kajian struktur ukuran dan parametr populasi kepiting

14
Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587 93 Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan, Kepulauan Riau Study Of Size Structure And Population Mud Crab (Scylla serrata) In Mangrove Ecosystem Bintan Gulf, Riau Islands M. Tahmid 1* , Achmad Fahrudin 2 , Yusli Wardiatno 2 1 MProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Persisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 2 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) *E-mail: [email protected] ABSTRAK Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu potensi komoditas perikanan skala kecil yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kelimpahan populasi dipengaruhi oleh upaya penangkapan dan kondisi ekosistem mangrove sebagai habitat utamanya. Produksi kepiting bakau di Teluk Bintan menurun dan penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang biologi kepiting bakau di Teluk Bintan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status populasi kepiting bakau yang meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan dan laju mortalitas dan eksploitasi. Pengambilan data kepiting bakau dilakukan dengan pendekatan yaitu fisher-based survey. Hasil penelitian menunjukkan ukuran kepiting bakau yang tertangkap mulai dari lebar karapas (CW) 64-172 mm, ukuran fase muda kepiting jantan yang tertangkap mencapai 46,62% dan betina mencapai 48,06%, keduanya hampir setengah dari tangkapan total, ini menunjukkan bahwa alat tangkap yang digunakan belum selektif. CW∞ jantan mencapai 176,93 mm lebih tinggi dari kepiting betina sebesar 169,58 mm, namun sebaliknya nilai koefesien K jantan (0,360) lebih kecil dari betina (0,390), sehingga pertumbuhan kepiting bakau betina lebih cepat dari jantan. Perkiraan angka kematian alami (M) jantan = 0,5566 dan kematian akibat penangkapan (F) jantan = 0,6434 sedangkan M betina = 0,59 dan F betina = 0,41. Laju eksploitasi (E) kepiting jantan mencapai 53,62%, ini dapat dikatakan telah terjadi lebih tangkap atau over eksploitasi. Kata kunci: Scylla serrata, parameter pertumbuhan, struktur ukuran, mangrove and Teluk Bintan ABSTRACT Mud crab (Scylla serrata) is one of the potential of small-scale fishery commodities that have high economic value. The abundance of the population is affected by the fishing effort and conditions mangrove ecosystem as its main habitat. Mud crab production in the Gulf of Bintan declined and the cause is not known with certainty. Therefore, it is necessary to study on the biology of mud crab in the Gulf of Bintan. This study aims to assess the status of mangrove crab population that includes the size structure, parameters of growth and the rate of mortality and exploitation. Data retrieval is done with a mangrove crab fisher-based survey. The results showed that the size of mud crab caught from carapace width (CW) 64-172 mm, the size of the young phase male crabs caught females reached 46.62% and reached 48.06%, both are almost half of the total catch, it indicates that fishing gear used is not selective. CW∞ males reach 176.93 mm higher than the female crabs of 169.58 mm, but instead value koefesien K males (0.360) is smaller than females (0.390), so that the growth of female mud crabs faster than males. Estimated natural mortality rates (M) male = 0.5566 and deaths from arrest (F) male = 0.6434 while M females female F = 0.59 and = 0.41. The rate of exploitation (E) male crabs reached 53.62%, can be said to have occurred over fishing or over-exploitation. Keywords: Scylla serrata, growth parameters, structure size, mangrove and bay Bintan

Upload: others

Post on 17-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

93

Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr PopulasiKepiting Bakau (Scylla serrata) di Ekosistem Mangrove

Teluk Bintan, Kepulauan Riau

Study Of Size Structure And Population Mud Crab (Scylla serrata)In Mangrove Ecosystem Bintan Gulf, Riau Islands

M. Tahmid1*, Achmad Fahrudin2, Yusli Wardiatno2

1MProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Persisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana, Institut PertanianBogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680

2Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, InstitutPertanian Bogor (IPB)

*E-mail: [email protected]

ABSTRAKKepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu potensi komoditas perikanan skala kecil yangmemiliki nilai ekonomi tinggi. Kelimpahan populasi dipengaruhi oleh upaya penangkapan dankondisi ekosistem mangrove sebagai habitat utamanya. Produksi kepiting bakau di Teluk Bintanmenurun dan penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajiantentang biologi kepiting bakau di Teluk Bintan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji statuspopulasi kepiting bakau yang meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan dan laju mortalitasdan eksploitasi. Pengambilan data kepiting bakau dilakukan dengan pendekatan yaitu fisher-basedsurvey. Hasil penelitian menunjukkan ukuran kepiting bakau yang tertangkap mulai dari lebar karapas(CW) 64-172 mm, ukuran fase muda kepiting jantan yang tertangkap mencapai 46,62% dan betinamencapai 48,06%, keduanya hampir setengah dari tangkapan total, ini menunjukkan bahwa alattangkap yang digunakan belum selektif. CW∞ jantan mencapai 176,93 mm lebih tinggi dari kepitingbetina sebesar 169,58 mm, namun sebaliknya nilai koefesien K jantan (0,360) lebih kecil dari betina(0,390), sehingga pertumbuhan kepiting bakau betina lebih cepat dari jantan. Perkiraan angkakematian alami (M) jantan = 0,5566 dan kematian akibat penangkapan (F) jantan = 0,6434 sedangkanM betina = 0,59 dan F betina = 0,41. Laju eksploitasi (E) kepiting jantan mencapai 53,62%, ini dapatdikatakan telah terjadi lebih tangkap atau over eksploitasi.

Kata kunci: Scylla serrata, parameter pertumbuhan, struktur ukuran, mangrove and Teluk Bintan

ABSTRACTMud crab (Scylla serrata) is one of the potential of small-scale fishery commodities that have higheconomic value. The abundance of the population is affected by the fishing effort and conditionsmangrove ecosystem as its main habitat. Mud crab production in the Gulf of Bintan declined and thecause is not known with certainty. Therefore, it is necessary to study on the biology of mud crab in theGulf of Bintan. This study aims to assess the status of mangrove crab population that includes the sizestructure, parameters of growth and the rate of mortality and exploitation. Data retrieval is done witha mangrove crab fisher-based survey. The results showed that the size of mud crab caught fromcarapace width (CW) 64-172 mm, the size of the young phase male crabs caught females reached46.62% and reached 48.06%, both are almost half of the total catch, it indicates that fishing gearused is not selective. CW∞ males reach 176.93 mm higher than the female crabs of 169.58 mm, butinstead value koefesien K males (0.360) is smaller than females (0.390), so that the growth of femalemud crabs faster than males. Estimated natural mortality rates (M) male = 0.5566 and deaths fromarrest (F) male = 0.6434 while M females female F = 0.59 and = 0.41. The rate of exploitation (E)male crabs reached 53.62%, can be said to have occurred over fishing or over-exploitation.

Keywords: Scylla serrata, growth parameters, structure size, mangrove and bay Bintan

Page 2: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

94

I. PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla spp) merupakansalah satu potensi komoditas perikananyang mempunyai nilai ekonomis tinggi(Laroso et al. 2013). Di Indonesia, spesiesini tersebar luas dari barat (Sumatera) ketimur (Papua) yang tersebar di banyakwilayah pesisir yang memiliki hutanmangrove yang luas dan perairan estuaridan kegiatan penangkapan terhadapsumberdaya kepiting bakau trendeksploitasinya menunjukkan peningkatan(La (Sara, 2010). Permintaan kepitingbakau di Pulau Bintan yaitu untukmemenuhi permintaan pasar lokal antaralain hotel, restoran seafood dan pasarekspor. Karena permintaan lokal danekspor semakin meningkat, secaralangsung menyebabkan upaya untukmemenuhi kebutuhan pasar semakinmeningkat dan berdampak terhadapmeningkatnya upaya penangkapankepiting bakau. Menurut Mirera (2011);Dumas et al. (2012), meningkatnyapermintaan pasar lokal dan global telahmenyebabkan eksploitasi berlebihan darialam yang terlihat dari penurunan hasiltangkapan dan penurunan rata-rata ukuranyang tertangkap.

Mangrove di Kabupaten Bintankurang lebih seluas 7.972,21 hektar dansebagian besar berada di pesisir TelukBintan dengan luas ±1.463,97 hektar(ITTO Project 2013) yang terdistribusi disepanjang pesisir pantai dan daerah aliransungai. Keberadaan mangrove tersebutoleh masyarakat lokal secara langsungdijadikan sebagai sumber matapencaharian baik berupa sumberdaya hutanmangrove maupun sumber daya perikanan,sehingga kawasan tersebut memilikipotensi dan peranan penting sebagaipenyangga kehidupan masyarakat. Salahsatu potensi perikanan dari ekosistemmangrove Teluk Bintan yang telahdimanfaatakan secara terus menerus oleh

masyarakat adalah sumberdaya kepitingbakau (Scylla serrata).

Populasi kepiting bakau secara khasberasosiasi dengan hutan mangrove yangmasih baik. Sehingga terdegradasinyahabitat akan memberikan dampak yangserius terhadap keberadaan populasikepiting bakau di alam (Le Vay 2001).Menurut nelayan setempat hasil tangkapankepiting bakau 10 tahun terahir semakinmenurun dan penyebabnya belumdiketahui dengan pasti apakah dipengaruhioleh over fishing atau kerusakan habitat.Untuk itu diperlukan pengelolaan denganbenar agar pemanfaatannya dapatberkelanjutan. Untuk melakukanpengelolaan perikanan yang rasional harusdilakukan monitor terhadap keadaanpopulasi dalam waktu tertentu sepertimempelajari parameter populasi (Effendie2006).

Penelitian ini bertujuan untukmengkaji status populasi kepiting bakau(Scylla serrata) yang meliputi strukturukuran, parameter pertubuhan, lajumortalitas dan eksploitasi di lokasipenelitian. Hasil kajian ini diharapkandapat digunakan sebagai bahanpertimbangan dalam pengelolaan Scyllaserrata di ekosistem mangrove TelukBintan agar dapat dimanfaatan secaraberkelanjutan.

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di

kawasan mangrove Teluk BintanKabupaten Bintan yang terletak terletakantara 006’17” - 1034’52” Lintang Utaradan 104012’47” Bujur Timur disebelahBarat – 10802’27” Bujur Timur di sebelahTimur (Gambar 1). Penelitian inidilaksanakan selama 4 bulan dari bulanFebruari – Mei 2015. Lokasi samplingkepiting dikelompokkan berdasarkan

Page 3: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

95

lokasi penangkapan nelayan terdiri daritiga kawasan yaitu Tembeling dengan luasmangrove ±785,12 ha, Bintan Buyudengan luas ±136,50 ha dan Penagadengan luas mangrove 432,59 ha (ITTOProject 2013).

2.2. Metode Pengumpulan DataData yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer, berupa

data biologi kepiting bakau (Scyllaserrata). Pengumpulan data dilakukandengan pendekatan fisher-based surveymengunakan hasil tangkapan nelayan(Dumas et al. 2012). Data kepiting terdiridari data lebar karapas (CarapaceWidth/CW), bobot badan dan jeniskelamin dan lokasi penangakapan.

Gambar 1 Lokasi Penelitian

2.3. Analisis Status Biologi KepitingBakau

Data hasil tangkapan nelayan darilokasi penelitian yang dianalisis meliputiStruktur ukuran, hubungan panjang bobot,parameter pertumbuhan (CW∞, K),mortalitas total (Z), mortalitas alami (M),laju penangkapan (F) dan tingkateksploitasi (E). Struktur ukuran dari keduajenis kelamin dianalisis distribusifrekuensi CW, tabulasi upaya tangkap danhasil tangkapan untuk memprediksi totalproduksi tangkapan di lokasi penelitian.

Hubungan Panjang bobot digunakanuntuk menggambarkan pola pertumbuhankepiting bakau dalam dua bentuk yaitu

isometrik negatif dan allometrik denganmenggunakan persamaan Hile (Effendie2006) yaitu :

W = a L b

dimana W adalah bobot tubuh (gram), Ladalah lebar karapas (mm) (CarapaceWidth/CW), a dan b adalah konstanta yangdiperoleh dari hasil analisis regresi denganLn W sebagai Y dan Ln L sebagai X.

Pendugaan parameter pertumbuhandilakukan dengan persamaan vonBertalanffy:

Ct = CW∞ (1-e[-K(t-t0)])

Tembeling

Bintan Buyu

Penaga

Page 4: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

96

dimana Ct adalah Lebar karapas kepitingpada saat umur t (satuan waktu), CW∞adalah Lebar maksimun karapas secarateoritis (panjang asimtotik), K adalahKoefisien pertumbuhan (per satuanwaktu), t0 adalah umur teoritis pada saatpanjang sama dengan nol. Nilai CW∞ danK dihitung dengan metode ELEFAN I(Electronic Length Frequencys Analisis)dalam program FISAT II. Untukmenetukan t0 (umur teoritis) kepiting padasaat lebar karapas sama dengan noldihitung secara terpisah menggunakanpersamaan empiris Pauly sebagai berikut :

log (-t0) = 0.3922 – 0.2752 logL∞ – 1.038logK.

Setelah parameter pertumbuhandiketahui maka dilakukan pendugaan lajumortalitas total (Z) dan mortalitas alami(M). M diduga dengan menggunakanrumus empiris Pauly sebagai berikut:

Log M = 0.0066–0.279*logL∞+0.6543*Log K +0.4634*LogT

dimana T adalah temperatur perairan. NilaiZ dan M digunakan untuk mendugakematian kepiting bakau akibatpenangkapan (F) dengan menggunakanpersamaan sebagai berikut:= atau =

dimana : Z = total laju mortalitas (pertahun), M = laju mortalitas alami (pertahun), F = laju mortalitaspenangkapan (per tahun), E = lajueksploitasi (pertahun).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Struktur UkuranPengambilan sampel kepiting

bakau (Scylla serrata) dalam penelitian iniselama 4 bulan (Februari – Mei 2015)sebanyak 680 kepiting jantan dan 541kepiting betina. Lebar karapas/carapacewidth (CW) kepiting bakau yangtertangkap di Teluk Bintan berkisar dari 64– 172 mm (jantan) dan 67 – 166 mm(betina) dengan bobot terbesar masing-masing 1.470 gr dan 810 gram. Rata-rataCW jantan lebih besar dari betina dimanarata-rata CW jantan sebesar 121,81±21,45dan 118,28±23,28 (betina), namun selisihstandar deviasinya relatif kecil. Rata-ratabobot kepiting 494,5±282,258 gr (jantan)dan 353,71±172,61 gr (Tabel 1), yangmemiliki perbedaan standar deviasi antarajantan dan betina relatif besar. Ini berartikepiting jatang memiliki kisaran rata-rataberat yang lebih besar.

Tabel 1 Ukuran lebar karapas dan bobot kepiting bakau di Teluk Bintan

Jenis NLebar Karapas/CW (mm) Bobot individu (gr)

Min Max Rata-rata Min Max Rata-rataJantan 680 64 172 121,81±21,45 70 1.470 494,5±282,258Betina 541 67 166 118,28±23,28 60 810 353,71±172,61

Sumber : Hasil penelitian (2015)

Ukuran lebar karapas kepiting bakauyang ditemukan di Teluk Bintan lebih besarjika dibandingkan dengan kepiting bakau diKutai Timur, dimana CW kepiting bakauterbesar yang tertangkap 154 mm (jantan) danbetina 155 mm (betina) Wijaya (2010), danlebih kecil dari kepiting yang tertangkap diTeluk Lawele Sulawesi Tenggara yaitumencapai 212,45 mm dengan berat 1.550 gr(betina) dan 210 mm dengan berat badan 1.700

gr (jantan) La Sara (2010). Kepiting bakau daritiga lokasi di Indonesia lebih kecil dariAustralia yang dapat mencapai ukuran CW300 mm dan berat 2,5 kg (Departement ofFisheries Australia 2013).

Distribusi frekuensi ukuran lebarkarapas/carapace width (CW) kepiting bakauyang tertangkap di Teluk Bintan yangdidistribusikan dengan interval 10 dan 11jumlah kelas disajikan pada Gambar 2.Ilustrasi menunjukkan bahwa distribusi

Page 5: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

97

frekuensi ukuran CW yang paling banyaktertangkap adalah ukuran 124-133 mm (jantan)

dan 134-143 mm (betina).

Gambar 2 Frekuensi lebar karapas Scylla serrata jantan dan betina di Teluk Bintan

Distribusi frekuensi ukuran lebardiklasifikasikan berdasarkan tiga fase,yaitu juvenil, muda dan dewasa. MenurutLa Sara (2010) Scylla serrata pada fasejuvenil memiliki lebar karapas <70 mm,fase muda (lebar karapas dari 70 - <120mm) dan fase dewasa (lebar karapas >120mm). Menurut Bonine et al. (2008)

kepitng bakau (Scylla serrata) jantandewasa kelamin rata-rata ketika lebarkarapas mulai ukuran 90-110, sedangkankepitng betina mulai matang gonad padarata-rata ukuran lebar karapas 80-120 mm.Ilustrasi distribusi frekuensi lebar karapaskepiting bakau di Teluk Bintan disajikanpada Gambar 3.

Gambar 3 Distribusi frekuensi lebar karapas Scylla serrat jantan dan betinaberdasarkan fase dan ukuran yang boleh diperdagangkan

Histogram di atas menunjukkan, kepitingbakau (Scylla serrata) jantan yangtertangkap di Teluk Bintan pada fasedewasa mencapai 52,94% dan betina50,46% dengan kisaran lebar karapasmasing-masing >120 - 172 mm dan >120-166 mm. Kepiting muda jantan yangtertangkap mencapai 46,62% dan betinamencapai 48,06%. Perbedaan jumlah

individu kepiting dewasa dan kepitingmuda jantan maupun betina yangtertangkap relatif kecil yaitu 6,32% dan2,4%. Sedangkan individu juvenil yangtertangkap hanya sebagian kecil yaitu dibawah 1,5%.

Kepiting muda yang tertangkap diTeluk Bintan hampir separuh dari kepitingdewasa, ini menunjukkan bahwa alat

020406080100120140

Frek

uens

i

Lebar Karapas (mm)

Jantan Betina

0.44

46.6240.29

12.65

1.48

48.06 44.92

5.55

0

10

20

30

40

50

60

<70 70-<120 120-<150 >150

Pro

pors

i (%

)

Lebar Karapas (mm)

JantanBetina

Page 6: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

98

tangkap yang digunakan belum selektifdan dapat berimplikasi terganggunyakemampuan rekrutmen dan tangkap lebihatau over eksploitasi. Selain itu, kepitingbakau fase juvenil yang tertangkapmeskipun relatif kecil yaitu di bawah1,5%, ini juga menunjukkan alat tangkapyang digunakan belum selektif.Berdasarkan observasi di lapangan selama4 bulan melakukan penelitian, belumpernah mendapatkan tangkapan kepitingyang sedang bertelur. Hal ini didugadisebabkan oleh pola penangkapan nelayanyang sebagian besar memasang alattangkap di tengah hutan mangrove, di suak(cabang anak sungai) dan pinggiran sungaiyang bukan merupakan tempat utamanelayan setempat menangkap kepiting,sedangkan kepiting betina yang matanggonad lebih banyak terdistribusi di bagianpantai atau mangrove dekat muara sunagi.Sejalan dengan hasil penelitian Wijaya(2010), kepiting betian matang gonad lebihbanyak terditribusi di bagian muara yangmerupakan pintu keluar dan masukkepiting yang sedang bermigrasi dariperairan laut ke kawasan mangrove atausebaliknya. Pola penangkapan seperti iniberdampak positif, karena dapatmengurangi tekanan pada kepiting yangmatang gonad yang akan masuk keekosistem mangrove atau yang telahmelakukan perkawinan dan bermigrasi keperairan laut yang lebih dalam untukmenetaskan telurnya.

Sebagai perbandingan, kepiting yangtertangkap dengan bubu di Teluk LaweleSulawesi Tenggara tidak tertangkapukuran juvenil, pada kepiting muda hanyatertangkap sebanyak 9,5%, sedangkanpada kepiting dewasa mencapai 90,5% (LaSara 2010) Hal tersebut menunjukanbahwa bubu yang digunakan untukmenangkap kepiting di Teluk Lawelesangat selektif, sedangkan di Teluk Bintanbelum. Oleh karenanya, alat tangkap yangdioperasikan di Teluk Bintan perlu didesain atau dimodifikasi lagi agar lebihselektif dan mampu mendapatkan hasiltangkapan kepiting yang telah dewasa.

Alat tangkap sebaiknya di desain dengankisaran tangkapan ukuran >80 mm dengantujuan penggunaan alat tangkap yangmendukung pengelolaan sumber dayakepiting yang berkelanjutan.

Usaha pengaturan penggunaan alattangkap telah diterapkan di beberapatempat seperti di Tanzania, dimananelayan telah mampu menangkap kepitingbakau dari alam yang berukuran terkecilmemiliki lebar karapas 120 mm denganberat > 300 g (Moksnes, 2002). Australiajuga melakukan strategi pengelolaankepiting bakau dengan pengaturan alattangkap, dan telah berhasil menaikkanukuran tangkapan dari CW 130 mm ke 140mm dengan proporsi mencapai lebih 70%,sehingga kepiting betina terhidar darikematian akibat penangkapan langsungdan mereka dapat hidup sampai tingkatkematangan gonad (Meynecke 2009).

Gambar 3 di atas juga menunjukkankepiting yang memiliki frekuensi ukuranCW >150 mm, dimana kepiting bakauhasil tangkapan nelayan di Teluk Bintanyang memiliki ukuran tersebut sebesar12,65% (jantan) dan 5,55% (betina).Ukuran CW >150 mm merupakan ukuranyang diizinkan untuk diperdagangkan olehpemerintah Indonesia berdasarkanPeraturan Menteri Kelautan dan PerikananRI (PermenKP No.1 2015). Patokanharga yang berlaku secara umumberdasarkan ukuran berat kepiting, begitujuga di Teluk Bintan. Level harga di lokasipenelitian ada empat kelas berdasarkanberat. Kelas pertama adalah >900 gr beratbadan (setara dengan ukuran lebar karapasjantan >148,75 mm dan betina >162 mm)dengan harga Rp.120.000-130.000/kg,kelas kedua 600-800 gr (CW jantan >132-144 mm dan betina >141-156 mm) denganharga Rp.100.000-110.000/kg, kelas ketiga300-500 gr (CW jantan >110-125 mm danbetina >112-133 mm) dengan Rp.80.000-Rp.90.000/kg, dan kelas keempat 100-200gr (CW jantan >65-95 mm dan betina >75-100 mm) dengan harga Rp.30.000-50.000/kg. Sedangkan <100 gramharganya sangat rendah (<25000/kg).

Page 7: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

99

Tingkatan harga kepitingberdasarkan ukuran berat juga berlaku diBerau Kalimantan Timur, sebagaimanadiungkapkan oleh Sutrisno et al. (2014),harga kepiting berdasarkan ukuran beratdibagi atas tiga tingkatan yaitu dibawah300 gr, 300-700 gr, dan diatas 700 gr.Begitu pula di Sulawesi Selatan (La Sara2010), harga kepiting dikelompokkandalam tiga kelas. Kelas satu, ukuran >800gr, kelas dua, ukuran 500-800 gr dan kelasketiga, ukuran <500 gr. Ukuran yangumum digunakan dipasaran adalah ukuranberat bukan ukuran lebar karapas.

3.2. Upaya Tangkap dan HasilTangkapan

Lokasi penangkapan kepiting bakau(Scylla serrata) di kawasan mangroveTeluk Bintan tersebar di kawasanekosistem mangrove Tembeling, BintanBuyu dan Penaga. Jumlah nelayan yangmenangkap kepiting bakau di lokasitersebut sebanyak 38 nelayan yang berasaldari masyarakat setempat. Dari jumlahtersebut, ada sebagian nelayan menangkapkepiting merupakan pekerjaan paruh waktudengan pekerjaan lainnya sepertimenangkap ikan, udang, rajungan, mencarikayu bakar dan hasil ekosistem mangrovelainnya. Produksi kepiting bakau hasiltangkapan nelayan belum terdata.Pendaratan hasil tangkapan kepiting bakaudi lokasi penelitian tidak berada pada satulokasi sehingga pendataan produksikepiting hasil tangkapan total nelayan sulituntuk diperkirakan.

Data upaya dan hasil tangkapankepiting bakau sangat penting untuk studidinamika populasi. Meskipun S.serratamerupakan komoditi hasil perikanan yangmemiliki nilai ekonomi penting, namunbelum ada upaya yang dilakukan untukmengumpulkan data dan informasi secarakontiniu tentang kepiting bakau hampirdiseluruh wilayah di Indonesia (La Sara2010). Upaya penangkapan kepiting bakaudi Teluk Bintan umumnya menggunakanbubu injab dan bubu lipat, sangat jarangnelayan menggunakan alat pengait. Injab

merupakan sebutan masyarakat lokal untukalat tangkap bubu yang terbuat dari bambuberbentuk bulat panjang yang memilikispesifikasi panjang (P) 80 cm, diameter(D) 28 cm, sedangkan bubu lipatmerupakan bubu yang umum adadipasaran yang memiliki spsesifikasi 55cm x 40 cm x 20 cm dengan mesh size 2,5cm. Alat tangkap yang digunakan belumdidesain secara khusus untuk menangkapkepiting bakau ukuran dewasa, sepertidengan cara memberi celah pelolosan padabubu, sebagai mana dinyatakan olehBoutson et al. (2009); Susanto danIrnawati (2012) yang mengemukakanbahwa celah pelolosan yang dibuat padabubu mampu meloloskan kepiting ukuran<70 mm hingga 70% (hasil uji coba skalalaboratorium.

Upaya penangkapan kepiting bakaudi Teluk Bintan dilakukan sepanjang tahundengan musim puncak berkisar pada bulanOktober – November, musim paceklikberkisar dari bulan April-Juni, sedangkanbulan lainnya rata-rata dalam kondisisedang. Hasil wawancara terhadap 23nelayan kepiting, upaya penangkapankepiting bakau berkisar 15 – 26 hari/bulandengan rata-rata 19±4 hari/bulan. Hasiltangkapan pada musim puncak rata-ratamencapai 40,63±18,68 kg/bulan, musimsedang rata-rata 25,14±21,07 kg/bulan danhasil tangkapan nelayan musim paceklikrata-rata 13,13±9,38 kg/bulan (Gambar 4).

Ketika pada musim paceklik danhasil tangkapan menurun, mayoritasnelayan bergeser melakukan aktivitas lainseperti menangkap udang, ikan, mencarikayu dan hasil hutan lainya. Kebiasaan inisecara langsung dapat mengurangi tekananterhadap penangkapan kepiting dan waktujeda ini memberikan kesempatan kepadakepiting untuk melakukan rekrutmen.Menurut La Sara (2010) mengungkapkanbahwa nelayan di Teluk Lawele, padamusim paceklik mereka melakukanpenangkapan spesies lain sepertimenangkap tuna, mackarel dan hiu,sehingga tinggal sebagian kecil nelayanyang mencari kepiting bakau.

Page 8: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

100

Gambar 4 Perbandingan hasil tangkapan kepiting bakau permusim di Teluk Bintan

3.3. Hubungan Panjang Bobot KepitingBakau

Pola pertumbuhan kepiting bakau(Scylla serrata) dianalisa menggunakanmetode regresi dengan melihat hubunganantara lebar karapas dengan bobot tubuhnya.Hasil analisis menunjukkan nilai koefesiendeterminasi (R2) kepiting bakau jantan sebesar97,07% dan betina 97,33% (Tabel 2) . R2

merupakan koefesien yang menjelaskanseberapa besar kemampuan variabel bebas (X)mampu menjelaskan variabel terikat (Y),sehingga dapat ditentukan apakah individu

dalam populasi dapat diduga bobot tubuhnyadengan mengetahui ukuran tubuhnya. Nilai R2

kedua jenis kelamin kepiting bakau tersebutmenunjukkan bahwa bobot tubuh kepitingbakau di Teluk Bintan dapat di duga dari lebarkarapasnya. Hasil analisis hubungan panjangbobot Scylla serrata jantan di diperolehpersamaan W=0,00007 , danW=0,0004 , untuk kepiting betinasebagaimana dapat dilihat pada grafikhubungan panjang bobot pada Gambar 5.

Tabel 2 Hubungan lebar karapas(CW) dan bobot kepiting bakau (Scylla spp.)W = a Lb

Sex N CWmax a b R2 Thit Ttab

Jantan 680 172 0,00007 3,2724 0,9707 154,8103 2,2464Betina 541 166 0,0004 2,8711 0,9733 140,0930 1,9644

Sumber : Hasil olah penenlitian (2015)

Gambar 5 Hubungan CW- bobot S.serrata (a) jantan (b) betina di Teluk Bintan

40,63±18,68

25,14±21,07

13,13±9,38

05

101520253035404550

10, 11 12, 1-3,7-9 4 - 6

Puncak Sedang Paceklik

Pro

duks

i/nel

ayan

(kg)

Musim Penangkapan (bulan)

W = 7E-05L3,2724R² = 0,9707

N = 680

-200400600800

1,0001,2001,4001,600

40 70 100 130 160 190

Bob

ot (g

r)

CW (mm)

a W = 0,0004L2,8711R² = 0,9733

N = 541

-

200

400

600

800

1,000

40 70 100 130 160 190

Bob

ot (g

r)

CW (mm)

b

Page 9: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

101

Hasil uji t dari hubungan CW denganbobot tubuh Scylla serrata baik jantanmaupun betina menunjukkan hasil thit lebihbesar dari ttab, sehingga dapat dikatakanbahwa hubungan antara lebar karapas(CW) dengan bobot kepiting tidakisometrik. Nilai b S. serrata diperoleh nilaib > 3, berarti konstanta pertumbuhankepiting bakau di wilayah tersebut adalahallometrik positif, atau dapat dikatakanpertumbuhan bobot tubuh lebih cepatdaripada pertumbuhan CW. Sedangkanpada S. serrata betina, nilai b < 3 berartipola pertumbuhan pertumbuhannya adalahallometrik negatif, atau pertumbuhanbobot tubuh lebih lambat daripadapertumbuhan CW. Hal ini terjadi karena S.serrata. jantan memiliki morfologi ukuranchela yang lebih besar dibanding betina.Sehingga bila berada pada ukuran lebarkarapas yang sama, kecenderungankepiting jantan lebih berat bobotnya,karena chela menambah bobot tubuhnya(Wijaya, 2010).

Menurut Siahainenia (2008)menunjukkan S.serrata memiliki sifatseksualitas dimorfisme, dimana kepitingjantan cenderung menjadi lebih beratdibanding kepiting betina pada lebarkarapas yang sama. Selain itu, S.serratajantan berukuran dewasa kelamin sudahjarang melakukan moulting dibandingdengan kepiting betina. frekuensi moultingyang rendah pada kepiting jantan, asupanmakanan lebih banyak digunakan untukpertambahan bobot. Kepiting bakau jantanbiasanya memiliki capit lebih besardibandingkan dengan betina dengan

ukuran lebar carapas yang sama, bilaberada pada ukuran lebar karapas yangsama, kecenderungan S.serrata jantanlebih besar bobotnya, karena capitnyamenambah bobot tubuhnya Onyango(2002). Ukuran capit yang besar padakepiting bakau jantan dewasa kelaminsangat berfungsi ketika mendekap ataumengepit kepiting bakau betina selamamasa percumbuan yakni ketika keduaindividu kepiting bakau ini berada dalamposisi berpasangan (doublers), serta untukmembalik tubuh kepiting bakau betinaketika proses kopulasi akan berlangsung(Phelan and Grubert 2007).

3.4. Parameter PertumbuhanJumlah sampel kepiting bakau

(Scylla serrata) yang digunakan dalamanalisis parameter pertumbuhan inisebayak 680 ekor jantan dan 541 ekorbetina dan dilakukan pengelempokanberdasarkan distribusi fekuensi ukuranlebar carapas (CW). Pendugaan parameterpertumbuhan dalam penelitin inimenggunakan persamaan von Bertalanffyuntuk menduga koefesien pertumbuhan(K) dan lebar karapas infinitif (CW∞)dengan data frekuensi lebar karapassebagai data input pada analisis ELEFAN I(Electronic Length Frequencys Analysis)yang terdapat dalam program FISAT II.Hasil analisis parameter pertumbuhankepiting bakau di Teluk Bintanmenunjukkan bahwa CW∞ jantan lebihbesar dari kepiting betina, namunsebaliknya nilai koofesien K jantan lebihkecil dari betina (Tabel 4).

Tabel 3 Parameter pertumbuhan S.serrata di Teluk BintanJenis Kelamin Cwmax (mm) CW∞ (mm) K t0

Jantan 172 176,93 0,360 -0,2817Betina 166 169,58 0,390 -0,2623Sumber : Hasil penelitian (2015)

Page 10: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

102

Kepiting bakau merupakan salah satuspesies dari kelas Crustacea,keberadaannya di alam sulit untukditentukan tingkat pertumbuhan yangbenar, karena hewan ini mengalamimoulting (Zafar et al. 2006). Sebagianbesar studi tentang pertumbuhan telahdibuat pada Crustasea dengan caradipelihara dalam bak atau sistem budidayakandang/pen (Mirera and Milte 2009).Zafar et al. (2006) melaporkan bahwakepiting bakau S. serrata berhasil dibudidayakan di tambak tanah dan kandangdi wilayah pesisir Bangladesh yangbenihnya bersumber dari alam, kemudiandilakukan pendugaan pertumbuhan denganmenggunakan metode ELEFAN sehinggadiperoleh nilai CW∞ sebesar 10,59(jantan) dan 10,5 (betina).

Seperti terlihat pada Tabel 3,pertumbuhan kepiting bakau betina lebihcepat dari jantan, penelitian ini sejalandengan hasil penelitian Wijaya (2010) diMuara Sangata Kutai Timur yangmenyatakan nilai K jantan lebih besar daribetina yaitu 1,2 (jantan) dan 1,5 (betian),sedangkan Zafar et al.(2006) di Bangladesmelaporkan bahwa nilai K sebesar0,28/tahun (jantan) dan 0,36/tahun(betina). Kedua penelitian tersebutmenunjunkan bahwa kepiting betinatumbuh lebih cepat dari kepiting jantan.Menurut Sparre dan Venema (1999) nialikoefesien K merupakan penentu seberapacepat pertambahan ikan mencapai panjangasimtotiknya (L∞). Perbedaan nilaikoefesien K antara jenis kelamin mungkinbisa menjelaskan perbedaan dalam rasiojenis kelamin (La Sara 2010). Kecepatanpertumbuhan kepiting betina lebih cepatdari kepiting jantan karena kepiting betinalebih sering melakukan moultingdibanding kepiting jantan, sehinggakepiting betina cendrung lebih cepatmencapai CW∞, perbedaan nilai parameterpertumbuhan juga dipengaruhi perbedaankualitas lingkungan habitat (Wijaya 2010).

Nilai parameter pertumbuhanberbeda-beda menurut wilayah, karenafaktor lingkungan seperti ketersediaanpangan, suhu air, salinitas, dan kualitashabitat. Misalnya, kepiting bakau dapatmentolerir suhu dalam kisaran yang luasyaitu suhu 12 - 350C (eurythermal) dansalinitas 2-50 ppt (euryhaline) namunkepiting akan tumbuh optimal jika beradapada suhu yang sesuai (Masterson 2007).Telah ditemukan bahwa aktivitas makankepiting bakau sangat lambat jika suhuberada bawah 200C (Departement ofPrimery Industry and Fisheries, 2001).Menurut Shelley and Lovatelli (2011),temperatur yang sesuai untuk menunjangpertumbuhan optimal kepiting bakau jenisS. serrata yaitu kisaran 28-300C,sedangkan untuk keperluan kultur larvakepiting bakau dibutuhkan kisarantemperatur sebesar 25–320C.

3.5. Laju MortalitasLaju mortalitas dapat menunjukkan

jumlah individu dalam populasi yang matiselama periode waktu tertentu, sedangkanlaju eksploitasi merupakan suatu populasitertentu yang telah tertangkap. Estimasilaju mortalitas (Z) dihitung denganmenggunakan kurva panjang-dikonversidengan asumsi keadaan populasi tetap.Hasil estimasi Z kepiting bakau (Scyllaserrata) jantan di Teluk Bintan lebih tinggidari betina (Tabel 4). Berbeda dengan hasilperkiraan kematian alami (M) yangmenggunakan persamaan empiris Pauly(dengan suhu rata-rata di loaksi penelitiansebesar 27.94ºC), hasil analisismenunjukkan bahwa M kepiting jantanmencapai 46,38% dari Z, berarti kematiankepiting jantan di lokasi penelitian lebihbesar kematian akibat penangkapan (F).Sedangkan nilai M kepiting betinamencapai 58,77% atau lebih separuh darinilai Z, ini artinya laju mortalitas totallebih banyak disebabkan oleh kematianalami (Tabel 4).

Page 11: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

103

Tabel 4 Total mortalitas (Z) dan mortalitas alami (M) Scylla serrata di Teluk BintanJenis Kelamin Z M F E faktual

Jantan 1,20 0,55661 0,6434 0,5362Betina 1,01 0,59353 0,4165 0,4123

Sumber : Hasil olah penelitian (2015)

Laju eksploitasi (E) kepiting bakau diTeluk Bintan untuk kepiting jantanmencapai 53,62%, ini dapat dikatakantelah terjadi lebih tangkap atau overeksploitasi karena nilai E>50%.Sedangkan laju eksploitasi kepiting betinasebesar 41,23%, berarti masih dibawahlaju eksploitasi optimal yangdiperbolehkan (E<50%). Menurut Mirera(2011), bahwa dalam dekade terakhirkegiatan ekploitasi terhadap kepitingbakau di alam meningkat disampingbesarnya tekanan terhadap ekosistemmangrove, permasalahan ini dapatmengancam keberlanjutan perikanantangkap dan di Kenya telah terjadipenurunan hasil tangkapan secarakonsisten dalam dua dekade terahir danukuran kepiting hasil tangkapan menurunyang sebelumnya memiliki berat rata-rata1 kg/ekor, saat ini rata-ratanya hanyasekitar 0,5 kg/ekor.

Laju kematian kepiting jantan akibatpenangkapan (F) di Teluk Bintan lebihtinggi dari kepiting betina, ini lebihdisebabkan oleh dua faktor. Faktorpertama adalah habit dari kepiting itusendiri, dimana kepiting jantan lebih aktifmencari makan dibanding betina, kepitingjantan dewasa cenderung menetap di areahutan mangrove (Phelan and Grubert2007) sehingga peluang untuktertangkapnya lebih besar. Kepiting betinadalam siklus hidupnya memiliki polamigrasi saat akan menetas dan kepitingberuaya ke perairan laut yang lebih dalamyang memiliki salinitas lebih tinggi(Departemen of Fisheries Australia 2013)dan jika tidak ada nelayan yangmenangkap di pesisir pantai, muara danperairan dalam maka peluangtertangkapnya cendrung lebih kecil.

Sedangkan faktor kedua adalah polapenangkapan kepiting di lokasi kajianumumnya dilakukan di daerah pinggiraliran sungai, di dalam suak (cabang anaksungai), dan bagian tengah hutanmangrove dengan alat tangkap bubu. Tidakada yang secara khusus nelayan setempatmelakukan penangkapan kepiting di muarasungai, perairan pantai dan perairan yanglebih dalam.

Keadaan yang sama terjadi di TelukLawele, kematian akibat pengakapan (F)jantan mencapai mencapai 32,61%sedangkan betina sekitar 29,64%. Nilai Fjantan lebih tinggi, terutama disebabkanoleh siklus setelah kawin, kepiting betinabermigrasi ke laut untuk bertelur.Sedangkan kepiting jantan menetap didaerah intertidal yang datar atau airdangkal yang merupakan lokasi denganintensitas penangkapan lebih tinggi (LaSara (2010). Begitu juga di BantanyanPhilipina, laju mortalitas jantan lebih besardiakibatkan oleh aktivitas penangkapansehingga laju eksploitasinya (E) mencapai57,17% dan 50,18% pada kepiitng betina(Ingles 1996).

Banyak faktor dalam lingkunganperairan laut yang dapat mempengaruhikemungkinan individu kepiting bertahanhidup dalam suatu populasi. Kondisi yangtermasuk merugikan antara lainkekurangan makanan, kompetisi danpredasi. Oleh karena itu, pengetahuantentang angka kematian total, komponenkegiatan penangkapan dan kematian alami,sangat penting dipahami untuk melihatdinamika populasi. Haddon et al. (2005)mencatat bahwa kematian ikan akibateksploitasi sulit diperkirakan secara tepat.Kesulitan yang sama terkait denganmemperkirakan tingginya tingkat

Page 12: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

106

mortalitas total S.serrata meskipunmemiliki nlai ekonomi penting, populasiyang dinamis masih kurang dipahamikarena tidak ada informasi tentangkematian dan dilakukan penilaian stok didaerah tropis. Mengingat fakta ini,langkah-langkah penanganan harusdiambil untuk memperkirakan kematiantotal populasi ikan.

Dugaan masyarakat terhadapmenurunnya produksi hasil tangkapankepiting bakau berdasarkan analisis lajumortalitas total menunjukkan bahwa lajueksploitasi kepiting jantan di Teluk Bintantelah terjadi over eksploitasi, sedangkankepiting betina masih dibawah lajueksploitasi yang diperbolehkan. MenurutTriyanto et al. (2013) dan Siahainenia(2008) menurunya populasi kepiting bakaudi alam dapat disebabkan oleh kerusakanekosistem mangrove sebagai habitat alamikepiting bakau dan juga akibat kelebihantangkap atau over eksploitasi. MenurutKeenan et al. (1998); Keenan (1999);LeVay (2001), kepiting bakau merupakanjenis kepiting yang hidup di habitatmangrove dan populasi kepiting bakausecara khas berasosiasi dengan hutanmangrove yang masih baik, sehinggaterdegradasinya habitat akan memberikandampak yang serius terhadap keberadaanpopulasi kepiting bakau.

KESIMPULAN

1. Kepiting jantan dan betina fase mudayang tertangkap hampir separuh daritotal tangkapan yaitu 46,62% (jantan)dan 48,06% (betina), yang berarti alattangkap yang digunakan belumselektif dan akan manggangukemampuan rekrutmen kepitingbakau.

2. Estimasi mortalitas alami (M) kepitingjantan sebesar 46,38% dari Z, artinyakematian kepiting jantan lebih besardiakibatkan penangkapan. SedangkanM kepiting betina mencapai 58,77%dari Z, ini artinya laju mortalitas total

lebih banyak disebabkan olehkematian alami.

3. Laju eksploitasi (E) Scylla serratajantan telah melebihi batas optimalyang diperbolehkan atau telah terjadiover eksploitasi (E>50%), karenakepiting jantan lebih banyak menetapdi area mangrove dan daerah intertidaldengan intensitas penangkapannyayang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bonine, K.M., E.P. Bjorkstedt, K.C. Ewel,and M. Palik. 2008. Populationcharacteristics of the mangrove crabScylla serrata (Decapoda:Portunidae) in Kosrae, FederatedStates of Micronesia: Effects ofharvest and implications formanagement. Pacific Science 62: 1-19.

Boutson, A., C. Mahasawade, S.Mawasawade, S. Tunkijjanukij, andT. Arimoto. 2009. Use of EscapeVents to Improve Size and SpeciesSelectivity of Collapsible Pot forBlue Swimming Crab PortunusPelagicus in Thailand. FisheriesScience (75) : 25-33.

Department of Primary Industry andFisheries. 2001. Review of theNorthern Territory mud crab fisherymanagement plan. Fish. Rep. No.58.Northern Territory.

Departement of Fisheries Australia. 2013.Fisheries fact shett mud crab. Fishfor the future. Goverment ofWestern Australia.

Dumas, P., M. Leopold, L. Frotte, and C.Peignon. 2012. Mud crab ecologyencourages site-specific approachesto fishery management. Journal ofSea Research 67: 1-9.

Effendie, M.I. 2006. Biologi perikanan.Yayasan Pustaka Nusatama.Yogyakarta.163 hal.

Haddon, M., S. Frusher, T. Hay, M.Hearnden, N. Gribble and I. Brown.

104

Page 13: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

105

2005. Mud crab (Scylla serrata)assessment workshop. FisheriesGroup. Department of Business.Industry and Resource Development.Darwin

[ITTO] International Tropical TimberOrganization-Project. 2013. Studyon socio-economic community-based mangrove ecosystemmanagement at Bintan Regency RiauIslands Province. KementerianKehutanan RI.

Ingles, J.A. 1996. The crab fishery offBantayan, Cebu, Philippines. IMFO-CF, University of the Philippines –PCMARD. Philippines.

Keenan, C.P. 1997. Aquaculture of themud crab, genus Scylla, past, presentand future. ACIAR ProceedingsNo.78. In: Keenan, C.P., Blackshaw,A. (Eds.), MudCrab Aquaculture andBiology, Proceedings of anInternational Scientific Forum,Darwin, Australia, 21-24 April 1997.Australian Centre for InternationalAgricultural Research. Canberra.Australia. 9-13pp.

Keenan, C.P., P.J.F. Davie, and D.L.Mann. 1998. A revision of the genusScylla De Haan, 1833 (Crustacea:Decapoda: Brachyura: Portunidae).The Raffles Bulletin of Zoology. 46(1): 217-245.

[KKP] Kementrian Negara Kelautan danPerikanan. 2015. Keputusan Nomor1/Permen-kp/2015 tentangPenangkapan Lobster (Panulirusspp.), kepiting (Scylla spp.), danrajungan (Portunus pelagicus spp.).KKP RI.

Larosa, R., B. Hendrarto, and M.Nitisupardjo. 2013. Identifikasisumberdaya kepiting bakau (scyllasp.) yang didaratkan di TPIKabupaten Tapanuli Tengah.Journal of management of aquaticresources. 2 (3):180-189.

La Sara. 2010. Studi on the size structureand population parameters of mudcrab Scylla serrata in Lawele Bay,

Southeast Sulawesi, Indonesia.Journal of Coastal Development.13(2):133-147.

LeVay, L. 2001. Ecology and managementof the mud crab, Scylla spp. AsianFisheries Science. 14:101-111.

Masterson, J. 2007. Scylla serrata.Smithsonian Marine Station at FortPierce.

Meynecke, J.O. 2009. Effect of climateparameters on mud crab (Scyllaserrata) production in Australia. IOPConf. Series: Earth and Env. Sci. 6:1.

Mirera, D.O. and A. Mtile. 2009. Apreliminary study on the response ofmangrove mud crab (Scylla serrata)to different feed types under drive-incage culture system. J. Ecol. Nat.Env. 1(1):7–14.

Mirera, D.O, J. Ochiewo, F. Munyi, and T.Muriuki. 2013. Heredity ortraditional knowledge: Fishingtactics and dynamics of artisanalmangrove crab (Scylla serrata)fishery. Ocean & CoastalManagement. 84: 119-129.

Moksnes, P.O. 2002. The relativeimportance of habitat-specificsettlement, predation and juveniledispersal for distribution andabundance of young juvenile shorecrab Carcinus maenas L. J. Exp.Mar. Biol. Ecol. 271:41–73.

Onyango, S.D. 2002. The breeding

cycle of Scylla serrata (Forskål,

1755) at Ramisi River estuary,

Kenya. Wetlands Ecology andManagement 10: 257– 263.

Phelan, M., and M. Grubert. 2007. TheLife Cycle of the Mud Crab.Fishnote No: 11. Coastal ResearchUnit, Department of PrimaryIndustry, Fisheries and Mines.Northern Territory Government ofAustralia, Darwin.

Pauly, D. 1984. Fish Population DynamicsinTropical Water: a manual for usewith programmable calculators.

Page 14: Kajian Struktur Ukuran Dan Parametr Populasi Kepiting

Jurnal Biologi Tropis, Juli-Desember 2015: Volume 15 (2):93-106 ISSN: 1411-9587

106

ICLARM Studies and Reviews. 325p.

Siahainenia, L. 2008. Bioekologi kepitingbakau (Scylla spp) di ekosistemmangrove Kabupaten Subang JawaBarat. [Disertasi]. SekolahPascasarjana IPB. Bogor.

Shelley, C. and A. Lovatelli. 2011. MudCrab Aquaculture a Practical ManualFAO Fisheries and AquacultureTechnical Paper 567.

Sparre, P. and S.C. Venema. 1999.Introduksi Pengkajian Stok IkanTropis. Organisasi Pangan danPertanian (FAO), PBB. Edisi BahasaIndonesia: Puslitbangkan. Indonesia.

Susanto dan Irnawati. 2012. Penggunaancelah pelolosan pada bubu lipatkepiting bakau (skala laboratorium).Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2 (2):71-78.

Sutrisno, A. Hamdani, and Triyanto. 2014.Budidaya kepiting bakau (Scyllaserrata) dalam pemnafaatan kawasanmangrove di Kabupaten BerauKalimantan Timur. ProsisdingSemnas Limnologi VII-2014. PuslitLimnologi-LIPI.

Triyanto, N.I. Wijaya, I. Yuniarti, T.Widianti, Sutrisno, F. Setiawan, F. S.Lestari. 2013. Peranan EkologisHutan Mangrove dalam Menunjang

Produksi Kepiting Perikanan Bakau(Scylla serrata) di Kabupaten Berau.Prosiding.

Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika.Edisi ke-3. B. Sumantri, penerjemah;Jakarta: Penerbit Gramedia PustakaUtama. 488 hlm.

Wijaya, N.I, F. Yulianda, M. Boer, and S.Juwana. 2010. Biologi populasikepiting bakau (scylla serrata) Dihabitat mangrove taman nasionalkutai kabupaten kutai timur.Oseanologi dan Limnologi diIndonesia. LIPI. 36(3): 443-461.

Wijaya, N.I. 2011. Pengelolaan ZonaPemanfaatan Ekosistem MangroveMelalui Optimasi PemanfaatanSumberdaya Kepiting Bakau (Scyllaserata) Di Taman Nasional KutaiProvinsi Kalimantan Timur(Disertasi). Program Pasca Sarjana.IPB. Bogor.

Zafar, M., S.M.N. Amin and M.M.Rahman. 2006. Population dynamicsof mud crab (Scylla serrata) in thesouthern coastal region ofBangladesh. Asian Fish. Sci.19:43–50.