gigi palsu (-)

THT: tonsil T1/T1

Leher : KGB tidak teraba membesar, massa (-)

Thoraks

Bentuk dan gerak simetris

VBS ka=ki, sonor, wheezing (-/- ), rhonkhi (-/- )

BJ 1 dan 2 reguler, murmur ( -)

Page 4: referat anstesi

Abdomen

Inspeksi : tampak cembung, striae gravidarum (+)

Palpasi : Teraba keras, his (-)

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : Bising usus 12x/ menit

Ekstremitas:

Atas : Akral hangat (+/+), udem (-/-), RCT < 2 dtk

Bawah : Akral hangat (+/+), Pitting udem (+/+), RCT > 2 detik

D. Laboratorium

Hemoglobin : 10,8 g/dl

Leukosit : 92/mm3

Hematokrit : 33%

Trombosit : 340 ribu/mm3

Faktor pembekuan : BT = 3’00 CT= 4’30

Protein urine (+)

E. STATUS FISIK

Status fisik Pasien menurut American Society of Anesthesiologists (ASA) = 3 (Pasien dengan

penyakit sistemik berat, aktivitas rutin terbatas.)

Page 5: referat anstesi

F.DIAGNOSIS DAN RENCANA TINDAKAN ANASTESI

Diagnosis pra-bedah : G2P1A0 hamil aterm dengan PEB + Anemia

Jenis pembedahan : Sectio Caesaria

Keadaan Preoperatif :

Pasien mengalami program puasa selama 8 jam. Keadaan pasien tampak baik, kooperatif,

tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 84 x/menit. Hb : 10,8 gr/ dl. Risiko kardiologi

minimal.

Jenis anestesia : Anestesi Regional

Teknik anestesi : Spinal dengan spenkan ,paralumbal 4-5, ventilasi spontan

Medikasi prabedah : Pemasangan intravenous infus line (RL)

Premedikasi : tidak ada

G. TINDAKAN ANASTESI

Peralatan monitor dipasangkan kepada pasien untuk memonitor tekanan darah, nadi dan

pulse oksimeter.

Persiapkan peralatan resusitasi

Persiapkan jarum spinal No. 25, 26, dan no 27, kasa steril, betadin dan spet 5 cc

Pada Pukul 10.05 dilakukan Teknik anastesi :

o Monitoring tanda – tanda vital

o Pasien diminta untuk dalam posisi duduk

o Pasien diminta untuk membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah

teraba dengan cara memeluk bantal.

o Tentukan perpotongan garis kedua krista iliaka dengan garis tulang punggung

adalah L4 atau L4-L5

o Tempat tusukan yang dipilih yaitu lumbal 4 – 5

Page 6: referat anstesi

o Tempat tusukan disterilkan dengan povidone iodine secara melingkar

o Jarum spinocan no.27 dipilih dan ditusukkan pada bidang median dengan arah

10-30o terhadap bidang horisontal (ke arah kranial).

o Jarum akan menembus kulit, subkutis, lig. supraspinosus, lig. interspinosus, lig.

flavum, ruang epidural,duramater dan ruang subaraknoid.

o Lalu mandrin atau stilet dicabut dan keluar cairan serebrospinal jernih dan lancar

o Lalu masukkan obat anastesi yaitu Buvanest (bupivacain) 12,5 mg

o Tekanan darah terukur = 160/100mmHg, N= 72x/ menit dan saturasi O2 = 100%

o Pasien dipasang O2 nasal 2 lt/menit

Pada Pukul 10.10 operasi dimulai dan tekann darah terukur 130/ 90 mmhg

Pada Pukul 10.20 bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan dengan BB = 3200 gram,

PB= 48cm dan a/s = 9/10. Tekanan darah terukur 130/80 mmhg, Nadi = 76x/menit dan

saturasi 02= 100% lalu diberikan Uterotonik: Metergin 0,4 mg dan Syntocinon 20 IU.

Pada Pukul 11. 05 tekanan darah terukur 120/80 mmhg, Nadi= 80x/menit dan saturasi

O2=100%. Pasien merasa mual sehingga diberikan ondansentron 4 mg.

Pada pukul 11.40 operasi selesai terukur tekanan darah = 130/80 mmHg, Nadi=

71x/menit dan RR = 20 x/ menit.

Cairan yang digunakan: Ringer laktat 700 cc

Jumlah perdarahan : 400cc

Lama pembedahan : 90 menit

Terapi cairan yang dibutuhkan pasien

Berat badan = 59 kg

EBV = 65cc/kgBB = 65x59 = 3835

Jumlah perdarahan = 400cc, maka jumlah kehilangan perdarahan sekitar 10%

Kebutuhan cairan :

Maintanance = 2cc x BB = 2x59= 118

Defisit puasa = 6xmaintanance = 6x 118 = 708

Stress operasi = 8xBB = 8x59 = 472

Jenis anestesi = besar

Risiko operasi = besar

Page 7: referat anstesi

Maka total kebutuhan cairan durante op (90 menit) adalah :

I II III

Maitanance 118 118 118

Stress operasi 472 472 472

Defisit puasa 300 204 204

890 794 794

1684 2478

H. KEADAAN POST OPERASI

Pasien dipindahkan ke ruang RR pada pukul 11.50

o Tekanan Darah: 132/84 mmHg

o Nadi : 74 x/menit

o Pernafasan : 18 x/menit

o Suhu : 36,2 °C

o Saturasi O2 : 100%

o Komplikasi selama pembedahan : -

o Komplikasi setelah pembedahan : -

ALDRATE SCORE

o Aktivitas = 2

o Respirasi = 2

o Sirkulasi = 2

o Kesadaran = 2

o Warna kulit = 2

total skor = 10

Page 8: referat anstesi

Pada Pukul 13.40 Pasien dipindahkan ke ruang perawatan.

Instruksi anastesi :

Bila kesakitan : berikan tramadol 50 mg IV

Bila mual/ muntah : berikan ondansentron 4 mg IV

Makan/ minum : pelan – pelan dan bertahap

Cairan : RDT = 1000cc dan RL 500cc selama 24 jam

Bed rest 24 jam dan boleh miring

Page 9: referat anstesi

BAB III

ANALISA KASUS

Pada pasien ini dilakukan anastesi regional dengan teknik anastesi spinal dan diberikan obat

anastetik yaitu bupivakain sebanyak 12,5 mg. Pada pasien ini diberikan obat – obatan anastetik,

analgetik tanpa pemberian pelumpuh otot. Obat – obat lain yang diberikan seperti ondancentron

untuk mencegah muntah dan tramadol agar tidak kesakitan. Dan pada pasien ini tidak diberikan

premedikasi.

3.1. Apa itu seksio saesaria, preeklampsia berat dan anemia pada kehamilan?

Seksio sesarea

Menurut tinjauan pustaka, seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan

membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara seksio sesarea yang dikenal

saat ini yaitu seksio sesarea transperitonealis profunda, klasik/corporal, ekstraperitoneal atau

dengan teknik histerektomi. Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik seksio

sesarea transperitonela profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Indikasi seksio sesarea

antara lain 1,7:

Indikasi ibu yaitu panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan obstuksi, stenosis

serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum, disproporsi janin dan panggul, riwayat

ruptur uteri dan preeklampsia.

Indikasi janin yaitu kelainan letak seperti letak sungsang,lintang, dahi, letak muka dengan dagu

di belakang, presentasi ganda dan kelainan letak pada gemelli anak pertama serta adanya gawat

janin.

Indikasi waktu yaitu partu lama atau partus tak maju.

Sedangkan kontra indikasi dari seksio sesarea yaitu adanya infeksi intra uterin, janin mati, syok

atau anemia berat yang belum diatasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada operasi seksio sesarea

diantaranya bisa terjadi pada bayi maupun ibu seperti infeksi, perdarahan, dan lain- lain.

Preeklampsia (PE)

Page 10: referat anstesi

Menurut tinjauan pustaka, Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang

mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama berupa

adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi criteria preeklampsia dan

disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma, maka dikatakan

mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil tersebut tidak menunjukan tanda – tanda kelainan

vascular atau hipertensi sebelumnya.9,1

Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah

perifer dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut mengenai

berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai peningkatan aktivasi

trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.1

Penyebab preeclampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak teori

dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan. Oleh karena

itu, preeclampsia sering disebut sebagai “the disease of theory”. Teori yang dapat diterima harus

dapat menerangkan hal – hal berikut9 :

- Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion

dan mola hidatidosa.

- Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia kehamilan.

- Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus.

- Penurunan angka kejadian preekampsia pada kehamilan – kehamilan berikutnya.

- Mekanisme terjadinya tanda – tanda preeklampsia, seperti hipertensi, edema, proteinuria,

kejang dan koma.

Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat ini, yaitu :

- Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spiralis sehingga

menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia

plasenta.

- Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL)

- Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh sel – sel

sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantai oleh peningkatan pelepasan sitokin,

enzim proteolitik dan radikal bebas.

Page 11: referat anstesi

- Genetik

Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak faktor yang

menyebabkan preeclampsia dan diantara faktor – faktor yang ditemukan tersebut seringkali

sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.9,1

Klasifikasi preeklampsia

Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat (PEB) :

a. Preeklampsia ringan

Dikatakan preeclampsia ringan bila :

- Tekanan darah sistolik antara 140 – 160 mmHg dan tekanan diastolic 90 – 110 mmHg

- Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam ).

- Tidak disertai gangguan fungsi organ.

b. Preeklampsia berat

Dikatakan preeclampsia berat bila :

- Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolic >110 mmHg

- Proteinuria (5g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif.

- Bisa disertai dengan :

Oliguria (urine ≤ 400 mL/24 jam)

Keluhan serebral, gangguan penglihatan

Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium

Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia

Edema pulmonum, sianosis

Gangguan perkembangan intrauterine

Microangiopathic hemolytic anemia, tombositopenia.

Preeklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori yaitu :

a. PEB tanpa impending eklampsia

b. PEB dengan impending eklampsia dengan gejala – gejala impending diantaranya nyeri

kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri abdomen kuadran

kanan atas.

Page 12: referat anstesi

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme pembuluh darah

disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh,

maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi

kenaikan tahanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat

badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial

belum diketahui penyebabnya. Beberapa literature menyebutkan bahwa pada preeklampsia

dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi dibandingkaan pada

kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur

retensi air serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein

meningkat.7,9,1

Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang

diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya kadar

progesterone di sirkulasi dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II,

adrenalin dan noradrenalin dan atau menurunnya respon terhadap zat – zat vasokonstriktor.

Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau

PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti tekanan

darah sebelum hamil.9

- Regulasi volume darah

Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia. Kemampuan untuk

mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat

bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika

dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita

hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu

peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.

- Volume darah, hematokrit dan viskositas darah

Rata – rata volume plasma menurun 500ml pada preeklampsia dibandingkan hamil normal,

penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi

lahir rendah (BBLR).

Page 13: referat anstesi

- Aliran darah di organ – organ

a. Aliran darah di otak

Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini berhubungan

dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan suatu faktor penting

dalam terjadinya kejang pada preeclampsia maupun perdarahan otak.

b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal

Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering mejadi penanda pada

kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata – rata berkurang 20%

dari 750 ml menjadi 600 ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata – rata 30% dari

170 menjadi 120 ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan

terjadi oligouria uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.

Plasenta ternyata membentuk rennin dalam jumlah besar, yang fungsinya

mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin perfusi plasenta yang

adekuat. Pada kehamilan normal rennin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan

aldosteron meningkat nyata di atas niai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini

merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar progesterone dalam sirkulasi. Pada

kehamilan normal efek progesterone diimbangi oleh renin, angiotensin dan aldosteron

tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.9,1

Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsia, tetapi

karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, nilai pada

preeklampsia masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam

urat yang menurun, kadang – kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada GFR

dan hiperurisemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan pengeluaran

protein biasanya ringan sampai sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar

sindrom nefrotik pada kehamilan.9

c. Aliran darah uterus dan choriodesidua

Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi

terpenting pada preeklampsia dan mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan.

Page 14: referat anstesi

Namun yang disayangkan adalah belum ada satupun metode pengukuran arus darah yang

memuaskan baik di uterus maupun di desidua.

d. Aliran darah di paru – paru

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema paru yang

menimbulkan dekompensasi cordis.

e. Aliran darah di mata

Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembulh darah orbital. Bila terjadi hal – hal

tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah

ke eklampsia adalah skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya

perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.

f. Keseimbangan air dan elektrolit

Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam laktat dan

asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat – zat organic dioksidasi dan

dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan terbentuknya natrium

bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih kembali.

Gejala klinis

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan proteinuria. Gejalala

lainnya yaitu kenaikan berat badan dimana kenaikan berat badan berlebih yang terjadi tiba – tiba

yaitu lebih dari 1kg dalam seminggu atau 3kg dalam sebulan, gejala lainnya yaitu nyeri kepala

dimana gejala ini biasanya terjadi kasus berat dan tidak sembuh dengan pemberian analgesic

biasa, gejala lain seperti nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas biasanya pada

preeklampsia berat, dan gangguan penglihatan9.

Penatalaksanaan PEB

Penanganan khusus pada PEB terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita

hamil dengan PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun

terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan

ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan

meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu. Adapun

terapi medikamentosa yang dberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah 9:

Page 15: referat anstesi

- Tirah baring

- Oksigen

- Kateter menetap

- Cairan intravena, cairan intravena yang dapat diberikan berupa kristaloid maupun kolod

dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada dieresis, insensible water

loss dan central venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.

- Magnesium sufat (MgSO4) diberikan dengan dosis 20cc MgSO4 20% secara intravena loading

dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30cc dalam 500

cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan syarat :

reflex patella normal, frekuensi respirasi >16x/menit, produksi urin dalam 4 jam sebelumnya

>100cc atau 0,5 cc/kgBB/jam, dan tersedia kalsium glukonas 10% dalam 10cc sebagai

antidotum bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas

tersebut diberikan dalam 3 menit.

- Antihipertensi, diberikan bila tekanan darah diastolic >110 mmHg.

- Kortikosteroid,digunakan pada semua wanita usia kehamillan 24-34 minggu yang berisiko

melahirkan premaatur termasuk dengan pasien PEB.

Penanganan aktif PEB yaitu terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu

agar mencegah progresifitas PEB. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu yaitu :

-Kegagalan terapi medikamentosa yaitu setelah 6 jam dan 24 jam sejak mulai pengobatan terjadi

kenaikan darah yang persisten.

-Tanda dan gejala impending eklampsia

-Gangguan fungsi hepar dan ginjal

-Dicurigai terjadi solusio plasenta

-Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini dan perdarahan

-Umur kehamilan ≥37 minggu

-Intra uterine growth restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG timbulnya

oligohidramnion.

Sedangkan penanganan ekspektatif bertujuan untuk mempertahankan kehamilan sehingga

mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan dan meningkatkan

kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.

Page 16: referat anstesi

Anemia dalam kehamilan

Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12gr%.

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11gr% pada

trimester 1 dan 3 atau kadar hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester 2.9

Penyebab anemia pada umumnya adalah kurang gizi ( malnutrisi), kurang zat besi dalam diit,

malabsorpsi, kehilangan banyak darah misalnya karena perrsalinan dan penyakit – penyakit

kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain – lain. Gejala dan tanda yaitu dilihat ibu

lemah, pucat, mudah pingsan, mata kunang – kunang dan untuk diagnose diperlukan

pemeriksaan kadar Hb.

Klasifikasi anemia dalam kehamilan yaitu :

1. Anemia defisiensi besi

Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Pengobatannya

yaitu, keperluan zat besi dipeuhi dengan pemberian tablet besi.

2. Anemia megaloblastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folat, jarang sekali karena

kekurangan vitamin B12. Pengobatannya yaitu dengan pemberian asam folat 15 – 30 mg

perhari, vitamin B12 3x1 tablet perhari dan sulfas ferrous 3x1 tablet perhari.

3. Anemia hipoplastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah

merah baru.

4. Anemia hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah yag

lebih cepat dari pembuatannya.

3.2. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien ini sebelum operasi

Page 17: referat anstesi

Pemeriksaan penunjang yang umum harus dilakukan sebelum dilakukan operasi dan teknik

anastesi adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan

elektrokardiogram pada pasien yang berusia diatas 50 tahun.3 Dan pada pasien ini terdapat

anemia dimana diperlukan adanya pemeriksaan darah yang tujuannya untuk mengetahui kadar

hemoglobin, leujosit, masa perdarahan dan masa pembekuan. Selain itu karena pasien

merupakan pasien PEB maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar albumin dan elektrolit.

Sedangkan untuk pemeriksaan elektrokardiogram dilakukan apabila ada riwayat gangguan irama

jantung, riwayat penyakit jantung dan adanya tekanan darah yang berubah. Oleh karena pada

pasien ini terdapat preeklampsia berat maka diperlukan pemeriksaan elektrokardiogram untuk

memantau adakah kelainan pada jantung pasien6.

3.3. Anastesi regional dan teknik anastesi spinal

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu anestesi umum dan anestesi

regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus pituitary adrenal, sementara

anetesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom

eferen ke adrenal.3

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls saraf

sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible).

Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.3,6

Pembagian anestesi regional yaitu :

a. Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal. Tindakan

ini sering dikerjakan.

Neuroaksial blok akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris

( tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi lokal).

b. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional

intraven dan lain – lain.

Keuntungan anestesi regional antara lain Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga

biaya relative lebih murah, Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,

lambung penuh) karena penderita sadar, Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi, Tidak

ada polusi kamar operasi oleh gas anastesi dan Perawatan post operatif lebih ringan. Sedangkan

Page 18: referat anstesi

kerugian anestesi regional antara lain tidak semua penderita mau dilakukan anastesi secara

regional, membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit diterapkaan pada anak – anak,

tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional dan terdapat kemungkinan kegagalan pada

teknik anestesi regional.8

Persiapan anestesi regional

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk mengantisipasi

terjadinya toksik sistemik reaction yang bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi. Misalnya

obat anestesi spinal/ epidural masuk ke pembuluh darah maka akan terjadi kolaps kardiovaskuler

sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa

dilanjutkan dengan anastesi umum3,6,8.

Anastesi spinal

Anestesi spinal adalah pemberian obat anetetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi

spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subarachnoid.

Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok

intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis –

subkutis – ligamentum supraspinosum – ligamentum interspinosum – ligamentum flavum –

ruang epidural – durameter – ruang subarachnoid.3,6,8

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis diikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus

oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1,

pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/ analgesi spinal dilakukan ruang

subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.3,6,8

Page 19: referat anstesi

Indikasi anastesi spinal antara lain bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan

sekitar rectum perineum, bedah obstetric – ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan

pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum

ringan. Sedangkan kontra indikasinya terdiri atas kontra indikasi absolut dan kontra indikasi

relative. Untuk kontra indikasi absolut antara lain pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,

hipovolemia berat (syok), koagulapatia atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial

meningkat, fasilitas resusitasi minim dan kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen

anestesi. Kontra indikasi relative antara lain infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan,

kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri

punggung kronik.3,6,8

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesi umum. Daerah

sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan

anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus

spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini 3:

- Informed consent : kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anastesi spinal.

- Pemeriksaan fisik : untuk mengetahui adanya kelainan tulang punggung.

- Pemeriksaan laboratorium : Hb,Ht,PT(protrombin time), PPT ( Partial Tromboplastin Time)

Peralatan analgesia spinal

- Peralatansi monitor : tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll

- Peralatan resusitasi

- Jarum spinal yaitu jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing/quinckebacock)

atau jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil point whitecare)

Page 20: referat anstesi

Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan serebrospinal pada 37 derajat selsius adalah 1.003 – 1.008. anastetik local

dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih

besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut

hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan

mencampur anestetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan

tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.5

Anestetik lokal yang paling sering digunakan :

1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20 – 100mg 92-

5ml).

2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7,5% : berat jenis 1.003, sifat

hyperbaric, dosis 20 – 50 mg (1-2ml).

3. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam air : berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5 – 20mg

(1-4ml).

4. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam dextrose 8,25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,

dosis 5-15 mg (1-3 ml).

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi

yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi

dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30

menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.3,5

Page 21: referat anstesi

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal

kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien

membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, missal L2-L3,

L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1 – L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.

4. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat

langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan

penuntun jarum yaitu jarum suntik 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira – kira 2cm agak

sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (quincke-babcock) irisan jarum (bevel) harus

sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas dan

kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala

pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar

likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dimasukkan pelan – pelan (0,5ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Bila yakin ujung

jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,maka putar arah jarum 90

derajat dan biasanya likuor akan keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan

kateter.

Page 22: referat anstesi

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)

dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.

3.4. Premedikasi apa yang seharusnya dilakukan pada pasien

Premedikasi menurut tinjauan pustaka adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia

diantaranya3 :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Memperlancar induksi anesthesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik

5. Mengurangi mual – muntah pasca bedah

6. Menciptakan amnesia

7. Mengurangi isi cairan lambung

8. Mengurangi refleks yang membahayakan

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah

dilakukan kunjungan prabedah. Maka dari itu ,pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan

harus memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat operasi dan pengobatan yang dapat berpengaruh terhadap

anastesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotic tertentu)5.

Karena pada pasien tersebut, pasien dalam keadaan tenang, tidak cemas dan kooperatif maka

tidak diperlukan pemberian premedikasi untuk menghindari kecemasan. Akan tetapi,menurut

tinjauan pustaka untuk mengurangi mual muntah pasca bedah dapat ditambahkan premedikasi

suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5 – 5mg atau ondansetron 2-4 mg. Maka

sebaiknya pada pasien ini diberikan premedikasi untuk menghindari muntah pasca pembedahan.2

3.5. Pengaruh Anastesi Spinal Pada Pasien Dengan PEB

Komplikasi dari tindakan anestesi spinal ada beberapa macam salah satunya yaitu hipotensi berat

akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infuse

Page 23: referat anstesi

cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan. Namun karena pada pasien ini

terdapat hipertensi dan pitting edema maka pemberian cairan sebelum tindakan tidak dapat

dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya edema paru.7

Komplikasi anestesi spinal lainnya yaitu bradikardia, yang dapat terjadi tanpa disertai hipotensi

atau hipoksia yang terjadi akibat blok sampai torakal 2. Hipoventilasi juga dapat terjadi akibat

paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas. Komplikasi lainnya seperti trauma

pembuluh darah saraf, trauma saraf, mual – muntah, ganguan pendengaran dan blok spinal tinggi

atau spinal total. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pasca tindakan anestesi spinal

diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala karena kebocoran likuor, retensi

urin dan meningitis.3

Menurut tinjauan pustaka, pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi penting.

Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas, diperlukan dosis agen anestesi

yang lebih besar dan ini meningkatkan frekuensi serta intensitas reaksi – reaksi toksik. Serta

menurut pustaka dijelaskan bahwa anestesi regional yang digunakan pada seksio sesarea dengan

preeklampsia dapat menggunakan anestesi epidural atau anastesi spinal karena keduanya

menunjukkan efek hemodinamik yang stabil dan tidak bermakna. Pada wanita dengan

preeklampsia, anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan yaitu menghindari kesulitan

intubasi pada anestesi umum dan mencegah gejolak intubasi, onset yang cepat, lebih mudah

dikerjakan, lebih terpercaya jika dibandingkan dengan anestesi epidural, mempunyai resiko yang

lebih kecil dalam menyebabkan trauma di ruang epidural sehingga menurunkan resiko

hematom.7

Menurut penelitian di perancis pada tahun 2003 menunjukkan bahwa anestesi spinal pada pasien

preeklampsia berat menunjukkan bahwa anastesi spinal pada pasien preeclampsia berat

menunjukkan hipotensi yang lebih rendah daripada anestesi spinal pada pasien seksio sesarea

tanpa preeklampsia. Resiko hipotensi enam kali lebih rendah pada pasien dengan preeclampsia

berat daripada pasien tanpa preeklampsia.7

Ada dua hal yang mengatur tekanan darah yaitu tonus vaskuler yang diperantarai oleh jalur

simpatis dan jalur endothelial. Jalur simpatis menuju pembuluh darah berubah dengan tindakan

anestesi spinal pada pasien preeclampsia berat maupun pada pasien tanpa preeclampsia.

Page 24: referat anstesi

Perhatian tertuju pada jalur endothelial. Akibat kegagalan invasi trophoblast menyebabkan

penurunan perfusi utero plasenta. Plasenta wanita dengan preeklampsia menunjukkan adanya

peningkatan frekuensi infark dan perubahan morfologi karena adanya proliferasi sitotrofoblast

yang abnormal dan adanya peningkatan pembentukan syncytial knots. Jadi pengaruh anestesi

spinal terhadap pasien PEB yaitu adanya perubahan hemodinamik berupa hipotensi akan tetapi

harus tetap membatasi pemberian cairan.10

Pada pasien PEB biasanya pasien sudah diberi MgSO4 oleh spesialis obsgin, dimana obat ini

potensiasi dengan relaksan maka harus mengrangi dosis karena dengan dosis normal akan

berefek lebih panjang kelumpuhan ototnya. Maka dari itu pada pasien ini diberikan dosis

bupivakain sebanyak 12,5 mg.8

Target yang akan dicapai pada anestesi dengan pasien PEB yaitu :

- Mempertahankan stabilitas hemodinamika (mengontrol hipertensi dan menghindari

hipotensi).

- Mencegah komplikasi dari preeclampsia

- Analgesia yang sempurna pada saat kelahiran.

Maka untuk pemberian anestesi spinal perlu dilakukan pemantauan secara hati- hati dan berkala

pada tanda vital terutama tekanan darah karena dengan anestesi spinal, blockade saraf simpatis

terjadi cepat dan hipotensi terjadi cepat.

3.6. Obat – obat apasaja yang diberikan dan harus dihindari pada pasien ini?

Obat yang harus dihindari terutama sebelum dilakukan anestesi yaitu pemberian antihipertensi.

Dimana penggunaan obat – obat antihipertensi menurut tijauan pustaka dapat memperbesar efek

hipotensinya. 6,7

Obat anastesi yang digunakan pada pasien ini diantaranya :

- Bupivakain ( Marcaine, seorcaine)

Bupivakain merupakan obat anestetik lokal kerja panjang yang biasanya digunakan untuk blok

saraf, persalinan dan dalam anestesi regional. Bupivakain merupakan kelompok amino amida

yang merupakan anaestesi lokal yang menghambat generasi dan konduksi impuls saraf.2,3

Page 25: referat anstesi

Indikasi dan penggunaan bupivakain yaitu untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf,

epidural dan intratekal anestesi. Bupivakaine sering diberikan melalui suntikan epidural

sebelum artroplasti pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk

mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat

diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya

epinefrin, glukosa dan fentanil untuk epidural.2,8

Kontra indikasi penggunaan bupivakaine yaitu pada pasien dengan alergi terhadap obat

golongan amino amida dan anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan

tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut, hati – hati terhadap pasien dengan

gangguan hati, jantung, ginjal, hipovolemik, hipotensi dan pasien usia lanjut.

Farmakologi

Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi perubahan

ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan

anestesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang

terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik – nyeri – suhu – raba –

propriosepsi- tonus otot skelet. Awitan aksi cepat wajar dan lamanya secara bermakna lebih

panjang daripada dengan anestetik lokal lain yang lazim digunakan. Penambahan epinefrin

memperbaiki kualitas kualitas analgesia tetapi hanya meningkatkan lama efek konsentrasi

bupivakaine ≥0,5% secara marginal. Hipotensi disebabkan oleh hilangnya tonus simpatik

seperti pada anestesi spinal atau epidural. Dibandingkan dengan amida lain contohnya lidokain

atau mepivakain, suntikan intravascular dari bupivakain lebih banyak berkaitan dengan

kardiotoksisitas. Keadaan ini disebabkan oleh pemulihan yang lebih lambat akibat blokade

saluran natrium yang ditimbulkan bupivakaine dan depresi kontraktilitas dan hantaran jantung

yang lebih besar. Pada kadar bupivakain plasma yang tinggi timbul vasokontriksi uterus dan

penurunan aliran darah uterus. Kadar plasma seperti ini ditemukan pada blok paraservikal tetapi

tidak ditemukan pada blok epidural atau spinal8.

Farmakodinamik

Bupivakain adalah anestesi lokal yang sering digunakan untuk injeksi spinal pada tulang

belakang untuk anestesi total bagian pinggul kebawah. Bupivakain bekerja dengan cara

Page 26: referat anstesi

berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel

sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa

nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung myelin, maka

bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan

serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung myelin dan ukuran

serabut saraf lebih tebal. Bupivakain mempunyai lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan

dengan obat anestesi lokal lainnya. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan

toksik pada jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan

rangsangan yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel dan henti jantung

dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi

perifer terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP

mungkin termasuk eksitasi SSP seperti gugup, kesemutan disekitar mulut, tinnitus, tremor,

pusing, penglihatan kabur, kejang dan diikuti oleh mengantuk, hilangnya kesadaran, depresi

pernafasan dan apneu.2,8

Farmakokinetik

Awitan aksi : infiltrasi 2-10 menit, epidural 4-17 menit, spinal.

Efek puncak : infiltrasi dan epidural, 30 – 45 menit ; spinal 15 menit

Lama aksi : infiltrasi/epidural/spinal, 200 – 400 menit (diperpanjang dengan epinefrin);

intrapleura, 12 – 48 jam.

Interaksi/ toksisitas : kejang, depresi pernapasan dan sirkulasi timbul pada kadar plasma yang

tinggi; bersihan yang menurun pada penggunaan obat – obatan penyekat beta dan simettidine

secara bersamaan; benzodiazepine, barbiurat dan anestetik volatil meningkatkan ambang

kejang; pengurangan dosis diperlukan pada pasien hamil; lama anestesi lokal atau regional

diperpanjang oleh obat – obatan vasokontriktor (epinefrin), agonis alfa 2 (klonidin) dan narkotik

(fentanil); alkalinisasi meningkatkan kecepatan awitan dan potensi anestesi lokal atau regional.

Penggunaan kloroprokain epidural sebelumnya mengantagonisir efek bupivakain epidural.

Pedoman / peringatan

Page 27: referat anstesi

- Tidak disarankan untuk blok paraservikal obstetrik. Obat dapat menyebabkan bradikardi atau

kematian janin.

- Gunakan dengan hati – hati untuk anestesi regional IV. kadar plasma yang tinggi dapat terjadi

setelah pelepasan torniket dan menimbulkan henti jantung refrakter dan kematian.

- Konsentrasi di atas 0,5% berkaitan dengan reaksi toksik dan henti jantung refrakter.

Konsentrasi seperti ini merupakan kontraindikasi untuk analgesia dan anesthesia obstetric

- Sindrom kauda ekuina dengan defisit neurologik yang permanen dapat terjadi pada pasien

yang mendapatkan >15mg larutan bupivakaine 0,75% dengan teknik spinal kontinu.

- Akses intravena penting selama blok regional mayor.

- Gunakan dengan hati – hati pada pasien dengan hipovolemia, gagal jantung kongestif berat,

syok dan semua bentuk blok jantung.

- Pada blok intravena regional. Kempeskan manset setelah 40 menit dan tidak kurang 20 menit.

Antara 20 dan 40 menit, manset dapat dikempiskan, dikembungkan dengan segera dan

akhirnya setelah 1 menit dikempiskan untuk mengurangi absorpsi mendadak dari anestetik ke

dalam sirkulasi sistemik.

- Merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap anetetik lokal tipe

amida.

- Volume yang disarankan untuk blok pleksus brakialis konsisten dengan data yang ada

mengenai kadar plasma (subtotik) setelah blok pleksus brakialis. Risiko toksisitas sistemik

dapat dikurangi dengan menambahkan epinefrin pada anestektik lokal dan menghindari

suntikan IV, yang dapat menimbulkan reaksi toksik segera.

- Kadar bupivakaine plasma toksik ( contohnya, akibat suntikan intravascular aksidental/

kecelakaan) dapat menyebabkan kolaps kardiopulmonal dan kejang. Tanda dan gejala

prapemantauan bermanifestasi sebagai rasa tebal dari lidah dan jaringan sirkumoris, rasa

logam, gelisah, tinnitus dan tremor. Dukungan sirkulasi ( cairan IV, vasopresor, natrium

bikarbonat IV 1-2mEq/kg untuk mengobati toksisitas jantung (blockade saluran natrium),

bretilium IV 5mg/kg) kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler) dan

mengamankan saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100%) merupakan hal

yang penting. Thiopental (0,5 – 2 mg/kgBB IV), midazolam (0,02-0,04 mg/kgBB iv) atau

diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan atau pengobatan kejang.

Page 28: referat anstesi

Efek samping

Kardiovaskuler : hipotensi, aritmia, henti jantung

Pulmoner : gangguan, henti pernapasan

SSP : kejang, tinnitus, penglihatan kabur

Alergi : urtikaria, edema angioneurotik, gejala anafilaktoid

Epidural/kaudal/spinal : spinal tinggi, hipotensi, retensi urin, kelemahan dan kelumpuhan

ekstremitas bawah, kehilangan kontrol sfingter, sakit kepala, nyeri punggung, kelumpuhan saraf

cranial, perlambatan persalinan.

Lama kerja obat : 6-8 jam durasi tindakan dipengaruhi oleh konsentrasi volume suntikan

bupivakain yang digunakan.

Dosis dan penggunaan : bentuk sediaan 0,25%, 0,5%, 0,75% inj.

Anestesi lokal : Maksimal 2 mg/kgBB atau 175 mg/dosis, 400mg/24 jam. Onset 2-10 menit,

puncak 30 – 45 menit. Durasi 3 – 6 jam, beberapa konsentrasi pengawet – bebas.

Anastesi regional :Maksimal 2 mg/kgBB atau 175 mg/dosis, 400 mg/24 jam. Untuk blok saraf

perifer dan simpatik dan blok epidural. Onset 2-10 menit. Puncak 30 -45 menit. Durasi 3-6 jam.

Beberapa konsentrasi pengawet bebas.

Anestesi spinal : Onset kurang dari 1 menit, 15 menit puncak, durasi 3-6 jam.

Tramadol

Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiate. Tramadol mengikat secara

stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi rasa nyeri dan

respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmitter dari

saraf aferen yang sensitive terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.2

Indikasi untuk mengobati dan mencegah nyeri yang sedang hingga berat seperti pasca bedah.

Kontraindiaksinya yaitu pasien dengan hipersensitivitas, depresi napas akut, peningkatan

tekanan intracranial atau cedera kepala. Dosis pemberian 50 – 100 mg setiap 4-6 jam.

Page 29: referat anstesi

Efek samping yang dapat terjadi yaitu pusing, vertigo, anxietas, agitasi, tremor, gangguan

koordinasi, gangguan tidur, eforia, konstipasi, mual, muntah dan nyeri perut.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada kasus ini yaitu bahwa penatalaksanaan anestesi

pada seksio sesarea dengan pasien PEB dan anemia dapat dilakukan teknik anestesi spinal karena

anestesi spinal lebih aman, walaupun dalam pelaksanaannya efek samping dari anestesi spinal

harus diperhatikan karena anestesi spinal dapat memberi pengaruh terhadap hemodinamik pasien

yaitu penurunan tekanan sistolik dan tekanan diastolik serta peningkatan frekuensi nadi pasien

terutama pada pasien PEB. Oleh karena itu diperlukan adanya persiapan operasi dengan

melakukan pemeriksaan EKG untuk mengetahui keadaan jantung ibu, pemeriksaan darah

lengkap dan pemeriksaan elektrolit. Selain itu, premedikasi dengan memberikan antihiperetnsi

tidak dianjurkan pada pasien ini. Premedikasi sebaiknya diberikan obat antimuntah agar

menghindari mual – muntah akibat pembedahan. Selain itu pada pasien ini pemberian cairan

harus dibatasi karena apabila pemberian cairan dimaksudkan untuk mengatasi efek samping dari

anestesi spinal namun akan menyebabkan efek samping berupa edema paru pada pasien.

Sedangkan untuk pemberian dosis anestesi lokal dosisnya perlu diperkecil karena kemungkinan

pasien dengan PEB telah mendapat pengobatan MgSO4 sebelumnya.