prekas anes fix

41
BAB I PENDAHULUAN Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum terjadi proses persalinan pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram .1 Adapun penyebab IUFD antara lain perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta ; pre eklamsi dan eklamsi ; penyakit kelainan darah ; penyakit infeksi menular ; penyakit saluran kencing ; penyakit endokrin seperti DM dan hipertiroid ; serta malnutrisi. 2 Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping pre eklampsi atau eklampsi dan infeksi . Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekua n darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan. Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan 1

Upload: bloodyredaholic

Post on 24-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kasus mengenai anestesi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Intra Uterine Fetal Death(IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah kematian janin dalamkehamilansebelum terjadi prosespersalinanpada usiakehamilan28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram.1 Adapun penyebab IUFD antara lain perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta ; pre eklamsi dan eklamsi ; penyakit kelainan darah ; penyakit infeksi menular ; penyakit saluran kencing ; penyakit endokrin seperti DM dan hipertiroid ; serta malnutrisi.2Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping pre eklampsi atau eklampsi dan infeksi.Ruptur uteri merupakan salah satubentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjutberarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan,sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan. Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus.SIRS (Systemic Inflammation Response Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan (insult) spesifik dan nonspesifik. Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4 variabel berikut : Suhu lebih dari 380C atau kurang dari 360C; denyut jantung lebih dari 90 x/menit ; frekuensi napas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) kurang dari 32 mmHg; leukosit >12.000/L atau 10% bentuk imatur.3 Menurut kami terdapat korelasi antara IUFD yang terjadi dengan ruptur uteri yang berdampak pada terjadinya perdarahan hebat sehingga perlu penanganan yang tepat dan cepat yang akan kami bahas dalam topik manajemen terapi cairan perioperatif . Dalam kasus ini kami juga akan membahas mengenai salah satu komplikasi yang terjadi yaitu SIRS.BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. Reni Handayani

Usia

: 29 tahun

Alamat

: Jl.Kali Bata Utara No II

Agama

: Islam

Status

: Menikah

BB

: 55 kg

TB

: 155 cm

Tanggal masuk RS: 1/2/2014

2.2 ANAMNESISKELUHAN UTAMA (Autoanamnesis di IGD , tanggal 1/2/2014)

Merasa janin tidak aktif bergerak sejak 23 Januari 2014.RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

Pasien mengaku telah hamil ( 36 minggu. HPHT 19 Mei 2013, ANC 5 kali teratur dan pernah melakukan USG 1 kali namun pasien tidak ingat kapan waktunya. Pasien merasakan keputihan berlebih, namun tidak bau, gatal, dan mengeluarkan darah.Dirasakan janin tidak aktif bergerak sejak 23 januari 2014.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat sakit maag, hipertensi, asma, dan alergi disangkal. Pasien sebelumnya sudah pernah hamil 2 kali dan melakukan persalinan normal. Pasien mengatakan tidak pernah dirawat dirumah sakit oleh karena suatu penyakit tertentu.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat asma, hipertensi, alergi, dan keganasan pada keluarga disangkal.

RIWAYAT GINEKOLOGI

Pasien menarche pada umur 12 tahun dan lamanya haid kurang lebih 7 hari. Banyaknya pembalut yang dipakai sebanyak 3 buah/hari. Pasien mengaku pada tahun 2007 melahirkan normal di bidan dengan usia kehamilan 9 bulan, bayi lahir tunggal hidup perempuan dengan BB 2600 gr. Pada tahun 2009 pasien melahirkan bayi laki-laki dengan berat 2600 gr secara normal di bidan.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum: tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos mentis

Tanda Vital: TD: 110/70 mmHg, N: 80 x/menit, RR 18 kali/menit, S: 37,30 c

Status generalis:

Kepala: Mata: Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/- , pupil normal bulat isokor

Leher: Tidak teraba adanya pembesaran KGB

Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru: SN vesikuler, Rh -/-, Wh -/-.

Abdomen: (lihat status obstetric)

Inspeksi : Perut tampak membesar , striae (+)Palpasi: Nyeri tekan seluruh abdomen (+)

Perkusi: Tidak dilakukan

Auskultasi : DJJ (-)

Ekstremitas: akral hangat (+/+), edema (-/-)STATUS OBSTETRI/GINEKOLOGI

TFU : pusar xyfoid

TBJ : tidak diketahui

His : tidak ada

Kontraksi : tidak ada

DJJ : tidak ada

Inspeksi : tidak tampak perdarahan dari vulva dan uretra

Inspekulo : Portio livid ostium tertutup valsava (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 1/2/2014 :

PemeriksaanHasilSatuanNilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Leukosit

Trombosit

Eritrosit

VER/HER/KHER/RDW

VER

HER

KHER

RDW

KIMIA KLINIK

DIABETES

Glukosa Darah Sewaktu12,8

37

20.0

236

4.16

88.4

30.7

34.7

12.9

136g/dl

%

ribu/ul

ribu/ul

juta/ul

fl

pg

g/dl

%

mg/dl11,7-15,5

33-45

5.0-10.0

150-440

3.80-5.20

80.0-100.0

26.0-34.0

32.0-36.0

11.5-14.5

70-140

2.5 LAPORAN ANESTESI PASIEN

A. PRE OPERATIF

Pasien dibawa ke ruang OK cito pada tanggal 1 januari 2014 pukul 11.15 WIB dari IGD. Pasien pra-bedah didiagnosis G3P2 hamil 27 minggu janin tunggal IUFD et causa ruptur uteri.Keadaan umum: Tampak sakit sedang, Kesadaran : CM

Tanda vital: TD 139/90mmHg, Nadi: 100 kali/menit, RR: 20kali/ menit, S: febris.

Pasien tidak memiliki riwayat sesak nafas,riwayat gigi hilang (-), gigi palsu (-), leher tidak pendek, riw. ISPA (-), nyeri dada (-), denyut jantung tidak normal (-), riw. kejang (-), stroke (-), dan obesitas (-).

Hasil pemeriksaan laboratorium HB 12,8g/dl, HT37%, Leukosit 20.000/uL, Trombosit 236.000 /uL, Eritrosit 4.16 juta /uL, VER 88.4fl, HER 30.7 pg, KHER34.7g/dl,RDW 12.9%, GDS 136mg/dl.

Status fisik pasien ASA 2E dengan gejala yang memperberat berupa sepsis (SIRS). Pasien direncanakan dilakukan anestesi regional spinal. B. DURANTE OPERASI

Waktu pembiusan dimulai pukul 11.30 WIB . Kemudian dilakukan regional anestesia tipe spinal di regio L3-L4 dengan spinal needle no. 27 G dengan obat-obatan bupivakain 0,5 % 20 mg, dan fentanyl 12,5 mg . Setelah pembiusan pasien diposisikan terlentang dengan respirasi spontan ditunjang dengan pengaliran O2 3 liter/menit. Waktu pembedahan mulai pukul 11.35 WIB.

Monitoring selama operasi :

JamTD sistolik (mmHg)TD diastolik(mmHg)MAP(mmHg)HRx/mObat-Obatan

11.3016595245120Ondansetron 4 mg

11.4013590225110Oksitosin 20 IU, 5 menit kemudian Pospargin 0,2 mg

11.5012488100100

12.0013085213104

12.1012785212110

12.2013087217114

12.3013690225115

12.4013095233120

12.50129100243105

13.00130101245110

13.1014510011587Tramadol 100 mg

13.201509621485

13.301579524285Ketamin HCL 50 mg , Transamin 500 mg , Vit. K 10 mg , Propofol 50 mg

13.401559824785

13.501559824780Dexamethason 10 mg

14.001649023474

Pembedahan selesai sekitar pukul 14.00 sehingga menghabiskan waktu 2,5 jam dan tekanan darah pasien selama operasi cenderung meningkat.

Cairan yang masuk selama operasi berlangsung:

Jam 11.30: Tangan kanan : RL 500cc

Jam 12.15: Tangankanan : Voluven 500cc

Jam 13.00: Tangan kanan : NaCl 500 cc

Tangankiri : RL 500 cc

Jam 13.25: Tangan Kanan : PRC 250 cc

Tangan kiri : RL 500 cc

Jam 13. 45: Tangan Kanan : PRC 250 cc

Total input cairan : 3000cc (500cc koloid , 500cc PRC dan 2000 cc kristaloid

Perdarahan total : 1000 cc

Urin total : 200 ccC. POST OPERATIF

Pasien masuk ruang pulih pukul 14. 10 dengan kondisi yang ditentukan Aldrette Score :

210

KesadaranSadar, orientasi baikDapat dibangunkanTidak dapat dibangunkan

RespirasiDapat nafas dalam, batukNafas dangkal, sesakApnoe, obstruksi

Aktivitas4 ekstrimitas gerak2 ekstrimitas bergerakTidak bergerak

Warna kulitMerah muda, tanpa o2, Sa02 >92%Pucat kehitaman, butuh O2Sianosis dengan O2

SirkulasiTekanan darah berubah 50%

Total9

Pemantauan tanda vital di ruang pulih:

Jam 14.10 : TD 153/97 mmHg, N: 88x/menit

Jam 15.00: Pasien di dorong ke High Care.BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini dilakukan operasi SC cito atas indikasi adanya kecurigaan telah terjadi SIRS yang pada awalnya hanya ditandai dengan peningkatan leukosit (>12.000/uL ) dan adanya riwayat IUFD dengan suspek ruptur uteri . Dalam preoperatif nya ternyata tanda-tanda vital pasien semakin memburuk yaitu peningkatan TD ( 130/90 mmHg) , HR 100 x/m , RR 20 x/m , dan suhu menjadi febris. Menurut hasil tersebut kita sudah dapat menegakkan telah terjadi SIRS , dikarenakan pada pasien ini telah memenuhi 2 kriteria berikut ini : (Systemic Inflammatory Response Syndrome Ery Leksana SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP dr. Kariadi, Semarang, Indonesia CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013 http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_200CME-Systemic%20Inflammatory%20Response%20Syndrome.pdf)

Dari hasil konsultasi anestesi , didapati pasien termasuk dalam ASA II E , hal ini mungkin dikarenakan telah dicurigai terjadinya sepsis awal sebagai penyakit sistemik yang ditandai dengan peningkatan tanda-tanda vital dan lekositosis serta terdapatnya fokus infeksi berupa IUFD.

Ketika akan dilaksanakan operasi pasien ini dilakukan pembiusan dengan teknik anestesi regional tipe spinal karena akan dilakukan operasi laparatomi eksplorasi. Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan menyuntikkan anestesi local (bupivacain 0,5 % 20 mg dan fentanyl 25 mcg ) dengan menggunakan spinal needle 27 G ke dalam daerah bebas medulla spinalis L3-L4.

Menurut kami, pemilihan pembiusan pada pasien ini sudah tepat , karena menurut beberapa ahli, anestesi spinal masih menjadi pilihan untuk bedah sesar.Anestesi spinal membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesi pada anestesia spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin dapat berkurang.Pada umumnya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur anestesi spinal. Namun teknik ini dapat menyebabkan hipotensi karena blok simpatis yang mengakibatkan vasodilatasi didaerah ekstremitas bawah , maka sebelum operasi , tekanan darah pasien harus diukur untuk memastikan keadaan pasien optimal untuk dianestesi dan dioperasi.Obat anestesi yang digunakan adalah fentanyl yang memiliki efekanalgesik dengan onset 30-60 detik dan masa kerja 30-60 menit dan Marcain yang termasuk Bupivacain dengan dosis normal 1-2 mg/KgBB. Obat ini sering digunakan sebagai analgesik intratekal dalam proses persalinan seksio. Fentanyl dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosisbupivakain sehingga hipotensi lebih sedikit dan meningkatkan analgesia. Selain itu, diketahui pula bahwapenambahan dosis kecil dari opioid lipofilik ini selama anestesia spinal dapat menyebabkan onset yang lebih cepat,blok yang lebih baik, dan waktu pemulihan fungsi motorik yang lebih cepat setelah pembedahan.Kombinasi dari Bupivacain dan Fentanyl dapat dicapai hasilnya dengan baik saat melakukan anestesi spinal.

Bupivacaine HCL adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat. Obat ini menghambat sensoris dan motorik yang sering digunakan dalam persalinan. Bupivacain hiperbarik sering digunakan untuk blok subarakhnoid operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 mL dan dosis total 15-20mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4mL. Bupivacain dapat melewati sawar darah uri tapi dalam jumlah kecil.

Fentanyl merupakan analgesik yang sangat kuat yang berupa cairan isotonic steril untuk penggunaan secara IV. Fentanyl memiliki efek pada sistem organ berupa hipotensi, bradikardi, depresi nafas yang lebih lama, meningkatkan tekanan intrakranial, dan juga mual muntah. Dosis yang diberikan pada pasien ini 25 mg.

Pernafasan pasien ditunjang dengan mengalirkan O2 3L / menit via nasal kanul. Karena pasien merasa mual (efek dari obat anestesi yaitu fentanil) maka diberikan ondasentron dengan dosis 4 mg. Ondansentron merupakan antagonis reseptor serotonin yang memiliki efek antiemetik. Mekanisme kerja ondansetron yaitu: membolakde sentral di CTZ pada area postrema dan nukleus traktus solitaries sebagai kompetitif selektif reseptor 5-HT dan memblok reseptor 5-HT di perifer pada ujung saraf vagus di sel enterokromafin di traktus gastrointestinal. Dosis Ondansetron berkisar antara 4-8 mg iv. Efek samping yang sering timbul pada dosis terapi adalah sakit kepala , konstipasi , lemas , dan peningkatan enzim hati. Sedangkan pada pasien ini diberikan ondansetron sebanyak 4 mg yang efektif untuk menurunkan kejadian PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) .

Pada saat pasien akan melakukan pembedahan, maka pasien akan melewati tiga periode yaitu prabedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana dari ketiga periode tersebut memiliki beberapa permasalahan salah satunya adalah terapi cairan. Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara atau mengganti cairan yang telah hilang baik dengan cairan kristaloid maupun koloid.

Terapi cairan perioperatif meliputi: penggantian cairan yang sudah hilang sebelumnya seperti pada pasien yang sebelumnya puasa, kebutuhan maintenance, dan cairan yang hilang akibat operasi termasuk di dalamnya perdarahan.Sehingga sebelum tindakan operasi sebaiknya kita hitung kebutuhan cairan pasien Hitung cairan yang dibutuhkan :

BB: 55 kg

Puasa: 6 jam

Jenis operasi: moderate (2-4ml/kg)

Maintenance (M)

: 4 x 10: 40

2 x 10: 20

1 x 35 : 35+

95 ml / jamPada pasien ini karena operasi yang dijalani merupakan jenis operasi sedang, maka (2-4) x 55 = 110 s/d 220 ml. Kami mengambil 165 sebagai cairan yang menggantikan redistributive dan keringat.Operasi (O)

: J.O x BB: 2-4 x 55: 110s/d 220 ml

Puasa (P)

: Puasa x M: 6 x 95: 570 ml

Kemudian untuk menghitung jumlah cairan yang semestinya masuk kita gunakan rumus di bawah dengan menjumlahkan maintenance (M), kebutuhan cairan berdasarkan jenis operasi (O) dan puasa (P).Pemberian jam I: M + O + P= 95 + 165 + 285: 545 ml

Pemberian jam II: M + O + P = 95+ 165 + 143: 403 ml

Pemberian jam III: M + O + P = 95 + 165 + 143: 403 ml

Pemberian jam IV: M + O= 95 + 165

: 260 ml

Operasi berlangsung selama 2,5 jam , cairan yang dibutuhkan pada pasien ini kurang lebih 1611 mL.Sedangkan pada pasien ini mendapatkan terapi cairan sebagai berikut :

Cairan masuk

Infus: RL 500 ml

x 3 1500 ml

Nacl 0,9%

x 1 500 ml

Voluven 500 mlx 1 500 ml

Darah: PRC 250 cc

x 2 500 ml +

3000 ml

Cairan keluar

Urin

: 200 ml

Perdarahan: 1000 ml

IWL

: 44 ml +

` 1244 ml

Balans : 3000 1244 = + 1756 ml

Berdasarkan pemberian cairan pada pasien di atas sudah mencukupi karena berdasarkan perhitungan cairan yang di atas pasien membutuhkan cairan kurang lebih 1611 ml dan sudah diberikan terapi cairan pada saat operasi sekitar 3000 ml.

Selain memanage cairan pada saat operasi lebih baik di hitung juga estimasi perdarahan yang akan terjadi pada pasien ini untuk mengetahui apakah perdarahannya masih bisa di toleransi atau tidak.

Estimate Blood Volume (EBV) = 65 cc/kg x 55 kg = 3575 cc

Indikasi transfuse bila perdarahan > 20% dari EBV = 20% x 3575 cc = 715 mlPada pasien dengan hematokrit normal, baru diindikasikan transfusi jika kehilangan darah lebih dari 10-20%.Jika masih < 10-20% bisa diberikan dengan kristaloid sebanyak 2-3x dari jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perdarahan atau campuran kristaloid dan koloid. Pada pasien ini di katakan kehilangan cairan >20% perdarahannya kurang lebih 1000 ml sehingga perlu di transfusi walaupun kadar Hb awal masih dalam batas normal. Pemberian transfusi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas transport O2 dan volum intravaskular.tetapi untuk meningkatkan volume intravaskular bisa diberikan cairan kristaloid atau koloid.

Lama Operasi: 11.35-14.00 = 2 jam 25 menit

Lama Anestesi: 11.30-15.00 = 3 jam 30 menit

Sesaat setelah bayi lahir ( pukul 11.50 WIB) ternyata bayi tersebut sudah meninggal, segera dialirkan RL 500 ml yang mengandung Induxin yang mengandung oksitosin sintetik 20 IU via drip untuk merangsang kontraksi rahim agar perdarahan bisa berhenti. Efek klinis penting dari oksitosin menyebabkan kontraksi otot polos uterus selama masa kehamilan dan nifas. Oksitosin bekerja terutama pada akhir kehamilan , selama dan segera setelah proses persalinan. Oksitosin sintetik tidak memiliki efek pada sistem kardiovaskuler seperti peningkatan TD yang biasa terjadi karena sekresi vasopresin oleh pituitari posterior. Dosis secara intravena per drip diberikan 10 IU/ml dalam 500 ml cairan steril.Kemudian sesaat setelah plasenta keluar dari rahim ibu , ibu diberikan Pospargin 0,2 mg i.v . Pospargin berisi methylergometrin maleate yang merupakan amina dengan efek uterotonik yang menimbulkan kontraksi otot uterus dengan cara meningkatkan frekuensi dan amplitudo kontraksi pada dosis rendah, serta meningkatkan tonus uterus basal pada dosis tinggi. Pada penyuntikan intravena efek kontraksi uterus terjadi dengan segera (30-60 detik). Dosis pada sectio caesarea setelah bayi dilahirkan secara ekstraksi sekitar 0.1-0.2 mg. Pada pasien ini diberikan pospargin secara intavena 0,2 mg dan sesuai atas indikasi.Setelah pengambilan plasenta , maka dilakukan pengangkatan rahim sleuruhnya atas indikasi rupture uteri. Kemudian selama operasi berlanjut pasien merasakan nyeri oleh karena itu untuk meringankan rasa nyeri yang mungkin terjadi pada pasien , maka diberikan Tramadol 100 mg secara iv. Tramadol merupakan analgetik sentral yang bekerja menghambat pengambilan kembali noradrenergik , dan serotonin neurotransmission , dapat diberikan peroral, parenteral , intravena dan intramuskular. Dosis yang dianjurkan untuk dewasa sekitar 50-100 mg setiap 4-6 jam. Tramadol yang diberikan secara intravena sekitar 50-150 mg pada pasien dengan nyeri pasca operasi mempunyai potensi analgesik yang sama dengan MO 5-15 mg. Tramadol memiliki beberapa keuntungan pada operasi sesar yaitu tidak mengakibatkan depresi pernafasan pada neonatus namun memiliki efek samping berupa pusing, mual, sedasi , mulut kering , berkeringat dengan insidensi berkisar antara 2,5-5,5 %. Pada pasien ini tidak diberikan ketorolak melainkan tramadol 100 mg, karena ketorolak merupakan kontraindikasi pada persalinan karena dapat mempengaruhi sirkulasi fetus dan kontraksi uterus sehingga beresiko meningkatkan perdarahan uterus. (buku obat anestesi hal 93)Selain itu pasien juga diberikan obat-obatan lain seperti :

1. Ketamin .

Ketamin adalah obat anestesi umum non-barbiturat yang mempunyai efek analgesik yang sangat kuat, akan tetapi memiliki efek hipnotik yang kurang (anestesi disosiatif). Dosis pemberian pada orang dewasa 1-4mg/kg bb. Pada pasien ini diberikan Ketamin sebanyak 50 mg dengan indikasi sebagai analgesic dan anestesi pada obstetrik, dengan efek samping meningkatkan tekanan darah dan nadi.2. Tranexamid acid

Tranexamid acid merupakan agen anti fibrinolitik. Obat ini bekerja dengan menghalangi pemecahan pembekuan darah, yang mencegah perdarahan. Pada pasien ini diberikan Tranexamid acid 100 mg karena didapatkan perdarahan yang cukup banyak selama operasi serta mengantisipasi kemungkinan perdarahan berlanjut.

3. Vit K (Phytomenadione)

Phytomenadione merupakan agen hemostasis untuk mencegah pembekuan darah . Dosis yang dianjurkan 0,5 10 mg. Mekanisme kerja adalah sebagai ko-faktor esensial dalam pembentukan faktor-faktor pembekuan darah yaitu factor ll, Vll, lX , X , proteins C dan S . Efek samping : anafilaksis , reaksi akibat suntikan : phlebitis , facial flushing. Pada pasien ini diberikan dosis 10 mg sesuai indikasi. (WOMEN AND NEWBORN HEALTH SERVICE King Edward Memorial Hospital CLINICAL GUIDELINES SECTION P: PHARMACY AND MEDICATIONS http://www.kemh.health.wa.gov.au/development/manuals/O&G_guidelines/sectionp/alpha/p_phytomendione.pdf )

4. PropofolPropofol merupakan obat anestesi intravena yang mempunyai efek sedasi hipnotik yang berinteraksi dengan gamma aminobutyric acid (GABA), neurotransmiter inhibittor di syestem saraf pusat. Onset propofol cepat dan duration of actionnya pendek, obat ini dapat melewati plasenta namun dapat dikeluarkan dengan cepat dari sirkulasi neonatus. Dosis pada orang dewasa 1.5-2.5mg/kgbb secara intravena . Pada pasien ini diberikan propofol 50 mg sebagai penenang.

5. Dexamethasone

Dexamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktifitas imunosupresan dan antiinflamasi. Dosis parentral 5-40mg/hari. Pada pasien ini diberikan Dexamethasone 50 mg atas indikasi dicurigai adanya reaksi alergi pada saat pemberian tranfusi darah.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 MANAJEMEN CAIRAN PERIOPERATIF

Tujuan manajemen cairan perioperatif adalah untuk menyediakan sejumlah cairan parenteral yang tepat untuk menjaga volume cairan intravaskular , tekanan pengisian ventrikel kiri , curah jantung , tekanan darah sistemik , dan transport oksigen ke jaringan yang adekuat. Selain pertimbangan pembedahan ( kehilangan darah , proses evaporasi , pengisian cairan pada rongga ketiga ( third spacing ) , kondisi dan perubahan tertentu yang terjadi selama masa perioperatif dapat menyebabkan manajemen keseimbangan cairan terganggu yang meliputi status volume cairan perioperatif , penyakit yang sebelumnya sudah ada dan efek obat-obatan anestesi pada fungsi fisiologis yang normal.

Semua faktor ini harus dipertimbangkan ketika merencanakan suatu pendekatan rasional mengenai manajemen cairan untuk pasien pasien selama masa perioperatif. Manajementerapi cairan dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas intraoperatifdanpostoperatif.Adanyavolumecairanintravaskularyangcukupsangatpentinguntuk perfusi organ vital yang adekuat. Walaupun pertimbangan kuantitatif merupakan perhatianyang utama, kapasitaspengangkutan oksigen, koagulasi, sertakeseimbangan elektrolit dan asam-basa juga sangat penting. Tidak adajawaban pastimengenai larutan yangpaling baik ( kristaloid atau koloid ) untuk resusitasi dan pemeliharaan; penilaian klinis tetap menjadi landasan dalam manajemen cairan yang optimal.PERTIMBANGAN PREOPERATIF

Penilaian perioperatif volume cairan intravaskular penting sebelum induksi anestesi. Persiapan usus , muntah , diare , diaforesis , perdarahan , luka bakar , dan intake yang tidak adekuat merupakan penyebab umum dari hipovolemia preoperative. Redistribusivolume cairan intravaskular tanpa buktiadanya external loss merupakanpenyebabpenting lain dari deplesi volume preoperatif yang biasanya terjadi pada pasien sepsis, ARDS, asites, efusi pleura, dan kelainan pada usus. Seringnya proses-proses ini bersamaan dengan terjadinya peningkatan permiabilitas kapiler yang mengakibatkan kehilangan volume cairan intravaskular interstitial dan kompartemen cairan lainnya.Evaluasi Volume CairanIntravaskularEvaluasivolumecairanintravaskularmengandalkanpadapengukuran indirek seperti tekanan darah sistemik, denyut jantung, dan urine outputkarena pengukuran kompartemen cairan tidak tersedia. Sayangnya , pengukuran ini hanya memberikan estimasi kasar dari perfusi organ. Selain itu , bahkan dengan teknik monitoring yang canggih ( kateter arteri pulmonalis, saturasi oksigen arteri ) kecukupan penggantian volume cairan intravaskular dan transport oksigen jaringan pada organ vitalseseorang tidakdapat ditentukan dengan tepat. Karena alasan ini, evaluasi klinisvolume cairan intravaskular merupakan hal yang penting.PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM

Pemeriksaan fisik dan laboratorium diperlukan sebagai petunjuk untuk terapi cairan preoperative. Tanda tanda deplesi volume cairan intravaskular dapat dilihat dari turgor kulit, hidrasi membran mukus, palpasi nadi perifer, denyut jantung istirahat, tekanan darah sistemik (termasuk perubahan ortostatik) dan urine output (Tabel23-1).Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk melihat volume cairan intravaskular yaitu hematokrit serial, arterial blood gas analysis dan defisit basa, urine specific gravity atau osmolalitas, serum natrium, dan rasio serum kreatinin terhadap blood urea nitrogen. Pemeriksaan fisik dan laboratorium merupakan pengukuran volume cairan intravaskular secara indirek, non spesifik dan tidak ada parameter tunggal yang dapat diandalkan untuk mengeksklusikan pengamatan lainnya.

Tabel 23-3 Redistribusi dan Evaporasi Kehilangan Cairan Saat Pembedahan

Derajat Trauma JaringanPenambahan Cairan

Ringan (herniorafi)2-4 ml/kg/jam

Sedang (kolesistektomi)4-6 ml/kg/jam

Berat (reseksi usus)6-8 ml/kg/jam

STATUS VOLUME CAIRAN INTRAVASKULAR DAN TEKNIK ANESTESI

Keduanya baik anestesi umum dan anestesi local memiliki efek tidak langsung pada kebutuhan cairan. Obat-Obatan InduksiIntravenaInduksianestesidenganthiopentalmenyebabkanpenurunan venous return sedangkan induksi dengan propofol menyebabkan penurunan resistensivaskular sistemik, kontraktilitasjantung,danpreload. Walaupun secara normal menyebabkan gangguan kecil pada tekanan darah sistemik pada pasien-pasien euvolumik,induksi anestesi dengan obat-obatan ini pada pasien dengan deplesi volume intravaskular dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah sistemik dan perfusi organ vital yang tidakdiharapkan. Ketamin mengakibatkanpeningkatan tekanandarah sistemik, denyutjantung,dan curah jantung melalui stimulasi sistem saraf simpatis dan inhibisi reuptake darinorepinefrin. Efek depresan miokard langsungterjadi apabila penyimpanankatekolaminberkurang (gagal jantung kongestif, end-stage shock) dan apabila ketamin diberikan sebagai induksi anestesik pada pasien-pasien tersebut maka akan menyebabkan penurunan tekanan darah.Obat-Obatan yangMenghambatNeuromuskular Obat-obatan yang menghambat neuromuscular , meskipun biasanya tidak memiliki efek kardiovaskular secara langsung , dapat menyebabkan terjadinya pelepasan histamin (atracurium) dan penurunan resistensi vaskular sistemik atau terbentuknya venous poolingakibat hilangnya tonus otot.

Obat-Obatan Anestetik InhalasiIsofluran, desfluran, dan sevofluran semuanya menurunkan resistensi vaskular sistemik dan sedikit menekan kontraktilitas miokard. Selain itu, adanya ventilasi tekanan positif dari paru pasien dapatmenurunkanpreloaddan mungkin dapat menurunkan tekanan darah sistemik pada pasien-pasien hipovolemik.Anestesi Lokal

Blokade neuroaksial , melalui blokade serabut-serabut system saraf simpatis yang menginervasi otot polos pembuluh darah arteri dan vena , menyebabkan vasodilatasi , pengumpulan darah , dan penurunan venous return. ke jantung. Walaupun adanya gangguan yang signifikan pada tekanan darah sistemik pada pasien dengan deplesi volume intravaskular , efek efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian cairan sebelum pemberian anestesi lokal. TERAPI CAIRANPERIOPERATIF:PERTIMBANGANKUANTITATIFTerapi cairan perioperatif meliputi (1)penggantian defisitcairan, (2)penggantian kehilangan cairan yang normal (memerlukanpemeliharaan), dan (3) penggantian kehilangan cairan pada pembedahan (third-space) (termasuk kehilangan darah) (Tabel 23-2 sampai 23-4).Preexisting Fluid DeficitsPasienyang akanmenjalanioperasisetelahsemalam puasa akan menyebabkan deficit cairan yang sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan kecepatan maintenance normal (lihat Tabel 23-2) dengan lamanya waktu puasa. Walaupun cairan hipotonik seperti normal salin 0,5 dapat diberikan untuk mengoreksi deficit cairan ini , kristaloid isotonic biasanya lebih banyak dipakai (Tabel 23-5 dan 23-6).Tabel 23-2 Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan

Hingga 10 kg4 ml/kg/jam

11-20 kgTambahkan 2 ml/kg/jam

20 kg dan diatasnyaTambahkan 1 ml/kg/jam

Tabel 23-4 Pedoman untuk Terapi Kristaloid Pemeliharaan dan Penggantian Cairan Intraoperatif

Larutan yang mengandung elektrolit isotonic (natrium dan kalium) sebesar 2 ml/kg/jam untuk menggantikan insessible losses

Larutan yang mengandung elektrolit isotonic untuk menggantikan kehilangan cairan pada rongga ketiga (third space)

Pembedahan trauma ringan (herniorafi) 2-4 ml/kg/jam

Pembedahan trauma sedang (kolesistektomi) 4-6 ml/kg/jam

Pembedahan trauma berat (reseksi usus) 6-8 ml/kg/jam

Penggantian 1 mL kehilangan darah dengan 3 ml larutan kristaloid

Memantau tanda-tanda vital dan memelihara urine output 0,5 ml/kg/jam

KEHILANGAN CAIRAN ABNORMAL

Kehilangancairan yangabnormal(muntah,diare, perdarahan preoperatif),occult losses(ascites, jaringan yang terinfeksi), dan insensible losses (demam,berkeringat,hiperventilasi) tidak boleh diabaikan pada koreksi deficit cairan preoperatif sehingga hipotensi dan hipoperfusi yang dapat terjadi selama induksi anestesi dapat diminimalisir. Cairan yang digunakan untuk penggantian cairan harus sama komposisinya dengan cairan yang hilang (lihat Table 23-5 dan 23-6 ).

Kebutuhan CairanPemeliharaanCairan pemeliharaan diperlukan pada orang dewasa yang menjalani puasa sebagai akibat dari adanya pembentukan urin yang terus-menerus, sekresi gastroinstestinal, dan insensible lossesdarikulitdansaluranpernapasan.Kebutuhancairanpemeliharaandihitungdan digantikan denganlarutan kristaloid selama masa intraoperatif (lihat Tabel23-2).Kehilangan Cairan padaPembedahanKEHILANGAN DARAHAhli anestesi harus terus mencatat perkiraan hilangnya darah saat pembedahan. Penghitungan darah pada surgical suction container hanya satu komponen ; occult bleeding di dalam luka operasi atau bila surgical drapes (kain operasi) dapat menyulitkan estimasi tersebut. Selain itu, darahpada surgical sponges dan laparotomy pads (lap) harus dihitungjuga. Kapas yang dipenuhi darah (4x4) mengandung 10 mL darah, sedangkan lap yang dipenuhi darah mengandung 100 hingga 150 mL. Penggunaan larutan irigasi juga dapat mempersulit estimasi. Nilai hematokrit serial mencerminkanrasiosel-seldarahterhadap plasma, bukan kehilangan darah.

Secara khusus, baik ahli bedah maupun ahli anestesi keduanya cenderung mengabaikankehilangandarah yangsebenarnya,dan tanda-tanda klinis seperti takikardi tidak sensitif dan tidak spesifik. Selain itu, penurunan urine output ,penurunanpHarteri,danpeningkatandefisitbasadapattimbulhanyajikaterdapat hipoperfusi jaringan sedang hingga berat. Oleh karena itu, estimasi visual dari kehilangan darah yang terus-menerus harus mendapatkan terapi cairan dantransfusi.Dalam mengganti kehilangan darah dengan larutan kristaloid isotonik, rasio 3:1 dari pemberiankristaloid terhadap kehilangandarah sering diperlukan untuk memelihara volume cairan intravaskular, dimana penggantian militer-permiliter dengan koloid atau darah biasanya sudah cukup. (lihat table 23-4).KEHILANGAN CAIRAN LAINNYA

Kehilangancairanyanglebihsedikitdibandingkandenganperdarahantetapi bermakna adalah perpindahan atau kehilangan cairan pada tempat operasi. Kehilangan cairan secara evaporasi sangat terlihat jelas pada luka operasi yang besar, tetapi banyak jumlah cairan yang dapat hilang melalui paru-paru selama ventilasi mekanik kecuali bila pelembab udara(humidifier) digunakan.Redistribusi Internal CairanRedistribusi internal cairan, atau third spacing dapat menyebabkan perpindahan cairan yang besar dan deplesi volume cairan intravaskular yang berat, khususnya selama proses pembedahan mayorpada abdomen dan thorak. Selainitu, jaringan yang mengalami trauma,inflamasi, atau terinfeksi dapat mengalami sekuestrasi sejumlah besar cairan pada ruanginterstitial. Penggantian cairan akibat evaporasi dan perpindahan ke rongga ketiga sangat diperlukan untuk mencegah hipoperfusi organ, khususnya insufisiensi renal (lihat Tabel 23-3).

*Mengandung asetat 27 mEq/L dan glukonat 23 mEq/LCES, cairanekstraselular

TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF:PERTIMBANGANKUALITATIFCairan intravena diklasifikasikan menjadi larutan kristaloidatau koloid.Kristaloid merupakan larutan dengan molekul inorganik dan organik kecil yang larut dalam air. Zat terlarut yang utama adalah glukosa atau saline, dan larutan-larutan ini bisa bersifat isotonik, hipotonik, atau hipertonik (lihat Tabel 23-5). Larutan kristaloid memiliki kelebihan yaitu aman, nontoksik, reaction free , dan tidak mahal. Kekurangan yang utama dari kristaloid hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya yang terbatas untuk menetap dalam ruang interstitial.Pembentukan edema tidak jarang terjadi jika sejumlah besar larutan kristaloid diperlukanuntuk memelihara volume cairanintravaskular.Larutan KristaloidLarutan kristaloid isotonik lebih banyak dipakai pada intraoperatif karena larutan hipotonik biasanya memiliki waktu paruh intravaskular yang insufisien dan cenderung menimbulkan hiponatremia. Larutan yang paling sering digunakan adalah normal saline, larutan Ringerlaktat, dan Plasma-Lyte (lihat Tabel 23-5).Pertimbangan utama dalam memilih larutan adalah efeknya pada rasio natrium-klorida dan keseimbangan asam-basa.

Pemberian sejumlah besar volume larutan saline dapat menimbulkan metabolikasidosis non-gap akibathiperkloremia,dimana pemberian sejumlah besar volume larutan Ringer laktat dapat menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis oleh karena peningkatan produksi bikarbonat sebagai hasil dari metabolisme laktat. Walaupun penilaian dan koreksi kelainan kalsium, magnesium, dan fosfat harus menjadi bagian dari evaluasi lengkap , natrium , kalium , klorida merupakan elektrolit utama yang mempengaruhi pemilihan laritan kristaloid .

Larutan Ringer laktat dan Plasmalyte mengandung kalium dan sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien hiperkalemia. Kalsium yang terkandung dalam larutan Ringer laktat menyebabkan larutan ini tidak boleh digunakan bersamaan dengan produk darah yang mengandung citrat. Padakeadaantidakadanyapenyakityangmempengaruhimetabolismeglukosa,larutan yang mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari karena adanya hiperosmolalitas akibat hiperglikemia, diuresis osmotik, dan serebral asidosis merupakan komplikasi yang diketahui.Hipoglikemiaberisikoterjadipadapenghentiansecaramendadakpemberian larutan nutrisi parenteral total yangmengandung glukosa selama masaintraoperatif.Karena alasan inilah, pemberian infus larutan nutrisi parenteral total sebaiknya dilanjutkan selama prosedur anestesi dan pembedahan; cara lain, pemberian infus dengan cairan yang mengandung dekstrosa dapat diganti, dengan pemantauan rutin konsentrasi glukosa darah pasien.Koloid

Koloid merupakan zat nonkristal homogen yang terdiri dari molekul besar yang larut dalamsuatu zat terlarut (solute). Sebagian besar larutan koloid larut dalam saline isotonik, tetapibisa juga larut dalam glukosa isotonik, saline hipertonik, dan larutan fisiologis isotonik. Koloid memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan kristaloid untuk menetapdalam ruang intravaskular dan oleh karena itu merupakan ekspander volume yang lebih efisien. Koloid yang biasanya digunakan dalam praktik klinis meliputi albumin,hydroxyethylstarch, dan dekstran.ALBUMIN

Albumin dipurifikasi dari plasma manusia dan tersedia bebas sebagai larutan 5% atau 25%. Karena albumin dipasteurisasikan pada suhu 60o Cselama 10 jam, tidak terdapat resiko transmisi hepatitis B atau C atau HIV. Namun demikian, karena albumin merupakan produk darah, Jehovahs Witnesses menolak penggunaannya karena alasan agama. Waktu paruh albumin dalam plasma kira-kira 16 jam, dengan sekitar 90%dari dosis menetap dalam ruang intravaskular selama 2 jam setelah pemberian .HIDROXYETHYL STARCH.

Hydroxyethylstarch (hetastarch) merupakan Koloid semisintetik yang disintesis dari amilopektin, suatu cabang polimer D-glukosa. Contoh starches yang tersedia secara bebas adalah hetastarch berat molekul tinggi 6% dalam saline (Hespan) dan hetastarch berat molekul tinggi 6% dalam elektrolit seimbang (Hextend). Waktu paruh untuk 90% partikel hydroxyethylstarch menetap dalam ruang intravaskular adalah 17hari.DEKSTRAN

Dekstran merupakan koloid semi sintetik yang dibiosintesis secara bebas dari sukrosa oleh bakteri Leuconostocmesenteroide. Berdasarkan pada perbedaan berat molekul, dua dekstran yang sering digunakan adalah dekstran 40 dan 70. Partikel desktran yang lebih kecil secara cepat dibuang melalui urin dalam hitungan jam, tetapi partikel yang lebih besarmemiliki waktu paruh beberapa hari. Oleh karena itu, dekstran 70 biasanya lebih baik untuk menghasilkan ekspansi volume, sedangkan dekstran 40 dapat meningkatkan aliran darah dalam mikrosirkulasi, kemungkinan melalui penurunan dalam mikrosirkulasi, kemungkinan melalui penurunan viskositas darah. Tentu saja, dekstran 40 lebih sering digunakan oleh ahli bedah vaskular dan plastik untuk membantu dalam mempertahankan patensi dari anastomosis mikrovaskular. Larutan6%dekstran70memilikikapasitasekspansivolumeyangsamadengan hetastarch6%,kira-kira 80%dari pemberianinfusdekstran1-L menetap dalam ruang intravaskular padaakhir pemberianinfus. Sebaliknya, diperkirakan80% daripemberian infus larutan Ringer laktat 1-L akan memasuki ruang interstitial pada akhirpemberian infus.PROFIL KEAMANAN

Walaupunsecarakliniskoloidyang tersedia menunjukan keefektifan yang sama dalam menjaga tekanan onkotik koloid, perbedaan dalam profil keamanan tetap diakui.Reaksi hipersensitivitas, termasuk anafilaksis, telah dilaporkan pada penggunaan albumin, hydroxyethyl starch, dan dekstran, walaupun reaksi alergi terhadap albumin jarang terjadi.Dekstran I (Promit) dapat diberikan sebelum dekstran 40 atau dekstran 70 untuk mencegahreaksi anafilaksis berat; Promit bekerja sebagai suatu hapten dan mengikat setiap antibodnidekstran yang ada di sirkulasi. Pruritus muncul pada penggunaan hydroxyethyl starch yang bersifat dose-dependent; yang khas dari pruritus ini ialah onsetnya lambat dan tidak berespon terhadap jenis terapi yang ada saat ini.KELAINAN KOAGULASI

Perdarahan yangberkaitan dengan penggunaan koloidsintetik telah dilaporkan secara luas. Dekstran 70 dan, padakonsentrasi yanglebih kecil, dekstran 40menghasilkan dose-related reduction pada agregasi dan adhesi platelet, sedangkan hydroxyethyl stratch dapat menyebabkan penurunan faktor VIII dan faktor von Willebrand, gangguan fungsi platelet,danpemanjanganpartial thromboplastin time.

Proses koagulasi dan waktu perdarahan pada umumnya tidak terpengaruh secara signifikan setelah pemberian infus hingga mencapai 1L; namun demekian, koloid ini lebih baik dihindari pada pasien dengan koagulopati.Larutan Koloid versus Kristaloid

Selama beberapa tahun, sejumlah kontroversi muncul mengenai manfaat larutan koloid versus kristaloid untuk resusitasi pasien-pasien bedah. Walaupun banyak penelitian yang membandingkan kristaloid dengan koloid tidak ada satupun secara tegas menjelaskan tentang perbedaan kegunaan pada kasus adanya komplikasi pulmonal ataupada kasus dimana dapat bertahan hidupdengan terapi salah satu cairantersebut.

Karena koloid lebih mahal dan tidak memiliki profil keamanan yang sama dengan kristaloid, sulit untuk membenarkan penggunaanya diluar konsdisi dimana ekspansi volume cairan intravaskular diperlukan.

PertimbanganTransfusi

Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan larutan kristaloid atau koloid untuk volume cairan intravaskular sampai bahaya anemia atau deplesi factor koagulasi mengharuskan pemberianprodukdarah.Hemoglobindibawah7g/dL,curahjantungsaatistirahat harusmeningkathebatuntukmempertahankantransportoksigen normal ke jaringan. Oleh karena itu, kehilangan darah sebaiknya diganti dengan transfuse eritrosit untuk mempertahankan agar konsentrasi hemoglobin berada pada kisaran antara 7 dan 8g/dL.Padakadarhemoglobin10g/dL biasanyadilakukantransfusipada pasien-pasien dengan penyakit jantung dan paru-paru.Koagulopati intraoperatif yang paling sering terjadi ialah trombositopenia dilusi, yang terjadi baik akibat pemberian sejumlah besar volume transfusi produk darah atau kristaloid / koloid. Defisiensi faktor pembekuan jarang terjadi pada seseorang tanpa disfungsihepar karena darah yang tersimpan mempertahankan 20% hingga 30% aktivitas faktor VII dan VIII,yang cukup untuk terjadinya proses koagulasi.4.2 SEPSIS

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Sepsis dapat ditegakkan apabila terdapat penemuan objektif berupa :

Sepsis dapat dibagi menjadi beberapa stadium klinis yaitu SIRS (Systemic Inflammation Response Syndrome) , Sepsis , Sepsis berat , dan Syok sepsis .

Sepsis membutuhkan penanganan yang cepat, 3 prioritas terapi yang harus dilakukan adalah:

1. Stabilisasi Pasien Langsung

Airway dan breathing support

Pemantauan hemodinamik ( terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (kristaloid/koloid dengan agen inotropik atau vasopressor). Agen inotropic atau vasopressor yang dapat diberikan:

a. Dopamine banyak digunakan dalam dosis rendah (1-5 g/kg per menit) untuk meningkatkan perfusi renal dan mesenteric. Dopamine dosis sedang (10-20g/kg per menit) bisa digunakan untuk menyokong tekanan darah.

b. Dobutamine (dosis 2-20 g/kg per menit) adalah agen inotropi adrenergik yang penggunaannya disukai untuk meningkatkan curah jantung dan penyaluran oksigen. Dobutamine bisa dipertimbangkan penggunaannya pada pasien sepsis parah dengan tekanan pengisian dan tekanan darah yang cukup tapi cardiac index rendah.

c. Norepinephrine adalah agen adrenergik poten (0,01-3 g/kg per menit) yang berguna pada syok septik untuk vasokontriksi perifer. Phenylephrine juga bisa berguna pada pasien dengan hipotensi yang bertahan.

d. Epinephrine 0,1-0,5 g/kg per menit, meningkatkan curah jantung dan menyebabkan vasokontriksi perifer. Penggunaannya disimpan untuk pasien yang gagal merespon terapi standar.

Intubasi perlu dilakukan untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Atau ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain.

2. Pemberian antibiotik yang adekuat. Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida dan quinolon. Selain itu juga diperlakan kultur dan sensitivitas tes terhadap kuman penyebabnya untuk menentukan terapi rasional yang sesuai. Namun bilamana belum dilakukan, dapat diberikan terapi empirik dengan antimikrobial( menunjukkan bahwa pasien sudah mendapatkan terapi antibiotik (meropenem).

3. Eliminasi fokus infeksi awal ( dilakukan laparotomi cito. BAB III

KESIMPULAN

Pasien Ny. RH 29 tahun mengalami IUFD et causa ruptur uteri. Berdasarkan pemeriksaan tanda vital didapatkan adanya takikadikardi, febris, takipneau dan juga hasil laboratorium berupa leukositosis yang merupakan tiga tanda dari SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome).

Pada saat pembedahan, didapatkan perdarahan sekitar 1000 cc dan jumlah cairan yang diberikan sudah sesuai untuk mengganti kehilangan cairan sejumlah 3000cc. Diantaranya, larutan Kristaloid 2000cc, Koloid 500, dan PRC (Packed Red Cell) 500cc. Maka dari itu, resiko dari syok hipovolemik dapat dihindari karena penggantian cairan yang adekuat.

Setelah pembedahan pasien dirawat di High Care dengan tujuan memantau kondisi pasien dikarenakan resiko tinggi akibat SIRS yang diderita pasien sebelum tindakan operasi.

16