proposal kepiting
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove merupakan suatu ekosistem yang khas terdapat pada wilayah
pesisir didaerah tropik. Sebagai suatu komunitas, vegetasi mangrove yang hidup
pada suatu wilayah perairan antara darat dan laut, merupakan suatu mata rantai
yang sangat penting dalam memelihara siklus biologi, tempat berlindung berbagai
jenis udang, ikan dan berbagai biota pesisir, habitat satwa burung, primata,
reptilia, insekta dan lain-lain yang secara biologis dan ekonomis dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia (Atmawidjaja, 1986).
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk
menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap
zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai
sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan.
Taman Nasional Rawa Aopa ditetapkan berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 756/Kpts-II/1990 tertanggal 17 Desember 1990 dengan luas ±
2
105.194 ha. Sebelum menjadi taman nasional, kelompok kawasan ini merupakan
hasil merger dari Taman Buru Gunung Watumohai dan Suaka Margasatwa Rawa
Aopa. Penetapan kawasan ini dilatar belakangi oleh biodiversitas yang tinggi dan
kekayaan ekosistem yang unik dan khas yang terdiri dari empat ekosistem yakni
ekosistem hutan mangrove, ekosistem rawa, ekosistem savana dan ekosistem
hutan hujan tropis dataran rendah.
Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia
sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari
penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau
estuaria dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan
semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting
bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata
pertumbuhan produksi kepiting Bakau di beberapa provinsi penghasil utama
kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun.
Sejauh ini informasi ilmiah terkait analisis daya dukung jenis-jenis
magrove, terhadap komunitas kepiting Brachyura di Taman Nasional Rawa Aopa
masih sangat minim sehingga dibutuhkan kajian ilmiah secara lebih
komprehensif terkait keberadaan fauna jenis-jenis mangrove dan komunitas
kepiting di Taman Nasional Rawa Aopa ini.
3
Dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang
berjudul “Distribusi Kelimpahan dan Tingkat Kesamaan Komunitas Kepiting
Brachyura Pada Beberapa Tegakan Mangrove Alami di Desa Pasarae Apua
Kabupaten Bombana di Sekitar Taman Nasional Rawa Aopa”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana
distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting brachura pada
beberapa tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di
sekitar Taman Nasional Rawa Aopa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting brachura pada
beberapa tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di
sekitar Taman Nasional Rawa Aopa.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh setelah melakukan penelitian ini adalah
sebagai bahan informasi tentang distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan
komunitas kepiting brachura pada beberapa tegakan mangrove alami di Desa
Pasarae Apua Kabupaten Bombana di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan yang terbentang sepanjang
pesisir yang komposisinya terdiri dari beberapa jenis flora dan fauna yang saling
berinteraksi. Kimball (1992), mengemukakan bahwa hamparan pesisir tempat
tumbuh mengrove merupakan habitat yang sangat produktif karena didukung oleh
keanekaragaman populasi, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen.
Kebanyakan tumbuhan dalam ekosistem mangrove mengembangkan sistem
perakaran yang khas untuk memungkinkan pertukaran gas di atas tanah yang
tergenang dan kekurangan air.
Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain
MacNae, (1968); Chapman (1976); Lear and Turner (1977) ; Steenis (1978);
Odum, (1982); Kusmana (1982; Soerianegara dan Indrawan, (1982) ; Saenger,
(1983); Tomlinson, (1986); dan Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk
menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan
adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan
hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi,
tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-
muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis.
5
Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu. Pembentuk kelompok
vegetasi ini adalah berbagai spesies tumbuhan mangrove yang dapat beradaptasi
secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, yaitu salinitas tinggi, sedang atau
rendah, tipe tanah yang didominasi lumpur, pasir atau lumpur berpasir dan
terpengaruh pasang surut sehingga terbentuk zonasi (Mustafa dan Sanusi, 1981).
Tiap lokasi mangrove mempunyai keanekaragaman yang berbeda,
bergantung pada umur mangrove tersebut. Vegetasi mangrove mempunyai
morfologi dan anatomi tertentu sebagai respon fisiogenik terhadap habitat-habitat
vegetasi mangrove yang bersifat halopatik menyukai tanah-tanah yang bergaram,
misalnya Avicennia sp., Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp.
B. Fungsi Mangrove
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarial sehingga
merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan
lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian,
daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun
perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut
(Moro, 1986).
Mangrove mempunyai berbagai fungsi yaitu fungsi fisik, fungsi biologis dan
fungsi ekonomi. Fungsi fisik yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,
melindungi tebing pantai dan sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air
laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis adalah sebagai habitat
6
benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber
keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik seperti burung, ular, kera,
kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis
yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu dan arang), bahan bangunan (balok dan
papan), serta bahan tekstil, makanan dan obat-obatan (Mustafa dan Sanusi, 1981)
C. Kepiting (Infraordo Brachyura)
1. Morfologi dan Anatomi Kepiting
Kepiting adalah binatang Crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya
mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura =
ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Tubuh
kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras,
dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan
darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya
beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki
hingga 4 m (Aryadi, 2008).
Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran
yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh
kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1 dan 2).
Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds
terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur
chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan
7
membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata
dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan
Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain
exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala,
badan dan insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama
dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di
hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida),
perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh
maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah
rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih
(phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang
berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen
biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di
bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan
carapace.
8
Gambar 1. Tubuh bagian dorsal kepiting dewasa (Sumber: Quinitio & Parado, 2003).
Gambar 2. Tubuh bagian ventral kepiting dewasa (Sumber: www.portofpeninsula.org, 1997).
Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove memperlihatkan adaptasi
morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran insang kepiting
berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies intertidal di daerah
temperate umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies
akuatik. Gejala ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode dan Uca yang
mempunyai beberapa filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies
akuatik. Filamen insang mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi dan fungsi
tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi vaskular dan dapat
berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara melalui udara yang
tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui secara teratur dengan
sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).
9
Menurut Prianto (2007), bahwa bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu
dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh
tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan
makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh
organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang
kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan
kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan
tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki
alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia.
Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan,
pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik.
Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam
rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat
mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai
spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan
menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik
perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan
untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya
10
2. Klasifikasi Kepiting
Secara umum, klasifikasi ilmiah kepiting sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Crustacea
Classis : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Pleocyemata
Infraordo : Brachyura (Aryadi, 2008)
3. Daur Hidup Kepiting
Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya
saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting
betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina
memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa
bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat
(bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan
ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen). Jumlah telur yang dibawa
tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan
hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah
beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan
“zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan
11
perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen.
Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan
sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).
Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva
atau juvenil, anakan dan dewasa. Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9
fase (Juwana, 2004). Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih
mirip udang dari pada kepiting. Di kepala terdapat semacam tanduk yang
memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat rambut-rambut.
Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap
megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Larva kepiting berenang dan terbawa arus
serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002). Beberapa hasil penelitian
menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi fitoplankton beberapa
saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih cenderung memilih zooplankton
sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat
menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif
terhadap perubahan kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).
12
Gambar 3. Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) (Sumber: Davey, 2000).
4. Habitat Dan Penyebaran Kepiting
Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air
tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di
berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal
banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove.
Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp,
Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna
yang aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai
plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan
dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Kepiting dan rajungan tergolong
dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup
banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Menurut Moosa dalam Nontji
(2002) mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234
13
jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu
diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja
yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak
besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan
karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa
jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji,
2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1.000
spesies kepiting yang dikelompokkan ke dalam 50 famili. Sebagian besar
kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal
hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup
di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis
dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Frekuensi kemunculan maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada
saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon
untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan
kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan
predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan
Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi
dengan telur-telur ikan.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan
yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove.
14
Hewan ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya,
kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau
dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari
yang jantan (DPI & F, 2003).
Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi
Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan
yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di
daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya
adalah soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di
pantai dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian
kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan
atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja
gangguan, misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba
saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang
perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan keluar lagi
beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji, 2002).
15
D. Kepiting Sebagai Keystone Species
Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan
kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah
spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan
kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain
(Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).
Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting
telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di
dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007),
beberapa peran kepiting di dalam ekosistem mangrove, adalah sebagai berikut:
1. Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi. Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur
akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan
detrivor, mikroba sebagai pengurai.
2. Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah. Lubang yang dibangun
berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai
tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan
dalam mencari makan. Di samping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi
untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan
16
melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat
memperbaiki kondisi anoksik.
3. Membantu daur hidup karbon. Dalam daur hidup karbon, unsur karbon
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat
penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur
biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya.
4. Penyedia makanan alami. Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan
ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam
satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-
biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti
melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi
ikan-ikan karnivora.
E. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kepiting
Sifat-sifat fisika-kimia air berpengaruh langsung maupun tidak langsung
bagi kehidupan kepiting. Perubahan kondisi fisika-kimia suatu perairan dapat
menimbulkan akibat yang merugikan terhadap populasi bentos yang hidup di
ekosistem perairan (Setyobudiandi, 1997).
1. Substrat dasar
Menurut Levington (1982) dalam Ilham (1999) tipe substrat adalah
faktor utama yang mengendalikan tipe distribusi hewan bentos. Lebih lanjut
Nybakken, (1992) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan
17
salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organic dan
distribusi organisme zoobentos. Oleh karena itu tipe substrat dikatakan sebagai
faktor pembatas bagi kehidupan organisme penghuni dasar perairan. Pada
umumnya tipe substrat berpasir ditemukan pada perairan dengan arus yang
kuat sedangkan pada perairan arus lemah biasanya ditemukan substrat
berlumpur Gray (1981) dalam Efriyeldy (1997).
Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di
suatu perairan (Susanto, 2000). Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa
lumpur. Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas
hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke
tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan
karena itu organisme yang hidup di dalamnya harus dapat beradaptasi pada
keadaan ini (Ramli, 1989).
2. Suhu
Menurut Hutagalung (1991) dalam Silaen (1999) suhu merupakan
salah satu parameter yang penting dalam lingkungan. Mulyanto (1992) dalam
Diana (2001) menyatakan bahwa suhu yang baik bagi kehidupan biota di
daerah tropis berkisar antara 25-32 0 C. lebih lanjut Whitten dkk, (1992)
menyatakan bahwa perairan pantai tropik biasanya mempunyai kisaran suhu
antara 27-290 C, akan tetapi dapat lebih tinggi seiring dengan berkurangnya
kedalaman air. Kinne dalam Efriyeldy (1997) menyatakan bahwa suhu air yang
18
berkisar antara 35-41 0 C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme
makrozoobentos dan dapat mengakibatkan kematian.
3. Derajat keasaman (pH)
Menurut Boyd (1982) dalam Efriyeldy (1997) nilai pH menunjukkan
derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan, dan dapat merupakan salah
satu faktor pembatas bagi kehidupan organisme bentos diperairan. Lebih lanjut
Odum (1971) menambahkan bahwa air laut merupakan sistem penyangga
(buffer system) yang sangat luas dengan pH yang relatif stabil yaitu berkisar
7,0 – 8,5 sehingga apabila terjadi perubahan nilai alamiah maka hal tersebut
menandakan bahwa penyangga perairan tersebut terganggu karena pada
dasarnya air laut mempunyai kemampuan untuk mencegah terjadinya
perubahan pH.
4. Salinitas
Salinitas merupakan jumlah rata-rata seluruh garam yang terdapat di
dalam air laut yang dinyatakan dalam gram perliter atau permil (ppt). Menurut
Zottoly (1983) dalam Diana (2001) salinitas yang umum pada air laut untuk
perkembangan biota-biota perairan adalah 23-37,5 ppt. sedangkan menurut
Whitten, dkk (1992) menyatakan bahwa salinitas antara mintakat pasang naik
dan pasang surut umumnya lebih rendah daripada air laut, karena adanya
pengenceran oleh air tawar yang berasal dari aliran sungai-sungai yang
bermuara di perairan tersebut.
19
5. Kandungan bahan organik
Bahan organik merupakan salah satu sumber makanan bagi organisme
bentos. Menurut Bengen dkk, (1995) bahwa nutrien tidak banyak terdapat
dalam substrat berpasir, dimana hal tersebut disebabkan oleh arus yang tidak
hanya menghanyutkan partikel sedimen kecil saja tetapi juga menghanyutkan
partikel nutrien. Sebaliknya pada daerah dengan arus lambat kandungan bahan
organik cenderung melimpah karena semua partikel-partikel akan mengendap
di dasar perairan.
Kandungan bahan organik dan anorganik dalam air dapat
mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Wahyono (1993) dalam Diana
(2001). Dalam jumlah yang cukup bahan organik dapat menyokong kehidupan
makrozoobentos, akan tetapi dalam jumlah yang berlebihan dapat
menimbulkan terjadinya pembusukkan.
20
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2011, bertempat di Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai, dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas
Haluoleo Kendari.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan serta fungsinyaNo. Nama Alat Fungsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Termometer
Hand refractometer
pH meter
GPS
Kompas
Kantong plastik
Parang
Meteran roll
Alat tulis menulis
Tali rafia
Buku identifikasi
Kamera
Untuk mengukur suhu
Untuk mengukur salinitas
Untuk mengukur pH air laut
Untuk menentukan titik koordinat
Untuk menentukan arah dalam pembuatan transek
Untuk menyimpan sampel sebelum diidentifikasi
Untuk membersihkan transek penelitian
Sebagai alat untuk mengukur transek
Untuk mencatat hasil pengamatan.
Untuk membuat transek
Untuk mengidentifikasi jenis kepiting
Untuk mengambil gambar
21
2. Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan serta fungsinya
No. Nama Bahan Fungsi
1.
2.
Kepiting (Brachyura)
Alkohol 70%
Sebagai hewan sampel yang akan diamati
Sebagai pengawet sampel sebelum diidentifikasi
C. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian
1. Variabel penelitian
Variabel yang akan diamati dalam penelitian ini adalah distribusi
kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting (Brachyura) pada beberapa
tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di sekitar
Taman Nasional Rawa Aopa.
2. Definisi operasional
Untuk menghindari adanya kekeliruan maka dijelaskan beberapa definisi
yang dianggap penting, yaitu:
a. Kepiting adalah binatang Crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya
mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek,
ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax.
Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum
22
Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan
Infraorder Brachyura (Aryadi, 2008).
b. Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan yang terbentang sepanjang
pesisir yang komposisinya terdiri dari beberapa jenis flora dan fauna yang
saling berinteraksi
3. Indikator penelitian
Indikator penelitian ini adalah jumlah individu tiap spesies yang termasuk
infraordo Brachyura yang ditemukan dalam plot pengamatan.
D. Prosedur Penelitian
1. Survei lapangan
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei dengan menggunakan
metode kuadrat untuk memberikan gambaran tentang karateristik
pertumbuhan mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa.
2. Kegiatan di Lapangan
a. Membuat beberapa kuadrat berukuran 10 X 10 meter pada jenis-jenis
mangrove terhadap komunitas kepiting (Bracyura).
b. Pada masing-masing transek pengamatan dilakukan pengukuran faktor
lingkungan seperti suhu, salinitas, tekstur, dan KOT substrat. Untuk
pengukuran tekstur dan KOT substrat dilakukan di laboratorium. KOT
dihitung menggunakan rumus berikut:
23
KOT = x 100%
Keterangan:
KOT = Kandungan organik tanah
Berat Kering = Berat tanah setelah dioven pada 45oC selama 24 jam
Berat Abu = Berat tanah setelah ditanur pada 700oC selama 3 jam
(Brower, et. al., 1997).
c. Pengambilan data dilakukan pada saat air surut. Semua jenis kepiting yang
terdapat pada tiap plot dicatat jenis dan jumlah individunya. Untuk kepiting
yang berada dalam lubang, dilakukan penggalian substrat sedalam 20 cm.
d. Melakukan identifikasi jenis kepiting di lapangan. Untuk jenis yang tidak
diketahui jenisnya, diidentifikasi di Laboratorium Biologi Unit Ekologi
Jurusan Biologi FMIPA Unhalu menurut Khan dan Ravichandran (2007) dan
www.mangrovecrabs.com (2005).
e. Mengambil gambar kepiting yang terdapat pada plot pengamatan.
24
A
a b
C
c
B
Gambar 1. Model penempatan plot pengamatan pada setiap stasiun mangrove alami.
Keterangan : A = Batas formasi vegetasi mangrove kawasan daratB = Batas formasi vegetasi mangrove kawasan pantaiC = Arah formasi, darat menuju kawasan pantai a,b,c = Plot (10 x 10 m)1,2,3..5 = Subplot (1x1 m)
Catatan: Jarak antar plot bervariasi tergantung ketebalan mangrove.
1 2
25
F. Analisis Data
Data dianalisis secara kuantitatif untuk parameter: kerapatan (K), kerapatan
relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), indeks nilai penting (INP),
indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks similaritas (IS).
a. Kerapatan (K)
b. Kerapatan Relatif (Kr)
c. Frekuensi (F)
d. Frekuensi Relatif (Fr)
e. Indeks Nilai Penting ( INP) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif
(Krebs, 1978)
f. Keanekaragaman (Diversity) indeks Shannon-Wienner (1949) dalam Barbour,
et. al., (1987) yaitu :
H’ = -
Dimana Pi = ni/N
Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah total seluruh jenis.
26
g. Indeks kemerataan Evennens (E), (Brower et. al., 1997) yaitu :
E = =
Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis S = jumlah jenis
Dengan kisaran sebagai berikut :
E < 0,4 = Kemerataan populasi kecil
0,4 ≤ E < 0,6 = Kemerataan populasi sedang
E ≥ 0,6 = Kemerataan populasi tinggi.
h. Indeks Similaritas (IS) dihitung dengan menggunakan rumus Bray dan Curtis
dalam Analuddin (1997) :
IS = x 100%
Keterangan : W = Jumlah nilai penting terendah dari jenis yang terdapat
pada stasiun A dan stasiun B
A = Jumlah total nilai penting pada stasiun A
B = Jumlah total nilai penting pada stasiun B
Sedangkan, penentuan Indeks disimilaritas (ID) dihitung dengan rumus :
ID = 100 – IS
Keterangan : ID = Indeks disimilaritas
IS = Indeks similaritas.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aryadi, 2008, Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya, (Online), (http://www.utkampus.net, diakses 1 Mei 2008).
Barbour, M. G., Burk, J. H and Pitts, W. D., 1999. Teresterial Plant Ecology, Third Edition, California, U. S. A.
Barnes, R. D., 1987, Invertebrata Zoology: Fifth Edition, Saunders Company, Philadelphia.
Cox, G.W., 2002, General Ecology Laboratory Manual. 8th Edition, The McGraw-Hill Companies, USA.
Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).
Diana, N., 2001. Struktur Komunitas Makrozoobentos pada Perairan Intertidal Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Kebupaten Kendari, Skripsi Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari.
Efriyeldy, 1997, Struktur Komunitas Makrozoobentos Dan Keterkaitannya Dengan Karakteristik Sedimen Di Perairan Muara Sungai Bantan Tengah, Bangkalis, Tesisi Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Frith, D. W., 1977, A Pleminary List of Macrofauna From Mangrove Forest and Adjcent Brotopes at Suria Island, Phuket Marine Centre Research, Phuket.
Hutabarat, S dan Evans, S. M., 1985, Pengantar Oseonografi, UI-Press, Jakarta.
Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April 2008).
28
Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan Lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Ludwig, G.A., and Reynolds, J.F., 1989, Statical Ecology, John Willey and Soonds, New York.
Michael, P., 1994, Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan di Laboratorium, UI-Press, Jakarta
Mustafa dan Sanusi, 1981, Lapangan Survei Pembinaan dan Pemanfaatan Hutan Bakau, Direktoral Jenderal Perikanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Moro, 1986, Pola Sebaran Moluska di Hutan Mangrove Legon Lentah, Pulau Panaitan. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Nontji, A., 2002, Laut Nusantara, PT. Djambatan, Jakarta.
Nybakken, J. W., 1992, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan Muhammad Eigman, dkk), Gramedia Pustaka. Jakarta.
_________. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th Edition, An Imprint of Addison Wesley Longman Inc., New York.
Odum EP. 1993, Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Quinitio, E.T. & Parado, E.F.D. 2003. Biology and Hatchery of the Mud Crabs Scylla spp. Aquaculture Extension Manual, (Online), No. 34, SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (rfdp.seafdec.org.ph, diakses 15 Mei 2008).
Ramli, D., 1989, Ekologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Sara, L., 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science,
29
(Online), Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org, diakses 1 Mei 2008).
Setyobudiandi, I., 1997, Makrozoobentos, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 15 Mei 2008).
Silaen, W. M., 1999, Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Utara Pulau Batam-Bintan dan Laut Natuna, Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.
Soemodihardjo, S., 1977, Beberapa Segi Biologi Hutan Payau dan Tinjauan Singkat Komunitas Mangrove di Gugusan Pulau Pari, Oseana, Bogor.
Suparman, 2005. Kelimpahan dan Diversitas Gastropoda Epifauna Mangrove Alami dan Tereksploitasi Ringan di Lanowulu TNRAW Sulawesi Tenggara. Skripsi Jurusan Biologi F-MIPA. Unhalu. Kendari
Susanto, P., 2000, Pengantar Ekologi Hewan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, (Online), IPB, Bogor.
Whitten, A.J., Mustafa, M dan Henderson., 1992, Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press, Yokyakarta.
Whitten, T. R.E. Soeriaatmadja dan S. A. Afiff., 1999, Ekologi Jawa dan Bali, Prehalindo, Jakarta.
www.environment.gov.au. 2007. Red Crabs (Gecarcoidea natalis) (Pocock, 1888), (Online), (diakses 15 Mei 2008).
www.portofpeninsula.org. 1997. Crab. Washington State Department of Fish & Wildlife, (Online), (diakses 15 Mei 2008).
www.shim.bc.ca. 2008. Red Rock Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2008).
30
DISTRIBUSI KELIMPAHAN DAN TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS KEPITING (BRACHYURA) PADA BEBERAPA TEGAKAN MANGRROVE ALAMI
DI DESA PASARAE APUA KABUPATEN BOMBANA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL RAWA AOPA.
PROPOSAL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana
Oleh:
ALI ARFA’IF1D1 07 004
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
31
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011