profilkasis pasca pajanan
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
1/21
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pengertian
AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom kehilangan
kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh
manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV
(human Immunodevficiency virus) (Djoerban, 1999).Syndrome imunodefisiensi
yang didapat (AIDS, acquired immunodeficiency syndrom) diartikan sebagai
bentuk paling berat dari keadaan sakit terus-menerus yang berkaitan dengan
infeksi human immunodefiency virus (HIV) (Smeltzer&Bare, 2008).
Jadi dapat disimpulkan AIDS merupakan penyakit menular seksual yang
ditularkan oleh virus HIV yang menyerang system kekebalan tubuh.
2.2.Patofisiologi
Muma (1997); Rachimhadhi (1999) mengatakan HIV tergolong ke dalam
kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus
tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). HIV
bersifat limfotropik dan neurotropik. Setelah menginfeksi seseorang, HIV dapat
diisolasi dari limfosit (terutama limfosit T-4), limfosit B, monosit, sel glia, dan
makrofag. Virus sebenarnya bukan satu sel yang lengkap dan hanya mengandung
bahan genetic, yaitu bahan yang diperlukan untuk berkembang biak. Untuk
berkembang biak virus membutuhkan sel lain karena tidak dapat berkembang
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
2/21
9
sendiri, dengan cara masuk kedalam sel tersebut dan selanjutnya melalui
bantuan sel itu dapat dihasilkan virus-virus baru dari jenis yang sama.
Rachimhadhi (1999) mengatakan sebelum seseorang menderita penyakit
AIDS pada umumnya selalu didahului oleh infeksi HIV. Agar dapat masuk ke
dalam sel tubuh, virus membutuhkan reseptor khusus yang dikenal dengan nama
CD4 antigen, yang hanya terdapat pada permukaan sel limfosit T-4, monosit dan
makrofag. Setelah HIV melekat ke reseptor CD4 antigen, selanjutnya HIV masuk
kedalam sel itu dengan cara endositosis. Selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun HIV dalam sel tersebut dalam keadaan tidak aktif. Fase ini dikenal sebagai
fase laten. Fase laten berakhir setelah virus menjadi aktif berkembang biak.
Murtiastutik (2007); Smeltzer&Bare (2008) mengatakan, Untuk
mengaktifkan HIV dalam fase produktif diperlukan faktor-faktor tertentu. Faktor-
faktor ini belum jelas benar, namun diduga apabila penderita tersebut
mendapatkan infeksi virus lain, seperti misalnya infeksi cytomegalo virus, virus
herpes simpleks, dan virus hepatitis B, maka HIV akan menjadi aktif dan
berkembang biak. Dalam proses pengaktifan virus ini sel dimana HIV bersarang,
yaitu sel limfosit T-4 dihancurkan. Akibatnya tubuh penderita akan mengalami
kehilangan banyak sel limfosit T-4 dan akibat selanjutnya ialah kelemahan dan
kerusakan kekebalan tubuhnya. Kerusakan system kekebalan tubuh penderita
akan menyebabkan penderita lebih mudah mendapat infeksi parasit, virus dan
jamur jenis tertentu, disamping mungkin pula menderita kanker jenis tertentu.
Pada infeksi HIV jumlah limfosit B normal atau malah meningkat,
menyebabkan terbentuknya antibody spesifik terhadap HIV. Seperti pada infeksi
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
3/21
10
lain, adanya antibody spesifik ini merupakan pertanda bahwa orang itu pernah
terpapar HIV. Immunoglobin dalam sirkulasi darah bertambah terutama IgA dan
IgB. Akibat kelainan fungsi limfosit T-4 dan karena limfosit B terinfeksi HIV,
maka fungsi limfosit B berkurang, yang akan menyebabkan respon limfosit B
terhadap antigen lain juga berkurang. Kerusakan kekebalan tubuh penderita akibat
HIV berbeda dengan penyakit infeksi lainnya yang dapat menurunkan kekebalan
tubuh dalam jangka waktu tertentu, dan setelah infeksi tersebut sembuh,
kekebalan tubuh akan kembali normal. Hal ini tidak berlaku untuk infeksi HIV
karena kerusakan tubuh yang tejadi bersifat menetap (Rachimhadhi,1999).
2.3.Tanda dan gejala
Menurut Murtiastutik (2007); Smeltzer&Bare (2008); Tengadi (1996)
tanda dan gejala HIV/AIDS dibagi menjadi 4 sub-grup yaitu gejala konstitusi,
gejala neurologis, gejala infeksi, dan gejala tumor.
1. Gejala konstitusi
Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama
3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa :
a.
Demam terus menerus lebih dari 37°C
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih
c. Radang kelenjer getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjer getah
bening diluar daerah inguinal
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
4/21
11
2. Gejala neurologis
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti
kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,
halusinansi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak)
3. Gejala infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita
sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi sama sekali
bahkan pathogen yang normal dalam tubuh manusia. Infeksi ditemukan antara
lain :
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
Merupakan infeksi paling sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).
Dengan gejala batuk-batuk, sesak nafas (dispnea), nyeri dada.
b.
Tuberculosis
Penyakit ini cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan
biasanya mendahului diagnosis AIDS
c. Infeksi mukokutan
Herpes simplex, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit
paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul bisa satu jenis atau
beberapa jenis secara bersama.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
5/21
12
4. Gejala tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalah Sarkoma
Kaposi dan limfoma maligna non-hodkin. Diantara kedua keganasan ini, yang
paling sering ditemukan adalah Sarkoma Kaposi dengan gejala berupa bercak
merah coklat, ungu atau kebiruan pada kulit yang pada awalnya hanya
berdiameter beberapa millimeter, tetapi dalam perkembangan selanjutnya
membesar sampai beberapa sentimeter.
Infeksi HIV menyebabkan suatu penyakit dengan spectrum yang luas, mulai
dari golongan penyakit tanpa gejala tetapi pemeriksaan darahnya menunjukkan
adanya infeksi HIV, sampai pada golongan AIDS yang merupakan stadium akhir
dan mematikan dari spectrum ini. Karena penyakit HIV itu mempunyai spectrum
yang luas, maka penyakit ini mulai dari awal infeksi HIV sampai stadium akhir
(Rachimhadhi, 1999).
Menurut Hudak&Gallo (1996) transmisi infeksi HIV/AIDS terdiri dari lima fase,
yaitu:
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi, tidak ada
gejala
2.
Fase infeksi primer akut. Lamanya 1-2 minggu, sakit seperti flu.
3. Infeksi asimtomatik. 1-15 tahun atau lebih dengan tidak ada gejala.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun, dengan gejala demam, keringat pada
malam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit,
limpadenopati, perlambatan kognitif, lesi oral.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
6/21
13
5. AIDS lamanya bervariasi: 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS.
Didapatkan infeksi oportunistik berat dan tumor-tumor pada setiap system
tubuh, manifestasi neurologic.
2.4.Kriteria Diagnostik HIV/AIDS.
Nursalam dan Dian. K (2007) mengatakan WHO mengklasifikasikan
HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan klinis.
a) Klasifikasi laboratorium
Limfosit CD4+/
mm3
Stadium
klinis 1 :
Asimtomatik
Stadium
klinis 2
: Awal
Stadium
klinis 3 :
Intermediet
Stadium
Klinis 4
: Lanjut
>2000 >500 1A 2A 3A 4A
1000-
2000
200-
500
1B 2B 3B 4B
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
7/21
14
• Diare kronis
•
Tuberculosis
Gejala Minor :
• Kandidiasis orofaringeal
• Batuk menetap lebih dari satu bulan
•
Kelemahan tubuh
• Berkeringat malam
• Hilang nafsu makan
•
Infeksi kulit generalisata
• Limfadenopati generalisata
• Herpes zoster
• Infeksi Herpes simplex kronis
•
Pneumonia
• Sarcoma Kaposi
Diagnosis HIV pada anak
Nursalam dan Dian. K (2007) mengatakan bayi yang tertular dari ibu bisa
saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal. Gejala umum yang
ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang,
kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali. Untuk pemeriksaan PCR
( polymerase chain reaction), bayi harus dilakukan pengambilan sampel darah
untuk tes PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi
berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitif selama periode 1 bulan setelah lahir.
CDC (Centre for Diasease Control and Prevention) merekomendasikan
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
8/21
15
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan.
Jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut
mendapatkan ASI maka bayi beresiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu
diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa
dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.
2.5.Penularan
Isselbacher (2000); Murtiastutik (2007) mengatakan, HIV ditularkan
melalui kontak seksual, homoseksual dan heteroseksual; melalui darah atau
produk darah; dan oleh ibu yang terinfeksi kepada bayinya intrapartum, secara
perinatal, atau melalui air susu ibu. Sampai dekade kedua epidemic, tidak terdapat
bukti bahwa HIV ditularkan melalui kontak biasa atau bahwa virus dapat
disebarkan oleh serangga misalnya gigitan nyamuk.
a.
Penularan seksual. Kontak seksual adalah cara utama penularan diseluruh
dunia. Walaupun penularan melalui kontak homoseksual merupakan cara
tersering penularan seksual di Amerika, diseluruh dunia penularan
heteroseksual merupakan cara penularan tersering, terutama di negara-negara
yang sedang berkembang.
b. Penularan juga terjadi dari ibu keanak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak
didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir. Penularan
HIV juga bisa terjadi melalui pemberian ASI. Dalam hal ini dianjurkan bagi
wanita HIV positif untuk tidak menyusui bayinya dan menggantikan dengan
susu formula.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
9/21
16
c. Disamping itu kontak dengan darah atau sekret yang infeksius terjadi melalui
tranfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
Penularan lainnya dapat terjadi melalui jarum suntik atau alat kesehatan
lainnya yang ditusukkan atau tertusuk kedalam tubuh yang terkontaminasi
dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik
secara bergantian. Hal ini bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur
tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi
petugas kesehatan. Penularan juga dapat terjadi melalui transplantasi organ
pengidap HIV.
2.6.Pencegahan Penularan HIV/AIDS
Dengan memahami cara penularan HIV, maka akan lebih mudah
melakukan langkah-langkah pencegahannya. Menurut UNAIDS (2006) secara
mudah pencegahan HIV dapat dilakukan dengan rumusan ABCD yaitu:
A = Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti
pasangan seksual.
C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara
benar selama berhubungan seksual.
D= Drugs injection, jangan menggunakan obat (narkotika) suntik dengan jarum
tidak steril atau digunakan secara bergantian.
Dengan semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS diperlukan kesiapan para
tenaga kesehatan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pasien-pasien
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
10/21
17
HIV/AIDS. Disisi lain, dengan kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan,
HIV/AIDS yang tadinya merupakan penyakit progresif yang mematikan bergeser
menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola. Meskipun belum ditemukan obat
yang bisa membunuh virus secara tuntas, dengan ditemukannya obat
antiretroviral, para penderita HIV/AIDS bisa lebih meningkat usia harapan
hidupnya. Hal ini tentunya harus didukung oleh upaya perawatan yang adekuat
agar tercapai kualitas hidup yang optimal (Djoerban, 1999).
2.7.Penerapan tehnik pencegahan umum dipelayanan kesehatan dalam
mencegah resiko penularan HIV/AIDS
Menurut Yanri (2005) pencegahan umum atau dengan kata lain
“kewaspadaan universal (universal precaution)” merupakan salah satu upaya
pengendalian infeksi disarana pelayanan kesehatan yang telah dikembangkan oleh
Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1980-an. Penerapan pencegahan umum
didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial
menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan.
Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal adalah menjaga hygiene individu,
sanitasi ruangan, dan sanitasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan
menjadi lima kegiatan pokok yaitu:
1) Cuci tangan untuk mencegah infeksi silang.
Cuci tangan yang dilakukan secara benar dapat menghilangkan
mikroorganisme yang menempel di tangan. Cuci tangan harus dilakukan sebelum
dan sesudah melakukan tindakan keperawatan ke pasien, memakai sarung tangan,
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
11/21
18
menyentuh darah, cairan tubuh, atau ekskresi pasien. Tiga cara cuci tangan
dilaksanakan sesuai kebutuhan yaitu cuci tangan hygienis atau rutin untuk
menghilangkan kotoran dengan menggunakan sabun atau deterjen, cuci tangan
aseptic yang dilakukan sebelum melakukan tindakan aseptic ke pasien, cuci
tangan ini dilakukan dengan menggunakan zat antiseptic, dan cuci tangan bedah
yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptic. Sarana yang
perlu dipersiapkan untuk melakukan cuci tangan adalah air mengalir, sabun dan
deterjen, larutan antiseptic, dan pengering dari mulai handuk/lap bersih, kain lap
atau handuk steril sampai alat pengering tangan (hand drier ).
2)
Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, kaca mata, barak
short dan sepatu pelindung.
Tidak semua alat pelindung diri harus dipakai pada waktu bersamaan,
tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan. Misalnya ketika akan
menolong persalinan sebaiknya semua pelindung diri dipakai untuk mengurangi
kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh pada petugas, namun untuk tindakan
menyuntik atau memasang infus, cukup dengan memakai sarung tangan.
3) Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai.
Pengelolaan alat-alat kesehatan bekas pakai ini bertujuan untuk mencegah
penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin bahwa alat-alat
tersebut dalam kondisi steril dan siap digunakan. Semua alat yang akan
dimasukkan ke dalam jaringan bawah kulit pasien harus dalam keadaan steril.
Proses pengelolaan alat-alat kesehatan ini dilakukan melalui empat tahap kegiatan
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
12/21
19
a. Dekontaminasi, yaitu menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran
dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya. Cara
dekontaminasi yang lazim dilakukan adalah dengan merendam alat kesehatan
dalam larutan desinfektan misalnya klorin 0,5% selama 10 menit.
b.
Pencucian, dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang kasat mata dengan
cara mencuci dengan air, sabun/deterjen, dan sikat.
c. Sterilisasi, yaitu proses menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk
endosporanya dari alat kesehatan. Cara sterilisasi yang sering dilakukan
adalah dengan uap panas bertekanan, pemanasan kering, gas etilin oksida, dan
zat kimia cair. Dengan kata lain, penggolongan cara sterilisasi juga dapat
dikategorikan cara fisik seperti pemanasan, radiasi, filtrasi, dan cara kimiawi
dengan menggunakan zat kimia.
d.
Penyimpanan, penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses
sterilisasi atau desinfeksi itu sendiri. Ada dua metoda penyimpanan yaitu cara
terbungkus dan tidak terbungkus.
4) Pengelolaan jarum dan benda tajam untuk mencegah perlukaan
Jarum suntik sebaiknya digunakan sekali pakai dan jarum bekas atau
benda tajam lainnya dibuang ke tempat khusus ( safety box) yang memiliki dinding
keras atau tidak tembus oleh jarum atau benda tajam yang dibuang ke dalamnya.
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah ketika petugas
berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai ke dalam tutupnya
(recapping ). Oleh karenanya menurut rekomendasi teknik kewaspadaan universal
dari WHO (2004) pentupan kembali jarum suntik setelah digunakan sebaiknya
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
13/21
20
tidak perlu dilakukan, jadi jarum suntik bersama syringnya lansung saja dibuang
ke kotak khusus. Jika sangat diperlukan untuk menutup kembali, misalnya karena
masih ada sisa obat yang bisa digunakan, maka penutupan jarum suntik kembali
dianjurkan dengan menggunakan teknik satu tangan ( single handed recapping
method ).
5) Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan limbah
padat, namun lebih khusus lagi limbah yang berasal dari rumah sakit dibedakan
menjadi:
a.
Limbah rumah tangga atau limbah non medis
b.
Limbah medis terdiri dari limbah klinis, laboratorium
c.
Limbah berbahaya yaitu limbah kimia yang mempunyai sifat beracun
misalnya senyawa radioaktif dan bahan sitotoksik.
Cara penanganan limbah di sarana pelayanan kesehatan harus dimulai dari
tempat sampah diproduksi dengan cara :
a. Pemilahan, dilakukan dengan menyediakan wadah yang sesuai dengan jenis
sampah, misalnya hitam untuk limbah non medis, kuning untuk limbah medis
infectious, dan merah untuk bahan beracun, dan seterusnya.
b. Semua jenis limbah ditampung dalam wadah berupa kantong palstik yang
kedap air.
c. Bila sudah terisi 2/3 volume kantong sampah, kantong sampah harus diikat
secara rapat, dan segera diangkut ke tempat penampungan sementara.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
14/21
21
d. Pengumpulan sampah dari ruang perawatan atau pengobatan harus tetap pada
wadahnya jangan dituangkan pada gerobak terbuka.
e. Petugas yang menangani sampah harus selalu menggunakan sarung tangan
dan sepatu serta selalu mencuci tangan selesai mengambil sampah.
f.
Sampah dari tempat penampungan sementara diangkut ke tempat
pemusnahan. System pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran
(insenerasi) pada suhu tinggi (>1200°C).
2.8.Profilaksis Pasca Pajanan HIV (PPP)
Menurut Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (2011) profilaksis pasca
pajanan HIV merupakan tindakan pencegahan terhadap petugas kesehatan yang
tertular HIV akibat tertusuk jarum, tercemar darah dari penderita atau mayat
penderita HIV.
1.
Faktor yang mempengaruhi profilaksis pasca pajanan HIV yaitu jumlah dan
jenis cairan yang mengenai, dalamnya tusukan/luka, dan tempat
perlukaan/paparan
2. Indikasi pemberian PPP
a.
Tertusuk/luka superficial yang merusak kulit oleh jarum yang telah
terpapar sumber dengan HIV yang asimptomatik. Membran mukosa
terpapar oleh darah terinfeksi dalam jumlah banyak, dari sumber HIV yang
asimtomatik (tergantung dari banyak tidaknya volume tetesan)
b. Membran mukosa terpapar darah yang terinfeksi HIV dalam jumlah sedikit,
dari sumber dengan HIVyang simtomatik
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
15/21
22
c. Terpapar dengan orang HIV yang asimtomatik lewat tusukan yang dalam
jarum berlubang yang berukuran besar.
d. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat dipermukaan jarum
e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah arteri
atau vena pasien
f. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah digunakan pada sumber
dengan HIV yang asimtomatik
g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi HIV dalam
jumlah yang banyak dari sumber HIV yang simtomatik.
h.
Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari
sumber dengan status HIV tidak diketahui tetapi memiliki faktor resiko
HIV
i.
Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari
sunber yang tidak diketahui status HIV dan tidak diketahui faktor resikonya
namun dianggap sebagai sumber HIV
j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari
sumber yang tidak diketahui status HIV tetapi memiliki faktor resiko HIV
k.
Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapa pun dari
sumber yang tidak diketahui statusnya HIVnya, namun sumber tersebut
dianggap sebagai sumber HIV
3. Penatalaksanaan Pasca Pajanan
a. Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV diberikan < 4
jam setelah paparan.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
16/21
23
b. Penanganan luka
c.
Beri Informed consent
d. Lakukan test HIV
e. Pemberian ARV profilaksis
f.
Penanganan tempat paparan/luka : segera
1) Luka tusuk : bilas air mengalir dan sabun/antiseptic
2) Pajanan mukosa mulut : ludahkan dan kumur
3) Pajanan mukosa mata : irigasi dengan air/garam fisiologis
4) Pajanan mukosa hidung : hembuskan keluar dan bersihkan dengan air,
jangan dihisap dengan mulut, jangan ditelan.
Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu :
1)
Betadine (povidon iodine 2,5%) selama 5 menit
2)
Alcohol 70% selama 3 menit
a.
Pelaporan terjadinya paparan. Rincian waktu, tempat, paparan dan
konseling serta manajemen pasca paparan
b. Evaluasi dan resiko transmisi
c. Konseling berupa resiko transmisi, pencegahan transmisi sekunder, tidak
boleh hamil dan sebagainya.
d. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan
e. Pemantauan (follow up)
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
17/21
24
4. Pengobatan
Penggunaan ART dilakukan sesegera mungkin setelah terpapar cairan atau
bahan yang mengandung HIV dengan mempertimbangkan resiko (drug
toxicity) dan manfaat pemakaian ART tersebut.
1)
Diberikan selama 1 bulan
2) Diberikan hanya hasil test HIV negative
3) Diberikan 4 jam setelah paparan maksimal 48 jam setelah paparan
4) Rejimen yang digunakan adalah :
a) AZT/TDF + 3TC + EFV
b)
AZT/TDF + 3TC + Lop/r
c)
AZT + 3TC
5.
Pemantauan
Tes antibody dilakukan pada minggu ke-6, minggu ke -12, dan bulan ke 6.
Dapat diperpanjang sampai bulan ke 12.
2.9.Konsep kesiapan
Menurut Slameto (1995), kesiapan sangat penting untuk memulai pekerjaan,
karena dengan memiliki kesiapan pekerjaan, apapun akan dapat teratasi dan
dikerjakan dengan lancar dan hasil yang baik. Kesiapan merupakan keseluruhan
kondisi seseorang atau individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon
atau jawaban didalam cara tertentu terhadap suatu situasi, kondisi individu
mencakup setidaknya tiga aspek yaitu:
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
18/21
25
a. Kondisi fisik, mental dan emosional
b.
Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan
c. Ketrampilan dan pengetahuan
2.9.1. Konsep pengetahuan
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan
pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk
manusia dan kehidupannya (Keraf; Dua, 2001). Baik secara perorangan atau
bersama, ternyata pengetahuan berlansung dalam dua bentuk dasar yang berbeda.
Bentuk pertama adalah pengetahuan hanya untuk memenuhi kepuasan hati
manusia. Bentuk yang kedua adalah pengetahuan untuk digunakan dan
diterapkan, misalnya untuk melindungi dan membela diri, memperbaiki tempat
tinggal, mempermudah pekerjaannya, memperlancar hubungan dengan orang lain,
mencegah bencana, meningkatkan kesehatan, dan lain sebagainya (Verhaak &
Iman, 1991).
Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu
akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut terjadi
sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan dalam kognitif
mempunyai enam tingkatan yaitu: mengetahui (know), memahami
(comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis ( syntesis),dan
evaluasi (evaluation).
Tingkat pertama adalah mengetahui (know) yaitu tingkatan pengetahuan
yang paling rendah, pada tahap ini tahu diartikan sebagai mengingat materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Kedua, memahami (comprehension) yaitu suatu
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
19/21
26
kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
menginterpretasikan materi secara benar. Ketiga, aplikasi (application) yaitu
kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi nyata.
Keempat, analisis (analysis) yang diartikan sebagai menguraikan materi kedalam
komponen-komponen yang berkaitan satu dengan lainnya. Tingkatan kelima
adalah sintesis ( syhthesis) yaitu kemampuan menyimpulkan materi sebagai suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Tingkatan tertinggi yaitu evaluasi (evaluation)
yang berkaitan dengan kemampuan.
Menurut Nursalam dan Dian. K (2007) dalam memberikan pelayanan
keperawatan pada pasien HIV/AIDS perawat perlu mempunyai pemahaman yang
benar mengenai AIDS dan perlu disebarluaskan.Kenyataan bahwa dalam era obat
antiretroviral, AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan juga
perlu dimasyarakatkan karena konsep tersebut dapat memberi harapan pada
masyarakat dan penderita HIV/AIDS bahwa penderita AIDS dapat menikmati
kualitas hidup yang lebih baik dan berfungsi di masyarakat.Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan konseling, edukasi yang benar tentang
HIV/AIDS baik pada penderita, keluarga dan masyarakat. Sehingga penderita,
keluarga maupun masyarakat dapat menerima kondisinya dengan sikap yang
benar dan memberikan dukungan kepada penderita.
Menurut Notoadmodjo (2003) bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
pengetahuan adalah pendidikan, pengalaman, budaya, kepercayaan/agama. Dan
menurut Notoadmodjo (2007) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
20/21
27
akan semakin tinggi daya serapnya terhadap informasi yang didapatkannya,
sehingga tingkat pengetahuannya semakin tinggi.
2.9.2. Konsep kesiapan mental
Seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya selalu berhubungan
dengan penderita, keluarga, teman seprofesi, dan profesi lain yang memiliki
kepribadian bermacam-macam dan unik. Oleh karena itu, seorang perawat
hendaknya dapat memahami kepribadian pasien, keluarga pasien, teman sejawat,
penyelia, instruktur. Disamping itu seorang perawat hendaknya dapat memahami
perbedaan kepribadian yang ia miliki dan menyadari ciri-ciri yang khas yang ia
miliki agar dapat membantu memudahkan berinteraksi secara positif dengan
orang lain (Sunaryo, 2004).
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada pasien HIV/AIDS
perawat mampu memberikan dukungan emosional, membuat pasien merasa
nyaman; dihargai; dicintai dan diperhatikan.Peran seorang perawat dalam
mengurangi beban psikis seorang penderita AIDS sangatlah besar. Lakukan
pendampingan dan pertahankan hubungan yang sering dengan pasien sehingga
pasien tidak merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan
menerima orang tersebut. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan
perawat (Nursalam & Dian 2007).
Mengingat beban psikososial yang dirasakan penderita AIDS akibat
stigma negatif dan diskriminasi masyarakat adakalanya sangat berat, perawat
perlu mengidentifikasi adakah sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Perawat juga perlu mendorong kunjungan terbuka (jika memungkinkan),
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 profilkasis pasca pajanan
21/21
28
hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan bagi
pasien. Partisipasi orang lain, bantuan dari orang terdekat dapat mengurangi
perasaan kesepian dan ditolak yang dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu
melakukan pendampingan pada keluarga sehingga keluarga dapat berespons dan
memberi dukungan bagi penderita.
Dalam memberikan perawatan mereka bukan saja menghadapi tantangan
fisik tetapi juga muncul kekhawatiran, yang dikemukakan oleh para profesional
kesehatan meliputi persoalan seperti perasaan takut tertular. Penderita yang sudah
terikat dengan prilaku yang terstigmatisasi yang berlawanan dengan nilai agama,
moral, perawat dapat memiliki keengganan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien ini. Disamping itu para petugas masih mempunyai
perasaan takut dan cemas terhadap kemungkinan tertular penyakit tersebut kendati
mereka sudah diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi, perawat
dianjurkan untuk memeriksa kepercayaan dirinya dan menggunakan proses
klarifikasi nilai untuk mendekati persoalan yang kontroversial (Smeltzer & Bare,
2002).
2.9.3. Konsep kesiapan Fisik
Petugas kesehatan sangat beresiko terpapar bahan infeksius termasuk virus
HIV, paparan yang sering terjadi biasanya berupa tusukan jarum atau tusukan
benda tajam lainnya, kontak mukosa atau kulit yang tidak utuh dengan darah,
jaringan atau cairan tubuh yang telah terkontaminasi virus HIV. Pencegahan
terhadap paparan tersebut yaitu dengan menerapkan standar universal precaution
untuk paparan (Murtiastutik, 2007).