berjta redaksi - msp.fpik.ipb.ac.id · pendahuluan kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan...

23

Upload: lynhan

Post on 27-Jun-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia
Page 2: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

BERJTA REDAKSI Oseall%gi dan Lillln%gi di Indonesia

Volume 36, Nomor 3, Desember 2010

Sejarah majalah ilmiah ini dimulai sejak talum 19741ahir sebagai Oseanologi di Indonesia. Pada tahun 1993 bergabung menjadi Oseanoiogi dan Limn%gi di Indonesia (Nomor 26). Kemudian pada tanggal I November 2006, Oseanologi dan Lillll1%gi di Indonesia ditetapkan sebagai MajaJah Berkala IImiah TERAKREDITASI C dengan nomor 28/AKRED·LIPUP2MBU9/2006. Untuk mengikuti aturan majalah ilmiah berkala maka penomQran volume dan halaman disesuaikan dengan aturan tersebut. Oleh karena itu, Oseanologi dan Linm%gi di Indonesia, Nomor 42, Apri l 2007 menjadi Oseallo[ogi dan Limn%gi di Indonesia, Volume 33, Nomor I, April 2007. Tiga tahun setelah itu, pada tanggal 28 Agustus 2009, Osean%gi dan Limn%gi di Indonesia ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah TERAKREDITASI B dengan nomor I 89/AU I l1P2MBII 08/2009. Oseanologi dan Limnologi dj Indonesia atau telah dikenal dengan OLDI tetap berusaha mengikuti perkembangan jaman dan menyesuaikan terbitan dengan terbitan ilmiah nasional maupun intemasional. Seiring dengan terbitnya Oseanologi dall Limnologi di Indonesia Volume 36, Nomor 3, Desember 2010 ada 2 (dua) hal yang ingin disampaikan oleh redaksi OLDI, yaitu : (1) OLDI terbit online di http://www: limnologi.lipi.go.id sejak terbitan Volume

36, Nomor I, April 2010. (2) Untuk menyesuaikan terbitan selanjutnya denganjumal ilmiah nasional maupun

intemasionai, maka OLDI melampirkan PETUNJUK. PENUllSAN NASKAH dalam BERITA REDAKSI.

Petunjuk tersebut mulai berlaku untuk terbitan Volume 37, Nomor 1, Apri1201l.

Demikian berita redaksi in i disampaikan untuk tetap mempertahankan OLDI sebagai majaJah ilmiah berkala. Redaksi mengucapkan banyak terimakasih atas peran serta para penulis yang telah menyumbangkan tul isannya untuk kelangsungan terbitan ini.

Pemimpin Redaksi

Page 3: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

ISSN 0125 - 9830

OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI D1INDONESIA

Volume 36, Nomor 3, Desember 2010

DAFfAR lSI

I. SRl JUWANA,RUYITNO, YUSTlAN ROVI ALFlANZAH dan SUJONO: Utilization ofArlemia nauplii, supplemented diet and commercial probiotic, for production of crab seed (Portunus pe/agicus) ... .. ... .................. .... .. ... ... ... .. .... .. ..... ...... ..... ............ .

2. TUTlK MURNlASIII dan ABDULLAH RASYID : Potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal Barrang Lompo (Makassar) sebagai sumber bahan antibakteri ..................... .

3. EDDYYUSRON dan SUSETlONO: Diversitas fauna ekhino-dennata di perairan Temate - Maluku Utara ........ ... .... .. ... .. ... ... . .

4. PETRUS CHRlSTlANUS MAKATlPU, TEGUH PERlSTI­WADY danMARTHENLEUNA : Biodiversitasikan targetdi tennnbu karang Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara ... .. .. .

5. SUPONO dan UCUYANU ARBI : Strukturkomunitas ekhino-dennata di Padang Lamun perairan Kema, Sulawesi Utara ....... .

6. SULASTRl, DEDE IRVING HARTOTO dan IWAN RJD­WANSYAH: Pemilihan zonasi kawasan konservasi keaneka­ragaman biota Muara Layang di sekitar Teluk Klabat, Pulau Bangka .. ........................................................... .. ..... ... ... ... .. ... ..

7. WAWAN KlSWARA : Studi pendahuluan: Potensi padang lamun sebagai karbon rosot dan penyerap karbon di Pulau Pari, Teluk Jakarta ........... ....................................................... .

8. RlCKY ROSITASARl, SUYARSO, SURATNO dan BAYU PRAYUDA: Kerentanan pesisir Cirebon terhadap perubahan ikhm ................ .. ... .......... .. .... ..... .. ..... ...... ..... ........................... .

9. ABDULLAH RASYID : Ekstraksi natrium alginat dari alga coklat Sargassum echinocarphum .................................... .

10. DEDE IRVING HARTOTO : Chronotone and abiotic ecological connectivity in Lake LoaKang floodplain, East Kalimantan ...

Halaman

259-279

281-292

293-307

309-327

329-342

343-360

361-376

377-392

393-400

401-425

Page 4: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

ISSN 0 I 25 - 9830

OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA

Volume 36, Nomor 3, Desember 2010

DAFTARISI

II. SASANTI RETNO SUHARTI : Diversity and abundance of reef fish in the coastal of Kia bat Bay, Bangka Island, Indonesia ..

12. NlRMALASARl IDHA WUAYA, FREDINANYULIANDA, MENNOFATRlA BOER dan SRI JUWANA: Bio1ogi popu1asi kepiting bakau (Scylla serrala F.) di habitat mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur .................................... .

Halaman

427-442

443-461

Page 5: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

Oseonologi dOli Limnologi di Illdonesio (2010) 36(3): 443 - 461 ISSN0 125 - 9830

BIOLOGI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata Po)

DI HABITAT MANGROVE TAMAN NASIONAL KUTAI

KABUPATEN KUTAI TIMUR

oleh

NIRMALASARI IOHA WIJAYA ", FREDINAN YULIANDAl),

MENNOFATRIA BOERl) dan SRI JUWANAJ)

''Sekolah Tinggi lImu Pertanian Kulai Timur "Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan, instilut Pertanian Bogor

"Pusal Penelitian Oseanografi - LlPI, Jakarta Received 27 July 2010, Accepted 16 November 2010

ABSTRAK

Taman Nasional Kulai memiliki 5.277,79 ha hutan bakau di sepanjang pesisir pantainya. Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem bakau yang dapal dimanfaatkan. Penehtiun biologi populasi Scylla serrala di hutan bakau Taman Nasional Kutai (TNK) bertujuan untuk mengetahul parameter pertumbuhan, distribusi ukuran, laju mortalitas dan laju eksploitasi penangkapan. Hasil pengukuran diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penimbangan untuk pengelolaan kepiting bakau di TNK, agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Pengumpulan data biologi S. serrala diperoleh dari pengamatan yang dilakukan selama 4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim kemarau (yaitu November 2008 - Juni 2009) di tiga stasiun yang telab ditetapkan berdasarkan karakteristik habitat bakaunya, yaitu di Muara Sangalta, Teluk Pcrancis dan Muara Sangkima. Data yang tcrkumpul dianalisis dengan metode analitik menggunakan instrument FISAT-Il (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool II). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertumbuhan S. serrala jantan di babitat bakau TNK bersifat allometrik positif, sedangkan S. serrala betina bersifat allometrik negatlf. Kocfis icn pcrlumbuhan (K) berkisar antara 0,45-1,50. K di Muara Sangatta lebih tinggi (1,2-1,5) dibanding di lokasi Teluk Peraneis (0,8-1,1) dan Muara Sangkima (0,45-0,69). Laju penangkapan S. serrala di TNK sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di Muara Sangkima masih dibawah laju eksploitasi yang diperbolehkan. Distribusi \cbar karapas kepiting bakau (s. serra/a) di zona hulan bakau mcmpunyai frekuensi tertinggi pada interval \09,5-\29,5 mm. Seeara umum ukuran ini relat iflebih besar dibandingkan ukuran lebar karapas kepiting di zona depan hulan bakau dengan frekuensi tertinggi pada interval 78-89 mm dan di zona perairan pantai dengan

443

Page 6: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

frekuensi tertinggi pada interval 89.S-121.S mrn. Kelirnpahan individu betina matanggonad rnencapai puncak pad:! bulan lanuari. Februari dan Maret. Diduga terjadi puncak kelimpahan )'lmg kedua pada bulan Agustus dan September.

Kata kunci: Kepitlng bakau, S cylia serrata , Taman Nasional Kutal , sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, laju peoangkapan.

ABSTRA CT

BIOLOGY POPULATION OF MUD CRAB (Scylla se"a/a) AT MANGROVE HABITAT OF KUTA.I NATIONAL PARK., EAST KUTAI REGENCY. Kutai National Park possess 5 277.79 ha mangrove forest alollg its coastal area. Mangrove crabs is aile of its natural resollTces that can be exploited. Biology populo /ion research on mangrove forests 0/ Kulai National Park (KNP) aims to identify parameters 0/ growth. size distribulio" . rate of mortality and rate a/exploitation o/S cJ'lIa serrata. The results could be used as consideration on optimal mrd SUSlainable management a/mangrove crabs in KNP. Collection of biological data a/the mangrove crab was done 4 monlhs during the rainy season and 4 mOlllhs during Ihe dry season (thai is November 2008 to June 2009). ntthree slatiollthnt can be selecled accom;ng 10 charaCterislic o/ils mangrove hobital. that is at Muora Sangauo. Teluk Perm/cis alld Muara Sangkima . DolO collect ions were analyzed wilh analytical methods uS/llg FISAT-II (FA O-ICLARM Stock Assessment Toool II) illstrnmell/s. 11re results showed Ibaltlre growlh pal/ern of the mates crab at mangrove forest o/KNPwas allometric positive, wereas the/emotes were allometric I/egalive. Growlh coefficient index (K) 0/ tlte mangrove crab ranged from 0.45 to 1.50. K at Muara Sallgatta higlter (1 .2 to 1.5) than at location Teluk Perallc/s (0.8 /0 1./) and Muara Sallgkima (0.45 10 0.69). Thefishing rate o/the mangrove crab in KNP was already all the maximum exploitation rate, only at Muara Sangkima/lShing rate explOitation rate is slightly below the maximum exploitation. 11redistr;bution o/carapace width o/S. serrato ill the mangrove/orest zones has Ihe highest/requency at imerval109.5 to 129.5 mm. In gel/eral. thaI size relatively bigger tlran those in Ihe middle zone of mOllgrove/orests Ih at was in the range 0/78 to 79 mm. those in lite inshore zone in the range 0/89. 5 10 /2/.5 mm. Peak o/the abundance o/the mature/emales was during January. Febrnary and March. The second peak was assumed in August to September.

Key words: Mangrove c rabs. Scylla serrato, Kutai Nationa l Park , siu distribution,

growth parameters, fishing rai l'.

444

Page 7: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

PENDAHULUAN

Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria dan dari hasi! budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan semakin meningkatnya nilal ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi penghasll utama kepiting bakau justru agak !ambat dan cenderung menurun (CHOLIK 1999).

Kepiting bakau yang berrnlai sebagai sumber makanan dan pendapatan di Kosrae, Negara Bagian Micronesia, juga mengalami deplesi kelimpahan dan ukuran, akibat tekanan penangkapan yang dipengaruhi oJeh distribusi pendudukdan lokasi usaha perikanan komersial (BONINE e( al. 2008). Penurunan popu!asi kepiting bakau di a!am diduga disebabkan o!eh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over exp!oitalion)(S lAHAINENlA 2008).

Kawasan konservasi Taman Nasiona! Kutai (TNK) memiliki hutan bakau pada lokasi 1-2 Ian dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi olehjenis Rhizophora dan Brnguiera (TAMAN NASIONAL KUTAI 2005). Hutan bakau di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting di Kabupaten Kutai Iimur. Di dalam kawasan mangrove tersebut saat ini teJah berdiri empat desa definitif. Masyarakat yang tingga! dalam kawasan tersebut memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sumberdaya hutan (vegetasi mangrove) maupun sumberdaya perikanannya, tennasuk di antaranya kepiting bakau (Scylla serrata). Pemanfaatan sumberdaya di kawasan taman nasional perJu dike!ola dan dibatasi penggunaannya agar tidak sampai merusak sumberdaya dan menghilangkan fungsi taman nasiona! sebagai kawasan konservasi.

Populasi kepiting bakau seeara khas berasosiasi dengan hutan bakau yang masih baik, sehingga hi!angnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada popuiasi kepiting. Status bioekologi kepit ing bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan penge!olaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan tangkap dan budidaya kepiting bakau yang berke!anjutan (LE VAY 200 I). Pertumbuhan, mortalitas, rekruitmen dan laju eksploitasi kepiting bakau dapat digunakan untuk menentukan tingkat penangkapan optimum (MSy) yang merupakan landasan da!am kebijakan penge10laan penangkapan kepiting bakau (SPARRE & VENEMA 1999).

Tujuan penelitian ini untuk memperoieh parameter pertumbuhan, distribusi ukuran, laju mortalitas dan laju eksploitasi penangkapan Scylla serrata di habitat mangrove I NK. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai suatu bahan pertimbangan dalam pengelolaan Scylla serrata di INK agar dapat dimanfaatkan seeara optimal dan berkelanjutan.

445

Page 8: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

WIJAVA, Y UUANDA, BOER & JUWANA

METODE PENELITIAN

Penetapan Stasiun Penelitian Pene!itian dilakukan antara bulan November 2008 - Juni 2009 di kawasan

mangrove Taman Nasional Kutai (TNK) seluas 5277,79 ha. Habitat mangrove TNK dibagi menjadi 3 lokasi pengamatan, berdasarkan karakteristik habitat mangrovenya, yaitu Muara Sungai Sangana (StasiunA). Teluk Peraneis (Stasiun 8) dan Muara Sungai Sangkima (Stasiun C). Kelompok substasiun I zona tengah hutan mangrove, 2 zona depan hutan mangrove dan 3 zona pcrairan laut. (Gambar 1).

Mangrove di Muara Sangatta merupakan hutan bekas tcbangan yang telah kehilangan pahon berdiameter besar dan sebagian dari areal ini telah dijadikan tambak. Di dalam plot tidakdijumpai pahon-pahon berdiameter besar, sebagian besarmerupakan trubusan dengan diameter < 10 em. Minimum ada 4 jenis pahon yang dijumpai di Muara Sangatta. Jenis yang dominan adalah Aegiceras corniculaluln (gedangan) kemudian Nypajrnclicans (nipah) Ceriops lagal (saga tinggi) dan Ceriops decandra (bido-bido) tidak dominan. Muara Sangatta dieirikan oleh kerapatan vegetasi, tekstur substrat, BOD dan kelimpahan S. serrala yang tinggi.

Mangrove di Teluk Perands relatif masih utuh dibandingkan dcngan Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar tambak tidak produktiflagi dan menjadi lahan kritis . Ada 3 jenis pahon bakau yang dijumpai di Teluk Peraneis. Jenis pohon yang dominan adalah Rhizophora apiculala (bakau minyak). Rhizophora mucronala (bakau hitam) dan Brnguiera gymnorrhiza (bakau daun besar) kurang domiman. KeJompok substasiun BI zona tengah hutan dan B3 zona perairan Tcluk Perancis, dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobcnthos dan salinitas air yang tinggi.

Mangrove di Muara Sangkima mempunyai 6jenis pahon, yang didominasi oleh Rhizophora apiculala (bakau minyak), kemudian Brnguiera gymnorrhiza (bakau daun besar) dan Ceriops decandra (bido-bido). Tigajenis pohon waru tidak dominan, yaitu Osbornia oclodonla, Hibiscus tiliaceus dan Lumnil;:era liltorea. Kelompok substasiun Cl zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima,juga dieirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, tckstur substrat, BOD dan kelimpahan S. serrala yang

tinggi.

446

Page 9: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

BrOLOOI POP1JLASI K.!:PI1lNC BAKAU

"

,"

Gambar 1. Peta lokasi dan stasiun penelitian di ekosistem mangrove Taman Nasional Kutai, 2008-2009.

Figure I. Map of the studi area and research station in mangrove ecosystem Kutai National Park, 2008-2009.

Pengumpulan Data Biologi Jenis kepiting Scylla yang digunakan dalam penelitian ini diidentifikasi

berdasarkan ciri-ciri yang dibuat oleh Keenan et al. (1998), yaitu chela dan kaki­kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kcdua jcnis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari unggu hijau sampai hitam kecoklatan. Duri pada karapas di antara dua mata tinggi, rata dan agak tumpul dengan tepian yang cendemng cekung dan membulat. Duri pada bagian luar cheliped bempa dua duri tajam pada propodus dan sepasang duri tajam pada carpus (Gambar 2),

Biologi Scylla serrata dikaji dengan melihat parameter perrumbuhan, pola distribusi, laju mortalitas dan laju eksploitasi. Pengumpulan data biologi Scylla senara diperoleh dari obscrvasi tcrhadap kepiting bakau yang dilakukan selama 8 bulan (Nopember 2008 - Juni 2009), pada lokasi 3 stasiun pengamatan yang dlpl ih sesuai karakteristik habitat mangrove sepcrti tersebut di atas. Data primer dan sekunder (IS responde,,) yang dikumpulkan berupa musim, lokasi tangkapan, sebaran ukuran, jenis kelamin, lama upaya menangkap dan hasil tangkapan harian yang ditangkap dengan alat tangkap kait, rakkang maupun rengge.

447

Page 10: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

W UAYA, Y ULIANDA, BoER & JUWANA

Duri di anl ara dua mala

Our i pada propod us ( I('ngan bawah) da n carpus (siku)

Pola polygonal pada kaki-kaki re nang

Pola polygonal pad a abdomen

Karapas

Gambar 2. Ciri-ciri khas kepiting bakau, Scylla serrala.

Hgure 2. Characteristic featu res of mangrove crab, Scylla serrala.

Analisis Data Berdasarkan data tersebut dilakukan beberapa analisis yaitu: hubungan panjang­

bobot, yang digambarkan dalam dua bcntuk yaitu isometrik dan a llometrik berdasarkan HI LE yang diacu oleh EFFENDIE ( 1979). Pendugaan kelornpok ukuran dilakukan dengan menganalisis data frekuensi lehar karapas yang dianalisis mcnggunakan program Bhattacharya s Method yang dikemas dalam paket program FlSAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Toof). Analisis pertumbuhan, Plot Ford-Walford untuk menduga parameter pertumbuhan L" dan K dari persamaan von Bertalanfly. Pendugaan laju eksploit3si S. serrma dilakukan dcngan pendugaan laju mortalilas alami (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt. Nilai Z dan pendugaan laju mortalitas alami (M)

448

Page 11: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

BIOLOOI 1'0'1.II."SI K~"nNG B.", .. u

digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat penangkapan (F) = Z-M. Selanjutnya laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat diduga dengan menggunakan persamaan: E '" F: Z, nilai Yield per Rekrut (YIR) untuk menentukan laju eksploitasi maksimal yang diijinkan,

HASIL DAN P EMBAHASAN

Sebaran Spasial Ukuran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Kepiting bakau (Scylla serrara) tidak memiliki bagian tubuh keras yang

pennanen sebagai indikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yang digunakan adalah lebar karapas. Hasil tangkapan S. serrala di kawasan mangrove TNK (StasiunABC) memiliki struktur ukuran lebar karapas yang bervariasi berdasarkan lokasi penangkapannya, Lokasi penangkapan dalam penelitian ini meliputi liga kondisi habitat yang berbeda, yaitu kawasan bagian tengah hutan mangrove (substasiun I), kawasan pinggirnn hulan mangrove (garis pantai) (Subs\aslUn 2), dan kawasan perairan panlai (inshore) (substasiun 3). AlaI langkap yangdigunakan p.ada setiap lokasi berbeda­beda, terganlung pada spesifikasi dan kemampuan alaI tangkap. Pada bagian lengah hutan mangrove digunakan pengait, pada bagian pinggir pantai digunakan rakkang, dan di perairan panlal digunakan alaI langkap rengge dengan ukuran diameter jaring 2 inchi. l umlah individu S. serrala hasil tangkapan ketiga jenis alaI tangkap pada liga lokasi selama 8 bulan disajikan pada Tabel I .

Tabel I. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alai pengait, rakkang dan rengge, November 2008 ~ J u ni 2009.

Table 1. Tile number of S. serrata captured by the fis hing gear hook, t r ap and gilln et, November 2008 to J une 2009.

Fishing gear

Hook (pen gait) Trnp (rnkkang) Gillnet (rengge)

Total Individu Male Female 669 311 526 449 59 141

Sum or Tolal (ind.)

980 975 200

Size Max-Min (mm) Male Female 68 154 65-17 \ 50-143 45-155 70-142 73-135

449

Page 12: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

Wm,YA, YlIUA..'IDA, SOI!lt. & JlIWANA

Tabel 1 menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas terkecil kepiting yang tertangkap adalah 45 mm dan ukuran lebar karapas terbesar adalah 171 mm. Ukuran kepiting yang terkecil menunjulckan bahwa kepiting yang mulai dapat tertangkap oleh alat langkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik histogram sebaran ukuran dan sebaranjenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil tangkapan dari bulan November 2008 - Juni 2009 dengan mcnggunakan alat tangkap rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 3.

Lebar karapas S. serrata di tengah hulan mangrove, yang diperolch dari hasil tangkapan alaI pengail, umumnya berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan lertinggi pada interval 109,5-129,5 mm. Persenlase jumlah kepiling yang bcrukuran lehar karapas kurang dari 100 mm adalah 16,12%, artinya hanya 16% kepi ring yang d itangkap dengan alat pengait yang beJum dewasa kelamin, sedangkan sisanya, sekitar 83,88% merupakan kcpiting yang diduga sudah dewasa keJamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar.

Rasio kelamin S. serrata di zona tengah hutan mangrove 1ebih didominasi jenis kelamin jantan dengan nisbah jantan:betina adalah 1 :0,47 dan nilai P<0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran nisbah kelamin 1: 1. Dominasi jantan dapal terjadi karena adanya poJa migrasi pada kepiting bakau. Kcpiting S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur­angsur sesuai dengan perkembangan lelumya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan letap di perairan hutan bakau atau muara sungai (HILL 1975). HasH ini bersesuaian dengan hasil penelitian LE VA Yet al. (2007) yang menemuka-n bahwa hasil tangkapan kembali (recaptured) kepiting bakau S. para/l!amosain yang telah ditandai (/I!arking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpurpinggiran mangrove menuju ke lauI, 14% yangtertangkap pada siang hari di dalam mangrove dcngan pancingan dan 7% tertangkap gil/nets ditetapkan setidaknya pada jarak I Ian lepas pantai dari pinggiran bakau.

Pada zona depan hutan mangrove diperoleh struktur ukuran lebar karapas Scylla serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77,95%, dengan frekuens i tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm. Sisanya sebesar 22,05% merupakan kepiting berukuran lebih dari 100 mm. Hal ini menunjukkan hahwa lebih banyak kepiting muda yang lertangkap di lokasi zona depan mangrove dengan menggunakan alaI langkap ralling. AlaI ralling umumnya dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang terlangkap dengan rakkang disebabkan pada tingkal megalopa kepi ling mulai beruaya pada dasar perairan berlumpur menuju pcrairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (AFRIANTO & UVlAWATY 1993).

450

Page 13: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

... ... , "

~ ... > 0 .. • • ! .. " .. "

" ,

"

BIOLOGI POPIJI.'.SI K EPln NG B~KAU

..... • . . .. IO UO ZO~O 0' " ~ ~ G M OV'/HO O~ ( .. ALEI , . "" ,.. .. lO ll . ZOH' O F .. ANCA ov .m O OK ( .... Al . 1

• .A O N T ZO NE O F "AH G A OV E IT A • • 1">l El -0- F R ON T Z O NE O f .. . NGR OVE iTR .P In .. ,, ") _ _ _ ,NS KOR' ZO N E /G ' ll N E T I " . ") - ~ - ' NS K OR ! l O NE /G lllNE T I .... A L E I

..

. . ... '. ,.:/ • ./ .,.,

... .. . CARA P AS W I DT H (mm)

\. •

... ... ... Gambar 3. Distribusi lebar karapas S. serrata di beberapa zona hutan mangrove,

di Taman Nasional Kutai, November 2008 - Juni 2009. Figure 3. Distribution of carapace width of S. serrata in several zone of mangrove

forest, at Kutai National Park, November 2008 to June 2009.

WEBLEY et aJ. (2009) menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies kepiting menunjukkan se!eksi habitat aktifketika akan menetap. Mega!opa ini biasanya memllih habitat yang kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S serrata, umumnya ditemukan dl muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas > 40 mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekruitan kepiting lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megaJopa dan tahap awal crablets (Iebar karapas < 30 mm) jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di arena di mana m~reka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir dan arena di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang ditunjukkan oleh megalopa kepilmg portuoid lain, megalopa S serrata tidak selektif terhadap habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak akan mcmilih habitat ini, atau tidak memperoieh keuntungan dengan memilih salah satu dari yang lain. Namun kepiting muda, lebih memilih lamun, menunjukkan bahwa berada dalam lamun bermanfaal bagi kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang selcktifmulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada lahap megalopa.

Rasio kelamin S. serrato hasil tangkapan rakkang lebih didominasi oleh jenis kelamin jantan dengan nisbah jantan : betma adalah I :0,85 dan nilai P<O,05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari nisbah ke1amin 1: 1. Dominasi jantan

45 \

Page 14: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

WUAYA, YUUANDA, Sou & JUWANA

diduga terjadi karena adanya persaingan makanan dan sifat yang agresi f dari S. serrata jan tan, sehingga individu jantan leblh sering masuk ke dalam rakkang.

Scylla serrata hasil tangkapan pad a zona perairan pantai dengan menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42% merupakan kepiting yang berukuran kurang dan 100 nun, dan sisanya (58%) merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 nun dan diduga sudah dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata lebih bervariasi dibandingkan kedua alaI sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan teninggi pada interval 89,5-121,5 nun.

Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominaslJeniS kelamin betina dengan nisbah jantan:betina adalah 1 :2,5 (P<0,05). Lebih banyaJmya kepiting betina yang tenangkap karena pola migrasi reproduksi kepiting betina yang memijah di laut, sehingga merelai berenang ke laut dan tertangkap oleh alaI rengge. Rengge (gil/net) digunakan di perairan dangkaJ di pesisir. Nelayan umumnya tidak seeara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama cangkapan. Waktu penggunaan rengge dapal siang alau malam han . Kepiling belina yang tertangkap sebagian adalah kepiting yang malang gonad dan akan memijah, alau sebagian lagi adalah kepiting betina yang salin (selesai memijah). Vanasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap oleh alat rengge terjadi karena sebagian adalah kepiting betina matang gonad yang bennigrasi ke laut untuk memijah dan sebagian lagi adalah kepiting muda (crable/s) yang bennigrasi ke mangrove untuk meneari makan dan kawin.

Sebaran Temporal Induk Detina Matang Gonade (TKG IV) Pengamalan terhadap induk betina matang gonad dilakukan seeara morfologi

pada semua sampel kepiting. Tingkat Kematangan gonad (TKG) yang diamati adalah TKO N, yang seeara morfologi dapal diamali denganjelas seeara visual. Grafik sebaran frekuensi induk betina TKO IV pada masil).g-maSing stasiun disajikan pada Gambar 4.

Induk hetina matang gonad TKG IV yang tenangkap di habitat mangrove TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara 91 -171 nun, sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara 170-870 gram. Kelimpahan mdividu belina matang gonad terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi lain. Hal ini terjadi karena Sungai Sangatta merupakan sungai terbesar di kawasan hulan mangrove TNK, sehingga menjadi pintu masuk utama kepiting bakau yang beruaya kembah ke hulan mangrove.

Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG N pada lokasi Muara Sangatta mempcrlihatkan bahwajumlah individu mulai mengalami peningkatan pada bulan lanuari dan meneapai puneak pada bulan Maret, kemudian eenderung mcnurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat kembali pada bulan luni. Diduga di lokasi Muara Sangatta puneak frekuensi betina matang gonad yang kedua terjadi pada bulan Agustus, berdasarkan perkiraan adanya rekruilmen yang terjadi pada bulan Oktober.

452

Page 15: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

30

25

~ 20 ~ c -t 15 Z w ::>

10 @ Ir U-

5

o

... MASGT ... •... . T PERANCIS

- -<> - MASANGKIMA

<> •

• 1'_08 12_08 ,_09 2_09 3_09 4_09 5_09 6_09

MONTH

Gambar 4. Sebaran induk betina malang gonade TKG IV tertangkap di Taman Nasiona1 Kutai.

Figure 4. Disribution of mature female on GM] IV caught in Kulai National Park.

Grafik distrihusi jumlah ind ividu kcpiting bakau belina TKG IV pada lokasi Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai meningkat pada hulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Febman, kemudian cenderung menurun bulan April dan tidak menunjukkan indikasi adanya peningkatan kembali. Kclimpahan individu betina malang gonad Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Januari , kemudian menunm pada bulanAprii . Diduga puncak belina malang gonad TKO rv di Teluk Perancis terjadi dua kati , karena ada indikasi peningkatan pada bulan Juni . Bila d ibandingkan dengan infonnasi rekruitmen. dimana tetjadi rekruitmen pada bulan November, Pebruari, dan Mei, mab diduga puncak pemijahan kedua teljadi pada bulan September.

Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laul. ARRIOLA & BRICK, yang diacu olch SlAHAINENIA (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi kepiting bakau belina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perai ran yang

453

Page 16: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur. Dengan demikian merupakanjuga upaya penjamin kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut menurut KASRY (1996), !erutama terhadap parameter suhu dan salinitas lingkungan. intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak musim pemijahan kepiting bakau terJadi pada akhir musim hujan sampai menjelang awal musim panas. SIAHAlNENlA (2008) menduga hal ini dimaksudkan untuk menjamin keterscdiaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya. Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intcnsitas cahaya matahari yang tinggi pada musim panas, yang menyebab"kan terjadinya fotosintesa fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau. HASTUTI (1998), menyatakan bahwa telur tingkat akhir, emhrio, dan larva kepiting bakau merupakan penghuni laut dengan media bersa1initas tinggi (polihaline). Pada stadia ini kepi ting bakau bcrada dalam lingkungan media dengan osmolaritas yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel lelur, kepiting bakau sudah membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatiftinggi.

Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi dengan

melihat hubungan antara -lebar karapas kepiting bakau dengan bobot tubuhnya. Hubungan panjang dan bobot S. serrata (a dan b) disajikan pada Tabel 2. Hasil uji t m!ai b untukkepitingjantan maupun betina menunjukkan bahwa t.,;, lebih besar dibanding t"",,1. sehingga dapa! dikatakan hubungan lebar karapas dcngan bobot S. serrata di habitat mangrove TNK tidak isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai P<0,05.

Nilai b akan menjadi indikator yang mendeslaipsikan pola pertumbuhan kepiting bakau, sedangkan dari nilai koefisien korelasi (rl) dapat diketahui keeratan hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dan hobot tubuhnya, sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam suatu populasi dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran tubuhnya alau lidak. Nilai koefisien korelasi (r) 0,886-0,924 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup era! antara ukuran lebar karapas dengan hobol tubuhnya, sehingga biomass populasi kepiting bakau dapat diduga dengan mengetahui ukuran lebar karapasnya. Penelitian ALI et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapas­hobot untuk S. serrata jan Ian di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W = 0,0078 CWll>6. sedangkan pada S. serrala betina W "" 0,0078 CW!.l02!. Hubungan lebar karapas dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari Umlalazy Afrika Se!atan adalah Y = 0,0014 Xl.S6 (DAVIS et at. 2004).

454

Page 17: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

Tabel 2. Parameter pertumbuhan Scylla serrala di habitat mangrove Taman Nasional Kutai, 2009.

Table 2. Growth parameter of Scyf/a serrata in mangrove habitats of Kutai National Park, 2009.

511110n 50. " '- L... •

t tC5 t carapas width-weight of female crabs: t lest carapas widtb-weight of male crabs:

b L. K

t.... - 6.02056; t ...... - 3.1824; P - 0.009 "" ., 3.3692; t ...... - 3.1824; P .w:O.0434

Pola pertumbuhan (b), yang menggambarkan hubungan lebar karapas dengan bobot, menunjukkan kepitingjantan mempunyai pola pertumbuhan aJJometrik positif (b>3) atau pertambahan bobo! lebih cepat dibanding pertambahan lebar karapas. Pada kepiting betina polanya allometrik negatif(b<3) alau pertambahan bobot \ebih lamba! dibanding pertambahan lebar karapas. Pada kepi ting belina pola allometrik negatif terjadi karena S. serrato belina menggunakan asupan makanan lebih banyak untuk moulting dan proses kcrnatangan gonad (bertc1ur). Pertumbuhan kepiting betina cenderung lebih ke arah lebar karapas karena kepiting belina akan moulting setiap akan melalcukan proses kopulasi. Pada Scylla serrala jantan moulting lebih jarang teljadi, asupan makanan cenderung digunakan untuk mernanjangkan dan membesarkan chelae (capit), yang berperan penting pada proses perkawinan. ONYANGO (2002) menyatakan, Scylla serrato jantan biasanya memiliki capi! sangat besar dibandingkan dengan hetina dengan ukuran yang sarna dan lebih disukai oleh nelayan selarna lebar karapas lebih dati 70 nun, hal ini bisa menghasilkan perbedaan ulruran yang signifikan antara jantan dan helina. Oleh karena itu bi la berada pada ulruran lebar karapas yang sama, kecenderunglln S. serrala jantan lebih besar bobotnya, karena capilnya menambah bobot tubuhnya. KASRY (1996), menyalakan capit (che/a ) kepiting bakau yang besar dan lruat memungkinkannya untuk menyerang musuh, atau merobek-robek makanannya.

Allometri dati capit kepiringjantan dapat digunakan untuk menentukan ukuran morfometrik jantan dewasa, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengeJolaan konservasi (HALL et of. 2006). Analisis pertumbuhan secara allometri pada capit dibanding ulruran tubuh (lebar karapas) dipakai untuk memperkirakan rata-rala awal ulruran dewasa kepiling (WATfERS & HOBDAY 1998; BUENO & SHIMIZU 2009). WALTON et of. (2006) menyatakan hubungan alometrik anlara linggi chela dan lebar karapas menunjukkan 50% kepitingjantan memperoleh kedewasaan chela pada lebar

455

Page 18: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

karapas inlernal (Internal Carapace Width/IC W) to,2 cm. Ukuran capil yang besar pada kepiling bakau janlan dewasa kelamin sangal berfungsi kelika mendekap alau mengepil kepiling bakau helina selama masa percumbuan yakni kelika kedua individu kepiting bakau ini herada dalam posisi berpasangan (doublers), serta unluk membalik tubuh kepiting bakau helina ketika proses kopulasi akan herlangsung (SlAHAINENlA 2008). Capit yang hesar juga dibutuhkan kepiling bakau jantan dewasa kelamin untuk hertarung denganjantan lainnya dalam upaya mempcrtahankan wilayah kawin (matting territory), mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau hetina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan terhadap serangan alau bahkan pcmangsaan dari kepiting bakau lainnya, karena sifat kanibalisme yang dimilikinya (KASRY 1996).

Dengan menggunakan bantuan program Elefan dari FlSAT·]J dipcro[eh nilai dugaan kurva pcrtumbuhan von BertalanfTy yang meliputi panjang infiniti (l...c.o) dan kecepalan pertumbuhan (K). Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK dapat dilihat pada Tabel2. Hasi! analisis program Elefan memperlihalkan lebar karapas maksimum yang dapa! dicapai berkisar an!ara 143·155 mm dengan kecepatan pertumbuhan (K) berkisar antara 0,45·1,50. Kecepatan pertumbuhan kepiting hetina lebih hesar dibandingkan kepitingjantan, karena kepiting helina lebih scring me!akukan moulting dibanding kepitingjantan, sehingga cenderung lebih cepat mencapai r..,.,.LE VA Y el al. (2007) menemukan nilai K dari 170 ekor kepit ing S paramamosai" yang tertangkap kembali sebesar 2.39 (rt - 0,63) dengan ~ pada usia· 0,0095 lahun.

Kecepatan pertumbuhan S. serrala di Muara Sangatta lebih linggi dibanding lokasi lainnya. UmulTUlya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran helum dewasa kelamin (lebar karapas kurang dari 110 mm). WIJAYA (2010) menduga, perbedaan nilai K S. serrata di tiga lokasi pengamatan tersebut disebabkan oleh perbedaan ekologi dan ciri habitat mangrovcnya.

Menurut SIAHAlNENlA (2008) kepiting yang herukuran keeil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih tajam, karena modus tert inggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada kelompok kepiting kecil , sehingga nilai K menjadi hesar. Kecepatan pcrtumbuhan S. serrala di Muara Sangkima menunj ukkan keeenderungan yang relatiflebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrala yang ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa keJamin, sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina dewasa lebih banyak menggunakan energinya untuk pe rtumbuhan dan perkembangan gonad (LAVINA yang d iae u oleh SlAHAINENIA 2008). ONYANGO (2002) menyatakan S. serrata betina yang lebih besar tertangkap selama aktif makan, sehingga memungkinkan mereka menyimpan energi yang eukup untuk migrasi dan berte!ur.

Pola pertumbuhan S. serrala jantan di habitat mangrove TNK bersifat a1!ometrik posl ti f, sedangkan S. serrala betina bersifat al10metrik negatif. Kepiting S. serrala mempunyai koefisien pertumbuhan (K) herkisar antara 0,45- 1,50. Koefisien

456

Page 19: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

pertumbuhan S. serrato di Muara Sangatta lebih linggi dibanding lokasi lainnya. Tekanan penangkapan kcpiting bakau S. serrata sudah berada di alas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara Sangkima tekanan penangkapan masih sedikil di bawaheksploitasi maksimal. Distribusi lebar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang dipcroleh dari hasil tangkapan alat pengait, umumnya bcrukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi langkapan tcrtinggi pada interval 109,5-129,5 mm. Ukurnn lebar ini relatif lebih besar dibandingkan ukuran lebar karapas S. serrata di zona depan hulan mangrove, dimana frekuensi langkapan lertinggi pada interval 78-89 mm, dan di zona perairan panlai, dimana frekuensi tangkapan leninggi pada interval 89,5-121,5 mm. Kelimpahan individu betina matanggonad mencapai puncakpada bulan Januari , Februari, dan Maret. Puncak kelimpahan yang kedua diduga lerjadi pada bulan Agustus dan September.

Laju Morta litas Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah laju

kemalian, yangdidefinisikan sebagai jum[ah individu yang mati dalam saru saruan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pemah tcnangkap sehingga mati alami karena umur lua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah, misalnya alObat perubahan lingkungan yang ekslrim atau tidak tercukupinya makanan alamilkelaparnn (SPARRE & VENEMA \999).

Analisis laju mortalitas kepiting bakau di lakukan dengan menggunakan eSlimasi mortalitas dari FISAT-JI, yang didasarkan pada data lebar karapas kepiting bakau yang tcrtangkap. Laju mortalitas lotal (Z) digambarkan sebagai ni lai numerik dari kemiringan (slope) garis regresi antara logari tma NIdI terhadap umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dan persamaan pertumbuhan VON BERTALANFFY yang dikenal dcngan metooc kurva hasil langkapan. Nilai laju monalitas 101al, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan disajikan pada Tabel3.

Tabel 3. Laju morta li tas dan laju eksploitasi S. serrato. Table 3. T he r ate of morta lity a nd t he rate of exploitation of S. serrata.

STATION SEX Z M F E

E max faktual

Muara Sangana Male 2.89 1.2584 1.6316 0.5645 0.457

Female 2.41 1.0744 1.3356 0.554 0.407

Teluk Pcraneis Male 2.87 0.9430 1.9270 0.671 0.606

Female 3.40 1.1774 2.2226 0.654 0.555

Muara Sangkima Male 1.36 0.64177 0.71823 0.5281 0.555

Female 1.79 0.85202 0.93798 0.5240 0.516

457

Page 20: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

Hasil analisis menunjukkan di ketiga lokasi umumnya tekanan penangkapan (eksploitasi faktual) kepiting bakau S. serrata sudah berada di atas laju cksploitasi maksimal, hanya kepiting jantan di lokasi Muara Sangkima yang laju eksploitasi faktualnya masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal (TabeI 3).

Tingginya kematian karcna penangkapan di Muara Sangatta diduga karena adanya pemllkiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Setain itu, kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga tdah terdegradasi akibat tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Arcallahan kritis di mangrove Muara Sangatta mencapai:l: 440,3 ha. SlAHAINENLA (2008) pada penelitiannya di Kabupaten Sllbang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah umumnya dijumpai pada zona belakang hulan yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal j>emukiman penduduk atau mendapat tekanan akibat tingginya aktifi tas masyarakat.

Tingginya angka mortalitas penangkapan di Teluk Perancis diduga karena penangkapan kepiting bakau di lokasi ini lebih banyak menggunakan alat tangkap pancingl pengait. Teluk Peraneis memiliki hulan mangrove yang masih cllkup rapat, sehingga alat tangkap yang sesuai digllnakan adalah pengail. Alat tangkap pengait cenderung hanya menangkap kepiling yang berukuran besar saja, akibatnya hasi l perhitllngan konstanta pertumbuhan (1<) mcnjadi keell , karena semakin besar kcpiling semakin lambal pertllmbuhan lebar karapasnya. Nilai K merupakan salah satu variabcl yang dipakai dalam formula llntukmenghitung mortalitas alami. Kecilnya nilai K akan mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) menjadi lebih keeil (PAULI yang diaeu oleh SPARRE & VENEMA 1999), dan akibatnya nilai mortalitas penangkapan (F) eenderung menjadi lebih besar. Selain ito, di Dusun Tetuk Lombok yang berdckatan dengan Telllk Perancis juga eukup banyak penduduk, sehingga aktifitas penangkapanjuga menjadi lebih besar. Laju penangkapan S. serrata di lokasi Muara Sangkima cenderung lebih rendah dibanding kedua lokasi lainnya. Rendahnya tekanan penangkapan diduga karena lokasi inijauh dari pemukiman penduduk. WALTON (yangdiacll oleh EWEL2008) menyatakan bahwa poPlllasi Scylla serrata dapat mempunyai scharan ukuran yang berbeda karena pcrbedaan kondisi lingkungan dan pola penangkapan. Maka EWEL (2008) menyarankan peraturan lokal (local regulations) sebagai tambahan tarangan daerah (regiollal restrictions) mungkin layak (appropriate) untuk banyak wi layah di Indo-Pacific. Pcmantauan populasi secara teratur dapat meningkatkan komunitas keeil tcrpisah mengeiola sllmberdaya penting secara berke!anjutan.

KESIMPULAN

Pota pertumbllhan Scylla serrata jantan di habitat mangrove TNK bersifat allomctrik positif, sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K) S. serrma berkisar antara 0,45-1,50. Koefisien pertumbuhan S.

458

Page 21: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Tekanan penangkapan kepiting bakau S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksirnal, hanya di lokasi Muara Sangkima tekanan penangkapan masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal. Distribusi Icbar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang dipcroleh dari hasiltangkapan alat pcngait, umumnya bcrukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109,5- 129,5 nun. Ukuran lcbar ini relatiflebih besar dibandingkan ukuran lebar karapas S. serrata di zona depan hulan mangrove, dimana frekucnsi langkapan tertinggi pada interval 78-89 nun; dan di zona perairan panlai, dimana frekuensi langkapan tcrtinggi pada interval 89,5-121 ,5 mm. Kelimpahan individu helina matang gonad mcncapai puncak pada bulan-bulan Januari, Februari dan Maret. Puncak kelimpahan yang kedua diduga terjadi pada bulan Agustus dan September.

DAFTAR PUSTAKA

AFRIANTO, E. dan E. LIVIAWATY 1993. Pemeliharaan kepiting. Kanisi us. Yogyakarta: 78 hal.

ALI, MY, D. KAMAL, S.M.M. HOSSAIN , M.A. AZAM, W. SAB81R, A. MURSHIDA, 8 . AHMED and K. AZAM 2004. Biological studies of the mud crab, Scylla serrala (Forskal) of the sundarbans mangrovc ecosystcm in Khulna Region of Bangladesh. Pakistan Journal of Biological Sciences 7: 1981-1987.

BONINE, K.M., E.P. BJORKSTEDT, K.C. EWEL and M. PALeK 2008. Population characteristic of the mangrove crab S. serrala (Dccapoda: Portunidae) in Kosrae, Federation Statcs of Micronesia: Effect of harvest and implications for management. Jurnal Pacific Science 62: 1- 19.

BUENO, S.L.S. and R.M. SHIMIZU 2009. Allometric growth, sexual maturity and adult male chelae dimorphism in Aegla f ranca (Decapoda: Anomura: AcgJidae). Journal of CnlSlacean Biology 29(3): 317-328.

CHOLIK , F. 1999. Review of mud crab culture research in Indonesia. Ac/AR Proceedings No. 78. Proceedings of An International Scientific Forum Held In Darwin, Australia, 21- 24 April 1997. Canberra. Australia: 14-20.

DAVIS, l A., GJ. CHURCHILL, T. HECHT and P. SORGELOSS 2004. Spawning characterist ics of the South African mudcrab Scylla serrata (Forskall) in captivity. Journal of lhe World Aquacullure SocielY 35: t 21-133.

459

Page 22: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

EFFEl\T()lE, M.J. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112 "'I.

EWEL, K.C. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 - 120.

HALL, N.G , K.D. SMITH, S. de LESTANG and I.e. POTTER 2006. Does the largest chela of the males of three crab species undergo an allometric change that can be used to determine morphometric maturity ? ICES J. Mar. Sci. 63 (I): 140-150.

HASTUTI, S. 1998. Pertumbuhan embrio kepit ing bakau, Scylla serrato, pada beberapa tingkat salinitas media. (Thesis). Program Pascasarjana WB. Bogor.

HI LL B. J. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrato in two South African estuaries. Marine Biology 32: 119-126.

KASRY, A. 1996. Budidoya kepiting bakau dan biologi ringkas. Pencrbit Bharata. Jakarta. 93 haL

KEENAN, C.P., PIE DAVIE, and D. L. MANN. 1998. A Revision of the genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (I): 217-245.

LE VAY, L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian Fisheries Science 14: 101-111.

LE VAY L., V. N. UT and M.E. WALTON 2007. Population ecology of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a mark­recapture study. Marine Biology 151: 1127- 1135.

ONYANGO, S. D. 2002. The breeding cycle of Scylla serrata (ForskAl, 1755) at Ramisi River estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management 10: 257-263.

SPARRE, P. and S.C. VENEMA 1999. Introdu/csi pengkajian stok ikon trapis buku-I manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 435 haL

SIAHAfNENIA, L. 2008. Bioekologi kcpiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Bara!. Disertasj S3 . Sckolah Pascasarjana IPo. Bogor.

Page 23: BERJTA REDAKSI - msp.fpik.ipb.ac.id · PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia

BIOUXiI POP'Ul.o.SI K U ITING B ... KA U

TAMAN NASIONAL KUTAI [TNK]. 2005, Data dasar Taman Nasional Kulai. Balai Taman NaslOnal Kutai. Bontang, Kalimantan Timur.

WATfERS, G andA.J. HOBDAY 1998. Anew method forestimating the morphometric size at maturity of crabs. Can. 1. Fish. Aquat, Sci. 55(3): 704·714.

WALTON, MARK E. , L. LE YAY, L.M. TRUONG, and V.N. UT 2006. Significance of mangrove- mudflat boundaries as nursery grounds for the mud crab, Scylla paramamosain. Marine Biology 149: 1199·1207.

WEBLEY, l .A.C., R.M. CONNOLLY and R.A. YOUNG 2009, Habitat selectivity of megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891 · 899.

WIJAYA, NJ . 2010. Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Diserlasi S3. Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogar. Manuscript.

461