proposal kepiting

47
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan suatu ekosistem yang khas terdapat pada wilayah pesisir didaerah tropik. Sebagai suatu komunitas, vegetasi mangrove yang hidup pada suatu wilayah perairan antara darat dan laut, merupakan suatu mata rantai yang sangat penting dalam memelihara siklus biologi, tempat berlindung berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota pesisir, habitat satwa burung, primata, reptilia, insekta dan lain-lain yang secara biologis dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia (Atmawidjaja, 1986). Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis

Upload: agus-rinal

Post on 11-Jan-2017

450 views

Category:

Environment


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal kepiting

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mangrove merupakan suatu ekosistem yang khas terdapat pada wilayah

pesisir didaerah tropik. Sebagai suatu komunitas, vegetasi mangrove yang hidup

pada suatu wilayah perairan antara darat dan laut, merupakan suatu mata rantai

yang sangat penting dalam memelihara siklus biologi, tempat berlindung berbagai

jenis udang, ikan dan berbagai biota pesisir, habitat satwa burung, primata,

reptilia, insekta dan lain-lain yang secara biologis dan ekonomis dapat

dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia (Atmawidjaja, 1986).

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk

menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing

sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap

zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,

dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman

biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman

anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan

tekstil, makanan, dan obat-obatan.

Taman Nasional Rawa Aopa ditetapkan berdasarkan SK Menteri

Kehutanan No. 756/Kpts-II/1990 tertanggal 17 Desember 1990 dengan luas ±

Page 2: Proposal kepiting

2

105.194 ha. Sebelum menjadi taman nasional, kelompok kawasan ini merupakan

hasil merger dari Taman Buru Gunung Watumohai dan Suaka Margasatwa Rawa

Aopa. Penetapan kawasan ini dilatar belakangi oleh biodiversitas yang tinggi dan

kekayaan ekosistem yang unik dan khas yang terdiri dari empat ekosistem yakni

ekosistem hutan mangrove, ekosistem rawa, ekosistem savana dan ekosistem

hutan hujan tropis dataran rendah.

Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia

sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari

penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau

estuaria dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan

semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting

bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata

pertumbuhan produksi kepiting Bakau di beberapa provinsi penghasil utama

kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun.

Sejauh ini informasi ilmiah terkait analisis daya dukung jenis-jenis

magrove, terhadap komunitas kepiting Brachyura di Taman Nasional Rawa Aopa

masih sangat minim sehingga dibutuhkan kajian ilmiah secara lebih

komprehensif terkait keberadaan fauna jenis-jenis mangrove dan komunitas

kepiting di Taman Nasional Rawa Aopa ini.

Page 3: Proposal kepiting

3

Dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang

berjudul “Distribusi Kelimpahan dan Tingkat Kesamaan Komunitas Kepiting

Brachyura Pada Beberapa Tegakan Mangrove Alami di Desa Pasarae Apua

Kabupaten Bombana di Sekitar Taman Nasional Rawa Aopa”

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana

distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting brachura pada

beberapa tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di

sekitar Taman Nasional Rawa Aopa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui

distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting brachura pada

beberapa tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di

sekitar Taman Nasional Rawa Aopa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh setelah melakukan penelitian ini adalah

sebagai bahan informasi tentang distribusi kelimpahan dan tingkat kesamaan

komunitas kepiting brachura pada beberapa tegakan mangrove alami di Desa

Pasarae Apua Kabupaten Bombana di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa.

Page 4: Proposal kepiting

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan yang terbentang sepanjang

pesisir yang komposisinya terdiri dari beberapa jenis flora dan fauna yang saling

berinteraksi. Kimball (1992), mengemukakan bahwa hamparan pesisir tempat

tumbuh mengrove merupakan habitat yang sangat produktif karena didukung oleh

keanekaragaman populasi, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen.

Kebanyakan tumbuhan dalam ekosistem mangrove mengembangkan sistem

perakaran yang khas untuk memungkinkan pertukaran gas di atas tanah yang

tergenang dan kekurangan air.

Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain

MacNae, (1968); Chapman (1976); Lear and Turner (1977) ; Steenis (1978);

Odum, (1982); Kusmana (1982; Soerianegara dan Indrawan, (1982) ; Saenger,

(1983); Tomlinson, (1986); dan Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk

menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan

adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan

hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi,

tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-

muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis.

Page 5: Proposal kepiting

5

Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu. Pembentuk kelompok

vegetasi ini adalah berbagai spesies tumbuhan mangrove yang dapat beradaptasi

secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, yaitu salinitas tinggi, sedang atau

rendah, tipe tanah yang didominasi lumpur, pasir atau lumpur berpasir dan

terpengaruh pasang surut sehingga terbentuk zonasi (Mustafa dan Sanusi, 1981).

Tiap lokasi mangrove mempunyai keanekaragaman yang berbeda,

bergantung pada umur mangrove tersebut. Vegetasi mangrove mempunyai

morfologi dan anatomi tertentu sebagai respon fisiogenik terhadap habitat-habitat

vegetasi mangrove yang bersifat halopatik menyukai tanah-tanah yang bergaram,

misalnya Avicennia sp., Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp.

B. Fungsi Mangrove

Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarial sehingga

merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan

lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian,

daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun

perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut

(Moro, 1986).

Mangrove mempunyai berbagai fungsi yaitu fungsi fisik, fungsi biologis dan

fungsi ekonomi. Fungsi fisik yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,

melindungi tebing pantai dan sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air

laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis adalah sebagai habitat

Page 6: Proposal kepiting

6

benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber

keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik seperti burung, ular, kera,

kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis

yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu dan arang), bahan bangunan (balok dan

papan), serta bahan tekstil, makanan dan obat-obatan (Mustafa dan Sanusi, 1981)

C. Kepiting (Infraordo Brachyura)

1. Morfologi dan Anatomi Kepiting

Kepiting adalah binatang Crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya

mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura =

ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Tubuh

kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras,

dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan

darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya

beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki

hingga 4 m (Aryadi, 2008).

Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran

yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh

kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1 dan 2).

Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds

terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur

chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan

Page 7: Proposal kepiting

7

membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata

dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan

Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain

exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala,

badan dan insang.

Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama

dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di

hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida),

perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh

maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah

rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih

(phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang

berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen

biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di

bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan

carapace.

Page 8: Proposal kepiting

8

Gambar 1. Tubuh bagian dorsal kepiting dewasa (Sumber: Quinitio & Parado, 2003).

Gambar 2. Tubuh bagian ventral kepiting dewasa (Sumber: www.portofpeninsula.org, 1997).

Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove memperlihatkan adaptasi

morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran insang kepiting

berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies intertidal di daerah

temperate umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies

akuatik. Gejala ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode dan Uca yang

mempunyai beberapa filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies

akuatik. Filamen insang mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi dan fungsi

tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi vaskular dan dapat

berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara melalui udara yang

tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui secara teratur dengan

sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).

Page 9: Proposal kepiting

9

Menurut Prianto (2007), bahwa bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu

dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh

tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan

makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh

organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang

kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan

kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan

tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki

alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia.

Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan,

pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.

Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik.

Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam

rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat

mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai

spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan

menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik

perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan

untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya

Page 10: Proposal kepiting

10

2. Klasifikasi Kepiting

Secara umum, klasifikasi ilmiah kepiting sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Sub Phylum : Crustacea

Classis : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Pleocyemata

Infraordo : Brachyura (Aryadi, 2008)

3. Daur Hidup Kepiting

Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya

saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting

betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina

memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa

bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat

(bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan

ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen). Jumlah telur yang dibawa

tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan

hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah

beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan

“zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan

Page 11: Proposal kepiting

11

perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen.

Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting

beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan

sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).

Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva

atau juvenil, anakan dan dewasa. Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9

fase (Juwana, 2004). Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih

mirip udang dari pada kepiting. Di kepala terdapat semacam tanduk yang

memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat rambut-rambut.

Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap

megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Larva kepiting berenang dan terbawa arus

serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002). Beberapa hasil penelitian

menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi fitoplankton beberapa

saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih cenderung memilih zooplankton

sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat

menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif

terhadap perubahan kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).

Page 12: Proposal kepiting

12

Gambar 3. Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) (Sumber: Davey, 2000).

4. Habitat Dan Penyebaran Kepiting

Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air

tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di

berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal

banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove.

Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp,

Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna

yang aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).

Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai

plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan

dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Kepiting dan rajungan tergolong

dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup

banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Menurut Moosa dalam Nontji

(2002) mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234

Page 13: Proposal kepiting

13

jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu

diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja

yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak

besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan

karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa

jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji,

2002).

Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1.000

spesies kepiting yang dikelompokkan ke dalam 50 famili. Sebagian besar

kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal

hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup

di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis

dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.

Frekuensi kemunculan maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada

saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon

untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan

kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan

predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan

Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi

dengan telur-telur ikan.

Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan

yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove.

Page 14: Proposal kepiting

14

Hewan ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya,

kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau

dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari

yang jantan (DPI & F, 2003).

Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi

Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan

yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di

daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya

adalah soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di

pantai dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian

kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan

atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja

gangguan, misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba

saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang

perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan keluar lagi

beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji, 2002).

Page 15: Proposal kepiting

15

D. Kepiting Sebagai Keystone Species

Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan

kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah

spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan

kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain

(Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).

Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting

telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di

dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007),

beberapa peran kepiting di dalam ekosistem mangrove, adalah sebagai berikut:

1. Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi. Kepiting berfungsi

menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran

detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini

menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur

akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan

detrivor, mikroba sebagai pengurai.

2. Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah. Lubang yang dibangun

berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai

tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan

dalam mencari makan. Di samping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi

untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan

Page 16: Proposal kepiting

16

melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat

memperbaiki kondisi anoksik.

3. Membantu daur hidup karbon. Dalam daur hidup karbon, unsur karbon

bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat

penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur

biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya.

4. Penyedia makanan alami. Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan

ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam

satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-

biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti

melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi

ikan-ikan karnivora.

E. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kepiting

Sifat-sifat fisika-kimia air berpengaruh langsung maupun tidak langsung

bagi kehidupan kepiting. Perubahan kondisi fisika-kimia suatu perairan dapat

menimbulkan akibat yang merugikan terhadap populasi bentos yang hidup di

ekosistem perairan (Setyobudiandi, 1997).

1. Substrat dasar

Menurut Levington (1982) dalam Ilham (1999) tipe substrat adalah

faktor utama yang mengendalikan tipe distribusi hewan bentos. Lebih lanjut

Nybakken, (1992) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan

Page 17: Proposal kepiting

17

salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organic dan

distribusi organisme zoobentos. Oleh karena itu tipe substrat dikatakan sebagai

faktor pembatas bagi kehidupan organisme penghuni dasar perairan. Pada

umumnya tipe substrat berpasir ditemukan pada perairan dengan arus yang

kuat sedangkan pada perairan arus lemah biasanya ditemukan substrat

berlumpur Gray (1981) dalam Efriyeldy (1997).

Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di

suatu perairan (Susanto, 2000). Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa

lumpur. Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas

hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke

tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan

karena itu organisme yang hidup di dalamnya harus dapat beradaptasi pada

keadaan ini (Ramli, 1989).

2. Suhu

Menurut Hutagalung (1991) dalam Silaen (1999) suhu merupakan

salah satu parameter yang penting dalam lingkungan. Mulyanto (1992) dalam

Diana (2001) menyatakan bahwa suhu yang baik bagi kehidupan biota di

daerah tropis berkisar antara 25-32 0 C. lebih lanjut Whitten dkk, (1992)

menyatakan bahwa perairan pantai tropik biasanya mempunyai kisaran suhu

antara 27-290 C, akan tetapi dapat lebih tinggi seiring dengan berkurangnya

kedalaman air. Kinne dalam Efriyeldy (1997) menyatakan bahwa suhu air yang

Page 18: Proposal kepiting

18

berkisar antara 35-41 0 C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme

makrozoobentos dan dapat mengakibatkan kematian.

3. Derajat keasaman (pH)

Menurut Boyd (1982) dalam Efriyeldy (1997) nilai pH menunjukkan

derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan, dan dapat merupakan salah

satu faktor pembatas bagi kehidupan organisme bentos diperairan. Lebih lanjut

Odum (1971) menambahkan bahwa air laut merupakan sistem penyangga

(buffer system) yang sangat luas dengan pH yang relatif stabil yaitu berkisar

7,0 – 8,5 sehingga apabila terjadi perubahan nilai alamiah maka hal tersebut

menandakan bahwa penyangga perairan tersebut terganggu karena pada

dasarnya air laut mempunyai kemampuan untuk mencegah terjadinya

perubahan pH.

4. Salinitas

Salinitas merupakan jumlah rata-rata seluruh garam yang terdapat di

dalam air laut yang dinyatakan dalam gram perliter atau permil (ppt). Menurut

Zottoly (1983) dalam Diana (2001) salinitas yang umum pada air laut untuk

perkembangan biota-biota perairan adalah 23-37,5 ppt. sedangkan menurut

Whitten, dkk (1992) menyatakan bahwa salinitas antara mintakat pasang naik

dan pasang surut umumnya lebih rendah daripada air laut, karena adanya

pengenceran oleh air tawar yang berasal dari aliran sungai-sungai yang

bermuara di perairan tersebut.

Page 19: Proposal kepiting

19

5. Kandungan bahan organik

Bahan organik merupakan salah satu sumber makanan bagi organisme

bentos. Menurut Bengen dkk, (1995) bahwa nutrien tidak banyak terdapat

dalam substrat berpasir, dimana hal tersebut disebabkan oleh arus yang tidak

hanya menghanyutkan partikel sedimen kecil saja tetapi juga menghanyutkan

partikel nutrien. Sebaliknya pada daerah dengan arus lambat kandungan bahan

organik cenderung melimpah karena semua partikel-partikel akan mengendap

di dasar perairan.

Kandungan bahan organik dan anorganik dalam air dapat

mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Wahyono (1993) dalam Diana

(2001). Dalam jumlah yang cukup bahan organik dapat menyokong kehidupan

makrozoobentos, akan tetapi dalam jumlah yang berlebihan dapat

menimbulkan terjadinya pembusukkan.

Page 20: Proposal kepiting

20

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2011, bertempat di Taman

Nasional Rawa Aopa Watumohai, dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas

Haluoleo Kendari.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan serta fungsinyaNo. Nama Alat Fungsi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Termometer

Hand refractometer

pH meter

GPS

Kompas

Kantong plastik

Parang

Meteran roll

Alat tulis menulis

Tali rafia

Buku identifikasi

Kamera

Untuk mengukur suhu

Untuk mengukur salinitas

Untuk mengukur pH air laut

Untuk menentukan titik koordinat

Untuk menentukan arah dalam pembuatan transek

Untuk menyimpan sampel sebelum diidentifikasi

Untuk membersihkan transek penelitian

Sebagai alat untuk mengukur transek

Untuk mencatat hasil pengamatan.

Untuk membuat transek

Untuk mengidentifikasi jenis kepiting

Untuk mengambil gambar

Page 21: Proposal kepiting

21

2. Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang digunakan serta fungsinya

No. Nama Bahan Fungsi

1.

2.

Kepiting (Brachyura)

Alkohol 70%

Sebagai hewan sampel yang akan diamati

Sebagai pengawet sampel sebelum diidentifikasi

C. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian

1. Variabel penelitian

Variabel yang akan diamati dalam penelitian ini adalah distribusi

kelimpahan dan tingkat kesamaan komunitas kepiting (Brachyura) pada beberapa

tegakan mangrove alami di Desa Pasarae Apua Kabupaten Bombana di sekitar

Taman Nasional Rawa Aopa.

2. Definisi operasional

Untuk menghindari adanya kekeliruan maka dijelaskan beberapa definisi

yang dianggap penting, yaitu:

a. Kepiting adalah binatang Crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya

mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek,

ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax.

Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum

Page 22: Proposal kepiting

22

Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan

Infraorder Brachyura (Aryadi, 2008).

b. Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan yang terbentang sepanjang

pesisir yang komposisinya terdiri dari beberapa jenis flora dan fauna yang

saling berinteraksi

3. Indikator penelitian

Indikator penelitian ini adalah jumlah individu tiap spesies yang termasuk

infraordo Brachyura yang ditemukan dalam plot pengamatan.

D. Prosedur Penelitian

1. Survei lapangan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei dengan menggunakan

metode kuadrat untuk memberikan gambaran tentang karateristik

pertumbuhan mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa.

2. Kegiatan di Lapangan

a. Membuat beberapa kuadrat berukuran 10 X 10 meter pada jenis-jenis

mangrove terhadap komunitas kepiting (Bracyura).

b. Pada masing-masing transek pengamatan dilakukan pengukuran faktor

lingkungan seperti suhu, salinitas, tekstur, dan KOT substrat. Untuk

pengukuran tekstur dan KOT substrat dilakukan di laboratorium. KOT

dihitung menggunakan rumus berikut:

Page 23: Proposal kepiting

23

KOT = x 100%

Keterangan:

KOT = Kandungan organik tanah

Berat Kering = Berat tanah setelah dioven pada 45oC selama 24 jam

Berat Abu = Berat tanah setelah ditanur pada 700oC selama 3 jam

(Brower, et. al., 1997).

c. Pengambilan data dilakukan pada saat air surut. Semua jenis kepiting yang

terdapat pada tiap plot dicatat jenis dan jumlah individunya. Untuk kepiting

yang berada dalam lubang, dilakukan penggalian substrat sedalam 20 cm.

d. Melakukan identifikasi jenis kepiting di lapangan. Untuk jenis yang tidak

diketahui jenisnya, diidentifikasi di Laboratorium Biologi Unit Ekologi

Jurusan Biologi FMIPA Unhalu menurut Khan dan Ravichandran (2007) dan

www.mangrovecrabs.com (2005).

e. Mengambil gambar kepiting yang terdapat pada plot pengamatan.

Page 24: Proposal kepiting

24

A

a b

C

c

B

Gambar 1. Model penempatan plot pengamatan pada setiap stasiun mangrove alami.

Keterangan : A = Batas formasi vegetasi mangrove kawasan daratB = Batas formasi vegetasi mangrove kawasan pantaiC = Arah formasi, darat menuju kawasan pantai a,b,c = Plot (10 x 10 m)1,2,3..5 = Subplot (1x1 m)

Catatan: Jarak antar plot bervariasi tergantung ketebalan mangrove.

1 2

Page 25: Proposal kepiting

25

F. Analisis Data

Data dianalisis secara kuantitatif untuk parameter: kerapatan (K), kerapatan

relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), indeks nilai penting (INP),

indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks similaritas (IS).

a. Kerapatan (K)

b. Kerapatan Relatif (Kr)

c. Frekuensi (F)

d. Frekuensi Relatif (Fr)

e. Indeks Nilai Penting ( INP) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif

(Krebs, 1978)

f. Keanekaragaman (Diversity) indeks Shannon-Wienner (1949) dalam Barbour,

et. al., (1987) yaitu :

H’ = -

Dimana Pi = ni/N

Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah total seluruh jenis.

Page 26: Proposal kepiting

26

g. Indeks kemerataan Evennens (E), (Brower et. al., 1997) yaitu :

E = =

Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis S = jumlah jenis

Dengan kisaran sebagai berikut :

E < 0,4 = Kemerataan populasi kecil

0,4 ≤ E < 0,6 = Kemerataan populasi sedang

E ≥ 0,6 = Kemerataan populasi tinggi.

h. Indeks Similaritas (IS) dihitung dengan menggunakan rumus Bray dan Curtis

dalam Analuddin (1997) :

IS = x 100%

Keterangan : W = Jumlah nilai penting terendah dari jenis yang terdapat

pada stasiun A dan stasiun B

A = Jumlah total nilai penting pada stasiun A

B = Jumlah total nilai penting pada stasiun B

Sedangkan, penentuan Indeks disimilaritas (ID) dihitung dengan rumus :

ID = 100 – IS

Keterangan : ID = Indeks disimilaritas

IS = Indeks similaritas.

Page 27: Proposal kepiting

27

DAFTAR PUSTAKA

Aryadi, 2008, Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya, (Online), (http://www.utkampus.net, diakses 1 Mei 2008).

Barbour, M. G., Burk, J. H and Pitts, W. D., 1999. Teresterial Plant Ecology, Third Edition, California, U. S. A.

Barnes, R. D., 1987, Invertebrata Zoology: Fifth Edition, Saunders Company, Philadelphia.

Cox, G.W., 2002, General Ecology Laboratory Manual. 8th Edition, The McGraw-Hill Companies, USA.

Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).

Diana, N., 2001. Struktur Komunitas Makrozoobentos pada Perairan Intertidal Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Kebupaten Kendari, Skripsi Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari.

Efriyeldy, 1997, Struktur Komunitas Makrozoobentos Dan Keterkaitannya Dengan Karakteristik Sedimen Di Perairan Muara Sungai Bantan Tengah, Bangkalis, Tesisi Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Frith, D. W., 1977, A Pleminary List of Macrofauna From Mangrove Forest and Adjcent Brotopes at Suria Island, Phuket Marine Centre Research, Phuket.

Hutabarat, S dan Evans, S. M., 1985, Pengantar Oseonografi, UI-Press, Jakarta.

Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April 2008).

Page 28: Proposal kepiting

28

Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan Lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Ludwig, G.A., and Reynolds, J.F., 1989, Statical Ecology, John Willey and Soonds, New York.

Michael, P., 1994, Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan di Laboratorium, UI-Press, Jakarta

Mustafa dan Sanusi, 1981, Lapangan Survei Pembinaan dan Pemanfaatan Hutan Bakau, Direktoral Jenderal Perikanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Moro, 1986, Pola Sebaran Moluska di Hutan Mangrove Legon Lentah, Pulau Panaitan. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Nontji, A., 2002, Laut Nusantara, PT. Djambatan, Jakarta.

Nybakken, J. W., 1992, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan Muhammad Eigman, dkk), Gramedia Pustaka. Jakarta.

_________. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th Edition, An Imprint of Addison Wesley Longman Inc., New York.

Odum EP. 1993, Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Quinitio, E.T. & Parado, E.F.D. 2003. Biology and Hatchery of the Mud Crabs Scylla spp. Aquaculture Extension Manual, (Online), No. 34, SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (rfdp.seafdec.org.ph, diakses 15 Mei 2008).

Ramli, D., 1989, Ekologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sara, L., 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science,

Page 29: Proposal kepiting

29

(Online), Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org, diakses 1 Mei 2008).

Setyobudiandi, I., 1997, Makrozoobentos, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 15 Mei 2008).

Silaen, W. M., 1999, Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Utara Pulau Batam-Bintan dan Laut Natuna, Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.

Soemodihardjo, S., 1977, Beberapa Segi Biologi Hutan Payau dan Tinjauan Singkat Komunitas Mangrove di Gugusan Pulau Pari, Oseana, Bogor.

Suparman, 2005. Kelimpahan dan Diversitas Gastropoda Epifauna Mangrove Alami dan Tereksploitasi Ringan di Lanowulu TNRAW Sulawesi Tenggara. Skripsi Jurusan Biologi F-MIPA. Unhalu. Kendari

Susanto, P., 2000, Pengantar Ekologi Hewan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, (Online), IPB, Bogor.

Whitten, A.J., Mustafa, M dan Henderson., 1992, Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press, Yokyakarta.

Whitten, T. R.E. Soeriaatmadja dan S. A. Afiff., 1999, Ekologi Jawa dan Bali, Prehalindo, Jakarta.

www.environment.gov.au. 2007. Red Crabs (Gecarcoidea natalis) (Pocock, 1888), (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.portofpeninsula.org. 1997. Crab. Washington State Department of Fish & Wildlife, (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.shim.bc.ca. 2008. Red Rock Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2008).

Page 30: Proposal kepiting

30

DISTRIBUSI KELIMPAHAN DAN TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS KEPITING (BRACHYURA) PADA BEBERAPA TEGAKAN MANGRROVE ALAMI

DI DESA PASARAE APUA KABUPATEN BOMBANA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL RAWA AOPA.

PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana

Oleh:

ALI ARFA’IF1D1 07 004

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Page 31: Proposal kepiting

31

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2011