proses kanonisasi perjanjian baru dan kodifikasi al...
TRANSCRIPT
PROSES KANONISASI PERJANJIAN BARU
DAN KODIFIKASI AL-HADITS (STUDI KOMPARASI)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana agama (S.Ag)
Disusun oleh:
M Mubasyir
NIM: 1113032100024
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
PROSES KANONISASI PERJANJIAN BARU
DAN KODIFIKASI AL-HADITS (STUDI KOMPARASI)
M.MUBASYIR
Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang proses kanonisasi Perjanjian
Baru dan kodifikasi al-Hadits. Proses Kanonisasi Perjanjian Baru
pengumpulannya dilakukan sangat sulit di kalangan umat Kristen, ketika orang-
orang Kristen berhadapan dengan bermacam nasihat sesat, mereka mulai
merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami
Allah dan yang tidak. Sedangkan Proses Kodifikasi al-Hadits, prosesnya
memakan waktu yang cukup panjang dan lama. Riwayat ini berasal dari sahabat,
tabi’in ataupun generasi sesudah tabi’in tentang kebolehan dan larangan menulis
hadits tidaklah muncul dari adanya dua kubu, yang satu memperbolehkan dan
yang lain melarang. Berdasarkan masalah tersebut maka penulis ingin mengetahui
bagaimana proses kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-Hadits.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian
dengan jenis penelitian kualiatatif dengan pendekatan historis, yaitu dengan
menjelaskan sejarah, proses dan klasifikasi kanonisasi Perjanjian Baru dan
Kodifikasi al-Hadits.
Hasil penelitian ini secara umum menimbulkan masalah dikalangan umat
Kristen maupun Islam, karena dalam setiap prosesnya baik itu Kanonisasi
Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-Hadits pasti ada yang menolak.
Kata kunci:
Kanon Perjanjian Baru, Kodifikasi al-Hadits, Penyusunan
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabb-il ‘alamiin, allama al-insana maa lam ya’lam. Segala
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan iman,
islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga. Serta telah mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Penulis sangat bersyukur karena
akhirnya mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Proses Kanonisasi
Perjanjian Baru dan Kodifikasi Al-Hadits (Studi Komparasi).” Shalawat serta
salam tidak lupa dihaturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa manusia dari zaman kegelapan sampai zaman terang benderang seperti
saat ini, dan kelak semoga mendapatkan syafa’at dari-Nya, Amiin.
Bagi penulis, skripsi ini merupakan sebuah proses menuju gelar prestasi
tersendiri. Layaknya sebuah proses dengan lika-liku perjalanan yang
menyertainya, penyelesaian skripsi ini tentu tidak terlepas dari peranan berbagai
pihak. Untuk itu, tidak dapat dipungkiri bahwa perasan bahagia ini bukan
sepenuhnya hasil dari jerih payah penulis sendiri.
Sudah sepatutnya penulis menyampaikan rasa terimakasih dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
selama proses penyelesaian skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit
banyak telah meringankan beban penulis selama penyusunan skripsi ini.
Meskipun tidak semua pihak dapat disebutkan satu persatu, namun setidaknya
penulis merasa perlu menyebutkan sejumlah nama yang membekas di hati
penulis, Yaitu:
vii
1. Ismatu Ropi, MA, Ph.D selaku Penasehat Akademik yang memberikan
arahan dan persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
2. Drs. Moh Nuh HS., M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Saiful Azmi, MA selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama dan Lisfa
Sentosa Aisyah, MA selaku Sektretaris Jurusan Studi Agama-agama
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
4. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A
atas kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas
Ushuluddin. Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khususnya sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Asmuni Abdul Wahab dan Ibu
Rubingah yang telah memberikan Do’a dan Ridlonya hingga akhir masa
studi dan tidak lupa kepada adik yang memberikan dukungan sampai saat
ini, Alfin Husna AS. S.Pd, M. Miftachul Huda, S.Ag.
7. Nheny Chintya Putri Aisyah (umi), Syarah Dwi Cantika Putri (memey),
Suhaila Ilma Nafia Putri (ila) dan Muhammad Al-Fatih Fathurachman
(fatih) adalah orang yang selalu istiqomah ada untuk memberikan
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
D. Manfaat penelitian ..................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 7
F. Metode Penelitian ...................................................................................... 9
G. Pendekatan Penelitian .............................................................................. 10
H. Teknik Penulisan ...................................................................................... 10
I. Sistematika Penulisan .............................................................................. 10
BAB II : KANONISASI PERJANJIAN BARU .............................................. 12
A. Apa itu Perjanjian Baru ............................................................................ 12
B. Isi Kitab Perjanjian Baru .......................................................................... 16
B.1 Injil .................................................................................................... 16
B.2 Kisah Para Rasul ............................................................................... 18
B.3 Surat-Surat Paulus ............................................................................. 18
x
B.4 Surat-Surat Umum/ Surat-Surat Am ................................................. 20
B.5 Kitab Wahyu ..................................................................................... 21
C. Proses Penulisan ....................................................................................... 21
C.1 Kanonisasi Perjanjian Baru ............................................................... 23
C.2 Teori sumber-sumber ........................................................................ 28
D. Standar legalisasi ..................................................................................... 31
BAB III : KODIFIKASI AL-HADITS ............................................................. 34
A. Apa itu al-Hadits ...................................................................................... 34
B. Klasifikasi al-Hadits ................................................................................. 35
B.1 Dari segi Jumlah Periwayat ............................................................... 35
B.2 Dari Segi Penerimaan dan Penolakan ............................................... 37
C. Proses Kodifikasi al-Hadits ...................................................................... 39
C.1 Hadis pada Masa Rasulullah SAW ................................................... 40
C.2 Hadis pada Masa Sahabat Besar (Khulafa` al-Rasyidun) ................. 41
C.3 Hadis pada Masa Tabi’in ................................................................... 51
D. Standar Legalisasi al-Hadits ...................................................................... 52
BAB IV : ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA KANONISASI
PERJANJIAN BARU dan KODIFIKASI AL-HADITS ................................ 56
A. Sejarah penulisan ..................................................................................... 56
B. Teori sumber ............................................................................................ 58
C. Standar Legalisasi .................................................................................... 63
D. Proses kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-Hadits .................... 66
xi
BAB V : PENUTUP ........................................................................................... 68
A. Kesimpulan .............................................................................................. 68
B. Saran ........................................................................................................ 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap agama memiliki kitab suci. Kitab suci itu wahyu dari Tuhan ada
yang berbentuk aural (didengar), dan ada yang berbentuk oral (diucapkan).
Kemudian disampaikan kepada manusia, baik nabi-nabinya maupun sejarah
kemanusiaan. Kitab suci pada zaman dahulu belum dibukukan, melainkan di
dengar, dihafal dan diucapkan dari generasi ke generasi. Tradisi menulis
memiliki peran sangat penting dalam pembentukan kitab menjadi kitab suci.
Hanya saja, banyak kitab suci awalnya adalah tradisi lisan sekelompok
masyarakat tertentu, lalu kemudian dituliskan di benda-benda yang ada dan
menjadi teks tertulis seperti saat ini dan dari situlah kitab suci menyebar ke
seluruh dunia. Penulisan dan kodifikasi telah dilakukan untuk membentuk
sebuah kitab yang kita kenal dan selalu di jadikan pedoman setiap agama
hingga saat ini.
Alkitab adalah kitab suci umat Kristen, baik Protestan maupun
Katolik. Isi dari Alkitab itu sendiri merupakan apa yang dikehendaki Allah
untuk dilakukan oleh manusia. Penjelasan tentang Allah dan kebenaran-Nya
terdapat pada kitab Perjanjian Lama. Sedangkan manusia dan keberadaannya
terdapat dalam kitab Perjanjian Baru. Perjanjian Baru ditulis di tengah-tengah
suasana yang dipengaruhi oleh berbagai aliran keagamaan, jadi agar ahli
teologi dapat memahami ajaran Perjanjian Baru dengan benar maka ia harus
2
memperhatikan pengaruh aliran-aliran itu.1
Menyusun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hingga
berbentuk Alkitab temponya lama sekali. Kitab Perjanjian Lama telah tersusun
beberapa abad sebelum Kristus, sedangkan Perjanjian Baru selesai pada akhir
abad pertama. Proses penyusunan ini disebut “Kanonisasi” Alkitab. Artinya,
jemaat Kristen menganggap dan memberi kesaksian bahwa susunan kitab-
kitab yang kita namakan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu, menjadi
“Kanon” atau ukuran pedoman iman dan hidup mereka.2
Pada awal Alkitab dibukukan melalui pernyataan Lukas, yang
memberi sedikit pengertian yang lebih mendalam dengan menyatakan,
"Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun
suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita,
seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula
adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku
menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya,aku
mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur3.
Yohanes juga memberi alasan untuk menulis Injilnya: "Memang
masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-
Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di
sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak
Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-
1 Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), h. 19.
2 H.M. Arsyad Thali Lubis, Perbandingan Agama Kristen dan Islam, (Medan: Firma
Islamyah, 1974), h. 306. 3 Alkitab, Luke 1:1-3
3
Nya.4
Dari alasan Lukas dan Yohanes sudah selayaknya Alkitab itu ditulis
dan dibukukan, dengan tujuan untuk menjaga dan memberi pemahaman
kepada generasi penerusnya. Awalnya belum terbersit untuk mencatat sebuah
kitab mengenai diri dan ajaran-Nya, karena belum dirasa perlu dan para saksi
mata utama masih hidup. Jadi Injil masih dalam bentuk verbal, lisan; dari
mulut ke mulut, oleh para Rasul.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para saksi mata dan para
rasul berkurang, dan semakin banyak ancaman pemberitaan ajaran-ajaran
sesat. Pada masa itu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang bercorak rohani,
yang sebenarnya bukan Firman Allah. Oleh karena itu gereja merasakan
pentingnya ditentukan kitab-kitab mana sajakah yang dapat diakui berotoritas
sebagai Firman Allah. Kemudian para rasul mulai menuliskan surat-suratnya
untuk para jemaat, lalu perlahan-lahan dibuat salinan surat-surat itu untuk
berbagai kepentingan gereja dan kemudian salinan itu dibacakan dalam
pertemuan gereja.
Ada alasan-alasan kuat untuk percaya pada daftar kitab-kitab
Perjanjian Baru pada masa itu. Gereja menerima kitab-kitab Perjanjian Baru
hampir sesegera setelah kitab-kitab itu ditulis. Penulis-penulisnya adalah
sahabat-sahabat Yesus atau pengikut-pengikut-Nya yang baru, orang-orang
yang Yesus percayakan kepadanya kepemimpinan gereja mula-mula.5 Setelah
diterima daftar-daftar kitab perjanjian baru tersebut, barulah dipilah-pilah
antara kitab yang kanon dan yang bukan kanon.
4 Alkitab, John 20:30,31
5 A.D. Ajijola, Mitos Ajaran Salib, (Jakarta: DeltaPrint,1990), h. 89.
4
Sebelum sampai pada proses pengkanonan, terlebih dahulu didahului
proses penulisan (composing) yang berkisar dari sekitar tahun 50 sampai
sekitar 100 Masehi. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengumpulan
(collecting) yang berkisar dari tahun 100 sampai 200 Masehi. Proses
pengumpulan ini adalah proses dimana orang-orang percaya mengumpulkan
surat-surat atau tulisan rasul-rasul untuk kebutuhan jemaat maupun kebutuhan
pribadi. Sesudah masa pengumpulan kemudian diikuti masa pembandingan
(comparing), yang berkisar dari tahun 200 sampai 300 Masehi. Proses
pembandingan ini ialah proses dimana tiap-tiap jemaat lokal berusaha
membanding-bandingkan hasil koleksi mereka. Sesudah itu kemudian diikuti
dengan masa pelengkapan (completing), yang berkisar dari tahun 300 sampai
400 Masehi. Masing-masing jemaat melengkapi hasil koleksi mereka. Surat
yang kurang di satu jemaat, dilengkapi oleh jemaat yang lain. Ini adalah
fenomena garis besar proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru.6
Kanon dalam sejarah perjanjian baru adalah sekumpulan kitab yang
dianggap oleh umat Kristen telah terinspirasi secara ilahi. Sebagian besar
kalangan sepakat bahwa kanon dalam perjanjian baru memuat 27 kitab
termasuk injil kanonik, kisah, surat para Rasul dan wahyu, yang sebagian
besarnya ditulis sejak abad pertama dan selesai sekitar tahun 150 M.
Di dalam agama Islam juga terdapat hal yang sama dengan agama
Kristen, ada sebuah proses yang disebut kodifikasi baik al-Quran maupun al-
Hadits. Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya.
Hal itu telah dilakukannya, sehingga ia tidak berbicara berdasarkan atas
6 “Kanon Alkitab” diakses pada 19 Juli 2019 dari http://www.sarapanpagi.org/kanon-
alkitab-vt142.html
5
kemauannya sendiri. Kemudian Allah mewajibkan umat manusia untuk
mengikuti dan mencontoh jejak Nabi Muhammad SAW (Sunnah Nabi). Maka
tidak diragukan lagi bahwa kitab-kitab hadis adalah “gudang pengamanan”
terhadap Sunnah Nabi yang merupakan sumber pokok kedua bagi hukum
Islam.7 Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada-Nya dijelaskannya
melalui perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah
SAW. Sehingga apa yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang
mereka dengar, lihat, dan saksikan merupakan pedoman. Rasulullah adalah
satu-satunya contoh bagi para Sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat
kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umat beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits
yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat manusia.
Setelah Nabi SAW wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
Sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah
Abu Bakar as Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin
Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali
bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). Keempat khalifah ini dalam sejarah
dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut
juga dengan zaman sahabat besar.8 Setelah itu kemudian kendali
kepemimpinan umat islam dilanjutkan oleh para Tabi’in, para Tabi’in juga
cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Hanya saja pada masa ini tidak
terlalu berat seperti seperti pada masa sahabat. Selain itu, pada akhir masa Al-
7 M.M. Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
2012), h. 3. 8 Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 103.
6
Khulafa Al-Rasyidin para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa
wilayah sehingga mempermudah Tabi’in untuk mempelajari hadis.
Berangkat dari keunikan diatas, penulis kemudian berinisiatif untuk
meneliti lebih lanjut dalam bentuk Skripsi yang berjudul Proses Kanonisasi
Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-Hadits.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak melebar dan bisa fokus pada satu persoalan,
penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti dengan pertimbangan
sebagai berikut: Pembahasannya terfokus masalah proses kanonisasi
Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-Hadits saja, karena inti tokoh sentral
Perjanjian Baru adalah Yesus, sedangkan di dalam Islam tokohnya Nabi
Muhammad saw.
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-
Hadits?
2. Adakah Persamaan dan perbedaan dalam proses kanonisasi Perjanjian
Baru dan kodifikasi al-Hadits?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan
untuk gelar Strata I, (S1) Sarjana Agama (S.Ag) dalam Jurusan Studi
7
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Secara Intelektual untuk mengembangkan pengetahuan terutama dalam
masalah Kanonisasi Alkitab khususnya Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-
Hadits.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
a. Diperkirakan skripsi ini bisa dimanfaatkan untuk para adek-adek
mahasiswa yang membutuhkan sumber-sumber bacaan tentang kajian
yang ingin diteliti.
b. Diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan untuk para pembaca
selanjutnya, dan untuk dikaji kembali di masa mendatang.
E. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis
berkeyakinan bahwa penelitian mengenai proses kanonisasi Perjanjian Baru
dan kodifikasi al-Hadits ini belum ada sarjana yang melakukan studi
komparasi baik dalam skripsi, tesis, disertasi maupun karya ilmiah lainnya.
Untuk menghindari terjadinya plagiarisme maka penulis menampilkan
beberapa karya ilmiah yang membahas masalah ini.
Pertama, Jurnal karya Yusron Jurusan Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
judul jurnal “Kodifikasi Hadis Sejak Masa Awal Islam Hingga Terbitnya
Kitab Al-Muwattha”, Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin
8
Makassar, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2017.
Kedua, Jurnal karya Munawir, dengan judul “Problematika Seputar
Kodifikasi al-Hadits” Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Adab
dan Humaniora, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, Juli-Desember,
Vol. 3, No. 2, 2018. Di dalam jurnal ini hanya membahas kodifiaksi al-Hadits,
sedangkan penulis melengkapi sedemikian rinci dan mengkomparasikan
dengan Alkitab, Penulis yakin belum ada sarjana manapun yang melakukan
studi komparasi ini, hanya penulis yang baru melakukannya.
Ketiga, Skripsi karya Fauzan Umam, dengan judul “Sejarah
Perkembangan Hadis Pada Masa Prakodifikasi Dan Kodifikasi” Universitas
Darussalam (UNIDA) Gontor, 2006. Di dalam Skripsi ini kurang lengkap
dalam menyinggung kodifikasi al-Hadits, penulis melakukan studi komparasi
dengan Alkitab dan baru saya yang melakukannya studi komparasi ini.
Keempat, Skripsi karya Ifa Nur Rofiqoh, dengan judul “THE DA
VINCI CODE DAN TRADISI GEREJA Sebuah Kritik terhadap Tradisi Gereja
dalam Novel Karya Dan Brown” Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan
Agama, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Di Dalam
Skripsi ini membahas sedikit tentang sejarah Kanonisasi Alkitab, penulis
berusaha untuk melengkapi bahasan tersebut.
Kelima, Skripsi karya Mohm Hishamuddin bin Abdul Aziz, dengan
judul “Nubuwah Muhammad dalam Injil Barnabas dan Injil Kanonik”
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2010. Di dalam skripsi ini membahas sedikit
mengenai kanon Alkitab secara umum, penulis berusaha menjabarkan dan
9
menambahkan karya tersebut agar sesuai dengan kehendak penulis.
F. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian
yang digunakan untuk menyelidiki, dan menjelaskan kualitas atau
keistimewaan yang penulis akan teliti. Proses pengumpulan data dilakukan
dengan penelitian kepustakaan (library research), suatu cara untuk
mengadakan penelitian berdasarkan naskah yang diterbitkan baik melalui
buku-buku, jurnal-jurnal maupun buku-buku yang berkaitan dengan tema
pembahasan penelitian, sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan yang
relevan dengan pokok rumusan masalah diatas.9
2. Sumber Data
Terdapat dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
data primer dan data sekunder yang sesuai dengan tema penelitian.
a. Sumber primer artinya data yang didapat dari sumber pertama, seperti
wawancara kepada seseorang atau pengamatan peneliti langsung pada
objek penelitian, atau segala sesuatu yang sudah diolah menjadi buku,
artikel, jurnal, ceramah, arsip, dokumen, majalah, dan surat kabar yang
tekait langsung dengan topik penelitian ini.
b. Sumber Sekunder artinya data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
orang lain yang sudah dioleh menjadi data-data, buku, koran, majalah dan
lain-lain,10
9 Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.
22. 10
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.
32.
10
G. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan historis. Pendekatan historis merupakan sebuah kajian ilmu yang
berkaitan dengan sejarah-sejarah, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam
peristiwa tersebut. Melalui pendekatan historis seseorang akan diajak melihat
dari segi pendukung suatu peristiwa sejarah sehingga mampu mengungkapkan
banyak dimensi dari peristiwa tersebut. Dalam menggunakan data historis
maka akan dapat menyajikan secara detail dari situasi sejarah tentang sebab
akibat dari suatu persoalan agama.11
Pendekatan Historis ini digunakan juga
untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, yang mana pendekatan ini tepat
sekali untuk melihat persamaan dan perbedaan kanonisasi Perjanjian Baru dan
kodifikasi al-Hadits.
H. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam Penulisan skripsi ini, Penulis
menggunakan buku Pedoman Akademik Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013.
I. Sistematika Penulisan
Untuk mendapat gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan
diuraikan dalam skripsi ini, perlu Penulis kemukakan susunan atau sistematika
11
Taufik Abdullah. Sejarah dan Masyarakat. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1987), h. 105.
11
penulisan. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi terdiri dari 5 (lima)
bab yang tiap-tiap bab tediri dari sub-bab yang membahas materi penulisan
skripsi ini.
Di dalam bab pertama, berisi Pendahuluan, dalam bab ini memaparkan
hal-hal mendasar yang harus ada dalam sebuah laporan penelitian meliputi;
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, pendekatan
penelitian, teknik penulisan serta sistematika penulisan
Di dalam bab kedua, membahas tentang kanonisasi Perjanjian Baru
yang meliputi: Apa itu Perjanjian Baru, Isi Kitab Perjanjian Baru, Proses
Kanonisasi Perjanjian Baru, Teori Sumber-Sumber, Dasar legalitas Perjanjian
Baru dan Pembagian Kitab dalam Perjanjian Baru sesuai Kanon.
Di dalam bab ketiga, membahas tentang kodifikasi al-Hadits yang
meliputi: Apa itu al-Hadits, Klasifikasi al-Hadits, dan Proses Kodifikasi al-
Hadits.
Di dalam bab keempat, membahas tentang Analisis Perbandingan
antara kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-Hadits yang meliputi:
Persamaan dan Perbedaan Kanonisasi Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-
Hadits, Proses kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-Hadits, Teori
Sumber dan Standar Legalisasi.
Terakhir bab kelima yaitu Penutup yang berisi: Kesimpulan dan Saran.
12
BAB II
KANONISASI PERJANJIAN BARU
A. Apa itu Perjanjian Baru
Sebelum membahas mengenai masalah kanonisasi Perjanjian Baru
alangkah baiknya mengetahui definisi Alkitab. Alkitab atau Bible berasal dari
bentuk latin kata Yunani yang berarti dokumen-dokumen, pada abad ke-2 SM,
kelompok-kelompok Yahudi telah menyebut kitab-kitab Alkitab sebagai "kitab-
kitab suci" ( scriptures) dan menyebutnya "kudus" atau "suci", atau ק ה שד כ
dalam bahasa Ibrani. Kata "Alkitab" berasal dari bahasa (Kitvei hakkodesh)יב
Arab, Al dan Kitab, yang secara harfiah berarti "kitab itu" atau "buku itu", di mana
kata Al merupakan kata sandang khas dalam bahasa Arab. Kalangan Kristen masa
kini yang berbahasa Inggris pada umumnya menyebut Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dari Alkitab Kristen dengan sebutan "The Holy Bible" (dalam
bahasa Yunani: τὰ βιβλία τὰ ἅγια, tà biblía tà ágia) atau "the Holy Scriptures" (η
Αγία Γραφή, e Agía Graphḗ).1
Untuk lebih jelasnya, Berikut adalah bagan dari Alkitab:
1 CHR. Barth, Theologia Perdjandjian Lama, (Djakarta : Badan Penerbit Kristen, 1990),
h. 9.
13
Alkitab adalah sekumpulan buku yang ditulis pada zaman berbeda dan
oleh banyak pengarang yang berbeda. Tidak satupun dari manuskrip asli masih
bertahan.2 Kitab suci yang diakui dan dianggap sah oleh gereja Roma Katolik
sebenarnya sama dengan kitab suci yang dipakai oleh Protestan, kecuali ada
perbedaan tambahan. Alkitab dipercayai merupakan wahyu atau firman Allah,
dalam arti penulisnya mendapat bimbingan dari Roh Kudus.3 Ini berarti bahwa
Alkitab berasal dari Allah karena inisiatornya adalah Allah. Allah yang
mengambil inisiatif untuk mendorong penulisnya. Hal tersebut tidak terkesan
bahwa Allah mendikte pengarangnya, dan bukan pula berarti bahwa isi Alkitab
diturunkan dari langit. Alkitab tidak mengatakan bahwa semua pernyataan Allah
2 Michael Keene, Alkitab : Sejarah, Proses Terbentuk dan Pengaruhnya, (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2001), h. 66. 3 W.S. LaSor, D.A, Hubbard, F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1 taurat dan
sejarahnya, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), h. 39.
14
dituliskan. Sebaliknya, kitab-kitab injil dengan jelas menunjukan bahwa Yesus
Kristus melakukan dan mengatakan banyak hal yang tercatat, semuanya itu
merupakan bagian dari pernyataan Allah kepada generasi yang akan datang dan
dalam terang rencana keselamatan-Nya yang sedang berlangsung.4
Sejarah mengenai Alkitab sangat panjang dan kompleks. Sepanjang
sejarah Kristen, banyak metode dipakai untuk menafsirkan firman Allah
tersebut. Sebab, penafsiran Alkitab merupakan ikatan pokok antara kehidupan
dan pikiran gereja yang berlangsung dan dokumen-dokumen yang berisi tradisi-
tradisi yang paling awal. Pada abad-abad terdahulu sering difikirkan perlunya
untuk membenarkan setiap doktrin gereja dengan pernyataan-pernyataan Kitab
Suci baik yang tersurat maupun tersirat. Namun demikian, Kitab Suci
disampaikan pada kesempatan tertentu untuk memenuhi kebutuhan tertentu.5
Di dalam agama Kristen ada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.6
Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut
Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan lainnya tidak. Kadang kala, Alkitab
disebut sebagai Firman Allah, hal itu memang benar, namun harus dipahami
bahwa Firman Allah mempunyai arti yang lebih luas dibanding dengan Alkitab.
Firman Allah sering kali diidentikan dengan tiga bentuk: Yesus Kristus, Alkitab,
dan Khotbah. Menurut Karl Barth, Alkitab dan Firman Allah dapat diidentikkan
hanya dibawah kondisi tertentu. Bagi Barth, dalil “Alkitab adalah Firman Allah”
tidak dapat diputar balikkan menjadi pernyataan: Firman Allah adalah Alkitab.
Sesuai ketritunggalan Allah, Barth membedakan dengan “tiga bentuk” Firman
4 LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1 taurat dan sejarahnya, h. 39.
5 Robert M. Grant dan David Tracy, A short history of the interpretation of the
Bible, terjemahan oleh Agustinus Maleakhi (Jakarta, Gunung Mulia, 2000), h. 3. 6 H.M Arsyad Thalib Lubis, Perbandingan Agama Kristen dan Islam, (Medan: Firma
Islamiyah, 1394-1974), h. 21.
15
Allah: Firman Allah yang dinyatakan, Firman Allah yang tertulis, dan Firman
Allah yang disaksikan.
Dalam sejarah Perjanjian Baru menyebutkan bahwa Perjanjian Baru
adalah sebuah antologi yaitu kumpulan berbagai koleksi karya-karya Kristiani
yang ditulis menggunakan bahasa Yunani. Pada abad pertama bahasa Yunani
sangat umum digunakan di waktu yang berbeda-beda oleh berbagai penulis yang
merupakan murid-murid Yahudi pertama dari Yesus. Perjanjian baru meliputi 27
kitab, dimana teks aslinya dituliskan pada abad pertama dan kemungkinan abad
kedua era Kristen. Secara umum juga dipercaya tertulis dalam bahasa Yunani
Koine yaitu bahasa umum di Mediterania Timur pada masa penaklukan Alexander
Agung (335 – 323 SM) hingga evolusi bangsa Yunani Bizantium (sekitar 600 M).
Semua karya-karya yang tergabung dalam perjanjian baru tampaknya dituliskan
pada masa paling akhir yaitu sekitar 150 M, tidak lebih dari 70 M atau 80 M.
Koleksi-koleksi teks terkait adalah surat-surat dari Rasul Paulus yang telah
ada pada awal abad ke 2, dan injil kanonik dari Matius, Markus, Lukas dan
Yohanes yang ditegaskan lagi oleh Ireneus pada akhir abad ke-2 sebagai keempat
injil. Secara bertahap koleksi tersebut bergabung dengan karya-karya tunggal dan
koleksi lain dalam berbagai kombinasi yang berbeda hingga membentuk berbagai
kanon Kitab Suci Kristen. Seiring waktu, ada beberapa kitab yang menjadi
perdebatan yang pada awalnya tidak dianggap sebagai kitab suci seperti Kitab
Wahyu dan beberapa surat-surat umum juga dimasukkan ke dalam kanon tersebut.
Sedangkan beberapa karya lama yang pada awalnya dianggap sebagai kitab suci
justru tidak dimasukkan dalam kanon sejarah perjanjian baru.
16
Ketika orang-orang Kristen berhadapan dengan bermacam nasihat sesat,
mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang
sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak. Untuk mengetahui tulisan-tulisan
yang diilhami Allah maka Alkitab dibukukan atau yang dikenal dengan sebutan
Kanonisasi. Dalam hal kanon, gereja menghayati petunjuk Ireneus bahwa gereja
harus berpihak pada tradisi yang asli dan mengesampingkan tradisi sekunder.
Dalam masalah ini prinsip Reformasi, apa yang kemudian disebut Sola Scriptura,
sudah mulai berkembang.7
B. Isi Kitab Perjanjian Baru
Sebagaimana kitab-kitab pada sejarah Perjanjian Lama, kitab-kitab pada
Perjanjian Baru juga bukan merupakan hasil karya dari satu orang. Kitab dalam
Perjanjian Baru adalah hasil karya dari setidaknya sejumlah delapan orang dan 27
buah karangan yang berlainan sifatnya.8 Biasanya keseluruhan itu terbagi atas
empat golongan besar:
B.1 Injil
Injil berarti „Kabar Baik‟ berisi empat narasi mengenai kehidupan, ajaran,
kematian, dan juga tentang kebangkitan Yesus. Ada orang yang menyebut
bagian ini sebagai kitab-kitab sejarah, akan tetapi nama itu tidak tepat, karena
maksud pengarang-pengarang bukanlah menulis riwayat hidup Yesus dari
Nazaret atau sejarah gereja mula-mula, melainkan untuk memberi kesaksian.
Injil dibagi menjadi empat yaitu:
7 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 44.
8 M.E.Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1985), h. 35.
17
a. Injil Matius
Maksud dan tujuan Injil Matius ialah untuk meyakinkan dengan
sistematis dan dengan penuh hormat bahwa Yesuslah Messias yang sudah
dijanjikan oleh Allah di dalam perjanjian Lama. Di dalam Dia itu Kerajaan
Allah telah datang dan nanti akan berkembang sampai kepada kesudahan
alam.
Barang siapa menerima Dia, ia menjadi anak Kerajaan Sorga,terang
dunia, yang kebenarannya melebihi kebenaran yang sebelumnya, dan injil
matius ini ditulis dalam bahasa Yahudi.9
b. Injil Markus
Maksud dari Injil Markus ialah untuk memberi kabar baik tentang
kemenangan Allah atas segala kuasa jahat. Kemenangan ini diwujudkan di
dalam dan oleh Yesus Kristus dan berlaku untuk seluruh dunia. Markus
terutama menunjukan karangannya kepada yang bukan Yahudi.
c. Injil Lukas
Maksud Lukas yaitu untuk memberi kesaksianm yang berdasarkan
kepercayaan, tentang pekerjaan Yesus, yakni bahwa di dalam Dia, menurut
rencana Allah, keselamatan itu disuguhkan sepenuhnya kepada orang yang
bukan Yahudi, orang yang hina-dina, orang berdosa.10
d. Injil Yohanes
Maksud Yohanes bukanlah untuk mengulang hal-hal yang sudah
diketahui melainkan, berdasarkan pengetahuan itu, menembus sampai kepada
intisari kabar suka cita: Allah mengutus AnakNya kedalam dunia, untuk
9 Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 46.
10 Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 58.
18
membangkitkan kepercayaan kepadaNya memperoleh kehidupan yang kekal:
hidup dalam persekutuan abadi dengan Bapa dan Anak (Yoh 14:23). Siapa
yang tidak percaya kepadaNya dengan sendiriannya akan dihukum. Dengan
kata-kata injil ini “Semua yang tercantum di sini telah tercatat, supaya kami
percaya, bahwa Yesuslah Messias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam namaNya” (Yoh 20:31).
B.2 Kisah Para Rasul
Bagian ini berisi catatan sejarah dari kenaikan Yesus, kisah pengabaran
Injil di Yerusalem, Yudea dan Samaria, sampai kepada kisah mengenai
perjalanan misi Paulus ke Roma. Pada dasarnya, bagian ini memuat riwayat
sejarah awal gereja. Berisi mengenai pelayanan para Rasul dalam gereja
perdana dan ada kemungkinan ditulis oleh penulis yang sama seperti pada Injil
Lukas.11
B.3 Surat-Surat Paulus
1. Roma: Telaah yang dilakukan secara sistematis akan pembenaran,
pengkudusan dan pemuliaan, rencana Tuhan atas orang Yahudi dan non
Yahudi.
2. 1 Korintus: Surat ini menyoroti terjadinya perpecahan dalam jemaat dan
teguran kepada pelanggaran susila, masalah pencarian keadilan pada
orang-orang yang tidak beriman dan juga mengenai kebiasaan-kebiasaan
yang salah yang dilakukan pada Perjamuan Kudus. Selain itu juga berisi
mengenai penyembahan berhala, pernikahan dan kebangkitan.
3. 2 Korintus: Berisi pembelaan dari Paulus akan status kerasulannya.
11
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 71.
19
4. Galatia: Isinya berupa pembuktian Paulus akan kesalahan dari legalisme
yang menganggap hukum Taurat adalah mutlak dalam memperoleh
keselamatan, juga telaah mengenai tempat yang layak bagi anugrah yang
didapatkan dalam hidup orang-orang Kristen.
5. Efesus: Membahas mengenai posisi orang yang percaya di dalam Kristus
dan informasi mengenai peperangan rohani yang terjadi.
6. Filipi: Kisah Paulus tentang pemenjaraannya, kasih sayang kepada
jemaatnya di Filipi. Bagaimana ia mendesak mereka agar menjadi orang
saleh dan memperingatkan bahaya legalisme kepada jemaatnya.
7. Kolose: Fokus Paulus kepada keutamaan Yesus Kristus dalam hal
penciptaan, penebusan dan kekudusanNya.
8. 1 Tesalonika: Berisi pelayanan Paulus kepada jemaat Tesalonika,
mengenai kesucian dan kembalinya Kristus untuk yang kedua kali.
9. 2 Tesalonika: Berisi koreksi-koreksi mengenai pendapat yang salah
tentang Hari Tuhan.
10. 1 Timotius: Instruksi kepada Timotius untuk cara kepemimpinan yang
benar dan cara untuk menghadapi ajaran sesat, mengenai peranan wanita
dalam gereja, doa dan syarat bagi penilik jemaat serta diaken.
11. 2 Timotius: Berisi surat untuk menguatkan diri Timotius.
12. Titus: Paulus dulu meninggalkan Titus di Kreta untuk membimbing
gereja-gereja disana, juga berisi syarat-syarat menjadi penatua gereja dan
penilik jemaat.
20
13. Filemon: Berisi sepucuk surat kepada seorang pemilik budak mengenai
budaknya yang melarikan diri. Surat ini berisi permohonan ampun Paulus
kepada Filemon agar mengampuni Onesimus, sang budak.
B.4 Surat-Surat Umum/ Surat-Surat Am
1. Ibrani: Berisi sepucuk surat kepada jemaat dari Kristen Yahudi yang
sedang berada di ambang kembali kepada Yudaisme. Isi surat ini
menggambarkan keunggulan Kristus dibandingkan dengan Perjanjian
Lama. Tidak diketahui juga siapa penulisnya tetapi beberapa ahli menilai
gaya tulisannya mirip dengan Paulus, namun bukti-buktinya kurang
mendukung.12
2. Yakobus: Yaitu ajaran tentang hubungan antara iman dengan perbuatan.
3. 1 Petrus: Isi surat dalam sejarah perjanjian baru ini untuk memperkuat
siapapun penerimanya agar tetap rendah hati dalam penderitaan mereka.
4. 2 Petrus: Membicarakan mengenai batin dari tiap-tiap pribadi, adanya
peringatan mengenai ajaran palsu dan juga menyinggung mengenai Hari
Tuhan.
5. 1 Yohanes: Isi suratnya berupa peringatan kepada jemaat terhadap ajaran-
ajaran sesat yang ada pada permulaan sejarah gereja.
6. 2 Yohanes: Berisi puji-pujian untuk mereka yang berjalan di bawah
naungan Kristus dan peringatan untuk tetap berada dalam kasih Tuhan.
7. 3 Yohanes: Ungkapan rasa terima kasih Yohanes kepada Gayus atas
kebaikannya pada jemaat dan juga teguran kepada Diotrefes.
12
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 146.
21
8. Yudas: Mengungkapkan para guru palsu dan ibarat-ibarat dalam Perjanjian
Lama untuk melukiskan penghakiman pada guru-guru palsu tersebut, dan
nasihat-nasihat untuk meneguhkan iman.
B.5 Kitab Wahyu
Bagian ini merupakan kitab eskatologi atau apokaliptis, yaitu bagian dari
teologi dan filsafat yang berhubungan dengan peristiwa pada masa depan
dalam sejarah dunia atau nasib akhir seluruh umat manusia (kiamat) yang
dikirimkan kepada jemaat-jemaat yang dianiaya oleh Pemerintah Roma dan
berisi anjuran agar mereka dapat tetap setia dalam iman mereka.
Kata eskatologis dibentuk berdasarkan kata Yunani: taeskhata: hal ihwal
yang akhir; khusunya dalam arti theologis: akhir zaman. Kata apokaliptis pun
diambil dari bahasa yunani: apokalyptein artinya membuka tudung,
menyingkapkan, khususnya penyataan tentang akhir zaman itu.13
C. Proses Penulisan
Alkitab ditulis di atas bahan yang berbeda beda. Alkitab yang ada saat ini
usianya sudah berabad-abad. Bahan yang digunakan untuk menulis pada saat
itupun masih kuno.14
Pertama, tanah liat. Tanah liat adalah material paling umum yang
digunakan manusia untuk menulis pada zaman dahulu. Sebuah jarum (alat tulis
berbentuk segitiga) digunakan untuk menuliskan huruf-huruf di tanah liat yang
lunak.
13
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 177. 14
Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa,
(Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2013), h. 31.
22
Kedua, batu. Dua loh batu digunakan untuk menuliskan sepuluh Hukum
Allah. Kitab Keluaran 24:12 mengatakan, "Tuhan berfirman kepada Musa:
Naiklah menghadap Aku, ke atas gunung, dan tinggalah di sana, maka Aku akan
memberikan kepadamu loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah
Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka.
Ketiga, papirus. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menjelaskan panjang lebar
tentang papirus. Dalam buku itu dikatakan bahwa papirus mengacu pada tiga hal,
yaitu: Tumbuh-tumbuhan air yang besar dari fam ili gelagah. Alat tulis yang
terbuat dari sumsum yang terkandung di dalamnya. Naskah tulisan tangan
(manuskrip) yang menggunakan bahan ini.15
Keempat, Perkamen, dan Vellum. Peerkamen adalah alat tulis yang lebih
awet daripada papirus, semacam kulit binatang yang dibersihkan dan digunakan
sebagai bahan untuk menulis di Palestina pada zaman Roma, seperti yang
digunakan persekutuan Qumran.
Kelima, Logam. Allah menyuruh Musa memberi tahu bangsa Israel, “Juga
haruslah engkau membuat patam dari emas murni dan pada patam itu
kauukirkanlah, diukirkan seperti meterai: Kudus bagi TUHAN” (Kel. 28:36).
Ayub mengeluh, “Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, terpahat
dengan besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!”
(Ayb. 19:23-24). Para penulis Alkitab tidak hanya menggunakan emas tetapi
unsur-unsur yang lain yang tersedia bagi mereka.
15
Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, h. 31.
23
C.1 Kanonisasi Perjanjian Baru
Setelah Tuhan Yesus naik ke surga, belum sebuah kitab pun ditulis
mengenai diri dan ajaran-Nya, karena belum dirasa perlu para dan saksi mata
utama masih hidup. Jadi Injil masih dalam bentuk verbal, lisan; dari mulut ke
mulut, oleh para rasul. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para saksi mata
dan para rasul berkurang, dan semakin banyak ancaman pemberitaan ajaran-ajaran
sesat, oleh karena itu gereja merasakan pentingnya ditentukan kitab-kitab mana
sajakah yang dapat diakui berotoritas sebagai Firman Allah dan kemudian
dikanonisaikan. Kemudian para rasul mulai menuliskan surat-suratnya untuk para
jemaat, lalu perlahan-lahan dibuat salinan surat-surat itu untuk berbagai gereja.
Proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru sedikit berbeda dari
proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama, namun tetap memiliki prinsip
dasarnya. Sebagaimana proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama tidak melalui
sebuah konferensi,16
demikian juga dengan proses pengkanonan kitab Perjanjian
Baru. Keduanya sama-sama melalui proses waktu yang panjang. Kitab-kitab yang
terkandung di dalam kedua kelompok kitab itu diakui satu persatu. Misalnya kitab
Musa yang terdiri dari kitab Kejadian sampai Ulangan itu adalah yang pertama
diakui sebagai Taurat (hukum) yang diberikan Allah kepada bangsa Israel.
Demikian juga kitab-kitab Perjanjian Baru diakui oleh jemaat Kristen satu
persatu.17
Sebelum sampai pada proses pengkanonan, terlebih dahulu didahului
proses penulisan (composing) yang berkisar dari sekitar tahun 50 sampai sekitar
100 Masehi. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengumpulan (collecting) yang
16
John Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), h. 185. 17
Haskin, Pengantar Perjanjian Baru, h. 345.
24
berkisar dari tahun 100 sampai 200 Masehi. Proses pengumpulan ini adalah proses
dimana orang-orang percaya mengumpulkan surat-surat atau tulisan rasul-rasul
untuk kebutuhan jemaat maupun kebutuhan pribadi. Sesudah masa pengumpulan
kemudian diikuti masa pembandingan (comparing), yang berkisar dari tahun 200
sampai 300 Masehi. Proses pembandingan ini ialah proses dimana tiap-tiap jemaat
lokal berusaha membanding-bandingkan hasil koleksi mereka. Sesudah itu
kemudian diikuti dengan masa pelengkapan (completing), yang berkisar dari
tahun 300 sampai 400 Masehi. Masing-masing jemaat melengkapi hasil koleksi
mereka. Surat yang kurang di satu jemaat, dilengkapi oleh jemaat yang lain. Ini
adalah fenomena garis besar proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru.18
Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200 M.19
Pada masa itu
mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang semakin resmi. Seratus tahun
pertama gereja Kristen kanonnya hanya terdiri dari Perjanjian Lama. Namun
sebelum tahun 100 M, sebagian dari kitab-kitab Perjanjian Baru sudah ditulis.
Hingga abad ke-2 M, barulah kitab-kitab Injil dan tulisan Paulus diangkat
kedudukannya sebagai kanon. Kita tahu sebelumnya bahwa Perjanjian Lama pada
mulanya adalah Kitab Suci yang hanya milik orang-orang Yahudi, ketika gereja
awal Kristen mengakui Perjanjian Lama sebagai kanon maka mulailah gereja
menghadapi tugas bagaimana menafsirkan Perjanjian Lama kalau dibandingkan
dengan Yudaisme.20
Misalnya pada tahun 190 M di Roma muncul sebuah daftar
yang dinamakan Kanon Muratori. Kanon Muratori yaitu kanon tertua yang
18
“Kanon Alkitab” diakses pada 19 Juli 2019 dari http://www.sarapanpagi.org/kanon-
alkitab-vt142.html 19
Van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009), h. 40-42. 20
Bernhard Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai Masa
Kini, Penerjemah A. A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 31 - 32
25
disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari 100 tahun
VIII. Nama Muratori yaitu nama seorang pustakawan Milano, L.A. Muratori yang
menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740.21
Kanon ini
ada isinya daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah karangan
yang diasumsikan palsu. Daftar ini meliputi beberapa besar Perjanjian Baru
seperti yang kita ketahui masa sekarang, dan menambahkan Wahyu Petrus dan
Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah mencerai-
beraikan satu buku dan membiarkan lainnya, namun semuanya itu tetap mirip.
Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat
disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan
yang diiihami.
Pada tahun yang sama, ada orang-orang yang menulis kitab-kitab tentang
Yesus dan surat-surat ke gereja-gereja, yang tidak termasuk kanon. Lambat laun
gereja-gereja mulai jelas mengenai kitab-kitab mana yang diilhami oleh Roh
Kudus. Pada abad ke-2 M kanon Perjanjian Baru telah lengkap.22
Hal ini kita bisa
ketahui dari:
1. The Old Syriac terjemahan Perjanjian Baru pada abad kedua dalam bahasa
Syria. Semua kitab ada, kecuali: 2 Petrus, 2 Yohanes, 3 Yohanes, Yudas, dan
Wahyu.
2. Justin Martyr pada tahun 140 M. Semua kitab Perjanjian Baru ada, kecuali:
Filipi dan 1 Timotius.
3. Polycarp pada tahun 150 M pernah mengutip: Matius, Yohanes, sepuluh surat
Paulus, 1 Petrus, 1 Yohanes dan 2 Yohanes.
21
C. Groenen, "Pengantar ke dalam Perjanjian Baru".(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.
76. 22
Haskin, Pengantar Perjanjian Baru, h. 345.
26
4. Irenaeus (murid Polycarp) pada tahun 170 M. Semua kitab Perjanjian Baru
ada, kecuali: Filemon, Yakobus, 2 Petrus, dan 3 Yohanes.23
5. The Muration Canon pada tahun 170 M. Semua Perjanjian Baru ada, kecuali:
Ibrani, Yakobus, 1 Petrus dan 2 Petrus (sama dengan The Old Latin).
6. The Old Latin sebuah terjemahan sebelum tahun 200 M. Terkenal sebagai
Alkitab dari gereja Barat. Semua Perjanjian Baru ada, kecuali Ibrani,
Yakobus, 1 Petrus dan 2 Petrus.
7. Codex Barococcio pada tahun 206 M. Semua kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru ada, kecuali: Ester dan Wahyu.24
8. Origen pada sekitar tahun 230 M menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Baru,
sebagai berikut: ke-4 Injil, Kisah Para Rasul, ke-13 surat-surat Paulus, 1
Petrus, 1 Yohanes dan Wahyu.
9. Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan
berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup lapang.25
Di
dalamnya dia menyebut kedua puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal
dengan nama Perjanjian Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari
kekeliruan, Athanasius menyalakan bahwa tiada buku lain bisa diasumsikan
sebagai Injil Kristen, meskipun dia longgarkan beberapa, seperti Didache,
yang menurutnya, akan berjasa untuk ibadah pribadi. Kanon yang dihasilkan
Athanasius tidak menempatkan masalah.26
10. Jerome pada tahun 382 M, Ruffinua pada tahun 390 M dan Augustine pada
tahun 394 M mencatat kanon Perjanjian Baru sebanyak 27 kitab.
23
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 196. 24
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 204. 25
Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, h. 199. 26
Haskin, Pengantar Perjanjian Baru, h. 347.
27
11. Akhirnya pada tahun 397 M, Konsili gereja Kartago mengesahkan daftar
kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menempatkan
kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun
pada kesudahannya semua pihak menerima Kitab Wahyu. Pada kesudahannya,
daftar kanon yang dihasilkan Athanasius mendapat pengakuan umum, dan
sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari
kebijakannya.
12. Eusebius di awal abad ke 4 menyebut semua kitab Perjanjian Baru.
Penetapan kanon yang berwibawa adalah pertahanan utama Gereja
melawan pandangan-pandangan kaum bid’ah yang sering kali persuasif. Kriteria
untuk menetapkan yang mana kitab-kitab itu masuk dalam kanon adalah : Ditulis
oleh seorang rasul, Tahan ujinya kesaksian kitab-kitab itu tentang Yesus Kristus,
Persetujuan luas di antara Gereja-Gereja tentang nilai rohani kitab-kitab itu.
Mengenai kitab-kitab mana yang layak dan bisa diberi isi ke dalam kanon
Perjanjian Baru mengonsumsi waktu yang sangat lama,27
akan tetapi ada beberapa
hal yang dihasilkan menjadi landasan kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu: Tidak
jauh dengan tradisi kerasulan, Diterima secara umum di kalangan jemaat
(katolisitas), Bergantung pada ortodoksi.
Buku-buku yang paling penting seperti empat Injil dan surat-surat Paulus
sejak akhir abad ke-2 dan seterusnya telah dipandang sebagai kanon Perjanjian
Baru, baik di Timur maupun di Barat.28
Dan sejak abad ke-5 M hampir setiap
27
Lubis, Perbandingan Agama Kristen dan Islam, h. 312. 28
Kadang-kadang dikatakan (khususnya oleh Harnack), bahwa formasi atau pembentukan
kanon Perjanjian baru secara menentukan dipengaruhi oleh Marcion. Marcion yang mempunyai
ide-ide aliran gnostik tertentu, menciptakan kanonnya sendiri tidak lama sebelum pertengahan
abad ke-2. Ia membuang Perjanjian lama, demikian pula banyak tulisan lainyang kemudia oleh
gereja dimasukkan dalam kanon Perjanjian Baru. Kanonnya yang mencakup Injil Lukas dan
28
orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai
suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab.29
Proses pengkanonan berkembang secara alamiah dari saling
membandingkan hasil koleksi di kalangan jemaat-jemaat lokal sampai akhirnya
secara universal mengakui dan menerima ke-27 kitab Perjanjian Baru sebagai
kitab-kitab yang diilhamkan Allah.
C.2 Teori sumber-sumber
a. Teori dua sumber
Salah satu diantara teori-teori yang paling terkenal didalam penelitian
Penjanjian Baru, ada teori yang mengatakan bahwa Injil Markus ditulis lebih
dahulu, dan teori ini beranggapan bahwa Matius dan Lukas mendasarkan
penulisan Injilnya pada Injil Markus dan suatu sumber lainnya yang disebut
"Q" dari bahasa jerman quelle , artinya sumber. Teori ini mengajarakan bahwa
Kitab Matius dan Lukas mengambil bahan yang sama dari Markus, dan kitab
Markus merupakan Injil yang ditulis paling awal. Ide mengenai suatu sumber
yang disebut "Q" ini sebenarnya adalah suatu perkembangan yang relatif baru
dalam penelitian sebagian dari peneliti Perjanjian Baru.30
Banyak orang beranggapan bahwa persesuaian-persesuaian yang luas
diantara ketiga Injil ini menunjukkan semacam kerja sama penulisan. Selama
abad yang terakhir para sarjana Perjanjian Baru telah berusaha untuk
sepuluh surat pertama Paulus, merupakan kanon Perjanjian Baru yang pertama. Baca Lohse,
Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 35 29
Richard W. Haskin. “Kanonisasi Perjanjian Baru” diakses pada 19 Juli 2019 dari
http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131 30
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2006), h. 29.
29
menjelaskan gejala ini. Salah satu faktor yang menyulitkan ialah bahwa
banyak kali ini satu Injil memberi gambaran yang berbeda dari satu atau kedua
Injil lainnya.
Usaha pencarian akan suatu cara penyelesaian mengenai bagaimana
persamaan dan ketidaksamaan ini sampai terjadi dikenal sebagai " Problema
Sinoptik", sedangkan bidang studi yang menekuni cara-cara penyelesaian
problema ini disebut dengan "Kritisisme Sumber".
Gereja mula-mula tidak terlalu menaruh perhatian akan masalah ini.
Mereka berpendapat bahwa penulis-penulis Injil mencatat informasi mereka
dari ingatan pribadi dan dari laporan-laporan orang pertama. Pendapat ini
menentang perlunya saling menyalin atau perlunya suatu sumber tertulis yang
umum.
Menurut kesaksian EUSEBIUS, seorang penulis di zaman Gereja mula-
mula, Injil yang pertama-tama ditulis adalah Injil Matius. Eusebius
menceritakan bahwa Matius menuliskan Injilnya menjelang keberangkatannya
dari negeri Palestina. Kisahnya itu sebagian besar didasarkan oleh
pengalamannya sendiri sebagai seorang murid Yesus Kristus.31
CLEMENTS dari Aleksandria berpendapat bahwa Markus mendasarkan
Injilnya atas kenang-kenangan Petrus, sedangkan Lukas memberi kesaksian
bahwa karyanya diambil dari banyak sumber (Lukas 1:1-4).
Meskipun hampir semua sarjana pada abad permulaan masehi setuju
bahwa Injil Matius lah yang ditulis pertama, namun pada abad ke 19 ada
hipotesis teori yang mengatakan bahwa Markuslah yang pertama kali ditulis.
31
Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, h. 198
30
Dewasa ini kebanyakan buku yang menulis "problema sinoptik" menyatakan
teori ini. Maka timbullah keperluan akan teori ini kebanyakan buku yang
menulis "problema sinoptik" menyatakan teori ini. Maka timbullah keperluan
akan teori "dua sumber" (Markus dan Q) untuk menjelaskan bahan-bahan
yang dijumpai didalam Matius dan Lukas, tetapi tidak ada dalam Markus.
Ada alasan yang layak untuk mempertanyakan TEORI Q ini bahwa Matius
dan Lukas menggunakan "Q" selain Injil Markus sebagai sumber materinya,
sebagai berikut :
1. Bahwa dokumen yang bernama "Q" itu tidak pernah ditemukan.
2. Tidak ada persetujuan mengenai keterangan-keterangan apa yang terdapat
dalam dokumen "Q".
3. Tidak ada ksaksian historis mengenai adanya suatu dokumen macam "Q"
ini dari siapapun, baik ahli sejarah atau penulis.
4. Seperti yang telah dijelaskan, fakta-fakta sejarah tidak menunjukkan
Markus sebagai Injil yang pertama-tama ditulis, suatu hal yang penting
demi teori ini.
Dengan demikian teori sumber "Q" adalah hypothesis saja diantara
sebagian peneliti-peneliti Alkitab. Dengan pandangan mereka yang
mendasarkan karena Injil Markus isinya mirip dengan Matius dan Lukas,
maka diperkirakan mereka mengambil dari sumber yang sama.32
Namun
Sumber "Q" sendiri tak pernah ada ditemukan.
32
Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis, h. 198.
31
b. Teori empat sumber
Streeter mengusulkan empat sumber asli yang berdiri selain bentuk tulisan
akhir dari injil-injil itu: Markus di Roma kira-kira tahun 60 masehi. “Q” di
Antiokhia kira-kira tahun 50 Masehi, “M” (kata-kata pribadi sumber dari
Matius) di Yerusalem kira-kira tahun 65 masehi, dan “L”(sumber pribadi
Lukas) di Kaisarea kira-kira tahun 60 masehi.
Teori ini menyebutkan bahwa Markus merupakan Injil pertama yang
ditulis dan bahwa Matius dan Lukas menggunakan baik Markus dan Q secara
independen, lazimnya disebut “hipotesis dua sumber”. Namun disamping itu
mereka juga memberi tempat bahwa ada sumber-sumber khusus yang lain
yang digunakan oleh Matius dan Lukas, yaitu bahan-bahan tradisi yang hanya
dikenal dan dipakai oleh salah satu dari mereka.33
Bahan-bahan khas ini lazimnya diberi tanda “L” dan “M”. “M” merupakan
“kata-kata” pribadi sumber dari Matius yang ditulis sekitar tahun 65 Masehi
dan “L” sumber pribadi Lukas ditulis di Kaisarea sekitar tahun 60 Masehi,
sedangkan “Q” ditulis di Antiokhia sekitar tahun 50 Masehi dan Markus
ditulis di Roma sekitar tahun 60 Masehi.
D. Standar Legalitas
Standar legalitas yang pertama yaitu Kitab Apokrif memuat campuran
antara legenda dan sejarah, serta fakta dan khayalan yang janggal. Terkadang doa
dan pernyataan yang tertulis di dalamanya menyatakan pengalaman rohani
tertinggi. Selain intu kitab apokrif juga tidak diketahui asal-usulnya, dilupakan
33
Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis, h. 200.
32
dan dianggap palsu. Kitab Apokrif muncul pada sekitar waktu tenggang antara
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu setelah zaman Nabi Maleakhi sampai
menjelang kemunculan Yohanes Pembaptis.34
Kitabi ini diperkirakan ditulis pada
200 SM-100 M. penulisnya pun tidak dapat dipastikan atau dilacak. Kitab apokrif
mencakup dua kategori, yaitu:
a. Kitab yang ditulis Yahudi di Palestina dalam bahasa Ibrani dan Aramik.
Sebagian besar berisi tentang catatan sejarah dan legenda, seperti Kitab 1
Makabe, 2 Makabe dan Yudit.
b. Kitab yang ditulis oleh orang Yahudi yang sudah dipengaruhi bahasa
Yunani, kitab ini merupakan karya sastra yang bernilai. Isi kitab ini
banyak dicapuri filsafat dan ajaran Yunani.
Kitab yang disebut kitab Apokrifa (oleh gereja Protestan) malah dianggap dan
disebut sebagai kitab deutero-kanonika (kanon kedua) bagi gereja katolik.
Sedangkan menurut gereja Katolik Roma, kitab apokrif adalah kitab
pseudepigrafa, yang menurut gereja Protestan, sebagian besar kitab ini munvul
dalam alam Yahudi pada sekitar Perjanjian Lama.
Standar legalitas yang kedua yaitu istilah kanon. Dalam istilah kekristenan, hal
ini berarti peraturan tertulis mengenai iman, yaitu daftar kitab-kitab asli dan
berkuasa, yang menjadi firman Tuhan yang telah diilhamkan.
Istilah kanon menunjuk pada standar yang digunakan untuk mengukur kitab
manakah yang ditentukan sebagai kitab yang diilhamkan dan yang tidak. Hal yang
penting untuk dicatat adalah konsili agama tidak pernah berkuasa untuk membuat
34
Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, h. 143.
33
kitab diilhamkan. Mereka hanya sekedar mengenali kitab manakah yang
diilhamkan Allah saat kitab-kitab ditulis.35
Woodrow Kroll menyebutkan lima kriteria yang dapat digunakan dalam
memutuskan hal-hal yang seharusnya dimasukkan dalam Alkitab yaitu:
penulisannya, penerimaan gereja setempat, pengakuan para tua-tua gereja,
topiknya, pendidikan pribadi.
35
Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, h. 191.
34
BAB III
KODIFIKASI AL-HADITS
A. Apa itu al-Hadits
Secara etimologi, sunnah atau al-Hadits berarti tata cara. Menurut pengarang
kitab Lisan al-„Arab mengutip pendapat Syammar, Sunnah pada mulanya berarti
cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh
orang-orang belakangan. Sejarah perkembangan studi hadis dari fase ke fase menarik
untuk diperbincangkan, mengingat peran hadis sangat begitu sentral bagi umat Islam,
sebagaimana peranya sebagai sumber primer ajaran Islam, bahkan pelengkap
keberadaan al-Quran. Sehingga keberadaan hadis menjadi sangat urgen sekali untuk
mengungkap ajaran al-Quran yang masih bersifat global.1 Sebagaimana kita ketahui,
pada awal perkembangannya, studi hadis mengalami perkembangan yang sangat
begitu pesat, sehingga studi hadis menjadi bahasan populer kala itu, sebab di masa-
masa sebelumnya para sahabat lebih fokus dalam mengkaji al-Quran. Kajian hadis
memasuki puncak kepopuleranya ketika memasuki masa tadwin pada abad ke II
hijriah yang dikomandoi oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz,2 Khalifah Umar bin
Abdul Aziz memang dikenal berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya, karena
Umar bin Abdul Aziz merupakan pencetus kodifikasi hadis,3 sehingga ketika itu,
1 Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad
XVII hingga Sekarang)”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, (Vol. 05, No. 01, Januari 2004), hlm.
116. 2 Miftakhul Asror, Imam Musbikhin, Membedah Hadis Nabi SAW (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar: 2015), h. 56. 3 Saifuddin Zuhri Qudsi, “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”, ESENSIA,
( Vol. XIV No. 2 Oktober, 2013), h. 258.
35
hadis menjadi sebuah bahan kajian yang begitu menggiurkan, bahkan pasca setelah
tadwin muncul berbagai karya kitab yang sangat luar biasa, sebagaimana munculnya
ragam literatur hadis.4 Namun sayang, perkembangan studi hadis sempat terkendala
sejak tahun 656 H hingga 911 H, karena diakibatkan oleh kejumudan umat Islam
hingga waktu itu, sampai akhirnya perkembangan hadis tahun 656 H hingga 911 H
mengalami perkembangan kembali dan sudah sampai menerbitkan isi kitab-kitab
hadis, menyaringnya serta menyusun kitab-kitab takhrij.5 Dan setelah masa itu, para
ulama pra kontemporer juga semakin geliat untuk mengembangan kajian hadis,
puncaknya kembali memasuki era kontemporer hadis menjadi suatu kajian yang
sangat begitu di minati dari kalangan pesantren hingga akademisi. Bahkan memasuki
era-era globalisasi, hadis sudah mulai dimasukan didalamnya guna memberikan
kemudahan bagi pengkaji hadis kajian.
B. Klasifikasi al-Hadits
B.1 Dari segi Jumlah Periwayat
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berpendapat dengan
orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang
pula hanya dengan satu atau dua orang saja. Demikian juga halnya dengan Sahabat
Nabi, untuk menyampaikan hadis tertentu ada yang didengar oleh banyak murid,
bahkan ada yang hanya didengar oleh satu orang saja. Begitu seterusnya sampai
generasi yang mengabadikan hadis dalam kitab-kitab. Sudah barang tentu, informasi
4 Musbikhin, Membedah Hadis Nabi SAW, h. 56.
5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h 105.
36
yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang. Maka, ada pembagian hadis dari segi
jumlah periwayat, yaitu: Hadis Mutawatir, Hadis Masyur dan Hadis Ahad.6
1. Hadis Mutawattir
Ada beberapa orang merumuskan Hadis Mutawatir dengan kalimat yang
berbeda-beda tetapi maksudnya sama. Pada intinya yaitu, hadis yang diriwayatkan
oleh banyak orang di setiap generasi, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir
(Penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk bohong.
Hadis Mutawatir berada di tingkatan paling tinggi dalam meyakini penerima
informasi. Ia sejajar dengan al-Qur‟an, dalam arti, sama diriwayatkan secara
Mutawatir. Hadis Mutawatir ada dua yaitu Mutawatir Lafzhi (mutawatir redaksinya)
dan Mutawatir Ma‟nawi (Mutawatir redaksinya berbeda-beda).7
2. Hadis Masyur
Hadis Masyur yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa Sahabat
tetapi tidak mencukupi tingkat Mutawatir karena sedikitnya orang dalam
periwayatannya. Derajat Hadis Masyur tidak setinggi mutawatir, kalau riwayat
mutawatir mendatangkan ilmu yakin, maka riwayat hadis masyur membuat hati
tumakninah, karena membuat orang cenderung yakin bahwa informasinya berasal
dari Nabi.
3. Hadis Ahad
Hadis Ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau sedikit
orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan ikatan
6 Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), h. 83. 7 Bustamin. M.SI, dasar-dasar ilmu Hadis, (Jakarta : Ushul Press, 2009), h. 133.
37
orang islam terhadap inforamasi hadis ahad tergantung pada kualitas periwayatnya
dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu tidak bersambung atau ada
periwayat yang tidak dapat dipercaya kendati sanadnya bersambung maka hadis itu
bagai dasar beramal. Sebaliknya jika sanadnya bersambung dan kualitas
periwayatnya bagus maka menurut jumhur, hadis itu harus dijadikan dasar.8
B.2 Dari Segi Penerimaan dan Penolakan
Sesuai dengan sejarah perjalanan hadis, ternyata tidak semua yang disebut
hadis berasal dari Nabi. Dalam menentukan dapat diterima dan ditolaknya hadis
tidak cukup hanya dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat diterimanya
rawi yang bersangkutan.9 Apalagi kita mengetahui hadis palsu itu memang ada.
Benar bahwa tadinya, hadis itu segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi, yang
fungsinya sebagai rujukan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam.
Selanjutnya apa yang dinisbatkan kepada sahabat pun disebut hadis, bahkan, yang
disandarkan kepada tabi‟in.10
Di masa Imam al-Bukhori, Imam Muslim, dan imam-imam sebelumnya, nilai
hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih, dan yang mardud disebut dhaif.
B.2.a Hadis Shahih
Hadis Shahih adalah hadis yang musnad (yang sanadnya bersambung,
semenjak Nabi, Sahabat, hingga periwayat terakhir). Periwayatnya orang yang
memiliki sifat adil (periwayat tidak pernah bohong apalagi pembohong) dan
8 Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, h. 84.
9 Dr. Nurddin „Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 239.
10 Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, h. 85.
38
dhabith (Periwayat tidak pelupa).11
Informasi hadisnya tidak syadz (tidak
bertentangan dengan informasi yang lain yang dibawa oleh orang yang
berkualitas atau dalil lain lebih kuat). Hadis yang diriwatkan tidak cacat, seperti
tidak ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya
memang tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal
sebenarnya bukan dari Nabi.12
Sumber-sumber hadis sahih yang paling masyhur
di antaranya adalah sahih al-Bukhari dan sahih muslim.
B.2.b Hadis Hasan
Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih, bedanya kalau di
dalam hadis shahih semua periwayatnya harus sempurna kedhabitannya, maka
dalam hadis hasan, ada perawi yang kedhabitannya,kecermatan atau hafalannya
kurang sempurna (pelupa).
B.2.c Hadis Dha’if
Setiap hadis yang tidak ada padanya sifat-sifat hadis shahih dan hadis
hasan. Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis ini bisa
dilihat dari dua jurusan, yaitu sanad hadis dan matan hadis. Mengingat bahwa
hadis dhaif memiliki dampak yang sangat besar bagi agama, para imam hadis
menyusun kitab untuk mengungkap problematika hadis dhaif dan menjelaskan
sebab-sebab kedhaifan, agar jelas mana hadis yang dapat menjadi kuat atau
11
„Itr, Ulumul Hadis, h. 242. 12
Bustamin, dasar-dasar ilmu Hadis, h. 144.
39
dapat diamalkan dalam fardha il al-a‟mal dan mana hadis yang tidak dapat
diamalkan sama sekali.13
Sumber-sumber dhaif yang terpenting diantarnya sebagai berikut.
1. Kitab-kitab yang disusun oleh para ulama tentang para rawi yang dhaif
sebagaimana yang telah disebutkan dimuka. Sehubungan dengan uraian
setiap rawi; mereka mencontohkan beberapa hadis yang diriwayatkannya
untuk menjelaskan kedhaifannya atau sebagai dalil kedhaifan rawi itu.
Hadis-hadis tersebut termasuk kategori hadis yang sering disebut dhaif
secara mutlak, yakni hadis yang dhaif katena jarh rawinya.
2. Kitab-kitab yang telah ditegaskan oleh para ulama bahwa apabila ada
hadis yang hanya terdapat dalam salah satu kitab hadis, maka hadis
tersebut adalah dhaif
3. Kitab-kitab yang disusun para ulama tentang hadis dhaif yang bukan
karena jarh pada para rawi, seperti kitab-kitab yang membuat hadis-hadis
mursal, mudraj, mushahhaf, dan kitab al-ilal.
C. Proses Kodifikasi al-Hadits
Kodifikasi hadis yang dimaksud di sini adalah penulisan, penghimpunan dan
pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasarkan perintah resmi khalifah
„Umar ibn Abdul al-Aziz (99-101 H/717-720 M), Khalifah kedelapan Bani Umayah,
yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah
13
„Itr, Ulumul Hadis, h. 304.
40
hingga pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.14
Proses kodifikasi al-Hadits penulis membagi menjadi tiga periode yaitu masa
Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa Tabi‟in. Adapun periode tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
C.1 Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan Hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan
Hadis pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung kepada Rasulullah
SAW sebagai sumber Hadis. Rasulullah SAW membina umat islam selama 23 tahun.
Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadis.15
Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadaanya dijelaskannya melalui
perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW. Sehingga apa
yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan
merupakan pedoman. Rasulullah adalah satu-satunya contoh bagi para sahabat,
karena Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan
manusia lainnya.
Adapun metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mengajarkan
Hadis kepada para sahabat sebagai berikut:
1. Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW
2. Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
14
Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 93. 15
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi „Ulumil qur‟an (Madinah: Daru Al-Shobuni,
2003), h. 29.
41
3. Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.
4. Para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.16
C.2 Hadis Pada Masa Sahabat Besar (Khulafa` al-Rasyidun)
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur‟an dan Hadis yang harus
dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat,
kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang
pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634
M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan
(wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah
ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa
disebut juga dengan zaman sahabat besar.17
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan
menyusul era sahabat kecil. Dalam pada itu munculah para tabi‟in yang bekerjasama
dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada
masa itu. Diantara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-
Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis Nabi saw ialah
„A‟isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M),
16
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 39. 17
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 41.
42
„Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat
73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).18
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari‟ah
pertama setelah al-Qur‟an Al-karim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-
Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling
sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan
hadis dari Nabi saw. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang
suci tiu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh
segala cara untuk memelihara hadis, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam
meriwayatkan hadis” dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih
bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadis”.19
Periode sahabat disebut dengan
“‟Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan
menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadis ada dua,
yakni:20
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw
yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadis
Nabi.
18 Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadis , h. 41.
19 Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 124.
20 H. Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 46.
43
C.2.a Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan hadis.21
Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar,
meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab,
bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur‟an dan prektek Nabi yang memberikan
bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat.
Al-Mughirah bin Syu‟bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah
memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-
Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu.
Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah
menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar
menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadis Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.22
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera
menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan
penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan
saksi.
21
M.M. Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
2012), h. 133. 22
Soetari, Ilmu Hadis, h. 42.
44
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat
pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri
Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar
lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa
dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam
periwayatan hadis. Hal ini menjadi bukti sikap kehati-hatian Abu Bakar dalam
periwayatan hadis.
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadis dikalangan umat Islam
pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena
pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada
berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara.
Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah.
Dalam pada itu tidak sedikit sahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur‟an, telah
gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar
segara melakukan penghimpunan al-Qur‟an (jam‟ al-Qur‟an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu
Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan
umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam
dalam periwayatan hadis tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar,
yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan
hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat.
45
C.2.b Umar bin al-Khattab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis, dan sangat
menghormati Ubai bin Kaab yang merupakan tokoh Sahabat dan ahli qiraat.23
Hal
ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay
bin Ka‟ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay, setelah para
sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis
Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata
kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya
berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka‟ab tersebut telah dialami juga oleh
Abu Musa al-As‟ariy, al-Mughirah bin Syu‟bah, dan lain-lain. Kesemua itu
menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadis. Disamping itu, Umar
juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan
hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya
untuk membaca dan mendalami al-Qur‟an.Kebijakan Umar melarang para sahabat
Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar
sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Larangan umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: agar
masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis, agar perhatian masyarakat
terhadap al-Qur‟an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:24
23
Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 142. 24
Soetari, Ilmu Hadis, h. 46.
46
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari
hadis Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang
kandungan al-Qur‟an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkan hadis Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga
ratus hadis. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama
sahabat dan tabi‟in terkenal yang telah meneriam riwayat hadis Nabi dari
Umar. Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para sahabat. Para sahabat menyetujuinya.
Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir himpunan hadis itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari
al-Qur‟an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan
terhadap periwayatan hadis. Niatnya menghimpun hadis diurungkan
bukan karena alas an periwayatan hadis, melainkan karena factor lain,
yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur‟an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadis pada
zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila
dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena
umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan hadis semata,
melainkan juga karena khalifah Umar pernah memberikan dorongan kepada umat
47
islam untuk mempelajari hadis Nabi.25
Dalam pada itu para periwayat hadis masih
agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan hadis, karena Umar telah
melakukan pemeriksaan hadis yang cukup ketat kepad para periwayat hadis.
Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat
Islam tidak berpaling dari al-Qur‟an, melainkan juga agar umat Islam tidak
melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijakan Umar yang demikian
telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadis.
C.2.c Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan „Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya.
Hanya saja, langkah „Usman tidaklah setegas langkah „Umar bin Khatthab.
„Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad
bin Hambal meriwayatkan hadis nabi yang berasal dari riwayat „Usman sekitar
empat puluh hadis saja. Itupun banyak matan hadis yang terulang, karena
perbedaan sanad. Matn hadis yang banyak terulang itu adalah hadis tentang
berwudu‟.26
Dengan demikian jumlah hadis yang diriwayatkan oleh „Usman tidak
sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh „Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman „Usman bin
Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadis tidak lebih banyak
dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman „Umar
25
Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 185. 26
Soetari, Ilmu Hadis, h. 47.
48
bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat
Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi seruan itu tidak begitu
besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam
periwaytan hadis. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi „Usman tidak sekeras
pribadi „Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah
Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
C.2.d Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar dari
Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah diparcayainya. Dengan
demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi
„Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah
dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah
benar-benar tidak mungkin keliru.
„Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi. Hadis
yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan
(catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda
(diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang
49
melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang
kafir.27
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadis melalui riwayat „Ali bin
Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian mant dari hadis tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad
Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadis yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadis pada zaman khalifah „Ali bin Abi Thalib sama dengan pada
zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda
dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik
dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok
pendukung Ali dengan pendukung Mu‟awiyah telah terjadi. Hal ini membawa
dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadis. Kepentingan politik
telah mendorong terjadinya pemalsuan hadis.28
Dari urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-
Rasyidin tentang periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
1. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam
periwayatan hadis
2. Larangan memperbanyak hadis, terutama yang ditekankan oleh khalifah
„Umar, tujuan pokoknyaialah agar periwayat bersikap selektif dalam
27
Soetari, Ilmu Hadis, h. 48. 28
Soetari, Ilmu Hadis, h. 49.
50
meriwayatakan hadis dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya
dari al-Qur‟an
3. Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadis
merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis. Periwayat yang
dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiabn
mengajukan saksi atau sumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadis. Riwayat hadis yang
disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk
lisan. Hanya „Ali yang meriwayatkan hadis secara tulisan disamping
secara lisan.
Adapun penulisan hadis pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap
terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah umar bin
khattab mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namun niatan tersebut
diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah. Para sahabat tidak
melakukan penulisan hadis secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan:29
1. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur‟an.
Perhatian sahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur‟an seperti
tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi
mush-haf.
2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis
hadis.
29
Soetari, Ilmu Hadis, h. 41-46.
51
C.3 Hadis Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis. Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti pada
masa sahabat. Pada masa ini al-Qur‟an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah
tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para
sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah
tabi‟in untuk mempelajari hadis.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadis
sehingga hadis tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadis
sebagai berikut:30
1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti „Aiyah dan Abu
Hurayrah.
2. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn „Abbas
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti „Abd Allah Ibn Mas‟ud
4. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti „Utbah Ibn Gahzwan
5. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu‟ad Ibn Jabal
6. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat „Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga muncul
hadis palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:31
1. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan.
2. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis.
30
Idri, Studi Hadis, h. 44-45. 31
Idri, Studi Hadis, h. 45-46.
52
3. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat.
Pemalsuan hadis dimulai sejak masa „Ali Ibn Abi Thalib bukan karena
masalah politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadis dan
kekeliruan periwayatan maka para ulama mengambil langkah sebagai berikut:32
1. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya
2. Hanya menerima hadis dari periwayat yang tsiqoh saja
3. Melakukan penyaringan terhadap hadis dari rawi yang tsiqah
4. Mensyaratkan tidak adanya penyimpangan periwayat yang tsiqoh pada
periwayat yang lebih tsiqah.
5. Meneliti sanad untuk mengetahui hadis palsu
D. Standar Legalitas al-Hadits
D.1 Sanad
Menurut bahasa Sanad artinya apa yang dijadikan sandaran. Sedangkan
menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada
nabi Muhammad saw.33
Pembahasan sanad merupakan sandaran yang sangan
prinsipil dalam ilmu hadis dan merupakan jalur utama untuk mencapai tujuan yang
luhur, yakni untuk membedakan antara hadis yang diterima (makbul) dan hadis yang
ditolak (mardud). Sebuah hadis dapat memiliki beberapa jalur sanad. Banyaknya
sanad itu mempengaruhi kualitas sebuah hadis. Apabila sebuah hadis dinilai lemah
(dlaif) karena kelemahan hafalannya, tetapi memiliki jalur sanad yang lain dimana
32
Idri, Studi Hadis, h. 44-45. 33
Bustamin, dasar-dasar ilmu Hadis, h. 124.
53
para rawinya dinilai tsiqah (terpercaya karena kuat hafalan dan baik akhlaknya), atau
bahkan para perawinya sama kualitasnya (sama-sama lemah), maka hadis tersebut
meningkatkan kualitas menjadi hasan li ghairih.
Karena tingkat sanad-sanad hadis bervariasi, maka sebagian ulama
menetapkan sebagian sanad yang paling tinggi secara mutlak, sehingga mereka
berkata “Sanad ini adalah sanad yang paling sahih” yakni apabila dibandingkan
dengan seluruh sanad yang lain. Namun para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan sanad yang paling sahih itu. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sanad yang paling sahih adalah Malik bin Nafi dari Ibnu Umar. Ini adalah
pendapat al-Bukhari. Sanad ini disenangi oleh seluruh jiwa dan menarik
semua hati. Untaian sanad ini sebagai silsilah al-dzahab.
2. Sanad yang paling sahih adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri
dari Salim bin Abdullah dari bapaknya. Ini adalah pendapat Ahmad bin
Hanbal dan Ishaq dan Rahawayh.34
3. Muhammad bin Sirin dari Abidah al-Salmani dari Ali. Ini adalah pendapat Ali
bin al-Madini dan sulaiman bin Harb. Hanya saja sulaiman berkata bahwa
sambungan sanad tersebut yang paling baik adalah Ayyub al-Sakhtiyani dari
Ibnu Sirin, sedangkan Ibnu al-Madini berkata bahwa yang paling baik adalah
Abdullah bin „aun dari Ibnu Sirin.
4. Sufyan al-Tsauni dari Manshur dari „Alqamah dari Abdullah bin Mas‟ud. -Ini
adalah pendapat Ibnu al-Mubarak dan al-Ajali dan di unggulkan oleh al-
Nasa‟i.
34
„Itr, Ulumul Hadis, h. 248.
54
D.2 Pembukuan hadis dan pengaruhnya terhadap kesahihan hadis
Persoalan ini sejak dahulu telah dilontarkan oleh sejumlah orientalis yang
ekstrim, mereka mendasarkan tuduhan-tuduhannya kepada anggapan yang salah.
Mereka menyatakan bahwa selama 200 tahun, hadis Nabi tidak ditulis, kemudian
setelah masa yang cukup panjang itu para muhadditsin menetapkan untuk
mnegadakan pengumpulan hadis. Untuk itu mereka mengambil hadis dari orang-
orang yang pernah mendengarkannya. Maka orang-orang itu satu persatu berkata:
„aku mendengar fulan berkata: aku mendengar Rasulullah berkata tentang sesuatu.”
Akan tetapi, ketika muncul fitnah ditubuh kaum muslimin yang menimbulkan
perpecahan umat, terutama yang mengakibatkan lairnya aliran-aliran politikm, maka
sebagian kelompok membuat hadis-hadis palsu dengan tujuan agar kelompoknya
terkesan berada pada jalan yang besar.35
Para ahli hadis telah meneliti berbagai macam hadis dan membaginya banyak
sekalim sehingga menjadi sulit untuk menentukan mana hadis sahih dan mana hadis
yang maudhu. Sanggahan tentang tuduhan ini telah dikemukakan sehubungan dengan
pembahasan penulisan hadis, sejarah isnad dan syarat-syarat rawi dan akhirnya dapat
diambil kesimpulan:
a. Pembukuan hadis telah dimulai sejak masa Nabi saw, dan telah mencakup
sejumlah besar hadis. Di samping itu, tercatat dalam sejarah yang tersebar
dalam berbagai kitab tentang rijal yang hanya dapat diketahui oleh orang-
orang yang mempelajarinya dengan tekun.
35
„Itr, Ulumul Hadis, h. 500.
55
b. Penyusunan kitab hadis berdasarkan bab-bab fikih dalam kitab-kitab al-
mushannaf dan al-jami merupakan tahap perkembangan penulis hadis yang
sangat maju, tahapan ini berakhir sebelum tahun 200 H, bahkan telah selesai
pada awal abad kedua, yakni antara tahun 120 -130 H.
c. Para ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat diterimanya suatau hadis
yang mengharuskan proses periwayatan hadis dari generasi ke generasi
berjalan penuh amanah dan dhabith, sehingga hadis dapat disampaikan dalam
keadaan seperti ketika didengar dari Rasulullah saw.
d. Dalam periwayatan tertulis para muhadditsin menggunakan syarat-syarat
hadis sahih. oelh karena itu, dalam naskah-naskah hadis tulisan tangan ditulis
rangkaian sanad dari awal hingga akhirk, sampai penyusunannya.
e. Pembahasan sanad tidak menunggu sampai tahun 200 H, melainkan para
sahabat telah mengadakan penelitian sanad sejak terjadi fitnah pada tahun 35
H untuk menjaga kemurniah Hadis.36
f. Umat islam tidak membiarkan tindakan para pemalsu hadis, para ahli bidah,
dan kelompok-kelompok politik membuat hadis. Mereka memberantasnya
dengan pola pendekatan ilmiah yang mampu memelihara kemurnian sunah
dan campur tangan pembuat bidah. Serta mampu mengungkap latar belakang
pemalsuan hadis dan tanda-tanda hadis palsu.
g. Klasifikasi hadis menjadi sedemikian banyak itu bukan hanya didasarkan atas
tingkat ekseptibilitasnya saja, melainkan juga gitunjau dari keadaan para
rawinya, sanadnya, dan matannya.
36
„Itr, Ulumul Hadis, h. 503.
56
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA KANONISASI ALKITAB
DAN KODIFIKASI AL-HADITS
A. Sejarah Penulisan
Alkitab ditulis di atas bahan yang berbeda beda. Alkitab yang ada saat ini
usianya sudah berabad-abad. Bahan yang digunakan untuk menulis pada saat itupun
masih kuno.1
Pertama, tanah liat. Tanah liat adalah material paling umum yang digunakan
manusia untuk menulis pada zaman dahulu. Sebuah jarum (alat tulis berbentuk
segitiga) digunakan untuk menuliskan huruf-huruf di tanah liat yang lunak.
Kedua, dua loh batu. Dua loh batu digunakan untuk menuliskan sepuluh
Hukum Allah. Kitab Keluaran 24:12 mengatakan, "Tuhan berfirman kepada Musa:
Naiklah menghadap Aku, ke atas gunung, dan tinggalah di sana, maka Aku akan
memberikan kepadamu loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah Kutuliskan
untuk diajarkan kepada mereka.
Ketiga, papirus. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menjelaskan panjang lebar
tentang papirus. Dalam buku itu dikatakan bahwa papirus mengacu pada tiga hal,
yaitu: Tumbuh-tumbuhan air yang besar dari fam ili gelagah. Alat tulis yang terbuat
1 Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa,
(Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2013), h. 31.
57
dari sumsum yang terkandung di dalamnya. Naskah tulisan tangan (manuskrip) yang
menggunakan bahan ini.2
Keempat, Perkamen, dan Vellum. Peerkamen adalah alat tulis yang lebih awet
daripada papirus, semacam kulit binatang yang dibersihkan dan digunakan sebagai
bahan untuk menulis di Palestina pada zaman Roma, seperti yang digunakan
persekutuan Qumran.
Kelima, Logam. Allah menyuruh Musa memberi tahu bangsa Israel, “Juga
haruslah engkau membuat patam dari emas murni dan pada patam itu
kauukirkanlah, diukirkan seperti meterai: Kudus bagi TUHAN” (Kel. 28:36). Ayub
mengeluh, “Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, terpahat dengan
besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya!” (Ayb. 19:23-24).
Para penulis Alkitab tidak hanya menggunakan emas tetapi unsur-unsur yang lain
yang tersedia bagi mereka.
Di dalam sejarah penulisan al-Hadits para sahabat sangat antusias dalam
mencari, menyaksikan, dan mendengar langsung dari Nabi SAW, tetapi Hadis pada
waktu itu hanya diingat-ingat saja di luar kepala. Secara umum penulisan Hadits
dilarang Rasul SAW karena khawatir campur aduk dengan penulisan al-Qura‟an,
kecuali secara khusus bagi mereka yang lemah hafalannya seperti Abu Syah atau
rapih tulisannya seperti Abd Allah bin Amr bin Al-Ash. Penulisan Hadis pada waktu
itu berfungsi untuk membantu ingatan mereka yang lupa, setelah hafal bagi sebagian
mereka catatan itu bisa jadi dibakar. Pada masa khulafaur Rasyidin para sahabat
memperkecil periwayatan Hadis atau tidak boleh meriwayatkan kecuali saksi dan
2 Jonar S, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, h. 31.
58
berani bersumpah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara perhatian mereka agar
tetap mengutamakan al-Qur‟an.3
Setelah al-Qur‟an terkodifikasi (pada masa Usman) para sahabat senior
terpencar ke berbagai daerah, timbul dan tersebar Hadis Mawdhu, dan para ulama
banyak yang meninggal, pada masa Umar bin Abd Al-aziz abad ke 2 H Hadis
dihimpun dan dikodifikasikan pertama kali dalam Islam. Namun, pada masa ini
hanya sekedar menghimpun dalam sebuah buku dan belum difilter mana yang Hadis
dari Nabi dan mana perkataan Sahabat, seperti al-Muwatha karya Malik. Baru pada
abad ke 3 H Hadis mulai dapat dihimpun, dikodifikasi, diklasifikasikan, dan diadakan
filterisasi/penyaringan antara Hadis dari Nabi dan perkataan atau fatwa sahabat dan
dapat pula diklasifikasikan mana yang shahih dan mana yang dhaif. Pada abad ketiga
inilah perkembangan kodifikasi Hadis mengalami puncaknya yaitu timbulnuya 6
buku induk Hadis.4 Pada abad berikutnya yaitu abad ke 4 H dan seterusnya tidak
mengalami perkembangan yang signifikan, karena para ulama ahli Hadis bereferensi
dari kitab-kitab abad sebelumnya. Perkembangan pengkodifikasian Hadis berikutnya
hanya terfokus dari segi kuantitas belaka.
B. Teori sumber
Sumber-sumber mengenai perjanjian baru dibagi menjadi dua, yakni teori dua
sumber dan teori empat sumber. Untuk lebih jelasnya saya akan uraikan di bawah ini:
3 Dr. Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 45.
4 Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis, h. 46.
59
a. Teori dua sumber
Salah satu diantara teori-teori yang paling terkenal didalam penelitian
Penjanjian Baru, ada teori yang mengatakan bahwa Injil Markus ditulis lebih dahulu,
dan teori ini beranggapan bahwa Matius dan Lukas mendasarkan penulisan Injilnya
pada Injil Markus dan suatu sumber lainnya yang disebut "Q" dari bahasa jerman
quelle, artinya sumber. Teori ini mengajarakan bahwa Kitab Matius dan Lukas
mengambil bahan yang sama dari Markus, dan kitab Markus merupakan Injil yang
ditulis paling awal. Ide mengenai suatu sumber yang disebut "Q" ini sebenarnya
adalah suatu perkembangan yang relatif baru dalam penelitian sebagian dari peneliti
Perjanjian Baru.5
Ada alasan yang layak untuk mempertanyakan TEORI Q ini bahwa Matius
dan Lukas menggunakan "Q" selain Injil Markus sebagai sumber materinya, sebagai
berikut :
1. Bahwa dokumen yang bernama "Q" itu tidak pernah ditemukan.
2. Tidak ada persetujuan mengenai keterangan-keterangan apa yang terdapat
dalam dokumen "Q".
3. Tidak ada ksaksian historis mengenai adanya suatu dokumen macam "Q" ini
dari siapapun, baik ahli sejarah atau penulis.
4. Seperti yang telah dijelaskan, fakta-fakta sejarah tidak menunjukkan Markus
sebagai Injil yang pertama-tama ditulis, suatu hal yang penting demi teori ini.
5 Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2006), h. 29.
60
Dengan demikian teori sumber "Q" adalah hypothesis saja diantara sebagian
peneliti-peneliti Alkitab. Dengan pandangan mereka yang mendasarkan karena Injil
Markus isinya mirip dengan Matius dan Lukas, maka diperkirakan mereka
mengambil dari sumber yang sama.6 Namun Sumber "Q" sendiri tak pernah ada
ditemukan.
b. Teori empat sumber
Streeter mengusulkan empat sumber asli yang berdiri selain bentuk tulisan
akhir dari injil-injil itu: Markus di Roma kira-kira tahun 60 masehi. “Q” di Antiokhia
kira-kira tahun 50 Masehi, “M” (kata-kata pribadi sumber dari Matius) di Yerusalem
kira-kira tahun 65 masehi, dan “L”(sumber pribadi Lukas) di Kaisarea kira-kira tahun
60 masehi.
Teori ini menyebutkan bahwa Markus merupakan Injil pertama yang ditulis
dan bahwa Matius dan Lukas menggunakan baik Markus dan Q secara independen,
lazimnya disebut “hipotesis dua sumber”. Namun disamping itu mereka juga
memberi tempat bahwa ada sumber-sumber khusus yang lain yang digunakan oleh
Matius dan Lukas, yaitu bahan-bahan tradisi yang hanya dikenal dan dipakai oleh
salah satu dari mereka.
Bahan-bahan khas ini lazimnya diberi tanda “L” dan “M”. “M” merupakan
“kata-kata” pribadi sumber dari Matius yang ditulis sekitar tahun 65 Masehi dan “L”
sumber pribadi Lukas ditulis di Kaisarea sekitar tahun 60 Masehi, sedangkan “Q”
6 Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis, h. 198.
61
ditulis di Antiokhia sekitar tahun 50 Masehi dan Markus ditulis di Roma sekitar tahun
60 Masehi.7
Mengenai sumber-sumber hadis tidak akan terlepas dengan namanya sanad
dan matan karena itu yang menjadi pokok dalam keaslian dan menjadi pedoman serta
digunakan oleh kalangan umat islam di seluruh dunia.
Para ahli hadis telah meneliti berbagai macam hadis dan membaginya banyak
sekali sehingga menjadi sulit untuk menentukan mana hadis sahih dan mana hadis
yang maudhu. Sanggahan tentang tuduhan ini telah dikemukakan sehubungan dengan
pembahasan penulisan hadis, sejarah isnad dan syarat-syarat rawi dan akhirnya dapat
diambil kesimpulan:
a. Pembukuan hadis telah dimulai sejak masa Nabi saw, dan telah mencakup
sejumlah besar hadis. Di samping itu, tercatat dalam sejarah yang tersebar
dalam berbagai kitab tentang rijal yang hanya dapat diketahui oleh orang-
orang yang mempelajarinya dengan tekun.
b. Penyusunan kitab hadis berdasarkan bab-bab fikih dalam kitab-kitab al-
mushannaf dan al-jami merupakan tahap perkembangan penulis hadis yang
sangat maju, tahapan ini berakhir sebelum tahun 200 H, bahkan telah selesai
pada awal abad kedua, yakni antara tahun 120 -130 H.
c. Para ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat diterimanya suatau hadis
yang mengharuskan proses periwayatan hadis dari generasi ke generasi
berjalan penuh amanah dan dhabith, sehingga hadis dapat disampaikan dalam
keadaan seperti ketika didengar dari Rasulullah saw.
7 Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis, h. 200
62
d. Dalam periwayatan tertulis para muhadditsin menggunakan syarat-syarat
hadis sahih. oleh karena itu, dalam naskah-naskah hadis tulisan tangan ditulis
rangkaian sanad dari awal hingga akhir, sampai penyusunannya.
e. Pembahasan sanad tidak menunggu sampai tahun 200 H, melainkan para
sahabat telah mengadakan penelitian sanad sejak terjadi fitnah pada tahun 35
H untuk menjaga kemurniah Hadis.8
f. Umat islam tidak membiarkan tindakan para pemalsu hadis, para ahli bidah,
dan kelompok-kelompok politik membuat hadis. Mereka memberantasnya
dengan pola pendekatan ilmiah yang mampu memelihara kemurnian sunah
dan campur tangan pembuat bidah. Serta mampu mengungkap latar belakang
pemalsuan hadis dan tanda-tanda hadis palsu.
g. Klasifikasi hadis menjadi sedemikian banyak itu bukan hanya didasarkan atas
tingkat ekseptibilitasnya saja, melainkan juga gitunjau dari keadaan para
rawinya, sanadnya, dan matannya.
h. Ulama hadis telah menyusun sejumlah kitab untuk membahas setiap cabang
ilmu hadis, sanad-sanad hadis, dan para rawi hadis.
Dari kedua teori sumber diatas antara Perjanjian Baru dan al-Hadits dapat
disimpulkan bahwa dalam menentukan sumber-sumber diatas tidaklah mudah. Di
dalam penulisan Perjanjian Baru sendiri menentukan sumber dengan dua teori yaitu
teori 2 sumber dan teori 4 sumber yang sudah dipaparkan di atas, sedangkan di dalam
al-Hadits mengenai sumber-sumbernya tidak akan terlepas dengan namanya sanad
dan matan, serta menentukan mana hadis sahih dan mana hadis yang maudhu.
8 „Itr, Ulumul Hadis, h. 503.
63
C. Standar Legalisasi
Yang menjadi standar paling pokok di dalam kanonisai Perjanjian Baru yaitu:
Penetapan kanon yang berwibawa adalah pertahanan utama Gereja melawan
pandangan-pandangan kaum bid’ah yang sering kali persuasif. Kriteria untuk
menetapkan yang mana kitab-kitab itu masuk dalam kanon adalah : Ditulis oleh
seorang rasul, Tahan ujinya kesaksian kitab-kitab itu tentang Yesus Kristus,
Persetujuan luas di antara Gereja-Gereja tentang nilai rohani kitab-kitab itu.
Buku-buku yang paling penting seperti empat Injil dan surat-surat Paulus
sejak akhir abad ke-2 dan seterusnya telah dipandang sebagai kanon Perjanjian Baru,
baik di Timur maupun di Barat.9 Dan sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen,
di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan
tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab.10
Proses pengkanonan berkembang secara alamiah dari saling membandingkan
hasil koleksi di kalangan jemaat-jemaat lokal sampai akhirnya secara universal
mengakui dan menerima ke-27 kitab Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang
diilhamkan Allah.
Perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Rasulullah merupakan salah satu
sumber pengambilan hukum yang dilakukan oleh para sahabat Nabi selain al-Quran.
Dua sumber hukum dalam agama kita ini adalah yang utama karena bersifat pasti.
9 Kadang-kadang dikatakan (khususnya oleh Harnack), bahwa formasi atau pembentukan
kanon Perjanjian baru secara menentukan dipengaruhi oleh Marcion. Marcion yang mempunyai ide-
ide aliran gnostik tertentu, menciptakan kanonnya sendiri tidak lama sebelum pertengahan abad ke-2.
Ia membuang Perjanjian lama, demikian pula banyak tulisan lainyang kemudia oleh gereja dimasukkan
dalam kanon Perjanjian Baru. Kanonnya yang mencakup Injil Lukas dan sepuluh surat pertama Paulus,
merupakan kanon Perjanjian Baru yang pertama. Baca Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 35 10
Richard W. Haskin. “Kanonisasi Perjanjian Baru” diakses pada 19 Juli 2019 dari
http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131
64
Segala yang berasal dari Rasulullah baik dari segi perkataan dan perbuatan adalah asli
berasal dari beliau yang mempunyai sifat kemanusiaan disamping beliau memiliki
alam kenabian yang tidak dapat dijangkau oleh manusia, sehingga apapun yang
berasal dari beliau tidak terlepas dari bimbingan Allah dan bukan atas dasar nafsu
belaka.11
Seiring dengan perkembangan zaman pun, banyak sekali ilmuan dari
berbagai kalangan yang menganalisa hadis Rasulullah dengan berbagai keilmuan
seperti teknologi, sains, ekonomi dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti kebenaran
tentang keagungan Allah yang telah mewahyukan apa yang Dia kehendaki dan
kepada siapa Dia kehendaki pula. Dan Maha Benar Allah yang telah berfirman dalam
Surat An-Najm ayat 3-4:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Pada zaman Rasulullah, hadis belum disusun dan dikembangkan seperti yang
kita pelajari sekarang atau yang kita kenal dengan ilmu hadis. Seperti halnya Al-
Quran, hadis juga memiliki sejarah dan kepadatan ilmunya yang sangat lengkap.
Bahkan dalam ilmu hadis ini juga dibahas tentang kepribadian orang-orang yang
membawakan hadis tersebut. Karena hadis merupakan perkataan manusia yang
disebarkan oleh manusia kepada manusia, sehingga ada kemungkinan di dalam
periwayatan itu terdapat perubahan atau dustanya salah satu orang yang
11
Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 95.
65
menyampaikan hadis. Kalau kita kembali pada sejarah, kita akan merasa heran pada
rentang waktu yang begitu lama dari sejak wafatnya Rasulullah hingga disusun dan
dibukukannya hadis-hadis beliau. Secara akal, bisa saja terjadi sebuah kedustaan atau
membuat-buat periwayatan hadis, namun karena kuatnya sikap amanah para sahabat
dan tabi‟in kepada wahyu serta keteguhan mereka dalam mempertahankan hukum
Islam, maka dengan izin Allah tentunya hadis-hadis Rasulullah ini dapat
dikumpulkan. Kehati-hatian para sahabat sangat membantu generasi umat setelahnya
terutama para ulama` dalam menentukan kevalidan hadis. Maka wajarlah jika agama
kita ini semakin berkembang karena sumber-sumber hukumnya masih terjaga
keaslian dan kesucian redaksinya.
Bisa diambil kesimpulan standar legalisasi dari Perjanjian baru dan al-Hadits,
di dalam Perjanjian baru sendiri sangat mengutamakan penetapan kanon yang
berwibawa adalah pertahanan utama Gereja melawan pandangan-pandangan kaum
bid’ah yang sering kali persuasif. Kriteria untuk menetapkan yang mana kitab-kitab
itu masuk dalam kanon adalah : Ditulis oleh seorang rasul, Tahan ujinya kesaksian
kitab-kitab itu tentang Yesus Kristus, Persetujuan luas di antara Gereja-Gereja
tentang nilai rohani kitab-kitab itu.12
Sedangkan di dalam al-Hadits perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Rasulullah merupakan salah satu sumber pengambilan
hukum yang dilakukan oleh para sahabat Nabi selain al-Quran. Sehingga apapun
yang berasal dari beliau tidak terlepas dari bimbingan Allah dan bukan atas dasar
nafsu belaka.
12
Richard W. Haskin. “Kanonisasi Perjanjian Baru” diakses pada 19 Juli 2019 dari
http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131
66
D. Proses kanonisasi Perjanjian Baru dan kodifikasi al-Hadits
Dengan terlebih dahulu menguraikan proses penulisan kanonisasi Perjanjian
Baru, yang dalam penulisannya dilakukan oleh berpuluh-puluh ahli kitab suci yang
dengan teliti dan serius memilah-milah banyak tulisan yang dianggap suci untuk
menemukan kitab-kitab yang benar-benar suci dan diwahyukan Allah untuk
kemudian dijadikan satu. Di waktu menentukan kanon dan kumpulan perjanjian lama,
yang pertama-tama dianggap sebagai berwibawa ialah segala apa yang dapat
menentukan asalnya dari thora/taurat imamat dan teks-teks juridis (teks-teks hukum)
yang berhubungan dengan itu.13
Penting membedakan antara tulisan tentang kitab-
kitab sebenarnya dalam Kitab Suci. Untuk sebagian dari kitab-kitab itu butuh waktu
yang lama untuk melewati kedua tahap ini, meskipun beberapa diterima jauh lebih
cepat. Sampai pada akhirnya sedikit ada keraguan.
Sedangkan kodifikasi hadis yang dimaksud di sini adalah penulisan,
penghimpunan dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasarkan
perintah resmi khalifah „Umar ibn Abdul al-Aziz (99-101 H/717-720 M), Khalifah
kedelapan Bani Umayah, yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para
ulama di berbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan
dalam kitab-kitab hadis.14
Proses kodifikasi al-Hadits dibagi menjadi tiga periode
yaitu masa Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa Tabi‟in. Ibnu Hajar yang
menyebutkan bahwa hadis Nabi disusun dan dibukukan pada masa Sahabat dan
Tabi‟in tua. Hal itu karena adanya dua faktor. Pertama semula memang mereka
13
Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, h. 18. 14
Idri, Studi Hadis, h. 93.
67
dilarang menulis hadis seperti tersebut dalam Shahih Muslim karena khawatir
tercampur dengan al-Quran. Kedua, hafalan mereka sangat kuat dan otak mereka juga
cerdas, disamping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa Tabi‟in,
hadis-hadis dibukukan dan disusun.15
Kesimpulan yang dapat diambil dari Perjanjian Baru adalah penulisannya
dilakukan oleh berpuluh-puluh ahli kitab suci yang dengan teliti dan serius memilah-
milah banyak tulisan yang dianggap suci untuk menemukan kitab-kitab yang benar-
benar suci dan diwahyukan Allah untuk kemudian dijadikan satu dalam waktu yang
cukup lama, sedangkan di dalam pengkodifikasian al-Hadits yaitu penulisan,
penghimpunan dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasarkan
perintah resmi Khalifah kedelapan Bani Umayah yaitu „Umar ibn Abdul al-Aziz.16
Dan setelah itu barulah pengkodifikasian al-Hadits dilakukan pada masa Rasulullah
SAW, masa sahabat dan masa Tabi‟in.
15
M.M. Azmi, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus,2012), h. 108. 16
Idri, Studi Hadis, h. 93.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan penulis, maka untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai kesimpulan antara lain adalah
sebagai berikut:
Proses kanonisasi tidak terjadi menurut salah satu kriteria saja melainkan
merupakan kesimpulan dari sebuah proses panjang. Di dalam surat Yahya yang
pertama pasal 5 ayat 7 dijelaskan bahwa yang menjadi saksi di surga itu adalah
Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Rohul Kudus maka ketiganya menjadi satu.
Kanon Perjanjian Baru itu sendiri untuk menegaskan patokan yang diyakini gereja
dengan bimbingan Roh Kudus bahwa kitab-kitab itu mewartakan dan meneruskan
ajaran Kristus melalui para rasul dan penerusnya. Berbeda dengan halnya proses
kodifikasi al-Hadits yaitu masih banyaknya orang yang beranggapan bahwa hadis
Nabi SAW tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Sedangkan orang
pertama kali yang mempunyai ide untuk menulis hadis adalah Khalifah Umar bin
Abd al-Aziz. Kemudian ide itu diteruskan dan dikodifikasi pada masa sahabat
besar dan selanjutnya dikodifikasi oleh Tabi’in.
Persamaan dan perbedaan dalam proses Kanonisasi Alkitab dan Kodifikasi
al-Hadits penulis akan paparkan sebagai berikut: persamaan dalam proses
kanonisasi Al-kitab dan Kodifikasi al-Hadits yaitu Perjanjian Baru sumber hukum
Gereja (mungkin yang ke II sesudah perjanjian lama) dan al-Hadits sumber
hukum Islam ke II sesudah al-Qur-an. Begitu juga tentang penulisan,
69
pengumpulan dan perkembangannya, yakni didewankan atau dikanonkan.
Sedangkan perbedaan dalam proses Kanonisasi Perjanjian Baru dan Kodifikasi al-
Hadits adalah dalam sejarah kanon, diceritakan bahwa Perjanjian Baru sejak
lahirnya sampai abad belakangan ini, berkali-kali mengalami perubahan dan
penyisipan di samping pengurangan pada bagian-bagian kalimat tertentu, bukan
saja itu, tetapi juga telah mengalami tahap-tahap Synode dan Konsili, hingga
resmi menjadi Perjanjian Baru sebagai yang terpakai sekarang ini. Di kalangan
Islam, al-Qur-an tidak pernah terjadi perselisihan penggunaannya (114 surat), baik
Islam di timur maupun Islam di daerah lainnya. Hadis di dalam Islam, yang terdiri
dari Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif, selalu dijelaskan tentang kedudukannya
masing-masing; terlebih lagi yang Maudhu’.Jadi inti dari pembahasan diatas
menimbulkan titik kelemahan dan kekuatan.
B. Saran
Untuk kelanjutan penelitian ini di masa yang akan datang, agar bermanfaat
terhadap dunia keilmuwan dan kajian-kajian yang lain khususnya di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, maka ada beberapa hal yang penulis dapat sarankan yaitu:
1. Bagi para peneliti selanjutnya, ada baiknya meneliti kajian ini dengan
pendekatan-pendekatan yang lain.
2. Untuk peneliti yang akan datang bisa menambahkan tokoh-tokoh disetiap
agama, seperti agama kristen maupun islam.
3. Dengan selesainya penelitian ini bukan berarti kajian tentang penelitian ini
berakhir sampai di sini. Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk lebih
mendalami dalam kajian ini.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku-Buku
Abdullah, Taufik. Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat, Jakarta : Pustaka Firdaus. 1987.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Jakarta : Yayasan Abad
Demokrasi, 2011.
Ajijola, A.D. Mitos Ajaran Salib, Jakarta: DeltaPrint,1990.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1998.
Azami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta, PT
Pustaka Firdaus, 1994.
Baker, David L. Satu Alkitab Dua Perjanjian: Suatu Studi tentang Hubungan
Teologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993.
Barth, CHR. Theologia Perdjandjian Lama, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1990.
Barr, James. Alkitab di dunia Modern, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Becker, Theol. Dieter. Pedoman Dogmatika Suatu Kompedium Singkat, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991.
Brill, J. W. Dasar Yang Teguh, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1990.
Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009.
C. Groenen, "Pengantar ke dalam Perjanjian Baru", Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Theologis, Jakarta:
71
BPK Gunung Mulia, 1996.
End, Van den. Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009.
Fahmi, Akrom. Sunnah Qabla Tadwin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
F.W. Bush, W.S. LaSor, D.A. Hubbard. Pengantar Perjanjian Lama 1 Taurat dan
Sejarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Indri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ismail, M Syuhudi. Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995.
Ismail, M Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT Bulan Bintang,
2007.
Itr, Nurddin, Ulumul Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
J.Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996.
Keene, Michael. Alkitab : Sejarah, Proses Terbentuk dan Pengaruhnya, Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2001.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2012.
Lohse, Bernard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989.
Lubis, H.M. Arsyad Thali. Perbandingan Agama Kristen dan Islam, Medan: Firma
Islamyah, 1974.
Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-
72
masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
M.E. Duyverman, Pembimbing kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985.
Robert B. Coote, Mary P. Coote, Kuasa politik dan Proses Pembuatan Alkitab Suatu
Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Robert M. Grant dan David Tracy. A short history of the interpretation of the Bible,
terjemahan oleh Agustinus Maleakhi, Jakarta, Gunung Mulia, 2000.
Roham, Abujamin. Pembicaraan di sekitar Bible dan Qur’an dalam segi isi dan
Riwayat Penulisannya, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984.
S. Jonar, Bibliologi Menyingkap Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa,
Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2013
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Urban, Linwood. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003.
W. Haskin, Richard. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kitis Terhadap
Masalah-masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997.
B. Sumber Jurnal
Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari
Abad XVII hingga Sekarang)”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, Vol.
05, No. 01, Januari 2004.
73
Qudsi, Saifuddin Zuhri. “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”,
ESENSIA, Vol. XIV No. 2 Oktober, 2013.
C. Sumber Internet
http://www.sarapanpagi.org/kanon-alkitab-vt142.html
http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemi
d=131
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Gereja-gereja_katolik_timur.
https://www.tongkronganislam.net/sketsa-dan-pemikiran-rasyid-ridha-tentang-hadis/