presus

30
PRESENTASI KASUS TINEA UNGUIUM DISUSUN DAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA Disusun oleh : AWANG BUDI SAKSONO 1210221054 1

Upload: athiaiya

Post on 22-Jul-2016

16 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

presus kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Presus

PRESENTASI KASUS TINEA UNGUIUM

DISUSUN DAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

Disusun oleh :

AWANG BUDI SAKSONO

1210221054

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

PERIODE 15 OKTOBER – 18 NOVEMBER2012

1

Page 2: Presus

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UPN

STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSPAD GATOT SOEBROTO

STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N.G.S

Umur : 71 Tahun

Jenis Kelamin : LAKI-LAKI

Pendidikan : TNI-AD

Status pernikahan : Menikah

Pekerjaan : PURNAWIRAWAN

Alamat : Cempaka putih barat no 17 RT 02/13

No. CM : 40.76.53

II. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis tanggal 21 Februari 2013

Keluhan Utama : ujung kuku jari tangan rusak dan berwarna kuning

Keluhan Tambahan : Tidak ada

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke RSPAD dengan keluhan utama kuku pada jari tangan rusak.

sebelumnya, pasien mengalami penyakit ini sejak sebulan sebelum masuk

RS, semua jari tangan pasien perlahan2 rusak dari ujung kuku dan semakin

menyebar kedalam. Pasien pernah mencoba mencabut salah satu kuku jarinya

untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi pada kuku baru tetap tumbuh

vegetasi. Setelah itu pasien mencoba membeli obat jamur oles di apotik,

vegetasi sempat hilang tetapi tumbuh lagi setelah obat dihentian. Pasien

2

Page 3: Presus

sebelumnya belum pernah berobat ke dokter. Pasien menyangkal mempunyai

riwayat penyakit sistemik dan alergi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien mengaku pernah mengalami gatal disertai ketombe yang diduga

adalah dermatitis seboroik setahun belakangan.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada

III. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan gizi : Cukup

Tanda Vital : TD :Tidak diperiksa Nadi: 80x/menit

: RR : 20x/menit Suhu: Afebris

Kepala : Normochepali

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang

Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Toraks : Simetris saat statis dan dinamis

Paru : SD vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : BJ I-II reguler. Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : BU (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, edema(-)

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi : seluruh subungual distal tangan dextra dan sinistra.

Effloresensi : hiperkeratosis dan penebalan pada daerah distal ungual jari

tangan. Terdapat perubahan warna kuku berwarna kekuningan di seluruh

distal ungual. Terdapat onikolisis pada jari 1 dextra dan sinistra.

3

Page 4: Presus

V. RESUME

Pasien Tn N.G.S., 71 tahun datang dengan keluhan ujung kuku rusak.

Keluhan dirasakan secara perlahan muncul dari ujung jari tangan pasien.

pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status dermatologikus, seluruh

subungual distal tangan dextra dan sinistra. hiperkeratosis dan penebalan

pada daerah distal ungual jari tangan. Terdapat perubahan warna kuku

berwarna kekuningan di seluruh distal ungual.

4

Page 5: Presus

5

Page 6: Presus

VI. DIAGNOSIS KERJA

Tinea unguium

VII. DIAGNOSIS BANDING

Tidak ada

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Kultur jamur

Pewarnaan PAS

IX. PENATALAKSANAAN

1. Non Medikamentosa

Edukasi untuk menghindari daerah lembab dan memberitahu

bahwa pengobatan akan lama.

kuretase kuku atau pengikiran kuku yang terkena.

2. Medikamentosa

a. Sistemik

Itrakonazol 2x100 mg

b. Perawatan topical

Amorolfine lacquer 12 bulan

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : bonam

6

Page 7: Presus

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Salah satu bentuk dermatomikosis adalah onikomikosis yaitu satu kelainan kuku

yang disebabkan oleh infeksi jamur dematofita, ragi (yeasts) dan kapang (moulds).(1)

Onikomikosis umumnya disebabkan oleh dermatofita biasanya bergejala dan dapat

menyebabkan gangguan fungsi. Gambaran klinis onikomikosis meliputi

hiperkeratosis dengan penebalan dan perubahan warna pada lempeng kuku.(2)

Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.(3)

Istilah tinea unguium digunakan setelah ditemukan dermatofit pada hasil sebuah

kultur.(4)

Tinea unguium kadang-kadang muncul sebagai akibat tinea pedis, dengan

karakteristik onikolisis dan penebalan, perubahan warna (putih, kuning, coklat, dam

hitam), rapuh, dan kuku kekurangan nutrisi. Walaupun inflamasi jarang terjadi,

beberapa pasien merasakan nyeri.(5) Tinea unguium pada  kuku  kaki dapat

menyebabkan nyeri dan sebagai predisposisi infeksi sekunder bakteri dan ulserasi

pada dasar kuku. Komplikasi ini banyak terjadi pada individu dengan

immunocompromised dan diabetes.(6)

II.            EPIDEMIOLOGI

Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana

prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Alas

kaki yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan penggunaan

7

Page 8: Presus

pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan

onikomikosis.(7)

Dermatofit yang sangat memberikan respon pada suhu di negara-negara barat adalah

onikomikosis, sedangkan candida dan jamur non-dermatofita lebih sering terjadi di

negara-negara dengan suhu panas dan udara yang lembab.(8)

Rata-rata prevalensi onikomikosis ditentukan oleh umur, faktor predisposisi, status

sosial, pekerjaan, iklim, lingkungan, dan seberapa seringnya berjalan.(9) Beberapa

faktor dapat berperan pada peningkatan onikomikosis. Pertama, berdasarkan

populasi umur, dengan beberapa sebab termasuk sirkulasi yang buruk ke perifer,

diabetes, trauma kuku yang berulang, terpapar lama dengan jamur patogen, fungsi

imun yang sub optimal, kemalasan memotong kuku kaki atau perawatan kuku kaki

yang baik. Kedua, beberapa orang dengan immunocompromised karena infeksi dari

human immunodeficiency virus dan penggunaan pengobatan immunosuppressive,

kemoterapi kanker atau antibiotik. Ketiga, kerajinan dalam partisipasi olahraga

meningkat dengan masuk dalam klub kesehatan, kolam renang komersil, dan oklusi

kaki diapakai latihan.(9,10)  

 III.            ANATOMI

Kuku merupakan salah satu organ kulit tambahan yang mengandung lapisan tanduk

yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan  kaki, gunanya selain membantu jari-

jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan. Lempeng kuku

terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua sisi berhubungan dengan udara

luar dan sisi lainnya tidak. (1)

8

Page 9: Presus

- Matriks kuku Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru

-Kutikel (cuticle) Merupakan penghubung dua permukaan epitel dari lipatan kulit

proximal. Melindungi struktur dasar kuku (matrix germinatif) dari iritasi, alergi,

bakteri/jamur patogen.

-Lipatan kuku lateral Menutupi sisi lateral lempeng kuku

-Lunula Dasar dari lipatan proximal. Merupakan bagian lempeng kuku yang

berwarna putih di dekat akar kuku berbentuk bulan sabit,sering tertutup oleh kulit.

-Dasar kuku (nail bed) Terdiri dari bagian epidermal dan mendasari dermis yang

berhubungan dengan periosteum dari distal phalanx. Normal berwarna merah muda

karena vaskularisasi yang nampak melalui lempeng kuku yang translusen.

- Hiponikium Ruang di bawah kuku yang bebas, memisahkan lempeng kuku dan

dasar kuku pada ujung distal.

-Lempeng kuku (nail plate) Sebagai proteksi yang keras. Statis dan dengan kuat

menempel pada dasar kuku. Dikelilingi tiga sisi lipatan kuku. Terbentuk dari tiga

lapiasn horisontal: lamina dorsal tipis, lamina intermedit tebal, lapisan ventral dari

dasar kuku. Kerasnya lempeng kuku karena high sulfur matrix protein.

IV.            ETIOPATOGENESIS

9

Page 10: Presus

Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita (tinea unguium)

95-97%,(6) terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes var.

interdigitale.(5,6) Sebagian kecil disebabkan oleh : Epidermophyton floccosum, T.

violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum (biasanya hanya pada kuku tangan).(7)

Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat.

Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu dengan

bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer), setelah trauma

(mis: patah tungkai bawah), atau gangguan persarafan  (mis: cedera pleksus

brachialis, trauma tulang belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder, pada kuku

kaki  biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan onikomikosis sekunder

setelah  tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.(7)

Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang menyediakan sumber

nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur mycelia. Infeksi dermatofita

melibatkan tiga tahap: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel-

sel, dan membangun respon pejamu. Perlekatan jamur superfisial harus mengatasi

berbagai kendala seperti menahan pengaruh sinar ultraviolet, variasi suhu, dan

kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan sphingosines yang diproduksi oleh

keratin agar artrokonidia, elemen infeksius, dapat melekat pada jaringan keratin.(8,14)

Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus stratum korneum

lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat terjadi bila sekresi proteinase,

lipase, dan enzim mukolitik, yang memberikan nutrisi bagi jamur. (8,14)

10

Page 11: Presus

Membangun respon pejamu, tingkat peradangan dipengaruhi baik oleh status

imunologi dan organisme yang terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis untuk

inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur memiliki

faktor-faktor kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri.

Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk menciptakan turunan

faktor kemotaksis.(14)

Pembentukan antibodi tidak timbul untuk melindungi dari infeksi dermatofita, pada

pasien dengan infeksi yang luas mungkin memiliki peningkatan titer antibodi.

Sebagai alternatif, reaksi tipe IV atau reaksi hipersentsitifitas tipe lambat, memiliki

peran penting dalam melawan dermatofita. Kekebalan seluler oleh sekresi interferon-

γ dari tipe 1 limfosit T-helper. Ini merupakan hipotesis bahwa antigen dermatofita

diproses di sel-sel epidermis langerhans dan disajikan pada kelenjar getah bening

lokal untuk limfosit T. Limfosit T mengalami proliferasi klonal dan migrasi pada

tempat yang terinfeksi jamur.(14)

V.            GEJALA KLINIS

Terdapat beberapa tipe tinea unguium :

1)        Onikomikosis Subungual Distal/Lateral

Onikomikosis subungual distal dan lateral merupaka pola infeksi yang paling sering

didapatkan.(6) Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa

kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal

akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.(3) Biasanya

nampak pewarnaan putih atau kuning pada ujung bantalan kuku, paling sering

11

Page 12: Presus

terdapat di lipatan kuku lateral.(6) Bentuk ini umumnya disebabkan T. rubrum.(15) Jika

mengenai kuku tangan, pada umumnya dengan pola dua kaki dan satu tangan. Secara

klinis, bagian kuku subungual distal menunjukkan hiperkeratosis dan onikolisis.

Penyebaran bagian proksimal terjadi sepanjang jalur longitudinal.(13)

2)        Onikomikosis superficial putih (leukonikia trikofita)

Kelainan ini juga jarang ditemui. Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan

leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan

adanya elemen jamur.(6) Merupakan infeksi lapisan dorsal kuku yang disebabkan

bercak bersisik putih.(16) Oleh Ravant dan Rabeau (1921) kelainan ini dihubungkan

dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya. (12)  Dapat pula

disebabkan oleh Trichophyton rubrum pada pasien yang terinfeksi HIV. (15)

3)        Onikomikosis subungual proksimal

Onikomikosis subungual proksimal disebabkan oleh T. rubrum dan T. Megninii.

Jamur mencapai zona matriks keratogenus kuku melalui lapisan kuku proksimal.

Penyebab terseringnya yaitu jamur (Scopulariopsis brevicaulis, Fusarium spp. dan

Aspergillus spp).(13,14) Secara bertahap, warna keputihan mulai memasuki lunula, lalu

berpindah ke distal kuku yang terinfeksi. Terjadi pembesaran hingga dapat menyebar

pada seluruh kuku, hiperkeratosis subungual, leukonikia, onikolisis proksimal dan

destruksi pada seluruh kuku.(6,14) Pola seperti ini jarang terjadi, namun 10 tahun

belakangan telah menjadi bagian pada pasien AIDS.(6)

4)        Onikomikosis Endoniks

12

Page 13: Presus

 Onikomikosis endoniks adalah tipe yang paling jarang. Umumnya disebabkan oleh

T.soundanese dan T.violaceum. Dapat diasosiasikan dengan infeksi pada plantar.

Gambaran klinis berupa perubahan warna putih susu dan difus opak pada lempeng

kuku tanpa subungual keratosis dan onikolisis.(13)

 VI.            PEMERIKSAAN LABORATORIUM          

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas

pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk

mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit,

rambut dan kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan terlebih

dahulu di tempat kelainan dan dibersihkan dengan spiritus 70% lalu untuk kuku

bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya

sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula. (3)

Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy)

Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk konfirmasi diagnosis.

Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan pada kaca slide, ditutupi

dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan KOH lalu dipanaskan dengan

hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan dimethyl

sulfoxide dan atau tinta Parker Quink  pada larutan KOH dapat memudahkan

identifikasi elemen jamur. Identifikasi spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan

mikroskopik, tetapi pada banyak kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita

dari morfologinya.(7) 

Kultur Jamur

13

Page 14: Presus

Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab, membantu

keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk keperluan studi

epidemiologi.(17)

Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar sabouroud atau

modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5 hari baru tampak

adana pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas karakteristiknya. Selama

pertumbuhan ini harus diperhatikan ada tidaknya warna yang dibentuk in verso atau

in recto, ada tidaknya hifa aereal yang seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain.

Juga bentuknya menonjol seperti gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler

dengan permukaan yang licin seperti tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya

dilakukan tidak terlalu lama setelah diperkirakan ada pertumbuhan sifat-sifat khusus

jamur tersebut. Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3 minggu setelah

penanaman. Bila terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik, dimana

tanda-tanda khasnya akan hilang. (17)

Pemeriksaan Histopatologi

Dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH ditemukan negatif. Pewarnaan PAS

digunakan untuk mendeteksi jamur pada kuku. (7) Hifa dapat ditemukan melekat

diantara lamina kuku paralel hingga kelapisan dasar, dengan predileksi bagian

ventral kuku dan bantalan kuku bagian stratum korneum. Bagian epidermis

menunjukkan spongiosis dan fokal parakeratosis, dan minimal inflamasi respon

dermis. (14)

 

14

Page 15: Presus

VII.            DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis Onikomikosis (tinea unguium) selain dari gejala klinis juga

dapat menggunakan pemeriksaan mikroskopik, kultur, dan histopatologi.(15) Oleh

karena onikomikosis bertanggung jawab besar pada distropi kuku, maka

pemeriksaan dengan laboratorium sangat membantu sebelum memberikan

pengobatan anti jamur. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

KOH, hisopatologi, dan kultur jamur.(14)

 

VIII.            DIAGNOSIS BANDING  

1.         Psoriasis Kuku

Psoriasis ini ditandai dengan lubang, (salmon) atau bercak yang berminyak,

onikolisis dan distrofi kuku. Lubang ini mulai berkembang dari lesi psoriasis yang

ada pada proksimal matriks kuku. Kedalaman dan durasi lubang mencerminkan

keparahan dari psoriasis pada kuku. Pada kuku terdapat reaksi inflamasi terutama

infiltrat limfosit pada dermis atas dengan kapiler yang melebar, spongiosis dengan

eksositosik limfositik, dan parakeratosis yang mengandung neutrofil tunggal.(18)

2.         Paronikia

Paronikia adalah inflamasi yang mengenai lipatan kulit disekitar kuku. Paronikia

ditandai dengan pembengkakan jaringan yang nyeri dan bernanah. Bila infeksi

berlangsung kronik maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku. Biasanya

mengenai 1-3 jari terutama jari telunjuk dan jari tengah. Penyebab terjadinya

15

Page 16: Presus

paronikia ini adalah akibat trauma yang kemudian terjadi pemisahan antara lempeng

kuku dari eponikium, celah ini kemudian terkontaminasi oleh piogenik atau jamur.

Piogen yang tersering adalah Staphylococcus atau Pseudomonas sedangkan jamur

tersering adalah Candida albican.(12)

3.         Liken planus kuku

Liken planus pada kuku dapat timbul tanpa kelainan kuku. Perubahan pada kuku

berupa belahan longitudinal, lipatan kuku yang menggelembung (pterigium kuku),

dan kadang-kadang anonikia. Lempeng kuku menipis dan papul liken planus dapat

mengenai kuku.(12)

IX.            PENGOBATAN           

Pilihan terapi untuk pengobatan onikomikosis antara lain terapi paliatif, debridemen

mekanik atau kimia, anti jamur topikal dan sistemik. Kombinasi variasi pengobatan

lainnya. Pilihan terapi dipengaruhi oleh gambaran dan keparahan penyakit, terapi

lain yang digunakan penderita, terapi yang telah digunakan sebelumnya (dan efek

lain), (20)

Terapi antibikotik sistemik (12)

Griseofulvin. Obat ini bersifat fungistatik yang efektif untuk jamur. Dosis

yang digunakan adalah 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk

anak-anak dalam sehari atau 10-25 mg/kgBB.

16

Page 17: Presus

Ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dan juga digunakan jika resisten

terhadap pemberian griseofulvin dengan dosis 200 mg/ hari selama 10-14

hari pada pagi hari setelah makan.

Itrakonazol. Obat ini juga bersifat fungistatik dan digunakan jika pada

pasien tidak bisa mengkonsumsi ketokonazol akibat penyakit pada hepar dan

merupakan pilihan yang paling baik dengan dosis denyut selama 3 bulan

pada onikomikosis. Cara pemberiannya secara tiga tahap dengan interval 1

bulan. Setiap tahap dalam 1 minggu dosisnya 2 x 200 mg sehari dalam

kapsul.

Terbinafin. Bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti dari

griseofulvin dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari tergantung berat badan

selama 2-3 minggu.

1. Terapi topikal. Pada terapi topikal tersedia dalam bentuk losion dan lacquer

(cat kuku). Amorolfine lacquer dilaporkan efektif dengan penggunaan

selama 12 bulan. Sedangkan ciclopirox (penlac) nail lacquer adalah agen

topikal (ciclopirox 80%) yang efektif digunakan selama 48 minggu. (14)

2. Debridemen. Mengangkat jaringan kuku yang distropik, pasien seharusnya

didebridemen setiap satu minggu. Pada onikomikosis subungual distal,

hiperkeratotik harus diangkat. Pada onikomikosis superfisial putih, kuku

diangkat dengan cara dikuret. (14)

3. Terapi Novel laser. Telah dikemukakan terapi laser untuk mengobati

onikomikosis (total distropi, proksimal subungual onikomikosis, distal

subungual onikomikosis dan onikomikosis endoniks). Terapi laser

dikembangkan karena terapi dengan farmakologi dianggap membutuhkan

17

Page 18: Presus

waktu yang lama. Terapi bedah laser juga mempunyai efek bakterisidal.

Karena cahaya lokal laser sangat panas yang dapat membunuh

mikroorganisme dan sebagai simulasi proses penyembuhan. Pada studi laser

yang digunakan adalah VSP Nd:YAG 1066 nm, yang penetrasi sampai ke

plat kuku, dermis dan jaringan kuku lainnya. (19)

 X.            PROGNOSIS    

Tanpa terapi yang efektif, onikomikosis tidak dapat sembuh secara spontan.

Keterlibatan yang progresif dari beberapa kuku adalah biasa. Onikomikosis

subungual distal/lateral menetap setelah terapi tinea pedis dan sering menyebabkan

episode berulang dermatofita epidermal pada kaki, pangkal  paha, dan  lokasi  lain.

Tinea pedis dan/atau onikomikosis subungual distal/lateral merupakan awal untuk

infeksi bakteri berulang (S. aureus, group A streptococcus), khususnya sellulitis

pada tungkai bawah.(7)

Prevalensi pada penderita diabetes diperkirakan 33%; onikomikosis subungual

distal/lateral memberikan kontribusi terhadap keparahan masalah kaki: infeksi

bakteri superfisial, ulserasasi, selulitis, osteomielitis, nekrosis, amputasi. Diabetes

membutuhkan intervensi dini dan harus diskrining reguler oleh dermatologis. HIV

yang tidak diobati dikaitkan dengan peningkatan dermatofita. Tingkat relaps jangka

panjang dengan  terapi oral terbaru seperti terbinafin, atau itarconazole dilaporkan

15-21% 2 tahun setelah terapi berhasil. Penyebab kambuh/ reinfeksi: reinfeksi,

inkompetensi imulogis, trauma terus menerus, penyebab tidak diketahui. Kultur

mikologi dapat positif tanpa gejala klinis yang jelas. Kebersihan kaki dan kuku

18

Page 19: Presus

sangat penting: sabun benzoyl peroxide pada saat mandi dan preparat antijamur atau

ethanol/isopropyl gel. (7)

19

Page 20: Presus

DAFTAR PUSTAKA

1.     Leelavathi M, Tzar MN, Adawiah J. Common Microorganisms Causing Onychomycosis in Tropical Climate. Sains Malays. 2012: 697-700.

2.     Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM. Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of Dermatology and Venerology. 2011;18

3.     Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 89-105.

4.     Arroll B, Oakley A. Preventing long term relapsing tinea unguium with tropical anti fungal cream:a case report. Cases Journal.2009;2:70.

5.     Tullio V, Banche G, Panzone M, Cerveetti O, Roana J, Allizond V, et al. Tinea pedis and tinea unguium in a 7-year-old child. J Med Microbiol. 2006;56:1122-3.

6.     Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 31.1-.101.

7.     Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies.

8.     Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50.

9.     Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide. Mycoses. 2008, 51(suppl 4):2-15.

10.   Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and management. Indian J Med Microbi. 2008;26(2):108-16.

11.   Sanjiv A, Shalini M,Charoo H. Etiological Agents of Onychomycosis from a Tertiary Care Hospital in Central Delhi, India. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences. 2011;1(2):11-4.

12.   Soepardiman L. Kelainan Kuku. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. P.312-7.

13.   Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In: Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p. 197-220.

20

Page 21: Presus

14.   Verna S, Heffernan MP. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1807-21.

15.   James WD, Berger TG, Elston DM. Disease Resulting from Fungi and Yeasts. Andrew’s Disease of The Skin : Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 297-331.

16.   Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinicals Companions Dermatology. New York: Thieme; 2006.

17.   Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.

18.   Haneke E. Histopathology of common nail conditions. In : Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p.268-70.

19.   Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapin RP. Dermatology. 2nd ed: Mosby Elsevier.

20.   Kozarev J, Vizintin Z. Novel Laser Therapy in Treatment of Onychomycosis. J. LAHA. 2010;2010(1). p.1

21