analisa karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau

Upload: rian-doyenk

Post on 15-Oct-2015

350 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    1/112

    ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK

    DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.)

    DI PERAIRAN INDONESIA

    PUPUT FITRI RACHMAWATI

    SKRIPSI

    DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2009

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    2/112

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

    DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

    Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla

    spp.) di Perairan Indonesia

    adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

    apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang

    berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

    penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

    bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, September 2009

    Puput Fitri Rachmawati

    C24053089

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    3/112

    RINGKASAN

    Puput Fitri Rachmawati. C24053089. Analisa Variasi Karakter Morfometrik

    dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia. Dibawah

    bimbingan Yusli Wardiatno dan M. Mukhlis Kamal.

    Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi

    hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang

    bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara

    Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis

    hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia

    sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia. Oleh karena itu

    terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur

    Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial

    sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, salah

    satunya adalah kepiting bakau.Kepiting bakau (Scyllaspp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan

    hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia.

    Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan

    variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut

    beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap variasi biofisik

    terutama suhu dan salinitas.

    Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik

    morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan

    Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian. Hasil penelitian diharapkan

    dapat memberikan informasi dasar mengenai jenis dan penyebaran kepiting bakau di

    perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik

    berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaankepiting bakau di perairan Indonesia.

    Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008

    hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan hasil tangkapan

    nelayan di 14 lokasi pengambilan sampel, mencakup Pidie (Nangroe Aceh

    Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya

    (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa

    Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone

    (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya).

    Data yang diukur ialah data karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau,

    yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), tinggi tubuh (T), panjang duri

    orbital pada frontal margin(P.orb), panjang chelipedsebelah kiri dan kanan (PCL

    dan PCR), panjangprofundussebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), tinggi chelipedsebelah kiri dan kanan (TCL dan TCR), berat tubuh (B), jumlah duri frontal margin

    (SO), serta jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR).

    Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situdan di

    laboratorium yang bertempat di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I),

    Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data meliputi distribusi frekuensi

    panjang dan lebar karapas, hubungan lebar karapas-berat, analisis komponen utama

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    4/112

    (principal component analysis), dan analisis biplot. Analisis data dibantu dengan

    menggunakan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation, MINITAB 14.0 dan

    SAS 9.1.

    Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor,

    keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan.

    Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scyllaserrata,yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang

    paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari

    jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanicayang diperoleh

    selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel.

    Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk

    membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica,

    dan Scylla oceanicaberdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk durifrontal

    margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masing-

    masing spesies. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar kepiting bakau di

    seluruh lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan isometrik

    sedangkan sebagian kecilnya dipengaruhi oleh pola pertumbuhan allometrik negatif.

    Kemudian masing-masing spesies kepiting bakau memiliki puncak pemijahan danrekruitmen yang berbeda-beda berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar

    karapas, tetapi seluruhnya berlangsung sepanjang tahun.

    Berdasarkan analisis komponen utama, diketahui bahwa masing-masing

    spesies (Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica) memiliki

    perbedaan karakter morfometrik dan meristik di setiap lokasi penelitian. Hal ini

    dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi

    penelitian. Karakter morfometrik dan meristik pada ketiga spesies saling berkorelasi

    positif dan memiliki nilai keragaman yang bervariasi. Setiap spesies kepiting bakau

    memiliki ukuran yang bervariasi.

    Kesimpulan yang diperoleh ialah terdapat perbedaan karakter morfometrik dan

    meristik ketiga spesies kepiting bakau di setiap lokasi penelitian. Hal ini

    dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi

    penelitian berdasarkan analisis komponen utama. Selain itu, ketiga spesies tersebut

    menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa,

    Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan penyebaran tersebut tidak dipengaruhi oleh

    adanya garis Wallace.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    5/112

    ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK

    DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.)

    DI PERAIRAN INDONESIA

    PUPUT FITRI RACHMAWATI

    C24053089

    Skripsi

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2009

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    6/112

    PENGESAHAN SKRIPSI

    Judul Skripsi : Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik

    Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia

    Nama : Puput Fitri Rachmawati

    N I M : C24053089

    Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

    Menyetujui:

    Pembimbing I, Pembimbing II,

    Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc

    NIP. 19660728 199103 1 002 NIP. 19680914 199402 1 001

    Mengetahui:

    Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

    Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

    NIP 19660728 199103 1 002

    Tanggal Ujian: 15 September 2009

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    7/112

    vii

    PRAKATA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

    dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

    Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau di

    Perairan Indonesia. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian pada bulan

    Juni 2008 hingga Mei 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

    Pertanian Bogor.

    Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam skripsi ini dikarenakan

    keterbatasan pengetahuan penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan

    sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bermanfaat untuk berbagai pihak.

    Bogor, September 2009

    Penulis

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    8/112

    viii

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada:1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc. selaku pembimbing I atas kesabaran,

    bimbingan, masukan, dan wawasan yang berarti bagi penulis, serta atas izin

    beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini.

    2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc. selaku pembimbing II sekaligus pembimbing

    akademik atas kesabaran, masukan, arahan, dan wawasan kepada penulis

    hingga penulisan skripsi ini selesai, serta atas izin beliau, penulis dapat

    bergabung dengan proyek penelitian ini.

    3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir.

    Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji Departemen yang telah

    memberikan saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.

    4. Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasiah, atas semua

    doa, dukungan, dan kasih sayang yang tidak pernah terputus kepada penulis,

    serta adik-adikku, Diwa dan Helmi atas keceriaan, dukungan, dan kasih sayang.

    6. Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Bio Makro I (BIMA I), Supriyadi, S.

    Pi., serta staf Tata Usaha MSP yang telah banyak membantu penulis selama

    penelitian.

    7. Naila Faiqotul Muna, teman seperjuanganku selama penelitian yang telah

    banyak membantu. Teman-teman MSP 41, MSP 43, dan MSP 42 (Pungky,

    Endah, Ebith, Avie, Silfi, Lenggo, Erys, Eka, Guse, Awan, Moro, Didi, Mecin,

    Puni, Shiro, Pipit, Irma, Lenny, Wati, Trio Kutai, dan semua yang tidak bisa

    disebutkan satu persatu) atas bantuan dan kebersamaan yang tak terlupakan.

    8. Keluarga besar Darmaga Regency B19 & B24 (Ka Hage, Ayu, Laras, Eno,

    Zeni, Tyas) atas keceriaan dan canda tawa, serta Reri, Icha, dan Ayu yang telah

    banyak memberikan semangat dan nasehat selama penulisan skripsi ini.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    9/112

    ix

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Karawang, pada tanggal 12 Mei 1987 dari

    pasangan Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasiah. Penulismerupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal

    ditempuh di SDN Adiarsa 3 Karawang (1999), SLTPN 2

    Karawang (2002) dan SMAN 1 Karawang (2005).

    Pada tahun 2005, Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian

    Bogor melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya

    Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

    Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten luar

    biasa mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008 dan 2008/2009), Biologi Perikanan

    (2007/2008 dan 2008/2009), dan Sumberdaya Perikanan (2008/2009). Selain itu,

    penulis juga aktif di berbagai organisasi, diantaranya sebagai Sekretaris II

    (2007/2008) dan Sekretaris I (2008/2009) Himpunan Mahasiswa Manajemen

    Sumberdaya Perairan (HIMASPER), serta anggota Organisasi Mahasiswa Daerah

    Karawang (PANATAYUDA) pada tahun 2006-2007. Penulis pernah mengikuti

    Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Penelitian dan berhasil didanai DIKTI

    pada tahun 2006 yang berjudul Penggunaan lendir ikan lele (Clariasbatrachus)

    sebagai obat alternatif Hipertensi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi

    yang berjudul Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Mersitik Kepiting

    Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    10/112

    x

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL .................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv

    1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 2

    1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3

    1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3

    2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4

    2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla ....................................................... 42.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau ......................... 4

    2.1.2. Morfologi kepiting bakau ................................................... 6

    2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau ................................. 10

    2.1.4. Daur hidup kepiting bakau ................... .............................. 13

    2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap

    kepiting bakau .................................................................... 14

    2.2. Hutan Mangrove ........................................................................... 15

    2.2.1. Pengertian hutan mangrove ............................. ................... 15

    2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove ............... 16

    2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia ................................ 18

    2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem

    mangrove ........................................................................... 212.3. Garis Wallace ............................................................................... 21

    2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan

    Kekerabatan ................................................................................. 22

    3. METODOLOGI ................................................................................. 24

    3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 24

    3.2. Metode Kerja ................................................................................ 24

    3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau ........... ........... ................... 29

    3.4. Analisis Data ................................................................................ 30

    3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas .................. 30

    3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat ........................................... 30

    3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis) . 313.4.4. Analisis biplot.................................................................... 32

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 33

    4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian .................. 33

    4.2. Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting

    Bakau ........................................................................................... 35

    4.3. Identifikasi Karakter Morfologi Sederhana ................................... 41

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    11/112

    xi

    4.3.1. Scylla serrata ...................................................................... 43

    4.3.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 44

    4.3.3. Scylla oceanica ................................................................... 46

    4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau ............................................... 47

    4.5. Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan

    Genus Scylla ................................................................................. 524.5.1. Scylla serrata ...................................................................... 52

    4.5.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 56

    4.5.3. Scylla oceanica ................................................................... 58

    4.6. Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting

    Bakau ........................................................................................... 61

    4.7. Pengelolaan Kepiting Bakau .......................................................... 64

    5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 66

    5.1. Kesimpulan ................................................................................... 66

    5.2. Saran ............................................................................................. 66

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 67

    LAMPIRAN ............................................................................................. 70

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    12/112

    xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador ..... 10

    2. Daerah penyebaran spesies Scylladi dunia............................................. 11

    3. Luas hutan mangrove di Indonesia ......................................................... 19

    4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur ................................. 26

    5. Karakter meristik yang kepiting bakau diukur ........................................ 26

    6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian .................. 34

    7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata ...................... 48

    8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica ........... 49

    9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica ................... 51

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    13/112

    xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) sertacheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi &

    Watanabe 2001) .................................................................................. 5

    2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998) ................... 8

    3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998) .................. 9

    4. Daerah penyebaran kepiting bakau menurut Keenan (FAO 1998)........ 12

    5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp.) (Smith et al.2004 in

    Butar-Butar 2006) ............................................................................... 14

    6. Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman)

    (Reef at risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009) ........................ 20

    7. Garis Wallace (Southchinasea 2009) ................................................... 22

    8. Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia

    (peta dimodifikasi dari www.hino.co.id/peta-indonesia-simplfy.gif).... 25

    9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal .............................. 27

    10. Karakter morfometrik pada chela ........................................................ 27

    11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan) 27

    12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi)

    (FAO 1998)......................................................................................... 30

    13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrataberdasarkan

    lokasi pengambilan sampel.................................................................. 36

    14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebaricaberdasarkan

    lokasi pengambilan sampel.................................................................. 36

    15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanicaberdasarkan

    lokasi pengambilan sampel.................................................................. 37

    16. Scyllaserrata (jantan) ......................................................................... 44

    17. Scyllatranquebarica (jantan) .............................................................. 45

    18. Scyllaoceanica (jantan) ...................................................................... 4619. Grafik sebaran nilai b Scyllaserrata.................................................... 49

    20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica ......................................... 50

    21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica ................................................. 51

    22. Grafik score plot Scylla serrata ........................................................... 54

    23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia.................................................. 55

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    14/112

    xiv

    24. Grafik score plot Scylla tranquebarica ................................................ 57

    25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia....................................... 58

    26. Grafik score plot Scylla oceanica ....................................................... 59

    27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia............................................... 60

    28. Grafik biplot Scylla serrata ................................................................. 61

    29. Grafik biplot Scylla tranquebarica ...................................................... 62

    30. Grafik biplot Scylla oceanica .............................................................. 63

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    15/112

    xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1. Contoh sampel kepiting bakau yang telah dinomori.............................. 71

    2. Alat yang digunakan selama penelitian................................................. 71

    3. Proses pengukuran kepiting bakau saat di lapangan............. ................. 72

    4. Data sheet parameter karakter morfometrik dan meristik kepiting

    bakau .......... ......................................................................................... 73

    5. Data mentah karakter morfometrik dan meristik selama penelitian ....... 94

    6. Distribusi frekuensi panjang karapas tiap spesies kepiting bakau.......... 96

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    16/112

    1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang beriklim tropik. Iklim tropik

    tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang

    tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh

    letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor variasi

    iklim musiman, arus atau massa air laut yang dipengaruhi oleh massa air dari dua

    samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya,

    salah satunya adalah ekosistem mangrove (Dahuri 2003). Selain itu, Indonesia

    memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan

    Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis

    Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan

    dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di

    bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di

    bagian timur berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Oleh karena

    itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan

    timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial

    sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, termasuk

    kepiting bakau.

    Kepiting bakau (Scyllaspp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan

    hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia.

    Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan

    variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut

    beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap faktor abiotik

    terutama suhu dan salinitas.

    Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala dan pemakan bangkai

    (omnivorous-scavenger), sehingga merupakan salah satu komoditas sumberdaya

    perikanan yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia karena

    pembudidayaannya tidak sulit. Selain itu, Indonesia memiliki sekitar 3,5 juta Ha

    hutan mangrove (pada tahun 1996) yang merupakan habitat dari kepiting bakau

    (Dahuri 2003). Kepiting bakau biasanya ditangkap dengan menggunakan perangkap

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    17/112

    2

    bambu (wadong) dan jaring angkat (lift netatau disebut juga pintur) (Sulistiono et

    al. 1994). Kepiting bakau tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri tetapi

    juga diminati konsumen luar negeri. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau banyak

    dikonsumsi masyarakat terutama kepiting yang sedang bertelur karena rasa

    dagingnya yang enak. Kepiting bakau juga mengandung protein yang sangat tinggi

    dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Kordi 1997).

    Studi mengenai kepiting bakau hingga saat ini sudah meliputi aspek

    reproduksi, makanan dan kebiasaan makan, serta aspek lainnya yang berkaitan

    dengan hutan mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau. Penelitian

    mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau masih minim, terutama studi mengenai

    aspek morfometrik-meristik kepiting bakau sebagai dasar identifikasi spesies.

    Penelitian yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun luar negeri, diantaranyaadalah bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten

    Subang, Jawa Barat (Siahainenia 2008); kualitas habitat kepiting bakau Scylla

    serrata, S. oceanica, S. tranquebaricadi hutan mangrove RPH Cibuaya, Karawang

    (Sirait 1997); permasalahan identifikasi spesies kepiting bakau genus Scylla

    (Brachyura: Portunidae) (Fushimi & Watanabe 2001); pengelolaan dan ekologi

    kepiting bakau Scylla spp. (Le Vay 2001); penangkapan kepiting bakau berbasis

    akuakultur (Shelley 2008); dan analisa multifaktor kepiting bakau Scylla serrata

    (Brachyura: Portunidae) yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara (Overton

    et al. 1997).

    Minimnya informasi mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau dapat

    menjadi faktor penghambat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaannya. Oleh

    karena itu, diperlukan penelitian mengenai sumberdaya kepiting bakau terutama

    mengenai aspek yang terkait dengan informasi dasar biologi perikanan seperti

    karakteristik morfometrik-meristik yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar

    identifikasi spesies.

    1.2. Rumusan Masalah

    Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis, yang bernama garis Wallace, yang

    membentang di antara Kalimantan dan Sulawesi serta di antara Bali dan Lombok.

    Garis Wallace memisahkan distribusi flora dan fauna terestrial di Indonesia, dimana

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    18/112

    3

    pada bagian barat garis Wallace berhubungan dengan spesies di Asia, sedangkan

    pada bagian timur garis Wallace berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia

    2008). Hingga saat ini, belum diketahui apakah hal tersebut berpengaruh pada fauna

    air, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu

    hewan yang berasosiasi dengan hutan bakau (mangrove) dan memiliki distribusi

    yang luas di perairan Indonesia.

    Namun, berdasarkan data hasil tangkapan yang berasal dari Dinas Perikanan

    dan Kelautan (DKP 2006), hasil tangkapan kepiting bakau di daerah Jawa bagian

    utara selama kurun waktu 3 tahun (2003 sampai 2005) menurun dari 41 ton/tahun

    menjadi 24 ton/tahun. Selain peningkatan eksploitasi kepiting bakau, eksploitasi

    habitat dan perubahan lingkungan menjadi faktor-faktor penyebab menurunnya

    populasi kepiting bakau. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan terjadiperubahan variasi morfometrik sehingga akan berdampak pada penurunan

    keanekaragaman kepiting bakau di perairan Indonesia.

    Berdasarkan kenyataan ini, diperlukan suatu kajian mengenai keanekaragaman

    populasi kepiting bakau. Kajian tersebut diteliti melalui analisa variasi morfometrik

    dan meristik. Analisa karakter morfometrik-meristik kepiting bakau dapat

    digunakan sebagai acuan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati kepiting di

    Indonesia sehingga diperoleh pemanfaatan kepiting bakau yang optimal dengan

    tetap memperhatikan kelestariannya.

    1.3. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakteristik

    morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan

    Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian.

    1.4. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai

    jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai

    variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta

    sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    19/112

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Kepiting Bakau GenusScylla

    2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

    Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6

    subfamili, yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphrynae, Catoptrinae, Podopthalminae,

    dan Portuninae. Moosa et al. (1985) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 234

    jenis kepiting yang tergolong ke dalam subfamili Portuninae di wilayah Indopasifik

    Barat dan 124 jenis di wilayah Indonesia. Portunidae tergolong ke dalam kelompok

    kepiting perenang (swimming crab) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang

    memipih dan digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan

    (Portunus, Charybdis, dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting

    bakau memiliki nama lokal yang beragam, yaitu kepiting (Jawa), katang nene

    (Maluku Tengah), dan ketam batu (Sumatera). Di mancanegara, kepiting bakau pun

    memiliki nama yang beragam yaitu kepiting batu (Malaysia) (Oong 1966 in

    Siahainenia 2008), kepiting lumpur atau mud crab (Australia), kepiting samoa

    (Hawaii), alimango (Philipina), tsai jim (Taiwan), serta nokoro gozami (Jepang)

    (Cowan 1984 inSiahainenia 2008).

    Aiyun & Siliang (1991) dan Sukarya (1991) in Sulistiono et al. (1994),

    mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut:

    Filum : Arthropoda

    Kelas : Crustacea

    Ordo : Decapoda

    Sub ordo : Pleocyemata

    Infra ordo : Brachyura

    Famili : Portunidae

    Sub famili : Portuninae

    Genus : Scylla(de Haan)

    Spesies : Scylla serrata(Forskal)

    Scylla tranquebarica (Dana)

    Scylla oceanica (Fabricious)

    Hingga saat ini, pengidentifikasian spesies kepiting bakau masih kontroversi.

    Beberapa tahun yang lalu, hanya terdapat satu spesies yang dikenal sebagai genus

    Scylla (Fuseya 1998 in Fushimi & Watanabe 2001). Akan tetapi, saat ini para

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    20/112

    5

    peneliti telah melaporkan bahwa genus Scylla memiliki beberapa spesies

    (Estampador 1949 in Fushimi & Watanabe 2001). Estampador (1949) in Fushimi &

    Watanabe (2001), mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu

    varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla

    serrata var. paramamosain. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari

    ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador

    pada tahun 1949. Karakteristik morfologi dari rostrum dan gigi anterolateral serta

    cheliped pada kepiting bakau dapat dilihat sebagai berikut: Scylla serrata: duri

    frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan

    gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama; Scylla tranquebarica: duri frontal

    margintajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan

    gigi yang bergerigi tajam dan berduri; Scylla oceanica: duri frontal margin tajamberukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam.

    Selain itu terdapat pembeda lainnya, yaitu jumlah duri pada cheliped carpus dan

    corak pada pleopod pertama yang terdapat pada ketiga spesies kepiting bakau.

    Perbedaan dari ketiga spesies kepiting bakau di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) sertacheliped

    carpuspada ketiga spesies Scylla(jantan) (Fushimi & Watanabe 2001).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    21/112

    6

    Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) juga

    mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla

    tranquebarica, dan Scylla oceanicaberdasarkan klasifikasi Estampador. Perbedaan

    nyata tersebut ditemukan pada 3 dari 17 loci sampel dan jarak genetik relatifnya pun

    telah dihitung antara ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Ketiga spesies

    kepiting bakau yang diklasifikasikan oleh Estampador berdasarkan ciri morfologis

    memiliki kesamaan dengan hasil percobaan di atas. Akan tetapi, analisis genetik

    memperlihatkan bahwa Scylla serrata dan Scylla tranquebarica berkorelasi lebih

    dekat dibandingkan dengan Scylla oceanica. Informasi tersebut diperoleh dari

    investigasi mutakhir yang menyatakan bahwa ketiga spesies kepiting bakau benar-

    benar berbeda dan dapat dibedakan. Selanjutnya Klinbunga et al. (2001) in

    Watanabe et al. (2002) melakukan studi dengan menggunakan sampel dari Thailanddan menyatakan bahwa telah ditemukan tiga spesies kepiting bakau dengan

    menggunakan analisa RAPD dari DNA genom, ketiga spesies kepiting bakau (S.

    serrata, S. tranquebarica, S. oceanica) tersebut sesuai dengan kriteria yang telah

    dijabarkan oleh Estampador. Berdasarkan perbedaan tersebut, penulis menggunakan

    identifikasi kepiting genus Scyllaberdasarkan deskripsi morfologi dari Estampador

    yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica karena telah diuji

    oleh berbagai ahli di bidangnya.

    2.1.2. Morfologi kepiting bakau

    Menurut Moosa (1981) in Siahainenia (2008) untuk mengenal dan

    memberikan diagnosa dari tiga jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan

    pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya digunakan dalam

    taksonomi kepiting bakau. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting

    yang digunakan dalam pengenalan jenis famili Portunidae adalah sebagai berikut

    dan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3:a. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di

    atasnya.

    b. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum).

    c. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks.

    d. Bentuk sudut postero-lateral tubuh.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    22/112

    7

    e. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama dari

    pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki

    terakhir yang berbentuk dayung (pleopod).

    f. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod.

    g. Bentuk mulut terutama maxiliped III.

    h. Bentuk bagian ruas dasar antena (basal antennal joint).

    Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong ke dalam famili

    Portunidae adalah: karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau

    agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat-

    bulatan, karapas umumnya berukuran lebih lebar daripada panjangnya dengan

    permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya, dan memiliki tepi antero-lateral

    karapaks dengan jumlah duri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili

    Podopthalminae) sampai sembilan buah. Kemudian memiliki dahi lebar serta

    terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai

    enam buah, antena (antennulae) kecil terletak menyerong atau melintang, pasangan

    kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terurtama pada dua ruas terakhir

    (terdapat beberapa genus yang tidak berbentuk demikian) (Moosa et al. 1985).

    Menurut Kasry (1996) kepiting bakau memiliki karapaks berwarna seperti

    lumpur atau sedikit kehijauan, pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan

    buah duri tajam, dan pada bagian depan karapas di antara kedua tangkai matanya

    terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal sapit kanan lebih besar daripada

    sapit kiri dengan warna kemerah-merahan pada masing-masing ujung sapit.

    Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan satu kaki perenang, di mana kaki

    perenang tersebut terdapat pada bagian ujung perut dan ujung kaki perenang ini

    dilengkapi dengan alat pendayung. Selanjutnya Sulistiono et al. (1992) in Mulya

    (2000) menyatakan bahwa secara umum karapas berbentuk cembung dan halus,

    lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric

    (pencernaan) dan cardiac(jantung)jelas, empat gigi triangularpada lengan bagian

    depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas

    abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting

    bakau betina berbentuk sedikit membulat. Akan tetapi ketiga spesies kepiting bakau

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    23/112

    8

    S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica memiliki morfologi yang berbeda-

    beda, perbedaan morfologitersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

    Gambar 2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    24/112

    9

    Gambar 3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    25/112

    10

    Tabel 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador.

    Warna dan ciri

    morfologisScylla serrata Scylla oceanica

    Scylla

    tranquebarica

    Scylla serrata var.

    paramamosain

    Warna

    karapaks

    Coklat merahseperti karat

    Hijau keabu-abuan

    Hijau buah zaitun Coklat kehijauan

    Sumberpigmen

    polygonal

    Tidak ada Pada capit dansemua kaki

    jalan

    Hanya padabagian terakir

    kaki jalan

    Pigmen putih padabagian terakhir

    dari kaki

    Bentuk alur

    H pada

    karapaks

    Tidak dalam Dalam Dalam Relatif tidak

    begitu dalam

    Bentuk duri

    depan

    Tumpul Tajam Tajam Sedang

    Bentuk duri

    pada

    fingerjoint

    Duri tidak ada

    dan berubah

    menjadi vestigial

    Kedua duri jelas

    dan runcing

    Kedua duri jelas

    dan satu agak

    tumpul

    -

    Bentuk

    rambut/setae

    Hanya pada

    hepatic area

    Melimpah pada

    karapaks

    - -

    Sumber: Estampador (1949) in Siahainenia (2008).

    Menurut Moosa et al. (1985) kepiting bakau genus Scylla di Indonesia

    memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau

    keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar

    hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S.

    oceanicadan S. tranquebaricabiasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan

    jenis S. serrata dan S. serrata var. paramamosain ditemukan meliang di daerah

    mangrove. Selanjutnya, Kathirvel & Srinivasagam (1992) menyatakan bahwa

    morfologi dari Scylla oceanica dan Scylla tranquebaricamemiliki kesamaan, yaitukedua spesies Scyllaini dapat tumbuh dengan ukuran yang sangat besar, keduanya

    tidak hidup meliang, dan memiliki dua duri tajam pada sisi terluar cheliped carpus.

    Variasi warna yang terdapat pada karapas dari kedua spesies ini disebabkan oleh

    perbedaan letak geografis. Sedangkan spesies Scylla serratamemiliki ukuran tubuh

    yang lebih kecil dibandingkan S. oceanica dan S. tranquebarica, hidupnya meliang,

    serta hanya memiliki satu duri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus.

    2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau

    Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropik atau pada perairan berkondisi

    tropik. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indopasifik, mulai dari pantai selatan

    dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh,

    pulau-pulau di lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, negara-negara ASEAN, Jepang,

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    26/112

    11

    Taiwan, serta Filipina. Kemudian kepiting bakau pun ditemukan di pulau-pulau

    Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia

    (Kasry 1996). Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di

    perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia

    (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian

    Jaya). Pemusatan daerah pengusahaan kepiting bakau berkaitan dengan habitat yang

    masih baik, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir,

    Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir,

    Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat

    (Teluk Waworada, Teluk Bima), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Nimfor)

    (Asmara 2004).

    Secara representatif, kepiting bakau genus Scylla memiliki daerah sebaranyang luas yaitu di sepanjang Indo-Pasifik Barat, dimana daerah penyebaran dari

    maisng-masing spesies dapat dipisahkan secara jelas menurut Keenan (Tabel 2 dan

    Gambar 4). Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran

    paling luas, yang meliputi Samudera Hindia bagian Barat hingga ke Kepulauan

    Pasifik Selatan. S. tranquebarica (S. serrata var.paramamosainEstampador)dan S.

    olivacea(S. serrataEstampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut

    Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

    bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador)

    memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan

    dan Laut Jawa (Le Vay 2001 dan Keenan et al. 1998 in Watanabe et al.2002).

    Tabel 2. Daerah penyebaran spesies Scylladi dunia.

    Spesies Daerah Penyebaran

    S. serrata Indo-Pasifik Barat: Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina,

    Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat), Taiwan,

    Jepang.

    S. paramamosain Laut Cina Selatan: Kamboja, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong;Laut Jawa: Kalimantan, Jawa Tengah.

    S. olivacea Samudera Hindia: Pakistan hingga Australia Barat;

    Laut Cina Selatan: Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak hingga Cina

    Selatan;

    Samudera Pasifik: Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria.

    S. tranquebarica Samudera Hindia: Pakistan hingga Malaysia;

    Laut Cina Selatan: Sarawak, Singapura;

    Samudera Pasifik: Filiphina.

    Sumber: Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    27/112

    12

    Gambar 4. Daerah penyebaran kepiting bakau di dunia menurut Keenan

    (FAO 1998).

    Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang

    tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan

    mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan

    distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks,

    Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi

    dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting

    bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah

    pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau subadult dan dewasa berada di

    daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) in Le Vay (2001) menyatakan

    bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan

    yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove.

    Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke

    perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan

    pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan,

    atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan

    beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    28/112

    13

    melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan

    kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu

    pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah.

    Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V),

    megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda

    akan kembali ke pantai atau kawasan bakau untuk mencari makan dan tempat

    berlindung yang aman.

    2.1.4. Daur hidup kepiting bakau

    Potensi reproduksi kepiting bakau sangat tinggi, menurut Arriola (1940) in

    Moosa et al. (1996) satu induk kepiting bakau dapat memijahkan telur dua juta telur.

    Daur hidup kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa

    melalui beberapa tingkat perkembangan, antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa,

    tingkat kepiting muda, dan tingkat kepiting dewasa (Gambar 5) (Ong Kah Sin 1964;

    Motoh et al.1977 in Moosa et al. 1985). Sedangkan menurut Estampador (1949) in

    Moosa et al. (1985) perkembangan kepiting bakau terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu

    tahap embrionik, tahap larva, dan tahappostlarvae.

    Menurut Ong Kah Sin (1964); Motoh et al. (1977) in Moosa et al. (1985)

    dalam perkembangan dari tingkat zoea ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan

    waktu 3-4 hari, dan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan

    waktu minimal 18 hari. Dalam perkembangan tingkat zoea menuju tingkat

    megalopa, terdapat lima kali pergantian kulit (moulting). Ukuran panjang tubuh dari

    setiap tingkatan dari setiap pergantian kulit (moulting) zoea ialah 1,15 mm (zoea

    tingkat 1); 1,51 mm (zoea tingkat 2); 1,93 mm (zoea tingkat 3); 2,40 mm (zoea

    tingkat 4), dan 3,45 mm (zoea tingkat 5). Selanjutnya dari tingkat megalopa ke

    tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari dengan salinitas 31

    2 ppt, sedangkan jika dilakukan pada salinitas 21-27 ppt akan diperlukan waktu 7-8

    hari. Kepiting bakau hanya memiliki satu tingkat perkembangan megalopa dan

    kuran panjang karapas dan lebar karapas pada tingkat megalopa ialah 2,18 mm dan

    1,52 mm.

    Menurut Smit et al. (2004) in Butar-Butar (2006) waktu yang diperlukan

    kepiting dewasa yang siap memijah adalah antara 18 hingga 24 bulan, dimana

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    29/112

    14

    kepiting dewasa akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih

    hangat.

    Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) (Smit et al.2004 in Butar-

    Butar 2006).

    2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau

    Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat

    mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu, pH,

    kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting bakau di alam

    menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya. Untuk

    mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau diperlukan pengetahuan mengenai

    parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada (Mulya 2000).

    Kasry (1996) menyatakan kisaran salinitas yang dapat ditolerir kepiting bakau

    cukup luas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari

    15 dan lebih besar dari 30. Hill (1978) in Mulya (2000) menyatakan bahwa S.

    serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60. Keenan et al.

    (1998) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa keempat spesies Scylla pada stadia

    larva atau juvenil memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Scylla

    serrata lebih dominan berada di perairan dengan salinitas 34 dan berada di daerah

    mangrove yang tergenang oleh air laut selama hampir sepanjang tahun sedangkan

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    30/112

    15

    spesies lainnya lebih banyak berada di perairan dengan salinitas 33 di daerah

    estuari yang tergenang air laut secara periodik.

    Selanjutnya, suhu air mempengaruhi pertumbuhan (moulting), aktivitas dan

    nafsu makan kepiting bakau (Hill 1982 in Mulya 2000). Fieder dan Haesman (1978)

    in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang bersuhu tinggi cenderung

    akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai

    dewasa menjadi singkat. Menurut Baliao (1983) inSiahainenia (2008) disamping

    kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan

    makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dinyatakan pula

    bahwa kepiting bakau akan tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisara suhu 23

    oC 32

    oC.

    Wahyudi dan Ismail (1987) in Mulya (2000) menyatakan bahwa kepitingbakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur

    dengan pH rata-rata 6,5. Pendapat ini didukung oleh La Sara (1994) in Mulya

    (2000) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0.

    Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi

    perkawinan. Kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan

    Ismail (1987) in Mulya (2000) berpendapat bahwa kepiting bakau dapat hidup pada

    kedalaman 30 cm 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan pada kedalaman 30

    cm 125 cm di muara sungai. Kepiting bakau menuju perairan dangkal pada waktu

    siang hari (Hill 1980 in Mulya 2000).

    Menurut Snedaker dan Getter (1985) in Siahainenia (2008) habitat kepiting

    bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur.

    Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau

    terutama dalam melangsungkan perkawinan.

    2.2. Hutan Mangrove2.2.1. Pengertian hutan mangrove

    Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan

    bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik

    untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang

    tumbuh di laut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    31/112

    16

    untuk individu-individu jenis mangrove tersebut (Macnae 1969 in Pramudji 2004).

    Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang

    di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat

    ekstrim, jenuh air, serta kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu

    dipengaruhi oleh pasang surut. Umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang

    dengan baik pada kawasan pesisir di daerah yang terlindung dari hempasan ombak

    dan ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material, misalnya di

    daerah pesisir teluk, muara sungai, delta, dan estuari (Pramudji 2004).

    2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove

    Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh

    beberapa faktor penting, seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang-surut.

    Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia,

    dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9

    spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis

    yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-

    api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus),

    tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Dikarenakan sifat lingkungan hutan

    mangrove yang keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan

    salinitas yang besar, perairan berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon

    mangrove telah beradaptasi baik secara morfologi maupun fisiologi (Nontji 2007).

    Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu

    dipengaruhi oleh air tawar serta terlindung dari hempasan ombak. Oleh karena itu,

    magrove banyak tumbuh di kawasan pesisir yang terlindung. Sehubungan dengan

    hal tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya mangrove memiliki daya adaptasi

    yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim (Smith 1987 in

    Pramudji 2004). Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungantersebut adalah adaptasi terhadap salinitas dan suhu udara yang tinggi dengan cara

    memiliki daun yang tebal, kuat, serta sel khusus untuk menyimpan garam; adaptasi

    terhadap kadar oksigen yang rendah dengan cara memiliki bentuk perakaran yang

    khas; serta adaptasi terhadap substrat (sedimen) dengan cara memiliki struktur

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    32/112

    17

    perakaran yang mampu menahan dan mengendapkan bahan organik (Pramudji

    2004).

    Besarnya daya adaptasi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas

    mempengaruhi terjadinya pemintakatan atau zonasi pada kawasan hutan mangrove.

    Pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan perbedaan salinitas tersebut adalah

    sebagai berikut (Pramudji 2004):

    a. Zona garis pantai, yaitu kawasan hutan mangrove yang berhadapan langsung

    dengan laut. Zona ini umumnya memiliki lebar sekitar 10-75 meter dari garis

    pantai. Jenis mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi ini adalahRhizophora

    stylosa, R. mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba.

    b. Zona tengah, yaitu kawasan hutan mangrove yang terletak di belakang zona

    garis pantai dan memiliki substrat berupa lumpur liat. Pada zona ini umumnyaditemukan jenis Rhizopora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera

    cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal,

    Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris,danLumnitzera littorea.

    c. Zona belakang, yaitu kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan

    darat. Jenis mangrove yang tumbuh pada pada zona ini adalah Xylocarpus

    granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea

    octodonta,danHeritiera littoralis.

    Sedangkan pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang

    dominan mulai dari arah laut ke darat berturut-turut adalah zona Avicennia, zona

    Rhizophora, zonaBruguiera, dan zonaNypa(Arief 2003 in Pramudji 2004).

    Menurut Pramudji (2004), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi penting

    berdasarkan aspek ekologinya, yaitu:

    a. Sebagai sumber nutrisi (nursery ground), karena didalamnya terjadi proses

    biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut.

    b. Sebagai tempat penghasil oksigen.

    c. Sebagai tempat memijah (spawning ground), pembesaran, mencari makan

    (feeding ground) serta habitat dari berbagai biota laut, yaitu ikan, udang,

    kepiting, dan kerang-kerangan.

    d. Sebagai tempat berlindung dan berkembangnya hewan-hewan darat, seperti

    burung, kelelawar, kera, buaya, biawak, dan ular.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    33/112

    18

    e. Sebagai sumber plasma nutfah dan genetika.

    f. Sebagai pelindung pantai dari abrasi, banjir, serta bencana gelombang pasang

    tsunami.

    g. Membantu dalam perluasan tanah dengan membentuk teras-teras pantai di

    kawasan pesisir, karena akar mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa

    aliran sungai.

    h. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke daratan, serta mampu

    berperan sebagai filter untuk menyerap air limbah industri maupun air limbah

    rumah tangga.

    Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi

    masyarakat pesisir, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai penyedia keperluan

    rumah tangga, misalnya: kayu bangunan, kayu, dan arang; sebagai area tambak

    udang dan ikan; sebagai bahan baku kertas, penyamak kulit, dan kayu lapis untuk

    industri; sebagai tempat penghasil benih ikan, udang, kepiting, dan kerang; serta

    sebagai kawasan ekowisata bagi masyarakat maupun sebagai tempat penelitan dan

    pendidikan (Pramudji 2004).

    2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia

    Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta

    hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia (Nontji 2007). Luas hutan

    mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar namun

    pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut

    turun menjadi 2,49 juta hektar (Pramudji 2004). Area hutan mangrove yang luas

    antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7% , pesisir Kalimantan sebesar

    26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Pulau-

    pulau tersebut memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta

    beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara (Pramudji

    2004). Sebaran dan luas hutan mangrove di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    34/112

    19

    Tabel 3. Luas hutan mangrove di Indonesia.

    Provinsi Luas (ha)

    Sumatera:Aceh 20.000

    Sumatera Utara 30.750

    Sumatera Barat 1.800Riau 184.400

    Jambi 4.050Sumatera Selatan 231.025

    Bengkulu

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    35/112

    20

    Gambar6.

    PetapenyebaranmangrovediIndonesia(warnahijaukehitaman)(ReefatR

    isk1999in

    FisheriesBusinnesCenter2009).

    20

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    36/112

    21

    2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove

    Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem

    mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya,

    yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau

    melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-

    angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari

    perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan

    akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya.

    Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian

    pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria

    untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008).

    Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untukberlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari

    dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel

    pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 in

    Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap

    hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau

    menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland

    Departement of Industries 1989 in Siahainenia 2008). Lebih lanjut dikemukakan

    oleh Pagcatipunan (1972) in Siahainenia (2008) yang menyatakan bahwa setelah

    berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara

    membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras.

    Hutching & Saenger (1987) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting

    bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya

    (pneumatophore). Sementara Hill (1982) inSiahainenia (2008) menyatakan bahwa

    perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau

    karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.

    2.3. Garis Wallace

    Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah

    geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan

    dengan spesies Asia sedangkan pada bagian timur berhubungan dengan spesies

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    37/112

    22

    Australia. Garis ini dinamakan atas nama Alfred Russel Wallace, yang menyadari

    perbedaan tersebut pada saat melakukan kunjungan ke Hindia Timur pada abad ke-

    19. Garis Wallace membentang melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo

    (Kalimantan) dan Sulawesi serta antara Bali (sebelah barat) dan Lombok (sebelah

    timur). Keberadaan garis Wallace pun tercatat oleh Antonio Pigafetta dalam

    catatannya mengenai perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku dan

    tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada tahun 1521. Kemudian garis

    Wallace diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber dan

    diberi nama garis Wallace-Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia ini

    ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna (Wikipedia

    2008).

    Gambar 7. Garis Wallace (Southchinasea 2009).

    2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan

    Afrianto et al. (1996) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam

    satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian luar tubuh organisme,

    sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah bagian-

    bagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan untuk

    penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu bagian ke

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    38/112

    23

    bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter atau

    centimeter.

    Karakter morfometrik dapat memberikan informasi mengenai perbedaan antar

    spesies, termasuk variasi spesies Crustacea. Contohnya variasi interspesifik pada

    dua spesies Procambarus spp. (crayfish di Meksiko), yang kemudian diketahui

    merupakan dua spesies simpatrik (Allegrucci et al. 1992 in Overton et al. 1997);

    analisa multivariat kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari empat lokasi

    negara di Asia Tenggara, yang kemudian diketahui merupakan tiga grup yang

    berbeda berdasarkan karakter morfometrik dan meristiknya (Overton et al. 1997);

    pengklasifikasian tiga spesies kepiting bakau genus Scylla di Thailand dan Laut

    Andaman menggunakan analisis morfometrik, yang kemudian diketahui memiliki

    tiga spesies yang berbeda (Sangthong & Jondeung 2006).Selain itu, analisis karakter morfometrik dan meristik pun dapat digunakan

    untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada organisme lain, contohnya ikan dan

    udang Penaeus monodon (Imron 1998). Studi morfometrik secara kuantitatif

    memiliki tiga manfaat yaitu membedakan jenis kelamin dan spesies,

    mendeskripsikan pola-pola keragaman morfologis antar spesies, dan

    mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar

    populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh

    secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan

    pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik

    dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa

    pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan

    ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 in Imron 1998).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    39/112

    3. METODOLOGI

    3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

    Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli

    2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting

    bakau yang telah ditangkap oleh nelayan di masing-masing lokasi pengambilan

    sampel dengan menggunakan metode pengambilan contoh acak sederhana (PCAS),

    dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan yang ada pada saat itu tanpa

    melihat spesiesnya. Menurut Boer (2001), teknik pengacakan dapat mengurangi

    faktor subjektivitas pelaksana percobaan dalam memilih dan mengatur perlakuan

    atau ulangan pada satuan percobaan.

    Lokasi pengambilan sampel yang dicakup berjumlah 14 lokasi, yaitu Pidie

    (Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau),

    Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon),

    Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros

    dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya). Lokasi

    pengambilan sampel tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

    Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situdan di

    laboratorium. Sampel kepiting bakau dimasukkan ke dalam ice boxdan selanjutnya

    di bawa ke Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen

    Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

    Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer.

    3.2. Metode Kerja

    Sampel kepiting bakau diambil dengan cara membeli langsung dari nelayan

    yang menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove pada masing-masing

    lokasi penelitian. Alat yang digunakan pada saat menangkap kepiting bakau ialah

    pancing, bubu, dan jaring. Kepiting bakau yang diambil mewakili berbagai ukuran

    kepiting bakau jantan dan betina dan dianalisis di Laboratorium Biologi Makro 1,

    Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Sampel kepiting bakau yang

    terkumpul akan diukur secara mofometrik, yang meliputi 10 karakter utama seperti

    yang dilakukan Clark et al.(2001) terhadap genus Carcinus(Portunidae). Karakter

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    40/112

    25

    Gambar8.LokasipengambilansampelkepitingbakaudiPerairanIndonesia(p

    etadimodifikasidariwww.h

    ino.co.i

    d/

    p

    eta-indonesia-simplfy.g

    if).

    25

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    41/112

    26

    morfometrik dan meristik yang diukur tertera pada Tabel 4, Tabel 5, Gambar 9,

    Gambar 10, dan Gambar 11.

    Tabel 4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur.

    No. Karakter Morfometrik Keterangan

    1. Lebar karapas (L) Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah

    kanan dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri

    (horizontal)2. Panjang karapas (P) Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi

    bawah karapas3. Tinggi karapas (T) Panjang garis tegak antara karapas dengan

    abdomen4. Optical groove widths Jarak duri frontal margin di antara mata

    5. Panjang chela sebelahkanan (PCR)

    Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dariujungpalmhingga ujung dactylus

    6. Tinggi chela sebelahkanan (TCR)

    Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atasdan bawah chelasebelah kanan

    7. Panjangprofundus chela

    sebelah kanan (PCR)

    Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus

    sebelah kanan

    8. Panjang chela sebelah kiri(PCL)

    Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung

    palmhingga ujung dactylus

    9. Tinggi chela sebelah kiri

    (TCL)

    Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas

    dan bawah chelasebelah kiri10. Panjangprofundus chela

    sebelah kiri (PCL)

    Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus

    sebelah kiri

    Tabel 5. Karakter meristik kepiting bakau yang diukur.

    No. Karakter Meristik Keterangan

    1. Jumlah durifrontal margin Jumlah durifrontal marginyang berada di antara

    kedua mata kepiting2. Jumlah duri anterolateral

    margin sebelah kanan

    Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang

    berada di sebelah kanan karapas

    3. Jumlah duri anterolateralsebelah kiri

    Jumlah seluruh duri anterolateral margin yangberada di sebelah kiri karapas

    Berikut ini merupakan langkah kerja saat melakukan pengukuran. Pertama-

    tama, dilakukan penomoran kepiting menggunakan kertas label dimana sebelumnya

    telah dibersihkan dari lumpur dan air menggunakan tissue (Lampiran 1). Lalu

    dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen

    kepiting tersebut, dimana jantan memiliki bentuk abdomen yang mengerucut

    sedangkan betina memiliki bentuk abdomen yang melebar.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    42/112

    27

    Gambar 9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal (Keterangan: 1

    (lebar karapas); 2 (panjang karapas); 3 (Optical groove widths); 4 (tinggi karapas); 5 (Duri anterolateral kiri); 6 (Duri anterolateral

    kanan); 7 (durifrontal margin)).

    Gambar 10. Karakter morfometrik pada chela(Keterangan: 8 (PPR); 9 (PCR); 10

    (TCR); 11 (PPL); 12 (PCL); 13 (TCL)).

    Gambar 11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    43/112

    28

    Kemudian, bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan dengan ketelitian

    10 gram dan pengukuran tinggi karapas dengan menggunakan jangka sorong dengan

    ketelitian 1 mm. Selanjutnya dilakukan pengukuran aspek morfometrik dengan

    menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm serta pengukuran aspek meristik

    secara visual (Lampiran 2 dan 3). Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang

    telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 4 dan 5). Setelah proses pengukuran

    selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan

    pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian cheliped carpus,

    warna karapas, bentuk alur H, corak pada pleopod, serta bentuk duri pada frontal

    margin.

    Penulis menggunakan klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau berdasarkan

    Estampador karena hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara para ahlimengenai jenis-jenis kepiting bakau. Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe

    (2001) mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas,

    yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var.

    paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filiphina

    berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan kaki, gigi

    anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Serene (1952) in

    Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa eksistensi keempat spesies kepiting

    bakau yang ditemukan di Vietnam sesuai dengan penemuan Estampador. Akan

    tetapi, Stephenson dan Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan

    bahwa keempat spesies tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan

    kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South

    Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter

    morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau.

    Selanjutnya Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001)

    melakukan studi mengenai variasi genetik di 3 loci pada kepiting bakau dan

    menyatakan bahwa ketiga spesies tersebut benar-benar berbeda dan dapat dibedakan

    sesuai dengan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe

    (2001), membuat sebuah revisi mengenai genus Scylla dengan menggunakan

    spesimen yang berasal dari Laut Merah dan beberapa lokasi di Indo-Pasifik,

    menggunakan 2 metode genetik yang independen, allozyme elektrophoresis, dan

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    44/112

    29

    sequencing of two mitochondrial DNA genes (Sitokrom oksidase I dan 16s RNA)

    yang bekerja pada masing-masing spesies. Keenan et al. (1998) in Fushimi &

    Watanabe (2001), menyatakan bahwa terdapat 4 spesies dengan menggunakan

    kriteria morfologi tetapi keempatnya berbeda secara istilah.

    Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan analisis

    morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran

    geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik

    morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan

    analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanicabenar-

    benar dapat dibedakan. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga

    spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada

    tahun 1949.

    3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau

    Proses pengidentifikasian kepiting bakau menggunakan klasifikasi yang

    digunakan Estampador, di mana kepiting bakau dibedakan menjadi 3 spesies

    berdasarkan perbedaan karakter morfologisnya, yaitu Scylla serrata, Scylla

    tranquebarica, dan Scylla oceanica. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

    (FAO 1998) adalah sebagai berikut:

    a. Cheliped carpushanya memiliki setidaknya 1 duri

    yang tidak pernah tajam; warna tubuh biasanya

    agak keorangean atau kekuningan ........................... c d

    b. Cheliped carpus memiliki 2 duri tajam; warna

    tubuh biasanya hijau hingga ungu ........................... e

    c. Frontal marginbergigi tajam; duri pada ujung

    carpustajam ............................................................ Scylla tranquebarica

    d. Frontal marginbergigi tumpul membundar; duri

    pada ujung carpushampir tereduksi ...................... Scylla serrata

    e. Frontal marginbergigi tajam; duri pada cheliped

    carpus kebanyakan tajam; warna karapas hijau

    atau hijau-olive; pleopod biasanya bercorak (jantan

    dan betina) ............................................................... Scylla oceanica

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    45/112

    30

    Gambar 12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi)

    (FAO 1998).

    3.4. Analisis Data

    3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas

    Analisis data dilakukan terhadap sebaran frekuensi panjang dan lebar karapas

    kepiting bakau untuk mendapatkan selang kelas, nilai tengah, dan frekuensi dengan

    menggunakan program Microsoft Excel dalam hal perhitungannya. Langkah-

    langkah dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah sebagai berikut:

    a. Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data panjang dan

    lebar karapas dari jumlah total kepiting bakau.

    b. Menentukan jumlah kelas.

    c. Menentukan wilayah data (c); c = nilai maksimum nilai minimum.

    d. Menentukan lebar kelas; lebar kelas = c/jumlah kelas.

    e. Menetukan batas atas kelas dan batas bawah kelas setiap selang kelas.

    f. Mendaftarkan seluruh batas kelas untuk setiap selang kelas.

    g. Menentukan nilai tengah setiap selang kelas.

    h. Menjumlahkan frekuensi panjang dan lebar karapas yang telah ditentukan

    berdasarkan masing-masing selang kelas.

    i. Memplotkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dalam sebuah

    grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    46/112

    31

    3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat

    Data yang digunakan pada analisis pada hubungan lebar karapas-berat ialah

    data gabungan kepiting jantan dan betina pada masing-masing lokasi penelitian.

    Analisis hubungan lebar karapas-berat menggunakan rumus hubungan panjang-berat

    pada kepiting (Hartnoll 1982):

    W = a Lb

    Keterangan: W = berat

    L = lebar karapas

    a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-

    berat dengan sumbu y)

    b = penduga pola pertumbuhan panjang-berat

    Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan:

    Log W = Log a + b Log L

    Y = a + b x

    Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis:

    H0: b = 1, hubungan lebar karapas-berat adalah isometrik

    H1: b 1, hubungan lebar karapas-berat adalah allometrik, yaitu:

    Allometrik positif (b > 1), pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan

    dengan pertumbuhan panjang.

    Allometrik negatif (b < 1), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan

    dengan pertumbuhan berat.

    t hitung=1

    01

    Sb

    bb

    Keterangan: b1 = nilai b (dari hubungan panjang-berat)

    b0 = 1

    Sb1 = simpangan koefisien b

    Kemudian, bandingkan antara nilai thitung dengan nilai ttabel dengan selang

    kepercayaan 95% ( = 0.05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya,

    kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:

    thitung> ttabel : tolak hipotesis nol (H0)thitung< ttabel: gagal tolak hipotesis nol (H0)

    Penulis menggunakan bantuansoftwareSPSS 15.0 for Windows Evaluation Version

    dan Microsoft Excel dalam hal perhitungannya.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    47/112

    32

    3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis)

    Sepuluh karakter morfometrik dianalisis dengan menggunakan program

    Principal Components Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis dari program

    PCA, didapatkan suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian

    besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total dengan menggunakan

    sedikit komponen utama saja. Penggunaan komponen utama sering disarankan

    untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah (Sartono et al.2003).

    Selain itu, hasil plot antar komponen utama (grafik score plot) dapat digunakan

    untuk untuk menentukan banyaknya penggerombolan secara sederhana. Penulis

    menggunakan bantuansoftwareMINITAB 15.0 dalam hal perhitungan PCA.

    3.4.4. Analisis biplot

    Analisis perbandingan karakter morfometrik yang telah ditentukan bertujuan

    untuk melihat karakter morfometrik yang memiliki keterkaitan dengan karakter

    lainnya. Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat

    disajikan secara visual dengan menyajikannya secara simultan segugus objek

    pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciri-

    ciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dan

    peubah dapat dianalisis. Biplot dapat menunjukkan hubungan antar peubah

    kemiripan relatif antar objek pengamatan, serta posisi relatif antara objek

    pengamatan dengan peubah (Jolllife 1986 & Rawling 1988 in Sartono et al.2003).

    Perhitungan dalam analisis biplot, Penulis dibantu dengan menggunakan software

    SAS 9.1.

    Salah satu informasi yang didapat melalui analisis bilpot adalah untuk

    mengetahui korelasi antar peubah, dimana dua peubah yang memiliki korelasi

    positif tinggi digambarkan dengan dua buah garis dengan arah yang sama

    (membentuk sudut sempit). Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasinegarif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang

    berlawanan (membentuk sudut tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak

    berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang membentuk sudut

    mendekati 90o(Sartono et al.2003).

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    48/112

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian

    Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei

    2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam),

    Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang),

    Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak

    (Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk

    Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian

    berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan

    menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau

    berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di

    sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian.

    Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di

    Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di

    ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami

    utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran

    (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir

    Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatanPapua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007).

    Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di

    seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera

    Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta,

    Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat,

    Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa

    Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi

    Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua).

    Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor,

    keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan

    dapat dilihat pada Tabel 6.

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    49/112

    34

    Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian.

    Jumlah data (ekor)

    No. DaerahScylla spp.

    (gabungan ketiga spesies)

    Scylla

    serrata

    Scylla

    tranquebarica

    Scylla

    oceanica

    1 Pidie 83 11 64 8

    2 Jambi 12 9 - 3

    3 Bintan 5 - - 5

    4 Cilamaya 36 36 - -

    5 Blanakan 49 20 21 8

    6 Gebang 54 24 24 6

    7 Ambulu 23 23 - -

    8 Mataram 30 10 14 6

    9 Samarinda 98 2 29 67

    10 Pontianak 30 - 1 29

    11 Maros 61 29 12 20

    12 Bone 75 55 5 15

    13 Teluk Bintuni 55 4 6 45

    14 Jayapura 14 6 1 7

    Total 625 229 177 219

    Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi

    berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel,

    sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8%

    dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan

    selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel,

    sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla

    tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya,

    persentase sampel Scylla oceanicayang diperoleh selama penelitian adalah 35,04%

    dari jumlah total sampel.

    Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi

    penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya,

    Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebaricamendominasi

    di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica

    mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan

    Jayapura.

    Jumlah sampel Scylla serrataterbanyak berasal dari Bone,yaitu sebanyak 55

    ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel

    terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak

  • 5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau

    50/112

    35

    ditemukan S. serratapada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S.

    tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari

    jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah

    berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi

    tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel.

    Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67

    ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel

    terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak

    ditemukan S. oceanicapada saat pengambilan sampel.

    Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah

    penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut,

    karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampirseluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau

    ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di w